0% found this document useful (0 votes)
65 views11 pages

Tatalaksana Glaukoma Sekunder Sudut Tertutup Dengan Luksasi Lensa Dan Retinitis Pigmentosalenora

1) The patient, a 44-year-old man, presented with pain, redness, watering and decreased vision in his left eye. Examination found elevated pressure, corneal edema, a luxated lens, and angle closure in the left eye, as well as signs of retinitis pigmentosa. 2) He underwent intracapsular cataract extraction and trabeculectomy surgery on his left eye. 3) Post-operatively, his pressure and symptoms improved. Secondary angle closure glaucoma can be caused by a luxated lens, and trabeculectomy is an effective glaucoma procedure that can be combined with cataract surgery.

Uploaded by

Syahna Apriliani
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
65 views11 pages

Tatalaksana Glaukoma Sekunder Sudut Tertutup Dengan Luksasi Lensa Dan Retinitis Pigmentosalenora

1) The patient, a 44-year-old man, presented with pain, redness, watering and decreased vision in his left eye. Examination found elevated pressure, corneal edema, a luxated lens, and angle closure in the left eye, as well as signs of retinitis pigmentosa. 2) He underwent intracapsular cataract extraction and trabeculectomy surgery on his left eye. 3) Post-operatively, his pressure and symptoms improved. Secondary angle closure glaucoma can be caused by a luxated lens, and trabeculectomy is an effective glaucoma procedure that can be combined with cataract surgery.

Uploaded by

Syahna Apriliani
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 11

1

Tatalaksana Glaukoma Sekunder Sudut Tertutup Dengan Luksasi Lensa dan


Retinitis Pigmentosa

ABSTRACT
Introduction : Secondary glaucoma can be caused by luxated lens and may occur as
angle-closure glaucoma. Most secondary glaucomas will require treatment of the
underlying cause.
Purpose : To present a case of secondary angle-closure glaucoma associated with
luxated lens and retinitis pigmentosa that has been treated with intracapsular
cataract extraction and trabeculectomy.
Case report : A 44 years-old male with chief complaint of pain with redness and
watery on his left eye (LE), headaches, nausea, and vomiting since 3 weeks before the
first visit. History of trauma on LE (+). Visual acuity was light perceptions on his
both eye. The intraocular pressure on LE 54 mmHg. Others finding were cilliary
injection, corneal edema, anterior chamber angle depth Van Herick Grade II, cloudy
lens and luxation lens to the anterior. Angle of anterior chamber was closure in
gonioscopy. Examination of the posterior segment was found bone-spicule retinal
pigmentation on the right eye (RE). The ultrasonography showed fibrosis vitreous
and posterior vitreous detachment on LE. The diagnose was secondary angle-closure
glaucoma with luxated lens on LE and retinitis pigmentosa suspected on both eyes.
The patient was underwent intracapsular cataract extractions with trabeculectomy on
LE.
Conclusion : Secondary angle closure glaucoma can be caused by luxated lens.
Trabeculectomy is the glaucoma procedure that has been most frequenty and longest
time combined with cataract surgery, to assist in the control of intraocular pressure.

I. PENDAHULUAN
Glaukoma adalah kumpulan penyakit dengan karakteristik optik neuropati,
gangguan lapangan pandang, dan atau tanpa peningkatan TIO. Glaukoma dibagi
menjadi glaukoma sudut terbuka dan sudut tertutup, dan dapat bersifat primer atau
sekunder. Glaukoma sekunder dapat disebabkan beberapa hal, antara lain pigment
dispersion syndrome atau pseudoexfoliation, iatrogenik, inflamasi, perubahan lensa,
trauma, pemakaian obat steroid jangka panjang, neovaskularisasi, penyakit kornea,
perdarahan intraokular, peningkatan tekanan vena episklera, dan tumor mata.1-4
Glaukoma sekunder karena perubahan lensa salah satu etiologinya adalah luksasi
lensa yang dapat menyebabkan glaukoma sudut tertutup. Penanganan glaukoma

1
2

sekunder tergantung patofisiologi yang mendasarinya.1-4 Laporan kasus ini bertujuan


untuk memaparkan suatu kasus tatalaksana glaukoma sekunder sudut tertutup dengan
luksasi lensa dan retinitis pigmentosa.

II. LAPORAN KASUS


Seorang laki – laki berusia 44 tahun datang ke poli Glaukoma Rumah Sakit (RS)
Mata Cicendo pada tanggal 21 September 2016 dengan keluhan mata kiri nyeri sejak
3 minggu sebelum masuk RS. Keluhan nyeri disertai mata merah, berair, sakit kepala
sebelah, mual, dan muntah. Tiga bulan sebelum masuk RS mata kiri pasien terbentur
ujung meja. Pasien berobat ke dokter spesialis mata RS Majalaya, diberikan obat tetes
mata timolol maleat. Kedua mata telah dirasakan buram sejak 4 tahun sebelum masuk
RS. Riwayat sering menabrak atau tersandung saat berjalan dikeluhkan oleh pasien.
Pasien merasa silau saat siang hari atau di tempat yang lebih terang. Riwayat darah
tinggi, kencing manis, asma, ginjal, jantung, mata merah berulang, operasi mata
sebelumnya, keluhan yang sama dikeluarga disangkal.
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 21 September 2016, dengan hasil status
generalis pasien tampak sakit ringan, kesadaran compos mentis dan tanda vital dalam
batas normal. Pemeriksaan oftalmologis didapatkan visus kedua mata yaitu persepsi
cahaya, tekanan intraokular (TIO) dengan tonometri aplanasi Goldmann mata kanan
14 mmHg dan mata kiri 54 mmHg. Pemeriksaan segmen anterior mata kanan dalam
batas normal (Gambar 2.1). Pemeriksaan segmen anterior mata kiri didapatkan injeksi
siliar, kornea edema, kedalaman sudut bilik mata depan Van Herick derajat II, lensa
keruh dan luksasi lensa ke anterior (Gambar 2.2). Pemeriksaan segmen posterior mata
kanan didapatkan retinal bone-spicule pigmentation, sedangkan segmen posterior
mata kiri sulit dinilai dengan funduskopi karena media keruh sehingga dilakukan
pemeriksaan ultrasonografi dengan hasil kesan fibrosis vitreus dan perdarahan vitreus
(Gambar 2.3). Pemeriksaan Gonioskopi dengan Sussmann four-mirror didapatkan
kesan sclera spur pada keempat kuadran bilik mata depan mata kanan dan schwalbe’s
line pada keempat kuadran bilik mata depan mata kiri.
3

Gambar 2.1 Segmen anterior mata kanan

Gambar 2.2 Segmen anterior mata kiri. Tampak injeksi siliar, lensa keruh, dan luksasi
ke anterior.

Gambar 2.3 Hasil ultrasonografi mata kiri. Kesan fibrosis vitreus dan perdarahan vitreus

Pasien didiagnosa sebagai Glaukoma Sekunder Sudut Tertutup mata kiri dengan
Luksasi Lensa mata kiri dan suspek Retinitis Pigmentosa kedua mata. Pasien
ditatalaksana dengan pemberian gliserol 50% 1 x 50 cc selama satu hari, timolol
maleat 0.5% 2 x 1 tetes mata kiri, asetazolamid 3 x 250 mg tablet, latonoprost 1 x 1
tetes mata kiri, dan direncanakan operasi Intracapsular Cataract Extraction (ICCE) +
4

trabekulektomi mata kiri dalam Monitoring Anesthesia Care (MAC). Pasien telah
dilakukan operasi ICCE + trabekulektomi mata kiri pada tanggal 6 Oktober 2016.
Prosedur operasi sebagai berikut (Gambar 2.4) : pasien ditidurkan terlentang dan
dilakukan anastesi dalam MAC, pada mata kiri dilakukan tindakan aseptik dan
antiseptik dengan betadine, kemudian dipasang sterile drape, lalu dipasang spekulum,
dianestesi subtenon, lalu dilakukan kendali rektus superior. Langkah selanjutnya
dilakukan peritomi dan perdarahan dikontrol dengan kauterisasi bipolar, kemudian
dilakukan insisi scleral tunnel (1), side port diinsisi pada jam 10 dengan blade 15º,
lalu diinjeksikan cairan viskoelastik. Ekstraksi lensa dengan menyemprotkan cairan
saline dengan menekan bibir luka (2), lalu dilakukan vitrektomi anterior dengan
gunting vannas. Aspirasi irigasi dilakukan untuk membersihkan sisa massa lensa dan
cairan viskoelastik pada bilik mata depan. Selanjutnya dilakukan prosedur
trabekulektomi dengan sklerostomi berukuran 2x1 mm, serta dilakukan iridektomi
perifer (3). Scleral tunnel dijahit sebanyak 1 jahitan, diisikan udara pada bilik mata
depan, dan menutup konjungtiva bulbi menggunakan jahitan benang ethylon 10-0 (4).
Pasca operasi, pasien ditatalaksana dengan pemberian antibiotik oral
Ciprofloxacin 2x500 mg dan anti inflamasi Natrium diclofenak 2x50 mg, salep mata
kloramfenikol hidrokortison 3x mata kiri, serta obat tetes ofloksasin 6x1 tetes mata
kiri, prednisolon asetat 6x1 tetes mata kiri, dan timolol maleat 0.5% 2 x 1 tetes mata
kiri.
Satu hari pasca operasi tanggal 7 Oktober 2016. Pemeriksaan tajam penglihatan
VOD LP VOS LP. Pemeriksaan tekanan bola mata dengan tonometri aplanasi
Goldmann didapatkan OD 10 mmHg OS 24 mmHg. Pemeriksaan segmen anterior
mata kanan menunjukkan kesan dalam batas normal. Pemeriksaan mata kiri
didapatkan perdarahan subkonjungtiva, bleb tampak baik dengan jahitan intak, edema
kornea, lipat descemet, kedalaman bilik mata depan Van Herick derajat III dengan
flare/cell sulit dinilai dan terdapat udara, pupil bulat, iridektomi perifer tidak tampak,
dan lensa afakia. Pasien diperbolehkan rawat jalan dan pengobatan dilanjutkan hingga
pasien kontrol 6 hari berikutnya.
5

1 2

3 4

Gambar 2.4 Langkah Pembedahan. Secara berurutan dari kiri ke kanan, atas ke bawah.
Langkah – langkah operasi yang dilakukan mulai insisi scleral tunnel (1),
ekstraksi lensa (2), iridektomi perifer (3) serta penjahitan luka (4).

Gambar 2.5 Segmen anterior mata kiri. Tampak perdarahan subkonjungtival, edema
kornea, lipat descemet, dan iridektomi perifer.

Enam hari pasca operasi pasien kembali datang untuk kontrol. Obat-obatan
sebelumnya masih dipakai sesuai anjuran. Pemeriksaan tajam penglihatan VOD LP
VOS LP. Pemeriksaan tekanan bola mata dengan tonometri aplanasi Goldmann
didapatkan OD 10 mmHg OS 15 mmHg. Pemeriksaan segmen anterior mata kanan
menunjukkan kesan dalam batas normal. Pemeriksaan mata kiri didapatkan
6

perdarahan subkonjungtiva, bleb tampak baik dengan jahitan intak, edema kornea,
lipat descemet, kedalaman bilik mata depan Van Herick derajat III dengan flare/cell
sulit dinilai, pupil bulat, iridektomi perifer, dan lensa afakia (Gambar 2.5). Terapi
ofloksasin 6x1 tetes mata kiri masih dilanjutkan. Pengobatan dengan prednisolon
asetat di tapering off menjadi 5x1 tetes mata kiri pada minggu pertama, dilanjutkan
4x1 tetes mata kiri pada minggu kedua, timolol maleat 0.5% 2 x 1 tetes mata kiri.
Pasien disarankan konsul unit retina untuk konfirmasi diagnosis retinitis pigmentosa
dan hasil konsul didapatkan retinitis pigmentosa mata kanan, sedangkan mata kiri
sulit dinilai karena media keruh. Pasien dikonsulkan ke unit low vision disarankan
untuk rehabilitasi dan mobilisasi.

III. DISKUSI
Glaukoma merupakan kumpulan beberapa penyakit dengan karakteristik optik
neuropati disertai gangguan lapangan pandang dan atau tanpa peningkatan tekanan
intraokular (TIO). Glaukoma diklasifikasikan menjadi glaukoma sudut terbuka dan
sudut tertutup, dan dapat bersifat primer maupun sekunder. Glaukoma sekunder dapat
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain pigment dispersion syndrome atau
pseudoexfoliation, iatrogenik, inflamasi, perubahan lensa, trauma, pemakaian obat
steroid jangka panjang, neovaskularisasi, penyakit kornea, perdarahan intraokular,
peningkatan tekanan vena episklera, dan tumor mata.1-4
Glaukoma sekunder akibat perubahan lensa dapat terjadi sebagai glaukoma
sekunder sudut tertutup atau glaukoma sekunder sudut terbuka. Sudut tertutup dapat
disebabkan karena pembengkakan lensa (glaukoma fakomorfik) dan dislokasi lensa
(ectopia/dislocated lens). Sudut terbuka dapat disebabkan karena kebocoran protein
lensa dari katarak matur atau hipermatur (glaukoma fakolitik), trauma mata yang
menyebabkan fragmen bebas dari bahan lensa (lens-particle glaucoma), dan
hipersensitivitas terhadap protein lensa setelah operasi atau trauma tembus (glaukoma
fakoantigenik). Glaukoma karena perubahan lensa memiliki patofisiologi, diagnosis,
dan penanganan yang berbeda.1-5
7

Patofisiologi glaukoma fakomorfik terjadi akibat pembentukan katarak


intumesen. Penyempitan sudut dapat terjadi perlahan – lahan dengan pembentukan
katarak dengan mendorong iris ke depan sehingga terhalangnya aliran akuos antara
pupil dan lensa (pupillary block). Diagnosis glaukoma fakomorfik ditandai dengan
adanya nyeri mata, pandangan mata menurun, katarak, sudut tertutup pada
pemeriksaan ginioskopi, dan TIO meningkat. Penanganan glaukoma fakomorfik
adalah menurunkan TIO dengan terapi medikamentosa seperti beta bloker topikal,
inhibitor anhidrase karbonat, agen hiperosmotik seperti gliserin oral, dan terapi
pembedahan.2-6
Patofisiologi glaukoma sekunder karena ectopia/dislocated lens terjadi karena
perpindahan lensa ke bilik mata depan yang mengakibatkan penyempitan sudut ruang
depan dan blok pupil. Ectopia/dislocated lens dapat terjadi karena gangguan sistemik
dan trauma yang menyebabkan subluksasi atau luksasi lensa. Diagnosis
ectopia/dislocated lens ditandai dengan nyeri pada mata, penurunan tajam
penglihatan, riwayat trauma pada mata, adanya subluksasi atau luksasi lensa, sudut
tertutup, dan peningkatan TIO. Penanganan glaukoma karena ectopia/dislocated lens
tergantung derajat dislokasi lensa dan adanya blok pupil. Bila terdapat subluksasi
lensa parsial tanpa adanya blok pupil, pengobatan konservatif dengan monitoring
TIO, jika terdapat blok pupil, dapat dilakukan laser iridotomi. Bila terjadi luksasi
lensa ke anterior, maka pengangkatan lensa menjadi pilihan terapi.2-6
Patofisiologi glaukoma fakolitik disebabkan proses inflamasi karena kebocoran
material lensa pada katarak matur, hipermatur, dan morgagni. Komposisi material
lensa yaitu protein, makrofag, dan sel – sel inflamasi lain yang menyebabkan
obstruksi trabecular meshwork sehingga aliran akuos terhambat dan terjadi
glaukoma. Diagnosis glaukoma fakolitik ditandai dengan nyeri pada mata, penurunan
tajam penglihatan, mata merah, terdapat material lensa di sudut bilik mata depan,
edema kornea, peningkatan TIO, dan sudut terbuka pada pemeriksaan gonioskopi.
Pengangkatan katarak menjadi terapi pilihan pada glaukoma fakolitik.2-6
8

Patofisiologi glaukoma fakoantigenik atau fakoanafilaktik akibat reaksi


sensitifitas terhadap protein lensa mereka sendiri yang menyebabkan obstruksi
trabecular meshwork dan peningkatan TIO. Diagnosis glaukoma fakoantigenik
biasanya terjadi 1 – 14 hari setelah operasi katarak atau trauma. Temuan klinis pada
glaukoma fakoantigenik yaitu keratic precipitate, flare/sel, sinekia, atau material
residu lensa. Penanganan glaukoma fakoantigenik dapat dengan medikamentosa
untuk menurunkan TIO dan meminimalkan proses inflamasi.2-6
Trabekulektomi merupakan prosedur glaukoma yang sering dilakukan dan dapat
dikombinasikan dengan operasi katarak, untuk membantu mengendalikan TIO. Studi
Bobrow tahun 1999 melaporkan keberhasilan tindakan trabekulektomi
dikombinasikan dengan extracapsular cataract extraction (ECCE) dalam
menurunkan TIO pada pasien glaukoma. Hal – hal yang dapat dilakukan tindakan
operasi kombinasi yaitu jika tidak dapat ditoleransi dengan medikamentosa, alergi
medikamentosa, TIO yang tinggi disertai kerusakan diskus optik dan penurunan
lapang pandang yang luas, glaukoma sudut tertutup, dan TIO tetap tinggi setelah
7,8
operasi trabekulektomi disertai adanya katarak.
Penegakkan diagnosis glaukoma sekunder sudut tertutup pada kasus ini
didasarkan pada hasil anamnesis dan pemeriksaan yang telah dilakukan. Adanya
keluhan mata kiri nyeri disertai mata merah, buram, dan riwayat trauma mata kiri
dapat mengarahkan diagnosis suatu glaukoma. Pemeriksaan segmen anterior mata
kiri didapatkan injeksi siliar, kedalaman sudut bilik mata depan Van Herick derajat II,
lensa keruh dan luksasi ke anterior. Didapatkan peningkatan TIO sebesar 54 mmHg.
Pemeriksaan gonioskopi dengan hasil kesan tampak Schwalbe’s line pada seluruh
kuadran sudut mata depan menjelaskan bahwa telah terjadi penutupan sudut mata
depan, yang dapat menimbulkan peningkatan TIO.
Pemberian terapi dari RS sebelumnya pada pasien ini dianggap sudat tepat.
Timolol maleat bekerja menurunkan produksi cairan akuos dengan menghambat
produksi cyclic adenosine monophospate (cAMP) di epitel siliar. Di RS Mata
Cicendo pasien diberikan terapi tambahan yaitu asetazolamid bekerja sebagai
9

penghambat aktivitas enzim karbonik anhidrase yang akan mengurangi produksi


cairan akuos. Larutan gliserol diberikan untuk membantu menurunkan TIO dengan
meningkatkan osmolalitas pembuluh darah sehingga terjadi perpindahan cairan dari
rongga vitreus menuju sirkulasi.4-6
Pasien kemudian direncanakan tindakan operasi kombinasi ICCE dan
trabekulektomi. Tindakan trabekulektomi bertujuan untuk mengendalikan TIO
dengan membuat saluran keluar baru untuk aliran cairan akuos dari bilik mata depan
melalui sklera menuju rongga subkonjungtiva dan subtenon. Tindakan Intracapsular
Cataract Extraction (ICCE) bertujuan untuk mengeluarkan lensa dengan memutus
zonula zinii yang telah mengalami degenerasi. Operasi kombinasi bertujuan untuk
mencegah peningkatan TIO setelah operasi katarak yang dapat memperberat
terjadinya glaukoma.7-10 Dilakukan tindakan operasi kombinasi pada kasus ini karena
dari anamnesis didapatkan keluhan nyeri mata kiri, riwayat trauma 3 bulan sebelum
masuk RS dan pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan TIO 54 mmHg, sudut
tertutup, lensa keruh, dan luksasi ke anterior.
Retinitis pigmentosa (RP) adalah gangguan pigmentasi retina dari fotoreseptor
dan epitel pigmen retina yang memiliki karakteristik diwariskan, disfungsi yang
progresif, kehilangan sel, dan dapat terjadi atropi dari jaringan retina. Prevalensi
penyakit ini berkisar antara 1 : 3000 sampai 1 : 5000. Retinitis pigmentosa lebih
sering ditemukan pada laki – laki. Klasifikasi retinitis pigmentosa dapat dibagi
berdasarkan kelainan genetik dapat dibagi menjadi autosomal dominan, autosomal
resesif, dan x-linked. Pembagian berdasarkan onset usia dapat dibagi menjadi
juvenille-onset dan adult-onset. Retinitis pigmentosa dibagi menjadi dua kelompok
besar yaitu retinitis pigmetosa primer dan sekunder. Retinitis pigmentosa primer
mengacu pada gangguan herediter yang difus melibatkan fungsi fotoreseptor dan
epitel pigmen retina, kondisi ini ditandai dengan hilangnya lapang pandang yang
progresif dan gambaran elektroretinogram yang abnormal. Retinitis pigmentosa
primer hanya terbatas pada mata dan tidak terkait dengan manifestasi sistemik
10

lainnya. Retinitis pigmentosa sekunder merupakan gangguan degenerasi retina yang


dikaitkan dengan penyakit satu atau lebih sistem organ.11,12
Gejala klinis yang khas pada RP adalah penurunan lapang pandang, nyctalopia,
dan photopsia. Temuan klinis yang khas pada RP dapat dilihat pada pemeriksaan
funduskopi yaitu gambaran penyempitan arteriolar, waxy disc pallor, dan retinal
bone-spicule pigmentation. Penderita RP perlu mendapat informasi tentang adanya
kemungkinan penurunan fungsi penglihatan hingga ancaman kebutaan.11,12
Hubungan antara RP dengan glaukoma pertama kali dilaporkan tahun 1862.
Patofisiologi glaukoma pada retinitis pigmentosa belum diketahui secara pasti.
Sebuah studi di Cina melaporkan glaukoma sudut tertutup ditemukan pada beberapa
pasien retinitis pigmentosa sekitar 2.3%.13
Penegakkan diagnosis RP pada pasien ini didasarkan pada hasil anamnesis dan
pemeriksaan yang telah dilakukan. Adanya keluhan kedua mata buram sejak 4 tahun
sebelum masuk RS. Riwayat sering menabrak atau tersandung saat berjalan
dikeluhkan oleh pasien. Pasien merasa silau saat siang hari atau di tempat yang lebih
terang. Pemeriksaan oftalmologi didapatkan tajam penglihatan kedua mata persepsi
cahaya dan pada funduskopi mata kanan ditemukan gambaran retinal bone-spicule
pigmentation, sedangkan pemeriksaan funduskopi mata kiri sulit dinilai karena media
keruh.

IV. SIMPULAN
Glaukoma sekunder sudut tertutup dapat terjadi karena proses perubahan lensa
seperti luksasi lensa. Trabekulektomi merupakan prosedur glaukoma yang sering
dilakukan dan dapat dikombinasikan dengan operasi katarak. Tindakan operatif
kombinasi menjadi pilihan terapi pada kasus ini karena adanya luksasi lensa ke
anterior yang menyebabkan blok pupil sehingga TIO meningkat disertai adanya
riwayat trauma sebelumnya.
11

DAFTAR PUSTAKA

1. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Basic and clinical science course Section 10:
Glaucoma. American Academy of Ophthalmology. San Fransisco: 2015.
2. Thimons JJ, Lewis TL. Secondary Glaucomas. Prim Care Glaucomas. 1993;(July
2014):301.
3. Abe H, Kitazawa Y, Kuwayama Y, Shirakashi M, Shirato S, Tanihara H, et al.
Guidelines for Glaucoma (2nd Edition). Japan Glaucoma Soc. 2006;1:69.
4. Stamper RL, Lieberman MF, Drake MV. Becker-Shaffer’s Diagnosis and
Therapy of the Glaucomas. 8th Edition. Mosby Elsevier:2009;281-3
5. Teehasaenee C, Dorairaj S, Ritch R. Secondary Angle-Closure Glaucoma. Dalam:
Sharaawy TM, Sherwood MB, Hitching RA, CrowstonJG, editor. Glaucoma.
Edisi Kedua. London. Elsevier; 2014. Hlm 401-409.
6. Oluwatosin S. Managing Secondary Angle-Closure Glaucomas. London:
Elsevier; 2012. Hlm 46-8.
7. Johnson S. Cataract surgery in the glaucoma patient. Cataract Surg Glaucoma
Patient. 2009;1–248.
8. Law SK. Effects of combined cataract surgery and trabeculectomy with
mitomycin C on ocular dimensions. 2005;1021–5.
9. Fellman RL, Grover DS. Trabeculectomy. Dalam: Sharaawy TM, Sherwood MB,
Hitching RA, Crowston JG, editor. Glaucoma. Edisi Kedua. London: Elsevier;
2014. Hlm 749-80.
10. Mattox C. Trabeculectomy. Dalam: Yanoff M, Duker JS. Ophthalmology. Edisi
Keempat. London: Elsevier; 2014. Hlm 1146-51.
11. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Basic and clinical science course Section 12:
Retina and Vitreus. American Academy of Ophthalmology. San Fransisco: 2015.
12. Gregory-Evans K, Pennesi ME, Weleber RG. Retinitis Pigmentosa and Allied
Disorders. Dalam : Ryan SJ, Sadda SR, Hinton DR, Schachat AP , Wilkinson CP,
Wiedemann P, dkk. Retina. Philadelphia : Elsevier; 2011. hlm. 761-835.
13. Ko Y, Liu C, Hwang D, Chen T, Liu CJ. Increased Risk of Acute Angle Closure
in Retinitis Pigmentosa : A Population-Based Case-Control Study. 2014;9(9).

11

You might also like