0% found this document useful (0 votes)
131 views14 pages

Epidemiologi Taeniasis Dan Sistiserkosis Di Papua

This document summarizes a study on the epidemiology of taeniasis and cysticercosis in Papua, Indonesia. The study found cases of both taeniasis and cysticercosis through seroepidemiological surveys conducted in 2007 and 2009 in several regions of Papua. Risk factors for the spread of the diseases included population mobility from endemic to non-endemic areas, poor environmental sanitation, low socioeconomic status, cultural factors, and low education levels. Interventions are needed from the Health Department, including mass deworming and health education, and from the Husbandry Department, including proper pig raising education and vaccination.

Uploaded by

sundaime
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
131 views14 pages

Epidemiologi Taeniasis Dan Sistiserkosis Di Papua

This document summarizes a study on the epidemiology of taeniasis and cysticercosis in Papua, Indonesia. The study found cases of both taeniasis and cysticercosis through seroepidemiological surveys conducted in 2007 and 2009 in several regions of Papua. Risk factors for the spread of the diseases included population mobility from endemic to non-endemic areas, poor environmental sanitation, low socioeconomic status, cultural factors, and low education levels. Interventions are needed from the Health Department, including mass deworming and health education, and from the Husbandry Department, including proper pig raising education and vaccination.

Uploaded by

sundaime
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 14

Jurnal Penyakit Bersumber Binatang, Vol. 2, No.

1, Juni 2014: 1 - 14

Kajian Aspek Epidemiologi Taeniasis dan Sistiserkosis


di Papua
Semuel Sandy
Balai Litbang Biomedis Papua
Alamat: Jl. Kesehatan Dok II. Jayapura
E-mail: [email protected]

Aspects of Epidemiology Studies Taeniasis and Cysticercosis


in Papua
Abstract. Taeniasis is an infection of the digestive tract by adult worm Taenia solium,
Taenia saginata, and Taenia asiatica. Cysticercosis is a disease infection of the soft
tissue caused by Taenia solium larvae. The diseases were found in Indonesia
especially Bali, North Sumatra and Papua Province , with prevalence range of 248%. Epidemiology analysis taeniasis and cysticercosis were very necessary to
understood the distribution pattern, prevalence and transmission of diseases (T.
solium life cycle). The results of Seroepidemiology survey conducted in 2007 by the
Health Departement of Papua Office in Paniai regency, Jayawijaya regency, Puncak
Jaya regency, and The Pegunungan Bintang regency were found cases of taeniasis
and cysticercosis. Survey conducted in 2009 by the Research and Development UPF
Papua in Jayapura city and Keerom District also found diseases taeniasis and
cysticercosis. The Risk factors and patterns spread of taeniasis-cysticercosis there
were the mobility of the population of carriers from endemic areas to non-endemic
areas. Poor environmental sanitation, socio-economic, cultural and low education
were also a factor affecting the spread of taeniasis and cysticercosis in Papua.
Intervention required by the Department of Health for the provision of mass deworming and health education for the community. The Departemen of Husbandry
were gave education and the right to counseled raised and vaccinated pigs.
Keywords: Taeniasis, Cysticercosis, Taenia solium, Taenia asiatica, Taenia
saginata.

Abstrak. Taeniasis merupakan infeksi pada saluran pencernaan oleh cacing


dewasaTaenia solium, Taenia saginata dan Taenia asiaticasedangkan sistiserkosis
merupakan penyakit/infeksi pada jaringan lunak yang disebabkan oleh larva Taenia
solium. Penyakit ini masih ditemukan di Indonesia khusunya Provinsi Bali, Sumatra
Utara dan Papua dengan kisaran prevalensi 248%. Analisis data epidemiologi
penyakit taeniasis dan sistiserkosis sangat diperlukan untuk memahami pola
distribusi, prevalensi dan cara penularan penyakit (siklus hidup T. solium).Hasil
survei seroepidemiologi yang dilakukan tahun 2007 oleh Dinas Kesehatan Provinsi
Papua di Kabupaten Pegunungan tengah (Kab. Paniai, Kab. Jayawijaya, Kab. Puncak
Jaya, dan Kab. Peg. Bintang) masih ditemukan kasus taeniasis dan sistiserkosis.
Sedangkan survei yang dilakukan oleh UPF litbangkes Papua di Kota Jayapura dan

KajianAspekEpidemiologi. (Sandy et. al)

Kab. Keerom juga ditemukan penyakit taeniasis dan sistiserkosis. Faktor risiko pola
penyebaran taeniasis dan sistiserkosis adanya mobilitas penduduk yang merupakan
carriers dari daerah endemi ke daerah non-endemik. Sanitasi lingkungan yang masih
buruk , sosial ekonomi, budaya masyarakat dan pendidikan yang masih rendah juga
merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit taeniasis dan
sistiserkosis di Papua. Diperlukan intervensi oleh Dinas Kesehatan berupa pemberian
obat cacing secara massal dan penyuluhan kesehatan bagi masyarakat sedangkan
Dinas Peternakan memberikan penyuluhan berternak yang benar dan memberikan
vaksinasi ternak babi.
Kata Kunci: Taeniasis, Sistiserkosis, Taenia solium, Taenia asiatica, Taenia
saginata.
PENDAHULUAN

aeniasis
dan
sistiserkosis
merupakan penyakit zoonosis
yang disebabkan oleh spesies
cestoda
Taenia
solium.Taeniasis
merupakan
infeksi
pada
saluran
pencernaan oleh cacing Taenia solium
dewasa
sedangkan
sistiserkosis
merupakan
penyakit/infeksi
pada
jaringan lunak yang disebabkan oleh
larva Taenia solium. Manusia merupakan
hospes defenitif utama penyakit Taenia
solium(1). Sedangkan hospest perantara
penyakit ini adalah hewan babi. Manusia
terinfeksi penyakit taeniasis dikarenakan
mengkomsumsi daging babi yang
terinfeksi larva Taenia solium. Taenia
solium menginfeksi sekitar 50 juta
manusia diseluruh dunia dan merupakan
salah satu permasalahan kesehatan di
negara sedang berkembang. Tingginya
mobilitas migrasi penduduk dari
negaraendemik ke negara maju (negara
industri) menyebabkan kompleksnya
pola penyebaran taeniasis-sistiserkosis,
sehingga menjadi issue permasalahan
kesehatan diseluruh dunia. Taeniasis dan
sistiserkosis dikategorikan oleh WHO
sebagai
Neglected
Tropical

Deseases(NTDs)
atau
Neglected
(2)
Zoonotic Deseases (NZDs) .
Taeniasis dan sistiserkosis tersebar di
negara berkembang dengan faktor risiko
pada system sanitasi dan pemeliharaan
yang buruk. Taeniasis merupakan
penyakit infeksi endemik di negara
Amerika Tengah dan Amerika Selatan,
di Asia seperti Korea, Cina, Filipina,
Thailand, Afrika, Eropa Timur, Nepal,
Buthan,
India
dan
Indonesia(3).
Prevalensi tertinggi ditemukan di
Amerika Latin, Asia dan Afrika(4).
Daerah endemik memiliki persentase
penyakit neurosistiserkosis (NCS) yang
tinggi dengan gejala kejang-kejang
(epilepsi) dan gangguan saraf lainnya (5).
Hal ini disebabkan karena larva cacing
sistiserkus menginfasi jaringan otak
sehingga menyebabkan kejang (epilepsi),
hydrocephalus dan manifestasi gangguan
saraf (6).
Taeniasis
merupakan
masalah
kesahatan yang penting di Indonesia.
Terdapat tiga jenis cestoda yang banyak
menginfeksi masyarakat yaitu T.solium,
T.saginata dan T.asiatica. Taeniasis
yang
disebabkan
oleh
cestoda

Jurnal Penyakit Bersumber Binatang, Vol. 2, No. 1, Juni 2014: 1 - 14

T.soliumdan
T.
saginata
banyak
ditemukan di daerah Bali, taeniasis yang
disebabkan oleh T.asiatica banyak
ditemukan di Pulau Samosir Sumatra
Utara dan taeniasis yang disebabkan oleh
T.solium banyak ditemukan di Irian Jaya
(sekarang Papua)(7).
Daerah endemik taeniasis dan
sistiserkosis di Indonesia yaitu Bali,
Papua dan Sumatra Utara (8). Prevalensi
penyakit taeniasis dan sisitiserkosis
berada pada rentang 2% 48%, dimana
prevalensi tertinggi di daerah Papua pada
tahun 1997 (9).
Subahar (2001)
melaporkan prevalensi di Jayawijaya
50,1% (160 sampel darah) positif
sistiserkosis pada uji immunoblot(10). Di
daerah Bali ditemukan 1,65% (363
sampel) positif sistiserkosis pada uji
immunoblot(11). Sejak tahun 2002-2009
survey taeniasis dan sistiserkosis pada
660 orang menggunakan metode deteksi
mitokondria DNA di temukan 80 kasus
positif
terinfeksi
T.saginata
dan
T.solium, juga ditemukan 12 kasus
neurosistiserkosis(12).
METODE
Bahan
penulisan
artikel
ini
merupakan kajian dari beberapa pustaka
dan artikel jurnal yang terkait dengan
epidemiologi penyakit taeniasis dan
sistiserkosis di Indonesia dan beberapa
Negara yang terjadi kasus tersebut.
PEMBAHASAN
A. Siklus HidupTaenia solium
Manusia merupakan definitivehost
cacing pita dewasa, sedangkan larva

cacing (cisticercus cellulosae) terdapat


dalam bentuk kista di dalam jaringan
organ babi (hospes perantara). Cacing
dewasa akan melepaskan segmen gravid
dan pecah di dalam usus sehingga telur
dapat di temukan dalam tinja penderita
dan dapat bertahan beberapa bulan di
lingkungan. Telur yang keluar bersama
tinja jika termakan oleh babi, di dalam
usus babi telur akan pecah dan onskofer
akan terlepas. Onskofer memiliki kait
sehingga dapat menembus dinding usus
dan masuk dalam sirkulasi darah.
Onskofer menyebar ke jaringan dan
organ tubuh babi yaitu lidah, otot leher,
otot jantung, dan otot gerak. Dalam
waktu 60-70 hari onskofer akan berubah
menjadi larva sistiserkus.Infeksi pada
manusia terjadi karena mengkomsumsi
daging babi mentah atau kurang matang
yang mengandung larva sistiserkus. Di
saluran cerna skoleks mengalami
eksvaginasi dan melekatkan diri dengan
alat isap di dinding usus. Skoleks akan
tumbuh menjadi cacing dewasa dan
kemudian membentuk strobila. Dalam
waktu 2-3 bulan telah tumbuh menjadi
cacing
dewasa
yang
mampu
menghasilkan telur untuk meneruskan
daur hidupnya(13). Taenia solium panjang
sekitar 7 meter dan dapat menghasilkan
50.000/tiap proglotid.
B. Gejala Klinis
Gejala penderita taeniasis umumnya
yaitu berupa rasa tidak enak pada perut,
gangguan pencernaan, diare, konstipasi,
sakit kepala dan anemia.Pemeriksaan
darah
tepi
terdapat
gambaran
peningkatan eosinofil. Sistiserkosis pada
otak (neurosistiserkosis) dengan gejala

KajianAspekEpidemiologi. (Sandy et. al)

gangguan motorik, kelainan saraf


sensorik maupun gangguan mental
penderita. Sistiserkosis pada bola mata
menyebabkan nyeri bola mata, gangguan
pengelihatan dan kebutaan. Sedangkan
pada
otot
jantung
menyebabkan
takikardia, sesak napas, sinkop dan
gangguan irama jantung (13).
C. Metode Diagnosis Taeniasis dan
Sistiserkosis
Diagnosis taeniasis pada penderita
untuk menemukan telur Taenia solium,
menggunakan
metode
konsentrasi
formol-eter.
Sampel
tinja
di
awetkan/fiksasi dalam formalin 10%
dan untuk menemukan proglotid
menggunakan saringan kawat tahan karat
40 mesh(14,15). Diagnosis juga dapat
dilakukan menggunakan coproantigen
test yaitu menggunakan ELISA untuk
mendeteksi antigen taenia di fases
dengan capture antibodypoliclonal IgG
dari rabbit metode ini dikembangkan
oleh Allan (1990) dan Rodriguez-Canul
(1999). Identifikasi proglotid pada tinja
mengunakan metode multiplex PCR yang
dikembangkan Yamasaki (2004)(16,17,18).
Diagnosissistiserkosis
menggunakanEnzyme-Linked
Immunoelectrotransfer Blot (EITB)
Assayyang dikembangkan oleh Tsang
(1989) dan diproduksi oleh Immunetics
(Cambridge, MA)(19). Sistiserkosis di
jaringan otak atau jaringan lunak dapat
juga didiagnosis mengunakan Computed
Tomography (CT) scanning, Magnetic
Resonance Imaging (MRI) dan X-ray
jika sistisersi mengalami kalsifikasi (20).

D. Epidemiologi Taeniasis dan


Sistiserkosis di Papua
Kasus taeniasis di Indonesia pertama
kali dilaporkan berasal dari Irian Jaya
tahun 1970, dimana ditemukan 9% fases
dari
170
pasien
RS
Enarotali
menggandung telur Taenia spp. Seluruh
pasien kemungkinan terinfeksi Taenia
solium dikarenakan semua pasien
memiliki hewan ternak babi sedangkan
hewan ternak sapi hanya sedikit dan
hanya dimiliki oleh para pendatang (21).
Survey di Desa Obano dekat Enarotali
pada pemeriksaan 350 sampel tinja
ditemukan sebanyak 2% positif telur
Taenia spp(22). Pada saat tersebut
ditemukan outbreak banyak masyarakat
yang mengalami luka bakar akibat
terjatuh di perapian akibat kejang-kejang
(epilepsi) (23). Pada tahun 1978 Subianto
dkk. melaporkan kasus luka bakar yang
disebabkan oleh gejala kejang-kejang
(epilepsy). Jumlah kasus luka bakar di
RS Enarotali tahun 1973 sangat sedikit,
namun priode 1973-1976 terjadi
peningkatan kasus 275 orang. Pada
kelompok umur 11 tahun keatas
ditemukan 88 kasus gejala kejangkejang, adanya nodul subkutan (benjolan
kecil di bawah kulit) 33,1% dan
pemeriksaan fases ditemukan proglotid
dan telur Taenia spp 16,6%(24).
Tahun 1991 dilaporkan terdapat 95
kasus serangan kejang-kejang di distrik
Jayawijaya (sekarang Kab. Jayawijaya)
bagian timur Distrik Paniai (sekarang
Kab. Paniai) yang mirip kasusnya seperti
di Desa Obano. Tahun 1994-1995
terdapat 638 kasus dan 945 kasus baru
yang dilaporkan oleh 20 unit pelayanan
kesehatan (Puskesmas). Angka kematian

Jurnal Penyakit Bersumber Binatang, Vol. 2, No. 1, Juni 2014: 1 - 14

dalam dua tahun terakhir tersebut yaitu


6-8 orang(24). Penyebaran ini terjadi
karena masyarakat umumnya berjalan
kaki bersama hewan ternak babi untuk
tujuan berdagang ke Distrik Jayawijaya,
sehingga babi yang terinfeksi larva
Taenia solium dan orang yang menjadi
carriers taeniasis juga beremigrasi
menyebarkan
penyakit
taeniasis,
sistiserkosis dan neurosistiserkosis.
Penelitian
seroepidemiologi
yang
dilakukan Subahar (2001) menggunakan
metode immonoblot menyebutkan dari
160 sampel dari 18 kampung di Distrik
Jayawijaya
ditemukan 81 positif
(10)
(50,6%) .
Papua terletak dibagian Timur
Indonesia dengan topografi pegunungan
dan daerah pantai. Penduduk umumnya
hidup
dari
bertani,
pedangan
(wiraswasta) dan bekerja di Instansi
Pemerintah (PNS). Kasus taeniasis dan
sistiserkosis di provinsi ini pertama kali
ditemukan di Distrik Enarotali Paniai,
diawali kasus luka bakar stadium

duayang parah akibat serangan epilepsi.


Penyakit taeniasis dan sistiserkosis
berdampak pada masyarakat khususnya
bidang kesehatan karena akan terjadi
gangguan penyerapan nutrisidan zat besi
pada usia anak-anak. Penduduk yang
terinfeksi sistiserkosis jika mengalami
kejang dan tidak sadar sehingga terjatuh
diperapian pada saat tidur malam hari.
Penderita
yang
sedang
memancing/menjala di sungai atau danau
dapat tercebur akibat serangan kejang
mendadak sehingga penderita tenggelam
(23)
.Hasil survey penelitian terakhir
menyebutkan bahwa prevalensi penyakit
taeniasis 42,7% di daerah Kabupaten
Jayawijaya.Data terbaru hasil survei
seroepidemiologi menggunakan EnzymeLinked Immunoelectrotransfer
Blot
(EITB) yang dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Provinsi tahun 2007 di empat
Kabupaten yaitu Kab. Jayawijaya, Kab.
Paniai, Kab.Peg.Bintang, Kab. Puncak
Jaya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Distribusi Jumlah Kasus Taeniasis dan Sistiserkosis di Beberapa


Kabupaten di Provinsi Papua Menggunakan Metode Survey
SerologiEnzyme-Linked Immunoelectrotransfer Blot (EITB).
Persentase (%)

Kab.

Kab. Paniai

Kab. Pegunungan

Kab. Puncak

Penyakit

Jayawijaya

(N = 631)

Bintang (N= 385)

Jaya (N= 647)

(N= 1251)
Sistiserkosis

20,8

27,5

2,0

1,6

Taeniasis

7,5

9,9

10,2

1,6

Sumber : Laporan Survey Kesehatan Daerah Penyakit Taeniasis dan Sistiserkosis di


Papua,Dinas Kesehatan Propinsi Papua Tahun 2007
Dari survei tersebut jumlah kasus
taeniasis dan sistiserkosis masih banyak
ditemukan di Kab. Paniai dan

Kab.Jayawijaya dengan prevalensi masih


tinggi.
Prevalensi
taeniasis
dan
sistiserkosis masih rendah di Kabupaten

KajianAspekEpidemiologi. (Sandy et. al)

Puncak Jaya dan Kab. Peg. Bintang hal


ini
disebabkan
karena
topografi
kabupaten tersebut merupakan daerah
pegunungan di banding Kab. Paniai yang
merupakan topografi daratan dan daerah
Danau
Enarotali, sedangkan Kab.
Jayawijaya merupakan kawasan dengan
topografi Lembah Balliem di mana
masyarakat lebih mudah berimigrasi
antar daerah tersebut untuk berdagang.
Walaupun demikian
terdapat pola
pergerakan penyebaran taeniasis dan
sistiserkosis di daerah pegunungan
tengah (Kab. Puncak Jaya) menuju Kab.
PegununganBintang dan perbatasan
Papua Nugini.Penelitian oleh Bangs
(1996)
melaporkan
tidak
terjadi
penularan taeniasis dan sistiserkosis di
daerah
tersebut.
Kontras dengan
penelitian Gajdusek (1978) yang
menyebutkan terdapat kasus taeniasis di
Oksibil Kab. Pegunungan Bintang. Data
survei terbaru oleh Dinas Kesehatan

Provinsi telah membuktikan bahwa


penyakit taeniasis dan sistiserkosis telah
ada di Kab. Pegunungan Bintang(25,26).
Masih tingginya prevalensi kasus
taeniasis dan sistiserkosis di daerah
pegunungan tengah disebabkan masih
rendahnya
tingkat
pendidikan
masyarakat, sanitasi lingkungan dan
higiene personal yang masih kurang,
tingkat pengetahuan terhadap penyakit
ini masih kurang, sosial-ekonomi dan
budaya
yang berbeda-beda, cara
memelihara hewan ternak yang masih
tradisional
(tidak
dikandangkan)
sehingga penyakit ini terus dapat
bertahan di daerah tersebut.
Servei seroepidemiologi tahun 2009
yang dilakukan oleh UPF Litbangkes
Papua (sekarang Balai Litbang Biomedis
Papua) di Kota Jayapura dan Kabupaten
Keerom diperoleh jumlah kasus taeniasis
dan sistiserkosis dapat dilihat pada Tabel
2.

Tabel 2. Distribusi jumlah kasus taeniasis dan sistiserkosis di Kota Jayapura


dan Kabupaten Keerom Provinsi Papua menggunakan metode survei
serologi enzyme-linked immunoelectrotransfer blot(EITB).
Persentase (%)

Kota Jayapura

Kab. Keerom

Penyakit

(N = 1251)

(N = 631)

Sistiserkosis

0.8

6,1

Taeniasis

0,9

4,2

Sumber: UPF Litbangkes Papua (Balai Litbang Biomedis Papua) Tahun 2009
Dari hasil penelitian tersebut dapat
disimpulkan bahwa daerah perkotaan
juga telah terkena dampak pola
penyebaran taeniasis dan sistiserkosis.
Hal ini karenakan mobilitas penduduk
dari daerah endemik dan juga hewan
ternak babi yang terinfeksiTaenia solium
antar daerah di Provinsi Papua tidak

dapat dihindari. Di daerah perkotaan juga


masih ditemukan beberapa hewan ternak
babi yang tidak di kandangkan sehingga
bebas berkeliaran sehingga untuk
memutuskan rantai penyebaran penyakit
akan sulit. Jika dibandingkan dengan
survey penelitian yang dilakukan tahun
2002-2005 pada beberapa daerah di

Jurnal Penyakit Bersumber Binatang, Vol. 2, No. 1, Juni 2014: 1 - 14

Provinsi Bali (Gianyar, Badung, Karang


Asem, Denpasar) taeniasis lebih banyak
disebabkan oleh T.saginata. Hal ini
berbeda
dengan
taeniasis
dan
sistiserkosis yang disebabkan oleh
T.solium sudah jarang ditemukan, karena
adanya perbaikan sanitasi lingkungan
dan
ternak
babi
sudah
dikandangkan.Survey yang dilakukan
tahun 2002-2006, dari 590 orang dari
empat desa di Bali yang diperiksa tidak
ditemukan adanya taeniasis yang
disebabkan T.solium, riwayat kejang, dan
nodul subkutan. Sedangkan di daerah
Sumatra
Utara
survey
taeniasis/sistiserkosis tahun 2003-2006
pada 240 orang masyarakat lokal,
ditemukan taeniasis yang disebabkan
oleh T.asiaticadan hasil survei tidak
ditemukan bukti keberadaan T.solium
dan T.saginata(7).
E. Faktor risiko yang mempengaruhi
Penyebaran
Taeniasis
dan
Sistiserkosis
Penelitian yang dilakukan oleh
Carrique-Mas
(2001)
menyebutkan
bahwa faktor risiko penyebara taeniasis
dan sistiserkosis adalah umur, sanitasi
yang buruk, tingkat pendidikan yang
rendah dan tidak mampu mengenal
daging babi yang terinfeksi larva Taenia
solium.Fan
(1992)
menyebutkan
kebiasaan komsumsi makanan juga
merupakan faktor risiko terjadinya
penyakit taeniasis. Orang asia timur
memiliki kebiasaan mengkomsumsi
makanan
mentah/setengah
matang
daging atau usus hewan.Penelitian yang
dilakukan
oleh
Purba
(2002)

menyebutkan beberapa faktor yang


mempengaruhi terjadinya sistiserkosis
yaitu: jenis kelamin, kebiasaan mencuci
tangan, kebiasaan mandi, tingkat
pendidikan, jenis penerjaan, penyajian
daging babi, kebiasaan buang air besar,
sumber air minum, dan masak air
minum(27,28,29).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Dinas Kesehatan Provinsi Papua dan
UPF Litbangkes Papua diperoleh
gambaran mengenai keadaan masyarakat
secara umum dapat di lihat pada table 3.
Tabel 3 menunjukkan bahwa sumber
air utama untuk keperluan masak dan
minum di empat kabupaten tersebut yaitu
air sungai dan mata air. Pengolahan air
untuk keperluan minum dapat menjadi
sumber penularan penyakit parasitik
apalagi ditunjang oleh kebiasaan
membuang air besar di sungai. Dari data
tersebut juga terlihat masyarakat masih
memiliki kebiasaan buang air besar
disembarang tempat. Sehingga jika
hewan ternak babi yang tidak di
kandangkan dapat memakan kotoran
manusia terinfeksi taeniasis sehingga
siklus hidup Taenia solium tetap
bertahan lama. Riwayat keluar cacing
Taenia spp masih tinggi dimasyarakat
tapi untuk memastikan spesies cacing
tersebut masih dibutuhkan penelitian
lebih lanjut. Juga masih ditemukan kista
di badan dan riwayat kejang pada
responden sehingga untuk memastikan
apakah terinfeksi sistiserkosis dan
neurosistiserkosis memerlukan skrining
lanjutan berupa CT scan atau RMI
sehingga dapat memperkuat diagnosis.

KajianAspekEpidemiologi. (Sandy et. al)

Tabel 3. Analisis deskriptif responden di empat kabupaten lokasi penelitian di


Provinsi Papua(32).
Uraian Kondisi Responden

Kab.
Jayawijaya
(N = 1.252)

Kab.
Paniai
(N = 631)

Kab.
Pegunun
gan
Bintang
(N = 385)

Kab.
Puncak
Jaya
(N = 647)

Perempuan (%)
Laki-Laki (%)

48.5
51.5

56.3
43.7

47.1
52.9

50.1
49,9

Kelompok Umur (%)


12 tahun
13 18 tahun
18 59 tahun
60 tahun

18.8
13.2
60.6
7.4

28.5
16.5
53.6
1.4

16.3
14.4
69.0
0.3

21.1
11.0
64.5
3.4

Sumber Air Minum (%)


sumur
sungai
mata air
penampung air hujan
lainnya

20.3
44.1
17.3
10.9
7.3

1.8
19.6
11.6
54
13

1.6
70.5
6.6
21.3
0

0.2
9.9
77.1
6.8
6

Tempat Buang Air Besar (%)


Kakus
Ladang
Sembarang

25.1
14.4
60.5

82.1
8.2
9.7

31.8
54.8
13.4

45.2
8.1
46.7

Riwayat Keluar (%)


Cacing Taenia sp.
22.4
11.1
38.1
7.8
Riwayat Kejang (%)
8.9
11.9
6.3
2
Riwayat Pingsan (%)
19.2
25.5
29.6
2.9
Kista di badan (%)
4.3
14.6
2.6
1.2
Sumber: Laporan Survey Kesehatan Daerah Penyakit Taeniasis dan Sistiserkosis di
Papua, Dinas Kesehatan Provinsi Papua Tahun 2007
Analisis deskriptif mengenai keadaan
responden
survei
seroepidemiologi
taeniasis dan sistiserkosis di Kota
Jayapura dapat di lihat pada table 4.
Hasil analisis deskriptif menujukkan

masih banyak ditemukan responden


dengan riwayat keluar cacing pita pada
saat buang air besar sedangkan riwayat
kejang dan kista di badan hanya
ditemukan pada responden di Kota

Jurnal Penyakit Bersumber Binatang, Vol. 2, No. 1, Juni 2014: 1 - 14

Jayapura. Responden di perkotaan sudah


memiliki jamban dan sarana air bersih
sehingga tingkat pencemaran tinja di
tanah dan sungai menjadi rendah.
Mobilitas penduduk dari daerah endemik
(Kab. Paniai dan Kab. Jayawijaya) ke
Kota Jayapura baik yang mencari
pekerjaan atau melanjutkan pendidikan
tidak
dapat
dihindari
sehingga
penyebaran penyakit ini juga tidak dapat
terkendali. Manusia yang menjadi
carriers penyakit taeniasis dapat saja
menjadi sumber penularan penyakit ini
di kota atau daerah lain di Papua jika
didukung oleh sosial budaya masyarakat,
sanitasi lingkungan yang buruk, tingkat
pendidikan yang rendah,
tingkat
ekonomi yang rendah. Menurut Sancez
(1997) menyebutkan faktor risiko dari
kejadian taeniasis dan sistiserkosis yaitu
kemiskinan
(faktor
ekonomi),
ketersediaan air bersih, ketersediaan
jamban, pendidikan dan juga lantai
rumah yang masih terbuat dari tanah(30).
Jika dibandingkan dengan provinsi
lain (Bali dan Sumatra Utara) kejadian
taeniasis di kedua provinsi tersebut lebih
disebabkan oleh kebiasaan masyarakat
setempat dalam mengkomsumsi daging.
Di daerah Bali faktor risiko penularan
taeniais
di
masyarakat
yaitu
mengkomsumsi daging babi yang kurang

matang
yang
dicampur
bersama
darahnya (pork lawar). Sedangkan di
daerah Sumatra utara yang menjadi
faktor risiko penularan taeniasis yaitu
kebiasaan
masyarakat
yang
mengkomsumsi jeroan babi yang kurang
matang.
Sedangkan
kejadian
taeniasis/sistiserkosis di papua lebih
banyak
disebabkan
oleh
tingkat
pendidikan,
sanitasi
lingkungan,
kebiasaan mencuci tangan sebelum
makan (7).
F. Upaya Pengobatan
pengobatan
taeniasis
dan
sistiserkosis dapat dilakukan dengan
menggunakan praziquantel. Praziquantel
dapat membunuh dan menghacurkan
cacing dewasa Taenia solium di saluran
pencernaan usus atau sistisersi pada
jaringan parental. Dosis praziquantel 50
mg/kg BB dosis tunggal atau dosis
terbagi tiga selama 15 hari efektif untuk
sistiserkosis. Obat pilihan lain adalah
albendazole 15 mg/kg BB/hari dalam
dosis tunggal atau terbagi tiga selama 7
hari; Mebendazole 2 x 200 mg/hari
selama 4 hari (13).

KajianAspekEpidemiologi. (Sandy et. al)

Tabel 4. Analisis deskriptif keadaan responden di Kota Jayapura dan


Kabupaten Keerom Provinsi Papua(33)
Uraian Kondisi
Responden
Perempuan
Laki-Laki

Kota Jayapura
(N = 632)
358
274

Kab. Keerom
(N = 262)
124
128

Kelompok Umur
6-15 thn
16-35 thn
36-45 thn
46-55 thn
56 thn

207
274
72
52
27

108
102
33
10
9

Pendidikan
Tidak sekolah
SD
SMP
SMA
Sarjana

182
204
88
143
15

78
111
44
26
3

Beternak Babi

91

43

Sumber air minum


Sungai
Sumur galian
Air hujan
Air PAM
Mata air

9
80
27
66
8

4
47
31
0
0

Tempat Buang Air Besar


Jamban +air
140
Jamban tanpa air
5
Sungai
7
Kebun/sembarang tempat
20
Riwayat keluar cacing Taenia spp
76
Riwayat kejang
12
Kista di badan
2
Sumber: Laporan Penelitian UPF Litbangkes Papua 2009

58
8
6
4
41
0
1

10

Jurnal Penyakit Bersumber Binatang, Vol. 2, No. 1, Juni 2014: 1 - 14

G. Upaya Pencegahan
Upaya
pencegahan
penularan
penyakit taeniasis dan sistiserkosis dapat
di lakukan dengan cara antara lain(13,31):
1. Mengobati penderita (praziquantel,
mebendazole,
albendazole,
niclosamide dan atabrin) untuk
menghilangkan sumber infeksi dan
mencegah terjadinya autoinfeksi
dengan larva cacing.
2. Pengawasan terhadap penjualan
daging babi agar tidak tercemar oleh
larva cacing (sistiserkus).
3. Memasak daging babi di atas suhu
50C selama 30 menit untuk
mematikan larva sistiserkus atau
menyimpan daging babi pada suhu
10 C selama 5 hari.
4. Menjaga kebersihan lingkungan
dengan tidak buang air besar di
sembarang
tempat
(pemakaian
jamban
keluarga)
agar
tidak
mencemari tanah dan rumput
5. Menjaga higiene personal dengan
rajin mandi, mencuci tanggan
sebelum makan atau mengolah
makanan.
6. Memberikan vaksin pada hewan
ternakbabi
(penggunaan
crude
antigen yang berasal dari onkosfer,
sistisersi, atau cacing dewasa Taenia
solium)
7. Memberikan Cestosida (praziquantel,
dan oxfendazole) pada hewan ternak
babi.
KESIMPULAN
Studi epidemiologi penyakit
taeniasis
dan
sistiserkosis
untuk
memperoleh data dasar mengenai kondisi

11

masyarakat, distibusi dan pravalensi


penderita di daerah perkampungan dan
kota di Provinsi Papua. Praktik sanitasi
yang buruk, faktor sosial-ekonomi dan
cara memelihara hewan ternak yang
kurang baik, tingkat pendidikan yang
rendah, pengetahuan akan penyakit
taeniasis dan sistiserkosis di masyarakat
Papua masih rendah. Intervensi terhadap
faktor-faktor
risiko
dengan
cara
meningkatkan pengetahuan
melalui
penyuluhan kesehatan,pemberian obat
cacingpraziquantel secara massal baik
pada penderita (masyarakat)oleh Dinas
Kesehatan Papua danpemberian vaksin
dan obat pada ternak babioleh Dinas
Peternakan Papua dapat menurunkan
penularan taeniasis dan sistiserkosis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Yanagida, T, Sako Y, Nakao, M,
Nakaya, K, Ito, A. Taeniasis And
Cysticercosis Due To Taenia
Solium In Japan. Parasites &
Vectors 2012, 5:18
2. WHO. The Control of Neglected
Zoonotic
DiseasesCommunitybasedinterventions for Prevention
And Control.ISBN 9789241502528.
2011
3. Rajshekar, V, Joshi, D.D, Doanh
N.Q, Nguyen, van De, Xiaonong, Z.
Taenia
solium
taeniosis/cysticercosis in Asia:
epidemiology,impact and issues.
Acta Tropica 2003, (87)53-60
4. Del
Brutto,
O.H.,
Neurocysticercosisa review. Rev.
Neurol. 1999, 29 (5); 456-466.

KajianAspekEpidemiologi. (Sandy et. al)

5. Garca-Noval, J, Allan, J.C, Fletes,


C, Moreno, E, DeMata, F, TorresA lvarez, R, Soto de Alfaro, H,
Yurrita, P, Higueros-Morales, H,
Mencos,
F,
Craig,
P.S.
Epidemiology of Taenia solium
Taeniasis And Cysticercosis In Two
Rural Guatemalan Communities.
Am. J. Trop. Med. Hyg. 1996, 55
(3); 282-289.
6. Cook, G.C. Neurocysticercosis:
Parasitology, Clinical Presentation,
Diagnosis And Recent Advances In
Management, Q. J. Med. 1988, 68;
575-583.
7. Wandra, T, Sri S Margono, S.S,
Gafar, M.S, Saragih, J.M, Sutisna,
P, Nyoman, S, Dharmawan, N.S. et
al.
Taeniasis/Cysticercosis
in
Indonesia
1996-2006.
http://www.tm.mahidol.ac.th/seame
o/2007-38-suppl-1/38suppl1140.pdf diakses tanggal 19 Februari
2014.
8. Handojo I, Margono S.S. Cacing
Pita Yang Penting Di Indonesia.
Dalam:
Buku
ParasitologiKedokteran. Ed. 3.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI,2002;
92-96.
9. Simanjuntak, G.M, Margono, S.S,
Okamoto,
M,
Ito,
A.
Taeniasis/cysticercosis in Indonesia
As An Emergent Disease. Parasitol
1997, 13; 321-323.
10. Subahar, R, Hamid, A, Purba, W,
Wandra, T., Karma, C., Sako, Y.,
Margono, S.S, Craig, P.S, Ito, A.
Taenia Solium Infection In Irian
Jaya (West Papua), Indonesia:
APilot Serological Survey Of
Human And Porcine Cysticercosisin

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

Jayawijaya District. Trans. R. Soc.


Trop. Med. Hyg. 2001,95; 388-390.
Sutisna, I.P, Fraser, A, Kapti, I.N,
Rodriguez-Canul, R, Puta Widjana,
D, Craig, P.S, Allan, J.C.
Community Prevalence Study Of
Taeniasis and Cysticercosis in Bali,
Indonesia. Trop. Med. Int. Health
1999, 4; 288-294.
Wandra,
T,
Swadewi,
A.A.
Swastika I.K, Sutisna, P, Darmawan
N.S, Yulfi, H, Darlan D.M. Kapti
I.N, Samaan, G, Sato M.O,
Akamoto,
M,
Sako,Y,
A,
Ito.Taeniasis/Cystisercosis in Bali.
Indonesia. Southeast Asian J Trop
Med Public Health. 2011, 42(4);
793-802
Soedarto. Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran (Hand Book of Medical
Parasitology).
Sagung
Seto
Surabaya. 2011
Ritchie,
L.S.
An
Ether
Sedimentation
Technique
For
Routine Stool Examination. Bull.
US Army Med. Depart. 1948, 8;
326.
Melvin, D, Brooke, M. Laboratory
Procedures For the Diagnosis of
Intestinal
Parasites.
HHS
Publication No. CDC85-8282, 3rd
ed., 1982, reprint 1985. US
Department of Health and Human
Services. C.D.C. Atlanta Georgia,
1985; 105107, 116123.
Allan, J.C, Avila, G, Garcia, N.J,
Flisser,
A,
Craig,
P.S.
Immunodiagnosis Of Taeniasis By
Coproantigen
Detection.
Parasitology, 1990, 101; 473477.
Rodriguez-Canul, R, Fraser, A,
Allan, J.C, Dominguez-Alpizar,

12

Jurnal Penyakit Bersumber Binatang, Vol. 2, No. 1, Juni 2014: 1 - 14

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

13

J.L,Argaez-Rodriguez, F, Craig,
P.S. Epidemiological Study of
Taenia
solium
Taeniasis/Cysticercosis In A Rural
Village In Yucatan State, Mexico.
Ann. Trop. Med. Parasitol. 1999,
93;5767.
Yamasaki, H, Allan, J.C, Sato, M.O,
Nakao, M, Sako, Y, Nakaya,K, Qiu,
D, Mamuti,W, Craig, P.S, Ito, A.
DNA Differential Diagnosis Of
Taeniasis/Cysticercosis
By
multiplex PCR. J. Clin.Microbiol.
2004a, 42; 548553.
Tsang V.C, Brand J.A, Boyer, A.E.
An
Enzyme-Linked
Immunoelectrotransfer Blot Assay
And Glycoprotein Antigens For
Diagnosing Human Cysticercosis
(Taenia solium). J Infect Dis. 1989,
159;50-59.
Chin, J, Kandun I.N. editor. Manual
Pemberantasan Penyakit Menular
(P2M).
Edisi-17,
Departemen
Kesehatan. 2000
Tumada L.R, Margono S.S.
Cysticercosis in The Area Of The
Wissel Lakes, West Irian. Southeast
Asian J Trop Med Public Health
1973a, 4; 371-6.
Margono S.S et al. Intestinal
parasites in Obano, Irian Jaya,
Indonesia. Majalah Kedokteran
Indonesia. 1979, 29; 5658.
Subianto, D.B, Tumada, L.R,
Margono, S.S. Burns and Epileptic
Fits Associated With Cysticercosis
Inmountain People Of Irian Jaya.
Trop geogr Med. 1978, 30; 275-278.
Margono, S.S, Subahar, R, Hamid,
A, Wandra, T, Raka Sudewi, S.S,
Sutisna, P, and Akira Ito, A.

25.

26.

27.

28.

29.

30.

Cysticercosis In Indonesia :
Epidemiological Aspects. Southeast
Asian J Trop Med Public Health.
2001. 32(Supp 2);79-84
Bangs, M.J, Purnomo, Andersen,
E.M,
Anthony,
R.L,Intestinal
parasites of humans in a highland
community of Irian Jaya, Indonesia.
Ann Trop Med Parasitol 1996,
90(1); 49 53.
Gajdusek, D.C. Introduction of
Taenia solium into west New
Guinea with a note on an epidemic
of burns from cysticercus epilepsy
in the Ekari people of the Wissel
Lakes area. P N G Med J 1978,
21(4); 329-42.
Carrique-Mas,
J,
Iihosi,
N,
Widdowson M.A, Roca, Y, Morales
G, Quiroga, J, Cejas, F, Caihuara,
M, Ibarra, R, Edelsten, M. An
Epidemiological Study of Taenia
solium Cysticercosis In A Rural
Population In The Bolivian Chaco.
Acta Tropica. 2001, (80); 229235.
Fan,
P.C,
Chung,
W.C,
Sociocultural Factors And Local
Customs Related To Taeniasis In
East Asia. Kaohsiung J. MedSci.
1997; 13, 64-652.
Purba, W.H.W, Miko, Y.T, Ito
A.Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Sistiserkosis Pada
Penduduk
Kecamatan
Wamena,Kabupaten
Jayawijaya,
Propinsi Papua Tahun 2002,Makara,
Kesehatan, 2003; 7(2)56-62
Sancez, A.L, Medina, M.T,
Ljungstorm, I. Prevalence of
Taeniasis And Cysticercosis In A
Population Of Urban Residence In

KajianAspekEpidemiologi. (Sandy et. al)

Honduras, Acta Tropica,1998(69)


141149
31. Flisser, A, Perez-Montfort, R,
Larralde, C. The Immunology Of
Human And Animal Cysticercosis.
A review. Bull. World Health
Organ. 1979; 57, 839 -/856.
32. Salim L, Ang, A, Handali, S,
Laporan Survei Kesehatan Tahun
2007; Penyakit Sistiserkosis dan
Taeniais Kab. Jayawijaya, Kab.

Paniai, Kab. Puncak Jaya dan Kab.


Pegunungan Bintang Tahun. Dinas
Kesehatan Provinsi Papua. 2007
33. Salim, L, Juliana, A.M, Hasanah, N.
Laporan Penelitian Prevalensi dan
Faktor yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian
Sistiserkosis
Dan
Taeniasis di Daerah Perbatasan
Kota Jayapura dan Kab. Keerom
provinsi
Papua
2009.
UPF
Litbangkes Papua.2009.

14

You might also like