Pendekatan Konseling Analisis Transaksional Untuk Mengembangkan Kesadaran Diri Remaja
Pendekatan Konseling Analisis Transaksional Untuk Mengembangkan Kesadaran Diri Remaja
2, Page: 99-108
Open Access | Url: http://jm.ejournal.id/index.php/mendidik/article/view/50
http://jm.ejournal.id
A R TIC LE I N F O A BS T RA C T
Article History: The background of this study is the fact of less self-monitoring ability optimalization
Received 26.04.2018 among adolescents, and as a result the lack of self-awareness among adolescents. The
Received in revised purpose of this study was to evaluate the effectiveness of transactional analysis in
form 08.05.2018 counseling approach to develop adolescent’s self-awareness. This study uses quasi
Accepted 18.06.2018 experiment with non-equivalent pretest and posttest control group design. Population
Available online of this study are 20 students of class 11th in SMA Negeri 2 Ogan Ogan Ulu (OKU)
11.10.2018 grouped in the experimental group (10 students) and control group (10 students). Data
were analyzed using non-parametric statistic with Mann Whitney or U-test. As a result
of this study, the self-awareness profile picture in 11th grade students of senior high
school in OKU has categorized in intermediate level, the design of transactional
analysis counseling intervention, and transactional analysis counseling is effective to
improve students’ self-awareness. Recommendation based on research for guidance
and counseling teacher is to apply the procedure of transactional analysis counseling
by using structural technique with aim to develop self-awareness of students, and next
researcher is for exploration toward one of techniques in transactional analysis
counseling to facilitate all indicators, aspects, and self-awareness dimention.
DOI: 10.30653/003.201842.50 This is an open access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution
4.0 International License, which permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any
medium, provided the original work is properly cited. © 2018 Mualwi Widiatmoko, Fadhila
Malasari Ardini.
PENDAHULUAN
Salah satu periode pertumbuhan dan perkembangan yang akan dihadapi oleh individu adalah
periode remaja (adolescence). Menurut Hall (dalam Santrock, 2009, p. 6) remaja sebagai masa
strom and stress yang merupakan pemaknaan dari pergolakan dan krisis penyesuaian serta
perubahan suasana hati. Sedangakan menurut Hurlock (2008, p. 207) menjelaskan tentang ciri-
ciri masa remaja yakni masa remaja sebagai periode yang penting, masa remaja sebagai periode
peralihan, masa remaja sebagai periode perubahan, masa remaja sebagai usia bermasalah, masa
remaja sebagai masa memcari identitas, masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan,
masa remaja sebagai sebagai masa tidak realistik, dan masa remaja sebagai ambang masa dewasa.
Selain itu, periode remaja juga diartikan sebagai masa sense of identity (Santrock, 2009, p.204).
1
Corresponding author’s address: Program Studi Bimbingan dan Konseling, FKIP of Universitas Mathla’ul Anwar Banten, Indonesia
e-mail: [email protected]
2018 MENDIDIK: Jurnal Kajian Pendidikan dan Pengajaran is published by FKIP of Universitas Mathla’ul Anwar Banten
MENDIDIK; Jurnal Kajian Pendidikan dan Pengajaran 2018, 4(2), 99-108
Masa sense of identity akan memberikan tuntutan pada remaja untuk mengembangkan
kesadaran diri. Menurut Desmita (2005, p. 225) kesadaran diri diartikan sebagai kemampuan
untuk melihat, memikirkan, merenungkan dan menilai diri sendiri. kesadaran diri tidak hanya
memberikan pengaruh terhadap sikap dan tingkah laku individu, melainkan dapat
mempengaruhi cara pandang individu terhadap sesuatu yang berada diluar dirinya. Kesadaran
diri merupakan kemampuan individu menilai diri, mengevaluasi diri, dan menggabungkan
penilaian tersebut menjadi evaluasi diri secara individual dan melibatkan kemampuan perasaan
seseorang untuk merundingkannya secara tepat (Bagshaw, 2000). Menurut Damasio (2000, p. 24)
kesadaran diri didasari oleh keadaan sadar terjaga dan disertai dengan perhatian yang berfokus
pada kondisi internal didalam diri. Sehingga, individu yang sedang berada pada usia remaja
perlu memiliki kesadaran diri yang dapat berfungsi dengan baik.
Kesadaran diri yang dapat berfungsi dengan baik dapat dimaknai sebagai kondisi ideal dari
kesadaran diri, dikarenakan kesadaran diri berkaitan dengan aspek perasaan (affect), perilaku
(behavior) dan pemikiran (cognition) setiap individu. Mayer dan Salovey (1997) menyatakan
bahwa kesadaran diri yang berkembang dengan baik memberikan pedoman bagi individu,
sebagai landasan dasar yang dapat diandalkan untuk mengamati, memahami, dan memfasilitasi
pemikiran, emosi, serta tindakan yang sesuai. Menurut Wilkins (2015) Individu yang memiliki
kesadaran diri yang baik dapat memahami bagaimana pikirannya berfungsi, yakni individu
tersebut telah memahami alasan kenapa dirinya berfikir, merasakan sesuatu dan bertingkah laku
yang sesuai dirinya. Dengan demikian, remaja yang memiliki kesadaran diri yang baik
dikategorikan sebagai individu yang memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri atau
memonitor diri.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan beberapa guru disekolah, diperoleh informasi
tentang kemampuan remaja dalam mengendalikan diri atau memonitor diri yang cenderung
tidak berkembang dengan optimal, hal ini diperlihatkan dengan beberapa fenomena perilaku
bermasalah seperti, perilaku mengabaikan kegitan belajar mengajar, keterlambatan, melanggar
tata tertib sekolah, melalaikan kewajiban sebagai seorang peserta didik, minimnya empati
terhadap kesulitan yang dihadapi oleh keluarga, skala prioritas yang diabaikan, dan rendahnya
komitmen untuk mencapai atau mewujudkan cita-cita.
Fenomena perilaku remaja tersebut diperkuat oleh fakta dari hasil penelitian bahwa kesadaran
diri menjadi salah satu dari beberapa faktor yang mempengaruhi prokrastinasi akademik, serta
keberhasilan dan kegagalan seseorang dikelola oleh kesadaran diri dan kemampuan diri yang
baik (Ferrari, 1992, 2001; Duval & Silvia, 2002). Fakta lainnya ditemukan oleh Goleman dan
Boyatzis (1999) yang menemukan bahwasanya dasar dari kemampuan emosional adalah
kesadaran diri yaitu pengetahuan akan kemampuan dan keterbatasan diri sendiri sekaligus juga
pemahaman yang mendalam akan faktor-faktor dan situasi yang dapat menyebabkan
munculnya emosi dalam diri sendiri. Sehingga dapat dimaknai bahwa muculnya beberapa
fenomena perilaku remaja tersebut dikategorikan sebagai kondisi kesadaran diri yang tidak
ideal.
Kondisi kesadaran diri remaja yang tidak ideal tersebut berkaitan dengan tidak sinambungnya
perkembangan yang muncul dengan tekanan kehidupan yang terjadi selama masa remaja,
kualitas interaksi sosial tertentu, seperti hubungan yang rumit dengan orang tua, dan transisi
sekolah yang memberikan dampak pada penyesuaian diri remaja (Chen, Mechanic, & Hansell,
1998); (Yee & Flanagan, (1985); (Ryan & Kuczkowski (1994); dan (Lord, Eccles, & McCarthy,
1994)). Kondisi kesadaran diri yang tidak ideal ini perlu untuk dibenahi agar dapat berfungsi
sebagaimana mestinya.
Perlunya keberfungsian kesadaran diri sebagaimana mestinya dikarenakan kesadaran diri dapat
memberikan kemudahan perilaku yang efektif dalam mengatasi kegagalan atau merugikan,
yang disebabkan oleh terjeratnya diri dari penataan yang tidak sesuai antara diri ideal dan
100
Mualwi Widiatmoko, Fadhila Malasari Ardini
tampilan diri, dan mengarah kepada tertekannya kemampuan emosional (Carver & Scheier,
2012). Selain itu menurut Shivers-Blackwell (2006) kesadaran diri yang baik merupakan
kecakapan dalam memonitor diri dan perilaku yang dapat beradaptasi secara efektif untuk
menyesuaikan dengan orang lain. Kesadaran diri pada umumnya dimiliki oleh setiap remaja,
dan juga kesadaran diri merupakan hal yang dapat dipelajari.
Kesadaran diri dapat dipelajari oleh remaja dikarenakan kemampuan ini dapat diperoleh melalui
interaksi dengan lingkungannya, (Wehmeyer & Shogren dalam Duff & Flattery, 2014).
Sedangkan hasil penelitian Restiningtyas (2012) menunjukkan intervensi individual terhadap
kesadaran diri efektif dalam melibatkan pengalaman-pengalaman positif dalam kehidupan,
melalui program intervensi kesadaran diri individu terbantu untuk menyadari hal-hal positif
didalam dirinya termasuk kelebihan dalam segi fisik, sosial, dan akademis. Berdasarkan hal
tersebut kesadaran diri dapat dimaknai sebagai konsep yang luas dan kompleks.
Kesadaran diri dibagi menjadi dua bagian atau dimensi yakni kesadaran diri publik (public self
awareness), dan kesadaran diri privat (private self awareness). Kedua dimensi kesdaaran diri
tersebut memiliki aspek-aspek yang akan dijabarkan sebagai berikut: Pertama, dimensi kesadaran
diri publik (public self awareness) memiliki tiga aspek, yakni Aspek penampilan, tindakan atau
perilaku dan percakapan. Ketiga aspek tersebut akan dijabarkan sebaga berikut:
1) Aspek penampilan. Menurut Cash (2002) penampilan atau body image ditafsirkan sebagai
suatu cara individu dalam memandang dirinya, bukan yang tampak oleh orang tetapi yang
terdapat pada tubuhnya sendiri. Pada aspek penampilam terdapat beberapa bagian dari
penampilan atau body image yang dapat diamati antara lain adalah evaluasi penampilan
(appearance evaluation), orientasi penampilan (Appearance orientation), dan kepuasan terhadap
bagian tubuh (body area satisfaction).
2) Aspek tindakan atau Perilaku. Averill (1973) memberikan pandangan bahwa tindakan atau
perilaku adalah kemampuan individu dalam memberikan respon terhadap stimulus.
Adapun beberapa bagian dari tindakan atau perilaku adalah kontrol perilaku (behavior
control), kontrol kognitif (cognitive control), dan kontrol keputusan (decisional control).
3) Aspek Percakapan adalah proses komunikasi antar pribadi yang melibatkan komunikator
(pemberi pesan) dan komunikan (penerima pesan) secara verbal dan nonverbal yang saling
memberikan pengaruh (Gufron & Risnawati, 2010; Devito, 1997). Beberapa bagian yang
dapat diamati didalam aspek percakapan antara lain adalah keterbukaan (oppeness), empati
(empathy), dan kesetaraan (equality).
Kedua, dimensi kesadaran diri privat (private self awareness) memiliki tiga aspek yakni aspek
pikiran, emosi dan sikap. Ketiga aspek tersebut akan dijabarkan sebaga berikut:
1) Pikiran adalah suatu bahasa yang didasarkan pada proses kognitif yang saling terkait dan
digunakan untuk memahami dunia (Hyerle &Apler, 2012, p. 1). Menurut Atkinson (2002, p.
341) pikiran dapat dilihat dari pemantauan diri dan lingkungan, persepsi memori, dan
representasi proses berpikir.
2) Emosi adalah kemampuan untuk mempersepsikan emosi, memahami dan membangkitkan
emosi, sehingga dapat membantu dalam meningkatkan perkembangan emosional dan
intelektual (Mayer & Salovey, 1997). Beberapa bagian yang terdapat didalam aspek emosi
antara lain adalah persepesi dan ekspresi emosi, pemahaman emosi, dan manajemen emosi.
3) Sikap diartikan sebagai kemampuaan individu dalam mengevaluasi seseorang, perilaku,
kepercayaan, atau konsep tertentu (Feldman, 2010, p. 343). Menurut Sax (dalam Azwar, 2011,
p. 87) beberapa bagian yang dapat diukur dalam sikap antara lain adalah arah, intensitas,
keluasan, dan konsistensi.
101
MENDIDIK; Jurnal Kajian Pendidikan dan Pengajaran 2018, 4(2), 99-108
Kesadaran diri sebagai konsep yang luas dan kompleks, karena didalamnya terdapat interaksi
berbagai proses kognitif dan fungsi psikologis utama manusia, (Llorens., dkk. 2015).
Mengembangkan kemampuan kesadaran diri diperlukan suatu upaya yang disesuaikan dengan
kebutuhan karakteristik dari remaja, salah satu upaya yang dapat digunakan dalam
mengembangkan kesadaran diri adalah dengan menggunakan konseling analisis transaksional.
Menurut Zvelc (2009) kerangka teoritis analisis trsansaksional secara lebih luas dapat
dikembangkan dengan ilmu kognitif, ilmu syaraf atau kejiwaan, penelitian tentang kesadaran,
keterkaitan proses berpikir dalam psikoanalisis, dan terapi kognitif. Dengan kata lain, konseling
analisis trsansaksional dikategorikan sebagai strategi yang efektif dan efisien dalam
mengentaskan permasalahan.
Konseling analisis transaksional dikategorikan strategi yang efektif dan efisien dalam
mengentaskan permasalahan, karena analisis transaksional merupakan sumber yang sangat
berharga, baik dari segi konsep dan ide-idenya. bahkan unuk para konselor yang tidak
menggunakan analisis trsansaksional secara langsung dalam prakteknya. Teori dan praktek
analisis transaksional dapat dilihat sebagai perbedaan yang merepresentasikan konsep kreatif
serta nilai-nilai psikoanalistik dan humanistik. Teori ini terbentuk oleh seperangkat asumsi dasar
yang berkembang menjadi model-model tertentu yang dapat diterapkan untuk berbagai
tingkatan kompleksitas dalam interaksi manusia (Mc Leod, dalam Stewart & Joines, 2001).
Sehingga konseling analisis transaksional akan sesuai digunakan untuk diterapkan untuk
mengentaskan permasalahan yang berkaitan kesadaran diri remaja.
Permasalahan kesadaran diri pada remaja dianggap sebagai kemampuan psikologis yang
terganggu. Analisis trsansaksional memandang gangguan psikologis sebagai cara untuk
berhadapan dengan rasa dicampakkan dari (being in the world) atau mengada dalam dunia
(Nuttal, 2006). Analisis transaksional meliputi kebutuhan manusia untuk saling berhubungan
dan kebutuhan akan tanda perhatian (stroke), kompleksitas ego, perbedaan dalam transferensi
dari transaksi yang biasa, dan konsep yang menyeluruh dari konsep life scrip tertentu, serta
kombinasi dari semua subkonsep (Eriskine, 2009). konseling analisis transaksional telah
digunakan untuk memberikan intervensi di berbagai penelitian yang memiliki keterkaitan
dengan kesadaran diri.
Penelitian yang dilakukan oleh Steiner (1996) menunjukkan bahwa pelatihan keterampilan
emosional (Emotional Literacy Training) yang merupakan penerapan analisis transaksional efektif
digunakan untuk mempelajari kemampuan emosional diri kita dan orang lain. Sterrenberg dan
Thunnissen (1995) menjelaskan bahwa penggunaan Analisis Transaksional (Transactional
Analysis) sebagai terapi kognitif dapat digunakan dalam menangani permasalahan yang terkait
dengan kepribadian.
Penelitian tersebut memiliki keterkaitan dengan kesadaran diri karena menurut Whetten and
Cameron, (dalam Caldwell, 2009) Kesadaran diri merupakan elemen mendasar dari kecerdasan
emosional dan kemampuan yang sangat penting kita yang digunakan seseorang untuk
berkomunikasi dan membangun hubungan saling mempercayai dengan orang lainnya.
Sedangkan Anderson (dalam Demaree dan Harrison, 1997) Kesadaran diri diidentifikasi sebagai
dua bagian. Pertama, perhatian dan latihan dan kedua, memori jangka pendek, tahap yang
memegang persepsi, kenangan, dan tindakan untuk mengarahakan perhatian. Maka, untuk
membantu remaja menjadi yang pribadi yang sadar diri dapat menggunakan intervensi dalam
bentuk konseling analisis transaksional.
Berdasarkan pemikiran tersebut, konseling analisis transaksional diharapkan dapat memberikan
kontribusi positif terhadapat perkembangan kesadaran diri pada remaja, dan dengan memahami
pentingnya tentang kesadaran diri bagi remaja, peneliti melakukan kajian tentang kesadaran diri
remaja yakni pada siswa yang berada di kelas XI SMA Negeri 2 Ogan Komering Ulu (OKU)
dengan menggunakan konseling analisis transaksional.
102
Mualwi Widiatmoko, Fadhila Malasari Ardini
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode Kuasi Eksperimen. Desain
kuasi eksperimen yang digunakan adalah non-equivalent (Pre-test and Post test) Control-Group
Design, yaitu melakukan pre-test dan post-test pada dua kelompok. Pada penelitian ini, subjek
penelitian dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol,
dan kepada kedua kelompok tersebut diberikan pretest dan posttest (Campbell dan Stanley, 1963).
Populasi dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas XI SMA N 2 Ogan Komering Ulu Tahun
Ajaran 2016/2017 yang berusia 15-17 tahun sebagai populasi penelitian dikarenakan peserta didik
kelas XI memilki rentang usia 15-17 yang merupakan usia rata-rasa remaja memasuki sekolah
menengah tingkat atas, status disekolah membuat remaja sadar akan tanggung jawab, kesadaran
akan status formal, dan mendorong sebagian remaja untuk berperilaku lebih matang (Hurlock,
2008, hlm. 206).
Tabel 1 menjelaskan bahwa, menjelaskan bahwa, secara umum kesadaran diri siswa kelas XI
SMA Negeri 2 OKU tahun pelajaran 2016/2017 mayoritas berada pada kategori sedang, dan tidak
adanya siswa yang berada pada kategori rendah. Namun berdasarkan perhitungan ditemukan
fakta lainnya yaitu, dengan skor atau nilai rata-rata perolehan siswa 147,75 terdapat 111 atau 53%
siswa memiliki skor atau nilai dibawah rata-rata tersebut, data ini mengindikasikan adanya
kesenjangan pada kesadaran diri yang dimiliki oleh siswa, serta menjelaskan bahwa para siswa
tersebut memiliki kecederungan belum sepenuhnya mampu untuk mengarahkan pikiran,
tindakan dan mengevaluasi diri sendiri atau dapat dimaknai bahwa para siswa memiliki
kecenderungan kesadaran diri yang belum berkembang secara optimal.
Pada penelitian ini konseling analisis transaksional sebagai bentuk intervensi yang diberikan
memiliki tujuan untuk mengembangkan kesadaran diri pada siswa kelas XI SMA Negeri 2 OKU
tahun pelajaran 2016/2017. Konseling analisis transaksional dikatakan efektif apabila ditandai
dengan adanya peningkatan yang signifikan antara data hasil tes awal (pretest) dan data hasil tes
akhir (post-test) pada kelompok eksperimen. Hal ini mengindikasikan adanya perubahan skor
kesadaran diri siswa ke arah positif setelah diberi intervensi berupa konseling analisis
transaksional. Perubahan skor pada masing-masing kelompok tersebut dapat dilihat dari skor
rata-rata perolehan setiap kelompok pada Gambar 1.
103
MENDIDIK; Jurnal Kajian Pendidikan dan Pengajaran 2018, 4(2), 99-108
160
140
120
100
80
60
40
20
0
Pretest Posttest
Kelompok
124.5 151.6
Eksperimen
Kelompok
130.4 131.8
Kontrol
104
Mualwi Widiatmoko, Fadhila Malasari Ardini
Pawlik (1998, p. 187) menjelaskan ada dua rumusan kesadaran, pertama, aspek fungsional
kesadaran, dalam pengertian perhatian dan awareness serta, kedua aspek fenomenologis
kesadaran, dalam pengertian kesadaran diri (self awareness dan self consciousness) yang
menggambarkan kesadaran internal terhadap pengalaman sadar diri seseorang. Kesadaran diri
menurut Duval & Wicklund (1972) diartikan sebagai pengetahuan diri yang umum, yakni suatu
kemampuan yang dimiliki dalam memahami diri sendiri, dan kepribadiannya. Pendapat lain
dikemukanan oleh Goleman (1995, p.63) kesadaran diri diartikan sebagai keadaan didalam batin
individu. kondisi pada kesadaran refleksi diri terjadi kegiatan saat pola pikiran mengamati dan
mempelajari pengalaman merupakan suatu emosi. Selain itu kesadaran diri dimaknai sebagai
kesadaran individu mengenai informasi yang berkaitan dengan dirinya seperti pikiran, perasaan,
dan evaluasi serta menjadi lebih kritis terhadap dirinya sendiri. sehingga individu yang memiliki
kesadaran memiliki kemampuan dalam memonitor dan mengontrol diri yang baik secara
emosional (Fatchurochman, 2006).
Kesadaran diri merupakan kemampuan memahami diri sendiri melalui pikiran, perasaan, dan
tingkah laku melaui suatu proses yang melihat kedalam diri sendiri, dan standar pembenaran
yang digunakan (Duval & Silvia, 2001, p. 4). Berdasarkan beberapa pendapat tersebut makan
kesadaran diri (self awareness atau self consciousness) dapat dimaknai sebagai suatu kemampuan
kognitif atau pengetahuan individu dalam memahami diri sendiri yang berkaitan dengan
perasaan (affect), perilaku (behavior), dan pemikiran (cognition). Dengan demikian, remaja tersebut
memiliki kecakapan dalam mengevaluasi, memonitor dan mengontrol diri dan dapat
digolongkan sebagai pribadi yang sadar diri.
Mengaplikasikan prosedur konseling analisis transaksional dalam membantu mengembangkan
kesadaran diri siswa dalam setiap aspeknya yaitu aspek penampilan, tidakan atau perilaku,
percakapan, pikiran, emosi dan sikap. Adapun tahapan-tahapan yang dapat dilakukan adalah:
(1) need assessment terhadap gambaran kesadaran diri siswa; (2) analisis terhadap hasil need
assessment; (3) menyusun rencana operasional atau prosedur konseling analisis transaksional; (4)
menyusun satuan kegiatan yang sesuai dengan hasil need assessment; dan (5) pengaplikasian dan
melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan layanan konseling yang bertujuan untuk
membantu siswa dalam mengembangkan kesadaran diri.
Pada tahap awal pembentukan kelompok perlu mempertimbangkan kondisi dan tempat
pelaksanaan konseling yang dirasa sesuai dan nyaman bagi para anggota kelompok, karena
kenyamanan kondisi dan tempat pelaksanaan konseling akan memudahkan setiap anggota
kelompok untuk saling beradaptasi dan mereduksi kecemasan-kecemasan yang muncul dari
setiap anggota kelompok. Bagian penting lainnya pada tahap awal ini adalah guru bimbingan
dan konseling atau konselor sekolah kendaknya menampilkan sikap yang humoris, ramah dan
tidak sungkan untuk memberikan pujian terhadap setiap anggota kelompok.
Pelibatan secara aktif dan terus menerus kepada anggota kelompok yang cenderung pasif dalam
proses kegiatan konseling, sehingga diperlukan pendekatan secara personal bagi guru
bimbingan dan konseling atau konselor sekolah terhadap anggota kelompok yang cenderung
menutup diri atau pasif dalam kegiatan kelompok.
Pemilihan dan penggunaan waktu untuk proses pelaksanaan konseling harus tepat, sebaiknya
konseling dilakukan pada kondisi ideal atau terbaik setiap anggota kelompok untuk mengikuti
sesi konseling yaitu pada pagi hari, dan setelah istirahat. Selain itu waktu yang digunakan dalam
setiap sesi atau pertemuan konseling lebih kurang 60 menit, hal ini bertujuan agar dapat
mengakomodasi pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari anggota kelompok, menyusun
agenda kegiatan selanjutnya, dan membuat perencaan individual bagi setiap anggota kelompok.
Teknik analisis struktural paling sesuai untuk diterapkan dalam mengembangkan kesadaran diri
siswa, karena dalam teknik ini siswa akan diperkenalkan sistem perwakilan ego yang terdapat
dalam dirinya, yakni ego orang tua, ego dewasa, dan ego anak. Pertimbangan ini didasari atas
105
MENDIDIK; Jurnal Kajian Pendidikan dan Pengajaran 2018, 4(2), 99-108
hasil observasi terhadap kemampuan siswa dalam mengetahui dan memahami secara mendalam
terhadap sistem perwakilan ego tersebut.
SIMPULAN
Kesadaran diri yang dimiliki siswa kelas XI SMA Negeri 2 Ogan Komering Ulu mayoritas berada
pada kategori sedang. Hasil ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa memiliki
kecenderungan perkembangan kesadaran diri yang belum optimal, ditinjau dari aspek-aspek
kesadaran diri yang diamati dan diukur yaitu pada aspek penampilan, tidakan atau perilaku,
percakapan, pikiran, emosi dan sikap. Sehingga kesadaran diri yang dimiliki siswa kelas XI SMA
Negeri 2 Ogan Komering Ulu perlu untuk dikembangkan ke arah yang lebih optimal, agar para
siswa menjadi pribadi yang memiliki kesadaran diri yang tinggi, sehingga dapat dikategorikan
sebagai pribadi atau individu yang sadar diri.
Prosedur konseling analisis transaksional yang dirancang, dan didasari atas pertimbangan
(judgement) yang dilakukan oleh pakar bimbingan dan konseling dapat digunakan untuk
mengembangkan kesadaran diri siswa dalam setiap aspek-aspeknya. Konseling analisis
transaksional yang dirancang dalam setting kelompok, dilakukan selama 8 (delapan) sesi atau
pertemuan, dan menggunakan teknik-teknik yang terdapat dalam analisis transaksional antara
lain: kontrak perilaku, metode didaktik, analisis struktural, analisis skenario (script), analisis
transaksional, dan permaian peran. Hasil penelitian menujukan bahwa konseling analisis
transaksional terbukti efektif untuk mengembangkan kesadaran diri siswa.
REFERENSI
Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta: Bumi Aksara.
Averill, J.R. (1973). Personal control over aversive stimulli and its relationship to stress. Amberst:
Departement of Psychology, University of Massacusetts.
Baars, B. J. (1997). In the theatre of consciousness: global workspace theory, a rigorous scientific
theory of consciousness. Journal of Consciousness Studies, 4(4), 292-306.
Bagshaw. M. (2000). Emotional intelligence: Training people to be affective so they can be effective.
Industrial and Commercial Training, 32(2):61–65.
Boyatzis, R. E., & Goleman. D. (1999). Clustering Competence in Emotional Intelligence, The
Consortium for Research on Emotional Intelligence in Organizations.
Caldwell, C. (2009). Identity, self-awareness, and self-deception: Ethical implications for leaders
and organizations. Journal of Business Ethics, 90(3), 393-406.
Carver, C. S., & Scheier, M. F. (2012). Attention and self-regulation: A control-theory approach to
human behavior. New York: Springer Science & Business Media.
Cavanagh, M. E. (1982). The counseling experience, a theoretical and practical approach. Belmont:
Wadsworth.
Cervone, D., & Pervin, Lawrence, A. (2012). Psikologi kepribadian: Teori dan penelitian (Penerjemah
A. K. Anwar). Jakarta: Kencana.
106
Mualwi Widiatmoko, Fadhila Malasari Ardini
Chen, H., Mechanic, D., & Hansell, S. (1998). A longitudinal study of self-awareness and
depressed mood in adolescence. Journal of Youth and Adolescence, 27(6), 719-734.
Damasio, A. (2000). The feeling of what happens: Body and emotion in the making of consciousness. New
York: Hardcourt Brace and Co.
Duff, C. K., & Flattery, J. J. (2014). Developing mirror self awareness in students with autism
spectrum disorder. Journal of autism and developmental disorders, 44(5), 1027-1038.
Duval, T. S., & Silvia, P. (2001). Self-awareness and causal attribution. New York: Springer Science +
Business Media.
Duval, T. S., & Silvia, P. J. (2002). Self-awareness, probability of improvement, and the self-serving
bias. Journal of Personality and Social Psychology, 82(1), 49-61.
Feist, J., & Feist, G. J. (2006). Theories of personality. New York: McGraw Hill.
Ferrari, J. (1992). Procrastination and perfect behavior: an exploratory factor analysis of self
presentation, self awareness and self handicapping components. Journal of Research in
Personality, 26 (1), 75-84.
Ferrari, J. (2001). Procrastination as self regulation failure of perfomance: Effects of cognitive load,
self awareness and time limits on working best under pressure. European Journal of Personality,
15(10), 391-406.
Ferrari, J. (2001). Procrastination as self regulation failure of perfomance: effects of cognitive load,
self awareness and time limits on working best under pressure. European Journal of Personality,
15(10), 391-406.
Hurlock. E. (2008). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentan Kehidupan. Jakarta:
Erlangga.
Lord, S. E., Eccles, J. S., & McCarthy, K. A. (1994). Surviving the junior high school transition
family processes and self-perceptions as protective and risk factors. The Journal of Early
Adolescence, 14(2), 162-199.
107
MENDIDIK; Jurnal Kajian Pendidikan dan Pengajaran 2018, 4(2), 99-108
Restiningtyas, H. (2012). Program intervensi individual self awareness dan self knowledge untuk
meningkatkan konsep diri siswa tunadaksa underachievement. (Tesis). Universitas Indonesia,
Depok.
Sterrenberg, P., & Thunnissen, M. M. (1995). Transactional analysis as a cognitive treatment for
borderline personality disorder. Transactional Analysis Journal, 25(3), 221-227.
Winkel, W. S., & Hastuti, S. (2005). Bimbingan dan konseling di institusi pendidikan. Yogyakarta:
Media Abadi.
108