Strategi Komunikasi Dalam Membentuk Budaya Keselamatan Kerja Melalui Implementasi Observasi PEKA (Pengamatan Keselamatan Kerja) Di PT. X
Strategi Komunikasi Dalam Membentuk Budaya Keselamatan Kerja Melalui Implementasi Observasi PEKA (Pengamatan Keselamatan Kerja) Di PT. X
Abstract
In an effort to establish organizational culture can not be separated from the application of the
principles of Communication. In building a culture, surely an organization will carry out a
communication process, whereby the Management / Management of the company conveys
various policies, responsibilities through messages both verbally and non-verbally continuously
to shape the behavior of members of the company organization. For this reason, an appropriate
communication strategy is needed, so that company workers can understand, implement, and
be affected by messages conveyed and socialized by the Management / Leadership of the
organization. As it is known within the organization, it invites organizational members / workers
to implement / implement Cultural behavior not easily, so that the communication strategy must
be formulated and planned properly, so that it can be used as a reference / guideline in carrying
out communication activities. This study seeks to determine the communication strategy
implemented in the PT. Pertamina EP HSSE Division in building a Safety and Health culture for
all workers / members of the organization. By using the method of observation, carried out on
aspects of PEKA (Safety Observation) with the process of Planning, Implementation and
evaluation of the Communication Program that is run Based on the observations and
evaluations of researchers it can be concluded that communication carried out in the workplace
is able to improve unsafe behavior, create dialogue related to safe and unsafe behavior, to safe
and unsafe condition and be able to prioritize observations based on the level of risk and
subsequently be able to determine the corrective action results from work Safety observations.
Abstrak
Dalam upaya pembentukan Budaya organisasi tidak dapat lepas dari penerapan prinsip-prinsip
Komunikasi. Dalam membangun budaya, tentunya sebuah organisasi akan melakukan proses
komunikasi, dimana para Manajemen/Pimpinan perusahaan menyampaikan berbagai
kebijakan, tanggung jawab melalui pesan baik verbal maupun non verbalsecara terus menerus
berkesinambungan untuk membentuk perilaku anggota organisasi perusahaan. Untuk itu
diperlukan strategi komunikasi yang tepat , agar para pekerja perusahaan dapat memahami,
mengimplementasikan, dan terpengaruh dengan pesan yang disampaikan dan disosialisaikan
oleh Manajemen /Pimpinan organisasi .Seperti diketahui didalam organisasi untuk mengajak
anggota organisasi / pekerja untuk mengimplementasikan / menerapkan perilaku Budaya tidak
mudah, sehingga strategi komunikasi harus dirumuskan dan direncanakan dengan baik,
sehingga dapat dipergunakan sebagai acuan/pedoman dalam melaksanakan aktivitas
berkomunikasi. Penelitian ini berupaya untuk mengetahui strategi komunikasi yang
dilaksanakan di Divisi HSSE PT. X dalam membangun budaya K3 kepada seluruh
pekerja/anggota organisasi. Dengan menggunakan metode observasi, dilakukan pada aspek
1
Bambang Sulistyo P
Submitted: 5 Nopember 2019; Revised: 18 Nopember 2019; Accepted: 3 Desember 2019; Published: 25 Januari 2020
1. Pendahuluan
Statistik mengungkapkan bahwa 80% kecelakaan disebabkan oleh perbuatan yang
tidakselamat (unsafe act), dan hanya 20% olehkondisi yang tidak selamat (unsafe condition).
Berdasarkan data dari the Bureau of Labor Statistics Amerika (2007) terdapat kasus sekitar 5
kecelakaan dan penyakit akibat kerja per tahun untuk setiap 100 pekerja (5 kasus /100 pekerja)
atau total sekitar 4 juta dollar per tahun. Banyaknya jumlah pekerja yang menderita kecelakaan
termasuk penderitaan yang dialami oleh keluargakorban, patut untuk mendapatkan perhatian
yang serius dan nyata. Menurut The Occupational Safety and Health Administration (OSHA),
untuk mengurangi banyaknya korban kecelakaan kerja di industri, maka kasus kecelakaan
harus diletakkan sebagai kasus criminal bisnis yang harus dipertanggungjawabkan oleh pemilik
dan manager perusahaan. Setiap jamnya, sedikitnya terjadi satu kasus kecelakaan kerja di
Indonesia. Data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan bahwa pada tahun
2010 sedikitnya terjadi kasus kecelakaan kerja dimana jumlah ini telah mengalami penurunan
bila dibandingkan tahun 2009 sebanyak kasus kecelakaan kerja. Walaupun demikian, kasus
kecelakaan kerja di Indonesia masih relative tinggi bila dibandingkan dengan negara lain.
Berdasarkan hasil penelitian yang diadakan ILO mengenai standar kecelakaan kerja, Indonesia
menempati urutan ke-152 dari 153 negara yang diteliti. Berdasarkan data dari pusat data dan
informasi ketenagakerjaan badan penelitian pengembangan dan informasi kementerian
ketenagakerjaan republik Indonesia pada triwulan IV tahun 2014 terdapat data kecelakaan di
Indonesia sebesar kasus dengan jumlah korban orang. Provinsi Jawa Tengah masuk kedalam
peringkat kedua setelah provinsi Jawa timur yaitu jumlah kecelakaan di provinsi Jawatengah
sebesar kasus dengan jumlah korban orang. Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang
tidak diduga, tidak dikehendaki dan dapat menyebabkan kerugian baik jiwa maupun harta
benda. Kecelakaan kerja dapat menimbulkan kerugian bagi pekerja, pengusaha, pemerintah
dan masyarakat sekitarnya. Pada umumnya kecelakaan kerja disebabkan oleh dua factor yaitu
manusia dan lingkungan. Faktor manusia yaitu tindakan tidak aman dari manusia seperti
sengaja melanggar peraturan keselamatan kerja yang diwajibkan,
Setiap tahun ribuan kecelakaan kerja terjadi di tempat kerja yang menimbulkan kobran
jiwa, kerusakan materi, dan gangguan produksi. Secara Global, berdasarkan data dari
International Labour Organizations (ILO) bahwa setiap 15 detik seorang pekerja meninggal
dunia akibat dari kecelakaan kerja, setiap 15 detik sebanyak 153 pekerja mengalami
kecelakaan dan setiap harinya terdapat 6.300 pekerja meninggal dunia akibat kecelakaan kerja.
International Labour Organization (ILO) memperkirakan sekitar 337 juta kecelakaan kerja terjadi
setiap tahunnya yang mengakibatkan sekitar 2,3 juta pekerja kehilangan nyawanya dan pada
tahun 2011 terdapat 48.511 kasus kecelakaan kerja seperti bersinggungan dengan benda
tajam yang mengakibatkan tergores, tertusuk dan terjatuh. Pada tahun 2007 menurut
Jamsostek tercatat 65.474 kecelakaan yang mengakibatkan 1.451 orang meninggal, 5.326
orang cacat tetap, dan 58.697 orang cedera. Data kecelakaan tersebut mencakup seluruh
perusahaan yang menjadi anggota Jamsostek dengan jumlah peserta sekitar 7 juta orang atau
sekitar 10% dari seluruh pekerja di Indonesia. Dengan demikian, angka kecelakaan mencapai
930 kejadian untuk setiap 100.000 pekerja setiap tahun.Oleh karena itu jumlah kecelakaan
keseluruhannya diperkirakan jauh lebih besar. Bahkan menurut penelitian World Economy
Forum tahun 2006, angka kematian akibat kecelakaan di Indonesia mencapai 17-18 untuk
setiap 100.000 pekerja.Kerugian materi akibat kecelakaan juga besar seperti kerusakan sarana
produksi, biaya pengobatan dan kompensasi. Selama tahun 2007 kompensasi kecelakaan yang
dikeluarkan Jamsostek mencapai Rp 165, 95 miliar. Cukup tingginya tingkat angka kecelakaan
kerja yang disebabkan oleh perilaku pekerja yang tidak aman (unsafe act) dan kondisi yang
tidak aman (unsafe condition) terutama terjadi di perusahaan Migas (Minyak & Gas)
mengakibatkan banyak perusahaan harus mengeluarkan biaya tambahan.
Maksud dan tujuan dari analisis data kecelakaan kerja adalah untuk menemukan dan
menentukan faktor-faktor kecelakaan yang terkait dengan peristiwa kecelakaan yang terjadi.
Dari hasil analisa dimaksud selanjutnya dapat diambil langkah-langkah untuk mencegah
terulangnya kembali kecelakaan serupa, yaitu melalui koreksi terhadap kondisi
maupun tindakan yang tidak aman (ILO, 1989). Tujuan statistik dalam penerapan K3 adalah
digunakan untuk menilai OHS Performance Program’. Dengan menggunakan statistik dapat
memberikan masukan ke manajemen mengenai tingkat kecelakaan kerja serta bebagai
faktoryang dapat digunakan sebagai dasar untuk mencegah menurunnya kinerja K3. Adapun
tujuan utamanya, yaitu: a). Memperkirakan penyebab dan besarnya permasalahan
kecelakaan yang terjadi, b). Mengidentifikasi pencegahan utama yang dibutuhkan, c).
Mengevaluasi efektivitas pencegahan yang dilakukan, d). Memonitoring resiko bahaya,
peringatan bahaya dan kampanye keselamatan kerja Mencari masukan informasi dari
pencegahan yang dilakukan. Salah satu faktor internalyang dapat menentukan keberhasilan
kinerja sebuah organisasi bagaimana proses komunikasi dalam melaksanakan hubungan
kerja, saling bertukar informasi serta menerapkan kebijakan, norma-norma, prosedur/SOP yang
berlaku dalam organisasi.
Industri Minyak dan Gas (MIGAS) dikenal sebagai industri yang padat modal dan
berisiko tinggi. Sebagai suatu industri yang berisiko tinggi, dilakukan upaya untuk meningkatkan
keselamatan instalasi baik dari segiproses, peralatan dan sumber daya manusianya, sehingga
instalasi aman dari gangguan operasi dan dampak terhadap masyarakat sebagai akibat
terjadinya suatu keadaan darurat.
Submitted: 5 Nopember 2019; Revised: 18 Nopember 2019; Accepted: 3 Desember 2019; Published: 25 Januari 2020
Membangun budaya tentu tidak mudah dan dilakukan dalam setiap level pekerja mulai
manajemen puncak sampai pekerja terendah. Untuk itu diperlukan suatu perangkat atau sistem
pembinaan perilaku. Banyak konsep atau sistem budaya keselamatan dalam perusahaan.
Namun belum tentu sesuai dengan kondisi dan budaya local (Ramli, 2010). Atas dasar tersebut
telah mengembangkan pendekatan keselamatan berbasis perilaku yang disebut SMART
Safety. SMART (Safety Management and Attitude Reinforcement Technique) adalah
pendekatan mengelola keselamatan dengan mengintegrasikan aspek manajemen dan
pendekatan BBS (Behavior Based Safety). SMART Safety adalah pendekatan K3 dengan
menggunakan tiga pilar uatama yaitu, Safety Management System, Operational Safety, and
Behavior Safety.
Sedangkan perilaku Keselamatan dan Kesehatan kerja (K3) itu sendiri menurut
beberapa penelitian sebelumnya dipengaruhi secara signifikan oleh budaya keselamatan
(Safety Culture). Dengan demikian, untuk mengurangi tingkat kecelakaan kerja harus dimulai
dengan membentuk budaya keselamatan (Safety Culture) yang baik dalam perusahaan. Aspek
situasional dapat diketahui melalui tataran organisasional misalnya Kebijakan, Peraturan,
Prosedur, Sistem Manajemen, Komitmen, Kepemimpinan, dan Tanggung jawab pekerja.
Komponen perilaku dapat diketahui dengan mengukur melalui pelaporan diri (self report),
kecenderungan untuk berperilaku dan observasi terhadap perilaku langsung. Kadangkala
perilaku diukur melalui rata-rata terjadinya kecelakaan kerja, insiden yang dianggap sebagai
performansi K3, walaupun dianggap kurang pas dibandingkan dengan perilaku aktual, sehingga
hanya sebagai sampel dari kondisi sesaat saja. Komponen psikologis secara umum dapat
diketahui melalui angket iklim K3, yang akan mengukur norma, nilai, sikap, perilaku dan
persepsi setiap pekerja terhadap K3.
Budaya K3 (Safety Culture) adalah Pola perilaku (seperangkat nilai dan norma)
keselamatan kerja dari sebagian besar anggota organisasi perusahaan, yang diwujudkan dalam
bentuk sikap (saat menentukan keputusan) yang aman (Gunawan, 2013).
Apa itu Budaya Keselamatan, Budaya keselamatan adalah “the way in which safety is
managed and perceived in a work place”.
Definisi budaya K3 cenderung untuk dipusatkan pada bagaimana pekerja berpikir dan
bersikap dari pada bertindak.
Konsep budaya K3 merujuk kepada persepsi terhadap kebijakan, komitmen
prosedur/SOP dan penerapannya terkait dengan K3 di tempat kerja. Istilah budaya K3 di sisi
lain, merujuk kepada sikap (attitude), keyakinan (belief), dan persepsi dalam kelompok tentang
norma dan nilai bersama, dalam rangka bagaimana bereaksi terhadap bahaya dan risiko (risk)
serta sistem control / pengawasan dan pengendaliannya terhadap risiko.
Sikap (attitude) digunakan pertama kali oleh Herbert Spencer tahun 1862, yang
diartikan sebagai status mental seseorang. La Pierre mendefinisikan sikap sebagai suatu pola
perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, dan predisposisi untuk menyesuaikan
dengansituasi sosial, atau secara sederhana sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang
telah terkondisikan (Azwar, 1995). Sikap adalah cara seseorang melihat ‘sesuatu’ secara
mental (dari dalam diri) yang mengarah pada perilaku yang ditujukan ke orang lain, cara
seseorang mengkomunikasikan perasaannya kepada orang lain (melalui perilaku).
Sikap, adalah evaluasi dalam waktu lama tentang yang disukai atau tidak disukai
seseorang, perasaan emosional, dan kecenderungan tindakan terhadap beberapa objek atau
ide. Sikap menempatkan kita ke dalam kerangka berpikir mengenai menyukai atau tidak
menyukai terhadap suatu obyek, bergerak menuju atau beralih darinya. Sikap menuntun kita
untuk berperilaku dalam cara yang cukup konsisten terhadap objek yang sama. Karena
menghemat energi dan pikiran, sikap sangat sulit diubah.
Sikap adalah pernyataan evaluatif - baik menguntungkan atau tidak menguntungkan -
tentang objek, orang, atau peristiwa (Robbins & Coulter, 2007). Sikap mencerminkan
bagaimana seseorang merasakan mengenai sesuatu. Ketika seseorang mengatakan bahwa dia
menyukai pekerjaannya maka berarti is mengungkapkan sikap tentang pekerjaan. Sikap adalah
pengorganisasian terus menerus terhadap motivasi, emosi, persepsi dan proses kognitif
dengan menghargai aspek tertentu yang ada di lingkungan (Hawkins & Motherbaugh, 2010).
Sikap sulit untuk diubah. Sikap seseorang sesuai dalam suatu pola, dan untuk
mengubah satu sikap mungkin memerlukan penyesuaian yang sulit untuk lainnya. Dengan
demikian, perusahaan biasanya akan berusaha untuk menempatkan produk ke dalam sikap
yang sudah ada daripada berusaha untuk mengubah sikap. (Kotler & Amstrong, 2010).
Karakteristik dari sikap adalah sikap relatif konsisten dengan perilaku yang direfleksikan
(Schiffman & Kanuk, 2010)
Sikap adalah suatu proses penilaian yang dilakukan oleh seorang individu terhadap
suatu obyek. Berdasarkan beberapa pendapat ahli mengenai sikap, maka dapat disimpulkan
bahwa sikap adalah suatu reaksi atau respon berupa penilaian yang muncul dari seorang
individu terhadap suatu obyek (Sarlito & Eko, 2009). Sikap juga dapat dikatakan sebagai suatu
perwujudan adanya kesadaran terhadap lingkunganya. Proses yang mengawali terbentuknya
sikap adalah adanya obyek disekitar individu memberikan stimulus yang kemudian mengenai
alat indra individu, informasi yang yang ditangkap mengenai obyek kemudian diproses di dalam
otak dan memunculkan suatureaksi. Penilaian yang muncul, positif atau negatif dipengaruhi
oleh informasi sebelumnya, atau pengalaman pribadi individu.
Faktor-faktor pembentuk sikap manusia tidak terbentuk sejak manusia dilahirkan. Sikap
manusia terbentuk melalui proses sosial yang terjadi selama hidupnya, dimana individu
mendapatkan informasi dan pengalaman. Proses tersebut dapat berlangsung di dalam
lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Saat terjadi proses sosial terjadi hubungan
timbal balik antara individu dan sekitarnya. Adanya interaksi dan hubungan tersebut kemudian
membentuk pola sikap individu dengan sekitarnya. Azwar menguraikan faktor pembentuk sikap
yaitu: pengalaman yang kuat, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh
kebudayaan, media masa, lembaga pendidikan dan lembaga agama, pengaruh faktoremosional
(Azwar, 2010).
Submitted: 5 Nopember 2019; Revised: 18 Nopember 2019; Accepted: 3 Desember 2019; Published: 25 Januari 2020
Pembentukan sikap (Sarlito dan Eko, 2009) yaitu: 1) pengkondisian klasik, proses
pembentukan ini terjadi ketika suatu stimulus atau rangsangan selalu diikuti oleh stimulus yang
lain, sehingga rangsangan yang pertama akan menjadi isyarat bagi rangsangan yang kedua. 2)
pengondisian instrumental, yaitu apabila proses belajar yang dilakukan menghasilkan sesuatu
yang menyenangkan maka perilaku tersebut akan diulang kembali, namun sebaliknya apabila
perilaku mendatangkan hasil yang buruk maka perilaku tersebut akan dihindari. 3) belajar
melalui pengamatan atau observasi. Proses belajar ini berlangsung dengan cara mengamati
orang lain, kemudian dilakukan kegiatan serupa. 4) perbandingan sosial, yaitu membandingkan
orang lain untuk mengecek pandangan kita terhadap suatu hal tersebut benar atau salah.
Pembentukan sikap seorang individu jugadi pengaruhi oleh adanya interaksi dengan sekitarnya
melalui proses yang kompleks.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap seorang individu yang berasal
dari faktor internal dan eksternal Gerungan (2004) terdiri dari: a). Faktor internal pembentuk
sikap adalah pemilihan terhadap objek yang akan disikapi oleh individu, tidak semua objek yang
ada disekitarnya itu disikapi. Objek yang disikapi secara mendalam adalah objek yang sudah
melekat dalam diri individu. Individu sebelumnya sudah mendapatkan informasi dan
pengalaman mengenai objek, atau objek tersebut merupakan sesuatu yang dibutuhkan,
diinginkan atau disenangi oleh individu kemudian hal tersebut dapat menentukan sikap yang
muncul, positif maupun negatif. b). Faktor eksternal mencakup dua pokok yang membentuk
sikap manusia, yaitu: Interaksi kelompok, pada saat individu berada dalam suatu kelompok
pasti akan terjadi interaksi. Masing-masing individu dalam kelompok tersebut mempunyai
karakteristik perilaku. Berbagai perbedaan tersebut kemudian memberikan informasi, atau
keteladanan yang diikuti sehingga membentuk sikap.
Komunikasi, melalui komunikasi akan memberikan informasi. Informasi dapat
memeberikan sugesti, motivasi dan kepercayaan. Informasi yang cenderung diarahkan negatif
akan membentuk sikap yang negatif, sedangkan informasi yang memotivasi dan
menyenangkan akan menimbulkan perubahan atau pembentukan sikap positif. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa pembentukan sikap dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor internal
dan eksternal.
Komponen Sikap Sikap yang ditunjukan seorang individu terhadap objek, mempunyai
struktur yang terdiri dari beberapa komponen. Komponen dalam struktur sikap (Azwar, 2010)
yaitu: a) Komponen Kognitif, Komponen yang berisikan apa yang diyakini dan apa yang
dipikir-kan mengenai obyek sikap tertentu - fakta, pengetahuan dan keyakinan tentang obyek
terdiri dari: 1) Merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap. 2) Berisi
persepsi, kepercayaan, dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu (Mann, 1969). 3)
Sesuatu yang telah terpolakan dalam fikiran dan 4) Tidak selalu akurat. b) Komponen afektif
merupakan komponen yang meliputi perasaan atau emosi seseorang terhadap objek sikap.
Komponen afektif pada sikap seseorang dapat dilihat dari perasaan suka, tidak suka, senang
atau tidak senang terhadap objek sikap. Afektif, yaitu komponen yang berhubungan dengan
rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap terdiri dari: 1). Perasaan yang dimiliki
terhadap sesuatu. 2). Banyak dipengaruhi oleh kepercayaan atau apa yang kita percayai
sebagai benar dan berlaku bagi objek termaksud. c) Komponen perilaku atau konatif, yaitu
kecenderungan berperilaku seorang individu terhadap objek yang dihadapinya. Sikap individu
perlu diketahui arahnya, negatif atau positif. Untuk mengetahui arah sikap manusia dapat dilihat
dari komponen-komponen sikap yang muncul dari seorang individu. Sikap adalah konsep yang
dibentuk oleh tiga komponen yaitu kognitif, afektif dan konatif (Sarlito & Eko, 2009).
Komponen Konatif atau perilaku terdiri dari kesiapan seseorang untu bereaksi atau
kecenderungan untuk bertindak terhadap obyek yaitu: 1). Merupakan aspek kecenderungan
berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang. 2). Bagaimana orang
berperilaku dalam situasi tertentu dan terhadap stimulus tertentu akan banyak ditentukan oleh
bagaimana kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus tersebut. 3). Kecenderungan
berperilaku belum tentu akan benar-benar ditampakkan dalam bentuk perilaku yang sesuai.
Menurut Freud konasi merupakan wujud dari kognisi dan afeksi dalam bentuk tingkah
laku. Jadi, dapat disimpulkan bahwa komponen sikap mencakup tiga aspek yaitu: komponen
kognitif, afektif dan konatif. Komponen kognitif berupa pemahaman, pengetahuan, pandangan
dan keyakinan seseorang terhadap objek sikap.
Komunikasi merupakan hal yang mengikat kesatuan organisasi. Komunikasi membantu
anggota anggota organisasi mencapai tujuan Individu dan organisasi, merespon dan
mengimplentasikan perubahan organisasi, mengkoordinasikan aktivitas organisasi, dan ikut
memerankan dalam hampir semua tindakan organisasi yang relevan. Meskipun demikian
berkomunikasi dengan baik tidaklah mudah.
Organisasi yang memiliki proses komunikasi yang baik tentunya akan terus
berkembang dan memiliki peraturan seperti nilai nilai, asumsi dasar yang merupakan budaya
organisasi
Strategi komunikasi yang tepat dibutuhkan dalam upaya membangun budaya K3
Mintzberg, berpendapat bahwa strategi berkaitan dengan 4 (empat) hal, yaitu: 1). Strategy as a
plan merupakan suatu rencana yang menjadi pedoman bagi organisasi untuk mencapai
sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan, 2). Strategy as a pattern. Strategi merupakan pola
tindakan konsisten yang dijalankan organisasi dalam jangka waktu yang lama, 3). Strategy as a
position. Strategi merupakan cara organisasi dalam menempatkan produk dan jasa tertentu
dalam pasar yang spesifik, 4). Stategy as a perspective. Strategi merupakan cara pandang
organisasi dalam menjalankan berbagai Kebijakan yang berkaitan dengan Visi, Misi dan
budaya organisasi
Menurut Effendy strategi komunikasi merupakan paduan perencanaan komunikasi
dengan manajemen komunikasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yaitu: 1) To
secure understanding. memastikan bahwa komunikan mengerti pesan yang diterimanya, 2) To
establish acceptance, sudah dimengerti dan dipahami penerimaannya maka harus dibina, 3) To
motivate action, pada akhirnya kegiatan dimotivasikan.
Submitted: 5 Nopember 2019; Revised: 18 Nopember 2019; Accepted: 3 Desember 2019; Published: 25 Januari 2020
2. Metode Penelitian
Dalam penelitian sering sekali peneliti berhubungan dengan data, baik itu penelitian
yang berhubungan dengan lapangan ataupun penelitian lainnya.
Teknik/Metode Pengumpulan Data yang dilakukan adalah: a). Observasi adalah
dengan cara pengamatan langsung terhadap aktivitas Pekerja P.T X berikut lingkungan
fisiknya dan atau suatu kegiatan tanpa mengganggu proses yang sedang berjalan. b).
Wawancara dengan menggunakan Daftar Pertanyaan (kuisioner). Daftar pertanyaan
(kuisioner) yang berisi pertanyaan-pertanyaan untuk tujuan khusus yang memungkinkan
seorang analis system untuk mengumpulkan data dan pendapat dari para responden yang
telah dipilih. jawaban atau respon dari responden secukupnya.
Submitted: 5 Nopember 2019; Revised: 18 Nopember 2019; Accepted: 3 Desember 2019; Published: 25 Januari 2020
Diharapkan setiap personil tidak hanya peduli pada keselamatan dirinya tapi juga peduli
pada keselamatan teman-teman dan orang-orang yang ada disekitarnya. diharapkan setiap
orang yang melaksanakan atau mematuhi peraturan HSE bukan karena karena adanya
peraturan yang mengikat tapi lebih dikarenakan setiap orang merasa perlu untuk melakukannya
atas kesadaran pada internal diri seseorang.
PT. X mempunyai komitmen tinggi terhadap PEKA , yang bertujuan untuk: Memonitor &
memperbaiki perilaku, Memberikan penghargaan pada perilaku posistif, Memperbaiki perlaku
tidak aman, Menciptakan dialog terkait perilaku aman & yang tidak aman ,Mampu
memprioritaskan observasi berdasarkan tingkat risiko, Mampu menentukan tindakan koreksi
atas hasil pengamatan, atau jika ada: Prosedur baru, pekerja baru, peralatan baru, perubahan
peralatan
Memberikan apa yang harus dilakukan dilakukan kepada para pekerja PT.X. seperti :
Ciptakan diskusi yang relaks,Bebaskan subordinat menceritakan pekerjaannya,Bersikaplah
sebagai keluarga, bukan atasan,Buat agar subordinat menyadari keslahannya sendiri,Buat
kesepakatan antara Anda & Subordinat agar melakukan safe action, Berikan reward jika
subordinat melakukan safe action.
Hasil Pengamatan terlihat pada Gambar 1 berikut ini:
Dilihat dari Gambar 2 Penyebab kejadian: a) Tindakan tidak aman (unsafe act) terdapat
209 kejadian = 35 %, dan b) Kondisi tidak aman (unsafe condition) terdapat 381 kejadian =
65 %
Dari Data Primer dan Data sekunder Hasil Evaluasi observasi PEKA sebagai berikut:
1). Bahwa pekerja menyadari akan pentingnya membentuk suatu budaya safety sehingga
PEKA (Pengamatan Keselamatan Kerja) menjadi salah satu program untuk menciptakan
budaya safety tersebut. Tahapan PEKA dan tujuan PEKA sangat penting untuk disosialisasikan
kepada pekerja sehingga sosialisasi sangat perlu untuk dilaksanakan. Dimana sosialisasi untuk
meningkatkan kepedulian pekerja dalam hal aspek K3LL / HSE. 2). Analisis Faktor Penguat
adalah Pedoman Komunikasi dan Promosi HSSE, Pedoman SMK3 dan Prosedur PEKA PT.
X, 3) Hasil wawancara mendalam (depth interview) terhadap informan/responden utama dan
reward terhadap pelaksanaan PEKA didapatkan bahwa reward sudah diberikan kepada
pengisi PEKA, namun punishment belum maksimal diterapkan terhadap pelaku unsafe
condition, unsafe act, dan near miss. Alasan mengenai diberikannya punishment dan reward
untuk memotivasi pekerja agar senantiasa berperilaku aman dan mengkondisikan lingkungan
kerja yang aman serta dapat menambah minat untuk melakukan pengisian PEKA, 4) Analisis
Hasil Obervasi Pelaksanaan PEKA yaitu didapatkan: a) Tindakan fungsi lain untuk mengatasi
temuan temuan baik unsafe act (Tindakan tidak aman) unsafe condition (Kondisi tidak aman)
maupun nearmiss (hampir celaka) sudah diterapkan dengan baik, sehingga pelaksanaan
PEKA berjalan dengan baik, b) Komunikasi antara bagian/fungsi lain sudah berkoordinasi
dengan baik karena menjadi faktor utama untuk tindak lanjut hasil temuan observasi PEKA,
sehingga pekerja bertambah tinggi kepercayaan terhadap PEKA. c) Sosialisasi PEKA diberikan
sewaktu waktu pada saat kegiatan kegiatan seperti Safety Induction, Safety Talk, Safety
Breifing, dan Pelatihan.
4. Kesimpulan
Dari hasil Observasi Pengamatan Keselamatan Kerja (PEKA) adalah observasi dan
koreksi keselamatan kerja terhadap tindakan dan/atau kondisi tidak aman di lokasi kerja yang
dilakukan oleh pekerja PT. X dan Mitra Kerjanya, penulis dapat menyimpulkan sebagai
berikut: 1). Dari Penyebab kejadian terlihat: a). Tindakan tidak aman (unsafe act) terdapat 209
kejadian = 35 %. b) Kondisi tidak aman (unsafe condition) terdapat 381 kejadian = 65 %, 2) Dari
data statistik insiden terlihat: di tahun 2014 terdapat = 42 kejadian ditahun 2015 dan 2016
cenderung menurun menjadi = 30 kejadian. 3). Beberapa hal yang dilaksanakan oleh PT. X
untuk meningkatan dalam membangun Budaya K3 yang sudah diterapkan dengan baik adalah:
a) Apabila temuan observasi PEKA kategori berat, dibahas didalam rapat Komite HSSE, baru
kemudian dilakukan tindak lanjut, b) Memberikan tindakan langsung apabila diperlukan, mengisi
formulir dan memasukkan ke PEKA Box, kemudian input / memasukkan ke PEKA online, c)
Pelaksanaan PEKA sudah berjalan dengan baik di PT.X , hal ini dibuktikan bahwa Pengelolaan
Submitted: 5 Nopember 2019; Revised: 18 Nopember 2019; Accepted: 3 Desember 2019; Published: 25 Januari 2020
Implementasi PEKA sudah berjalan dengan lancar untuk memproses tindak lanjut temuan
observasi PEKA yang dilanjutkan ke fungsi / bagian lain serta terlihat dari data statistik ada
penurunan jumlah kejadian, d) Sosialisasi PEKA sudah dilakukan secara merata keseluruh
pekerja Tindakan fungsi / bagian lain yang cepat untuk mengatasi suatu temuan juga sudah
dilaksanakan dengan baik, karena area / lapangan memiliki risiko tinggi. PT. X berdasarkan
Target Pencapaian dalam membentuk Budaya K3 dengan terus membangun budaya K3 untuk
mencapai tingkatan budaya mulai dari proaktif ke generatif, dilakukan secara bertahap dengan
waktu jangka pendek dan jangka panjang. Dengan dicapainya budaya K3 generatif sekaligus
menandakan tercapainya tujuan utama (goal) PT.X secara umum , yaitu menjadi World Class
Company dan melaksanakan operasionalnya dengan minimalisasi insiden kecelakaan,
kebakaran, blow out (semburan liar), penyakit akibat kerja maupun pencemaran lingkungan.
Daftar Pustaka
Ronda, A.M. (2018). Tafsir Kontemporer Ilmu Komunikasi (Tinjauan Teoretis, Epistemologi,
Aksoilogi. Tangerang: Indigo Media.
Craig, R.T, & Muller, H.L. (2007). Theorizing Communication. USA, Sage Publications, Inc.
Depkes RI. (2009). Profil Kesehatan Indonesia.Jakarta: Departemen Republik Indonesia.
Ginting. (2013). Perubahan Budaya Safety di Industri. Jakarta: World Class Quality
Management.
Gunawan. (2013). Safety Leadership. Jakarta: Dian Rakyat
Kriyantono, R. (2006). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana.
Liliweri, A. (2018). ParadigmaPenelitianIlmu Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Littlejohn, & Stephen W. (2009). Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no 50, tahun 2012 tentang Penerapan Sistem
Manajemen Keselamatan, Kesehatan Kerja (SMK3)
Soehatman, R. (2010). Pedoman Praktis Manajemen Risiko Dalam Persfektif K3, OHS Risk
Management. Jakarta: Dian Rakyat.
Suma’mur. (1989). Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan Kerja. Jakarta: Gunung
Agung.
Neuman, W.L. (2013). Metodologi Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, Edisi
7, Boston, MA02116.
Ginting. (2013). PerubahanBudaya Safety di Industri. Jakarta: World Class Quality Management
Gunawan. (2013). Safety Leadership. Jakarta: Dian Rakyat.
Effendy, O.U. (2003). Ilmu Komunikasi Teori dan praktek Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.
Konradus, D. (2006). Keselamatan Kesehatan Kerja. Jakarta: Bangka Adhinata Mulia.
Ramli, S. (2010). Manajemen Keselamatan Proses Berbasis Risiko Jakarta: Dian Rakyat.