0% found this document useful (0 votes)
42 views12 pages

Rekonstruksi Manajemen Pendidikan Pesantren: Moh. Slamet Untung

This document summarizes an article about reconstructing the management of education in Islamic boarding schools (pesantren). It discusses how pesantren must adapt to changes in the modern world by reviewing and reconstructing their management systems, if needed, to address institutional and educational issues. This includes ensuring their education is relevant to the needs of society and the job market. The document argues that change is inevitable for educational institutions like pesantren to remain effective and responsive to the times. Pesantren must develop an adaptive approach to change on both institutional and personal levels.
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
42 views12 pages

Rekonstruksi Manajemen Pendidikan Pesantren: Moh. Slamet Untung

This document summarizes an article about reconstructing the management of education in Islamic boarding schools (pesantren). It discusses how pesantren must adapt to changes in the modern world by reviewing and reconstructing their management systems, if needed, to address institutional and educational issues. This includes ensuring their education is relevant to the needs of society and the job market. The document argues that change is inevitable for educational institutions like pesantren to remain effective and responsive to the times. Pesantren must develop an adaptive approach to change on both institutional and personal levels.
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 12

Urgensi Pendidikan Anti-Terorisme...

(Ahmad Muthohar) 249

REKONSTRUKSI MANAJEMEN
PENDIDIKAN PESANTREN
Moh. Slamet Untung*

Abstract: Through intellectual discourse concerning the standard-


ization of the Islamic yellow book or the intellectual heritage of clas-
sical Islam, pesantren (Islamic boarding school) institutionalizes the
dynamics of its thinking. Islamic boarding school also continues to
move in building and shaping community attitudes to be more able to
stand on the dimensions of ethical/moral in its life. In this perspec-
tive, undeniably, educational institution of Islamic boarding school has
adequately tested to survive, therefore it can move Islamic boarding
school up into a moral and spiritual workshop, as well as a center of
Islamic intellectual assessment and development of classical archi-
pelago as had ever reached its golden peaks in the Islamic world
civilization. This reality provides a strategic significance for Islamic
boarding school in the process of nation building. Therefore, with the
intention that Islamic boarding school is still survive (in the other
word, is not dead) and in prefenting that Islamic boarding school
will be left by its supporters of community, Islamic boarding school
must take anticipatory strategic measures. These are done, among
others is by doing the review for the management of Islamic board-
ing school, even to perform reconstruction of managerial education if
it is required, regarding institutional systems, and other educational
facilities. This paper attempts to discuss and review issues relating to
the crucial reconstruction of educational management of Islamic
boarding school.

Kata Kunci: rekonstruksi, manajemen, pendidikan pesantren

* Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan,


Jl.Kusumabangsa No. 9 Pekalongan, e-mail: [email protected]
250 FORUM TARBIYAH Vol. 9, No. 2, Desember 2011

PENDAHULUAN
Wacana yang berkembang dalam dinamika pemikiran dan pengalaman
praktis pesantren menegaskan bahwa pesantren merupakan bagian dari
infrastruktur masyarakat yang secara luas telah berperan menjadikan komunitas
masyarakat pesantren mempunyai idealisme, kemampuan intelektual, dan
perilaku mulia (akhlak al-karimah) dalam rangka menata dan membangun
karakteristik bangsa yang sempurna. Hal ini dapat dipahami dari peran strategis
pesantren yang dikembangkan dalam kultur internal dari pendidikan pesantren.
Sejalan dengan mainstream perkembangan dunia yang terdefinisikan
melalui terma globalization khususnya berkaitan dengan akselerasi di bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi, institusi pesantren dihadapkan pada beberapa
perubahan sosial budaya (social cultural change) yang tidak dapat dihindari.
Sebagai konsekuensi logis dari perkembangan ini, pesantren la budda
mau tak mau harus memiliki kesanggupan untuk memberikan respon yang
mutualistis. Hal ini dapat dipahami, karena pesantren tidak dapat melepaskan
diri dari arus kuat perubahan-perubahan tersebut. Dinamika sosial-ekonomi
baik dalam skala lokal, nasional maupun internasional telah memaksa institusi
pesantren berani tampil dan terjun dalam kompetisi dunia pasar bebas (free
market word). Belum lagi persoalan lain yang terbungkus dalam dinamika
masyarakat, yang juga berujung pada pertanyaan seputar resistensi
(resistance), responsibilitas (responsibility), kapabilitas (capability) dan
kecanggihan pesantren dalam tuntutan perubahan besar agar dirinya tetap
exist dan survive. Pertanyaannya sekarang ialah bagaimana respon institusi
pesantren dalam menghadapi perubahan-perubahan tersebut.
Secara internal, dalam dunia pesantren sendiri tidak sedikit pesantren
yang didera berbagai masalah lebih-lebih dalam kaitannya dengan
sustainibilitas (sustainability) kelembagaan maupun peran yang dimainkannya.
Di sini para pengelola institusi pesantren dituntut untuk mampu mengantisipasi
dan menyesuaikan dinamika dan tuntutan masyarakat sekaligus memahami
ke mana kecenderungan arah dan sasaran kehidupan masyarakat (Azizy, 2000:
99). Pesantren harus mampu melakukan kaji ulang dan berani melakukan
assessment dan evaluasi diri (self-evaluation) terhadap mekanisme
manajerialnya selama ini dari sudut pandang paradigma manajemen modern.
Rekontruksi Manajemen Pendidikan Pesantren (Moh. Slamet Untung) 251

MANAJEMEN PENDIDIKAN PESANTREN; SEBUAH GAGASAN


REKONSTRUKTIF
Selama ini upaya pembaharuan pendidikan Islam termasuk pendidikan
pesantren secara mendasar selalu terkendala oleh berbagai problematika mulai
dari persoalan dana (fund) sampai tenaga ahli (experts). Padahal dewasa ini,
pendidikan Islam dalam segala aspeknya tampak tidak terlalu kokoh. Hal ini
disebabkan terutama oleh orientasi kependidikan yang semakin tidak seimbang
(unbalance). Peserta didik yang menjadi produk (output) dari lembaga ini,
sebagian besar tidak dipersiapkan untuk memasuki lapangan kerja tertentu
dengan medan kehidupan yang jelas baik duniawi maupun ukhrawi, sehingga
mengambang yang justru akan meruntuhkan idealisme mereka. Apalagi bagi
mereka yang berasal dari institusi pendidikan pesantren yang masih tergolong
tradisional. Jika hanya untuk mengisi lapangan kerja sebagai seorang dai/
mubaligh (proselytizer), bagaimana dengan masalah kebutuhan hidup mereka
dan keluarganya; dan apa jadinya jika seluruh output lembaga pendidikan ini
menjadi dai/mubaligh (proselytizer) (Usa, 1991: 13).
Oleh karena itu, lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren
yang telah ada sekarang dengan mengacu pada berbagai pemikiran para pakar
dunia pesantren harus dimodifikasi kembali secara fundamental dan
komprehensif terutama berkaitan dengan bidang manajemen pengelolaannya
tidak hanya sekadar tambal sulam sehingga benar-benar dapat mengisi dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhan umat, sebagaimana yang dicita-citakan
mereka. Dalam hal ini almarhum Prof. A. Mukti Ali mengingatkan perlunya
dilakukan dan diupayakan pembaharuan sistem pendidikan di pondok
pesantren. Meskipun disadari bahwa pembaharuan sistem pendidikan di
pondok pesantren sepenuhnya berada di tangan pondok pesantren itu sendiri.
Pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren selama ini tampak belum
mampu mencapai tujuan yang diharapkan; belum mampu mengupayakan
relevansi pondok pesantren dengan kebutuhan pembangunan, dan belum
mampu mengusahakan orientasi ketenagakerjaan bagi pertanian terhadap
pondok pesantren mengingat nilai strategis pondok pesantren yang umumnya
berada di daerah pedesaan (rural area) dan secara historis pondok pesantren
memegang peran yang sangat signifikan dan krusial (Suyoto, 1983: 73).
Dalam perspektif pendidikan nasional, pendidikan di pondok pesantren
selama ini kurang diperhitungkan. Idealisme pendidikan nasional mencakup
upaya sistematis menjadikan pendidikan itu relevan dengan kebutuhan
252 FORUM TARBIYAH Vol. 9, No. 2, Desember 2011

ekonomi, memberikan kesempatan bagi yang berbakat dan menyelaraskannya


dengan kebutuhan masyarakat. Dalam konteks inilah dapat dipahami bahwa
pendidikan pondok pesantren yang umumnya dihadiri kaum muda dalam usia
kerja sangat berhubungan dan dapat mengambil peran dari kebijaksanaan
menyiapkan angkatan kerja. Oleh karena itu, selayaknya pondok pesantren
dapat lebih melihat pengalaman-pengalaman pendidikan Islam di luar dirinya
apakah yang berkaitan dengan masalah kurikulum pendidikannya maupun
kelembagaannya, juga terhadap pengalaman-pengalaman institusi pendidikan
keagamaan lainnya yang lebih qualified.
Secara sosiologis, hukum perubahan sosial juga berlaku bagi lembaga
pendidikan keagamaan pesantren ini. Perubahan radikal itu mudah ditetapkan
akan tetapi sulit diwujudkan. Merubah pola kultural kelembagaan dan
masyarakat tidak semudah melepas papan nama dan menggantikannya dengan
yang baru (Suyoto, 1983: 73). Perubahan itu perlu ditumbuhkan secara gradual/
bertahap, memberikan rangsangan dan dorongan bagi potensi-potensi sosial
didalamnya. Di dalam dunia pendidikan, perubahan merupakan keniscayaan
yang menjadi bagian integral dari fungsi kehidupan organisasi. Dalam hal ini
Paul Oliver (1996: 1) mengatakan:
It is argued that change is an integral function of organiza-
tional life and of education in particular. Learning to live with
change has become almost a prerequisite for participating in
the education system.

Selanjutnya Oliver (1996: 3) menjelaskan sifat dari perubahan tersebut


bagi dunia pendidikan:
Change is axiomatic to organizational life, and an organization
that ceases to respond effectively is balanced on the fine line
between stability and stagnation. Neither state is appropriate to
an educational institution.

Dengan memperhatikan hukum perubahan yang terjadi di dalam


pendidikan maka setidaknya apabila pesantren ingin tetap dan selalu hadir
dalam dunia pendidikan di Indonesia, ia harus bersikap dan sanggup
mengembangkan sunnatullah adaptive terhadap perubahan, tidak hanya
secara kelembagaan saja tetapi juga secara personal. Hal itu disebabkan karena
perubahan itu tidak hanya berdampak kepada organisasi semata tetapi juga
Rekontruksi Manajemen Pendidikan Pesantren (Moh. Slamet Untung) 253

terjadi pada individu-individu yang ada di dalamnya. Berkaitan dengan


spektrum sunnatullah adaptive ini, Mollie Noville (1992: 110) mengatakan:
Change has a profound effect not only on the organization in
which it takes place but on every individual within it. Change is
holistic: it does not differentiate between work and home or lei-
sure time. Whether the individual is concisely aware of it or not,
every aspect of life is changed.

Problem internal lain pesantren ialah faktor keluarga dan kelompok.


Hal ini merupakan sisi lain kelemahan institusi pondok pesantren. Kepemilikan
suatu lembaga termasuk pondok pesantren oleh keluarga atau kelompok
sebenarnya tidak akan merupakan dosa jika produk lulusannya ternyata
memiliki daya fastabiq al-khairat (kompetisi dalam kebenaran). Di samping
itu, pesantren tidak jarang dikesankan (impressed) terlalu eksklusif. Untuk
menghilangkan kesan tersebut sebenarnya dapat dilakukan melalui mekanisme
musyawarah dalam sistem manajerial kebijakan menyangkut kepentingan
pesantren, sehingga proses pengelolaan pendidikan dan administrasi pesantren
serta pengambilan keputusannya bersifat terbuka (Feisal, 1995: 189-190).
Perlu ditegaskan di sini bahwa sebelum mengambil langkah kebijakan
terhadap problematika pendidikan pesantren, terlebih dahulu harus dipahami
setidak-tidaknya secara garis besarnya situasi yang melingkupi dan dihadapi
oleh dunia pendidikan pesantren dewasa ini. Menurut Abdurrahman Wahid
(2001: 39), situasi kejiwaan (psychological situation) yang secara faktual
dirasakan oleh dunia pesantren dewasa ini, ialah rasa tidak menentu
(ketidakpastian) yang berkembang secara luas yang menggelayuti jagad
pendidikan pesantren. Wahid selanjutnya menjelaskan bahwa terdapat
beberapa faktor penyebabnya, di antaranya:
Pertama, kesadaran akan sedikitnya kemampuan untuk mengatasi
tantangan-tantangan yang dihadapi oleh pesantren, terutama tantangan yang
disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kedua, stagnasinya struktur sarana-sarana yang dihadapi pesantren pada
umumnya, baik sarana yang berupa manajemen, pimpinan yang terampil,
maupun sarana material termasuk dana masih berada pada kuantitas yang
sangat terbatas.
254 FORUM TARBIYAH Vol. 9, No. 2, Desember 2011

Ketiga, sulitnya mengajak masyarakat tradisional yang berafiliasi kepada


pesantren ke arah sikap hidup yang lebih serasi dengan kebutuhan-kebutuhan
nyata pesantren.
Jika problematika tersebut di atas tidak segera diatasi, maka akan lebih
sulit lagi bagi pesantren untuk menghadapi tantangan-tantangan (challenges)
ke depan mengingat perkembangan waktu justru akan semakin memperkuat
kadar dan ruang lingkup tantangan tersebut. Permasalahan yang sedang
dihadapi oleh pendidikan pesantren sekarang sesungguhnya lebih terfokus
pada sistem manajemennya. Oleh karena itu, upaya penataan ulang manajemen
pesantren secara smart dan elegant tentunya akan menjadi sebuah tawaran
yang dapat dipertimbangkan dalam mengatasi krisis manajerial dunia
pendidikan pondok pesantren.

PROBLEM SOLVING MANAJEMEN PENDIDIKAN


PESANTREN
Proses keberhasilan sistem pendidikan pesantren sangat dipengaruhi oleh
penataan manajerialnya. Oleh karenanya, tidaklah heran jika dikatakan bahwa
al-haqq bi la an-nizham yaghlibuh bathil bi an-nizham (sebuah sistem
kerja usaha konstruktif yang tidak terkendali secara manajerial bisa dikalahkan
oleh sistem kerja destruktif yang manajemennya tertata rapih). Menurut
Suwendi (1999: 214), pola manajemen pendidikan pesantren cenderung
dilakukan secara insidental dan kurang memperhatikan tujuan-tujuannya yang
telah disistematisasikan secara hierarchy. Sistem pendidikan pesantren
biasanya dilakukan secara alami dengan pola manajerial yang tetap (sama)
setiap tahunnya. Perubahan-perubahan mendasar dalam pengelolaan pesantren
agaknya belum tampak nyata. Penerimaan santri baru, misalnya, masih
dilakukan secara terbuka untuk semua individu yang mempunyai latar
belakang dan kemampuan beragam tanpa mengadakan usaha seleksi terlebih
dahulu. Usaha kategorisasi dan klasifikasi santri secara kualitatif belum (tidak?)
pernah dilakukan lembaga pendidikan pesantren.
Dewasa ini pesantren memang sudah saatnya harus membuka diri dan
membuka mata untuk melihat dunia luar. Perkembangan yang terjadi di luar
dirinya harus dipahami dan diantisipasi agar tidak menimbulkan benturan-
benturan yang mengancam sustainability eksistensi pesantren. Keharusan
ini meniscayakan kebutuhan pola kerja sama yang sifatnya simbiosis-mutualistis
Rekontruksi Manajemen Pendidikan Pesantren (Moh. Slamet Untung) 255

antara pesantren dengan institusi-institusi yang dianggap mampu memberikan


kontribusi dan menciptakan nuansa transformatoris. Pola kerjasama ini dapat
juga dilakukan dalam usaha pengembangan sumber daya pesantren agar dapat
memberdayakan diri dalam menghadapi tantangan masa kini yang semakin
kompleks.
Dalam upaya perbaikan dan pembaharuan manajemen pesantren inilah
Abdurrahman Wahid (2001: 43) menawarkan sebuah strategi fundamental
yang patut dipertimbangkan dunia pesantren dalam menyusun konsep
perbaikan manajemen pesantren melalui penentuan penggarapan proyek-
proyek selektif sebagai prasyarat yang disusun dalam penggolongan
berdasarkan kelompok masing-masing yang meliputi; kelompok pembinaan
pimpinan pesantren yang dititikberatkan pada pengembangan pola-pola
kepemimpinan (leadership patterns) yang lebih sesuai dengan kepentingan
pesantren masa depan seperti program latihan kepemimpinan dan penyusunan
pola-pola peremajaan pimpinan pesantren. Selanjutnya, kelompok pembinaan
mutu pengajaran di pesantren yang mencakup penyusunan kurikulum yang
lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat, penyusunan silabus pengajaran
yang dapat mengembangkan rasa kesejarahan pada ahli-ahli agama di masa
depan, periodical upgrading bagi tenaga pengajar, penyediaan alat-alat
pengajaran yang lebih memadai dan lain-lain. Di samping itu, perlu juga dijalin
semacam net-work antara pesantren dengan dunia luar, baik pemerintah
maupun swasta yang menangani bidang-bidang tertentu. Selanjutnya agar para
santri memiliki sikap kompetitif setelah tamat dari pendidikan di pondok
pesantren, perlu juga santri dibekali keterampilan-keterampilan teknik yang
dapat menopang kehidupannya pasca nyantri/mondok.
Sivitas akademika pesantren sudah saatnya menyadari akan
kekurangprofesionalannya di dalam mengelola pendidikan. Oleh karena itu,
tampaknya menjadi sesuatu yang sangat mendesak untuk memodernisir pola
manajerial pendidikan pesantren secara profesional. Hal ini dapat dilakukan
antara lain dengan melakukan kerjasama antarpesantren agar diperoleh
kesepahaman mengenai faktor penyebab kekurangan dan kelebihan masing-
masing pesantren. Untuk membuka cakrawala yang lebih luas, pesantren bisa
saja melakukan studi komparatif dengan lembaga pendidikan umum yang bona
fide, atau dengan lembaga pendidikan lintas agama untuk memperoleh
gambaran tentang sistem manajerialnya dan kiat-kiat kesuksesannya. Pesantren
juga tidak dapat menghindarkan diri dari perkembangan ilmu pengetahuan
256 FORUM TARBIYAH Vol. 9, No. 2, Desember 2011

dan teknologi sehingga mau tidak mau pesantren harus memanfaatkannya


untuk mendukung kerja kolektif pengelolaan pendidikannya. Kurikulum dan
metodologi pendidikannya perlu dikaji ulang agar muatan dan proses
pengajaran di pesantren matching dengan kebutuhan masyarakat pengguna
(user) dan memiliki daya efektivitas yang tinggi.
Sejalan dengan perkembangan dinamika kehidupan masyarakat akhir-
akhir ini, pesantren tampak mengalami perubahan serta perkembangan yang
signifikan. Di antara perubahan-perubahan itu yang paling penting menyangkut
penyelenggaraan dan manajemen pendidikannya. Dewasa ini tidak sedikit
pesantren di Indonesia telah mengadopsi sistem pendidikan formal seperti
yang diselenggarakan pemerintah. Pada umumnya pilihan pendidikan formal
yang didirikan di pesantren masih berada pada jalur pendidikan Islam, yakni
madrasah. Namun, banyak pula pesantren yang sudah memiliki lembaga
pendidikan sistem sekolah seperti yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan
Nasional. Beberapa pesantren bahkan sudah membuka perguruan tinggi, baik
dalam bentuk sekolah tinggi agama Islam, institut agama Islam maupun
universitas Islam.
Di pesantren-pesantren tersebut, sistem pembelajaran tradisional yang
dikenal dengan halaqah yang berlaku pada pesantren tradisional mulai
diseimbangkan dengan sistem pembelajaran modern. Dalam aspek kurikulum,
misalnya, pesantren tidak lagi hanya memberikan mata pelajaran ilmu-ilmu
keislaman, tetapi juga ilmu-ilmu umum modern/sekular. Dalam hal ini, mata
pelajaran umum seperti bahasa Inggris, fisika, biologi, kimia, matematika dan
lain-lain, di samping mata pelajaran agama masih tetap dipertahankan. Begitu
pula sistem pengajaran yang berpusat pada kiai mulai dikaji ulang. Pihak
pesantren banyak merekrut lulusan-lulusan perguruan tinggi, khususnya dari
sekolah tinggi agama Islam, institut agama Islam, atau universitas Islam menjadi
tenaga pengajar, di samping tetap memakai lulusan dari pondok pesantren
sendiri.
Semua perubahan yang terjadi di dalam dunia pesantren tersebut, menurut
Husni Rahim (2001: 149), sama sekali tidak boleh mencabut akar pesantren
dari peran tradisionalnya sebagai lembaga yang bergerak di bidang pendidikan
Islam, terutama dalam pengertiannya sebagai lembaga tafaqquh fi ad-din.
Sebaliknya, hal tersebut justru semakin memperkaya sekaligus mendukung
upaya transmisi khazanah pengetahuan Islam tradisional sebagaimana
termaktub di dalam kitab kuning dan melebarkan jangkauan pelayanan
Rekontruksi Manajemen Pendidikan Pesantren (Moh. Slamet Untung) 257

pesantren terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat, terutama di bidang


pendidikan formal. Dengan ungkapan lain, proses perubahan pesantren
merupakan salah satu bentuk modernisasi pesantren, baik sebagai lembaga
pendidikan maupun lembaga sosial.
Pesantren telah melakukan berbagai inovasi dalam rangka pengembangan
pesantren itu sendiri, baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Masuknya
pengetahuan umum dan keterampilan sebagaimana dipaparkan di atas ke dalam
pesantren merupakan upaya untuk memberikan bekal tambahan agar para santri
bila telah menyelesaikan pendidikan pesantrennya dapat hidup layak dalam
masyarakat. Implementasi sistem klasikal dengan menggunakan sarana prsarana
dan peralatan pengajaran madrasah bukan hal yang baru lagi bagi pesantren.
Menurut Hasbullah (1991: 155), belakangan ini pondok pesantren
memiliki kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi
manajerial terhadap sistem yang selama ini dipergunakan yaitu mulai akrab
dengan metodologi ilmiah modern, semakin berorientasi pada pendidikan yang
fungsional, artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi
program dan kegiatan makin terbuka dan dapat membekali para santri dengan
berbagai pengetahuan dan keterampilan di luar bidang agama serta dapat
berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat. Namun demikian,
pesantren masih tetap mempertahankan suatu sistem pengajaran tradisional
yang menjadi ciri khasnya, yaitu sistem sorogan dan bandongan.
Dalam rangka menjaga eksistensi pesantren, pemerintah telah
memberikan bimbingan dan bantuan sebagai motivasi agar tetap berkembang
sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Arah perkembangan
pesantren antara lain dititikberatkan pada peningkatan tujuan institusional
pondok pesantren, peningkatan kurikulum dengan metode pendidikan agar
efisiensi dan efektivitas pengembangan pondok pesantren terarah serta
menggalakkan pendidikan di lingkungan pondok pesantren untuk
mengembangkan potensi pondok pesantren dalam bidang prasarana sosial
dan taraf hidup masyarakat (Hasbullah, 1991: 158). Meskipun demikian, bukan
berarti pesantren telah menduduki posisi sebagai lembaga paling elit.
Pergeseran-pergeseran nilai yang terjadi di dalam masyarakatlah yang akan
menuntut pesantren untuk melakukan reorientasi tata nilai baru dan rekonstruksi
manajerial yang relevan dengan tantangan zaman tanpa kehilangan identitasnya
sebagai lembaga pendidikan Islam.
258 FORUM TARBIYAH Vol. 9, No. 2, Desember 2011

Proses transformasi sosial yang terjadi pada era sekarang ini


mengakibatkan pergeseran struktur masyarakat agraris ke masyarakat tekno-
struktur maupun masyarakat informatif. Lembaga pendidikan pesantren
diharapkan tetap dapat mempertahankan eksistensinya. Meskipun diakui
terdapat pesantren yang mengalami disorientasi atau menampilkan responsi
yang bersifat defensif-konservatif terhadap arus modernisasi, tidak sedikit
pesantren yang berhasil melakukan penyesuaian diri self adjusment dalam
mensiasati modernitas tersebut.
Perubahan bentuk pendidikan pesantren dari sistem madrasah ke
sistem sekolah, menurut M. Din Syamsuddin (2001: 13), menunjukkan,
pada satu sisi, kemampuan pesantren untuk melakukan penyesuaian diri (self-
adaptation). Meskipun pada sisi lain, hal tersebut menunjukkam posisi inferior
pesantren dan dependensinya yang besar terhadap negara dan sistem
pendidikan nasional.
Sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki watak khas
(indigenous) Indonesia dan mempunyai peran historis yang tidak kecil,
komunitas pesantren sudah sewajarnya bila merasa berkepentingan terhadap
masa depan pendidikan pesantren. Sungguh naif jika potensi yang dimiliki
oleh pesantren tidak diberdayakan secara optimal disebabkan
mismanagement sehingga pesantren gagal mencapai misi pendidikannya.
Dalam perspektif manajemen sebagaimana diungkapkan oleh Sugiyono (2000:
23), bila pendidikan (baca: di Indonesia) termasuk pendidikan pesantren ingin
berhasil, maka harus dikelola dengan manajemen yang profesional.
Modernisasi pendidikan pesantren dapat juga bermakna bahwa pesantren
dikelola dengan semangat wirausaha dalam pengertian mengelola pendidikan
pesantren seperti halnya mengelola bisnis akan tetapi tidak membisniskan
pendidikan pesantren. Ungkapan mengelola pendidikan pesantren seperti
halnya mengelola bisnis mengandung pengertian berorientasi pada pasar,
memberikan pelayanan prima pada pelanggan, efisien dan memuaskan. Apabila
teori manajemen ini diadopsi oleh pesantren tidak mustahil pendidikan pesantren
akan menjadi lembaga pendidikan unggulan yang tidak hanya berorientasi
pasar an sich, tetapi juga lembaga pendidikan unggulan berorientasi dunia
dan akhirat (the here and hereafter superior education-oriented). Why
not?
Rekontruksi Manajemen Pendidikan Pesantren (Moh. Slamet Untung) 259

SIMPULAN
Perkembangan dunia telah melahirkan suatu kemajuan zaman yang
modern. Perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosio-kultural
seringkali berbenturan dengan berbagai kemampuan Hal ini berdampak pada
keharusan untuk mengadakan usaha kontekstualisasi bangunan-bangunan
sosio-kultural dengan dinamisasi modernitas, tidak terkecuali dengan sistem
pendidikan pesantren. Oleh karena itu, sistem pendidikan pesantren harus
selalu melakukan upaya rekonstruksi manajerial agar tetap relevant dan
survive.
Keharusan untuk mengadakan rekonstruksi manajerial ini sesungguhnya
sudah disadari oleh orang-orang dalam pesantren sendiri. Bukankah dunia
pesantren telah mengenalkan sebuah kaidah yang sangat akurat: al-muhafazah
ala al-qadim al-shalih wa al-akhaz bi al-jadid al-ashlah (mempertahankan
budaya-budaya klasik yang konstruktif disertai upaya pembinaan budaya-
budaya baru yang lebih konstruktif). Kaidah ini merupakan legalitas kuat atas
segala upaya rekonstruksi pesantren, termasuk rekonstruksi pada manajemen.
Rekonstruksi sebagai konsekuensi dari kemajuan dunia modern dengan aspek
ashlah sebagai kata kunci (key word) yang harus dipegang oleh dunia
pesantren.
Pesantren yang modern berarti pesantren yang selalu tanggap terhadap
perubahan dan tuntutan zaman, berwawasan ke depan, selalu mengutamakan
prinsip efektivitas dan efisiensi serta memuaskan masyarakatnya. Modernisasi
pesantren yang salah satu bentuknya adalah rekonstruksi manajemen
pendidikan haruslah tetap mempertahankan jati dirinya yang khas dan tidak
boleh keluar dari koridor cita-cita awal didirikannya sebuah pesantren yaitu
sebagai institusi tafaqquh fi ad-din. Demikianlah watak rekonstruksi
manajemen pendidikan pesantren yang ashlah yang menjadi pedoman
pesantren dalam rangka melakukan pembaharuan pendidikannya.

DAFTAR PUSTAKA
Azizy, Ahmad Qodri A. 2000. Islam dan Permasalahan Sosial: Mencari
Jalan Keluar. Yogyakarta: LKiS.
Feisal, J. Amir. 1995. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani
Press.
260 FORUM TARBIYAH Vol. 9, No. 2, Desember 2011

Hasbullah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT.


RajaGrafindo Persada
Noville, Mollie. 1992. Management of Change, dalam Allan Walker
(eds.), Management Tools for Educational Managers. Singapore:
Prentice Hall.
Oliver, Paul. 1996. The Concept of Change Management, dalam Paul Oliver
(ed.), The Management of Educational Change. England: Arena.
Rahim, Husni. 2001. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
Logos.
Sugiyono. 2000. Manajemen Pendidikan Bab I dan Bab II. (Makalah tidak
diterbitkan).
Suyoto. 1983. Pesantren dalam Pendidikan Nasional, dalam M. Dawam
Rahardjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES.
Suwendi. 1999. Rekonstruksi Pendidikan Pesantren: Beberapa
Catatan, dalam Said Agiel Siradj et.al. (ed.), Pesantren Masa Depan.
Bandung: Pustaka Hidayah.
Syamsuddin, M. Din. 2001. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat
Madani. Jakarta: Kalimah.
Usa, Muslih. 1991. Pendidikan Islam di Indonesia, Antara Cita dan
Fakta, dalam Muslih Usa (ed.), Pendidikan Islam di Indonesia:
Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Wahid, Abdurrahman. 2001. Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren.
Yogyakarta : LKiS.

You might also like