Hendrik Miru, Dampak Hukum Dari Penambangan Timah Ilegal
Hendrik Miru, Dampak Hukum Dari Penambangan Timah Ilegal
OLEH
NIM : 1369323007
KELAS : II B
A. Latar Belakang
Indonesia mempunyai sumber daya alam yang melimpah baik dalam bidang kelautan dan
perikanan. Ada juga minyak dan gas bumi, batubara, timah dan sebagainya yang dikelolah dalam
sektor pertambangan, dan Indonesia sebagai salah satu negara penghasil timah terbesar, dengan
adanya sumber timah yang melimpah, hal ini bisa membuka peluang bagi masuknya investor
untuk menambah devisa bagi negara dan juga sebagai sumber penghasilan bagi masyarakat.
Sayangnya kekayaan alam tersebut tidak luput dari keserakahan oknum-oknum yang
memanfaatkannya untuk kepentingan memperkaya diri tanpa melihat dampak ekologis dari
kerusakan lingkungan.
Seperti yang kita ketahui, untuk melakukan suatu kegiatan pertambangan di Indonesia, harus
memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP). usaha pertambangan sendiri atau mining business
adalah kegiatan pengolahan mineral dan batubara, dengan tahapan kegiatan penyelidikan umum,
eksplorasi, studi kelayakan (feasibility study), konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang. Dan subjek hukum yang
bisa memiliki izin IUP yaitu: Badan usaha, koperasi, dan Perorangan.Yang dimaksud dengan
perorangan ialah penduduk warga setempat juga diberikan hak mengelolah kegiatan
pertambangan, yaitu dengan mengajukan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).1
1
Murty, T., & Yuningsih, H. (2017). Upaya Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana
Penambangan Timah Ilegal di Provinsi Bangka Belitung. Simbur Cahaya, 24(1), 4348-4374.Hlm.2
2
Ibid. Hlm.3.
Dalam melihat persoalan ini tentu harus adanya kewenangan bagi penyidikan, dalam
menangani adanya kasus penambangan ilegal dari sumber daya mineral dan batubara. Untuk itu
dalam pembangunan bidang hukum di Indonesia, dalam hal ini hukum pidana. Pengetahuan
mengenai’’Pembangunan Hukum Pidana” atau ”Sistem Hukum Pidana” di Indonesia, ruang
lingkupnya antara lain3:
1. Pembangunan ’’Substansi Hukum Pidana” yang meliputi hukum pidana materiil (KUHP,
UU di luar KUHP) dan hukum pidana formil (KUHAP) serta hukum pelaksanaan pidana.
2. Pembangunan ”Struktur Hukum Pidana” yang meliputi institusi/ lembaga,sistem
manajemen/tata laksana dan mekanisme serta sarana, prasarana pendukung dari sistem
penegakan hukum pidana
3. Pembangunan ”Budaya Hukum Pidana” yang meliputi antara lain masalah kesadaran
hukum, perilaku hukum, pendidikan hukum dan ilmu hukum pidana.
Pengertian ”Sistem Hukum Pidana” dapat juga dilihat dari sudut sistem, penegakan hukum
pidana atau sistem pemidanaan, yang dapat dijelaskan sebagai berikut4:
Dengan pengertian demikian, maka sistem hukum pidana identik dengan sistem penegakan
hukum pidana yang terdiri dari subsistem Hukum Pidana Materiil/Substantif, sub-sistem Hukum
Pidana Formal dan sub-sistem Pelaksanaan Hukum Pidana. Pengertian sistem hukum pidana /
pemidanaan yang demikian itu dapat disebut dengan ”sistem hukum pidana/pemidanaan
fungsional” atau ”sistem hukum pidana / pemidanaan dalam arti luas.”
(2) Dari sudut norma substantif (hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif),
sistem hukum pidana/pemidanaan dapat diartikan sebagai:- keseluruhan sistem
aturan/norma hukum pidana materiil untuk pemidanaan; atau- keseluruhan sistem
aturan/norma hukum pidana materiil untuk pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan
pidana.
3
AVIANTI, F. (2008). Kebijakan Perundang-Undangan Mengenai Badan Penyidik Dalam Sistem Peradilan
Pidana Terpadu di Indonesia (Disertasi Doktor, Program PascaSarjana Universitas Diponegoro).Hlm.12.
4
Barda Nawawi Arief, RUU KUHP Baru, Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana
Indonesia, Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana UNDIP, Semarang 2007, Hlm. 2-3.
merata dengan hukum pidana, namun dalam bidang penegakan hukum inilah dipertaruhkan
makna (Negara berdasarkan atas Hukum)”.
Sedangkan menurut Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana pada hakikatnya
merupakan ”sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana” yang diwujudkan dalam 4 (empat)
subsistem yaitu:6
Keempat tahap atau subsistem itu merupakan satu kesatuan Sistem Penegakan Hukum
Pidana yang integral atau yang sering dikenal dengan istilah ”Sistem Peradilan Pidana Terpadu
(Integrated Criminal Justice System).”
Dari empat subsistem dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu seperti yang telah
disebutkan diatas, subsistem ”Kekuasaan Penyidikan” adalah tahap yang paling menentukan
dalam operasionalisasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu tersebut dalam rangka tercapainya
tujuan dari Penegakan Hukum Pidana, karena pada tahap penyidikanlah dapat diketahui adanya
tersangka suatu peristiwa kejahatan atau tindak pidana serta menentukan tersangka pelaku
kejahatan atau tindak pidana tersebut sebelum pelaku kejahatan tersebut pada akhirnya dituntut
dan diadili di pengadilan serta diberi sanksi pidana yang sesuai dengan perbuatannya. Tanpa
melalui proses atau tahapan penyidikan maka secara otomatis,tahapan-tahapan selanjutnya dalam
proses peradilan pidana yaitu tahapan penuntutan, pemeriksaan di muka pengadilan dan tahap
pelaksanaan putusan pidana tidak dapat dilaksanakan.
5
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang,1995.Hlm.7.
6
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 2006. Hlm. 20.
berwenang untuk melakukan penyidikan, selain diatur di dalam KUHAP, juga diatur di dalam
Peraturan Perundang-undangan lain di luar KUHAP.
Kewenangan institusi Penyidik, selain penyidik POLRI, didasarkan pada ketentuan yang
diatur dalam Pasal 284 ayat 2 UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP, yang menegaskan
bahwa:”Dalam waktu dua tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan, maka terhadap semua
perkara diberlakukan ketentuan Undang-Undang ini dengan pengecualian untuk sementara
mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-Undang tertentu
sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”7
Pengecualian terhadap ketentuan khusus acara pidana yang dimaksud dalam pasal
tersebut lebih lanjut dijabarkan dalam pasal 17 PP No. 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan
KUHAP, yang dirumuskan bahwa”Wewenang penyidikan dalam tindak pidana tertentu yang
diatur secara khusus oleh undang-undang tertentu dilakukan oleh penyidik, jaksa dan pejabat
penyidik yang berwenang lainnya yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan.”
Dengan demikian penyidik bukan dari institusi kepolisian saja tetapi juga bisa dari institusi yang
lain. Penyidik sebagaimana dimaksud ditetapkan baik di dalam KUHAP maupun Peraturan
Perundang-undangan yang lain di luar KUHAP antara lain:8
Dengan konsepsi sistem peradilan pidana terpadu yang dianut oleh Indonesia sebagai
konsekuensi adanya diferensiasi fungsional dan instansional dalam penyelenggaraan peradilan
pidana di Indonesia berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nomor
7
AVIANTI, F…Op.cit. Hlm.16
8
Ibid. Hlm.17-18
8 Tahun 1981 yang merupakan dasar hukum dari pelaksanaan sistem peradilan pidana di
Indonesia.
Dari paparan diatas sudah pasti muncul pertanyaan mengenai bagaimanakah sebenarnya
penegakan hukum pidana terhadap para pelaku penambangan ilegal dalam menanggulangi
penambangan ilegal dengan banyaknya instansi yang memiliki kewenangan penyidikan yang
ada.
a. Tujuan
Untuk mengetahui sumber masalah dari proses pelanggaran hukum dan kewenangan
penyidik dalam sistem peradilan pidana terpadu berdasarkan masalah yang diteliti.
b. Manfaat
Untuk menambah dan memberikan pengetahuan mengenai akibat dari kerusakan
lingkungan dan kerugian, karena penambangan ilegal sumber daya mineral dan
batubara (minerba) khususnya timah.
BAB II PEMBAHASAN
Menurut Thomas Ford Hoult seperti yang dikemukakan oleh Joko Sriwidodo, Terkadang
suatu sistem diartikan sebagai “stelsel” (Belanda),yaitu suatu keseluruhan yang terangkai.
Disamping itu,ia menjelaskan bahwa sistem diartikan sebagai Suatu sistem dapat pula disebut
sebagai “a structured whole”,yang biasanya mempermasalahkan:9
Mardjono memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana
adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan pemasyarakatan terpidana. Selanjutnya dikemukakan bahwa tujuan sistem
peradilan pidana dapat dirumuskan:12
Bertitik tolak dari tujuan tersebut, lanjut Mardjono bahwa empat komponen dalam
sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan)
diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu “Integrated criminal justice system”.
Sedangkan Sistem peradilan pidana menurut Satjipto Rahardjo, adalah sebagai jenis
satuan, yang mempunyai tatanan tertentu. Tatanan tertentu ini menunjukan kepada suatu struktur
yang tersusun dari bagian-bagian. Beliau juga memaknai sistem sebagai suatu rencana,metode
atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu.13
Menurut Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana dapat dilihat dari berbagai sudut
pendekatan, antara lain:14
12
Joko, D. J. S…Op.cit. Hlm.12.
13
Ibid
14
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme,Bandung:
Bina Cipta, 1996, Hlm. 16-18.
1. Pendekatan normatif, yang memandang keempat aparatur (kepolisian kejaksaan,
pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan
perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata;
2. Pendekatan manajemen atau administratif, yang memandang keempat aparatur penegak
hukum (kepolisian kejaksaan,pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai suatu
organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat
horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku
dalam organisasi tersebut. Sistem yang digunakan adalah sistem administrasi; dan
3. Pendekatan sosial, yang memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian
kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut
bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur
penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang dipergunakan
adalah sistem sosial.
Sistem Peradilan Pidana atau criminal justice system pada dasarnya merupakan kajian
akademis di luar bidang Hukum Pidana itu sendiri. Artinya, Hukum Pidana dalam membentuk
Sistem Peradilan Pidana tidak dapat melepaskan diri dari masukan ilmu hukum bidang lain, yaitu
Hukum Administrasi Negara, Hukum Tata Negara dan Ilmu Sosial lainnya. Walaupun demikian,
para ahli hukum pidana, pada kenyataannya membatasi diri untuk tidak terlalu jauh mendalami
bidang hukum lain selain hukum pidana. Nampaknya bidang Hukum Tata Negara, Hukum
Administrasi Negara dan Ilmu Sosial digunakan sebagai ilmu jembatan untuk menjelaskan dan
memecahkan permasalahan yang muncul dalam proses peradilan pidana saat ini.
Terkait dengan terjadinya stagnasi atas Sistem Peradilan Pidana secara konvensional, saat ini,
para ahli hukum memunculkan istilah baru yaitu Sistem Peradilan Pidana Terpadu (integrated
criminal justice system). Terkait dengan isti tersebut, maka Muladi mencoba memberikan
pandangannya terkait dengan penggunaan istilah Sistem Peradilan Pidana Terpadu (integrated
criminal justice system), dimana Beliau menegaskan bahwa:15
“Kata integrated sangat menarik perhatian bilamana dikaitkan dengan istilah system
dalam criminal justice system. Hal ini disebabkan karena dalam istilah system
seharusnya sudah terkandung keterpaduan (integration and coordination), disamping
karakteristik yang lain seperti adanya tujuan-tujuan yang jelas dari sistem, proses: input-
throughput-output and feedback, sistem kontrol yang efektif, negative-entropy dan
sebagainya.”
15
Muladi…Op.cit. Hlm.1
Dari hal itu Muladi mencoba menjelaskan lebih detail mengenai penyebutan istilah
tersebut, seharusnya diarahkan untuk lebih menekankan, agar integrasi dan koordinasi lebih
diperhatikan, sebab fragmentasi dalam sistem peradilan pidana nampaknya merupakan
disturbing issue di pelbagai negara. Dengan demikian beliau menegaskan bahwa makna
integrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan, yang
dapat dibedakan dalam :16
1. Tujuan
Muladi, membagi tujuan dari Sistem Peradilan Pidana ke dalam beberapa tujuan yaitu
sebagai berikut:
1. Tujuan jangka pendek, berupa resosialisasi pelaku tindak pidana.Tujuan jangka pendek
lebih diarahkan kepada pelaku tindak pidana dan mereka yang berpotensi melakukan
kejahatan,yaitu diharapkan pelaku sadar akan perbuatannya sehingga tidak melakukan
kejahatan lagi, demikian pula orang lain tidak melakukan kejahatan sehingga kejahatan
semakin berkurang.
2. Tujuan jangka menengah, berupa pencegahan kejahatan.Tujuan jangka menengah adalah
terwujudnya suasana tertib, aman dan damai di dalam masyarakat. Tentu tujuan menengah
ini akan dapat tercapai jika tujuan jangka pendek tercapai sebab tidak mungkin akan tercipta
rasa aman dan damai di masyarakat jika kejahatan masih tetap terjadi.
3. Tujuan jangka panjang, berupa kesejahteraan sosial Sementara tujuan jangka panjang
sistem peradilan pidana adalah terciptanya tingkat kesejahteraan yang menyeluruh di
kalangan masyarakat. Tujuan ini adalah konsekuensi dari tujuan jangka pendek dan
menengah, sehingga keberhasilannya juga tergantung pada tujuan-tujuan sebelumnya.17
Robert D. Pursley, membedakan tujuan sistem peradilan pidana atas tujuan utama dan
tujuan penting lainnya, yaitu :18
a. Tujuan utama, diantaranya untuk melindungi warga masyarakat dan untuk memelihara
ketertiban masyarakat
b. Tujuan penting lainnya adalah sebagai berikut :
1) Mencegah kejahatan ;
16
Ibid. Hlm.2
17
Joko, D. J. S…Op.cit. Hlm.21.
18
Ibid. Hlm.25.
2) Menekan perilaku yang jahat dengan cara menahan para pelanggar dengan mana
mencegah mereka untuk melakukan kejahatan sudah tidak mempan (tidak efektif)
lagi;
3) Meninjau keabsahan dari tindakan atau langkah yang telah dilakukan di dalam
mencegah dan menekan kejahatan ;
4) Menempatkan secara sah apakah bersalah mereka yang ditahan, atau tidak ;
5) Menempatkan secara pantas atau layak mereka yang secara sah telah dinyatakan
bersalah ;
6) Membina atau memperbaiki para pelanggar hukum.
2. Fungsi
Tolib Effendi menjelaskan bahwa Sistem Peradilan Pidana memiliki dua tujuan besar, yaitu
untuk melindungi masyarakat dan melakukan penegakan hukum. ia juga menjelaskan bahwa
Sistem Peradilan Pidana memiliki beberapa fungsi penting,antara lain19:
1. Mencegah kejahatan;
2. Menindak pelaku tindak pidana dengan memberikan pengertian terhadap pelaku tindak
pidana dimana pencegahan tidak efektif;
3. Peninjauan ulang terhadap legalitas ukuran pencegahan dan penindakan;
4. Putusan pengadilan untuk menentukan bersalah atau tidak bersalah terhadap orang yang
ditahan;
5. Disposisi yang sesuai terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah;
Lembaga koreksi oleh alat-alat negara yang disetujui oleh masyarakat terhadap perilaku
mereka yang melanggar hukum pidana.
Keberagaman tujuan dari pembentukan Sistem Peradilan Pidana, patut dimaklumi, hal
tersebut dikarenakan adanya keberagaman sudut pandang. Namun demikian, tujuan Sistem
Peradilan Pidana tersebut merupakan satu kesatuan dan saling melengkapi, dalam kerangka
konsep welfare state.
Mengenai Tindak Pidana di Bidang Pertambangan Timah, mengacu pada Tindak Pidana di
Bidang Pertambangan (Illegal Mining), sesuai dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yaitu sebagai berikut : 20
19
Log.it. Hlm.21.
20
Murty, T., & Yuningsih, H…Op.cit. Hlm.11.
1. Melakukan kegiatan pertambangan tanpa memiliki izin sama sekali sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral
dan batubara istilah tersebut diperbaharui/diganti dengan (IUP, IPR, IUPK) ;
2. Melakukan kegiatan pertambangan dengan izin yang sudah mati atau berakhir, baik
berakhir karena dikembalikan, dibatalkan, maupun habis waktunya;
3. Melakukan kegiatan pertambangan di luar areal atau diluar titik koordinat yang sudah
ditentukan dalam izin yang diberikan;
4. Melakukan kegiatan pertambangan dengan menggunakan izin yang tidak sesuai dengan
peruntukannya;
5. Pemegang IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi (kontruksi,
eksploitasi, pengolahan & pemurnian, pengangkutan dan penjualan).
B. Pemegang IUP, IPR, IUPK yang dengan sengaja menyampaikan laporan palsu berkaitan
dengan usaha pertambangan, misalnya PT. X pemegang IUP Operasi Produksi Eksploitasi
telah melakukan kegiatan penambangan batubara dengan hasil produksi rata-rata 40.000 MT
setiap bulannya namun yang dilaporkan kepada Pemerintah hasil produksi hanya rata-rata
30.000 MT setiap bulannya ;
C. Pemegang IUP atau IUPK Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari
pemegang IUP/IUPK ;
D. Merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK ;
E. Usaha pertambangan yang sudah memiliki izin, tetapi melakukan pelanggaran perundang
undangan lainnya, seperti :
Dikutip dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Kejaksaan Agung telah menetapkan
Helena Lin dan Harvey Moeis sebagai dua tersangka baru dari kasus korupsi di wilayah izin
usaha pertambangan PT Timah Tbk pada 2015–2022. Dalam kasus ini menunjukkan adanya tata
kelola yang buruk dan perlu pengawalan terhadap perhitungan kerugian negara dari kerusakan
lingkungan, dari persoalan kasus timah. Berikut adalah catatan ICW terhadap kasus antara lain: 22
1) Kasus korupsi PT Timah memperpanjang praktik buruk tata kelola sektor ekstraktif.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa sepanjang 2004–2015 saja, negara
sudah merugi sebanyak Rp 5,714 triliun hanya dari penyelundupan timah secara ilegal
akibat tidak dibayarkannya royalti dan pajak PPh Badan. Apabila dirata-rata selama
kurun waktu 12 tahun tersebut, negara kecolongan timah ilegal sebanyak 32,473
ton/tahun.
2) Perlu ada pengembangan kasus untuk menjerat aktor lain sebagai tersangka. Apabila kita
melihat komposisi dari 16 tersangka yang telah ditetapkan oleh kejaksaan, mayoritasnya
berlatar belakang direktur di perusahaan smelter. Padahal, kasus korupsi pertambangan
kerap melibatkan aktor lain seperti pemerintah maupun aparat penegak hukum.
3) Pemerintah dalam kasus ini lalai memastikan tata kelola ekstraktif yang baik. Setidaknya
dua kementerian yaitu Kementerian BUMN dan Kementerian Energi dan Sumberdaya
Mineral (ESDM) gagal menjalankan tugasnya.
Menurut ICW, Kementerian BUMN tidak memastikan PT Timah, sebagian entitas BUMN
yang berada dibawah tanggung jawabnya, dalam upaya untuk mencegah terjadinya korupsi.
PT Timah selaku BUMN diketahui menerbitkan Surat Perintah Kerja Borongan
Pengangkutan Sisa Hasil Pengolahan mineral timah yang “memperlancar” praktik kotor
perusahaan-perusahaan boneka yang menambang bijih timah secara ilegal. Lebih jauh,
21
Ibid.Hlm.13
22
Egi Primayogha - Seira Tamara - Yassar Aulia, Kasus Korupsi PT Timah: Potret Buruk Tata Kelola Sektor
Ekstraktif: ICW; Kasus Korupsi PT Timah: Potret Buruk Tata Kelola Sektor Ekstraktif
|https://antikorupsi.org/id/kasus-korupsi-pt-timah-potret-buruk-tata-kelola-sektor-ekstraktif (diakses: 18
June 2024).
Kementerian ESDM lalai melakukan peran pengawasan sebagaimana telah dimandatkan
Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Seharusnya ada
pengawasan dari kementerian ESDM yang memiliki kewenangan yang luas dalam
mengawasi pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mulai dari teknis pertambangan,
pemasaran, pengelolaan lingkungan hidup, hingga kesesuaian pelaksanaan kegiatan sesuai
dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
4) ICW akan terus mendorong Kejaksaan Agung untuk memasukkan aspek kerusakan
lingkungan dalam kalkulasi kerugian yang ditimbulkan dari kasus korupsi PT Timah.
Kerugian yang ditimbulkan dari kasus korupsi tersebut mencapai angka Rp 271 triliun,
terbesar sepanjang sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.
Dikutip dari Detiknews, dalam kasus ini Kejaksaan Agung telah melimpahkan 10 tersangka
kasus dugaan tipikor tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT
Timah Tbk periode 2015-2022 ke jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta
Selatan. Dan dari 10 nama tersangka tersebut, ada nama Dirut PT Timah periode 2016-2021,
yakni Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT), hingga bekas Dirut PT RBT, Suparta (SP). Kepala
Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan pelimpahan
tersangka dilakukan setelah berkas perkara dinyatakan lengkap untuk persidangan."Penyidik
pada Jampidsus telah menyerahkan tersangka dan barang bukti atas 10 orang tersangka di
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Tentu diserahkan kepada penuntut umum yang ada di
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan,esensinya adalah bahwa tentu penuntut umum dengan momen
ini akan melakukan penelitian terhadap para tersangka dan barang bukti yang diserahkan.
Dalam konteks tersangka, tentu jangan sampai ada yang error in persona, jadi sudah ada
mitigasi untuk itu. Apa yang tertera identitas dalam berkas perkara tentunya akan diteliti oleh
jaksa penuntut umum dan disesuaikan," Adapun 10 orang tersangka yang diserahkan antara
lain:23
1. Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT),selaku Direktur Utama PT Timah periode tahun
2016-2021;
2. Emil Ermindra (EE) selaku Direktur Keuangan PT Timah periode tahun 2017-2018;
3. Hasan Tjhie (HT) selaku Direktur Utama CP VIP;
4. MB Gunawan (MBG) selaku Direktur Utama PT SIP;
5. Suwito Gunawan (SG) selaku Komisaris PT SIP;
6. Robert Indarto (RI) selaku Direktur Utama PT SBS;
7. Kwang Yung alias Buyung (BY) selaku eks Komisaris CP VIP;
23
Fawdi, M. I, Mantan Dirut TINS hingga Eks Dirut RBT Segera Disidang Terkait Kasus Timah, detiknews.
https://news.detik.com/berita/d-7389339/mantan-dirut-tins-hingga-eks-dirut-rbt-segera-disidang-terkait-
kasus-timah (diakses: 18 June 2024).
8. Rosalina (RL) selaku General Manager PT TIN;
9. Suparta (SP) selaku Direktur Utama PT RBT;
10. Reza Andriansyah (RA) selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT.
Sebelumnya Kejagung telah melimpahkan 2 tersangka, yakni Tamron Tamsil alias Aon (TT)
dan Achmad Albani (AA), ke jaksa penuntut umum di Kejari Jakarta Selatan. Dengan peran
Tersangka TT adalah beneficial owner atau pemilik keuntungan dari CV VIP, sedangkan
tersangka AA berperan selaku Manajer Operasional Tambang CV VIP. Dalam kasus ini saja
Kejagung telah menetapkan 22 tersangka dalam kasus dugaan tipikor tata niaga komoditas timah
di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015-2022. Berikut 10
tersangka yang belum dilimpahkan yaitu:24
a. Tersangka Perintangan Penyidikan: 1 orang yakni; Toni Tamsil alias Akhi (TT);
b. Tersangka Pokok Perkara:
1. Alwin Akbar (ALW) selaku mantan Direktur Operasional dan mantan Direktur
Pengembangan Usaha PT Timah;
2. Helena Lim (HLN) selaku Manajer PT QSE;
3. Harvey Moeis (HM) selaku perpanjangan tangan dari PT RBT;
4. Hendry Lie (HL) selaku beneficial owner atau pemilik manfaat PT TIN;
5. Fandy Lie (FL) selaku marketing PT TIN sekaligus adik Hendry Lie;
6. Suranto Wibowo (SW) selaku Kepala Dinas ESDM Bangka Belitung 2015-2019;
7. Rusbani (BN) selaku Plt Kepala Dinas ESDM Bangka Belitung Maret 2019;
8. Amir Syahbana (AS) selaku Plt Kepala Dinas ESDM Bangka Belitung;
9. Bambang Gatot Ariyono (BAG) selaku Dirjen Minerba Kementerian ESDM periode
2015-2022.25
Kejaksaan RI menerima hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
terkait penghitungan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah
Izin Usaha Pertambangan PT Timah Tbk tahun 2015-2022. Proses serah terima dilakukan di
Gedung Utama Kejaksaan Agung. Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung
(Kapuspenkum), Ketut Sumedana, laporan tersebut berkaitan dengan perbuatan jajaran oknum
direksi PT Timah Tbk pada kurun waktu 2018 sampai dengan 2019 yang telah melakukan
persekongkolan dengan para smelter untuk mengakomodir penambangan timah ilegal, yang
seolah-olah kesepakatan kerja sama sewa-menyewa peralatan processing, peleburan timah di
wilayah IUP PT Timah, "Berdasarkan hasil audit perhitungan kerugian keuangan negara dari
24
Ibid
25
Ibid
BPKP, diperoleh hasil kerugian yakni sebesar Rp300 triliun,"Menurut Kapuspenkum, kerugian
Rp300 triliun itu terdiri dari:26
a. Kerugian atas kerja sama PT Timah Tbk dengan smelter swasta sebesar Rp 2,285 triliun;
b. Kerugian atas pembayaran bijih timah kepada mitra PT Timah Tbk sebesar Rp 26,649
triliun;
c. Kerugian lingkungan sebesar Rp 271,1 triliun
Proses pemulihan kerusakan lingkungan akibat dari proses penambangan yang dilakukan
para smelter/swasta yang bekerja sama dengan oknum PT Timah Tbk di wilayah IUP PT Timah
Tbk secara ilegal sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan. Menurut Kapuspenkum
Kejagung "karena perbuatan melawan hukum tersebut, sudah menjadi kewajiban bagi PT Timah
Tbk selaku pemegang IUP untuk memulihkan kerusakan yang terjadi".27
Tim Penyidik pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (JAM PIDSUS) Kejaksaan
Agung juga menetapkan enam orang tersangka yang diduga melakukan Tindak Pidana
Pencucian Uang (TPPU) dalam perkara dugaan korupsi tata niaga timah pada wilayah Izin Usaha
Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022. "Terkait dengan tersangka TPPU telah
kami tetapkan enam orang tersangka," hal ini dikatakan oleh Direktur Penyidikan pada
JAMPIDSUS Kejaksaan RI, Kuntadi, dalam jumpa pers di Gedung Kejaksaan RI, Rabu 29 Mei
2024, antara lain:28
26
Kerugian Negara Akibat Kasus Korupsi PT Timah Jadi Rp300 Triliun, Ini Rinciannya,
story.kejaksaan.go.id. https://story.kejaksaan.go.id/hot-issue/kerugian-negara-akibat-kasus-korupsi-pt-
timah-jadi-rp300-triliun-ini-rinciannya-141787-mvk.html?screen=6 (diakses: 18 June 2024).
27
Ibid
28
Kejaksaan RI Tetapkan 6 Tersangka Pencucian Uang dalam Kasus Korupsi PT Timah Tbk, Ini Daftarnya,
story.kejaksaan.go.id.https://story.kejaksaan.go.id/hot-issue/kejaksaan-ri-tetapkan-6-tersangka-tppu-di-
kasus-korupsi-pt-timah-tbk-ini-daftarnya-141720-mvk.html?screen=6 (diakses: 18 June 2024).
Dikutip dari BBC News ,berdasarkan data LSM Walhi Bangka Belitung, luas lahan
pertambangan menurut bahan galian dan izin usaha pertambangan pada tahun 2019 mencapai
satu juta hektar lebih, dari total luas Bangka Belitung sekitar 1,6 juta hektar. Dari angka itu,
hampir 50% izin pertambangan dimiliki oleh PT Timah. Selebihnya dikelola ratusan perusahaan
Sialnya, menurut Walhi, terjadi deforestasi besar-besaran akibat pertambangan timah di kawasan
hutan lantaran mayoritas perusahaan yang mengantongi izin maupun tidak, tak kunjung
melakukan reklamasi atau pemulihan. Akibat kerusakan penambangan antara lain: 29
1. Ada, 12.000 lebih lubang galian tambang timah dibiarkan menganga."Perkiraan kami ada
12.607 lubang tambang yang belum direklamasi selama tiga tahun, sejak 2021 sampai
2023," jelasnya."Kalau dihitung belasan ribu lubang tambang itu sama dengan luasan
15.579 hektar."
2. Akibat lubang tambang itu, tercatat ada 21 orang kasus tenggelam, dari 15 orang korban
yang meninggal dunia, 12 orang diantaranya merupakan anak-anak hingga remaja dengan
rentang usia 7-20 tahun. Selain menyebabkan korban meninggal, lubang-lubang tambang
itu juga memicu sumber penyakit baru - entah menjadi tempat sarang nyamuk atau lokasi
berbahaya lantaran memiliki tingkat radiasi cukup tinggi; Dan
3. Menimbulkan bencana kekeringan. Masyarakat akhirnya mengambil sumber air dari
lubang-lubang tambang dengan kualitas air yang berbahaya.
4. Akibat tambang, ribuan hektar terumbu karang mati, karena kapal-kapal yang dipakai
untuk penambangan timah ilegal memenuhi wilayah pesisir dan laut pesisir Bangka
Belitung. Dalam beberapa kasus limbah tambang bisa terbawa sejauh 6-7 mil. Limbah
tambang itu berupa oli dan pasir yang tak terpakai dibuang lagi ke laut."
Dalam Catatan LSM Walhi Bangka Belitung, luasan terumbu karang di Bangka Belitung
pada tahun 2015 mencapai 82.259 hektar. Tapi di tahun 2017, ekosistem terumbu karang tinggal
12.474 hektar. Itu artinya, terumbu karang di Bangka Belitung berkurang 64.514 hektar dalam
dua tahun terakhir dan yang mati sekitar 5.270 hektar.30
29
Tambang timah: Korupsi menimbulkan kerugian negara Rp 271 triliun - Siapa ‘pemain utama’ dan apa
dampak pada lingkungan? - BBC News Indonesia, https://www.bbc.com/indonesia/articles/cq5vvjj592qo
(dikases: 18 June 2024).
30
Ibid.
a. Kesimpulan
Dengan izin penambangan dari SK Menperindag nomor 144/MPP/Kep/4/1999 tanggal 22
April 1999 bahwa Timah dikategorikan sebagai barang bebas (tidak diawasi) dan
pencabutan status timah sebagai komoditas strategis, sehingga tidak dimonopoli lagi oleh
satu BUMN dan dapat diekspor secara bebas oleh siapapun, menyebabkan timbulnya
berbagai permasalahan hukum dari proses penambangan timah. Baik itu yang dilakukan
secara legal oleh badan hukum melalui izin oleh Pemerintah tetapi memberikan dampak
kerusakan lingkungan, maupun secara ilegal untuk memperkaya diri dan kelompok
sebagai sarang korupsi tanpa melihat kelangsungan ekosistem dari alam sebagai sumber
kehidupan.
b. Saran
Sumber daya mineral seperti timah merupakan sumber pendapatan negara apabila
dikelola dengan baik, pemerintah seharusnya mempunyai fungsi kontrol terhadap syarat
pemberian izin usaha penambangan sebagai bentuk ‘pencegahan’ yang perlu dilakukan
bukannya sudah terjadi masalah baru ditangani.
DAFTAR PUSTAKA
AVIANTI, F. (2008). Kebijakan Perundang-Undangan Mengenai Badan Penyidik Dalam Sistem
Peradilan Pidana Terpadu di Indonesia (Disertasi Doktor, Program PascaSarjana
Universitas Diponegoro).
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu,
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2006.
______, RUU KUHP Baru, Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana
Indonesia, Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana UNDIP, Semarang 2007.
Joko, D. J. S., & SH, M. (2020). Perkembangan Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Kepel
Press.
Lili Rasjidi dan I.B. Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung; RemajaRosdakarya,
1993.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang,1995.
Murty, T., & Yuningsih, H. (2017). Upaya Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana
Penambangan Timah Ilegal di Provinsi Bangka Belitung. Simbur Cahaya, 24(1), 4348-
4374.
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme,
Bandung: Bina Cipta, 1996.
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Jakarta: Bina cipta, 1983.
WEBSITE:
Egi Primayogha - Seira Tamara - Yassar Aulia, Kasus Korupsi PT Timah: Potret Buruk Tata
Kelola Sektor Ekstraktif: ICW; Kasus Korupsi PT Timah: Potret Buruk Tata Kelola
Sektor Ekstraktif | Indonesia Corruption Watch (ICW): https://antikorupsi.org/id/kasus-
korupsi-pt-timah-potret-buruk-tata-kelola-sektor-ekstraktif.
Fawdi, M. I, Mantan Dirut TINS hingga Eks Dirut RBT Segera Disidang Terkait Kasus Timah,
detiknews,https://news.detik.com/berita/d-7389339/mantan-dirut-tins-hingga-eks-dirut-
rbt-segera-disidang-terkait-kasus-timah.
Kerugian Negara Akibat Kasus Korupsi PT Timah Jadi Rp 300 Triliun, Ini Rinciannya,
story.kejaksaan.go.id,https://story.kejaksaan.go.id/hot-issue/kerugian-negara-akibat-
kasus-korupsi-pt-timah-jadi-rp300-triliun-ini-rinciannya-141787-mvk.html?screen=6.
Kejaksaan RI Tetapkan 6 Tersangka Pencucian Uang dalam Kasus Korupsi PT Timah Tbk, Ini
Daftarnya,story.kejaksaan.go.id,https://story.kejaksaan.go.id/hot-issue/kejaksaan-ri-
tetapkan-6-tersangka-tppu-di-kasus-korupsi-pt-timah-tbk-ini-daftarnya-141720-
mvk.html?screen=6
Tambang timah: Korupsi menimbulkan kerugian negara Rp 271 triliun - Siapa ‘pemain utama’
dan apa dampak pada lingkungan? https://www.bbc.com/indonesia/articles/cq5vvjj592qo