0% found this document useful (0 votes)
646 views26 pages

Pewujudan Transparansi Dan Akuntabilitas Publik Melalui Akuntansi Sektor Publik

A responsive, communicative, transparent, and accountable government is recognised as a realisation of good governance. This paper recognises the significance of trust from society and investors towards the government in the accountability sense. A recognised tool within the paper is the need to develop a measurement system based on a balanced scorecard specifically designed for the public sector.

Uploaded by

Yodia Noviera
Copyright
© Attribution Non-Commercial (BY-NC)
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as DOC, PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
646 views26 pages

Pewujudan Transparansi Dan Akuntabilitas Publik Melalui Akuntansi Sektor Publik

A responsive, communicative, transparent, and accountable government is recognised as a realisation of good governance. This paper recognises the significance of trust from society and investors towards the government in the accountability sense. A recognised tool within the paper is the need to develop a measurement system based on a balanced scorecard specifically designed for the public sector.

Uploaded by

Yodia Noviera
Copyright
© Attribution Non-Commercial (BY-NC)
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as DOC, PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 26

Pewujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui Akuntansi Sektor Publik:

Suatu Sarana Good Governance


Januari 12, 2010
tags: akuntabilitas, akuntansi keuangan, Akuntansi Sektor Publik, auditing, efektifitas,
efisiensi, ekonomis, Mardiasmo, pemerintah daerah, Publik, transparansi, value for
money
by syukriy

Mardiasmo (Jurnal Akuntansi Pemerintahan Vol. 2, No. 1, Mei 2006)

Abstract

In current years regional autonomy and fiscal decentralization in Indonesia has evolved to
reflect its response to increasing demand in good governance, where the development and
implementation of public sector accounting as a tool to create transparency and public
accountability is acknowledged as a matter of urgency. This paper emphasises on the
importance of a responsive, communicative, transparent, and accountable government
both in central and regional level as a realisation of good governance, discussing the tools
and mechanisms needed to reach that particular level. The role of public sector
management accounting is discussed, which has evolved from traditional administration
to New Public Management (NPM), incorporating Public Expenditure Management
(PEM) to ensure correct implementation. This paper also recognises the significance of
trust from society and investors towards the government in the accountability sense. Thus
concepts such as dimensions of public accountability, private and public sector risk
management, strengthening value for money (VFM) audit, and dual horizontal
accountability is discussed in depth. A recognised tool within the paper is the need to
develop a measurement system based on a balanced scorecard specifically designed for
the public sector that is relevant to accountability and the NPM. As debates have existed
in what governments should incorporate from accounting techniques, this paper analyses
the change in public sector financial accounting, management accounting, financial
statements as a tool towards public accountability, and the importance of government
audit to ensure Indonesia’s path in improving the implementation of good governance.

Key Words: Good Governance, Public Accountability, New Public Management (NPM),
Public Expenditure Management (PEM), Public Trust, Value For Money (VFM), Dual
Horizontal Accountability, Balance Scorecard, Government Audit, Public Sector
Accounting, Transparency.

PENDAHULUAN

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan (UU 32/2004). Pemerintahan daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, yang merupakan
limpahan Pemerintah Pusat kepada Daerah. Meskipun demikian, urusan pemerintahan
tertentu seperti politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional
masih diatur Pemerintah Pusat.

Pendelegasian kewenangan tersebut disertai dengan penyerahan dan pengalihan


pendanaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia (SDM) dalam kerangka
Desentralisasi Fiskal. Pendanaan kewenangan yang diserahkan tersebut dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu mendayagunakan potensi keuangan daerah sendiri dan mekanisme
perimbangan keuangan Pusat-Daerah dan antar Daerah. Kewenangan untuk
memanfaatkan sumber keuangan sendiri dilakukan dalam wadah Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yang sumber utamanya adalah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sedangkan
pelaksanaan perimbangan keuangan dilakukan melalui Dana Perimbangan yang terdiri
atas Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus (Undang-Undang
No. 33 tahun 2004).

Implikasi langsung pendelegasian kewenangan dan penyerahan dana tersebut adalah


kebutuhan untuk mengatur hubungan keuangan antara Pusat-Daerah dan
pertanggungjawaban pengelolaan keuangan oleh pemerintah daerah. Undang-Undang
No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur antara lain pengelolaan keuangan
daerah dan pertanggungjawabannya. Pengaturan tersebut meliputi penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berbasis prestasi kerja dan laporan keuangan
yang komprehensif sebagai bentuk pertanggungjawaban yang harus diperiksa oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK).

Untuk merealisasikan pengaturan pengelolaan dan pertanggunganjawaban keuangan


tersebut, pengembangan dan pengaplikasian akuntansi sektor publik sangat mendesak
dilakukan sebagai alat untuk melakukan transparansi dalam mewujudkan akuntabilitas
publik untuk mencapai good governance (accounting for governance).

Penyusunan APBD berbasis prestasi kerja atau kinerja dilakukan berdasarkan capaian
kinerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar
pelayanan minimal. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan
antar susunan pemerintahan. Dalam penyelenggaraannya, pemerintah daerah dituntut
lebih responsif, transparan, dan akuntabel terhadap kepentingan masyarakat.

PEMERINTAH YANG RESPONSIF, TRANSPARAN, DAN AKUNTABEL SEBAGAI


BAGIAN DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE

Bank Duniamemberikan definisi governance sebagai cara pemerintah mengelola sumber


daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan pembangunan masyarakat, sedangkan United
Nation Development Program (UNDP) lebih memfokuskan pada cara pengelolaan negara
dengan mempertimbangkan aspek politik yang mengacu pada proses pembuatan
kebijakan;aspek ekonomi yang mengacu pada proses pembuatan keputusan yang
berimplikasi pada masalah pemerataan, penurunan kemiskinan, serta peningkatan kualitas
hidup; dan yang terakhir aspek administratif yang mengacu pada sistem implementasi
kebijakan.
Dengan demikian, orientasi pembangunan sektor publik dimaksudkan untuk mewujudkan
good governance. Lebih jauh, UNDP memberikan beberapa karakteristik pelaksanaan
good governance, antara lain transparency, responsiveness, consensus orientation, equity,
efficiency dan effectiveness, serta accountability. Dari karakterikstik tersebut, paling
tidak terdapat tiga hal yang dapat diperankan oleh akuntansi sektor publik yaitu
terwujudnya transparansi, value for money, dan akuntabilitas.

Dalam memberikan layanan kepada masyarakat, pemerintah daerah dituntut lebih


responsif atau cepat dan tanggap. Terdapat 3 (tiga) mekanisme yang dapat dilaksanakan
daerah agar lebih responsif, transparan, dan akuntabel serta selanjutnya dapat
mewujudkan good governance yaitu: (1) mendengarkan suara atau aspirasi masyarakat
serta membangun kerjasama pemberdayaan masyarakat, (2) memperbaiki internal rules
dan mekanisme pengendalian, dan (3) membangun iklim kompetisi dalam memberikan
layanan terhadap masyarakat serta marketisasi layanan. Ketiga mekanisme tersebut saling
berkaitan dan saling menunjang untuk memperbaiki efektivitas pengelolaan pemerintahan
daerah.

Manajemen risiko (risk management) merupakan salah satu aspek pengelolaan keuangan
penting lainnya dalam pewujudan good governance. Manajemen risiko dilakukan untuk
meminimumkan kerugian yang mungkin terjadi akibat dari adanya ketidakpastian
(uncertainty) masa depan.

Risiko yang terjadi akibat ketidakpastian masa depan tidak saja dialami oleh sektor
swasta, namun juga oleh organisasi sektor publik, termasuk pemerintahan, menghadapi
hal yang sama. Risiko akibat ketidakpastian masa depan yang dihadapi oleh organisasi
sektor publik terkait dengan: (1) kemungkinan terjadi perubahan politik yang tidak
menguntungkan, misalnya terjadi instabilitas politik nasional dan lokal, (2) kemungkinan
terjadi perubahan politik dan ekonomi regional dan internasional, seperti krisis ekonomi
dan mata uang, depresi ekonomi, konflik antar negara, perang, dan sebagainya, (3)
kemungkinan terjadi kriminalitas ekonomi tingkat tinggi sehingga mengganggu
perekonomian negara, seperti money laundering, white collar crime, mafia perbankan,
pajak, bea cukai, dan sebagainya, (4) kemungkinan terjadi kegagalan hukum yang
berimplikasi pada keuangan negara, seperti munculnya mafia peradilan, dan (5)
kemungkinan terjadi bencana alam maupun bencana kemanusiaan.

AKUNTABILITAS PUBLIK DAN TRANSPARANSI

Fenomena yang terjadi dalam perkembangan sektor publik di Indonesia dewasa ini
adalah menguatnya tuntutan akuntabilitas atas lembaga-lembaga publik, baik di pusat
maupun daerah. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai bentuk kewajiban
mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi
dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, melalui suatu
media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik (Stanbury, 2003).
Pada dasarnya, akuntabilitas adalah pemberian informasi dan pengungkapan (disclosure)
atas aktivitas dan kinerja finansial kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Schiavo-
Campo and Tomasi, 1999). Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus dapat menjadi
subyek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik yaitu hak untuk tahu,
hak untuk diberi informasi, dan hak untuk didengar aspirasinya.

Dimensi akuntabilitas publik meliputi akuntabilitas hukum dan kejujuran, akuntabilitas


manajerial, akuntabilitas program, akuntabilitas kebijakan, dan akuntabilitas finansial.
Akuntabilitas manajerial merupakan bagian terpenting untuk menciptakan kredibilitas
manajemen pemerintah daerah. Tidak dipenuhinya prinsip pertanggungjawaban dapat
menimbulkan implikasi yang luas. Jika masyarakat menilai pemerintah daerah tidak
accountable, masyarakat dapat menuntut pergantian pemerintahan, penggantian pejabat,
dan sebagainya. Rendahnya tingkat akuntabilitas juga meningkatkan risiko berinvestasi
dan mengurangi kemampuan untuk berkompetisi serta melakukan efisiensi.

Manajemen bertanggung jawab kepada masyarakat karena dana yang digunakan dalam
penyediaan layanan berasal dari masyarakat baik secara langsung (diperoleh dengan
mendayagunakan potensi keuangan daerah sendiri), maupun tidak langsung (melalui
mekanisme perimbangan keuangan). Pola pertanggungjawaban pemerintah daerah
sekarang ini lebih bersifat horisontal di mana pemerintah daerah bertanggung jawab baik
terhadap DPRD maupun pada masyarakat luas (dual horizontal accountability). Namun
demikian, pada kenyataannya sebagian besar pemerintah daerah lebih menitikberatkan
pertanggungjawabannya kepada DPRD daripada masyarakat luas (Mardiasmo, 2003a).

Governmental Accounting Standards Board (GASB, 1999) dalam Concepts Statement


No. 1 tentang Objectives of Financial Reporting menyatakan bahwa akuntabilitas
merupakan dasar pelaporan keuangan di pemerintahan yang didasari oleh adanya hak
masyarakat untuk mengetahui dan menerima penjelasan atas pengumpulan sumber daya
dan penggunaannya. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa akuntabilitas
memungkinkan masyarakat untuk menilai pertanggungjawaban pemerintah atas semua
aktivitas yang dilakukan. Concepts Statement No. 1 menekankan pula bahwa laporan
keuangan pemerintah harus dapat membantu pemakai dalam pembuatan keputusan
ekonomi, sosial, dan politik dengan membandingkan kinerja keuangan aktual dengan
yang dianggarkan, menilai kondisi keuangan dan hasil-hasil operasi, membantu
menentukan tingkat kepatuhan terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan
masalah keuangan dan ketentuan lainnya, serta membantu dalam mengevaluasi tingkat
efisiensi dan efektivitas.

Pembuatan laporan keuangan adalah suatu bentuk kebutuhan transparansi yang


merupakan syarat pendukung adanya akuntabilitas yang berupa keterbukaan (opennes)
pemerintah atas aktivitas pengelolaan sumber daya publik. Transparansi informasi
terutama informasi keuangan dan fiskal harus dilakukan dalam bentuk yang relevan dan
mudah dipahami (Schiavo-Campo and Tomasi, 1999). Transparansi dapat dilakukan
apabila ada kejelasan tugas dan kewenangan, ketersediaan informasi kepada publik,
proses penganggaran yang terbuka, dan jaminan integritas dari pihak independen
mengenai prakiraan fiskal, informasi, dan penjabarannya (IMF, 1998 dalam Schiavo-
Campo and Tomasi, 1999). Pada saat ini, Pemerintah sudah mempunyai Standar
Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang merupakan prinsip-prinsip akuntansi yang
diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan (PP No. 24 Tahun 2005).

VALUE FOR MONEY

Value for money (VFM)merupakan konsep pengelolaan yang mendasarkan pada tiga
elemen utama, yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Ekonomi adalah pemerolehan
input dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada harga yang terendah. Ekonomi terkait
dengan sejauh mana organisasi sektor publik dapat meminimalisir input resources yang
digunakan dengan menghindari pengeluaran yang boros. Efisiensi merupakan pencapaian
output yang maksimum dengan input tertentu atau penggunaan input yang terendah untuk
mencapai output tertentu. Efektivitas adalah tingkat pencapaian hasil program dengan
target yang ditetapkan. Secara sederhana, efektivitas merupakan perbandingan outcome
dengan output.

Ketiga hal tersebut merupakan elemen pokok value for money yang saling terkait. Ketiga
elemen tersebut perlu ditambah dengan dua elemen lagi yaitu keadilan (equity) dan
pemerataan atau kesetaraan (equality). Keadilan mengacu pada adanya kesempatan sosial
yang sama untuk mendapatkan layanan publik berkualitas dan kesejahteraan ekonomi.
Selain keadilan, perlu dilakukan distribusi secara merata. Artinya, penggunaan uang
publik hendaknya tidak terkonsentrasi pada kelompok tertentu saja, melainkan dilakukan
secara merata dengan keberpihakan kepada seluruh rakyat (Mardiasmo, 2002a).

AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK

Akuntansi sektor publik memiliki kaitan erat dengan penerapan dan perlakuan akuntansi
pada domain publik yang memiliki wilayah lebih luas dan kompleks dibandingkan sektor
swasta atau bisnis. Keluasan wilayah publik tidak hanya disebabkan keluasan jenis dan
bentuk organisasi yang berada di dalamnya, tetapi juga kompleksitas lingkungan yang
mempengaruhi lembaga-lembaga publik tersebut.

Secara kelembagaan, domain publik antara lain meliputi badan-badan pemerintahan


(Pemerintah Pusat dan Daerah serta unit kerja pemerintah), perusahaan milik negara dan
daerah (BUMN dan BUMD), yayasan, universitas, organisasi politik dan organisasi
massa, serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Jika dilihat dari variabel lingkungan, sektor publik tidak hanya dipengaruhi oleh faktor
ekonomi, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti politik, sosial, budaya,
dan historis, yang menimbulkan perbedaan dalam pengertian, cara pandang, dan definisi.
Dari sudut pandang ilmu ekonomi, sektor publik dapat dipahami sebagai entitas yang
aktivitasnya menghasilkan barang dan layanan publik dalam memenuhi kebutuhan dan
hak publik.

American Accounting Association (1970) dalam Glynn (1993) menyatakan bahwa tujuan
akuntansi pada organisasi sektor publik adalah memberikan informasi yang diperlukan
agar dapat mengelola suatu operasi dan alokasi sumber daya yang dipercayakan kepada
organisasi secara tepat, efisien, dan ekonomis, serta memberikan informasi untuk
melaporkan pertanggung-jawaban pelaksanaan pengelolaan tersebut serta melaporkan
hasil operasi dan penggunaan dana publik. Dengan demikian, akuntansi sektor publik
terkait dengan penyediaan informasi untuk pengendalian manajemen dan akuntabilitas.

Kerangka transparansi dan akuntabilitas publik dibangun paling tidak atas lima
komponen, yaitu sistem perencanaan strategik, sistem pengukuran kinerja, sistem
pelaporan keuangan, saluran akuntabilitas publik (channel of public accountability), dan
auditing sektor publik yang dapat diintegrasikan ke dalam tiga bagian akuntansi sektor
publik, yaitu: Akuntansi Manajemen Sektor Publik, Akuntansi Keuangan Sektor Publik,
dan Auditing Sektor Publik.

AKUNTANSI MANAJEMEN SEKTOR PUBLIK

Peran utama akuntansi manajemen dalam organisasi sektor publik adalah memberikan
informasi akuntansi yang relevan dan handal kepada manajer untuk melaksanakan fungsi
perencanaan dan pengendalian manajemen. Fungsi perencanaan meliputi perencanaan
strategik, pemberian informasi biaya, penilaian investasi, dan penganggaran, sedangkan
fungsi pengendalian meliputi pengukuran kinerja. Informasi yang diberikan meliputi
biaya investasi yang dibutuhkan serta identifikasinya, penilaian investasi dengan
memperhitungkan biaya dengan manfaat yang diperoleh (cost-benefit analysis), dan
penilaian efektivitas biaya (cost-effectiveness analysis), serta jumlah anggaran yang
dibutuhkan.

Dalam perkembangannya, kelemahan dan ketertinggalan sektor publik dari sektor swasta
memicu munculnya reformasi pengelolaan sektor publik dengan meninggalkan
administrasi tradisional dan beralih ke New Public Management (NPM), yang memberi
perhatian lebih besar terhadap pencapaian kinerja dan akuntabilitas, dengan mengadopsi
teknik pengelolaan sektor swasta ke dalam sektor publik.

Penerapan NPM dipandang sebagai suatu bentuk reformasi manajemen, depolitisasi


kekuasaan, atau desentralisasi wewenang yang mendorong demokrasi (Pecar, 2002).
Perubahan dimulai dari proses rethinking government dan dilanjutkan dengan reinventing
government (termasuk didalamnya reinventing local government) yang mengubah peran
pemerintah, terutama dalam hal hubungan pemerintah dengan masyarakat (Mardiasmo,
2002b; Ho, 2002; Osborne and Gaebler, 1993; dan Hughes, 1998). Perubahan teoritis,
misalnya dari administrasi publik ke arah manajemen publik, pemangkasan birokrasi
pemerintah, dan penggunaan sistem kontrak telah meluas di seluruh dunia meskipun
secara rinci reformasinya bervariasi. Tren di hampir setiap negara mengarah pada
penggunaan anggaran berbasis kinerja, manajemen berbasis outcome (hasil), dan
pengunaan akuntansi accrual meskipun tidak terjadi dalam waktu bersamaan (Hoque,
2002; Heinrich, 2002). Polidano (1999) dan Wallis dan Dollery (2001) menyatakan
bahwa NPM merupakan fenomena global, akan tetapi penerapannya dapat berbeda-beda
tergantung faktor localized contingencies.
Walaupun penerapan NPM bervariasi, namun mempunyai tujuan yang sama yaitu
memperbaiki efisiensi dan efektivitas, meningkatkan responsivitas, dan memperbaiki
akuntabilitas manajerial. Pemilihan kebijakannya pun hampir sama, antara lain
desentralisasi (devolved management), pergeseran dari pengendalian input menjadi
pengukuran output dan outcome, spesifikasi kinerja yang lebih ketat, public service ethic,
pemberian reward and punishment, dan meluasnya penggunaan mekanisme contracting-
out (Hood, 1991; Boston et al.,1996 dalam Hughes and O’Neill, 2002; Mulgan, 1997).

NPM memberikan kontribusi positif dalam perbaikan kinerja melalui mekanisme


pengukuran yang diorientasikan pada pengukuran ekonomi, efisiensi, dan efektivitas
meskipun penerapannya tidak bebas dari kendala dan masalah. Masalah tersebut terutama
berakar dari mental birokrat tradisional, pengetahuan dan ketrampilan yang tidak
memadai, dan peraturan perundang-undangan yang tidak memberikan cukup peluang
fleksibilitas pembuatan keputusan (Pecar, 2002).

Penerapan NPM seharusnya didukung dengan penerapan Public Expenditure


Management (PEM) dalam pengalokasian dan penggunaan sumber daya secara responsif,
efektif, dan efisien (Schiavo-Campo and Tomasi, 1999). PEM tidak hanya dikaitkan
dengan pengeluaran, tetapi juga memperhatikan pendapatan sebagai suatu kesatuan,
sehingga kooperasi aparat pajak dengan aparat penganggaran untuk berbagai hal seperti
budget forecasting, macroeconomic framework formulation, trade-offs between outright
expenditures, dan tax concessions adalah suatu keharusan.

Dalam kerangka desentralisasi, PEM dilaksanakan dengan memperhatikan kondisi


ekonomi, sosial, dan kemampuan daerah serta memperhatikan local factor endowments,
institusi daerah, dan kebutuhan daerah dalam perspektif jangka panjang. Penerapan PEM
dilaksanakan untuk mewujudkan agregate fiscal discipline, allocative efficiency, dan
operational efficiency (Schiavo-Campo and Tomasi, 1999; Campos, 2001). Hal tersebut
dapat dilaksanakan apabila StrategicManagementAccounting (SMA) diterapkan dalam
pemerintahan. SMA membantu penyediaan informasi, pengendalian, dan evaluasi kinerja
meskipun lingkungan dan kebutuhan organisasi terus berubah karena SMA menekankan
continual feedback dan orientasi jangka panjang dalam membuat keputusan strategis dan
menilai efektivitasnya (Hoque, 2002).

Dalam perkembangannya, konsep value for money diperluas dengan penerapan best
value performance framework yang menunjang reformasi layanan publik. Reformasi
layanan publik meliputi empat hal mendasar yaitu adanya standar nasional, keleluasaan
dalam menyediakan layanan, fleksibilitas organisasi, dan eksplorasi jenis layanan yang
dapat disediakan (ODPM, 2003). Layanan masyarakat seharusnya mempunyai kriteria
seperti adanya standar yang tinggi dan responsif terhadap kebutuhan masyarakatnya serta
dapat diakses oleh masyarakat yang membutuhkan. Standar yang tinggi dan responsif
merupakan sesuatu yang relatif yang dapat diantisipasi dengan penetapan standar
pelayanan minimal (SPM) atau minimum standard level of public services. Indonesia saat
ini sudah mempunyai PP No. 65 Tahun 2005 yang mengatur tentang Pedoman
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
Tujuan pokok best value adalah memodernisasi penilaian pengelolaan pemerintahan
sehingga unit kerja yang berwenang menyediakan layanan yang baik dan responsif
terhadap kebutuhan masyarakat sehingga layanan yang disediakan bukan berdasarkan
dana yang tersedia (pelayanan merupakan fungsi pendapatan), tetapi lebih pada apa yang
dibutuhkan masyarakat (pelayanan merupakan fungsi kebutuhan). Setiap unit kerja
menentukan target dan tujuan serta merefleksikannya ke dalam suatu performance plan
yang memberikan informasi mengenai jenis layanan yang disediakan, cara menyediakan
layanan, obyek pemakai layanan, kualitas layanan yang diharapkan, dan tindakan yang
diperlukan dalam menyediakan layanan (Jones and Pendlebury, 2000). Best value juga
menyelaraskan prioritas dan fokus nasional dengan prioritas dan fokus daerah sehingga
pengembangan layanan publik tidak tumpang tindih.

Best value menitikberatkan pada pembangunan yang berkelanjutan, keseimbangan


kualitas layanan yang disediakan dengan biaya yang dikeluarkan, dan meningkatkan
akuntabilitas pemerintah dalam menyediakan layanan publik.Best value meningkatkan
akuntabilitas dengan cara konsultasi dan musyawarah untuk memastikan adanya
komunikasi yang efektif dalam komunitas daerah. Selain itu, best value juga
mensyaratkan adanya evaluasi pada setiap aspek pekerjaan dari berbagai perspektif untuk
menilai kinerja unit kerja tersebut. Best value dapat mengadopsi teknik-teknik
manajemen sektor privat seperti value planning, value engineering, dan value analysis,
serta konsep customer value. Dengan demikian, best value dapat dikatakan sebagai
konsep pengelolaan yang berfokus pada pelanggan dan kinerja.

Penerapan konsep-konsep di atas seperti value for money, NPM, dan best value akan
lebih nyata apabila sistem manajemen strategik yang berbasis Balanced Scorecard (BSC).
Sistem manajemen strategik tersebut terdiri dari sistem perumusan strategi, sistem
perencanaan strategi, sistem penyusunan program, sistem penyusunan anggaran, sistem
pengimplementasian, dan sistem pemantauan.

SISTEM PENGUKURAN KINERJA

Setelah suatu sistem pengelolaan keuangan terbentuk, perlu disiapkan suatu alat untuk
mengukur kinerja dan mengendalikan pemerintahan agar tidak terjadi KKN (Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme), tidak adanya kepastian hukum dan stabilitas politik, dan
ketidakjelasan arah dan kebijakan pembangunan (Mardiasmo, 2002a).

Pengukuran kinerja memiliki kaitan erat dengan akuntabilitas, seperti halnya


akuntabilitas memiliki kaitan erat dengan NPM. Untuk memantapkan mekanisme
akuntabilitas, diperlukan manajemen kinerja yang didalamnya terdapat indikator kinerja
dan target kinerja, pelaporan kinerja, dan mekanisme reward and punishment (Ormond
and Loffler, 2002). Indikator pengukuran kinerja yang baik mempunyai karakteristik
relevant, unambiguous, cost-effective, dan simple (Accounts Commission for Scotland,
1998) serta berfungsi sebagai sinyal atau alarm yang menunjukkan bahwa terdapat
masalah yang memerlukan tindakan manajemen dan investigasi lebih lanjut (Jackson,
1995).
Fokus pengukuran kinerja terdiri dari tiga hal yaitu produk, proses, dan orang (pegawai
dan masyarakat) yang dibandingkan dengan standar yang ditetapkan dengan wajar
(benchmarking) yang dapat berupa anggaran atau target, atau adanya pembanding dari
luar (Hoque, 2002). Hasil pembandingan digunakan untuk mengambil keputusan
mengenai kemajuan daerah, perlunya mengambil tindakan alternatif, perlunya mengubah
rencana dan target yang sudah ditetapkan apabila terjadi perubahan lingkungan.

Selama ini, sektor publik sering dinilai sebagai sarang inefisiensi, pemborosan, dan
sumber kebocoran dana. Tuntutan baru muncul agar organisasi sektor publik
memperhatikan value for money yang mempertimbangkan input, output, dan outcome
secara bersama-sama. Dalam pengukuran kinerja value for money, efisiensi dapat dibagi
menjadi dua, yaitu: efisiensi alokasi (efisiensi 1), dan efisiensi teknis atau manajerial
(efisiensi 2).

Efisiensi alokasi terkait dengan kemampuan mendayagunakan sumber daya input pada
tingkat kapasitas optimal. Efisiensi teknis terkait dengan kemampuan mendayagunakan
sumber daya input pada tingkat output tertentu (dapat dilihat pada Gambar 1). Kedua
efisiensi tersebut merupakan alat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat apabila
dilaksanakan atas pertimbangan keadilan dan keberpihakan terhadap rakyat (Mardiasmo,
2002a).

Kampanye implementasi konsep value for money pada organisasi sektor publik perlu
gencar dilakukan seiring dengan meningkatnya tuntutan akuntabilitas publik dan
pelaksanaan good governance. Implementasi konsep tersebut diyakini dapat memperbaiki
akuntabilitas sektor publik dan memperbaiki kinerja sektor publik dengan meningkatkan
efektivitas layanan publik, meningkatkan mutu layanan publik, menurunkan biaya
layanan publik karena hilangnya inefisiensi, dan meningkatkan kesadaran akan
penggunaan uang publik (public costs awareness).

Public Sector Scorecard

Sistem manajemen strategik berbasis BSC yang mengakomodasi konsep-konsep di atas


seperti value for money, NPM, dan best value meliputi sistem pengukuran kinerja.
Scorecard sektor publik berbeda dengan scorecard sektor swasta, karena sektor publik
lebih berfokus pada pelayanan masyarakat bukan pada profit, tidak mempunyai
shareholders, lebih berfokus pada kondisi regional dan nasional, lebih dipengaruhi oleh
keadaan politik, dan mempunyai stakeholders yang lebih beragam dibandingkan dengan
sektor swasta.

Scorecard merefleksikan ukuran kinerja komprehensif yang mencerminkan lingkungan


kompetitif dan strategi yang digunakan. Scorecard berfokus pada strategi yang diterapkan
bukan pada pengendalian penerapan scorecard (Hoque, 2002), meskipun pengawasan
terhadap scorecard perlu dilakukan mengingat fokus strategi terus berubah seiring dengan
perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat (Accounts Commission for Scotland,
1998).
Pengukuran kinerja dilakukan dengan mempertimbangkan empat perspektif BSCyaitu
perspektif financial, customer, internal business dan learning and growth (Kaplan and
Norton, 1992 dalam Quinlivan, 2000) secara proporsional. Dengan demikian, pemerintah
seharusnya tidak hanya diukur dengan kinerja keuangan, tetapi juga kinerjanya dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat secara ekonomis, efisien, dan tepat sasaran.

AKUNTANSI KEUANGAN SEKTOR PUBLIK

Akuntansi keuangan sektor publik terkait dengan tujuan dihasilkannya laporan keuangan
eksternal. Tujuan penyajian laporan keuangan adalah memberikan informasi yang
digunakan dalam pengambilan keputusan, bukti pertanggungjawaban dan pengelolaan,
dan evaluasi kinerja manajerial dan organisasional (IFAC, 2000; GASB, 1999).

Beberapa teknik akuntansi keuangan yang dapat diadopsi oleh sektor publik adalah
akuntansi anggaran, akuntansi komitmen, akuntansi dana, akuntansi kas, dan akuntansi
accrual. Pada dasarnya kelima teknik tersebut tidak bersifat mutually exclusive. Artinya,
penggunaan salah satu teknik akuntansi tersebut tidak menolak penggunaan teknik yang
lain. Dengan demikian, suatu organisasi dapat menggunakan teknik akuntansi yang
berbeda-beda, maupun menggunakan kelima teknik tersebut secara bersama-sama (Jones
and Pendlebury, 2000).

Isu yang muncul dan menjadi perdebatan dalam reformasi akuntansi sektor publik di
Indonesia adalah perubahan single entry menjadi double entry bookkeeping dan
perubahan teknik atau sistem akuntansi berbasis kas menjadi berbasis accrual. Single
entry pada awalnya digunakan sebagai dasar pembukuan dengan alasan utama demi
kemudahan dan kepraktisan. Seiring dengan semakin tingginya tuntutan pewujudan good
public governance, perubahan tersebut dipandang sebagai solusi yang mendesak untuk
diterapkan karena pengaplikasian double entry dapat menghasilkan laporan keuangan
yang auditable.

Cash basis mempunyai kelebihan antara lain mencerminkan informasi yang riil dan
obyektif. Sedangkan kelemahannya antara lain kurang mencerminkan kinerja yang
sesungguhnya. Teknik akuntansi berbasis accrual dinilai dapat menghasilkan laporan
keuangan yang lebih komprehensif dan relevan untuk pengambilan keputusan.
Pengaplikasian accrual basis lebih ditujukan pada penentuan biaya layanan dan harga
yang dibebankan kepada publik, sehingga memungkinkan pemerintah menyediakan
layanan publik yang optimal dan sustainable.

Pengaplikasian accrual basis memberikan gambaran kondisi keuangan secara menyeluruh


(full picture), yang meliputi manajemen sumber daya (resource management) dan
manajemen utang (liability management), dan menyediakan indikasi kekuatan fiskal
jangka panjang dalam reformasi manajemen keuangan dan reformasi manajemen lainnya
(Mellor, 1996).

Penekanan penggunaan accrual basis juga disyaratkan dalam GASB (1999) dan
diterapkan bersama-sama dengan asumsi dasar lainnya seperti going concern, consistency
of presentation, materiality and aggregation untuk mewujudkan comparative information
(IFAC, 2000). Namun demikian, accrual accounting mempunyai beberapa kelemahan
antara lain penilaian dan revaluasi aset yang didasarkan atas taksiran dan penggunaan
estimasi dalam penghitungan depresiasi (Conn, 1996).

Beberapa negara telah mereformasi akuntansi sektor publik mereka, terutama perubahan
dari cash basis menjadi accrual basis. New Zealand merupakan contoh sukses dalam
menerapkannya. Namun, beberapa kasus menunjukkan bahwa perubahan yang dilakukan
tidak seluruhnya menjamin keberhasilan. Kasus di Italia menunjukkan bahwa perubahan
tersebut tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap transparansi, efisiensi, dan
efektivitas organisasi. Oleh karena itu, dalam mereformasi suatu sistem perlu dilakukan
analisis mendalam terhadap faktor lingkungan, salah satunya adalah faktor sosiologi
masyarakat (Yamamoto, 1997).

Menurut UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pengakuan dan pengukuran
pendapatan dan belanja berbasis akrual dilaksanakan selambat-lambatnya tahun 2008.
Selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum
dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas. Dipertegas dalam PP
No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang menyatakan bahwa
laporan keuangan untuk tujuan umum disusun dan disajikan dengan basis kas untuk
pengakuan pos-pos pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan, serta basis akrual
untuk pengakuan pos-pos aset, kewajiban, dan ekuitas dana.

AUDITING SEKTOR PUBLIK

Pemberian otonomi daerah berarti pemberian kewenangan dan keleluasaan (diskresi)


kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal.
Agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan, pemberian wewenang dan
keleluasaan harus diikuti dengan pengawasan dan pengendalian yang kuat, serta
pemeriksaan yang efektif. Pengawasan dilakukan oleh pihak luar eksekutif (dalam hal ini
DPRD dan masyarakat); pengendalian, yang berupa pengendalian internal dan
pengendalian manajemen, berada di bawah kendali eksekutif (pemerintah daerah) dan
dilakukan untuk memastikan strategi dijalankan dengan baik sehingga tujuan tercapai;
sedangkan pemeriksaan (audit) dilakukan oleh badan yang memiliki kompetensi dan
independensi untuk mengukur apakah kinerja eksekutif sudah sesuai dengan kriteria yang
telah ditetapkan (Mardiasmo, 2001).

Penguatan fungsi pengawasan dapat dilakukan melalui optimalisasi peran DPRD sebagai
kekuatan penyeimbang antara eksekutif dengan masyarakat, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dan melalui LSM serta organisasi sosial kemasyarakatan di
daerah. Perlu dipahami oleh anggota DPRD bahwa pengawasan terhadap eksekutif
adalah pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan yang telah digariskan, bukan
pemeriksaan (audit). Pemeriksaan tetap harus dilakukan oleh badan atau lembaga yang
memiliki otoritas dan keahlian profesional, seperti BPK, BPKP, atau Kantor Akuntan
Publik (KAP) yang selama ini menjalankan fungsinya lebih pada sektor swasta sehingga
fungsinya pada sektor publik perlu ditingkatkan.
Harus disadari bahwa saat ini masih terdapat beberapa kelemahan dalam melakukan audit
pemerintah di Indonesia. Kelemahan pertama bersifat inherent sedangkan kelemahan
kedua bersifat struktural. Kelemahan pertama adalah tidak tersedianya indikator kinerja
yang memadai sebagai dasar mengukur kinerja pemerintah. Kelemahan kedua adalah
masalah kelembagaan audit Pemerintah Pusat dan Daerah yang overlapping satu dengan
lainnya, sehingga pelaksanaan pengauditan tidak efisien dan tidak efektif.

Sehubungan dengan audit pemerintah, terdapat penelitian mandiri mengenai pengaruh


rewards instrumentalities dan environmental risk factors terhadap motivasi partner
auditor independen untuk melaksanakan audit pemerintah. Penghargaan (rewards) yang
diterima auditor independen pada saat melakukan audit pemerintah dikelompokkan ke
dalam dua bagian penghargaan, yaitu penghargaan intrinsik (kenikmatan pribadi dan
kesempatan membantu orang lain) dan penghargaan ekstrinsik (peningkatan karir dan
status). Sedangkan faktor risiko lingkungan (environmental risk factors) terdiri dari iklim
politik dan perubahan kewenangan. Rincian lebih lanjut tentang faktor penghargaan dapat
dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.
Motivasi Auditor Independen dalam Melakukan Audit PemerintahPenghargaan Intrinsik
Penghargaan Ekstrinsik
Kenikmatan Pribadi

Pekerjaan yang menarik


Stimulasi intelektual
Pekerjaan yang menantang (mental)
Kesempatan pembangunan dan pengembangan pribadi
Kepuasan pribadi

Kesempatan membantu orang lain


Pelayanan masyarakat
Kesempatan membantu personal klien
Kesempatan bertindak sebagai mentor bagi staf audit Karir

Keamanan/kemapanan kerja yang tinggi


Kesempatan karir jangka panjang yang luas
Peningkatan Kompensasi

Status
Pengakuan positif dari masyarakat
Penghormatan dari masyarakat
Prestis atau nama baik
Meningkatkan status sosial

Sumber: Lowehnson and Collins (2001).


Hasil penelitian menunjukkan bahwa rewards instrumentalities dengan segenap
komponennya (penghargaan intrinsik dan ekstrinsik) berpengaruh positif terhadap
motivasi partner auditor independen untuk melaksanakan audit pemerintah. KAP
melaksanakan audit pemerintah dilandasi keyakinan bahwa dirinya akan memperoleh
kenikmatan pribadi. Kenikmatan pribadi yang dimaksud antara lain berupa kenikmatan
meningkatkan kemampuan intelektualitas, kenikmatan meningkatkan atau paling tidak
membuka kesempatan pengembangan pribadi serta mempertimbangkan bahwa audit
pemerintah merupakan suatu pekerjaan yang menarik dan memberikan tantangan
mentalitas profesional. Partner juga berkeyakinan bahwa dengan melaksanakan audit
dapat meningkatkan karir dalam arti peningkatan kemapanan, kesempatan berkarir secara
lebih luas dan terbuka di masa mendatang, serta peningkatan kompensasi atau

penghasilan yang diperoleh. Lebih lanjut, partner berkeyakinan akan memperoleh


pengakuan positif, penghormatan, dan nama baik atau prestis dari masyarakat, serta
peningkatan status sosial dalam masyarakat (Mardiasmo, 2002c).

Sedangkan, faktor risiko lingkungan tidak berpengaruh negatif terhadap motivasi partner
untuk melaksanakan audit pemerintah, meskipun hubungan keduanya negatif. Hasil
penelitian memiliki implikasi bahwa banyaknya perubahan peraturan atau regulasi yang
memunculkan kewenangan baru pemerintah serta iklim politik yang melingkupi kondisi
pemerintahan disikapi secara hati-hati (ragu-ragu) oleh partner ketika akan menerima
audit pemerintah (Mardiasmo, 2002c).

Wallace (1986) menyatakan bahwa lembaga pemerintah memiliki suatu dimensi politik
dalam pengambilan keputusan yang merupakan bagian integral dari setiap analisis.
Persaingan politik terkait dengan persaingan pemilu maupun persaingan antar kelompok
yang berkepentingan (Carpenter, 1991) meningkatkan permintaan bagi politisi dan atau
kelompok yang berkepentingan atas informasi akuntansi yang sudah diaudit (Baber,
1994) seiring dengan adanya pertentangan politik atau kegiatan masyarakat (Rubin, 1987
dan Baber, 1994) untuk menunjukkan ketepatan janji-janji politik mereka sebelumnya
(Baber and Sen, 1984) atau mengungkapkan tindakan kepada pesaingnya (Baber, 1990).

Deis dan Giroux (1992) menyatakan bahwa politisi yang menghadapi persaingan
mungkin mendesak auditor independen untuk mengeluarkan laporan audit yang
diinginkan atau mungkin tindakan auditor dimonitor oleh pelaku politik yang
berpengalaman daripada yang tidak berpengalaman, sehingga diperkirakan auditor akan
menolak lembaga pemerintah yang dibebani politik. Bentuk-bentuk auditing yang
berbeda dengan yang diminta cenderung menimbulkan konflik dengan auditee dan
menciptakan masalah politis (Power, 1999). Tingginya sorotan media pers terhadap
kinerja partner juga memiliki korelasi terhadap motivasi partner melaksanakan audit
pemerintah.

Reposisi lembaga pemeriksa diperlukan untuk menciptakan lembaga audit yang efisien
dan efektif dengan memisahkan tugas dan fungsi secara jelas ke dalam kategori auditor
internal dan eksternal (Mardiasmo, 2003b). Audit internal dilakukan oleh unit pemeriksa
yang merupakan bagian dari organisasi yang diperiksa. Sedangkan, audit eksternal
dilakukan oleh unit pemeriksa yang berada di luar organisasi yang diperiksa dan bersifat
independen. Dalam hal ini yang bertindak sebagai auditor eksternal pemerintah adalah
BPK yang merupakan lembaga independen dan merupakan supreme auditor sesuai
dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003.

Memperkuat Value For Money (VFM) Audit

Good governance akan tercapai jika lembaga pemeriksa berfungsi dan tertata dengan
baik. Setelah itu, pengembangan pengauditan perlu dilakukan. Salah satunya dengan
memperluas cakupan audit, tidak hanya audit keuangan (financial audit) tetapi juga value
for money audit atau sering disebut performance audit. Audit kinerja merupakan suatu
proses sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif, agar dapat
melakukan penilaian secara independen atas ekonomi dan efisiensi operasi serta
efektivitas dalam pencapaian hasil yang diinginkan, dan kepatuhan terhadap kebijakan,
peraturan, dan hukum yang berlaku, serta menentukan kesesuaian antara kinerja yang
telah dicapai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya, serta
mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak pengguna laporan tersebut (Malan et
al., 1984).

Secara lebih rinci, audit kinerja dibagi menjadi audit ekonomi dan efisiensi (management
audit) dan audit efektivitas (program audit) (Herbert, 1979). Audit ekonomi dan efisiensi
bertujuan untuk menentukan: (1) apakah suatu entitas telah memperoleh, melindungi, dan
menggunakan sumber dayanya (seperti karyawan, gedung, dan peralatan kantor) secara
hemat (ekonomis) dan efisien, (2) penyebab ketidakhematan dan ketidakefisienan, dan
(3) apakah entitas tersebut telah mematuhi peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan kehematan dan efisiensi. Sedangkan, audit efektivitas bertujuan untuk
menentukan tingkat pencapaian hasil program, efektivitas pelaksanaan program, dan
ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan
program (Malan et al., 1984).

Tujuan memperkuat pelaksanaan VFM audit adalah meningkatkan akuntabilitas sektor


publik. Hal ini penting untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal. Nantinya DPR atau DPRD, menteri-menteri dan lembaga-lembaga pemerintahan,
baik di pusat maupun di daerah, harus memberikan pertanggungjawaban kepada
masyarakat, dan akhirnya akuntabilitas publik merupakan bagian penting dari sistem
politik dan demokrasi.
PENUTUP

Akuntansi manajemen harus dapat memberikan informasi yang relevan dan handal
melalui strategic planning, strategic cost management, dan strategic management
accounting untuk dapat menerapkan NPM, melaksanakan value for money untuk
penentuan biaya dan harga layanan publik, serta pengukuran kinerja pengelolaan dalam
kerangka best value performance dan public sector scorecard.
Laporan Keuangan yang dihasilkan organisasi publik, sebagai bentuk akuntabilitas
publik, seharusnya mengambarkan kondisi yang komprehensif tentang kegiatan
operasional, posisi keuangan, arus kas, dan penjelasan (disclosure) atas pos-pos yang ada
di dalam laporan keuangan tersebut. Laporan Keuangan memerlukan perangkat yang
berupa standar akuntansi pemerintahan dan sistem akuntansi yang menggunakan sistem
pencatatan berpasangan.

Audit terhadap pertanggungjawaban pengelolaan keuangan seharusnya tidak terbatas


pada audit kepatuhan, tetapi juga audit keuangan (agar dapat memberikan pendapat atas
kewajaran Laporan Keuangan), dan diperluas lagi dengan audit kinerja. Audit kinerja
tersebut merupakan suatu bentuk evaluasi pertanggungjawaban kinerja sebagai sarana
untuk memastikan bahwa value for money benar-benar telah diaplikasikan.

Dengan demikian, akuntansi sektor publik, yang diartikulasikan melalui akuntansi


manajemen, akuntansi keuangan, dan auditing sektor publik sudah sangat mendesak
pengembangan dan pengaplikasiannya sebagai alat untuk mewujudkan transparansi dan
akuntabilitas publik dalam mencapai good governance.

DAFTAR PUSTAKA

Accounts Commission for Scotland, 1998, The Measures of Success: Developing a


Balanced Scorecard to Measure Performance, Scotland.

Baber, W.R., 1990, ‘Toward a Framework for Evaluating the Role of Accounting and
Auditing in Political Markets’, Journal of Accounting and Public Policy 9 (1): 57-73.

———-, 1994, ‘The Influence of Political Competition on Governmental Reporting and


Auditing’, Research in Governmental and Nonprofit Accounting 8: 109-127.

Baber, W.R., and Sen, P., 1984, ‘The Role of Generally Accepted Reporting Methods in
the Public Sector: An Empirical Test’, Journal of Accounting and Public Policy 3 (2): 91-
106.

Carpenter, V.L., 1991, ‘The Influence of Political Competition on the Decision to Adopt
GAAP’, Journal of Accounting and Public Policy 10 (2): 105-134.

Campos, J.E., 2001, ‘What is PEM?’ A Quarterly Publication, The Governance Unit
Strategy and Policy Department, Asian Development Bank, Issue 1.

Conn, N., 1996, ‘Reservations About Governments Producing Balance Sheets’,


Australian Journal of Public Administration 55(1) 82-85, March.

Deis, D.R., and Giroux, G.A., 1992, ‘Determinants of Audit Quality in the Public Sector’,
The Accounting Review 67 (July): 462-479.
Di Fransisco, M., 2001, ‘Process not Outcomes in New Public Management? ‘Policy
Coherence’ in Australian Government’, The Drawing Board: An Australian Review of
Public Affairs, Vol. 1, No. 3.

Glynn, J.J., 1993, Public Sector Financial Control and Accounting, 2nd Ed., Oxford:
Blackwell.

Governmental Accounting Standards Boards (GASB), 1999, “Concepts Statement No. 1:


Objectives of Financial Reporting” in Governmental Accounting Standards Boards Series
Statement No. 34: Basic Financial Statement and Management Discussion and Analysis
for State and Local Government, Norwalk.

Heinrich, C.J., 2002, ‘Outcomes-Based Performance Management in the Public Sector:


Implications for Government Accountability and Effectiveness’, Public Administration
Review Vol. 62, No. 6, November/December.

Herbert, L., 1979. Auditing the Performance of Management, Lifetime Learning,


Belmont, California.

Ho, A., 2002, ‘Reinventing Local Governments and the E-Government Initiative’, Public
Administration Review Vol. 62, No 4, July/August.

Hood, C., 1991, ‘A Public Management for All Seasons?’, Public Administration Vol.
69, 1, pp. 3-19

Hoque, Z., 2002, Strategic Management Accounting, Spiro.

Hughes, O.E., 1998, Public Management and Administration, 2nd ed., Macmillan Press,
London.

Hughes, O.E., and O’Neill, D, 2002, The Limits of New Public Management: Reflection
on the Kennet ‘Revolution’ in Victoria, Monash University.

International Federation of Accountants, 2000, Preface to International Public Sector


Accounting Standards, New York.

Jackson, P.M., (Editor), 1995, Measures for Success in the Public Sector: A Public
Finance Foundation Reader, Chartered Institute of Public Finance and Accountancy.

Jones, R., and Pendlebury, M., 2000, Public Sector Accounting, Fifth ed., Prentice Hall.

Lowenshon, S.H., and Collins, F., 2001, ‘The Role and Perceptions of Independent Audit
Partner in the Governmental Audit Market’, Accounting and the Public Interest, Vol. I.
Mardiasmo, 2001, ‘Pengawasan, Pengendalian, dan Pemeriksaan Kinerja Pemerintah
dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah’, Jurnal Bisnis dan Akuntansi, Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Trisakti, Jakarta, Edisi Agustus.

———-, 2002a, Akuntansi Sektor Publik, Penerbit Andi, Yogyakarta.

———-, 2002b, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi, Yogyakarta.

———-, 2002c, Pengaruh Rewards Instrumentalities dan Environmental Risk Factors


terhadap Motivasi Partner Auditor Independen untuk Melaksanakan Audit Pemerintah,
Penelitian Mandiri.

———-, 2003a, ‘Reformasi Pengelolaan Keuangan Daerah’, Makalah Seminar Nasional


dalam rangka Dies Natalis ke-8 MEP UGM Yogyakarta.

———-, 2003b, ‘Tantangan Akuntansi Sektor Publik dalam Mewujudkan Good


Governance dalam Perspektif Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal Menuju
Indonesia Baru’, Makalah Seminar Nasional Ikatan Akuntan Indonesia Sulawesi Selatan.

Malan, R.M., Fountain Jr, J.I.R., D.S. Arrowsmith, dan Lockridge, H.R.L., 1984,
Performance Auditing in Local Government, Chicago, Illinois: Government Finance
Officers Asso iation.

Mellor, T., 1996, ‘Why Government Should Produce Balance Sheets’, Australian Journal
of Public Administration 55(1) 78-81, March.

Mulgan, R., 1997, ‘The Processes of Public Accountability’, Australian Journal of Public
Administration 56(1) 25-36, March.

Office of The Deputy Prime Minister, 2003, ‘Local Government Act 1999: Part 1 Best
Value and Performance Improvement’, ODPM Circular 03/2003, London.

Ormond, D., and Loffler, E., 2002, New Public Management: What to Take and What to
Leave, Public Management Service, OECD.

Osborne, D., and Gaebler, T., 1993, Reinventing Government: How the Entrepreneurial
Spirit is Transforming the Public Sector, New York, Penguin Books USA, Inc.

Pecar, Z., 2002, ‘Performance Analysis and Policy Transfer as Preconditions of


Successful Reform in Slovenia’, School of Public Adminstration, Ljubljana, Slovenia.

Polidano, C., 1999, ‘The New Public Management in Developing Countries’, Public
Policy and Management Working Paper No, 13, Institute for Development Policy and
Management, University of Manchester.
Power, M., 1999, The Audit Society: Rituals of Verification, Oxford University Press,
Oxford, U.K.

Quinlivan, D., 2000, ‘Rescalling the Balanced Scorecard for Local Government’,
Australian Journal of Public Administration 59(4) 36-81, Msssarch.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

———-, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

———-, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara


Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

———-, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi


Pemerintahan.

———-, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Pelayanan Minimal.

Rubin, M.A., 1987, ‘A Theory of D mand for Municipal Audits and Audit Contracts’,
Research in Government Accountants Journal 3 (Part A).

Stanbury, W.T., 2003, ‘Accountability to Citizens in the Westminster Model of


Government: More Myth Than Reality’, Fraser Institute Digital Publication, Canada.

Schiavo-Campo, S., and Tomasi, D., 1999, Managing Government Expenditure, Asia
Development Bank, Manila.

Wallace, W.A., 1986, ‘The Timing of Initial Independent Audits of Municipalities: An


Empirical Analysis’, Research in Governmental and Nonprofit Accounting 2: 3-51.

Wallis, J.L., and Dollery, B.E., 2001, ‘The Impact of Alternative Styles of Policy
Leadership on the Direction of Local Government Reform’, Working Paper Series in
Economics, University of New England.

Yamamoto, K., 1997, Accounting System Reform and Public Management in Local
Governments, The 6th CIGAR Conference of Local Government Accounting, Paris.

Sumber: BPPK Depatemen Keuangan Republik Indonesia.


http://www.wartaekonomi.com/
Sistem Akuntansi Pemerintahan Akrual Salan Satu Jalan Reformasi Keuangan

Ditulis oleh Redaksi-1


Kamis, 15 Oktober 2009 16:04

Pemerintah terus mematangkan penerapan sistem akuntansi pemerintahan berbasis


akrual. Hal ini dilakukan salah satunya dengan diadakannya lokakarya hasil kerja sama
dengan Pemerintah Australia pada Kamis (15/10) di Jakarta.

Dalam siaran pers yang diterbitkan oleh Departemen Keuangan menyatakan bahwa,
lokakarya ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman, penyamaan persepsi dan
meningkatkan komitmen pimpinan Kementerian Negara/Lembaga terhadap penerapan
akuntansi pemerintahan berbasis akrual.

Selain itu, lokakarya ini sebagai sarana pertukaran informasi implementasi standar
akuntansi pemerintahan berbasis akrual di Australia, serta memberikan pemahaman yang
jelas tentang permasalahan aktual yang terjadi dan strategi pelaksanaan akuntansi
pemerintahan berbasis akrual di masa yang akan datang.

Sistem akuntansi pemerintahan berbasis akrual adalah sebuah langkah pemerintah untuk
mewujudkan reformasi keuangan pemerintah. Dan pelaksanaan sistem ini adalah sebagai
realisasi amanat undang-undang, yakni UU 17/2003 tentang Keuangan Negara. Pada
pasal 36 UU ini mengamanatkan untuk menerapkan Standar Akuntansi Pemerintahan
(SAP) yang berbasis akrual 5 (lima) tahun sejak UU ditetapkan yang berarti tahun 2008.

Reformasi keuangan dengan langkah penggunaan sistem akuntansi pemerintah aktual


menjadi jawaban atas permasalahan pertanggungjawaban keuangan pemerintah.
Bagaimana tidak, laporan keuangan pemerintah akan lebih informatif, terutama untuk
mengukur kinerja pemerintah dalam satu periode.

Berdasarkan siaran pers, pemerintah mengakui bahwa praktik akuntansi keuangan


berbasis akrual belum sepenuhnya diterapkan. Sejak pertama kali LKPP tahun 2004
dibuat. Khusus Aset, Kewajiban dan Kekayaan Bersih Pemerintah pada Neraca telah
disajikan dengan basis akrual. Selain itu, sejak LKPP tahun 2006, pada Lampiran LKPP
yaitu Ikhtisar Laporan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU) disusun berbasis akrual
sesuai Standar Akuntansi Keuangan (SAK).

Arif Hatta ( [email protected] )


Basis Akuntansi Pemerintahan
Juni 28, 2008
tags: akuntansi pemerintahan, basis akrual, basis akuntansi, basis kas, laporan keuangan
daerah, PP 24/3005, SAP
by syukriy

Ole: Hamim Mustofa – Koordinator Pelaksana pada Subdit Konsolidasi dan Pelaporan
Keuangan, Ditjen Perbendaharaan-Dep.Keu.

Pendahuluan

Sesuai amanat Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, pemerintah
diwajibkan menerapkan basis akuntansi akrual secara penuh atas pengakuan dan
pengukuran pendapatan dan belanja negara paling lambat tahun anggaran 2008.
Sedangkan basis akuntansi yang sekarang ini diterapkan oleh pemerintah dalam
pembuatan laporan keuangan pemerintah sesuai dengan Kerangka Konseptual Akuntansi
Pemerintahan dalam Exposure Draft Standar Akuntansi Pemerintahan (per 04 Februari
2004) adalah dual basis. Yang dimaksud dengan dual basis adalah pengakuan
pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam Laporan Realisasi Anggaran menggunakan
basis kas, sedangkan untuk pengakuan aktiva, kewajiban, dan ekuitas dalam Neraca
menggunakan.

Penggunaan dual basis tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa pemerintah diwajibkan
membuat neraca yang hanya dapat dibuat dengan akuntansi berbasis akrual, sedangkan di
sisi lain juga wajib membuat laporan realisasi anggaran atau yang dulu di kenal dengan
nama Perhitungan Anggaran Negara (PAN) yang dibuat dengan akuntansi berbasis kas.
Terlepas dari basis akuntansi mana yang dipakai, tulisan ini akan membahas jenis-jenis
basis akuntansi yang ada dalam praktek, baik pada sektor privat maupun sektor publik
termasuk pemerintahan.

Jenis-jenis Basis Akuntansi

Basis akuntansi merupakan prinsip-prinsip akuntansi yang menentukan kapan pengaruh


atas transaksi atau kejadian harus diakui untuk tujuan pelaporan keuangan. Basis
akuntansi ini berhubungan dengan waktu kapan pengukuran dilakukan. Basis akuntansi
pada umumnya ada dua yaitu basis kas dan basis akrual. Selain kedua basis akuntansi
tersebut terdapat banyak variasi atau modifikasi dari keduanya, yaitu modifikasi dari
akuntansi berbasis kas, dan modifikasi dari akuntansi berbasis akrual. Jadi dapat
dikatakan bahwa basis akuntansi ada 4 macam, yaitu:
Akuntansi berbasis kas (cash basis of accounting);
Modifikasi dari akuntansi berbasis kas (modified cash basis of accounting);
Akuntansi berbasis akrual (accrual basis of accounting);
Modifikasi dari akuntansi berbasis akrual (modified accrual basis of accounting).
Pembagian basis pencatatan (akuntansi) ini bukan sesuatu yang mutlak, dalam
Government Financial Statistic (GFS) yang diterbitkan oleh International Monetary Fund
(IMF) menyatakan bahwa basis pencatatan (akuntansi) dibagi menjadi 4 macam, yaitu
accrual basis, due-for-payment basis, commitments basis, dan cash basis.

A. Akuntansi Berbasis Kas

Dalam akuntansi berbasis kas, transaksi ekonomi dan kejadian lain diakui ketika kas
diterima atau dibayarkan. Basis kas ini dapat mengukur kinerja keuangan pemerintah
yaitu untuk mengetahui perbedaan antara penerimaan kas dan pengeluaran kas dalam
suatu periode. Basis kas menyediakan informasi mengenai sumber dana yang dihasilkan
selama satu periode, penggunaan dana dan saldo kas pada tanggal pelaporan. Model
pelaporan keuangan dalam basis kas biasanya berbentuk Laporan Penerimaan dan
Pembayaran (Statement of Receipts and Payment) atau Laporan Arus Kas (Cash Flow
Statement). Selain itu perlu dibuat suatu catatan atas laporan keuangan atau notes to
financial statement yang menyajikan secara detail tentang item-item yang ada dalam
laporan keuangan dan informasi tambahan seperti:
Item-item yang diakui dalam akuntansi berbasis akrual, seperti aktiva tetap dan
utang/pinjaman;
Item-item yang biasa diungkapkan dalam akuntansi berbasis akrual, seperti komitmen,
kontinjensi, dan jaminan;
Item-item lain, seperti informasi yang bersifat prakiraan (forecast).

Pada praktek akuntansi pemerintahan di Indonesia basis kas untuk Laporan Realisasi
Anggaran berarti bahwa pendapatan diakui pada saat kas diterima oleh Rekening Kas
Umum Negara/Daerah, dan belanja diakui pada saat kas dikeluarkan dari Rekening Kas
Umum Negara/Daerah. Secara rinci pengakuan item-item dalam laporan realisasi
anggaran, sesuai dengan Exposure Draft PSAP Pernyataan No. 2 tentang Laporan
Realisasi Anggaran adalah sebagai berikut:
Pendapatan diakui pada saat diterima pada Rekening Kas Umum Negara/Daerah atau
entitas pelaporan.
Belanja diakui pada saat terjadinya pengeluaran dari Rekening Kas Umum
Negara/Daerah atau entitas pelaporan. Khusus pengeluaran melalui pemegang kas
pengakuannya terjadi pada saat pertanggungjawaban atas pengeluaran tersebut disahkan
oleh unit yang mempunyai fungsi perbendaharaan
Dana Cadangan diakui pada saat pembentukan yaitu pada saat dilakukan penyisihan uang
untuk tujuan pencadangan dimaksud. Dana Cadangan berkurang pada saat terjadi
pencairan Dana Cadangan.
Penerimaan pembiayaan diakui pada saat diterima pada Rekening Kas Umum
Negara/Daerah.
Pengeluaran pembiayaan diakui pada saat dikeluarkan dari Rekening Kas Umum
Negara/Daerah.

Akuntansi berbasis kas ini tentu mempunyai kelebihan dan keterbatasan. Kelebihan-
kelebihan akuntansi berbasis kas adalah laporan keuangan berbasis kas memperlihatkan
sumber dana, alokasi dan penggunaan sumber-sumber kas, mudah untuk dimengerti dan
dijelaskan, pembuat laporan keuangan tidak membutuhkan pengetahuan yang mendetail
tentang akuntansi, dan tidak memerlukan pertimbangan ketika menentukan jumlah arus
kas dalam suatu periode. Sementara itu keterbatasan akuntansi berbasis kas adalah hanya
memfokuskan pada arus kas dalam periode pelaporan berjalan, dan mengabaikan arus
sumber daya lain yang mungkin berpengaruh pada kemampuan pemerintah untuk
menyediakan barang-barang dan jasa-jasa saat sekarang dan saat mendatang; laporan
posisi keuangan (neraca) tidak dapat disajikan, karena tidak terdapat pencatatan secara
double entry; tidak dapat menyediakan informasi mengenai biaya pelayanan(cost of
service) sebagai alat untuk penetapan harga (pricing), kebijakan kontrak publik, untuk
kontrol dan evaluasi kinerja.

B. Modifikasi dari Akuntansi Berbasis Kas

Basis akuntansi ini pada dasarnya sama dengan akuntansi berbasis kas, namun dalam
basis ini pembukuan untuk periode tahun berjalan masih ditambah dengan waktu atau
periode tertentu (specific period) misalnya 1 atau 2 bulan setelah periode berjalan (?
leaves the books open?). Penerimaan dan pengeluaran kas yang terjadi selama periode
tertentu tetapi diakibatkan oleh periode pelaporan sebelumnya akan diakui sebagai
penerimaan dan pengeluaran atas periode pelaporan yang lalu (periode sebelumnya).
Arus kas pada awal periode pelaporan yang diperhitungkan dalam periode pelaporan
tahun lalu dikurangkan dari periode pelaporan berjalan.

Laporan keuangan dalam basis ini juga memerlukan pengungkapan tambahan atas item-
item tertentu yang biasanya diakui dalam basis akuntansi akrual. Pengungkapan tersebut
sangat beragam sesuai dengan kebijakan pemerintah. Sebagai tambahan atas item-item
yang diungkapkan dalam basis kas, ada beberapa pengungkapan yang terpisah atas saldo
near-cash yang diperlihatkan dengan piutang-piutang yang akan diterima dan utang-utang
yang akan dibayar selama periode tertentu dan financial assets and liabilities. Sebagai
contoh Pemerintah Malaysia menggunakan specified period dalam laporan keuangan
tahunan, yang mengungkapkan beberapa catatan (memo) mengenai : aktiva, investasi,
kewajiban, utang pemerintah (public debt), jaminan (guarantees), dan notes payable.

Dalam basis ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
Fokus pengukuran di bawah basis ini adalah pada sumber keuangan sekarang (current
financial resources) dan perubahan-perubahan atas sumber-sumber keuangan tersebut.
Basis akuntansi ini mempunyai fokus pengukuran yang lebih luas dari basis kas,
pengakuan penerimaan dan pembayaran kas tertentu selama periode spesifik berarti
bahwa terdapat informasi mengenai pituang dan hutang, meskipun tidak diakui sebagai
aktiva dan kewajiban.
Kriteria pengakuan atas penerimaan selama periode tertentu adalah bahwa penerimaan
harus berasal dari periode yang lalu, namun penerapan ini tidak seragam untuk semua
negara. Beberapa pemerintah menganggap bahwa seluruh penerimaan yang diterima
selama periode tertentu adalah berasal dari periode sebelumnya, sedangkan pemerintah
yang lain mengakui hanya beberapa dari penerimaan tersebut.
Penetapan panjangnya periode tertentu bervariasi antara beberapa pemerintah, namun ada
beberapa ketentuan, yaitu:
Periode tertentu diterapkan secara konsisten dari tahun ke tahun;
Periode tertentu harus sama untuk penerimaan dan pembayaran kas;
Kriteria yang sama atas pengakuan penerimaan dan pembayaran kas selama periode
tertentu harus diterapkan untuk seluruh penerimaan dan pembayaran;
Satu bulan adalah waktu yang tepat, karena pembelian barang secara kredit umumnya
diselesaikan dalam periode tersebut, periode tertentu yang terlalu lama mungkin
mengakibatkan kesulitan dalam menghasilkan laporan keuangan;
Kebijakan akuntansi yang dipakai harus diungkapkan secara penuh (fully disclosed).

C. Akuntansi Berbasis Akrual

Akuntansi berbasis akrual berarti suatu basis akuntansi di mana transaksi ekonomi dan
peristiwa-peristiwa lain diakui dan dicatat dalam catatan akuntansi dan dilaporkan dalam
periode laporan keuangan pada saat terjadinya transaksi tersebut, bukan pada saat kas
atau ekuivalen kas diterima atau dibayarkan. Akuntansi berbasis akrual ini banyak
dipakai oleh institusi sektor non publik dan lembaga lain yang bertujuan mencari
keuntungan. International Monetary Fund (IMF) sebagai lembaga kreditur menyusun
Government Finance Statistics (GFS) yang di dalamnya menyarankan kepada negara-
negara debiturnya untuk menerapkan akuntansi berbasis akrual dalam pembuatan laporan
keuangan. Alasan penerapan basis akrual ini karena saat pencatatan (recording) sesuai
dengan saat terjadinya arus sumber daya. Jadi basis akrual ini menyediakan estimasi yang
tepat atas pengaruh kebijakan pemerintah terhadap perekonomian secara makro. Selain
itu basis akrual menyediakan informasi yang paling komprehensif karena seluruh arus
sumber daya dicatat, termasuk transaksi internal, in-kind transaction, dan arus ekonomi
lainnya.

Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh atas penerapan basis akrual, baik bagi
pengguna laporan (user) maupun bagi pemerintah sebagai penyedia laporan keuangan.
Manfaat tersebut antara lain:
Dapat menyajikan laporan posisi keuangan pemerintah dan perubahannya;
Memperlihatkan akuntabilitas pemerintah atas penggunaan seluruh sumber daya;
Menunjukkan akuntabilitas pemerintah atas pengelolaan seluruh aktiva dan kewajibannya
yang diakui dalam laporan keuangan;
Memperlihatkan bagaimana pemerintah mendanai aktivitasnya dan memenuhi kebutuhan
kasnya;
Memungkinkan user untuk mengevaluasi kemampuan pemerintah dalam medanai
aktivitasnya dan dalam memenuhi kewajiban dan komitmennya;
Membantu user dalam pembuatan keputusan tentang penyediaan sumber daya ke atau
melakukan bisnis dengan entitas;
User dapat mengevaluasi kinerja pemerintah dalam hal biaya pelayanan, efisiensi dan
penyampaian pelayanan tersebut.

Sesuai dengan Exposure Draft Standar Akuntansi Pemerintahan, basis akrual untuk
neraca berarti bahwa aktiva, kewajiban, dan ekuitas dana diakui dan dicatat pada saat
terjadinya transaksi, atau pada saat kejadian atau kondisi lingkungan berpengaruh pada
keuangan pemerintah, tanpa memperhatikan saat kas atau setara kas diterima atau
dibayar. Secara rinci pengakuan atas item-item yang ada dalam neraca dengan penerapan
basis akrual adalah:
Persediaan diakui pada saat potensi manfaat ekonomi masa depan diperoleh pemerintah
dan mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur dengan andal. Persediaan diakui pada
saat diterima atau hak kepemilikannya dan/atau kepenguasaannya berpindah.
Investasi, suatu pengeluaran kas atau aset dapat diakui sebagai investasi apabila
memenuhi salah satu kriteria: (a) Kemungkinan manfaat ekonomik dan manfaat sosial
atau jasa pontensial di masa yang akan datang atas suatu investasi tersebut dapat
diperoleh pemerintah; (b)Nilai perolehan atau nilai wajar investasi dapat diukur secara
memadai (reliable). Pengeluaran untuk perolehan investasi jangka pendek diakui sebagai
pengeluaran kas pemerintah dan tidak dilaporkan sebagai belanja dalam laporan realisasi
anggaran, sedangkan pengeluaran untuk memperoleh investasi jangka panjang diakui
sebagai pengeluaran pembiayaan.
Aktiva tetap, untuk dapat diakui sebagai aset tetap, suatu aset harus berwujud dan
memenuhi kriteria: (a) Mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan;
(b)Biaya perolehan aset dapat diukur secara andal; (c) Tidak dimaksudkan untuk dijual
dalam operasi normal entitas; dan (d) Diperoleh atau dibangun dengan maksud untuk
digunakan.
Konstruksi Dalam Pengerjaan (KDP), suatu benda berwujud harus diakui sebagai KD
jika: (a) Besar kemungkinan bahwa manfaat ekonomi masa yang akan datang berkaitan
dengan aset tersebut akan diperoleh; (b) Biaya perolehan tersebut dapat diukur secara
andal; dan (c) Aset tersebut masih dalam proses pengerjaan. KDP dipindahkan ke pos
aset tetap yang bersangkutan jika kriteria berikut ini terpenuhi: (1) Konstruksi secara
substansi telah selesai dikerjakan; dan(2) Dapat memberikan manfaat/jasa sesuai dengan
tujuan perolehan;
Kewajiban, suatu kewajiban yang diakui jika besar kemungkinan bahwa pengeluaran
sumber daya ekonomi akan dilakukan atau telah dilakukan untuk menyelesaikan
kewajiban yang ada sampai saat ini, dan perubahan atas kewajiban tersebut mempunyai
nilai penyelesaian yang dapat diukur dengan andal.

D. Modifikasi dari Akuntansi Berbasis Akrual

Basis akuntansi ini meliputi pengakuan beberapa aktiva, namun tidak seluruhnya, seperti
aktiva fisik, dan pengakuan beberapa kewajiban, namun tidak seluruhnya, seperti utang
pensiun. Contoh bervariasinya (modifikasi) dari akuntansi akrual, dapat ditemukan dalam
paktek sebagai berikut ini:
Pengakuan seluruh aktiva, kecuali aktiva infrastruktur, aktiva pertahanan dan aktiva
bersejarah/warisan, yang diakui sebagai beban (expense) pada waktu pengakuisisian atau
pembangunan. Perlakuan ini diadopsi karena praktek yang sulit dan biaya yang besar
untuk mengidentifikasi atau menilai aktiva-aktiva tersebut;
Pengakuan hampir seluruh aktiva dan kewajiban menurut basis akrual, namun pengakuan
pendapatan berdasar pada basis kas atau modifikasi dari basis kas;
Pengakuan hanya untuk aktiva dan kewajiban finansial jangka pendek;
Pengakuan seluruh kewajiban dengan pengecualian kewajiban tertentu seperti utang
pensiun.

Beberapa penyusun standar telah mengidentifikasi kriteria atas waktu pengakuan


pendapatan dengan akuntansi berbasis akrual, sebagai contoh Pemerintah Kanada
mengakui pendapatan dalam periode di mana transaksi atau peristiwa telah terjadi ketika
pendapatan tersebut dapat diukur (measurable). Pemerintah Federal Amerika Serikat
(State) mengakui pendapatan pajak dalam periode akuntansi di mana pendapatan tersebut
menjadi susceptible to accrual (yaitu ketika pendapatan menjadi measurable dan available
untuk mendanai pengeluaran). Available berarti dapat ditagih dalam periode sekarang
atau segera setelah terjadi transaksi.

Basis akuntansi mana yang dipakai oleh suatu pemerintah tertentu, tergantung pada
kebijakan dan kondisi yang ada. Masing-masing basis akuntansi tersebut mempunyai
kelebihan dan kekurangan, basis akuntansi akrual memberikan manfaat yang lebih
banyak dibandingkan dengan basis akuntansi yang lain, baik bagi pemerintah sendiri
sebagai penyusun laporan keuangan maupun bagi pengguna laporan keuangan (user).
Pemerintah Indonesia, sesuai dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan
Negara, sudah harus menerapkan basis akuntansi akrual secara penuh paling lambat tahun
2008.

Referensi
Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP), Draf Standar Akuntansi Pemerintahan,
Februari 2004.
International Monetary Fund (IMF), Government Financial Statistic Manual,
http://www.imf.org, 2001.
International Federation of Accountants (IFAC), Study 11 Governmental Financial
Reporting, http://www.ifac.org, May 2000.
International Federation of Accountants (IFAC), Occasional Paper 3 Perspetive on
Accrual Accounting, http://www.ifac.org, 1996.

Sumber: www.perbendaharaan.go.id

You might also like