Pewujudan Transparansi Dan Akuntabilitas Publik Melalui Akuntansi Sektor Publik
Pewujudan Transparansi Dan Akuntabilitas Publik Melalui Akuntansi Sektor Publik
Abstract
In current years regional autonomy and fiscal decentralization in Indonesia has evolved to
reflect its response to increasing demand in good governance, where the development and
implementation of public sector accounting as a tool to create transparency and public
accountability is acknowledged as a matter of urgency. This paper emphasises on the
importance of a responsive, communicative, transparent, and accountable government
both in central and regional level as a realisation of good governance, discussing the tools
and mechanisms needed to reach that particular level. The role of public sector
management accounting is discussed, which has evolved from traditional administration
to New Public Management (NPM), incorporating Public Expenditure Management
(PEM) to ensure correct implementation. This paper also recognises the significance of
trust from society and investors towards the government in the accountability sense. Thus
concepts such as dimensions of public accountability, private and public sector risk
management, strengthening value for money (VFM) audit, and dual horizontal
accountability is discussed in depth. A recognised tool within the paper is the need to
develop a measurement system based on a balanced scorecard specifically designed for
the public sector that is relevant to accountability and the NPM. As debates have existed
in what governments should incorporate from accounting techniques, this paper analyses
the change in public sector financial accounting, management accounting, financial
statements as a tool towards public accountability, and the importance of government
audit to ensure Indonesia’s path in improving the implementation of good governance.
Key Words: Good Governance, Public Accountability, New Public Management (NPM),
Public Expenditure Management (PEM), Public Trust, Value For Money (VFM), Dual
Horizontal Accountability, Balance Scorecard, Government Audit, Public Sector
Accounting, Transparency.
PENDAHULUAN
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan (UU 32/2004). Pemerintahan daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, yang merupakan
limpahan Pemerintah Pusat kepada Daerah. Meskipun demikian, urusan pemerintahan
tertentu seperti politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional
masih diatur Pemerintah Pusat.
Penyusunan APBD berbasis prestasi kerja atau kinerja dilakukan berdasarkan capaian
kinerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar
pelayanan minimal. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan
antar susunan pemerintahan. Dalam penyelenggaraannya, pemerintah daerah dituntut
lebih responsif, transparan, dan akuntabel terhadap kepentingan masyarakat.
Manajemen risiko (risk management) merupakan salah satu aspek pengelolaan keuangan
penting lainnya dalam pewujudan good governance. Manajemen risiko dilakukan untuk
meminimumkan kerugian yang mungkin terjadi akibat dari adanya ketidakpastian
(uncertainty) masa depan.
Risiko yang terjadi akibat ketidakpastian masa depan tidak saja dialami oleh sektor
swasta, namun juga oleh organisasi sektor publik, termasuk pemerintahan, menghadapi
hal yang sama. Risiko akibat ketidakpastian masa depan yang dihadapi oleh organisasi
sektor publik terkait dengan: (1) kemungkinan terjadi perubahan politik yang tidak
menguntungkan, misalnya terjadi instabilitas politik nasional dan lokal, (2) kemungkinan
terjadi perubahan politik dan ekonomi regional dan internasional, seperti krisis ekonomi
dan mata uang, depresi ekonomi, konflik antar negara, perang, dan sebagainya, (3)
kemungkinan terjadi kriminalitas ekonomi tingkat tinggi sehingga mengganggu
perekonomian negara, seperti money laundering, white collar crime, mafia perbankan,
pajak, bea cukai, dan sebagainya, (4) kemungkinan terjadi kegagalan hukum yang
berimplikasi pada keuangan negara, seperti munculnya mafia peradilan, dan (5)
kemungkinan terjadi bencana alam maupun bencana kemanusiaan.
Fenomena yang terjadi dalam perkembangan sektor publik di Indonesia dewasa ini
adalah menguatnya tuntutan akuntabilitas atas lembaga-lembaga publik, baik di pusat
maupun daerah. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai bentuk kewajiban
mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi
dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, melalui suatu
media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik (Stanbury, 2003).
Pada dasarnya, akuntabilitas adalah pemberian informasi dan pengungkapan (disclosure)
atas aktivitas dan kinerja finansial kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Schiavo-
Campo and Tomasi, 1999). Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus dapat menjadi
subyek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik yaitu hak untuk tahu,
hak untuk diberi informasi, dan hak untuk didengar aspirasinya.
Manajemen bertanggung jawab kepada masyarakat karena dana yang digunakan dalam
penyediaan layanan berasal dari masyarakat baik secara langsung (diperoleh dengan
mendayagunakan potensi keuangan daerah sendiri), maupun tidak langsung (melalui
mekanisme perimbangan keuangan). Pola pertanggungjawaban pemerintah daerah
sekarang ini lebih bersifat horisontal di mana pemerintah daerah bertanggung jawab baik
terhadap DPRD maupun pada masyarakat luas (dual horizontal accountability). Namun
demikian, pada kenyataannya sebagian besar pemerintah daerah lebih menitikberatkan
pertanggungjawabannya kepada DPRD daripada masyarakat luas (Mardiasmo, 2003a).
Value for money (VFM)merupakan konsep pengelolaan yang mendasarkan pada tiga
elemen utama, yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Ekonomi adalah pemerolehan
input dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada harga yang terendah. Ekonomi terkait
dengan sejauh mana organisasi sektor publik dapat meminimalisir input resources yang
digunakan dengan menghindari pengeluaran yang boros. Efisiensi merupakan pencapaian
output yang maksimum dengan input tertentu atau penggunaan input yang terendah untuk
mencapai output tertentu. Efektivitas adalah tingkat pencapaian hasil program dengan
target yang ditetapkan. Secara sederhana, efektivitas merupakan perbandingan outcome
dengan output.
Ketiga hal tersebut merupakan elemen pokok value for money yang saling terkait. Ketiga
elemen tersebut perlu ditambah dengan dua elemen lagi yaitu keadilan (equity) dan
pemerataan atau kesetaraan (equality). Keadilan mengacu pada adanya kesempatan sosial
yang sama untuk mendapatkan layanan publik berkualitas dan kesejahteraan ekonomi.
Selain keadilan, perlu dilakukan distribusi secara merata. Artinya, penggunaan uang
publik hendaknya tidak terkonsentrasi pada kelompok tertentu saja, melainkan dilakukan
secara merata dengan keberpihakan kepada seluruh rakyat (Mardiasmo, 2002a).
Akuntansi sektor publik memiliki kaitan erat dengan penerapan dan perlakuan akuntansi
pada domain publik yang memiliki wilayah lebih luas dan kompleks dibandingkan sektor
swasta atau bisnis. Keluasan wilayah publik tidak hanya disebabkan keluasan jenis dan
bentuk organisasi yang berada di dalamnya, tetapi juga kompleksitas lingkungan yang
mempengaruhi lembaga-lembaga publik tersebut.
Jika dilihat dari variabel lingkungan, sektor publik tidak hanya dipengaruhi oleh faktor
ekonomi, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti politik, sosial, budaya,
dan historis, yang menimbulkan perbedaan dalam pengertian, cara pandang, dan definisi.
Dari sudut pandang ilmu ekonomi, sektor publik dapat dipahami sebagai entitas yang
aktivitasnya menghasilkan barang dan layanan publik dalam memenuhi kebutuhan dan
hak publik.
American Accounting Association (1970) dalam Glynn (1993) menyatakan bahwa tujuan
akuntansi pada organisasi sektor publik adalah memberikan informasi yang diperlukan
agar dapat mengelola suatu operasi dan alokasi sumber daya yang dipercayakan kepada
organisasi secara tepat, efisien, dan ekonomis, serta memberikan informasi untuk
melaporkan pertanggung-jawaban pelaksanaan pengelolaan tersebut serta melaporkan
hasil operasi dan penggunaan dana publik. Dengan demikian, akuntansi sektor publik
terkait dengan penyediaan informasi untuk pengendalian manajemen dan akuntabilitas.
Kerangka transparansi dan akuntabilitas publik dibangun paling tidak atas lima
komponen, yaitu sistem perencanaan strategik, sistem pengukuran kinerja, sistem
pelaporan keuangan, saluran akuntabilitas publik (channel of public accountability), dan
auditing sektor publik yang dapat diintegrasikan ke dalam tiga bagian akuntansi sektor
publik, yaitu: Akuntansi Manajemen Sektor Publik, Akuntansi Keuangan Sektor Publik,
dan Auditing Sektor Publik.
Peran utama akuntansi manajemen dalam organisasi sektor publik adalah memberikan
informasi akuntansi yang relevan dan handal kepada manajer untuk melaksanakan fungsi
perencanaan dan pengendalian manajemen. Fungsi perencanaan meliputi perencanaan
strategik, pemberian informasi biaya, penilaian investasi, dan penganggaran, sedangkan
fungsi pengendalian meliputi pengukuran kinerja. Informasi yang diberikan meliputi
biaya investasi yang dibutuhkan serta identifikasinya, penilaian investasi dengan
memperhitungkan biaya dengan manfaat yang diperoleh (cost-benefit analysis), dan
penilaian efektivitas biaya (cost-effectiveness analysis), serta jumlah anggaran yang
dibutuhkan.
Dalam perkembangannya, kelemahan dan ketertinggalan sektor publik dari sektor swasta
memicu munculnya reformasi pengelolaan sektor publik dengan meninggalkan
administrasi tradisional dan beralih ke New Public Management (NPM), yang memberi
perhatian lebih besar terhadap pencapaian kinerja dan akuntabilitas, dengan mengadopsi
teknik pengelolaan sektor swasta ke dalam sektor publik.
Dalam perkembangannya, konsep value for money diperluas dengan penerapan best
value performance framework yang menunjang reformasi layanan publik. Reformasi
layanan publik meliputi empat hal mendasar yaitu adanya standar nasional, keleluasaan
dalam menyediakan layanan, fleksibilitas organisasi, dan eksplorasi jenis layanan yang
dapat disediakan (ODPM, 2003). Layanan masyarakat seharusnya mempunyai kriteria
seperti adanya standar yang tinggi dan responsif terhadap kebutuhan masyarakatnya serta
dapat diakses oleh masyarakat yang membutuhkan. Standar yang tinggi dan responsif
merupakan sesuatu yang relatif yang dapat diantisipasi dengan penetapan standar
pelayanan minimal (SPM) atau minimum standard level of public services. Indonesia saat
ini sudah mempunyai PP No. 65 Tahun 2005 yang mengatur tentang Pedoman
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
Tujuan pokok best value adalah memodernisasi penilaian pengelolaan pemerintahan
sehingga unit kerja yang berwenang menyediakan layanan yang baik dan responsif
terhadap kebutuhan masyarakat sehingga layanan yang disediakan bukan berdasarkan
dana yang tersedia (pelayanan merupakan fungsi pendapatan), tetapi lebih pada apa yang
dibutuhkan masyarakat (pelayanan merupakan fungsi kebutuhan). Setiap unit kerja
menentukan target dan tujuan serta merefleksikannya ke dalam suatu performance plan
yang memberikan informasi mengenai jenis layanan yang disediakan, cara menyediakan
layanan, obyek pemakai layanan, kualitas layanan yang diharapkan, dan tindakan yang
diperlukan dalam menyediakan layanan (Jones and Pendlebury, 2000). Best value juga
menyelaraskan prioritas dan fokus nasional dengan prioritas dan fokus daerah sehingga
pengembangan layanan publik tidak tumpang tindih.
Penerapan konsep-konsep di atas seperti value for money, NPM, dan best value akan
lebih nyata apabila sistem manajemen strategik yang berbasis Balanced Scorecard (BSC).
Sistem manajemen strategik tersebut terdiri dari sistem perumusan strategi, sistem
perencanaan strategi, sistem penyusunan program, sistem penyusunan anggaran, sistem
pengimplementasian, dan sistem pemantauan.
Setelah suatu sistem pengelolaan keuangan terbentuk, perlu disiapkan suatu alat untuk
mengukur kinerja dan mengendalikan pemerintahan agar tidak terjadi KKN (Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme), tidak adanya kepastian hukum dan stabilitas politik, dan
ketidakjelasan arah dan kebijakan pembangunan (Mardiasmo, 2002a).
Selama ini, sektor publik sering dinilai sebagai sarang inefisiensi, pemborosan, dan
sumber kebocoran dana. Tuntutan baru muncul agar organisasi sektor publik
memperhatikan value for money yang mempertimbangkan input, output, dan outcome
secara bersama-sama. Dalam pengukuran kinerja value for money, efisiensi dapat dibagi
menjadi dua, yaitu: efisiensi alokasi (efisiensi 1), dan efisiensi teknis atau manajerial
(efisiensi 2).
Efisiensi alokasi terkait dengan kemampuan mendayagunakan sumber daya input pada
tingkat kapasitas optimal. Efisiensi teknis terkait dengan kemampuan mendayagunakan
sumber daya input pada tingkat output tertentu (dapat dilihat pada Gambar 1). Kedua
efisiensi tersebut merupakan alat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat apabila
dilaksanakan atas pertimbangan keadilan dan keberpihakan terhadap rakyat (Mardiasmo,
2002a).
Kampanye implementasi konsep value for money pada organisasi sektor publik perlu
gencar dilakukan seiring dengan meningkatnya tuntutan akuntabilitas publik dan
pelaksanaan good governance. Implementasi konsep tersebut diyakini dapat memperbaiki
akuntabilitas sektor publik dan memperbaiki kinerja sektor publik dengan meningkatkan
efektivitas layanan publik, meningkatkan mutu layanan publik, menurunkan biaya
layanan publik karena hilangnya inefisiensi, dan meningkatkan kesadaran akan
penggunaan uang publik (public costs awareness).
Akuntansi keuangan sektor publik terkait dengan tujuan dihasilkannya laporan keuangan
eksternal. Tujuan penyajian laporan keuangan adalah memberikan informasi yang
digunakan dalam pengambilan keputusan, bukti pertanggungjawaban dan pengelolaan,
dan evaluasi kinerja manajerial dan organisasional (IFAC, 2000; GASB, 1999).
Beberapa teknik akuntansi keuangan yang dapat diadopsi oleh sektor publik adalah
akuntansi anggaran, akuntansi komitmen, akuntansi dana, akuntansi kas, dan akuntansi
accrual. Pada dasarnya kelima teknik tersebut tidak bersifat mutually exclusive. Artinya,
penggunaan salah satu teknik akuntansi tersebut tidak menolak penggunaan teknik yang
lain. Dengan demikian, suatu organisasi dapat menggunakan teknik akuntansi yang
berbeda-beda, maupun menggunakan kelima teknik tersebut secara bersama-sama (Jones
and Pendlebury, 2000).
Isu yang muncul dan menjadi perdebatan dalam reformasi akuntansi sektor publik di
Indonesia adalah perubahan single entry menjadi double entry bookkeeping dan
perubahan teknik atau sistem akuntansi berbasis kas menjadi berbasis accrual. Single
entry pada awalnya digunakan sebagai dasar pembukuan dengan alasan utama demi
kemudahan dan kepraktisan. Seiring dengan semakin tingginya tuntutan pewujudan good
public governance, perubahan tersebut dipandang sebagai solusi yang mendesak untuk
diterapkan karena pengaplikasian double entry dapat menghasilkan laporan keuangan
yang auditable.
Cash basis mempunyai kelebihan antara lain mencerminkan informasi yang riil dan
obyektif. Sedangkan kelemahannya antara lain kurang mencerminkan kinerja yang
sesungguhnya. Teknik akuntansi berbasis accrual dinilai dapat menghasilkan laporan
keuangan yang lebih komprehensif dan relevan untuk pengambilan keputusan.
Pengaplikasian accrual basis lebih ditujukan pada penentuan biaya layanan dan harga
yang dibebankan kepada publik, sehingga memungkinkan pemerintah menyediakan
layanan publik yang optimal dan sustainable.
Penekanan penggunaan accrual basis juga disyaratkan dalam GASB (1999) dan
diterapkan bersama-sama dengan asumsi dasar lainnya seperti going concern, consistency
of presentation, materiality and aggregation untuk mewujudkan comparative information
(IFAC, 2000). Namun demikian, accrual accounting mempunyai beberapa kelemahan
antara lain penilaian dan revaluasi aset yang didasarkan atas taksiran dan penggunaan
estimasi dalam penghitungan depresiasi (Conn, 1996).
Beberapa negara telah mereformasi akuntansi sektor publik mereka, terutama perubahan
dari cash basis menjadi accrual basis. New Zealand merupakan contoh sukses dalam
menerapkannya. Namun, beberapa kasus menunjukkan bahwa perubahan yang dilakukan
tidak seluruhnya menjamin keberhasilan. Kasus di Italia menunjukkan bahwa perubahan
tersebut tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap transparansi, efisiensi, dan
efektivitas organisasi. Oleh karena itu, dalam mereformasi suatu sistem perlu dilakukan
analisis mendalam terhadap faktor lingkungan, salah satunya adalah faktor sosiologi
masyarakat (Yamamoto, 1997).
Menurut UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pengakuan dan pengukuran
pendapatan dan belanja berbasis akrual dilaksanakan selambat-lambatnya tahun 2008.
Selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum
dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas. Dipertegas dalam PP
No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang menyatakan bahwa
laporan keuangan untuk tujuan umum disusun dan disajikan dengan basis kas untuk
pengakuan pos-pos pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan, serta basis akrual
untuk pengakuan pos-pos aset, kewajiban, dan ekuitas dana.
Penguatan fungsi pengawasan dapat dilakukan melalui optimalisasi peran DPRD sebagai
kekuatan penyeimbang antara eksekutif dengan masyarakat, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dan melalui LSM serta organisasi sosial kemasyarakatan di
daerah. Perlu dipahami oleh anggota DPRD bahwa pengawasan terhadap eksekutif
adalah pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan yang telah digariskan, bukan
pemeriksaan (audit). Pemeriksaan tetap harus dilakukan oleh badan atau lembaga yang
memiliki otoritas dan keahlian profesional, seperti BPK, BPKP, atau Kantor Akuntan
Publik (KAP) yang selama ini menjalankan fungsinya lebih pada sektor swasta sehingga
fungsinya pada sektor publik perlu ditingkatkan.
Harus disadari bahwa saat ini masih terdapat beberapa kelemahan dalam melakukan audit
pemerintah di Indonesia. Kelemahan pertama bersifat inherent sedangkan kelemahan
kedua bersifat struktural. Kelemahan pertama adalah tidak tersedianya indikator kinerja
yang memadai sebagai dasar mengukur kinerja pemerintah. Kelemahan kedua adalah
masalah kelembagaan audit Pemerintah Pusat dan Daerah yang overlapping satu dengan
lainnya, sehingga pelaksanaan pengauditan tidak efisien dan tidak efektif.
Tabel 1.
Motivasi Auditor Independen dalam Melakukan Audit PemerintahPenghargaan Intrinsik
Penghargaan Ekstrinsik
Kenikmatan Pribadi
Status
Pengakuan positif dari masyarakat
Penghormatan dari masyarakat
Prestis atau nama baik
Meningkatkan status sosial
Sedangkan, faktor risiko lingkungan tidak berpengaruh negatif terhadap motivasi partner
untuk melaksanakan audit pemerintah, meskipun hubungan keduanya negatif. Hasil
penelitian memiliki implikasi bahwa banyaknya perubahan peraturan atau regulasi yang
memunculkan kewenangan baru pemerintah serta iklim politik yang melingkupi kondisi
pemerintahan disikapi secara hati-hati (ragu-ragu) oleh partner ketika akan menerima
audit pemerintah (Mardiasmo, 2002c).
Wallace (1986) menyatakan bahwa lembaga pemerintah memiliki suatu dimensi politik
dalam pengambilan keputusan yang merupakan bagian integral dari setiap analisis.
Persaingan politik terkait dengan persaingan pemilu maupun persaingan antar kelompok
yang berkepentingan (Carpenter, 1991) meningkatkan permintaan bagi politisi dan atau
kelompok yang berkepentingan atas informasi akuntansi yang sudah diaudit (Baber,
1994) seiring dengan adanya pertentangan politik atau kegiatan masyarakat (Rubin, 1987
dan Baber, 1994) untuk menunjukkan ketepatan janji-janji politik mereka sebelumnya
(Baber and Sen, 1984) atau mengungkapkan tindakan kepada pesaingnya (Baber, 1990).
Deis dan Giroux (1992) menyatakan bahwa politisi yang menghadapi persaingan
mungkin mendesak auditor independen untuk mengeluarkan laporan audit yang
diinginkan atau mungkin tindakan auditor dimonitor oleh pelaku politik yang
berpengalaman daripada yang tidak berpengalaman, sehingga diperkirakan auditor akan
menolak lembaga pemerintah yang dibebani politik. Bentuk-bentuk auditing yang
berbeda dengan yang diminta cenderung menimbulkan konflik dengan auditee dan
menciptakan masalah politis (Power, 1999). Tingginya sorotan media pers terhadap
kinerja partner juga memiliki korelasi terhadap motivasi partner melaksanakan audit
pemerintah.
Reposisi lembaga pemeriksa diperlukan untuk menciptakan lembaga audit yang efisien
dan efektif dengan memisahkan tugas dan fungsi secara jelas ke dalam kategori auditor
internal dan eksternal (Mardiasmo, 2003b). Audit internal dilakukan oleh unit pemeriksa
yang merupakan bagian dari organisasi yang diperiksa. Sedangkan, audit eksternal
dilakukan oleh unit pemeriksa yang berada di luar organisasi yang diperiksa dan bersifat
independen. Dalam hal ini yang bertindak sebagai auditor eksternal pemerintah adalah
BPK yang merupakan lembaga independen dan merupakan supreme auditor sesuai
dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003.
Good governance akan tercapai jika lembaga pemeriksa berfungsi dan tertata dengan
baik. Setelah itu, pengembangan pengauditan perlu dilakukan. Salah satunya dengan
memperluas cakupan audit, tidak hanya audit keuangan (financial audit) tetapi juga value
for money audit atau sering disebut performance audit. Audit kinerja merupakan suatu
proses sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif, agar dapat
melakukan penilaian secara independen atas ekonomi dan efisiensi operasi serta
efektivitas dalam pencapaian hasil yang diinginkan, dan kepatuhan terhadap kebijakan,
peraturan, dan hukum yang berlaku, serta menentukan kesesuaian antara kinerja yang
telah dicapai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya, serta
mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak pengguna laporan tersebut (Malan et
al., 1984).
Secara lebih rinci, audit kinerja dibagi menjadi audit ekonomi dan efisiensi (management
audit) dan audit efektivitas (program audit) (Herbert, 1979). Audit ekonomi dan efisiensi
bertujuan untuk menentukan: (1) apakah suatu entitas telah memperoleh, melindungi, dan
menggunakan sumber dayanya (seperti karyawan, gedung, dan peralatan kantor) secara
hemat (ekonomis) dan efisien, (2) penyebab ketidakhematan dan ketidakefisienan, dan
(3) apakah entitas tersebut telah mematuhi peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan kehematan dan efisiensi. Sedangkan, audit efektivitas bertujuan untuk
menentukan tingkat pencapaian hasil program, efektivitas pelaksanaan program, dan
ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan
program (Malan et al., 1984).
Akuntansi manajemen harus dapat memberikan informasi yang relevan dan handal
melalui strategic planning, strategic cost management, dan strategic management
accounting untuk dapat menerapkan NPM, melaksanakan value for money untuk
penentuan biaya dan harga layanan publik, serta pengukuran kinerja pengelolaan dalam
kerangka best value performance dan public sector scorecard.
Laporan Keuangan yang dihasilkan organisasi publik, sebagai bentuk akuntabilitas
publik, seharusnya mengambarkan kondisi yang komprehensif tentang kegiatan
operasional, posisi keuangan, arus kas, dan penjelasan (disclosure) atas pos-pos yang ada
di dalam laporan keuangan tersebut. Laporan Keuangan memerlukan perangkat yang
berupa standar akuntansi pemerintahan dan sistem akuntansi yang menggunakan sistem
pencatatan berpasangan.
DAFTAR PUSTAKA
Baber, W.R., 1990, ‘Toward a Framework for Evaluating the Role of Accounting and
Auditing in Political Markets’, Journal of Accounting and Public Policy 9 (1): 57-73.
Baber, W.R., and Sen, P., 1984, ‘The Role of Generally Accepted Reporting Methods in
the Public Sector: An Empirical Test’, Journal of Accounting and Public Policy 3 (2): 91-
106.
Carpenter, V.L., 1991, ‘The Influence of Political Competition on the Decision to Adopt
GAAP’, Journal of Accounting and Public Policy 10 (2): 105-134.
Campos, J.E., 2001, ‘What is PEM?’ A Quarterly Publication, The Governance Unit
Strategy and Policy Department, Asian Development Bank, Issue 1.
Deis, D.R., and Giroux, G.A., 1992, ‘Determinants of Audit Quality in the Public Sector’,
The Accounting Review 67 (July): 462-479.
Di Fransisco, M., 2001, ‘Process not Outcomes in New Public Management? ‘Policy
Coherence’ in Australian Government’, The Drawing Board: An Australian Review of
Public Affairs, Vol. 1, No. 3.
Glynn, J.J., 1993, Public Sector Financial Control and Accounting, 2nd Ed., Oxford:
Blackwell.
Ho, A., 2002, ‘Reinventing Local Governments and the E-Government Initiative’, Public
Administration Review Vol. 62, No 4, July/August.
Hood, C., 1991, ‘A Public Management for All Seasons?’, Public Administration Vol.
69, 1, pp. 3-19
Hughes, O.E., 1998, Public Management and Administration, 2nd ed., Macmillan Press,
London.
Hughes, O.E., and O’Neill, D, 2002, The Limits of New Public Management: Reflection
on the Kennet ‘Revolution’ in Victoria, Monash University.
Jackson, P.M., (Editor), 1995, Measures for Success in the Public Sector: A Public
Finance Foundation Reader, Chartered Institute of Public Finance and Accountancy.
Jones, R., and Pendlebury, M., 2000, Public Sector Accounting, Fifth ed., Prentice Hall.
Lowenshon, S.H., and Collins, F., 2001, ‘The Role and Perceptions of Independent Audit
Partner in the Governmental Audit Market’, Accounting and the Public Interest, Vol. I.
Mardiasmo, 2001, ‘Pengawasan, Pengendalian, dan Pemeriksaan Kinerja Pemerintah
dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah’, Jurnal Bisnis dan Akuntansi, Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Trisakti, Jakarta, Edisi Agustus.
———-, 2002b, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Malan, R.M., Fountain Jr, J.I.R., D.S. Arrowsmith, dan Lockridge, H.R.L., 1984,
Performance Auditing in Local Government, Chicago, Illinois: Government Finance
Officers Asso iation.
Mellor, T., 1996, ‘Why Government Should Produce Balance Sheets’, Australian Journal
of Public Administration 55(1) 78-81, March.
Mulgan, R., 1997, ‘The Processes of Public Accountability’, Australian Journal of Public
Administration 56(1) 25-36, March.
Office of The Deputy Prime Minister, 2003, ‘Local Government Act 1999: Part 1 Best
Value and Performance Improvement’, ODPM Circular 03/2003, London.
Ormond, D., and Loffler, E., 2002, New Public Management: What to Take and What to
Leave, Public Management Service, OECD.
Osborne, D., and Gaebler, T., 1993, Reinventing Government: How the Entrepreneurial
Spirit is Transforming the Public Sector, New York, Penguin Books USA, Inc.
Polidano, C., 1999, ‘The New Public Management in Developing Countries’, Public
Policy and Management Working Paper No, 13, Institute for Development Policy and
Management, University of Manchester.
Power, M., 1999, The Audit Society: Rituals of Verification, Oxford University Press,
Oxford, U.K.
Quinlivan, D., 2000, ‘Rescalling the Balanced Scorecard for Local Government’,
Australian Journal of Public Administration 59(4) 36-81, Msssarch.
———-, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
Rubin, M.A., 1987, ‘A Theory of D mand for Municipal Audits and Audit Contracts’,
Research in Government Accountants Journal 3 (Part A).
Schiavo-Campo, S., and Tomasi, D., 1999, Managing Government Expenditure, Asia
Development Bank, Manila.
Wallis, J.L., and Dollery, B.E., 2001, ‘The Impact of Alternative Styles of Policy
Leadership on the Direction of Local Government Reform’, Working Paper Series in
Economics, University of New England.
Yamamoto, K., 1997, Accounting System Reform and Public Management in Local
Governments, The 6th CIGAR Conference of Local Government Accounting, Paris.
Dalam siaran pers yang diterbitkan oleh Departemen Keuangan menyatakan bahwa,
lokakarya ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman, penyamaan persepsi dan
meningkatkan komitmen pimpinan Kementerian Negara/Lembaga terhadap penerapan
akuntansi pemerintahan berbasis akrual.
Selain itu, lokakarya ini sebagai sarana pertukaran informasi implementasi standar
akuntansi pemerintahan berbasis akrual di Australia, serta memberikan pemahaman yang
jelas tentang permasalahan aktual yang terjadi dan strategi pelaksanaan akuntansi
pemerintahan berbasis akrual di masa yang akan datang.
Sistem akuntansi pemerintahan berbasis akrual adalah sebuah langkah pemerintah untuk
mewujudkan reformasi keuangan pemerintah. Dan pelaksanaan sistem ini adalah sebagai
realisasi amanat undang-undang, yakni UU 17/2003 tentang Keuangan Negara. Pada
pasal 36 UU ini mengamanatkan untuk menerapkan Standar Akuntansi Pemerintahan
(SAP) yang berbasis akrual 5 (lima) tahun sejak UU ditetapkan yang berarti tahun 2008.
Ole: Hamim Mustofa – Koordinator Pelaksana pada Subdit Konsolidasi dan Pelaporan
Keuangan, Ditjen Perbendaharaan-Dep.Keu.
Pendahuluan
Sesuai amanat Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, pemerintah
diwajibkan menerapkan basis akuntansi akrual secara penuh atas pengakuan dan
pengukuran pendapatan dan belanja negara paling lambat tahun anggaran 2008.
Sedangkan basis akuntansi yang sekarang ini diterapkan oleh pemerintah dalam
pembuatan laporan keuangan pemerintah sesuai dengan Kerangka Konseptual Akuntansi
Pemerintahan dalam Exposure Draft Standar Akuntansi Pemerintahan (per 04 Februari
2004) adalah dual basis. Yang dimaksud dengan dual basis adalah pengakuan
pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam Laporan Realisasi Anggaran menggunakan
basis kas, sedangkan untuk pengakuan aktiva, kewajiban, dan ekuitas dalam Neraca
menggunakan.
Penggunaan dual basis tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa pemerintah diwajibkan
membuat neraca yang hanya dapat dibuat dengan akuntansi berbasis akrual, sedangkan di
sisi lain juga wajib membuat laporan realisasi anggaran atau yang dulu di kenal dengan
nama Perhitungan Anggaran Negara (PAN) yang dibuat dengan akuntansi berbasis kas.
Terlepas dari basis akuntansi mana yang dipakai, tulisan ini akan membahas jenis-jenis
basis akuntansi yang ada dalam praktek, baik pada sektor privat maupun sektor publik
termasuk pemerintahan.
Dalam akuntansi berbasis kas, transaksi ekonomi dan kejadian lain diakui ketika kas
diterima atau dibayarkan. Basis kas ini dapat mengukur kinerja keuangan pemerintah
yaitu untuk mengetahui perbedaan antara penerimaan kas dan pengeluaran kas dalam
suatu periode. Basis kas menyediakan informasi mengenai sumber dana yang dihasilkan
selama satu periode, penggunaan dana dan saldo kas pada tanggal pelaporan. Model
pelaporan keuangan dalam basis kas biasanya berbentuk Laporan Penerimaan dan
Pembayaran (Statement of Receipts and Payment) atau Laporan Arus Kas (Cash Flow
Statement). Selain itu perlu dibuat suatu catatan atas laporan keuangan atau notes to
financial statement yang menyajikan secara detail tentang item-item yang ada dalam
laporan keuangan dan informasi tambahan seperti:
Item-item yang diakui dalam akuntansi berbasis akrual, seperti aktiva tetap dan
utang/pinjaman;
Item-item yang biasa diungkapkan dalam akuntansi berbasis akrual, seperti komitmen,
kontinjensi, dan jaminan;
Item-item lain, seperti informasi yang bersifat prakiraan (forecast).
Pada praktek akuntansi pemerintahan di Indonesia basis kas untuk Laporan Realisasi
Anggaran berarti bahwa pendapatan diakui pada saat kas diterima oleh Rekening Kas
Umum Negara/Daerah, dan belanja diakui pada saat kas dikeluarkan dari Rekening Kas
Umum Negara/Daerah. Secara rinci pengakuan item-item dalam laporan realisasi
anggaran, sesuai dengan Exposure Draft PSAP Pernyataan No. 2 tentang Laporan
Realisasi Anggaran adalah sebagai berikut:
Pendapatan diakui pada saat diterima pada Rekening Kas Umum Negara/Daerah atau
entitas pelaporan.
Belanja diakui pada saat terjadinya pengeluaran dari Rekening Kas Umum
Negara/Daerah atau entitas pelaporan. Khusus pengeluaran melalui pemegang kas
pengakuannya terjadi pada saat pertanggungjawaban atas pengeluaran tersebut disahkan
oleh unit yang mempunyai fungsi perbendaharaan
Dana Cadangan diakui pada saat pembentukan yaitu pada saat dilakukan penyisihan uang
untuk tujuan pencadangan dimaksud. Dana Cadangan berkurang pada saat terjadi
pencairan Dana Cadangan.
Penerimaan pembiayaan diakui pada saat diterima pada Rekening Kas Umum
Negara/Daerah.
Pengeluaran pembiayaan diakui pada saat dikeluarkan dari Rekening Kas Umum
Negara/Daerah.
Akuntansi berbasis kas ini tentu mempunyai kelebihan dan keterbatasan. Kelebihan-
kelebihan akuntansi berbasis kas adalah laporan keuangan berbasis kas memperlihatkan
sumber dana, alokasi dan penggunaan sumber-sumber kas, mudah untuk dimengerti dan
dijelaskan, pembuat laporan keuangan tidak membutuhkan pengetahuan yang mendetail
tentang akuntansi, dan tidak memerlukan pertimbangan ketika menentukan jumlah arus
kas dalam suatu periode. Sementara itu keterbatasan akuntansi berbasis kas adalah hanya
memfokuskan pada arus kas dalam periode pelaporan berjalan, dan mengabaikan arus
sumber daya lain yang mungkin berpengaruh pada kemampuan pemerintah untuk
menyediakan barang-barang dan jasa-jasa saat sekarang dan saat mendatang; laporan
posisi keuangan (neraca) tidak dapat disajikan, karena tidak terdapat pencatatan secara
double entry; tidak dapat menyediakan informasi mengenai biaya pelayanan(cost of
service) sebagai alat untuk penetapan harga (pricing), kebijakan kontrak publik, untuk
kontrol dan evaluasi kinerja.
Basis akuntansi ini pada dasarnya sama dengan akuntansi berbasis kas, namun dalam
basis ini pembukuan untuk periode tahun berjalan masih ditambah dengan waktu atau
periode tertentu (specific period) misalnya 1 atau 2 bulan setelah periode berjalan (?
leaves the books open?). Penerimaan dan pengeluaran kas yang terjadi selama periode
tertentu tetapi diakibatkan oleh periode pelaporan sebelumnya akan diakui sebagai
penerimaan dan pengeluaran atas periode pelaporan yang lalu (periode sebelumnya).
Arus kas pada awal periode pelaporan yang diperhitungkan dalam periode pelaporan
tahun lalu dikurangkan dari periode pelaporan berjalan.
Laporan keuangan dalam basis ini juga memerlukan pengungkapan tambahan atas item-
item tertentu yang biasanya diakui dalam basis akuntansi akrual. Pengungkapan tersebut
sangat beragam sesuai dengan kebijakan pemerintah. Sebagai tambahan atas item-item
yang diungkapkan dalam basis kas, ada beberapa pengungkapan yang terpisah atas saldo
near-cash yang diperlihatkan dengan piutang-piutang yang akan diterima dan utang-utang
yang akan dibayar selama periode tertentu dan financial assets and liabilities. Sebagai
contoh Pemerintah Malaysia menggunakan specified period dalam laporan keuangan
tahunan, yang mengungkapkan beberapa catatan (memo) mengenai : aktiva, investasi,
kewajiban, utang pemerintah (public debt), jaminan (guarantees), dan notes payable.
Dalam basis ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
Fokus pengukuran di bawah basis ini adalah pada sumber keuangan sekarang (current
financial resources) dan perubahan-perubahan atas sumber-sumber keuangan tersebut.
Basis akuntansi ini mempunyai fokus pengukuran yang lebih luas dari basis kas,
pengakuan penerimaan dan pembayaran kas tertentu selama periode spesifik berarti
bahwa terdapat informasi mengenai pituang dan hutang, meskipun tidak diakui sebagai
aktiva dan kewajiban.
Kriteria pengakuan atas penerimaan selama periode tertentu adalah bahwa penerimaan
harus berasal dari periode yang lalu, namun penerapan ini tidak seragam untuk semua
negara. Beberapa pemerintah menganggap bahwa seluruh penerimaan yang diterima
selama periode tertentu adalah berasal dari periode sebelumnya, sedangkan pemerintah
yang lain mengakui hanya beberapa dari penerimaan tersebut.
Penetapan panjangnya periode tertentu bervariasi antara beberapa pemerintah, namun ada
beberapa ketentuan, yaitu:
Periode tertentu diterapkan secara konsisten dari tahun ke tahun;
Periode tertentu harus sama untuk penerimaan dan pembayaran kas;
Kriteria yang sama atas pengakuan penerimaan dan pembayaran kas selama periode
tertentu harus diterapkan untuk seluruh penerimaan dan pembayaran;
Satu bulan adalah waktu yang tepat, karena pembelian barang secara kredit umumnya
diselesaikan dalam periode tersebut, periode tertentu yang terlalu lama mungkin
mengakibatkan kesulitan dalam menghasilkan laporan keuangan;
Kebijakan akuntansi yang dipakai harus diungkapkan secara penuh (fully disclosed).
Akuntansi berbasis akrual berarti suatu basis akuntansi di mana transaksi ekonomi dan
peristiwa-peristiwa lain diakui dan dicatat dalam catatan akuntansi dan dilaporkan dalam
periode laporan keuangan pada saat terjadinya transaksi tersebut, bukan pada saat kas
atau ekuivalen kas diterima atau dibayarkan. Akuntansi berbasis akrual ini banyak
dipakai oleh institusi sektor non publik dan lembaga lain yang bertujuan mencari
keuntungan. International Monetary Fund (IMF) sebagai lembaga kreditur menyusun
Government Finance Statistics (GFS) yang di dalamnya menyarankan kepada negara-
negara debiturnya untuk menerapkan akuntansi berbasis akrual dalam pembuatan laporan
keuangan. Alasan penerapan basis akrual ini karena saat pencatatan (recording) sesuai
dengan saat terjadinya arus sumber daya. Jadi basis akrual ini menyediakan estimasi yang
tepat atas pengaruh kebijakan pemerintah terhadap perekonomian secara makro. Selain
itu basis akrual menyediakan informasi yang paling komprehensif karena seluruh arus
sumber daya dicatat, termasuk transaksi internal, in-kind transaction, dan arus ekonomi
lainnya.
Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh atas penerapan basis akrual, baik bagi
pengguna laporan (user) maupun bagi pemerintah sebagai penyedia laporan keuangan.
Manfaat tersebut antara lain:
Dapat menyajikan laporan posisi keuangan pemerintah dan perubahannya;
Memperlihatkan akuntabilitas pemerintah atas penggunaan seluruh sumber daya;
Menunjukkan akuntabilitas pemerintah atas pengelolaan seluruh aktiva dan kewajibannya
yang diakui dalam laporan keuangan;
Memperlihatkan bagaimana pemerintah mendanai aktivitasnya dan memenuhi kebutuhan
kasnya;
Memungkinkan user untuk mengevaluasi kemampuan pemerintah dalam medanai
aktivitasnya dan dalam memenuhi kewajiban dan komitmennya;
Membantu user dalam pembuatan keputusan tentang penyediaan sumber daya ke atau
melakukan bisnis dengan entitas;
User dapat mengevaluasi kinerja pemerintah dalam hal biaya pelayanan, efisiensi dan
penyampaian pelayanan tersebut.
Sesuai dengan Exposure Draft Standar Akuntansi Pemerintahan, basis akrual untuk
neraca berarti bahwa aktiva, kewajiban, dan ekuitas dana diakui dan dicatat pada saat
terjadinya transaksi, atau pada saat kejadian atau kondisi lingkungan berpengaruh pada
keuangan pemerintah, tanpa memperhatikan saat kas atau setara kas diterima atau
dibayar. Secara rinci pengakuan atas item-item yang ada dalam neraca dengan penerapan
basis akrual adalah:
Persediaan diakui pada saat potensi manfaat ekonomi masa depan diperoleh pemerintah
dan mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur dengan andal. Persediaan diakui pada
saat diterima atau hak kepemilikannya dan/atau kepenguasaannya berpindah.
Investasi, suatu pengeluaran kas atau aset dapat diakui sebagai investasi apabila
memenuhi salah satu kriteria: (a) Kemungkinan manfaat ekonomik dan manfaat sosial
atau jasa pontensial di masa yang akan datang atas suatu investasi tersebut dapat
diperoleh pemerintah; (b)Nilai perolehan atau nilai wajar investasi dapat diukur secara
memadai (reliable). Pengeluaran untuk perolehan investasi jangka pendek diakui sebagai
pengeluaran kas pemerintah dan tidak dilaporkan sebagai belanja dalam laporan realisasi
anggaran, sedangkan pengeluaran untuk memperoleh investasi jangka panjang diakui
sebagai pengeluaran pembiayaan.
Aktiva tetap, untuk dapat diakui sebagai aset tetap, suatu aset harus berwujud dan
memenuhi kriteria: (a) Mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan;
(b)Biaya perolehan aset dapat diukur secara andal; (c) Tidak dimaksudkan untuk dijual
dalam operasi normal entitas; dan (d) Diperoleh atau dibangun dengan maksud untuk
digunakan.
Konstruksi Dalam Pengerjaan (KDP), suatu benda berwujud harus diakui sebagai KD
jika: (a) Besar kemungkinan bahwa manfaat ekonomi masa yang akan datang berkaitan
dengan aset tersebut akan diperoleh; (b) Biaya perolehan tersebut dapat diukur secara
andal; dan (c) Aset tersebut masih dalam proses pengerjaan. KDP dipindahkan ke pos
aset tetap yang bersangkutan jika kriteria berikut ini terpenuhi: (1) Konstruksi secara
substansi telah selesai dikerjakan; dan(2) Dapat memberikan manfaat/jasa sesuai dengan
tujuan perolehan;
Kewajiban, suatu kewajiban yang diakui jika besar kemungkinan bahwa pengeluaran
sumber daya ekonomi akan dilakukan atau telah dilakukan untuk menyelesaikan
kewajiban yang ada sampai saat ini, dan perubahan atas kewajiban tersebut mempunyai
nilai penyelesaian yang dapat diukur dengan andal.
Basis akuntansi ini meliputi pengakuan beberapa aktiva, namun tidak seluruhnya, seperti
aktiva fisik, dan pengakuan beberapa kewajiban, namun tidak seluruhnya, seperti utang
pensiun. Contoh bervariasinya (modifikasi) dari akuntansi akrual, dapat ditemukan dalam
paktek sebagai berikut ini:
Pengakuan seluruh aktiva, kecuali aktiva infrastruktur, aktiva pertahanan dan aktiva
bersejarah/warisan, yang diakui sebagai beban (expense) pada waktu pengakuisisian atau
pembangunan. Perlakuan ini diadopsi karena praktek yang sulit dan biaya yang besar
untuk mengidentifikasi atau menilai aktiva-aktiva tersebut;
Pengakuan hampir seluruh aktiva dan kewajiban menurut basis akrual, namun pengakuan
pendapatan berdasar pada basis kas atau modifikasi dari basis kas;
Pengakuan hanya untuk aktiva dan kewajiban finansial jangka pendek;
Pengakuan seluruh kewajiban dengan pengecualian kewajiban tertentu seperti utang
pensiun.
Basis akuntansi mana yang dipakai oleh suatu pemerintah tertentu, tergantung pada
kebijakan dan kondisi yang ada. Masing-masing basis akuntansi tersebut mempunyai
kelebihan dan kekurangan, basis akuntansi akrual memberikan manfaat yang lebih
banyak dibandingkan dengan basis akuntansi yang lain, baik bagi pemerintah sendiri
sebagai penyusun laporan keuangan maupun bagi pengguna laporan keuangan (user).
Pemerintah Indonesia, sesuai dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan
Negara, sudah harus menerapkan basis akuntansi akrual secara penuh paling lambat tahun
2008.
Referensi
Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP), Draf Standar Akuntansi Pemerintahan,
Februari 2004.
International Monetary Fund (IMF), Government Financial Statistic Manual,
http://www.imf.org, 2001.
International Federation of Accountants (IFAC), Study 11 Governmental Financial
Reporting, http://www.ifac.org, May 2000.
International Federation of Accountants (IFAC), Occasional Paper 3 Perspetive on
Accrual Accounting, http://www.ifac.org, 1996.
Sumber: www.perbendaharaan.go.id