Jurnal Teori Kelompok Bungkam
Jurnal Teori Kelompok Bungkam
PENDAHULUAN
Media massa, sungguh menjadi primadona masyarakat modern. Indonesia, negeri yang
tengah kebanjiran media massa dengan berbagai ragam, jumlah, dan sederet permasalahannya,
semakin menambah persaingan yang kompetitif. Pelaku media seolah berlomba menyuguhkan
berita-berita menarik dan memikat hati para penggemarnya walaupun terkadang membentur alur
pasal undang-undang tentang pelaku medianya (pers). Berita hangat tentang representasi
perempuan misalnya, selalu menghiasi media massa walau pemberitaannya tidak terlepas oleh
persoalan idiologi di dalamnya.
Media massa dan perempuan bagaikan dua sisi mata uang yang tak bisa di pisahkan,
keduanya memiliki kaitan erat yang berjalin berkelindan seakan saling melengkapi. Tidak sedikit
pula perempuan memanfaatkan jasa media massa demi meningkatkan popularitasnya, sementara
media massa meginginkan adanya nuansa khas dari sosok perempuan, misalnya media
membidik perempuan dari sisi keberhasilan karir dan jabatannya, ketegarannya menyikapi sebuah
persoalan besar, kenekadannya dalam melakukan sesuatu, bahkan keberaniannya untuk
memperlihatkan auratnya.
Sisi lain, banyak kalangan yang tengah asyik membicarakan soal perempuan dan
JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013
ISSN : 2087-9830
65
Charles J. Adams
Kehidupan
DosenAntara
di Universitas
Reduksionisme
Terbukadan
dalam
Anti-Reduksionisme
Perspektif Dosendalam
Perempuan
Kajiandengan
AgamaAnak
66
Abdul Kadir
Mustain
Riyadi
sebagai yang memiliki ide berita, dan perempuan serta minoritas seksual sebagi objek berita,
objek seks, dan objek sensasi, sehingga muncul stereotip perempuan yang baik adalah perempuan
yang mampu tampil menawan, pandai mengurus rumah tangga, memasak, tampil prima untuk
menyenangkan suami, dan pantas diajak berbagai acara. Itulah stereotip yang dibangun tentang
perempuan yang mendapat kritikan sebagai citra yang sering memojokkan perempuan.
Perempuan ada dan dijadikan komoditas oleh media yang berdiri dengan basis ideologi
di balik proses representasi tersebut. Konstruksi sosial dan kebudayaan mengkristal menjadi
sebuah ideologi yang bias gender. Memposisikan perempuan subordinat di bawah laki-laki.
Bias gender, berbarengan dengan ideologi kapitalis, dan budaya patriarkat selanjutnya banyak
mewarnai media, dan secara sadar atau tidak sadar kemudian menyosialisasikan pada publiknya.
Balutan ideologi kapitalis, budaya patriarkat akhirnya tidak lepas dari diri penulis (wartawan)
dan redaksi media dengan kemampuan agenda medianya untuk ber-andil besar dalam
menyosialisasikan dan sekaligus memperteguh persoalan ketidakadilan gender yang terjadi
selama ini, dan bias gender ini akan semakin tampak manakala media melakukan representasi
ini melalui teks-teks yang dikandungnya. Serangkaian penelitian yang terkait dengan persoalan
kesetaraan peran, fungsi, dan kedudukan perempuan dalam format sosial dan kebudayaan
mewarnai sekian banyak kajian penelitian sosial saat ini.2
Metoda apapun yang akan digunakan dalam setiap penelitian akan sangat tergantung pada pertanyaan penelitian
yang diajukan. Karenanya, ada dua pendekatan yang digunakan untuk menjawab serangkaian pertanyaan tersebut;
untuk melihat representasi media (dalam penelitian ini adalah Harian Suara Merdeka dan Koran Sore Wawasan)
digunakan metoda analisis isi, dan untuk menjawab pertanyaan tentang sejauh mana pengaruh representasi penulisan
berita tentang perempuan terhadap persepsi pembacanya digunakan metoda survey. Dengan analisis isi, secara kuantitatif
dapat diungkapkan sejauh mana perhatian media pada persoalan-persoalan perempuan dan gender, dan dengan
metoda survey diupayakan untuk menemukan jawaban mengenai keterkaitan antara isi media dengan persepsi pembaca
tentang gender. Dari 22 teks yang dimuat di harian Suara Merdeka dan 32 teks dari koran sore Wawasan yang diamati,
berikut wawancara dengan 33 orang respondan menunjukkan beberapa hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan dari
penelitian ini: 1) bahwa sebaran informasi bermuatan gender pada umumnya dapat ditemukan pada hampir setiap
halaman pemberitaan, baik di Suara Merdeka maupun di Wawasan. Namun demikian, sekalipun tersebar di hampir
setiap halaman kedua media tersebut, namun berita atau tulisan tentang perempuan berdimensi gender yang diangkat
sebagai berita utama proporsinya dapat dikatakan relatif kecil. Kondisi yang kurang lebih sama akan ditemui manakala
pengarnatan dilakukan terhadap ukuran (cm kolom) pemuatan berita dengan muatan persoalan gender, sebagian
besar ditampilan dalam ukuran yang relatif kecil, setidaknya bila dibandingkan dengan topik-topik berita yang lain. 2)
sekalipun Suara Merdeka dan Wawasan Bukan merupakan local newspaper, namun demikian karena sebagian besar
pangsa pasarnya adalah pembaca di Jawa Tengah dan sekitarnya, maka sebagian besar berita bermuatan gender ini
dapat dikatakan merupakan berita yang peristiwa maupun narasumbernya dari daerah setempat. Sisi yang cukup
memprihatinkan dari pemuatan berita gender di kedua media ini adalah minimnya penulisan informasi dalam bentuk
opini dan feature. Minimnya penulisan dalam bentuk opini dan feature ini ternyata diikuti pula oleh banyaknya sajian
berita bermuatan gender yang ditulis dalam format stright news. Berita pendek yang menerangkan tentang 5W dan H.
3) apabila data mengenai sumber berita menu njukkan bahwa sebagian besar sumber berita berasal dari masyarakat
(45,45% SM dan 34,38% Wws) maka harus dibaca dengan cermat dan kritis, apakah persoalan gender dalam media
diangkat oleh elemen-elemen masyarakat umum, merepresentasikan kondisi yang terjadi dalam masyarakat, atau
justru bias gender ini muncul karena perspektif penulis -dalam hal ini wartawan- pada saat mengangkat sebuah fakta
menjadi berita dengan berpihak pada pilihan kata-kata atau kalimat tertentu ? 4) tampaknya informasi atau berita yang
terkait dengan perempuan bukan hal yang menarik untuk para pembaca Suara Merdeka dan Wawasan. Relatif sebagian
kecil dari pembaca yang berminat, memberikan perhatian dan mengikuti perkembangan informasi yang terkait dengan
perempuan. Kecil sekali dijumpai adanya responden yang secara khusus mencari informasi tentang perempuan.
2
67
Charles J. Adams
Kehidupan
DosenAntara
di Universitas
Reduksionisme
Terbukadan
dalam
Anti-Reduksionisme
Perspektif Dosendalam
Perempuan
Kajiandengan
AgamaAnak
68
Abdul Kadir
Mustain
Riyadi
menanggapi berita-berita kekerasan seksual terhadap perempuan. Belum lagi masalah kekerasan
gender dalam bingkai pornografi. Miskipun terdapat berbagai perbedaan mengenai pornografi,
umumnya kegiatan itu sendiri dianggap sebagai pelecehan seksual terhadap salah satu jenis
kelamin. Jenis kekerasan perempuan dalam budaya pornografi tersebut termasuk kekerasan
yang bersifat nonfisik,(Mansour Fakih, 2000) yakni kekerasan dalam bentuk pelecehan terhadap
kaum perempuan dijadikan objek demi keuntungan industri media.
Ketika media memberitakan peristiwa pemerkosaan dan disebutkan perempuan korban
berkulit kuning langsat dan bertubuh sintal, maka penulisan peristiwa perkosaan itu telah
menjadikan perempuan korban sebagai korban untuk kedua kalinya (revictimized). Pertama, dia
menjadi korban kekerasan fisik pemerkosa, kedua, dia menjadi korban penulisan, seolah karena
kulitnya yang kuning dan tubuhnya yang sintal itulah yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan
atas diri perempuan itu.
Sorotan media lewat sinetron, talk show, tayangan komedi, atau rubrik tertentu di media
cetak, juga kerap kita dapati visualisasi berupa siulan nakal, humor porno, komentar berkonotasi
dan mengarah ke pelecehan kemampuan seksual lawan jenis, colekan atau tepukan di bagian
tubuh tertentu. Semua ini merupakan manifestasi pelecehan seksual yang sayangnya tidak
dianggap sebagai sebuah persoalan oleh pekerja media.
Film dan sinetron adalah wujud dari sebuah kreativitas. Kemurnian dan cita rasa hasil
karya anak bangsa wajib disesuaikan dengan nilai-nilai luhur bangsa ini. Bangsa yang religius
dan ingin menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Namun semua itu masih jarang terjadi di
negeri ini. Masih banyak beredar film atau sinetron dalam masyarakat yang perhitungan bisnisnya
sangat tinggi. Lagi-lagi film atau sinetron yang dibuat adalah film atau sinetron sebagian besar
hanya memuaskan mata penonton (dominasi laki-laki). Mereka menggunakan perempuan sebagai
daya tarik dengan berbagai tindak eksploitasi yang sebenarnya merugikan perempuan itu sendiri
dan perempuan-perempuan secara umum, karena mengukuhkan stereotip yang ada. Tetapi,
kalangan pengusaha dan orang-orang di belakang industri media massa selalu menolak dikatakan
mengeksploitasi. Mereka berdalih bahwa itu adalah kreativitas. Jenny Hardono, seorang creative
director dalam Seminar Nasional tentang perempuan di Surabaya menyatakan bahwa kreativitas
bisa dilakukan dengan banyak cara, tidak harus dengan membuka baju perempuan (Nurul
Arifin, 2001).
Sisi lain perempuan dalam sorotan media adalah perempuan dalam dunia periklanan yang
tidak kalah citranya pada dunia TV, media cetak, film, dan sinetron. Perempuan masih diposisikan
sebagai objek seks karena banyak iklan yang sebetulnya tidak perlu menghadirkan perempuan,
tetapi memaksakan diri memasang perempuan dalam iklannya. Sebagai contoh iklan mobil,
iklan pompa air, iklan rokok, iklan minuman energi untuk laki-laki, kondom, dan sebagainya.
Iklan-iklan tersebut sengaja menghadirkan perempuan karena perempuan punya seluruh karakter
yang dianggap bisa diperjualbelikan: kecantikan, kemolekan tubuh, dan objek seks.
69
Charles J. Adams
Kehidupan
DosenAntara
di Universitas
Reduksionisme
Terbukadan
dalam
Anti-Reduksionisme
Perspektif Dosendalam
Perempuan
Kajiandengan
AgamaAnak
Perempuan tidak hadir sebagi suatu pribadi, tapi hanya simbol-simbol untuk menyenangkan
penonton yang didominasi laki-laki. Tidak heran jika banyak iklan yang cuma memasang bibir
yang sensual, paha, betis, ataupun perut mulus. Sementara, wajah dan identitas si perempuan
tidak ditampilkan, karena dianggap anggota tubuhnya sudah punya daya jual, dan mereka
memang cuma perlu itu. Iklan juga masih menampilkan mistifikasi bahwa perempuan adalah
pelengkap hidup laki-laki. Ia cuma objek dari kehidupan laki-laki, sehingga perempuan tidak
pernah bisa mengambil keputusan atas dirinya sendiri tanpa laki-laki.
Misalnya pada iklan obat kuat, Jika dianalisis lebih lanjut terdapat nilai-nilai gender yang
selalu berusaha diusung. iklan di media yang mengabadikan atau mereproduksi stereotip lakilaki dan perempuan dalam peran tradisional mereka, dalam iklan obat kuat, relasi antara lakilaki dan perempuan dalam urusan hubungan seksual masih menunjukkan ketimpangan.
Perempuan dalam iklan stimulan seksual dicitrakan menjadi pihak yang kalah atau selalu harus
melayani dan memenuhi kebutuhan laki-laki dalam hubungan seksual. Sementara itu, laki laki
dicitrakan memiliki kontrol terhadap seksualitas kaum perempuan jika ia mengonsumsi alat
atau obat seks tersebut. Dalam iklan itu pula, acap kali perempuan dicitrakan sebagai objek
seksual bagi laki-laki macho dan perkasa.
Begitu pula dengan keniscayaan struktur kalimat dalam gender. Misalnya, ada kesepakatan
legal membudaya bahwa yang bisa mengawini dan menceraikan adalah lelaki, sedangkan
perempuan, sabar atau tidak, hanya bisa dikawin dan diceraikan saja. Dalam keadaan
terpaksa, pihak perempuan yang merasa sudah tidak percaya lagi pada lelaki, akan bertindak
aktif dan menuntut. Biarpun demikian, tetap saja, dia hanya bisa minta dikawin dan minta
diceraikan. Maka, langsung bisa ditebak siapa yang diacu saya, kamu, dan dia dalam
kalimat-kalimat percakapan salah satu acara RCTI (Masihkah kau mencintaiku).3
Dengan mengubah generalisasi ini ke dalam kasus tertentu mengenai wanita di dalam
budaya, Edwin Ardener mengamati bahwa antropologi sosial mengkaji pengalaman-pengalaman
wanita dengan berbicara hampir secara eksklusif dengan pria. Oleh karena itu, tidak hanya
para wanita yang harus menghadapi kesulitan dari bahasa yang tidak sepenuhnya memberikan
Kalimat-kalimat percakapan salah satu acara RCTI (Masihkah Kau Mencintaiku) sebagai berikut; 1. Saya mau
berubah menjadi suami yang baik asal kamu tidak menuntut macam-macam 2. Seandainya sekedar boros saja, aku
masih bisa menerima. Tapi, masalahnya dia itu selingkuh. Maka, tak ada piliha lain. Aku akan menceraikannya,
meskipun sebenarnya aku cinta. Sebagaimana seandainya pihak perempuan yang lebih kaya, berkuasa, berkedudukan,
lebih tinggi statusnya daripada lelaki? Selama jarum sejarah budaya masyarakat masih berputar pada lingkaran ideologi
patriarki, obsesi perempuan untuk dapat mengawini dan menceraikan lelaki benar-benar bagai melukis dalam air.
Sungguh utopis! Dalam tuntutan struktur bahasa, sepanjang ada fungsi grammatikal subjek (S), predikat (P), kemudian
juga objek (O) dan keterangan (K), dengan pola urutan ketat P-O dengan letak S dan K manasuka, kalimat Shinta
mengawini Romi, atau Ujang dicerai Leli, apa salahnya; Tetapi, soal bahasa bukan hanya struktur, melainkan juga
realitas kultur. Dalam kultur masyarakat kita, seorang perempuan dapat kawin dengan, minta cerai dari, bercerai
dari, dan diceraikan oleh, tetapi tidak dapat mngawini atau menceraikan lelaki; Maka, kalimat semacam Romi
mengawini Shinta atau Leli diceraikan ujang berada dalam kenyataan struktur. Kepastian struktur ini mengukuhkan
dirinya karena kultur, buka karena struktur. Hodidjah, Perspektif Gender Dalam Pemakaian Bahasa Indonesia,
Makalah, Widyaiswara BDK Palembang /pdf di akses:07/08/2012.
3
70
Abdul Kadir
Mustain
Riyadi
suara bagi pemikiran mereka, tetapi pengalaman mereka diwakilkan melalui sudut pandang
pria.( Nina Syam, 2009). Pada tahun 1975, Edwin Ardener memberikan komentar mengenai
mengapa para etnografer (yang pada saat itu kebanyakan adalah pria) cenderung untuk berbicara
dan mendengarkan pria di dalam budaya yang mereka kaji.
TEORI KELOMPOK BUNGKAM (MUTED GROUP THEORY-MGT)
Teori Kelompok Bungkam (Muted Group Theory-MGT) berawal dari karya Edwin dan
Shirley Ardener, para antropolog sosial yang tertarik dengan struktur dan hierarki sosial. Pada
tahun 1975, Edwin Ardener menyatakan bahwa kelompok yang menyusun bagian teratas dari
hirarki sosial menentukan sistem komunikasi bagi budaya tersebut. Kelompok dengan kekuasaan
yang lebih rendah seperti wanita, kaum miskin, dan orang kulit berwarna, harus belajar untuk
bekerja dalam sistem komunikasi yang telah dikembangkan oleh kelompok dominan (West
and Turner, 2008).
Teori Kelompok Bungkam, Cheris Kramarae membangun teori ini untuk berfokus
khususnya pada komunikasi. Selain itu, sebagaimana dinyatakan oleh Kramarae, tujuannya
lebih terbatas dibandingkan dengan tujuan Ardener, yang tertarik untuk menerapkan Teori
Kelompok Bungkam melintasi banyak budaya.
Asumsi teori Kelompok Bungkam yang dibangun Kramarae adalah sebagai berikut: asumsi
pertama, perempuan rnempersepsikan dunia secara berbeda dengan laki-laki karena pengalaman
perempuan dan laki-laki yang berbeda serta adanya kegiatan yang berakar pada pembagian
pekerjaan. Asumsi ini berdasarkan pada perbedaan persepsi gender. Asumsi ini dimulai dari
premis adalah bahwa dunia adalah tempat yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Selain
itu asumsi ini juga memberikan penjelasan bagi pembagian pekerjaan yang rnengalokasikan
pekerjaan berdasarkan jenis kelamin, misalnya perempuan bertanggung jawab terhadap
pekerjaan di dalam rumah dan laki-laki bertanggung jawab pada pekerjaan di luar rumah.
Revolusi industri abad ke 18 dan 19 telah mengubah pembagian kerja keluar rumah menjadi
pekerjaan yang dibayar. Menurut Sandra Bern, pembagian kerja ini menyebabkan lensa polarisasi
gender yang menjadikan orang melihat perempuan dan laki-laki sebagai dua orang yang berbeda
satu sama lain. Asumsi kedua, karena dominasi politik laki-laki, sistem persepsi laki-laki dominan,
menghambat ekspresi bebas dari model alternatif perempuan mengenai dunia. Asumsi ini lebih
tegas lagi kelompok dominan adalah laki-laki.( Sumadi, 2012)
Ardener menyatakan, mereka yang terlatih dalam bidang etnografi jelas-jelas memiliki
bias terhadap jenis model yang para pria siap diberikan (atau disetujui) oleh para pria
dibandingkan terhadap model manapun yang dapat diberikan oleh wanita. Jika pria tampak
lebih pandai berbicara dibandingkan wanita, ini merupakan kasus dari orang-orang yang sama
berbicara mengenai hal yang sama. Selain itu, Shirley Ardener mengamati bahwa kebungkaman
wanita merupakan pasangan dari ketulian pria. Karenanya, ia menjelaskan bahwa wanita (atau
anggota dari kelompok bawah mana pun) memang berbicara, tetapi kata-kata mereka
JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013
ISSN : 2087-9830
71
Charles J. Adams
Kehidupan
DosenAntara
di Universitas
Reduksionisme
Terbukadan
dalam
Anti-Reduksionisme
Perspektif Dosendalam
Perempuan
Kajiandengan
AgamaAnak
berjatuhan pada telinga yang tuli, dan ketika ini terjadi sejalan dengan waktu, mereka cenderung
berhenti untuk mencoba untuk mengemukakan pendapat mereka, dan mereka bahkan mulai
berhenti untuk memikirkannya. Dalam kata-kata Ardener, Kata-kata yang selalu jatuh pada
telinga yang tuli pada akhirnya dapat, tentu saja, menjadi tidak diucapkan, atau bahkan tidak
dipikirkan. Baik Edwin maupun Shirley Arderner mungkin akan berargumen bahwa Patricia
Fitzpatrick dibungkam dua kali; sekali, oleh kegagalan bahasanya untuk berfungsi sebagai alat
yang akurat untuk ia gunakan, dan sekali lagi, oleh para pengamat yang menganggapnya tidak
pandai berbicara dan bukannya didukung secara lemah oleh bahasa. Bagi Edwin Ardener,
kelompok yang bungkam dianggap tidak pandai berbicara oleh sistem bahasa kelompok yang
dominan, yang tumbuh secara langsung dari pandangan terhadap dunia dan pengalaman mereka.
PEREMPUAN DALAM TINJAUAN TEORI KELOMPOK BUNGKAM
Sisi lain perempuan dalam sorotan media mengalami proses pembungkaman di antaranya
melalui ritual dan kontrol. Melalui ritual, bahwa banyak ritual sosial memiliki dampak dalam
membungkam perempuan atau dalam menyatakan bahwa perempuan adalah bawahan lakilaki. Melalui kontrol, laki-laki mangendalikan banyak keputusan seperti apa yang ada dalam
buku sejarah dan ini menyebabkan sejarah perempuan tidak disentuh. Selain itu, media
dikendalikan oleh laki-laki, pembicaraan dan kontribusi perempuan mendapatkan liputan yang
relatif sedikit di dalam media mainstream. Ia hanya objek dari kehidupan laki-laki, sehingga
perempuan tidak pernah bisa mengambil keputusan atas dirinya sendiri tanpa laki-laki.
Pada aspek ini, komunikasi menempatkan laki-laki sebagai pusat dan perempuan hanya
bayang-bayang. Laki-laki menempati dominasi seluruh ruang-ruang publik. Dari mulai pengambil
keputusan dan kebijakan aktor utama, tempat di depan, kesempatan yang luas, dan ketersedian
waktu bagi laki-laki. Jika seluruh masalah menempatkan laki-laki sebagai aktor dan pemilik
akses yang paling dominan, maka perempuan secara tidak sadar telah mengalami
pembungkaman.
Dasar dan asumsi pemikiran teori bungkam digunakan untuk menganalisis proses
pembungkaman secara budaya terhadap perempuan terlebih dalam media karena pengalaman
perempuan dan laki-laki yang berbeda dangan adanya kegiatan-kegiatan yang berakar pada
bias gender.
PENUTUP
Stereotip perempuan sebagai objek laki-laki yang dikonstruksikan oleh media massa,
seyogjanya mendapatkan imbangan wacana (discourse). Wacana tentang perempuan itu harus
didekonstruksi. Jika selama ini, mereka (baca: kaum perempuan) diam/bungkam, maka mulai
sekarang mereka harus bersuara lantang. Kesadaran dan keberanian seperti ini harus terus
diwacanakan, bukan untuk mengubah kedudukan perempuan untuk mendominasi dan
mengkonstruk laki-laki, tetapi untuk menyeimbangkan dan menyetarakan relasi yang timpang
72
Abdul Kadir
Mustain
Riyadi
dan tidak adil antara keduanya (baca: laki-laki dan perempuan), akibat ketidaksetaraan gender.
DAFTAR PUSTKA
Arifin, Nurul, 2001. Wajah Perempuan dalam Media Massa, Mediator, Jurnal Komunikasi, UNISBA
Bandung.
Bungin, Burhan, 2008. Konstruksi Sosial Media Massa, Jakarta: Kencana. \
Fakih, Mansour, 2000. Kekerasan dalam Persepektif Pesantren, Jakarta: Grasindo.
Hodidjah, Th. Perspektif Gender Dalam Pemakaian Bahasa Indonesia, Makalah, Widyaiswara
BDK Palembang /pdf di akses: 07/08/2012.
S. M Ainul Abid, dkk., 2001. Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah,
Bandung: Mizan.
Sumadi, 2011. Gender dalam Komunikasi di Lingkungan Pesantren, Ringkasan Disertasi,
UNPAD Bandung.
Syam, Nina, 2009. Sosiologi Komunikasi, Bandung: Humaniora.
West dan Turne, 2008. Pengantar Teori Komunikasi, Analisis dan Aplikasi, Jakarta: Salemba.
Http://eprints.undip.ac.id/22846 .di akses: 28/12/2012.
Http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Pelecehan%20Seksual%20melalui%20Media%20Massa.pdf/
di akses: 15/01/2013.
73