0% found this document useful (0 votes)
55 views

Problem Pada Pasien Stroke Yang Dirawat Inap: Peran Apoteker Dalam Mencegah Drug Related

Uploaded by

alisia difiana
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
55 views

Problem Pada Pasien Stroke Yang Dirawat Inap: Peran Apoteker Dalam Mencegah Drug Related

Uploaded by

alisia difiana
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 12

Artikel Penelitian

PERAN APOTEKER DALAM MENCEGAH DRUG RELATED


PROBLEM PADA PASIEN STROKE YANG DIRAWAT INAP

ROLE OF THE PHARMACIST IN PREVENTING DRUG RELATED PROBLEMS OF


HOSPITALIZED STROKE PATIENTS

Ratna Juwita*, Maria Immaculata Iwo*, Catur Banuaji**, Tri Kusumaeni***

ABSTRACT
Introduction: Stroke is a sudden functional disorder of the brain due to blockage or rupture of
blood vessels in the brain. By knowing the various causes of stroke, patients may receive several drugs
simultaneously (polypharmacy). Therefore, the possibility of drug-related problems (DRP) requires
special attention.
Aims: To determine the magnitude of DRP and the improvement of the quality of drug use after
pharmacist intervention in inpatient stroke cases in Persahabatan Hospital, Jakarta.
Methods: This study used experimental design of pre- and post-test. Data was collected
prospectively regarding treatment patterns of stroke patients hospitalized in Persahabatan Hospital
Jakarta in September to November 2014. Data was obtained from medical records, nursing records,
patient medication profiles, and laboratory test results. In addition, the condition of the patients during
treatment is also observed directly i.e. through visits (visite) together with doctors, pharmacists and
nurses.
Results: Of the 1006 types of drug therapy on 95 subjects, there were 418 DRPs. Most subjects
were male (51.6%) in the age group of 51-60 years (46.3%). The involvement of pharmacists in
identifying and preventing potential DRPs by providing recommendations to doctors, nurses,
pharmacists, patients, and family members reduced DRPs significantly to 143 DRPs (p-value <0.05).
Discussion: Pharmacist interventions on the patterns of drug therapy in stroke patients
decreased DRP significantly. Good relationship and communication between pharmacists and healthcare
practitioners in the hospital are essential in preventing DRPs.
Keywords: Drug-related problems, stroke

ABSTRAK
Pendahuluan: Stroke adalah gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak yang
dapat disebabkan karena adanya sumbatan atau pecahnya pembuluh darah di otak. Dengan diketahuinya
penyebab stroke yang beragam, maka seringkali penderita mendapatkan obat-obatan lebih dari satu yang
digunakan secara bersamaan (polifarmasi). Oleh karena itu kemungkinan timbulnya masalah terkait obat
atau drug related problem (DRP) yang perlu mendapat perhatian.
Tujuan: Mengetahui besarnya masalah terkait obat serta perbaikan kualitas penggunaan obat
setelah intervensi apoteker pada kasus stroke yang dirawat inap di RSUP Persahabatan, Jakarta.
Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimental pre dan post test. Pengambilan
data dilakukan secara prospektif pada pola pengobatan pasien stroke rawat inap di RSUP Persahabatan
selama periode September hingga November 2014. Data pengobatan penderita diambil dari rekam medik,
catatan perawat, profil pengobatan penderita, dan hasil laboratorium. Selain itu, diamati juga kondisi
penderita secara langsung selama terapi melalui kunjungan bersama dokter, apoteker, dan perawat.
Hasil: Dari 1006 jenis terapi obat pada 95 subjek, terdapat 418 masalah terkait obat. Mayoritas
subjek adalah laki-laki (51,6%) pada kelompok usia 51-60 tahun (46,3%). Keterlibatan apoteker dalam
mengidentifikasi dan mencegah DRP dengan memberikan intervensi berupa rekomendasi kepada dokter,
perawat, petugas farmasi, serta pasien dan keluarga dapat menurunkan DRP menjadi 143 masalah secara
bermakna (p<0,05).
Diskusi: Melalui intervensi apoteker terhadap pola terapi obat penderita stroke, DRP turun
secara bermakna. Hubungan dan komunikasi yang baik dengan praktisi kesehatan sangat penting dalam
mencegah DRP.
Kata kunci: Drug related problems, stroke

*Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung, Bandung, **Staf dokter spesialis saraf di RSUP Persahabatan,
Jakarta, ***Staf apoteker di RSUP Persahabatan, Jakarta.

Neurona Vol. 32 No. 3 Juni 2015

 
Artikel Penelitian

Korespodensi: [email protected], [email protected]

PENDAHULUAN
Stroke adalah gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak, yang dapat
disebabkan oleh adanya penyumbatan, penyempitan, atau pecahnya pembuluh darah di otak.1
Dengan penyebab stroke yang beragam seringkali penderita mendapat polifarmasi, sehingga
dapat terjadi masalah terkait obat (drug related problem). Menurut Pharmaceutical Care
Network Europe (PCNE) definisi masalah terkait obat (drug related problem/DRPs) adalah
setiap kejadian yang melibatkan terapi obat yang secara nyata atau potensial terjadi dan akan
memengaruhi hasil terapi yang diinginkan seperti interaksi obat, adanya efek samping obat yang
digunakan dan adanya indikasi tetapi tidak diterapi.2
Sebagai profesi yang berperan dalam bidang obat-obatan, apoteker mempunyai peranan
penting dalam masalah tersebut. Apoteker idealnya ikut terlibat dalam menentukan terapi obat,
menjamin penggunaan obat yang rasional, melakukan pemantauan terapi obat pada pasien
dengan mengidentifikasi DRP. Keterlibatan apoteker dapat mencegah terjadinya DRP melalui
intervensi kepada dokter dalam pemilihan obat, intervensi kepada pasien dalam bentuk edukasi
dalam pemakaian obat yang benar, dan intervensi kepada perawat dan petugas farmasi,
berkaitan dengan tata cara penggunaan obat dan waktu pemberian obat. Pada prakteknya
keterlibatan apoteker di rumah sakit masih sangat minim sehingga fungsi apoteker dalam
mencegah DRP belum bermakna.
Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan apoteker dalam
mencegah DRP pada terapi penderita stroke rawat inap di RSUP Persahabatan Jakarta dan
sejauh mana DRP bisa dihindari oleh adanya intervensi apoteker. Definisi intervensi adalah
sebagai setiap aksi oleh farmasis klinik yang menghasilkan perubahan dalam manajemen atau
terapi pasien. Intervensi meliputi rekomendasi dalam penulisan resep, intervensi kepada
pasien/keluarga pasien, dan tidak ada intervensi.2
TUJUAN
Untuk mengetahui besarnya DRP dan perbaikan kualitas penggunaan obat pada kasus
stroke di RSUP Persahabatan setelah intervensi apoteker.
METODE
Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimental pre dan post test. Pengambilan
data dilakukan secara prospektif pada pola pengobatan pasien stroke. Sampel adalah terapi obat
pasien stroke berusia 20-90 tahun yang dirawat inap di RSUP Persahabatan, Jakarta, dan
bersedia ikut penelitian pada September hingga November 2014. Kriteria eksklusi meliputi data
terapi obat pasien tidak lengkap untuk menilai DRP dan pasien tidak bersedia ikut dalam
penelitian.
Data pengobatan penderita diambil dari rekam medik, catatan perawat, profil
pengobatan penderita, dan hasil pemeriksaan laboratorium. Selain itu, diamati juga kondisi
penderita secara langsung selama terapi melalui kunjungan (visite) bersama dokter, apoteker,
dan perawat. Rekomendasi atas DRP diberikan kepada dokter, perawat, petugas farmasi, dan
pasien/keluarga pasien. Setiap rekomendasi yang diberikan, diketahui dan didiskusikan kepada
dokter yang memegang pasien. Identifikasi DRP yang terjadi menggunakan standar
Formularium Nasional3 dan pemeriksaan melalui website Medscape Drug Interaction Checker4.
Rekomendasi terapi kepada dokter, perawat, petugas farmasi, atau pasien tergantung jenis
rekomendasinya, apoteker memantau hasil rekomendasi tersebut.
Data yang diperoleh diolah dianalisis secara statistik dengan metode univariat untuk
memperoleh gambaran distribusi frekuensi serta proporsi dan variabel yang diteliti, bivariat
menggunakan korelasi untuk melihat hubungan/korelasi antara terapi obat dengan penyakit
penyerta dan lama perawatan dan multivariat menggunakan uji regresi logistik untuk
mengetahui faktor-faktor yang bermakna mempengaruhi terjadinya penurunan DRP.

Neurona Vol. 32 No. 3 Juni 2015

 
Artikel Penelitian

Hasil uji bivariat dengan korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat


hubungan/korelasi signifikan antara DRP sebelum rekomendasi dengan jumlah penyakit
penyerta dan terapi obat dengan kejadian DRP sebelum rekomendasi. Uji korelasi Spearman
digunakan untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara variabel perancu yaitu usia, jenis
kelamin, penyakit penyerta, lama perawatan, dan jumlah terapi obat terhadap kejadian DRP
sebelum pemberian rekomendasi.
HASIL
Didapatkan 95 subjek yang dipantau dalam penelitian ini, laki-laki sedikit lebih banyak
dari pada perempuan (Tabel 1). Mayoritas subjek terkena stroke iskemik (80%) dengan rerata
usia 55,16 tahun, memiliki 1-5 penyakit penyerta (86,3%), serta lama perawatan 6-10 hari
(49,5%).

Tabel 1. Data Deskriptif Subjek (n=95)


Parameter n %
Jenis kelamin
• Laki-laki 49 51,6
• Perempuan 46 48,4
Jenis stroke
• Iskemik 74 77,9
• Hemoragik 21 22,1
Penyakit penyerta
• 1-5 penyakit 82 86,3
• 6-10 penyakit 13 13,7
Usia (tahun)
• 21-30 2 2,1
• 31-40 3 3,2
• 41-50 14 14,7
• 51-60 44 46,3
• 61-70 22 23,2
• >70 10 10,5
Lama perawatan (hari)
• 0-5 29 30,5
• 6-10 47 49,5
• 11-15 17 17,9
• >15 2 2,1
Jumlah obat yang diterima
• 1-5 9 9,5
• 6-10 45 47,4
• 11-15 28 29,5
• >15 13 13,7
Kondisi Pulang
• Hidup 81 85,3
• Meninggal 14 14,7

Berdasarkan diagnosa dari rekam medik (data tidak ditampilkan), penyebab kematian
subjek adalah karena sepsis (71,4%), komorbid tersering adalah hipertensi (90,5%) terutama
hipertensi stage 2, diikuti diabetes mellitus (39%) dan hiperkolesterolemia (30,5%). Adapun
jenis golongan obat yang paling banyak diterima subjek adalah simvastatin (75,8%), citicholin
(65,3%), clopidogrel (66,3%), dan amlodipin (65,3%).

Neurona Vol. 32 No. 3 Juni 2015

 
Artikel Penelitian

200 168
40,2%
134
32,1%
150 105
25,1%

100
44
10,5%
30
1
50 12 7,2%
24 12 3 2 0,2%
2,9% 5,7% 2,9% 0.73% 0,5% DRP sebelum rekomendasi (n=418)
0 16 10 0 0 0
3,8% 2,4% 0
0 DRP sesudah rekomendasi (n=143)

Gambar 1. Jenis dan Jumlah Drug Related Problem Sebelum dan Sesudah Rekomendasi (n=418)

Hasil evaluasi DRP meliputi beberapa hal, yaitu jenis dan jumlah DRP, jenis obat yang
menimbulkan DRP, jenis dan sasaran rekomendasi, serta penurunan DRP. DRP yang paling
banyak terjadi adalah kategori interaksi obat, sebelum diberi rekomendasi terdapat 40,2% dan
setelah diberi rekomendasi turun menjadi 25,1% (Gambar 1).
Pemberian rekomendasi berdasarkan jenis DRP yang aktual dan potensial terjadi. Jenis
rekomendasi yang terbanyak adalah waktu pemberian obat sebesar 21,8%, stop pemberian obat
sebesar 20,6%, dan cara pemberian obat sebesar 19,1% (Gambar 2).

91 rekomendasi
21,8%
86 rekomendasi
100 20,6% 80 rekomendasi
90 19,1%

80 39 rekomendasi
9,3%
70 44 rekomendasi
60 10,5%
34 rekomendasi
50 8,1% 29 rekomendasi
6,9%
40
12 rekomendasi
30 2,9%
3 rekomendasi
20 0,7%
10
0

Gambar 2. Jenis Rekomendasi

Tabel 2. Sasaran Rekomendasi (n=418)

Neurona Vol. 32 No. 3 Juni 2015

 
Artikel Penelitian

Jumlah DRP Jumlah DRP


Sasaran Rekomendasi Sebelum Sesudah
Rekomendasi (%) Rekomendasi (%)
Rekomendasi kepada dokter 251 (60,1) 134 (32,1)
Rekomendasi kepada perawat dan petugas farmasi 146 (34,9) 0 (0)
Rekomendasi kepada pasien atau keluarga pasien 21 (5) 9 (2,2)
Tanpa rekomendasi 0 (0) 0 (0)
Total 418 (100) 143 (34,2)

Intervensi apoteker dapat menurunkan DRP sebanyak 65,8% (Tabel 2) dengan rincian
34,9% penurunan DRP (intervensi ke perawat dan petugas farmasi), 28% penurunan DRP
(intervensi ke dokter) dan 2,8% penurunan DRP (intervensi ke pasien/keluarga pasien).
Untuk uji Wilcoxon, hasil menunjukkan bahwa nilai sesudah DRP dikurang sebelum
DRP adalah minus. Hasil ini membuktikan bahwa data sebelum DRP lebih besar dari setelah
DRP. Untuk perbedaannya dikatakan signifikan, karena hasil uji sig. Wilcoxon menunjukkan
angka kurang dari 0,05. Dari hasil uji statistik nilai z hitung (-2,668) lebih besar dibandingkan
nilai z tabel (-1,645) pada α=0,05 maka H0 ditolak, artinya ada perbedaan bermakna jumlah
DRP sebelum dan sesudah pemberian rekomendasi.
Disimpulkan bahwa usia, jenis kelamin, lama perawatan tidak memiliki hubungan yang
bermakna dengan kejadian DRP sebelum rekomendasi, dimana nilai koefisien korelasi dan
signifikansinya berturut-turut adalah r=0,044; 0,091; 0,146 p>0,05. Sedangkan penyakit
penyerta dan jumlah terapi obat memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian DRP
sebelum pemberian rekomendasi dengan p<0,05, dimana penyakit penyerta (r=0,242; p=0,018),
dan jumlah terapi obat (r=0,349, p=0,001). Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa semakin
banyak penyakit penyerta dan jumlah terapi obat yang diterima subjek, maka semakin
meningkat risiko terjadinya DRP. Hasil analisis multivariat regresi logistik adalah
kebermaknaan variabel perancu tidak dapat dibuktikan semuanya (nilai p>0,05).

PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini terdapat 418 DRP dengan pemberian rekomendasi berdasarkan
DRP yang potensial atau aktual terjadi, meliputi intervensi kepada dokter (60,1%), perawat dan
petugas farmasi (34,9%), dan subjek atau keluarga subjek (5%).
Jenis obat yang menimbulkan DRP yang paling banyak adalah Simvastatin (17,2%)
dengan jenis DRP waktu pemberian obat dan rekomendasinya pengaturan waktu pemberian
obat di malam hari, kemudian captopril (16,0%) dengan jenis DRP pemilihan obat yang tidak
tepat, rekomendasinya adalah mengganti obat; jenis DRP lain adalah ada indikasi tetapi tidak
diterapi, rekomendasinya diberikan captopril dan jenis DRP waktu pemberian obat dengan
rekomendasi pengaturan waktu pemberian obat dan penggunaan 2 macam antiplatelet (14,1%)
dengan jenis DRP interaksi obat dan rekomendasinya adalah salah satu pemberian obat
antiplatelet dihentikan (Tabel 3).

Tabel 3. Jenis DRP, Jenis Obat, dan Jenis Rekomendasinya

DRP DRP
sebelum sesudah
No Jenis DRP Jenis obat Jenis rekomendasi
rekomendasi rekomendasi
(%) (%)
1. Ada indikasi Alopurinol Diresepkan Alopurinol karena 8 (1,9) 0
tetapi tidak pemeriksaan lab diperoleh
diterapi kadar asam urat diatas 7 mg/dl

Neurona Vol. 32 No. 3 Juni 2015

 
Artikel Penelitian

Natrium bikarbonat Diresepkan bikarbonat atau 5 (1,2) 5 (1,2)


(Bicnat) Natrium bikarbonat untuk
alkalinisasi urin untuk
mengatasi ketidaknyamanan
urinari pada penderita infeksi
saluran kemih12.

Insulin Diresepkan insulin karena pada 6 (1,4) 0


pemeriksaan lab HbA1C nya >
8 % (buruk> 8 %)

Captopril Diresepkan terapi kaptopril 8 (1,9) 0


3x12.5 mg karena TD pasien
140/90. Pasien tidak diresepkan
antihipertensi dan pasien
menderita diabetes.

Gemfibrozil/ Diresepkan gemfibrozil atau 9 (2,2) 4 (1,0)


Fenofibrate fenofibrate (1x300 mg) karena
pemeriksaan lab menunjukkan
kadar trigliserida di atas normal
(nilai normal < 150 mg/dL).

Heparin Diresepkan Heparin 5000 IU 5 (1,2) 2 (0,5)


Pasien menderita stroke pada
kedua sisi tubuh dan tirah
baring, dan beresiko menderita
tromboemboli vena6.

Seftriakson Diresepkan antibiotik seperti 2 (0,5) 1 (0,2)


seftriakson karena pemeriksaan
lab lekosit pasien 12.97
ribu/mm3 (normal 5-10)

Nistatin Diresepkan nistatin karena 1 (0,2) 0


pasien mengeluh Stomatitis
aphtosa
2. Pemberian Paracetamol Paracetamol dihentikan karena 1 (0,2) 0
obat tanpa pasien diresepkan paracetamol
indikasi 3x500 mg, padahal suhu pasien
masih normal yaitu 36,8 C.

Natrium diklofenak Pemberian Natrium diklofenak 1 (0,2) 0


dihentikan karena pasien sudah
tidak merasakan nyeri tapi
masih diresepkan Natrium
diklofenak

Neurona Vol. 32 No. 3 Juni 2015

 
Artikel Penelitian

3. Pemilihan obat Spironolakton Penggunaan spironolakton 4 (1,0) 1 (0,2)


yang tidak dihentikan karena tidak efektif
tepat untuk antihipertensi pada pasien
diabetes mellitus dan tekanan
darah tidak terlalu tinggi13.

Klonidin Klonidin distop karena 5 (1,2) 2 (0,5)


berpotensial memengaruhi
pemulihan stroke12
Aspirin Aspirin diganti dengan 5 (1,2) 5 (1,2)
klopidogrel karena pasien
menderita nyeri lambung,
sindrom dispepsia
Amlodipin Ganti amlodipin dengan 7 (1,7) 4 (1,0)
kaptopril karena obat hipertensi
ACE inhibitor sangat
dianjurkan dalam
mengendalikan diabetes14

Nicardipine injeksi Diganti antihipertensi oral 6 (1,4) 3 (0,7)


menjadi obat antihipertensi
injeksi. PERDOSSI
merekomendasikan pemberian
antihipertensi melalui rute
parenteral bagi pasien stroke
hemoragik dengan tekanan
darah sistol >180 mmHg.

3. Pemilihan obat Alprazolam, Alprazolam dihentikan Menurut 2 (0,5) 1 (0,2)


yang tidak Gabapentin literatur Perdossi 2011, untuk
tepat menghindari penggunaan
alprazolam selama periode
pemulihan stroke.

Adalat oros Diganti dengan nifedipin kapsul 1 (0,2) 0


(Nifedipin lepas yang bisa digerus. pasien
lambat menggunakan NGT di mana
penggunaan obat tersebut harus
digerus. Tablet sustained
release tidak boleh digerus
karena akan merusak formula
obat sehingga dapat
menyebabkan toksisitas
nifedipin.

4. Dosis obat Nifedipin Stop penggunaan nifedipin, 1 (0,2) 0


terlalu tinggi karena tekanan darah pasien
150/100 (tidak terlalu tinggi),
pasien sudah diresepkan
amlodipin dan kaptopril

Neurona Vol. 32 No. 3 Juni 2015

 
Artikel Penelitian

5. Dosis obat Gabapentin Naikkan dosis gabapentin 1 (0,2) 0


terlalu rendah karena yang tertulis diresep
adalah 2x75 mg sedangkan
kemasan yang beredar yaitu
100 mg, 300 mg dan dosis
inisial adalah 300 mg
Sukralfat Naikkan dosis sukralfat sirup 2 (0,5) 0
menjadi 4x15 mencapai dosis
profilaksis sukralfat yaitu setiap
6 jam15

6. Interaksi Kaptopril + Aspar K Pantau kadar kalium, kaptopril 19 (4,5) 19 (4,5)


obat16 + aspar K dapat menyebabkan
hiperkalemia pada pasien bila
dipakai bersamaan.

6. Interaksi Omeprazole + Pantau kadar 1 (0,2) 0


obat16 Fenitoin, diazepam fenitoin.Omeprazol dapat
berinteraksi dengan fenitoin
atau diazepam yang dapat
meyebabkan toksisitas dari
diazepam dan fenitoin.
Warfarin + ranitidin Monitor INR. Menurut literatur 1 (0,2) 0
kadar/efek warfarin dapat
ditingkatkan oleh ranitidin.

levofloksasin+ Pengaturan waktu pemberian 4 (1,0) 0


sukralfat obat
Kaptopril + Pantau gejala hipersensitivitas 4 (1,0) 0
Allopurinol
Amlodipin+ Pemberian Simvastatin dengan 43 (10,3) 0
simvastatin dosis maksimum 20 mg.

Aspirin + Monitor kondisi pasien dari 1 (0,2) 0


meloksikam resiko terjadinya perdarahan
gastrointestinal
Omeprazole + Ganti penggunaan Omeprazole 15 (3,6) 0
clopidogrel dengan Ranitidin.

Dua macam Stop pemberian salah satu 59 (14,1) 59 (14,1)


antiplatelet antiplatelet.
(Cilostazol +
Klopidogrel; Aspirin
+ Klopidogrel;
Aspirin + cilostazol)
1 antiplatelet + Stop pemberian salah satunya 15 (3,6) 15 (3,6)
1 antikoagulan (antiplatelet atau
antikoagulannya).
2 antikoagulan Stop pemberian salah satu 2 (0,5) 0
antikoagulan

Neurona Vol. 32 No. 3 Juni 2015

 
Artikel Penelitian

Simvastatin + Pemberian Simvastatin dengan 1 (0,2) 0


amiodaron dosis maksimum 10 mg

Amlodipin+ fenitoin Pantau tekanan darah pasien 2 (0,5) 2 (0,5)

Siprofloksasin + Pantau kadar fenitoin 1 (0,2) 1 (0,2)


fenitoin
7. Pasien tidak Ondansetron Ondansetron diganti untuk 2 (0,5) 0
menggunakan domperidon tablet 10 mg untuk
obat karena mual dan muntahnya.
obat tidak Ondansetron di buku
ditanggung Formularium Nasional untuk
Badan indikasi mual, muntah karena
Penyelenggara radioterapi
Jaminan Sosial Flunarizin (Frego®) Frego® diganti dengan 1 (0,2) 0
(BPJS), betahistin karena stok kosong di
ketidakpatuhan apotik
perawat
(Seftriakson, Agar perawat disiplin dalam 9 (2,2) 0
amlodipin) memberikan obat sesuai
instruksi dokter karena pasien
tidak mendapatkan obat karena
ketidakpatuhan perawat.

Betahistin Konseling pasien untuk 12 (2,9) 9 (2,2)


menebus obat betahistine
karena obat tersebut untuk
vertigo dan tidak ditanggung
Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS)
8. Cara Furosemid injeksi Cara pemberian furosemid iv 3 (0,7) 0
pemberian disesuaikan dengan literatur
obat
Isosorbid dinitrat Peneliti memberikan konselling 9 (2,2) 0
ke pasien mengenai cara
pemakaian obat isosorbid
dinitrat sublingual yaitu dengan
duduk, obat tidak boleh
digunakan ketika berdiri atau
berbaring.

9. Waktu Simvastatin Pengaturan waktu pemberian 72 (17,2) 0


pemberian obat untuk diberikan dimalam
obat hari
Natrium bikarbonat Pengaturan waktu pemberian 5 (1,2) 0
obat yaitu "diminum 1 jam
setelah makan"
Kaptopril Pengaturan waktu pemberian 52 (12,4) 0
obat yaitu "diminum 1 jam
sebelum makan"
9. Waktu Furosemid tablet Pengaturan waktu pemberian 1 (0,2) 0
pemberian obat yaitu "diminum 1 jam
obat sebelum makan"

Neurona Vol. 32 No. 3 Juni 2015

 
Artikel Penelitian

Gemfibrozil Pengaturan waktu pemberian 2 (0,5) 0


obat yaitu diminum 30 menit
sebelum makan pagi atau
sebelum makan malam
(www.pfizer.com/lopid)
Lansoprazole Pengaturan waktu pemberian 2 (0,5) 0
obat yaitu diminum 30 menit
sebelum makan pagi atau
sebelum makan malam
(wwww.
Patient.co.uk,lansprazole)

Peran apoteker tampak jelas dapat menurunkan DRP dengan memberikan intervensi
berupa rekomendasi kepada dokter. Beberapa penelitian membuktikan bahwa apoteker berperan
mengatasi DRP dengan pemberian rekomendasi kepada pasien dan profesi kesehatan terkait
mengenai terapi obat.5
KESIMPULAN
Melalui intervensi apoteker terhadap pola terapi obat penderita stroke, DRP turun
secara bermakna. Hubungan dan komunikasi yang baik dengan praktisi kesehatan di rumah
sakit sangat penting dalam mencegah DRP.

DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Stroke, cerebrovascular Accident [serial online]. 2014 [diunduh 6
Januari 2015]. Tersedia dari:http://www.who.int/topics/cerebrovascular accident.
2. Pharmaceutical Care Network Europe. Classification for drug related problems (revised 14-01-
2010vm) V6.2 [serial online]. 2010[diunduh 26 januari 2015]. Tersedia dari:
http://www.PCNE.org.
3. Depkes RI. Formularium Nasional. Jakarta: DitjenBinfar; 2013.
4. Medscape drug interaction checker [serial online]. 2014[diunduh 3 September 2014].Tersedia
dari: http://reference.medscape.com/drug-interaction checker.
5. Prest MS, Kristanto FC, Tan CK. Reaksi obat yang tidak dikehendaki dalam farmasiklinik
(clinical pharmacy), menuju pengobatan rasional dan penghargaan pilihan pasien. Jakarta: PT.
Elex Media Komputindo; 2000.
6. Chew BP, Park JS.Carotenoid action on the immune response. J Nutr. 2004;134(1):S257-61.
7. Dipiro JT, Tarbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey LM. Pharmacotherapy a
patophysiologic approach. New York: McGraw-Hill; 2005.
8. Andersen KK.Hemorrhagic and Ischemic strokes compared stroke severity, mortality, and risk
factors.Stroke.2009;40(6):2068-72.
9. Chamorro A, Urra X, Planas AM. Infection after acute ischaemic stroke: a manifestation of
brain-induced immunodepression. Stroke. 2007;38(3):1097-103.
10. Paul SL, Thrift AG, Donnan GA. Smoking as a crucial independent determinant of
stroke.Tobacco Induced Disease. 2004;2(2):67-80.
11. Price S, Wilson L. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Jakarta:
EGC;2005.
12. Janis J. Hypertension and hipercolesterolemia as the stroke risk factor. Dalam: PERDOSSI.
Kumpulan Makalah dan Abstrak Pertemuan Nasional Neurogeriatri Pertama; 2002 April 5-7;
Jakarta; 2002.
13. PERDOSSI. Penatalaksanaan umum stroke akut menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI); 2011.
14. U.S. Department of Health and Human Services.The seventh report of The Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure;2004.

Neurona Vol. 32 No. 3 Juni 2015

 
Artikel Penelitian

15. Sassen JJ, Carter BL. Hypertension. Dalam:Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells
BG, Posey ML.Pharmacotherapy: a patophysiologic approach. Edisi ke-8. New York: Appleton
and Lange;2005.hlm. 186-217.
16. Sweetman SC. Martindale 35 the complete drug reference. London: The Pharmaceutical Press;
2007.
17. Stockley IH.Drug interaction, a source book of interactions, their mechanism, clinical,
importance, and management. Edisi ke-7. London: Pharmaceutical Press; 2006.

Neurona Vol. 32 No. 3 Juni 2015

 
Artikel Penelitian

Neurona Vol. 32 No. 3 Juni 2015

You might also like