Aplikasi Hipnosis Dalam Konseling: January 2016
Aplikasi Hipnosis Dalam Konseling: January 2016
net/publication/311515969
CITATIONS READS
0 7,184
1 author:
Ifdil Ifdil
Universitas Negeri Padang
139 PUBLICATIONS 454 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Ifdil Ifdil on 20 March 2017.
Abstract
The manuscript describes about hypnosis procedure in general and how hypnosis procedure
working in the counseling process (hypno-counseling). In fact there are counselors who
disagreed with hypnosis, even claimed that hypnosis contrary to the counseling, this argument
even claimed that counselors should not be to learn and master the hypnosis and even the
hypnotherapy. The manuscript trying to provide the meeting point, description of the use of
hypnosis in counseling procedures and recommends to the counselor to have the hypnosis
procedure well and properly, even utilizing hypnoterapi as one of the approaches that can be
used in the process help to overcome psychological problems experienced by client.
PENDAHULUAN
Istilah hipnosis masih asing di Indonesia, masyarakat lebih mengenal istilah hipnotis
dibandingkan hipnosis. Hipnosis mengacu kepada cara sedangkan hipnotis adalah orang yang
melakukan hipnosis. (Amalia, 2014; Wong & Hakim, 2009). Dengan demikian dapat dipahami
kalimat “orang itu kena hipnotis”merupakan kalimat yang salah, seharusnya “orang itu
dihipnosis oleh sang penghipnotis”. Istilah ini harusnya sudah mulai bergeser meskipun pada
dasarnya dalam beberapa tahun terakhir ini hipnosis perlahan namun pasti mulai menjadi ilmu
baru yang tenar di Indonesia. Mulai dari yang paling popular yaitu stage of hypnosis (hipnosis
panggung) yang muncul di televisi maupun hipnoterapi yang digunakan untuk terapi psikis
manusia.
126
Dari penelitian menemukan fakta bahwa sekitar >75% penyakit yang diderita individu
bersumber dari masalah mental dan emosi (Anggraini, 2014; Cohen & Herbert, 1996; Fell,
Pollitt, Sampson, & Wright, 1974; Nuryati, 2014) Namun kebanyakan pengobatan atau terapi
sulit menjangkau sumber masalah ini, yaitu pikiran bawah sadar. Saat seseorang pergi ke dokter,
yang diobati adalah gejalanya atau paling jauh akibat yang ditimbulkan, bukan sumber
masalahnya.
sekarang, beberapa ahli meyakini bahwa dalam kaitannya dengan keterhubungan fungsi
tubuh dan pikiran (mind body connection), dengan membimbing seseorang ke dalam kondisi
hipnosis memberikan kesempatan untuk memfungsikan pikiran bawah sadarnya mencari
permasalahannya sendiri terhadap gangguan tubuh atau penyakit yang dideritanya. Hal ini
diungkapkan oleh Muriel Prince Warren dalam bukunya yang berjudul Talking to the Amigdala:
Expanding the Science of Hypnosis (2009) dan mengacu pada pernyataan Dr. Davis Spiegel,
peneliti Stanford University, dalam kongres tahunan ke-54 The Society of Clinical and
Experimental Hypnosis tahun 2003. Spegel menyatakan bahwa meskipun masih belum diketahui
dengan jelas bagaimana keterkaitan hipnosis dengan mekanisme kerja otak, banyak contoh kasus
yang membuktikan bahwa hipnosis dapat membantu seseorang secara efektif dalam mengakses
segala macam sumber daya di bawah sadarnya untuk memecahkan masalah dirinya sendiri.
banyak keberhasilan dicapai oleh penerapan hipnosis ini, bahkan ketika obat-obatan modern
gagal mengatasinya.
Oleh karena itu hipnoterapi sangat efektif untuk mengatasi permasalahan yang bersifat
kejiwaan manusia karena proses hipnoterapi tidaklah lama dan tidak berteletele seperti terapi
yang lain. Proses praktik hipnoterapi hanya membutuhkan waktu dalam hitungan menit untuk
mengatasi masalah trauma dan fobia terhadap sesuatu.
Hipnosis adalah teknik untuk mem-ByPass atau memperkecil peran dari “Critical Area”,
sehingga informasi dapat lebih mudah memasuki Sub-Conscious (IBH, 2010), Critical area
disebut juga RAS (Reticular Activating System) adalah penampungan data sementara, dimana di
tempat inilah data akan diproses berdasarkan analisa, logika, pertimbangan etika, dll.
127
Berikut adalah gambar struktur RAS:
Gambar . 1 . Reticular Activating System (Svorad, 1957, Calabrò, Cacciola, Bramanti, &
Milardi, 2015)
Secara harfiah, kata hipnoterapi terdiri dari dua kata, yaitu hypno dari hipnotis dan terapi.
Keduanya memiliki makna yang utuh. Hipnotis awalnya dari neuro-hypnotism atau tidurnya
sistem saraf. Adapun secara istilah hipnotis adalah suatu keadaan yang muncul secara alami
dimana kesadaran seseorang menjadi lebih mudah untuk menerima sugesti dari luar.(Hakim,
2011) Keadaan hipnotis meningkatkan memori dan persepsi, serta bisa menjadi pemicu
penyembuhan, peningkatan kreatifitas dan perbaikan kualitas hidup lainnya. Kemudian terapi
adalah pengobatan.(Gunawan, 2009)
Jadi jika disimpulkan bahwa hipnoterapi secara harfiah adalah terapi dengan cara
hipnotis. Secara istilah hipnoterapi adalah terapi yang digunakan atau diterapkan kepada klien
dalam keadaan hipnosis. Banyak definisi mengenai hipnoterapi, karena setiap hipnoterapis
memiliki setidaknya satu definisi. Oleh karena itu hipnoterapi adalah sebuah terapi yang popoler
yang menggunakan hipnotis sebagai alat bantu yang utama.
SEJARAH HIPNOTERAPI
Pada dasarnya, perjalanan panjang kaidah keilmuan hipnosis mengalami kemajuan atas
dasar kemungkinan-kemungkinan pemanfaatannya untuk kegiatan penyembuhan. Menurut
sejarah, kegiatan hipnosis telah dikenal sejak tahun 2980 SM berdasarkan catatan kuno di Mesir
yang menuliskan adanya praktik penyembuhan dengan “terapi tidur” di kul-kuil Mesir yang
128
dilakukan oleh seorang penyembuh yang bernama imhotep. (Wong & Hakim, 2009), Awal
perkembangan hipnosis modern yang dipertimbangkan kaidah-kaidahnya oleh Franz Anton
Mesmer (173-1815) dalam kegiatan magnetisme pada abad ke-18 pun menitik beratkan
pemanfaatannya untuk penyembuhan manusia. Namun, hingga pada masa tersebut masih
terdapat kerancuan akan pemanfaatan kondisis “tidur” seperti ini sehubungan dengan praktik-
praktik penyembuhan, seperti apa saja yang mampu dilakukan dalam kondisi ini.
Setelah magnetisme yang diperkenalkan oleh Mehmer, beberapa ahli memanfaatkan
kondisis tidur untuk kegiatan anesthesia (penghilangan rasa nyeri atau sakit) dan penanganan
gangguan saraf, salah satunya dilakukan oleh John Elliotson (1791-1868), seorang doketr
berkebangsaan Inggris dan James Esdaile (1808-1859), dokter asal Skotlandia. Hingga atas jasa
Jean Martin Charcot (1825-1893), neurologh asal Prancis, hipnotisme mulai diterima di kalangan
profesional medis.
Saat itu, upaya Charcot dalam mengkaji lebih lanjut tentang fenomena hipnosis masih
bersandarkan pada keterkaitannya terhadap neurologis dan fisiolohis. Karena itulah banyak ahli
medis yang menganggap kondisi timbul sebagai kegiatan histeria yang terjadi karena gangguan
fisik atau somatis. Pemahaman ini tidak lama kemudian dikoreksi oleh Pierre Janet (1859-1947)
(LéBlanc, 2001; Putnam, 1989; Van der Kolk & Van der Hart, 1989) dan Sigmund Freud (1856-
1939) sebagai kajian psikologis yang tidak berkaitan dengan fisiologis. (Charcot, 2001; Freud,
1978)
James Braid adalah orang pertama yang mencoba menjelaskan fenomena mesmerisme
dari sudut pandang ilmu psikologi. Ia adalah seorang ahli bedah dan seorang penulis yang
produktif dan andal. Ia juga sangat dihormati oleh British Medical Associatian. Pada tahun 1841,
ia melakukan pemeriksaan medis pertama terhadap seorang subjek yang berada dalam kondisi
trance mesmerisme. Setelah pemeriksaan pertama, ia memulai eksperimen pribadi dan
melibatkan rekan kerja yang ia percaya. Dari hasil penelitian yang ia lakukan, akhirnya
hipnoterapi dapat dijelaskan dalam kerangka ilmiah dan diterima sebagai suatu teknik
pengobatan oleh dunia kedokteran Inggris. Dengan demikian, Braid dipandang sebagai “Bapak
hipnoterapi”.(Gunawan, 2005; Khoiriyah, 2013; Wong & Hakim, 2009)
Di abad 20 Milton H. Erickson (1901-1980), mengembangkan hipnosis untuk dunia
terapi. Dimana Eriskson memanfaatkan hipnosis ini untuk digunakan dalam menterapi seseorang
yang memiliki masalah psikis. Banyak korban psikis pasca perang dunia ke II yang berhasil
129
diselamatkan oleh Erickson. Metode yang digunakan oleh Erickson inilah yang kemudian sering
disebut dengan Ericksonian Hypnotherapy. Metode Erickson inilah yang menandai era
Hipnoterapi modern (Gilligan, 2013; IBH, 2010; Peter, 2005; Zeig & Rennick, 1991)
Di tahun 1973, dari Santa Cruz, dua orang ilmuwan bernama Richard Bandler dan
Professor John Grinder, mengembangkan sebuah ilmu komunikasi yang diturunkan dari
Hipnosis. Ilmu ini selanjutnya dikenal sebagai Neuro Linguistic Programming yang biasa
dikenal dengan NLP. Dengan NLP, ternyata Bandler dan Grinder tidak saja memperbesar
keampuhan hipnoterapi dalam keadaan tidur semata bahkan mengikuti jejak gurunya Erickson,
NLP mampu mempercepat pemulihan trauma dalam keadaan sadar dan dalam tempo yang
sangat singkat.
Selama perang dunia II, hipnosis menjadi alternatif pengobatan bagi para korban perang
yang meliputi mengurangi rasa sakit, mengobati gangguan kecemasan (neurosis), dan
pengalaman yang traumati yang mengganggu. Dari kegiatan inilah hipnosis menjadi sebuah
alternatif penanganan gangguan psikis yang cukup populer. Hingga kahirnya, setelah perang
dunia II, hipnosis untuk kegiatan terapi diakui secara berturut-turut oleh lembaga medis dan
psikologi di negara Inggris dan Amerika serikat. Pada tahu 1955 diakui penggunaannya oleh
British Medical Association (AMA), dan 1960 oleh American Psyichological Association
(APA).
Untuk memahami Hypnosis atau Hypnotherapy secara mudah dan benar, sebelumnya
kita harus memahami bahwa aktivitas pikiran manusia secara sederhana dikelompokkan dalam 4
wilayah yang dikenal dengan istilah Brainwave, yaitu : Beta, Alpha, Theta, dan Delta (IBH,
2010)
1. Beta adalah kondisi pikiran pada saat sesorang sangat aktif dan waspada. Kondisi ini
adalah kondisi umum ketika seseorang tengah beraktivitas normal. Frekuensi pikiran
pada kondisi ini sekitar 14 – 24 Cps (diukur dengan perangkat EEG).
2. Alpha adalah kondisi ketika seseorang tengah fokus pada suatu hal (belajar, mengerjakan
suatu kegiatan teknis, menonton televisi), atau pada saat seseorang dalam kondisi
relaksasi. Frekuensi pikiran pada kondisi ini sekitar 7 – 14 Cps.
130
3. Theta adalah kondisi relaksasi yang sangat ekstrim, sehingga seakan-akan yang
bersangkutan merasa “tertidur”, kondisi ini seperti halnya pada saat seseorang melakukan
meditasi yang sangat dalam. Theta juga gelombang pikiran ketika seseorang tertidur
dengan bermimpi, atau kondisi REM (Rapid Eye Movement). Frekuensi pikiran pada
kondisi ini sekitar 3.5 – 7 Cps
4. Delta adalah kondisi tidur normal (tanpa mimpi). Frekuensi pikiran pada kondisi ini
sekitar 0.5 – 3.5 Cps.
Kondisi Hypnosis sangat mirip dengan kondisi gelombang pikiran Alpha dan Theta.
Yang sangat menarik, bahwa kondisi Beta, Alpha, dan Theta, merupakan kondisi umum yang
berlangsung secara bergantian dalam diri kita. Suatu saat kita di kondisi Beta, kemudian sekian
detik kita berpindah ke Alpha, sekian detik berpindah ke Theta, dan kembali lagi ke Beta, dan
seterusnya.
Orang yang dihipnosis sebenarnya tidak dalam keadaan tidur dalam pemahaman yang
sesungguhnya. Walaupun menggunakan perintah berupa kata 'tidur', kata itu tidak membuat
klien tidur sesungguhnya. klien tetap dalam keadaan sadar, serta mampu mengobservasi
perilakunya selama dalam keadaan hipnosis. Ia menyadari segala sesuatu yang diperintahkan
serta dapat menolak sesuatu yang bertentangan dengan keinginan atau norma-norma umum.
Selain itu, sebelum proses ini dilakukan, telah ada kesepakatan antara klien dengan terapis untuk
melakukan hipnoterapi. (IBH, 2010).
Melakukan hipnoterapi terhadap klien sama halnya dengan melakukan terapi lainnya.
klien harus tahu persis mengapa diperlukan bantuan hipnotis dalam terapinya, serta keunggulan
apa yang didapatkan dibandingkan model terapi lainnya. Proses hipnoterapi juga harus dilakukan
dengan jelas, terbuka, dan tanpa paksaan.
Terapis sebagai fasilitator dan klien sebagai subjek perlu menjalani kerjasama yang
baik sebelum proses hipnotis dimulai. Pemahaman pasien akan masksud dan tujuan hipnoterapi
merupakan kunci efektifitas terapi. Karena itu diperlukan informasi yang jelas dan pemahaman
131
yang sama. Hal ini bertujuan agar persepsi yang terbentuk dalam tingkat sadar sejalan dengan
persepsi bawah sadar.
Secara konvensional, Hipnotherapi dapat diterapkan kepada klien yang memenuhi
persyaratan dasar, yaitu : (1). Bersedia dengan sukarela (2). Memiliki kemampuan untuk fokus
(3). Memahami komunikasi verbal. (Gunawan, 2009; IBH, 2010)
TAHAPAN HIPNOTERAPI
Prosedur hipnoterapi sedikit berbeda dengan hipnotis panggung. (Wong & Hakim, 2009).
Perbedaan terletak pada prosedurnya, dan yang paling penting bahwa dalam proses hipnoterapi
adalah mengantarkan klien pada kondisi hipnosis, dan ini tidak selalu identik dengan “tidur”
yaitu kondisi berkurang efektifitasnya Critical Area. (IBH, 2010). Pada kasus sederhana klien
bisa dibantu dalam kondisi mata masih terbuka dan bahkan mata tertutup.
Persepsi yang salah selama ini adalah bahwa ketika dihipnosis maka klien akan hilang
kesadaran dan tidak mampu mengelola dan mengendalikan diri. Justru dalam proses hipnoterapi
clien center therapy dimana kesuksesan proses ditentukan oleh klien. (IBH. 2010)
Lebih lanjut adapun prosedur proses tahapan hipnoterapi dimulai dari Pre-Iduction,
Suggestibility Test , Induction, Deepening, Therapeutic Procedure, Termination (Gunawan,
2007, 2009; Heap, 2012; Hunter & Eimer, 2012) lebih lanjut akan dijelaskan sebagai berikut:
132
Hipnoterapis juga akan membangun penghargaan mental klien terhadap masalah yang
dihadapinya (building mental expectancy).
2. Suggestibility Test
Maksud dan uji sugestibilitas adalah untuk menentukan apakah klien termasuk ke dalam
orang yang mudah menerima sugesti atau tidak. Selain itu, uji sugestibilitas juga berfungsi
sebagai pemanasan dan juga untuk menghilangkan rasa takut terhadap proses hipnoterapi, uji
sugestibilitas juga membantu hipnoterapis untuk menentukan teknik induksi yang terbaik
bagi sang klien.
3. Induction
Induksi adalah cara yang digunakan oleh seorang hipnoterapis untuk membawa pikiran
klien berpindah dari pikiran sadar ke pikiran bawah sadar, dengan menembus apa yang
dikenal dengan critical area.
Saat tubuh rileks, pikiran juga menjadi rileks maka frekuensi gelombang otak dari klien
akan turun dari beta, alfa, kemudian theta. Semakin turun gelombang otak, klien akan
semakin rileks, sehingga berada dalam kondisi trance. Inilah yang dinamakan kondisi ter-
hipnotis. Hipnoterapis akan mengetahui kedalaman trance klien dengan melakukan depth
level test (tingkat kedalaman trance klien).
5. Therapeutic Procedure
Selanjutnya hipnoterapis akan memberikan Berbagai teknik HypnoTherapeutic yang
sesuai dengan permasalahan dan kondisi Client. (IBH, 2010)
Pada saat klien masih berada dalam kondsi trance, hipnoterapis juga akan memberi post
hypnotic suggestion, sugesti yang diberikan kepada klien pada saat proses hipnotis masih
berlangsung dan diharapkan terekam terus oleh pikiran bawah sadar klien meskipun klien
133
telah keluar dari proses hipnotis. Post hypnotic suggestion adalah salah satu unsur terpenting
dalam proses hipnoterapi.
6. Termination
Akhirnya dengan teknik yang tepat, hipnoterapis secara perlahan-lahan akan
membangunkan klien dari “tidur” hipnotisnya dan membawanya ke keadaan yang
sepenuhnya sadar.
Hipnoterapi dan Pemanfaatannya
134
pemeliharaan keseimbangan organ tubuh. Ini karena sara takut, perasaan cemas, dan hal-hal jenis
sejenisnya merupakan faktor utama yang memengaruhi kinerja sistem otonom (automatic
nervous system). Kenyataan ini berkaitan dengan mekanisme lawan (fight) atau lari (flight) yang
dilakukan oleh fungsi saraf otonom tersebut (melalui fungsi saraf simpatis dan parasimpatis),
yang berpengaruh terhadap fungsi pupil mata, saluran nafas, jantung, kelenjar ludah, lambung,
dan organ seksual.
Pendapat lebih lanjut dikemukakan dalam buku Hypnosis and Counseling in the
Treatment of Chronic Illness (2003) yang dirtulis D. Frank dan B. Mooney. Mereka menyatakan
bahwa dalam kondisi hipnosis, fungsi amigdala menjadi non-aktif dan menyebabkan sistem saraf
otomatis (automatic nervous system) menjadi lebih relaks. Hal ini memberikan kesempatan
kepada tubuh dan sistem kekebalannya untuk mengatur kembali bagian-bagian tubuh sehingga
menjadikannya lebih sehat. Fungsi amigdala juga memberikan pengaruh besar terhadap sistem
endoktrin, termasuk kelenjar adrenalin dan kelenjar lendir (pituitari) yang mengatur kegiatan
hormon tubuh dan sistem saraf otomatis melakukan fungsi kontrol terhadap detak jantung dan
tekanan darah. Oleh karena itu, hipnosis sangat bermanfaat pula untuk dimanfaatkan dalam
kegiatan perlakuan medis terhadap gangguan penyakit kronis (chronic pain).
Kini, beberapa ahli meyakini bahwa dalam kaitannya dengan keterhubungan fungsi tubuh
dan pikiran (mind body connection), dengan membimbing seseorang ke dalam kondisi hipnosis
memberikan kesempatan untuk memfungsikan pikiran bawah sadarnya mencari
permasalahannya sendiri terhadap gangguan tubuh atau penyakit yang dideritanya. Hal ini
diungkapkan oleh Muriel Prince Warren dalam bukunya yang berjudul Talking to the Amigdala:
Expanding the Science of Hypnosis (2009) dan mengacu pada pernyataan Dr. Davis Spiegel,
peneliti Stanford University, dalam kongres tahunan ke-54 The Society of Clinical and
Experimental Hypnosis tahun 2003. Spegel menyatakan bahwa meskipun masih belum diketahui
dengan jelas bagaimana keterkaitan hipnosis dengan mekanisme kerja otak, banyak contoh kasus
yang membuktikan bahwa hipnosis dapat membantu seseorang secara efektif dalam mengakses
segala macam sumber daya di bawah sadarnya untuk memecahkan masalah dirinya sendiri.
banyak keberhasilan dicapai oleh penerapan hipnosis ini, bahkan ketika obat-obatan modern
gagal mengatasinya.
135
HIPNOSIS DALAM COUNSELING
Dalam perkembangan konseling di Indonesi masih banyak konselor yang “anti” dengan
hipnosis bahkan menyatakan bahwa hipnosis bertentangan dengan konseling, pandangan ini
bahkan menyatakan bahwa konselor tidak boleh untuk belajar dan menguasi hipnosis dan bahkan
juga hipnoterapi. Pandangan ini terlalu sepihak dan datangnya dari kalangan yang sebelumnya
melihat hipnosis seperti apa yang ada tayangan TV dan berpandangan bahwa hipnosis adalah
kondisi hilangnya kesadaran.
136
Justru sebenarnya orang yang dihipnosis sebenarnya tidak dalam keadaan tidur dalam
pemahaman yang sesungguhnya (hilang kesadaran). Walaupun menggunakan perintah berupa
kata 'tidur', kata itu tidak membuat klien tidur sesungguhnya. klien tetap dalam keadaan sadar,
serta mampu mengobservasi perilakunya selama dalam keadaan hipnotis. Ia menyadari segala
sesuatu yang diperintahkan serta dapat menolak sesuatu yang bertentangan dengan keinginan
atau norma-norma umum. Bahkan hipnosis tidak selalu identik dengan tidur, dalam kondisi
membuka mata sekalipun individu bisa dalam kondisi hipnos (hypnosis state) (IBH, 2010).
Dalam naskah ini penulis mencoba untuk memberikan titik temu antara konseling dan
hipnosis. Sebagaimana kita pahami bahwa hipnosis adalah teknik untuk mem-ByPass atau
memperkecil peran dari “Critical Area”, sehingga informasi dapat lebih mudah memasuki Sub-
Conscious (IBH, 2010), justru secara prosedur konseling memerlukan kondisi ini dimana disebut
juga hypnosis state yaitu salah satu kondisi kesadaran (State of Conscious-ness), dimana dalam
kondisi ini manusia lebih mudah menerima saran (informasi). Lebih lanjut dalam proses
konseling sendiri hypnosis state contohnya adalah istilah kontak psikologis, dimana terjadi
hubungan psikologis antara konselor dengan klien, kontak psikologis ini hanya bisa tercipta jika
kondisi konseling dalam kondisi hipnos (hypnosis state) dimana tidak ada kritikal area klien,
klien menerima, mau dan setuju dengan kondisi yang tercipta.
Pemanfaatan hipnosis dalam konseling lebih dikenal dengan istilah Hypnocounseling
(Gunnison, 1990). Lebih lanjut hypnocounseling mengacu pada penggunaan pola bahasa
hipnosis dan kondisi hipnosis dalam hubungan konseling (Gunnison, 1985; Rogers, 1985)
sebagai tambahan dan dukungan dari pendekatan utama dan metode konselor dalam konseling
(Gestalt,cognitive behavioral, TA, reality, rational emotive (RET), or the brief-systemic therapies
etc). Sehingga Hypnocounseling dapat berfungsi sebagai salah satu teknik eklektik dalam
konseling.
Lebih lanjut beberapa teknik yang digunakan konselor dalam proses konseling merupakan
salah satu teknik hipnoterapi, seperti kursi kosong dalam hipnoterpi dikenal dengan Chair
Therapy; rileksasi yang dalam hipnoterapi dikenal dengan Extended Progressive Relaxation ;
dan teknik desensitisasi (IBH. 2010), Ini berarti bahwa sebenarnya dalam konseling konselor
telah menggunakan beberapa teknik hipnosis. Sehingga pemahaman tidak sadar atau diluar
kesadaran yang dipahami selama ini tidaklah benar karena sesungguhnya proses sesi hipnosis
137
salah satunya persis seperti apa yang dialami saat melakukan rileksasi dalam konseling artinya
masih dalam batas kesadaran.
Untuk meningkatkan pelayanan maka konselor memerlukan ketrampilan hipnosis yang bisa
dijadikan salah satu ketrampilan yang perlu dikuasai sehingga proses konseling dapat dilakukan
lebih baik lagi dan lebih kaya lagi untuk mengentaskan permasalahan klien yang semakin
komplek. Tidak hanya hipnosis justru ketrampilan psikoterapi lainnya dapat memperkaya
pengetetahuan dan ketrampilan konselor.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Adiyanto. 2007, Hipnosis penurunan rasa nyeri Pengamatan Efek Hypnosis Pada Otak Melalui
Brain Imaging
Amalia, T. Z. 2014. Spiritual Confidence Enhancing A Pedagogical Approach. EDUKASIA,
10(1).
Anggraini, R. 2014. Pengaruh intensitas mengikuti bimbingan keagamaan Islam terhadap
kesehatan mental penghuni LP Klas II A Wanita Semarang. UIN Walisongo.
138
Charcot, J.-M. 2001. La fe que cura. Revista de la Asociación Española de Neuropsiquiatría,
21(77): 99-111.
Cohen, S., & Herbert, T. B. 1996. Health psychology: Psychological factors and physical disease
from the perspective of human psychoneuroimmunology. Annual review of psychology,
47(1): 113-142.
Calabrò, R. S., Cacciola, A., Bramanti, P., & Milardi, D. (2015). Neural correlates of
consciousness: what we know and what we have to learn! Nceurological Sciences, 1-9.
Fell, V., Pollitt, R. J., Sampson, G. A., & Wright, T. 1974. Ornithinemia, hyperammonemia, and
homocitrullinuria: a disease associated with mental retardation and possibly caused by
defective mitochondrial transport. American Journal of Diseases of Children, 127(5):
752-756.
Freud, S. 1978. Charcot (1893). The standard edition of the complete psychological works of
Sigmund Freud.
Gilligan, S. G. 2013. Therapeutic trances: The co-operation principle in Ericksonian
hypnotherapy: Routledge.
Gunawan, A. W. 2005. Hypnosis: the art of subconscious communication: meraih sukses dengan
kekuatan pikiran: Gramedia Pustaka Utama.
Gunawan, A. W. 2007. The Secret of Mindset: Gramedia Pustaka Utama.
Gunawan, A. W. 2009. Hypnotherapy The Art of Subconscious Restructuring: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Gunnison, H. 1985. The uniqueness of similarities: parallels of Milton H. Erickson and Carl
Rogers. Journal of Counseling & Development, 63(9): 561-564.
Gunnison, H. 1990. Hypnocounseling: Ericksonian hypnosis for counselors. Journal of
Counseling & Development, 68(4): 450-453.
Hakim, A. 2011. Dahsyatnya Pikiran Bawah Sadar: VisiMedia.
Heap, M. 2012. 2 Role and uses of hypnosis in psychological treatment. Hypnotherapy: A
Handbook: A handbook: 22.
Hunter, C. R., & Eimer, B. 2012. The art of hypnotic regression therapy: A clinical guide:
Crown House Publishing.
IBH. 2010. Modul Fundamental Hipnoterapi Workshop. Jakarta: The Indonesian Board of
Hypnotherapy (IBH).
139
Khoiriyah, M. 2013. Tinjauan hukum Islam terhadap hipnosis forensik sebagai metode
pembuktian dalam tindak pidana. IAIN Walisongo.
LéBlanc, A. 2001. The origins of the concept of dissociation: Paul Janet, his nephew Pierre, and
the problem of post-hypnotic suggestion. History of Science, 39: 57-69.
Mohd Tajudin Ninggal. 2015. Empowering Gen-Y through Creativity in Counseling . Padang,
Paper presented at International Counseling Seminar 2015.
Van der Kolk, B. A., & Van der Hart, O. 1989. Pierre Janet and the Breakdown of Adaptation.
Am J Psychiatry, 146(12): 1S30-31S40.
Wong, W., & Hakim, A. 2009. Dahsyatnya Hipnosis: VisiMedia.
Zeig, J. K., & Rennick, P. J. 1991. Ericksonian hypnotherapy: A communications approach to
hypnosis.
140