0% found this document useful (0 votes)
132 views25 pages

Jurnal - Indriyane Vera Natalia - 110110160354

This document analyzes the Bandung High Court Decision No. 344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg regarding criminal liability and punishment of corporations for environmental crimes. There were differing views between district and high court judges regarding criminal prosecution of corporations for environmental crimes. In its ruling, the high court determined substitute fines and additional penalties for corporations that were not regulated in existing laws and regulations. The study aims to determine whether criminal liability and penalties for corporations accord with environmental crime laws and whether the substitute fines and additional penalties imposed by the high court were appropriate. It uses a normative legal research approach to analyze the decision based on primary and secondary legal sources.

Uploaded by

indriyane
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
132 views25 pages

Jurnal - Indriyane Vera Natalia - 110110160354

This document analyzes the Bandung High Court Decision No. 344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg regarding criminal liability and punishment of corporations for environmental crimes. There were differing views between district and high court judges regarding criminal prosecution of corporations for environmental crimes. In its ruling, the high court determined substitute fines and additional penalties for corporations that were not regulated in existing laws and regulations. The study aims to determine whether criminal liability and penalties for corporations accord with environmental crime laws and whether the substitute fines and additional penalties imposed by the high court were appropriate. It uses a normative legal research approach to analyze the decision based on primary and secondary legal sources.

Uploaded by

indriyane
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 25

PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM

TINDAK PIDANA LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI


BANDUNG NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)
Indriyane Vera Natalia, Sigid Suseno, Maret Priyanta

PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP


KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN
(Studi Normatif Putusan Pengadilan Tinggi Bandung
No. 344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg)

Indriyane Vera Natalia


Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran
[email protected]

Sigid Suseno
Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran
[email protected]

Maret Priyanta
Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran
[email protected]

ABSTRACT

The existence of corporations today is often followed by acts that violate the law, one of
which is an environmental crime. In reality, in convicting corporations often cause
problems as happened in Bandung High Court's Decision No. 344 / Pid.Sus / 2013 /
PT.Bdg where there are differing views regarding criminal prosecution of corporations
especially in environmental crimes between district court judges and high courts which
cause an appeal on the verdict. In a high court ruling, the panel of judges determines the
substitute penalties for fines and additional crimes that have not been regulated in the
principles, norms and rules of regulations that govern them. The purpose of this study is
to find out whether criminal liability in environmental criminal offenses is in accordance
with the provisions regarding corporate criminal acts in the environmental field and to find
out whether criminal substitute fines and additional penalties for corporations are
appropriate when connected with Law Number 32 of 2009 concerning Protection and
Environmental Management and other arrangements. The research method used in the
writing of this case study is to carry out a normative juridical approach namely reviewing
and examining secondary data in the form of primary legal material namely related
legislation and secondary legal material namely related literature to analyze the decision.
The conclusion of this study is to provide an understanding of the concept of corporate
criminal liability especially in environmental criminal offenses as well as regarding
additional penalties and fines in the perspective of legal discovery.

Jurnal Ilmiah 1
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
BANDUNG NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)
Indriyane Vera Natalia, Sigid Suseno, Maret Priyanta

Key words: Environmental Crimes, Corporations, Criminal Substitute, Additional


Crimes

ABSTRAK

Eksistensi korporasi pada dewasa ini seringkali diikuti oleh perbuatan yang melanggar
hukum salah satunya adalah tindak pidana lingkungan. Pada kenyataannya, dalam
menjatuhkan pidana terhadap korporasi kerap kali menimbulkan permasalahan
sebagaimana terjadi dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No.
344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg dimana terdapat perbedaan pandangan mengenai
pemidanaan terhadap korporasi khususnya dalam tindak pidana lingkungan antara hakim
pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang menyebabkan diperberatnya putusan
tingkat banding. Dalam putusan pengadilan tinggi, majelis hakim menetapkan pidana
pengganti denda dan pidana tambahan yang belum diatur dalam asas, norma dan
kaedah peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui apakah pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana lingkungan
telah sesuai dengan pengaturan mengenai tindak pidana korporasi di bidang lingkungan
serta mengetahui apakah pidana pengganti denda dan pidana tambahan untuk korporasi
sudah sesuai jika dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan pengaturan lainnya. Metode
penelitian yang digunakan dalam penulisan studi kasus ini adalah dengan melakukan
pendekatan yuridis normatif yakni mengkaji dan meneliti data sekunder berupa bahan
hukum primer yaitu peraturan perundang – undangan terkait dan bahan hukum sekunder
yaitu kepustakaan terkait untuk menganalisis putusan tersebut. Kesimpulan dari
penelitian ini untuk memberikan pemahaman mengenai konsep pertanggungjawaban
pidana korporasi khususnya dalam tindak pidana lingkungan serta mengenai pidana
tambahan dan pidana denda dalam perspektif penemuan hukum.

Kata kunci: Tindak Pidana Lingkungan, Korporasi, Pidana Pengganti Denda,


Pidana Tambahan

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Pemilihan Kasus
Proses industrialisasi turut berkembang di dunia dan menimbulkan berbagai
permasalahan lingkungan hidup. Masalah lingkungan telah ada dihadapan kita,
berkembang sedemikian cepatnya, baik di tingkat nasional maupun internasional
(global dan regional) sehingga tidak ada suatu negara pun dapat terhindar
daripadanya.1 Modal dalam bentuk sumber daya sangat diperlukan dalam proses
1
M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Bandung:
Alumni, 2001, hlm. 10

Jurnal Ilmiah 2
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
BANDUNG NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)
Indriyane Vera Natalia, Sigid Suseno, Maret Priyanta

pembangunan nasional. Pemanfaatan berbagai sumberdaya untuk kepentingan


pembangunan berpotensi menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan.2 Setiap pembangunan yang dilakukan harus memperhatikan fungsi
lingkungan hidup yang terencana dan berkesinambunan sesuai dengan konsep
pembangunan berkelanjutan di dalam konstitusii Indonesia sebagaimana dijelaskan
dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945:3

“Perekemonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi


ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

Dalam mengatasi masalah pencemaran dan perusakan lingkungan, setiap negara


tentunya memiliki kebijakan penanggulangan kejahatannya. 4 Kebijakan
penanggulangan kejahatan (criminal policy) diaplikasikan dengan 2 (dua)
pendekatan, yakni upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana
hukum pidana (penal policy) dan upaya penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan sarana-sarana di luar hukum pidana (non-penal policy).5

Pada perkembangannya, Tindak Pidana Lingkungan tidak hanya dapat dilakukan


oleh manusia alamiah (naturlijk persoon) melainkan dapat juga dilakukan oleh badan
hukum (rechtpersoon). Menurut Muladi dan Dwidja Priyatno6, istilah “korporasi”
adalah sebutan yang lazim dipergunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk
menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum
perdata, sebagai badan hukum, atau yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai
rechtpersoon, atau yang di dalam bahasa Inggris disebut sebagai legal entities atau
corporation. Eksistensi atau keberadaan suatu korporasi pada dewasa ini seringkali
diikuti oleh pelanggaran-pelanggaran atau bahkan perbuatan melanggar hukum yakni
melakukan tindak pidana yang salah satunya adalah tindak pidana lingkungan.7
Pemidanaan terhadap korporasi dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun
2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (untuk selanjutnya
disebut sebagai UU PPLH) yang mengatur mengenai kaidah hukum pidana
materiilnya. Sebaliknya, kaidah hukum pidana formil terkait pemidanaan terhadap
korporasi dapat dilihat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016

2
Maret Priyanta, “Kedudukan Tanggung Jawab Negara Terhadap Pencemaran Lingkungan oleh
Korporasi”, Tadulako Law Review, Vol. 1, Issue 2, Desember 2016, hlm. 121
3
Lihat Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945
4
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara,
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1994, hlm. 59
5
Kristian, Kebijakan Eksekusi Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Berbagai Putusan
Pengadilan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 4
6
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Sekolah
Tinggi Hukum Bandung, 1991, hlm. 13
7
Kristian, Sistem Pertanggungjawaban Korporasi ditinjau dari Berbagai Konvensi Internasional, Bandung:
PT Refika Aditama, 2017, hlm. 15

Jurnal Ilmiah 3
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
BANDUNG NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)
Indriyane Vera Natalia, Sigid Suseno, Maret Priyanta

tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi dan Peraturan
Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman
Penanganan Perkara pidana dengan Subjek Hukum Korporasi.

Pada kenyataannya, dalam menjatuhkan pidana terhadap korporasi hingga


sekarang kerap kali menimbulkan permasalahan-permasalahan. Permasalahan
utama yang menjadi sorotan penulis adalah fakta bahwa hingga sekarang untuk
membuktikan sebuah korporasi benar melakukan perbuatan melawan hukum dan
dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut sangatlah sulit. Tidak dapat
dipungkiri, pembuktian dalam suatu tindak pidana merupakan bagian terpenting
dalam acara pidana. Pada tahap ini, Hak Asasi Manusia para subyek hukum
dipertaruhkan. Dalam sebuah tindak pidana yang melibatkan korporasi di dalamnya
tidak mudah untuk membuktikan kesalahan dan pertanggungjawaban tersebut.8 Hal
ini dikarenakan di dalam sebuah korporasi tentunya terdapat berbagai pihak yang bisa
saja bertanggung jawab atas perbuatan pidana tersebut. Korporasi terdiri dari direktur
utama sebagai pemimpin perusahan, para direksi atau bawahan yang menjalankan
perintah dari atasan, dan lainnya yang sesungguhnya bisa saja bertanggung jawab.

Sebagaimana kita tahu pula, bahwa ketentuan mengenai pertanggungjawaban


korporasi sebagai subyek hukum dalam sistem hukum Indonesia diatur secara tegas
diluar dari KUHP. Akan tetapi, hal tersebut tidak menutupi terjadinya permasalahan-
permasalahan yang cukup fundamental dalam penerapannya. Permasalahan
mengenai penerapan sistem pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh
korporasi turut terjadi dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No.
344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg tertanggal 18 November 2013 dalam perkara atas nama
Terdakwa Chrisdianto Rahardjo dan PT Albasi Priangan Lestari (PT APL) yang
didakwa dengan Pasal 100 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 116 ayat (1) huruf b UU PPLH
dan Pasal 100 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 116 ayat (1) huruf a UU PPLH. Di dalam
putusan ini, pengurus dan korporasi keduanya didudukan sebagai pelaku tindak
pidana dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana dalam
suatu putusan yang sama.

Permasalahan pertama yang menjadi sorotan penulis dalam putusan ini adalah
Majelis Hakim pada tingkat banding dengan seluruh pertimbangan hukumnya
memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Ciamis No. 155/Pid.Sus/2013/PN.Cms dan
memperberat penjatuhan pidana kepada para Terdakwa. Terdapat perbedaan
pandangan antara hakim pada tingkat pertama maupun banding. Menilik
pertimbangan-pertimbangan hukum hakim pada tingkat pertama dan banding, Majelis
Hakim pada tingkat pertama memutus dengan menggunakan pendekatan
antroposentrisme.9 Di sisi lain, Majelis Hakim tingkat banding cenderung

8
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 249
9
Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan hidup yang memandang manusia sebagai pusat dari
sistem alam semesta.Antroposentrisme juga merupakan teori filsafat yang mengatakan bahwa nilai
dan prinsip moral hanya berlaku bagi manusia dan bahwa kebutuhan dan kepentingan manusia

Jurnal Ilmiah 4
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
BANDUNG NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)
Indriyane Vera Natalia, Sigid Suseno, Maret Priyanta

menggunakan pendekatan ekosentrisme10 dan mempertimbangkan aspek


lingkungan yang berkelanjutan. Majelis Hakim tingkat banding dengan
pertimbangannya memperbaiki dan memperberat penjatuhan pidana terhadap para
Terdakwa dalam amar putusannya.

Majelis Hakim tingkat banding turut menyesali pertimbangan Majelis Hakim tingkat
pertama yang tidak memikirkan adanya efek jera terhadap pemidanaan yang ringan
dengan pertimbangan seharusnya pelanggaran atas tindak pidana ini dapat
dipandang sebagai hal lumrah dan memungkinkan pelaku usaha / industri lain
melakukan hal yang sama. Di sisi lain, pidana yang ringan dipandang tidak akan
memberi efek edukasi dan penyadaran bahwa pelanggaran yang sama tidak akan
terulang lagi. Kemudian, Majelis Hakim tingkat banding mendasarkan
pertimbangannya pada Pasal 67 UU PPLH yang menyebutkan bahwa setiap orang
berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Permasalahan berikutnya adalah putusan ini menjatuhkan pidana pengganti denda


terhadap Terdakwa II yakni PT APL sebagai korporasi berupa penyitaan dan
pelelangan aset/harta korporasi untuk sekedar cukup membayar jumlah denda jika
denda yang dijatuhkan tidak dibayarkan. Hal ini tentu membuat penulis tertarik
dikarenakan hingga kini penyitaan dan pelelangan aset/harta korporasi sebagai
pidana pengganti denda tidak pernah diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai pemidanaan terhadap korporasi khususnya pelaku Tindak
Pidana Lingkungan. Pengaturan mengenai aset/harta korporasi yang paling
mendekati adalah pada Pasal 21 ayat (1) sampai ayat (6) Peraturan Mahkamah
Agung RI Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak
Pidana oleh Korporasi tentang “Penanganan Harta Kekayaan Korporasi”. Dari
pengaturan tersebut, tidak ada pengaturan yang menyebutkan bahwa penyitaan
terhadap aset/harta korporasi ditujukan sebagai pidana pengganti denda dengan
tujuan untuk membayar jumlah denda tersebut.

Permasalahan yang tak kalah menarik adalah putusan ini dalam amarnya
menjatuhkan pidana tambahan kepada Terdakwa II sebagai korporasi untuk
melakukan beberapa tindakan-tindakan. Tindakan tersebut adalah terdiri dari: (1)

mempunyai nilai paling tinggi dan paling penting.Bagi teori ini, etika hanya berlaku pada
manusia.Maka, segala tuntutan mengenai perlunya kewajiban dan tanggung jawab moral manusia
terhadap lingkungan hidup dianggap sebagi tuntutan yang berlebihan, tidak relevan, dan tidak pada
tempatnya.( A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2010,
hlm. 47-48)
10
Ekosentrisme adalah paradigma yang menyampaikan pandangannya secara ekologis, mahluk hidup
dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lainnya. Kewajiban dan tanggung jawab
moral tidak hanya dibatasi oleh mahluk hidup, akan tetapi berlaku juga terhadap realitas ekologis
(Sutoyo, “Paradigma Perlindungan Lingkungan Hidup”, Jurnal Hukum Adil, Vol. 4, No. 1, hlm. 202)

Jurnal Ilmiah 5
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
BANDUNG NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)
Indriyane Vera Natalia, Sigid Suseno, Maret Priyanta

memperbaiki kinerja Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sehingga air limbah yang
dibuang ke media lingkungan sudah memenuhi ketentuan baku mutu, (2) memeriksa
kadar parameter baku mutu air limbah cair secara periodik, sekurannya sekali dalam
sebulan atas biaya perusahaan pada laboratorium rujukan, dan (3) menyampaikan
laporan tentang debit harian kadar parameter baku mutu limbah cair, produksi
dan/atau bahan baku bulanan senyatanya, sekurang-kurangnya tiga bulan sekali
kepada Wali Kota Banjar dengan tembusan kepada Menteri Negara Lingkungan
Hidup. Hal yang menjadi menarik adalah ketiga tindakan-tindakan tersebut tidak diatur
secara kongkret dalam pengaturan mengenai “Pidana Tambahan atau Tindakan Tata
Tertib” yang diatur dalam Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa masih terdapat permasalahan dalam
pemidanaan terhadap korporasi dalam tindak pidana lingkungan serta ditemukannya
terobosan-terobosan baru khususnya dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung
No.344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg. Maka dari itu, penulis tertarik untuk mengkaji lebih
dalam mengenai pemidanaan dalam kasus pencemaran lingkungan sehingga
ditemukan permasalahan serta terobosan berkaitan tentang pemidanaan terhadap
korporasi. Berdasarkan hal di atas, penulis bermaksud untuk melakukan penulisan
hukum dalam bentuk studi kasus dengan judul: PERTANGGUNGJAWABAN DAN
PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA
LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI BANDUNG
NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)

2. Permasalahan Hukum
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, permasalahan hukum
yang akan diangkat adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana
lingkungan sebagaimana diputus dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung
No. 344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg?
b. Bagaimana penetapan pidana pengganti denda dan pidana tambahan untuk
korporasi dihubungkan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup?

3. Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan penulisan studi kasus yang bersifat yuridis normatif
tentang persoalan-persoalan yang menyangkut tentang pemidanaan terhadap
korporasi dalam tindak pidana lingkungan. Pada kasus perkara yang menyangkut
tindak pidana lingkungan dengan pelaku korporasi ini, yang menjadi acuan dalam
analisis penulisan studi kasus ini adalah Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No.
344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg. Oleh karena itu, seluruh bahasan dalam penelitian ini
adalah merupakan analisis kasus dalam perkara mengenai pemidanaan korporasi

Jurnal Ilmiah 6
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
BANDUNG NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)
Indriyane Vera Natalia, Sigid Suseno, Maret Priyanta

dalam tindak pidana lingkungan sebagaimana yang telah dijelaskan. Sehingga


demikian, jenis penelitian ini adalah sebuah penelitian hukum normatif.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan studi kasus ini adalah dengan
melakukan pendekatan yuridis normatif mengkaji dan meneliti data sekunder berupa
bahan hukum primer yakni KUHAP, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, Undang-
Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Putusan No.
344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg, Putusan No. 155/Pid.Sus/2013/PN.Cms serta peraturan
perundang-undangan lainnya dan bahan hukum sekunder yakni kepustakaan terkait
dan studi wawancara dengan hakim Pengadilan Tinggi Bandung untuk menganalisis
putusan tersebut.

Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan metode yuridis normatif yaitu pengolahan bahan berwujud kegiatan
untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Dalam hal ini,
pengolahan bahan dilakukan dengan cara melakukan seleksi data sekunder atau
bahan hukum, kemudian melakukan klasifikasi menurut penggolongan bahan hukum
dan menyusun hasil pembahasan tersebut secara sistematis, dan dilakukan secara
logis, artinya adanya hubungan dan keterkaitan antara bahan hukum satu dengan
hukum lainnya untuk mendapatkan gambaran umum dari hasil penelitian bahan
hukum, khususnya yang berhubungan dengan praktik yang terjadi faktual dengan
permasalahan pada pokok pembahasan selanjutnya berdasarkan badan hukum
tersebut akan diinterprestasikan dan dianalisa dengan ketentuan hukum mengenai
dikeluarkan putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi Bandung.

B. ANALISIS DAN DISKUSI


1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Lingkungan
sebagaimana diputus dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No.
344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg
a. Pertanggungjawaban Pidana terhadap Terdakwa I dan Terdakwa II dalam
Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg

Pada Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg,


Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dalam pertimbangannya menjatuhkan putusan
pada tanggal 18 November 2013 berupa pemidanaan terhadap Terdakwa I yakni
Direktur Utama PT Albasi Priangan Lestari sebagai perorangan dan Terdakwa II
yakni PT Albasi Priangan Lestari sebagai korporasi. Dalam amar putusannya,
hakim menjatuhkan pemidanaan sebagai berikut:11

1. Menerima permohonan banding dari para Pembanding: Penuntut


Umum pada Kejaksaan Negeri Ciamis dan Terdakwa I CR;
2. Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Ciamis, tanggal 5
September 2013, Nomor 155/Pid.Sus/2013/PN.Cms yang

11
Lihat Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg hlm. 19-21

Jurnal Ilmiah 7
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
BANDUNG NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)
Indriyane Vera Natalia, Sigid Suseno, Maret Priyanta

dimohonkan banding tersebut, sekedar mengenai pemberatan


pemidanaan kepada para Terdakwa, sehingga amar lengkapnya
sebagai berikut:
a. Menyatakan Terdakwa I CR dan Terdakwa II PT APL, terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Pelanggaran Baku Mutu Air Limbah”.

Penjatuhan pidana tersebut didasarkan pada berbagai pertimbangan-


pertimbangan Majelis Hakim Pengadlan Tinggi. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi
berpendapat bahwa putusan hakim tingkat pertama yang menyatakan Terdakwa I
dan Terdakwa II terbukti bersalah melakukan tindak pidana Pelanggaran Baku
Mutu Air Limbah telah tepat dan benar menurut hukum.12 Dalam putusan ini,
Terdakwa I yakni perseorangan dan Terdakwa II yakni korporasi dijatuhi
pemidanaan dalam sebuah putusan yang sama.
Mencermati pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pemidanaan pada
Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg terhadap
Terdakwa I dan Terdakwa II, dapat dilihat bahwa pemidanaan dijatuhkan terhadap
subyek hukum yang berbeda yakni perorangan atau manusia dan korporasi.
Pasca dijatuhkannya pemidanaan tersebut, para Terdakwa harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan amar yang diputus oleh
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi. Permasalahan yang perlu ditilik adalah apakah
para Terdakwa tersebut dapat mempertanggungjawabkan tindak pidana yang
dilakukannya.

Istilah “criminal responsibility” atau pertanggungjawaban pidana dapat


diartikan sebagai suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang
Terdakwa atau Tersangka dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan
pidana yang terjadi atau tidak. Seorang pelaku dapat dipidana apabila telah
memenuhi syarat yakni tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-
unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. Pertanggungjawaban pidana
mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau
melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang
tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan
kesalahannya.

Pelaku atau orang yang melakukan perbuatan pidana akan


mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia memiliki
kesalahan. Seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan
perbuatan tersebut dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif
mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.13 Adanya kesalahan
dalam diri Terdakwa merupakan unsur mutlak yang mengakibatkan dimintakannya

12
Ibid., hlm. 14
13
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm. 41

Jurnal Ilmiah 8
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
BANDUNG NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)
Indriyane Vera Natalia, Sigid Suseno, Maret Priyanta

pertanggungjawaban pidana.14 Terdakwa harus mempertanggungjawabkan


perbuatan yang telah dilakukannya, jika ditemukan unsur kesalahan padanya,15
karena suatu tindak pidana itu terdiri atas a criminal act (actus reus) dan a criminal
intent (mens rea).16 Actus reus atau guilty act dan mens rea atau guilty mind di
atas mutlak harus ada dalam pertanggungjawaban pidana.17 Maka dari itu, tindak
pidana tidak dapat dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana, atau dipisahkan
dari unsur kesalahan.18 Prinsip actus reus dan mens rea dapat dikecualikan pada
delik yang bersifat strict liability di mana mens rea tidak perlu dibuktikan.19

Adapun kesalahan sendiri dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu kesengajaan


(opzet) dan kelalaian (culpa).20 Kesengajaan terdiri dari 3 (tiga) macam yaitu
kesengajaan yang bersifat tujuan, kesengajaan secara keinsyafan kepastian, dan
kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan,21 sedangkan kelalaian terletak
antara sengaja dan kebetulan yang bagaimanapun dipandang lebih ringan
dibandingkan dengan sengaja. Culpa mengandung 2 (dua) macam bentuk, yaitu
delik kelalaian yang menimbulkan akibat (culpa lata) dan yang tidak menimbulkan
akibat (culpa levi).

Disamping kemampuan bertanggung jawab, kesalahan (schuld) dan sifat


melawan hukum (wederrechtelijk), Soedarto22 mengatakan bahwa syarat untuk
pengenaan pidana ialah pembahayaan masyarakat oleh perbuatan tersebut.
Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana dalam artinya dipidananya
si pembuat, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, yakni: (1) adanya
suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat, (2) adanya unsur kesalahan
berupa kesengajan, (3) adanya pembuat yang mampu bertanggung jawab; dan
(4) tidak adanya alasan pemaaf.23

Dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg


di atas, tindak pidana dilakukan oleh subyek hukum yang berbeda. Dalam
penjatuhan pidana, dikenal konsep tentang subjek hukum atau “orang” selaku
pendukung hak dan kewajiban yang memiliki kedudukan penting dalam ilmu
hukum termasuk penjatuhan pidana tersebut. Dalam hukum pidana dikenal 2 (dua)
jenis pendukung hak dan kewajiban, yaitu manusia dan badan hukum. Badan

14
Hasbullah F. Sjawie, Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta:
Kencana, 2017, hlm. 258
15
Suharto R.M., Hukum Pidana Materiel: Unsur-Unsur Objektif sebagai Dasar Dakwaan, Edisi Kedua,
Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hlm. 106
16 th
Robert W. Emerson, Business Law 4 Ed., New York: Barron’s, 2004, hlm. 409
17 th
Paul Dobson, Nutshells Criminal Law, 8 Ed. London: Sweet & Maxwell, 2008, hlm. 5
18
Moeljatno, Op. Cit., hlm. 57
19
Roger Geary, Understanding Criminal Law, Oregon USA: Cavendish Publishing Limited, 2002, hlm. 7
20
Ibid., hlm. 48
21
Ibid., hlm. 46
22
Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut Studi Kasus, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2005, hlm. 43
23
Ibid., hlm. 44

Jurnal Ilmiah 9
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
BANDUNG NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)
Indriyane Vera Natalia, Sigid Suseno, Maret Priyanta

hukum dapat diartikan sebagai kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan


(arah yang ingin dicapai) tertentu, harta kekayaan serta hak dan kewajiban
sendiri.24 Perbedaan jenis subyek hukum dari para Terdakwa tentu mempengaruhi
pemidanaan yang dijatuhkan.

Dalam menganalisis dan menilai apakah pemidanaan yang dijatuhkan


terhadap Terdakwa I oleh hakim dengan seluruh pertimbangan-pertimbangannya
telah sesuai atau tidak perlu dikaji dari berbagai aspek. Aspek pertama ditinjau
dari perbuatan hukum atau actus reus dari Terdakwa I. Berdasarkan Surat Nomor
B-253/Dev.v-2/LH/01/2010 tanggal 15 Januari 2010 perihal perintah melakukan
tindakan tertentu yang merupakan sanksi administrasi, Terdakwa I terbukti tidak
mematuhi surat tersebut dan tidak melakukan pengecekan langsung ke lapangan
mengenai masalah pengelolaan lingkungan hidup. Terdakwa baru turun ke
lapangan hanya jika terdapat permasalahan yang menghambat kinerja
perusahaan dan ternyata setelah 2 (dua) kali pemeriksaan, air limbah yang
dihasilkan masih melampaui baku mutu.25

Mencermati hal di atas, actus reus dari Terdakwa I sudah dapat terlihat dan
dinyatakan tepat untuk dijatuhkan pemidanaan. Sebagai satu-satunya organ yang
melaksanakan fungsi pengurusan perseroan dan bertanggung jawab untuk
kepentingan dan tujuan perseroan,26 seorang direksi dalam menjalankan fungsi
manajemen27 dan fungsi perwakilan28 wajib melakukan cara-cara yang baik, layak,
dan berlandaskan itikad baik, dengan memperhatikan doktrin dari kaidah hukum
perseroan yang berlaku universal, perundang-undangan, anggaran dasar
perseroan serta kebiasaan dalam praktik untuk perseroan sejenis,29 serta jika ada,
perjanjian kerja,30 yang ditandatangani ketika dia diangkat sebagai direksi.
Tindakan direksi dianggap sah sepanjang bersesuaian dengan undang-undang,
anggaran dasar, dan RUPS sebagaimana ditegaskan pula oleh Yurisprudensi
Mahakamah Agung No. 1020K/Pdt/1966 tanggal 20 Maret 1997. Tugas dan
tanggung jawab melakukan pengurusan sehari-hari untuk kepentingan dan sesuai

24
Salim HS, Pengatar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 26
25
Lihat Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg, hlm. 6
26
Ibid.
27
Fungsi Manajemen atau Fungsi Pengurusan adalah fungsi yang dilakukan oleh direksi saat
melakukan tugas memimpin perusahaan. Pengurusan yang dilakukan oleh Direksi harus dijalankan
sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang
dan/atau ADRT PT dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. (Lihat Pasal 92 ayat (2) jo. Pasal
97 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas)
28
Fungsi Perwakilan adalah fungsi yang dilakukan oleh direksi saat mewakili perseroan baik di dalam
maupun di luar pengadilan. Kewenangan mewakili dilakukan untuk dan atas nama (for on behalf)
perseroan, bukan atas nama direksi sendiri atau pemegang saham atau komisaris tetapi untuk
mewakili Perseroan (representative of the company) (M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 349)
29
Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, hlm. 60
30
Hasbullah F. Sjawie, Op. Cit., hlm. 164

Jurnal Ilmiah 10
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
BANDUNG NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)
Indriyane Vera Natalia, Sigid Suseno, Maret Priyanta

dengan maksud dan tujuan perseroan disebut sebagai prinsip fiduciary duties.31
Dalam pengelolaan perseroan atau perusahaan, para anggota direksi sebagai
organ vital dalam perusahaan tersebut merupakan pemegang amanah (fiduciary)
yang harus berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan.
Tindakannya yang diluar kewenangannya tidak mengikat perseroan, kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang.32 Padahal, kewenangan direksi untuk
mengurus perseroan sesuai dengan tujuannya sudah timbul sejak adanya
penunjukannya sebagai direksi, sehingga tidak lagi diperlukan sesuatu apapun
dari pemegang saham untuk menjalankan fungsi dan tugasnya, karena telah
diberikan undang-undang. Direksi mewakili perseroan dalam hukum tanpa
memerlukan surat kuasa khusus. Maka dari itu, dalam putusan ini Terdakwa I
dapat dijatuhkan pemidanaan karena telah terbukti tidak melakukan kewajibannya
sesuai dengan tujuan perseroan.

Aspek kedua yang perlu ditinjau adalah niat atau mens rea serta kondisi batin
dari Terdakwa I. Dalam putusan, dapat dilihat bahwa tidak ditemukan alasan
pemaaf yang dapat menghapuskan pidana terhadap Terdakwa I. Kemudian,
Terdakwa I sudah jelas dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya
dikarenakan kedudukannya sebagai direktur utama sebagaimana diangkat
berdasarkan Akta Risalah Rapat No. 21 tanggal 15 Februari 2007 dan Akta No.
17 tanggal 2 Juni 2009 tentang berita Acara Rapat. Niat atau mens rea dari
Terdakwa I terbukti dengan tidak adanya itikad baik dari Terdakwa I untuk
mencegah atau mengatasi tindak pidana pelanggaran baku mutu air limbah
tersebut.

Aspek ketiga yang perlu dikaji adalah dari sudut pandang jenis pemidanaan
yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi. Terdakwa I yang
dikategorikan sebagai subjek hukum perorangan dalam tindak pidana korporasi
dapat dijatuhkan pemidanaan berbentuk pidana badan dan pidana denda. Pidana
badan yang dijatuhkan oleh majelis hakim dalam putusan ini berupa pidana
penjara. Adapun pengertian dari pidana penjara adalah suatu pidana yang berupa
pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan
menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan
mewajibkan orang tersebut untuk menaati semua peraturan dan tata tertib yang
berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan
tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.33 Sedangkan,
pidana denda adalah kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana denda
tersebut oleh Majelis Hakim di pengadilan untuk membayarkan sejumlah uang
tertentu oleh karena ia telah terbukti melakukan suatu perbuatan yang dapat

31
Katharina Pistor dan Chenggang Xu, Fiduciaty Duty in Transtional Civil Law Jurisdiction, dalam:
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=343480, hlm. 3 yang diakses pada Kamis, 1
Oktober 2019
32
Gunawan Widjadja, Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT, Jakarta: Forum Sahabat,
2008, hlm. 43
33
PAF. Lamintang, Op. Cit., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, hlm. 69

Jurnal Ilmiah 11
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
BANDUNG NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)
Indriyane Vera Natalia, Sigid Suseno, Maret Priyanta

dipidana.34

Berbeda dengan terhadap Terdakwa II, dalam mengkaji actus reus nya perlu
ditinjau dari teori-teori pertanggungjawaban dan pemidanaan terhadap korporasi.
Pada awal perkembangan mengenai subjek hukum pidana dan
pertanggungjawaban pidana, secara universal diakui bahwa subjek hukum pidana
adalah orang pribadi (natural person). Bahkan dalam ilmu hukum dikenal doktrin
yang juga turut diterima pada waktu itu yakni universitas delinquere non potest
yang artinya adalah korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana. Pengakuan
terhadap subyek hukum korporasi tidak diatur dalam KUHP karena KUHP hanya
mengenal pertanggungjawaban dari subyek hukum orang perorangan (legal
person). Dari permasalahan akibat tidak diakuinya subyek hukum korporasi oleh
KUHP, maka pengaturan tersebut diakomodir dalam undang-undang di luar KUHP
seperti halnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup khususnya dalam Pasal 116 tentang corporate
liability, Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-
028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara pidana dengan Subjek
Hukum Korporasi, dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 13 Tahun 2016
tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi.

Pasca perkembangan pengakuan terhadap korporasi, terdapat pula terdapat


beberapa doktrin yang turut mengatur mengenai penjeratan dan
pertanggungjawaban suatu korporasi dalam tindak pidana yang dilakukannya.
Doktrin-doktrin terdiri dari identification theory atau directy liability doctrine, strict
liability atau absolute liability doctrine, vicarious liability doctrine, the corporate
culture model atau company culture theory, doctrine of aggregation, dan reactive
corporate fault. Kembali lagi kepada Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor
344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi menjatuhkan
pemidanaan terhadap Terdakwa II yang berbentuk korporasi dengan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Selanjutnya, doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi
yang selaras dengan perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa II adalah
identification theory (teori identifikasi) atau direct liability doctrine
(pertanggungjawaban langsung). Adapun maksud dari doktrin ini adalah korporasi
dapat melakukan tindak pidana secara langsung melalui “pejabat senior” (senior
officer) sehingga perbuatan “pejabat senior” (senior officer) tersebut dapat
diidentifikasi sebagai perbuatan dan kehendak dari perusahaan atau korporasi itu
sendiri.35 Dikarenakan adanya teori identifikasi, PT Albasi Priangan Lestaripun
dapat dijerat pertanggungjawaban pidana pula dan dijatuhkan hukuman dengan
kedudukannya sebagai Terdakwa II. Dengan demikian, unsur actus reus dari
Terdakwa II sudah sesuai dan tepat untuk dijatuhkan pemidanaan.

34
Ibid., hlm. 222
35
Kristian, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ditinjau dari berbagai Konvensi Internasional,
Op. Cit., hlm. 85-98

Jurnal Ilmiah 12
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
BANDUNG NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)
Indriyane Vera Natalia, Sigid Suseno, Maret Priyanta

Selanjutnya, pemidanaan terhadap Terdakwa II perlu ditinjau pula dari aspek


yang kedua yakni niat atau mens rea dari Terdakwa II. Dalam hukum pidana, untuk
terciptanya suatu tindak pidana haruslah memenuhi syarat mutlak, yakni adanya
actus reus dan mens rea. Terhadap syarat mutlak tersebut berlaku prinsip actus
non facit reum, nisi mens sit rea. Dikarenakan keberadaan dari asas ini, maka
hanya manusia yang dapat melakukan suatu tindak pidana mengingat hanya
manusia yang mempunyai kesalahan/mens rea atau evil mind atau evil will (sikap
batin jahat).36 Selanjutnya, aspek terakhir yang perlu dikaji adalah dari sudut
pandang jenis pemidanaan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi
terhadap Terdakwa II. Terdakwa II sebagai subyek hukum berbentuk korporasi
hanya dapat dijatuhkan hukuman berupa pidana denda.

b. Pemidanaan Korporasi dalam Tindak Pidana Lingkungan

Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dalam pertimbangannya menjatuhkan amar


putusan yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Ciamis No.
155/Pid.Sus/2013/PN.Cms yang telah dimohonkan banding. Adapun bentuk
perbaikan berupa pemberatan pemidanaan yang dijatuhkan Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi adalah terhadap para Terdakwa salah satunya mengenai jenis
dan berat pemidanaan. Dalam putusan pengadilan tingkat pertama, Terdakwa I
dijatuhkan pidana penjara selama 5 (lima) bulan dengan ketentuan pidana
tersebut tidak perlu dijalankan kecuali apabila dalam tenggang waktu selama 7
(tujuh bulan) dengan putusan hakim, Terdakwa telah melakukan suatu perbuatan
yang dapat dihukum. Sedangkan, dalam putusan tingkat banding, Terdakwa I
dijatuhkan pidana lebih berat yakni pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan
pidana denda sebanyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), dengan
ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan
selama 4 (empat) bulan. Selanjutnya, dalam putusan pengadilan tingkat pertama,
terhadap Terdakwa II dijatuhkan pidana denda sebesar Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti
dengan kurungan selama 1 (satu) bulan. Sedangkan, dalam putusan pengadilan
tingkat banding, Terdakwa II dijatuhkan pidana denda sebanyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut
tidak dibayarkan maka sebagian aset/harta PT APL, disita dan dijual lelang untuk
sekedar cukup untuk membayar jumlah denda dimaksud. Selain itu, Terdakwa II
juga dijatuhkan pidana tambahan.

Dalam memutus sebuah kasus tindak pidana korporasi di bidang lingkungan,


majelis hakim dapat menggunakan beberapa pendekatan yang mendasari
pertimbangan-pertimbangannya dalam menjatuhkan putusan. Pendekatan
tersebut terdiri dari pendekatan antroposentrisme, biosentrisme, dan

36
Sigid Suseno & Nella Sumika Putri, Hukum Pidana Indonesia: Perkembangan dan Pembaharuan,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013, hlm. 209

Jurnal Ilmiah 13
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
BANDUNG NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)
Indriyane Vera Natalia, Sigid Suseno, Maret Priyanta

ekosentrisme. Mencermati kedua putusan di atas, dapat dilihat bahwa terdapat


perbedaan pandangan antara hakim pada tingkat pertama maupun tingkat
banding yang mempengaruhi penjatuhan pidana. Mencermati pertimbangan-
pertimbangan hukum hakim pada tingkat pertama dan banding, Majelis Hakim
pada tingkat pertama memutus dengan menggunakan pendekatan
antroposentrisme dan mempertimbangkan aspek yuridis, sosiologis, psikologis,
dan filosofis. Adapun arti dari pendekatan antroposentrisme adalah teori etika
lingkungan hidup yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam
semesta. Pendekatan ini juga merupakan teori filsafat yang mengatakan bahwa
nilai dan prinsip moral hanya berlaku bagi manusia dan bahwa kebutuhan serta
kepentingan manusia mempunyai nilai paling tinggi dan paling penting. Bagi
pendekatan antroposentrisme, etika hanya berlaku bagi manusia. Maka,
kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan hidup semata-
mata hanya demi memenuhi kepentingan sesama manusia, bukan merupakan
perwujudan kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap alam itu
sendiri.37

Pendekatan antroposentrisme yang menjadi dasar pemidanaan membuat


pidana yang dijatuhkan cenderung ringan. Dalam pertimbangannya, Majelis
Hakim Pengadilan Negeri berpendapat bahwa putusan yang dijatuhkan harus
berdasarkan hukum demi untuk menjamin kepastian hukum dan dengan
mempertimbangkan rasa keadilan sehingga akan bermanfaat baik bagi yang
bersangkutan (pelaku tindak pidana) maupun bagi masyarakat. Kemudian, tanpa
adanya kepastian hukum, masyarakat tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan
akhirnya timbul keresahan. Akan tetapi, apabila kita terlalu mengejar kepastian
hukum yang terlalu ketat dalam menaati peraturan hukum, akibatnya akan menjadi
kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Undang-undang akan terasa kejam
apabila dilaksanakan secara ketat seperti dipaparkan dalam adagium “lex dura,
secta mente skripta” (undang-undang itu kejam, tetapi memang demikianlah
bunyinya). Faktanya, meskipun telah terbukti para Terdakwa telah terbukti
melakukan tindak pidana yang didakwakan Penuntut Umum, Majelis tidak
memperoleh fakta bahwa permasalahan air limbah PT Albasi Priangan Lestari
menimbulkan keresahan bagi masyarakat sekitar perseroan. Warga masyarakat
yang tinggal di sekitar lokasi pabrik merasa tidak terganggu dengan adanya
aktivitas pabrik PT Albasi Priangan Lestari.38

Hal tersebut sangat berbeda dengan pertimbangan-pertimbangan yang


dikemukakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi. Mencermati hal di atas, dapat
dilihat bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi memutus dengan menggunakan
pendekatan biosentrisme dan ekosentrisme. Pendekatan biosentrisme dapat
diartikan sebagai kesadaran bahwa kehidupan adalah hal yang sakral. Kesadaran
ini mendorong manusia untuk selalu berusaha mempertahankan kehidupan dan

37
A. Sonny Keraf, Op. Cit., hlm. 47-48
38
Lihat Putusan Pengadilan Negeri Ciamis No. 155/Pid.Sus/2013/PN.Cms hlm. 63-64

Jurnal Ilmiah 14
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
BANDUNG NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)
Indriyane Vera Natalia, Sigid Suseno, Maret Priyanta

memperlakukan kehidupan dengan sikap hormat. Pendekatan ini didasarkan pada


hubungan yang khas antara manusia dana lam, dan nilai yang ada pada alam itu
sendiri. Alam memiliki harkat dan nilai karena ada kehidupan di dalamnya.
Terlepas dari apapun kewajiban dan tanggung jawab moral yang manusia miliki
terhadap sesama manusia, manusia mempunyai kewajiban dan tanggung jawab
moral terhadap semua mahluk di bumi demi kepentingan manusia.39 Kemudian,
pendekatan ekosentrisme adalah pendekatan yang menawarkan pemahaman
yang semakin memadai tentang lingkungan. Kepedulian ini diperluas sehingga
mencakup komunitas ekologis seluruhnya, baik yang hidup maupun yang tidak.
Dengan demikian, manusia dengan kesadaran penuh diminta untuk membangun
suatu kearifan budi dan kehendak untuk hidup dalam keterkaitan dan saling
ketergantungan satu sama lain dengan seluruh isi alam semesta sebagai suatu
gaya hidup yang semakin selaras dengan alam.40

Pendekatan biosentrisme dan ekosentrisme yang menjadi dasar pemidanaan


membuat pidana yang dijatuhkan cenderung sangat berbeda dengan pidana yang
dijatuhkan di Pengadilan Negeri Ciamis. Pidana yang dijatuhkan di tingkat banding
ini cenderung sangat berat. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Pengadilan
Tinggi tidak sependapat dengan pidana bersyarat yang dijatuhkan kepada
Terdakwa maupun mengenai besaran nilai atau jumlah pidana denda yang
dijatuhkan kepada Terdakwa II. Alasan pertama majelis hakim adalah pidana
bersyarat atau percobaan yang dijatuhkan kepada Terdakwa I sangat ringan dan
tidak memberi efek jera kepada Terdakwa I maupun pelaku industri lain yang
berpotensi melakukan pelanggaran baku mutu air limbah. Alasan selanjutnya
adalah majelis hakim berpendapat pelanggaran baku mutu air limbah yang
dilakukan oleh Terdakwa harus dipandang sebagai pelanggaran serius sebab
limbah cair dari kegiatan industri melebihi baku mutu yang ditetapkan. Kemudian,
alasan selanjutnya adalah majelis hakim berpendapat pidana denda kepada
Terdakwa patut diperbeta. Denda sebesar Rp. 100.000.000,00 yang dijatuhkan
hakim tingkat pertama sangat ringan dan tidak signifikan bagi Terdakwa II selaku
korporasi atas dasar kinerja penataan dan tingkat kepedulian perusahaan dalam
pelestarian lingkungan.41

Kedua pendekatan yang berbeda antara Majelis Hakim Pengadilan Negeri dan
Pengadlan Tinggi disinyalir dikarenakan beberapa faktor. Faktor yang paling kuat
adalah faktor yang bersumber dari diri hakim sendiri. Persepsi hakim terhadap
“philosophy of punishment” dan “the aims of punishments” atau dapat juga disebut
sebagai “the basic difficulty”, sangat memegang peranan penting di dalam
penjatuhan pidana.42 Seorang hakim mungkin berpikir bahwa tujuan “deterrence”
hanya bisa dicapai dengan pidana penjara, namun di lain pihak dengan tujuan
39
A. Sonny Keraf, Op. Cit., hlm. 48
40
Antonius Atosokhi Gea & Antonia Panca Yuni Wulandari, Relasi dengan Dunia, Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2005, hlm. 58-59
41
Lihat Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg hlm. 15-17
42
Sigid Suseno & Nella Sumika Putri, Op. Cit., hlm. 94

Jurnal Ilmiah 15
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
BANDUNG NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)
Indriyane Vera Natalia, Sigid Suseno, Maret Priyanta

yang sama, hakim lain akan berpendapat bahwa pengenaan denda akan lebih
efektif. Seorang hakim yang memandang “classical school” lebih baik daripada
“positive school” akan memidana lebih berat, sebab pandangannya adalah “let the
punishment fir the crime”. Dan sebaliknya yang berpandangan modern (positive
school) akan memidana lebih ringan sebab ia akan berfikir bahwa “punishment fit
the criminal”. 43

Fenomena perbedaan pendekatan yang digunakan oleh para hakim dalam


putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi perlu dikaji dan dihubungkan
dengan pemenuhan tujuan pemidanaan dan tujuan hukum lingkungan. Tujuan
pemidanaan sendiri dibagi menjadi 3 (tiga) yakni teori absolut / retributive, teori
relative / teologis, dan teori gabungan / retributive teologis. Teori absolut adalah
suatu hal yang mutlak harus dijatuhkan terhadap adanya suatu kejahatan. Dalam
teori absolut atau teori pembalasan ini, pidana tidaklah bertujuan untuk tujuan
praktis seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendiri yang mengandung
unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak tetap ada karena
dilakukannya suatu kejahatan dan tidak perlu memikirkan manfaat dari penjatuhan
pidana.44 Selanjutnya, teori relatif adalah teori yang memiliki makna pemidanaan
bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan akan tetapi
pembalasan tersebut tidak memiliki nilai tetapi hanya sebagai sarana untuk
melindungi kepentingan masyarakat.45 Terakhir, teori gabungan adalah teori yang
menitikberatkan pembalasan dan ada pula yang menginginkan supaya unsur
pembalasan seimbang dengan unsur prevensi. Pada intinya, teori ini menunjukan
pidana bertujuan untuk mempersiapakn dan mengembalikan terpidana ke dalam
kehidupan masyarakat.

Dengan adanya perbedaan pendekatan yang digunakan para hakim dalam


putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi mencerminkan adanya
kesenjangan dalam pemenuhan tujuan pemidanaan dan tujuan hukum
lingkungan. Pemidanaan yang ringan yang diputuskan dalam putusan pengadilan
negeri memperlihatkan bahwa tujuan yang hendak dicapai adalah tujuan dari
sudut pandang pidana yakni tujuan pemidanaan dalam kaca mata teori gabungan.
Hal ini terlihat dari pertimbangan hakim yang selaras dengan makna dari teori ini
yakni untuk mempersiapkan dan mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan
masyarakat. Pemidanaan yang ringan disinyalir dikarenakan meskipun para
Terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan, akan tetapi
untuk menyelaraskan tuntutan Penuntut Umum sebagai penerapan asas ultimum
remidium atas kesalahan yang harus dipertanggungjawabankan para Terdakwa
degan kepastian, kemanfaatan dan keadilan, perlu kiranya diperkirakan apakah

43
Harkristuti Harkrisnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi
dan Pemidanaan di Indonesia” Orasi pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai Sidang Universitas Indonesia, 8 Maret
2003
44
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Jakarta: Pradgnya Paramita, 1993, hlm. 26
45
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hlm. 7

Jurnal Ilmiah 16
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
BANDUNG NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)
Indriyane Vera Natalia, Sigid Suseno, Maret Priyanta

perbuatan para Terdakwa berdampak besar dan menimbulkan keresahan bagi


masyarakat atau tidak. Berdasarkan fakta-fakta diperoleh bahwa pencemaran
lingkungan yang dilakukan para Terdakwa tidak memberikan dampak yang begitu
besar bagi masyarakat dan tidak menimbulkan keresahan. Maka dari itu, Majelis
Hakim Pengadilan Negeri memutus dengan putusan yang sangat ringan. Dengan
putusan yang sangat ringan ini, tentunya tujuan hukum lingkungan tidak dapat
tercapai secara efektif. Walaupun tidak menimbulkan keresahan bagi masyarakat,
tindak pidana ini tetap menimbulkan pencemaran pada lingkungan yang
sesungguhnya perlu untuk dipulihkan.

Menurut pendapat Penulis, kesenjangan dalam pemenuhan tujuan


pemidanaan dan tujuan hukum lingkungan yang tercerminkan dalam putusan
tingkat pertama dan tingkat banding ini dapat diatasi dengan cara menjamin
bahwa Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No.
134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup sudah
diterapkan pada semua perkara lingkungan khususnya dalam kasus ini adalah
tindak pidana lingkungan dengan pelaku korporasi. Seluruh perkara lingkungan
perlu ditangani secara khusus oleh institusi pengadilan yang memahami urgensi
perlindungan lingkungan hidup dengan cara ditangani oleh hakim yang
mempunyai sertifikasi lingkungan hidup. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 2
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 134/KMA/SK/IX/2011
tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup yang berbunyi “perkara lingkungan
hidup harus diadili oleh hakim lingkungan hidup yang bersertifikat dan telah
diangkat oleh ketua Mahkamah Agung”. Selanjutnya, hingga sekarang proses
peradilan tindak pidana lingkungan hidup masih ditangani dalam peradilan umum
yang artinya tidak ada kekhususan dalam penanganan tindak pidana lingkungan
hidup. Maka dari itu, untuk kedepannya perlu adanya peradilan khusus lingkungan
hidup guna memberikan kepuasan bagi masyarakat atas kepercayaan penegakan
hukum serta kualitas putusan yang dihasilkan atas perkara lingkungan hidup.

2. Pidana Pengganti Denda dan Pidana Tambahan untuk Korporasi


dihubungkan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
a. Penetapan Pidana Pengganti Denda untuk Korporasi dihubungkan
dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup

Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 344/Pid.Sus/2013 dalam


pertimbangannya menjatuhkan pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok
dapat diartikan sebagai pidana utama yang dijatuhkan dalam suatu putusan.
Pidana pokok dapat terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan
pidana denda. Dalam putusan ini, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dalam
pertimbangannya menjatuhkan pidana pokok beserta pidana penggantinya dalam

Jurnal Ilmiah 17
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
BANDUNG NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)
Indriyane Vera Natalia, Sigid Suseno, Maret Priyanta

amar putusan yang berbunyi sebagai berikut:46

a. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa I dengan pidana penjara


selama 1 (satu) tahun dan pidana denda sebanyak Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila
denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan
selama 4 (empat) bulan;
b. Menjatuhkan pidana denda kepada Terdakwa II sebanyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), dengan ketentuan apabila
denda tersebut tidak dibayarkan maka sebagian aset/harta PT APL,
disita dan dijual lelang untuk sekedar cukup untuk membayar jumlah
denda dimaksud;

Dari amar tersebut dapat disimpulkan bahwa pidana pokok yang dijatuhkan
terhadap Terdakwa I berupa pidana penjara dan pidana denda dengan pidana
pengganti berupa kurungan. Kemudian, terhadap Terdakwa II dijatuhkan pidana
pokok berupa pidana denda dengan pidana pengganti denda berupa penyitaan
dan pelelangan aset/harta PT Albasi Priangan Lestari untuk sekedar cukup untuk
membayar sejumlah denda tersebut.

Mencermati amar putusan di atas, dapat dilihat bahwa Majelis Hakim


Pengadilan Tinggi menjatuhkan pidana pengganti terhadap Terdakwa II sebagai
korporasi berupa penyitaan dan pelelangan aset / harta korporasi untuk sekedar
cukup membayar jumlah denda sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Hal ini
perlu dikaji dikarenakan hingga kini penyitaan dan pelelangan aset/harta korporasi
sebagai pidana pengganti denda tidak pernah diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai pemidanaan terhadap korporasi khususnya
dalam konteks sebagai pelaku Tindak Pidana Lingkungan. Pengaturan yang
mengatur mengenai aset/harta korporasi salah satunya adalah Pasal 21 ayat (1)
sampai ayat (6) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 13 Tahun 2016 tentang
Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi tentang
“Penanganan Harta Kekayaan Korporasi” dan Pasal 46 KUHAP. Akan tetapi,
kedua pasal tersebut tidak mengatur mengenai penyitaan dan pelelangan
aset/harta korporasi sebagai pidana pengganti denda.

Hingga kini, peraturan perundang-undangan yang menerapkan pidana


pengganti denda seperti amar putusan di atas adalah Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang khususnya dalam Pasal 7 dan 9 dan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.Menurut pendapat
Penulis, penjatuhan pidana pengganti denda seperti yang sudah dipaparkan di
atas merupakan hal yang sangat baik dan perlu diterapkan dalam seluruh putusan

46
Lihat Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg hlm. 19-21

Jurnal Ilmiah 18
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
BANDUNG NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)
Indriyane Vera Natalia, Sigid Suseno, Maret Priyanta

perkara lingkungan hidup. Hal ini diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi
demi terciptanya efektivitas pemidanaan khususnya terhadap korporasi pelaku
tindak pidana lingkungan. Dengan demikian, pelaksanaan pidana denda yang
dijatuhkan tidak memiliki kemungkinan tidak dapat dilakukan oleh Terdakwa II
karena langsung dapat dieksekusi dari harta/aset korporasi.

b. Penetapan Pidana Pengganti Denda untuk Korporasi dihubungkan


dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Putusan Pengadilan Tinggi Bandung


No. 344/Pid.Sus/2013 dalam pertimbangannya menjatuhkan pidana pokok dan
pidana tambahan. Pidana pokok terhadap putusan ini telah dipaparkan di dalam
pembahasan sebelumnya. Dalam bagian ini, penulis akan menyoriti pidana
tambahan yang dijatuhkan kepada korporasi. Pidana tambahan dapat diartikan
sebagai pidana yang hanya dapat dijatuhkan di samping pidana pokok.47
Terhadap korporasi tidak dapat dikenakan hukuman pidana pokok selain hukuman
pidana denda, akan tetapi pengenaan pidana denda sering kali dirasakan oleh
korporasi bukan sebagai hukuman, sehingga pengenaan denda saja dirasakan
kurang cukup.48 Penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif yang artinya
penjatuhan pidana tambahan tidak boleh tanpa dengan menjatuhkan pidana
pokok dan harus bersama-sama.49 Jenis-jenis pemidanaan tambahan dapat
dibagi menjadi pidana pencabutan hak-hak tertentu, pidana perampasan barang
tertentu, dan pidana pengumuman putusan. Dalam perkembangannya, pidana
tambahan dapat berupa pencabutan izin usaha, perampasan keuntungan yang
diperoleh dari tindak pidana, penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha
dan/atau kegiatan, perbaikan akibat tindak pidana, kewajiban mengerjakan apa
yang dilalaikan tanpa hak, penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling
lama tiga tahun, pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi,
pengumuman putusan hakim, pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha
korporasi, pembubaran dan/atau pelarangan korporasi, perampasan aset
korporasi untuk negara, pengambilalihan korporasi oleh negara, pengembalian
dana hasil tindak pidana beserta jasa, bunga, atau kompensasi kepada pihak yang
dirugikan, pencabutan status badan hukum, perbaikan akibat tindak pidana, dan
pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak.50

Pengaturan mengenai pidana tambahan dalam tindak pidana lingkungan diatur


dalam Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian, pada perkembangannya tercatat
24 (dua puluh empat) peraturan perundang-undangan dari sekitar 44 (empat puluh

47
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia Op. Cit., hlm. 121.
48
Hasbullah F. Sjawie, Op. Cit., hlm. 341-342
49
Marjane Termorshuizen, Kamus Hukum Bahasa Belanda, Jakarta: Grasindo, 2002, hlm. 65
50
H. Shantos Wachjoe P, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Korporasi, Jurnal Hukum dan Peradilan,
Vol. 5, No. 2, Juli 2016, hlm.. 171

Jurnal Ilmiah 19
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
BANDUNG NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)
Indriyane Vera Natalia, Sigid Suseno, Maret Priyanta

empat) peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana


korporasi yang di dalamnya terdapat ketentuan yang mengatur mengenai pidana
tambahan

Di dalam putusan ini, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dalam


pertimbangannya menjatuhkan pidana tambahan dalam amar putusan sebagai
berikut:51

Menjatuhkan pidana tambahan kepada Terdakwa II, untuk melakukan


tindakan sebagai berikut:
1) Memperbaiki kinerja Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sehingga
air limbah yang dibuang ke media lingkungan sudah memenuhi
ketentuan baku mutu;
2) Memeriksa kadar parameter baku mutu air limbah cair secara periodik,
sekurangnya sekali dalam sebulan atas biaya perusahaan pada
laboratorium rujukan;
3) Menyampaikan laporan tentang debit harian kadar parameter baku
mutu limbah cair, produksi dan/atau bahan baku bulanan senyatanya,
sekurang-kurangnya tiga bulan sekali kepada Wali Kota Banjar
dengan tembusan kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup;

Permasalahan yang perlu dikaji dalam pembahasan ini adalah ketiga tindakan
di atas tidak diatur secara kongkret dalam pengaturan mengenai Pidana
Tambahan khususunya yang diatur dalam Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu,
hal yang menarik bagi penulis adalah dikarenakan dari sekian banyak putusan
mengenai pertanggungjawaban korporasi, putusan inilah yang mencantumkan
pidana tambahan yang berorientasi pada pencegahan dilakukannya tindak pidana
sekaligus sebagai upaya untuk pemulihan dampak kejahatan.

Majelis Hakim Pengadilan Tinggi pada kasus ini melakukan penafsiran


terhadap Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan
dan Perlindungan Lingkungan Hidup untuk mengkaji apakah pidana tambahan
yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi sudah tepat. Penafisran
terhadap Pasal 119 ini sesungguhnya dapat ditemukan dalam penjelasan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan
Lingkungan Hidup, akan tetapi dalam penjelasan tersebut sudah dinyatakan
“cukup jelas”. Maka dari itu, diperlukan adanya proses penafsiran terhadap pasal
tersebut. Proses ini dapat disebut sebagai penemuan hukum. Penemuan hukum
adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang
ditugaskan untuk menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa kongkret.
Hakim akan selalu dihadapkan pada peristiwa konkret, konflik, atau kasus yang
harus diselesaikan atau dipecahkannya, dan untuk itu perlu dicarikan hukumnya.

51
Lihat Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg hlm. 19-21

Jurnal Ilmiah 20
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
BANDUNG NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)
Indriyane Vera Natalia, Sigid Suseno, Maret Priyanta

Maka dari itu, dalam penemuan hukum yang penting adalah mencarikan atau
menemukan hukumnya untuk peristiwa konkret. 52

Dalam kasus ini, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi menerapkan penemuan


hukum dengan metode ekstensif dalam memutus. Interpretasi ekstensif adalah
penafsiran yang memperluas arti suatu peraturan dengan tidak hanya bertitik tolak
pada artinya menurut bahasa.53 Penafsiran ini juga kerap kali disebut sebagai
penafsiran analogi. Penafsiran ekstensif dalam putusan ini dapat ditemukan ketika
hakim dalam pertimbangannya memaknai Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Dalam
pertimbangannya, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi menjatuhkan pidana
tambahan yakni 3 (tiga) tindakan didasarkan pada penafsiran terhadap
nomenklatur huruf d yakni “pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa
hak”. Nomenklatur tersebut ditafsirkan dalam bentuk tindakan-tindakan yakni
memperbaiki kinerja IPAL sehingga air limbah yang dibuang ke media lingkungan
sudah memenuhi ketentuan baku mutu, memeriksa kadar parameter baku mutu
air limbah cair secara periodik sekurangnya sekali dalam sebulan atas biaya
perusahaan pada laboratorium rujukan, dan menyampaikan laporan tentang debit
harian kadar parameter baku mutu limbah cair, produksi dan atau bahan baku
bulanan senyatanya, sekurang-kurangnya tiga bulan sekali kepada Walikota
Banjar dengan tembusan Menurut pendapat Penulis, penjatuhan pidana
tambahan yang dijatuhkan atas penafsiran ekstensif seperti yang sudah dijelaskan
di atas merupakan hal yang sangat baik dan perlu diterapkan dalam seluruh
putusan perkara lingkungan hidup. Hal ini diputuskan oleh Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi demi terciptanya efektivitas pemidanaan khususnya terhadap
korporasi pelaku tindak pidana lingkungan. Dengan demikian, tujuan pemidanaan
dan tujuan hukum lingkungan yakni pemulihan lingkungan dapat dicapai dengan
mudah pasca dijatuhkannya pidana tambahan yang berorientasi kepada
perbaikan dan pemulihan lingkungan kepada Menteri Lingkungan Hidup.54
C. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya, penulis
bermaksud memberikan kesimpulan sebagai berikut
1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi terhadap Terdakwa I dan Terdakwa II
dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg telah
sesuai dengan asas, norma dan kaedah yang relevan. Pertanggungjawaban
pidana terhadap Terdakwa I telah sesuai dengan prinsip dan norma yang
terkandung dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas serta prinsip fiduciary duties. Jenis pemidanaan yang dijatuhkan
terhadap Terdakwa I juga sudah tepat yakni berbentuk pidana badan dan pidana
denda. Kemudian, pertanggungjawaban pidana terhadap Terdakwa II telah sesuai
dengan prinsip dan norma yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 32
52
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014, hlm. 51
53
Ibid., hlm. 91
54
Lihat Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg hlm. 17

Jurnal Ilmiah 21
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
BANDUNG NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)
Indriyane Vera Natalia, Sigid Suseno, Maret Priyanta

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan teori
pertanggungjawaban pidana korporasi yakni identification theory. Jenis
pemidanaan yang dijatuhkan terhadap juga sudah tepat yakni berbentuk pidana
denda dengan pidana tambahan. Kemudian, terdapat perbedaan pemidanaan
antara putusan tingkat pertama dan tingkat banding yang mencerminkan adanya
kesenjangan dalam pemenuhan tujuan pemidanaan dan tujuan hukum
lingkungan. Hal ini dapat diatasi dengan menjamin hakim yang menangani perkara
lingkungan hidup harus sudah mempunyai sertifikasi lingkungan hidup dan
dicanangkannya peradilan khusus lingkungan hidup.
2. Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 344/Pid.Sus/2013 dalam
pertimbangannya menjatuhkan pidana pokok berupa pidana denda beserta
pidana penggantinya berupa penyitaan dan pelelangan aset/harta PT Albasi
Priangan Lestari untuk sekedar cukup untuk membayar sejumlah denda tersebut.
Pada kenyataannya pidana pengganti seperti di atas tidak pernah diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemidanaan terhadap
korporasi pelaku tindak pidana lingkungan. Putusan ini juga turut menjatuhkan
pidana tambahan berupa kewajiban melakukan tindakan tata tertib.
Permasalahannya adalah ketiga tindakan tersebut tidak diatur dalam Pasal 119
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, maka dari itu diperlukan adanya penafsiran hukum. Hakim
dalam memutus menggunakan penafsiran ekstensif terhadap pasal tersebut
khususnya huruf d yang berbunyi “pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan
tanpa hak”. Kedua hal di atas merupakan hal yang sangat baik demi terciptanya
efektivitas pemidanaan terhadap korporasi pelaku tindak pidana lingkungan.
D. DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Arief, Barda Nawawi. 1994. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan
dengan Pidana Penjara. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro

Dobson, Paul. 2008. Nutshells Criminal Law, 8th Ed. London: Sweet & Maxwell
Emerson, Robert W. 2004. Business Law 4th Ed. New York: Barron’s

Fuady, Munir. 2002. Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law: Eksistensinya


dalam Hukum Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti

Gea, Antonius Atosokhi & Antonia Panca Yuni Wulandari. 2005. Relasi dengan
Dunia. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Geary, Roger. 2002. Understanding Criminal Law. Oregon USA: Cavendish
Publishing Limited
Hamzah, Andi. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia. Jakarta: Pradnya
Paramita

---------------------. 1994. Kejahatan di Bidang Ekonomi dan Cara Penanggulangannya,


Makalah. Jakarta : Tanpa Penerbit

Jurnal Ilmiah 22
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
BANDUNG NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)
Indriyane Vera Natalia, Sigid Suseno, Maret Priyanta

---------------------.2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika

HS, Salim. 2008. Pengatar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika

Keraf, A. Sonny. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: PT Kompas Media


Nusantara

Kristian. 2008. Kebijakan Eksekusi Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi


dalam Berbagai Putusan Pengadilan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika

----------. 2017. Sistem Pertanggungjawaban Korporasi ditinjau dari Berbagai


Konvensi Internasional. Bandung: PT Refika Aditama

Lamintang, P.A.F. 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar


Baru
Mertokusumo, Sudikno. 2014. Penemuan Hukum, Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka
Muladi dan Dwidja Priyatno. 1991. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum
Pidana. Bandung: Sekolah Tinggi Hukum Bandung

Moeljatno. 2010. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara.

R.M, Suharto. 1996. Hukum Pidana Materiel: Unsur-Unsur Objektif sebagai Dasar
Dakwaan, Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika
Sjawie, Hasbullah F. 2017. Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi. Jakarta: Kencana

Silalahi, M. Daud. 2001. Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum


Lingkungan Indonesia. Bandung: Alumni

Suseno, Sigid & Nella Sumika Putri. 2013. Hukum Pidana Indonesia: Perkembangan
dan Pembaharuan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Termorshuizen, Marjane. 2002. Kamus Hukum Bahasa Belanda. Jakarta: Grasindo

Widjadja, Gunawan. 2008. Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT.
Jakarta: Forum Sahabat

Yunara, Edi. 2005. Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut Studi
Kasus. Bandung: Citra Aditya Bakti

Jurnal Ilmiah 23
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
BANDUNG NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)
Indriyane Vera Natalia, Sigid Suseno, Maret Priyanta

2. Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia.Undang-Undang Dasar 1945

--------------------------.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

--------------------------.Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

--------------------------. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep-


51/MenLH/10/1995

--------------------------.Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi

--------------------------.Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan


Terbatas

--------------------------.Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup

--------------------------.Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan


Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

--------------------------.Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:


36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakukan Pedoman Penanganan Perkara
Lingkungan Hidup

--------------------------.Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-


028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara pidana dengan Subjek
Hukum Korporasi

--------------------------.Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 13 Tahun 2016 tentang


Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi

--------------------------.Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum


Pidana (KUHP)

3. Jurnal

Sutoyo. 2012. “Paradigma Perlindungan Lingkungan Hidup”. Jurnal Hukum Adil, Vol.
4, No. 1

Priyanta, Maret. 2016. “Kedudukan Tanggung Jawab Negara Terhadap Pencemaran


Lingkungan oleh Korporasi”. Tadulako Law Review, Vol. 1, Issue 2, Desember
2016

Jurnal Ilmiah 24
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN (STUDI NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
BANDUNG NO. 344/PID.SUS/2013/PT.BDG)
Indriyane Vera Natalia, Sigid Suseno, Maret Priyanta

Wachjoe, H. Shantos. 2016. "Pertanggungjawaban Pidana Terhadap


Korporasi”. Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 5, No. 2, Juli 2016

4. Publikasi Lainnya

Harkrisnowo, Harkristuti. 2003. “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan


Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”. Orasi pada Upacara
Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia di Balai Sidang Universitas Indonesia, 8 Maret 2003

5. Sumber Internet

Katharina Pistor dan Chenggang Xu. "Fiduciaty Duty in Transtional Civil Law
Jurisdiction” http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=343480 yang
diakses pada Kamis, 1 Oktober 2019 pukul 12.22 WIB

Jurnal Ilmiah 25

You might also like