0% found this document useful (0 votes)
64 views

Bacillus Cereus Terhadap Suhu Awal Preparasi

Uploaded by

Ran Whyranti
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
64 views

Bacillus Cereus Terhadap Suhu Awal Preparasi

Uploaded by

Ran Whyranti
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 95

KETAHANAN SPORA DAN SEL VEGETATIF

Bacillus cereus TERHADAP SUHU AWAL PREPARASI


DAN SELAMA PENYIMPANAN MAKANAN
PENDAMPING ASI BUBUK INSTAN

ASI PEBRINA CICILIA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Ketahanan Spora dan Sel
Vegetatif Bacillus cereus Terhadap Suhu Awal Preparasi dan Selama
Penyimpanan Makanan Pendamping ASI Bubuk Instan adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2012

Asi Pebrina Cicilia


NIM F251080161
ABSTRACT

ASI PEBRINA CICILIA. Survival of Bacillus cereus spores and vegetative cell
on water temperature during the preparation and storage of infant food instan
powder. Under direction of HARSI D. KUSUMANINGRUM, and
SULIANTARI.

Bacillus cereus is one of foodborne pathogenic bacteria and constituting


one of ‘emerging’ pathogen that can cause serious disease in baby, such as low
body weight and neonatal premature. Data in Indonesia on B. cereus
contamination incidence in food are limited. This research aimed to evaluate the
survival of B. cereus spores and vegetative cell in infant food (MP-ASI), during
preparation at various water temperature (30,70, and 90 oC), to analyze the ability
germination of B. cereus spores at room temperature and to evaluate the survival
of B. cereus spores during storage of infant food instan powder. In addition, the
microbiological quality of infant food instan powder i.e. total plate counts and the
presence of B. cereus were also determined. The result showed that the average
total B. cereus in sample were 1.85 log CFU /g with a range of 1.73 log CFU /g to
2.06 log CFU /g, the TPC was in range of 0.86 log CFU /g to 2.53 log CFU /g.
The water temperature for preparation affected significantly in reduction of
vegetative cell B. cereus. B. cereus spores can germinate in infant food (MP-ASI)
and the growth of population bacteria were increase ≥ 1 log during 3 hours, at
room temperature (28-29 oC), after preparation using water at 30 ⁰C. Water
temperature of 70 °C found as the optimum temperature for preparation. The
spore of B. cereus can survive on dry condition.

Keyword: Bacillus cereus, MP-ASI (Instan powder), preparation temperatures,


condition of storage.
RINGKASAN

ASI PEBRINA CICILIA. Ketahanan Spora dan Sel Vegetatif Bacillus cereus
Terhadap Suhu Awal Preparasi dan Selama Penyimpanan Makanan Pendamping
ASI Bubuk Instan. Dibimbing oleh HARSI D. KUSUMANINGRUM dan
SULIANTARI.

Bacillus cereus merupakan salah satu bakteri patogen penyebab penyakit


karena makanan (foodborne diseases). Bakteri ini umumnya ditemukan didalam
tanah, material tanaman, jerami kering, makanan mentah dan matang, serta
mampu membentuk enterotoksin komplek. Spesies Bacillus spp. memiliki
kemampuan membentuk spora yang dorman secara metabolik, yang secara
ekstrim resisten terhadap stress lingkungan, seperti panas, radiasi, dan bahan
kimia toksik. Kondisi yang resisten menyebabkan spora spesies ini secara
signifikan berperan sebagai agen pembusuk makanan dan penyebab penyakit
gastrointestinal akibat pangan.
Produk MP-ASI yang beredar di Indonesia sangat beragam, baik buatan
dalam negeri maupun luar negeri. Ada yang berbentuk biskuit, bubuk instan dan
makanan siap untuk disantap dengan mutu yang beragam. Berdasarkan SNI No.
01-7111 Tahun 2005 Makanan Pendamping ASI terbagi menjadi 4 kelompok
besar, yaitu : MP-ASI Biskuit, MP-ASI Bubuk Instan, MP-ASI Siap Santap dan
MP-ASI Siap Masak.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengkaji ketahanan spora Bacillus
cereus dan pertumbuhan sel vegetatif Bacillus cereus dalam MP-ASI bubuk
instan, menganalisis pengaruh suhu air matang preparasi dan pengaruh lamanya
penyimpanan MP-ASI bubuk instan terhadap kemampuan bertahan dan tumbuh
spora Bacillus cereus. Selain itu, ada tujuan lain dari penelitian ini yaitu
mengetahui kualitas mikrobiologi MP-ASI bubuk instan secara keseluruhan
melalui pengujian total mikroba, mendeteksi dan mengevaluasi keberadaan
Bacillus cereus dalam MP-ASI bubuk instan.
Total mikroba dengan perlakuan pelarutan MP-ASI menggunakan suhu air
preparasi 30⁰C menunjukkan rata-rata sebesar 1.93 CFU/g ± 0.66, dengan suhu air
preparasi 70⁰C sebesar 1.54 CFU/g ± 0.92, dan pelarutan MP-ASI menggunakan
suhu air 90⁰C menghasilkan rata-rata sebesar 1.47 CFU/g ± 0.86. Pada perlakuan
pelarutan MP-ASI dengan suhu air preparasi 70⁰C dan 90⁰C, dari 6 sampel yang
dianalisa terdapat 1 sampel yang tidak mengandung mikroba yaitu untuk sampel
CR II, sedangkan pada perlakuan pelarutan MP-ASI menggunakan suhu air
preparasi 30⁰C pada 6 sampel yang dianalisis tersebut ditemukan sejumlah
mikroba dengan bentuk dan ukuran yang beragam. Hal ini mengindikasikan
bahwa suhu air preparasi yang digunakan untuk pelarutan MP-ASI memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap keberadaan dan jumlah mikroba yang terdapat
pada MP-ASI bubuk Instan tersebut.
Berdasarkan data yang diperoleh untuk mengurangi atau meminimalisasi
sebagian mikroba yang ada didalam produk MP-ASI, disarankan menggunakan
air matang dengan suhu 70⁰C, hal ini sesuai dengan saran penyajian yang tertera
pada kemasan produk dan sesuai juga dengan WHO yang menyatakan bahwa
penggunaan air matang suhu 70⁰C untuk melarutkan susu formula dapat menekan
kontaminan E. sakazakii hingga 4 log.
Hasil analisis cemaran Bacillus cereus menunjukkan bahwa ada 2 sampel
MP-ASI yang tidak mengandung Bacillus cereus yaitu CR I dan CR II.
Kandungan Bacillus cereus pada MP-ASI bervariasi mulai dari 1.73 log CFU/g
sampai 2.06 log CFU/g. Berdasarkan ketentuan FSANZ (2001), kandungan
Bacillus cereus untuk produk susu formula dan makanan bayi yang berbahan susu
maksimal sebesar 2 log CFU/g produk. Jika dilihat dari ketentuan tersebut maka
Bacillus cereus yang ada pada produk MP-ASI yang diteliti masih dalam batas
wajar dan dapat dikatakan aman untuk dikonsumsi dan didistribusikan.
MP-ASI yang dilarutkan dengan suhu air preparasi 30⁰C, menunjukkan
kecenderungan peningkatan jumlah sel Bacillus cereus dari 2.14 menjadi 2.2 log
cfu/g setelah dibiarkan pada suhu ruang selama 60 menit. Kecenderungan
peningkatan jumlah sel Bacillus cereus tersebut juga ditemukan pada MP-ASI
yang dilarutkan dengan air matang suhu 70⁰C dan suhu 90⁰C. Pengamatan ini
dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh lamanya penyimpanan larutan
MP-ASI pada suhu ruang terhadap pertumbuhan sel vegetatif Bacillus cereus,
setelah dilakukan proses preparasi.
Perubahan jumlah bakteri terutama sel vegetatif Bacillus cereus setelah
pelarutan MP-ASI meningkat secara nyata (α< 0.05). Uji Duncan menunjukkan
bahwa perlakuan suhu air 30⁰C yang digunakan saat preparasi menghasilkan
jumlah log cfu/g paling besar dan berbeda nyata dengan perlakuan suhu air 70⁰C
dan perlakuan suhu air 90⁰C. Perlakuan suhu air berbeda nyata dengan waktu
pengamatan, dimana pada menit ke-60 jumlah koloni yang diperoleh tinggi dan
berbeda nyata dengan menit ke-0 dan menit ke-30. Spora mampu melakukan
proses germinasi (spora berubah menjadi sel vegetatif) setelah diberi perlakuan
suhu air yang berbeda dengan waktu generasi yang berbeda.
Jumlah bakteri Bacillus cereus mengalami peningkatan berbeda nayata
selama penyimpanan (α<0.05). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan,
ternyata spora Bacillus cereus mampu bertahan dan tumbuh selama proses
penyimpanan berlangsung. Spora Bacillus cereus mampu melakukan proses
germinasi selama proses penyimpanan (8 minggu), pada suhu ruang (± 27⁰C)
dengan kelembaban ruang sebesar > 70%. Spora tersebut mampu bertahan
terhadap suhu air 70⁰C yang digunakan saat preparasi produk MP-ASI dan dapat
bergerminasi menjadi sel vegetatif Bacillus cereus.

Kata kunci : Bacillus cereus, MP-ASI (bubuk Instan), suhu air preparasi, kondisi
penyimpanan.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KETAHANAN SPORA DAN SEL VEGETATIF
Bacillus cereus TERHADAP SUHU AWAL PREPARASI
DAN SELAMA PENYIMPANAN MAKANAN
PENDAMPING ASI BUBUK INSTAN

ASI PEBRINA CICILIA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP, DEA
Judul Tesis : Ketahanan Spora dan Sel Vegetatif Bacillus Cereus
Terhadap Suhu Awal Preparasi dan Selama
Penyimpanan Makanan Pendamping Asi Bubuk Instan
Nama : Asi Pebrina Cicilia
NIM : F251080161

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum, M.Sc Dr. Dra. Suliantari, MS.


Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr.Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian :14 Desember 2011 Tanggal Lulus :


PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat penulis selesaikan. Rangkaian
kegiatan penelitian dan penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah
Pascasarjana IPB.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada:
1. Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum, M.Sc. selaku ketua komisi
pembimbing dan Dr. Suliantari, MS. selaku anggota komisi pembimbing
yang telah memberikan bimbingan, kritik, saran, dan motivasi selama
pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.
2. Dr. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. selaku ketua Program Studi Ilmu Pangan
yang telah memberikan bimbingan dan motivasi selama mengikuti
perkuliahan di Program Studi Ilmu Pangan.
3. Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP, DEA sebagai dosen penguji luar komisi
pada ujian tesis yang telah memberikan, komentar, kritik dan saran yang
berharga sebagai bentuk lain dari pembimbingan untuk kesempurnaan tesis
ini.
4. Ayahanda Drs. Djanius Runting, M.Si, ibunda Dra. Aqsiwa Sandy, dan
Andrie Santoso Runting, SP atas motivasi, semangat, doa dan kasih sayang
yang selalu diberikan kepada penulis dalam suka dan duka.
5. Yulius Triadi Limandra, ST atas perhatian, motivasi dan kasih sayang yang
tulus terhadap penulis.
6. Staf laboratorium Southeast Asia Food and Agricultural Science and
Technology Center (SEAFAST Center) IPB: Mbak Ari, Bu Sari, Pak Taufik
dan Mas Yerris atas bantuannya selama pelaksanaan penelitian.
7. Teman-teman seperjuangan di Program Studi Ilmu Pangan, khususnya
sahabat-sahabat saya: Bu Triana, Bu Nurha, Bu Paini Sri, Mas Andi, Mas
Zaki, Mas Wahyu, Mas Arief, Mas Isak, Mbak Devy, Mbak Yenni, Mas
Zaim, Nono, Wanny Hamdani, Melina Sari, Tinna dan Riyanti.
8. Teman-teman perwira 4, khususnya sahabat-sahabat saya: Bude Endah, Mbak
Prima, Kani, Marika Veraria, Mbak Dian, Mbak Dani, dan Risa.
9. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu atas dukungan dan
doanya selama ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas budi baik Bapak/Ibu/Saudara/i
semuanya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2012

Asi Pebrina Cicilia


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palangka Raya pada tanggal 3 Pebruari 1985 sebagai


anak ke dua dari ayah Djanius Runting dan ibu Aqsiwa Sandy. Penulis lulus dari
SMU Negeri 1 Palangkaraya pada tahun 2002 dan melanjutkan pendidikan sarjana
di Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan, Universitas Brawijaya
Malang, dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2008, penulis mendapatkan
kesempatan untuk melanjutkan pendidikan magister sains di Program Studi Ilmu
Pangan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti kepanitiaan dalam
kegiatan yang diselenggarakan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia
(PATPI), dan beberapa kali mengikuti berbagai kegiatan ilmiah dan seminar yang
berkaitan dengan studi penulis. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Master Sains, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Ketahanan Spora
dan Sel Vegetatif Bacillus Cereus Terhadap Suhu Awal Preparasi dan
Selama Penyimpanan Makanan Pendamping Asi Bubuk Instan” dibawah
bimbingan Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum, M.Sc dan Dr. Suliantari, MS.
DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR TABEL ………………………………………………………... x


DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….. xi
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………... xii
PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
Latar Belakang ..................................................................................... 1
Rumusan Permasalahan ....................................................................... 4
Tujuan Penelitian ……………………………………………………. 5
Hipotesis …………………………………………………………….. 5
Manfaat Penelitian …………………………………………………... 6

TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 7
Makanan Pendamping ASI .................................................................... 7
Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI ......................................... 9
Jenis dan Bentuk Makanan Pendamping ASI ....................................... 11
Bacillus cereus ……………………………......................................... 14
Kasus Cemaran Bacillus cereus pada Makanan Bayi ………………... 22
Fitting Model Pertumbuhan ………………………………………….. 22

METODOLOGI………............................................................................... 24
Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................... 24
Bahan dan Alat Penelitian ………………………………………….. 25
Metodologi .……................................................................................... 25
Isolasi Bacillus cereus dan Analisis Total Mikroba pada Sampel
Makanan Pendamping ASI……………………………………….. 26
Evaluasi Pengaruh Suhu Preparasi dan Penyimpanan MP-ASI (bubuk
instan) terhadap Bacillus cereus ATCC 10876……………………….. 31
Analisis pendugaan pertumbuhan Bacillus cereus pada produk MP-
ASI dengan menggunakan model Baranyi…………………………… 33
Analisa Data…………………………………………………………... 34

PEMBAHASAN ………............................................................................. 35
Total Mikroba pada Sampel Produk MP-ASI ……………………….. 35
Pengaruh Suhu Air Preparasi terhadap Total Mikroba pada Sampel
Produk MP-ASI………………………………………………………. 37
Kandungan Bacillus cereus pada Sampel Produk MP-ASI ………… 40
Pengaruh Suhu Air yang Digunakan Saat Preparasi MP-ASI
terhadap sel vegetatif Bacillus cereus …………………………… 49
Pengaruh Suhu Air yang Digunakan Saat Preparasi MP-ASI terhadap
sel vegetatif Bacillus cereus ATCC 10867 ………………………….. 54
Pengaruh Penyimpanan MP-ASI (bubuk Instan) terhadap spora
Bacillus cereus ATCC 10867 ……………………………………….. 57
SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………. 61
Simpulan …………………………………………………………….. 61
Saran …………………………………………………………………. 62

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………... 63
DAFTAR TABEL

Halaman
1. Pola Pemberian Makanan Anak Balita …………………………………. 10
2. Jenis dan Bentuk MP-ASI yang Pertama Kali Diberikan ……………… 11
3. Standar Mikrobiologik Dalam Peraturan di Beberapa Negara/Lembaga
yang Berhubungan Dengan Susu Formula dan Makanan Bayi
(dalam CFU) …………………………………………………………… 13
4. Kondisi yang Diperlukan Bagi Pertumbuhan Bacillus cereus …………. 14
5. Karakteristik Penting dari Group Species Bacillus cereus ……………... 17
6. Karakteristik penyakit akibat Bacillus cereus ………………………….. 21
7. Kadar air dalam persen dan Aw produk MP-ASI……………………….. 37
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Penampakan Bacillus cereus pada media MYP …………………........... 15
2. Diagram alir proses penelitian ………………………………………….. 26
3. Metode Tuang (Pour Plate Method) pada Metode Hitungan Cawan
(Plate Count Method) …………………………………………………... 28
4. Skema Pengujian Sampel terhadap Bacillus cereus ATCC ..…………... 30
5. Total mikroba produk MP-ASI setelah preparasi dengan menggunakan
suhu air preparasi 30oC, dilakukan sebanyak 3 kali
ulangan…………………………………………………………………... 35
6. Total Mikroba produk MP-ASI, setelah preparasi dengan 2 (70°C dan
90°C), suhu yang berbeda dilakukan sebanyak 3 kali ulangan………..... 38
7. Berbagai bentuk dan ukuran koloni pada media PCA ………………….. 38
8. Pertumbuhan isolate Bacillus cereus dari MP-ASI pada media agar
MYP……………………………………………………………………... 41
9. Jumlah koloni Bacillus cereus pada produk MP-ASI, setelah di
preparasi dengan suhu 70°C…………………………………………… 42
10. Hasil perwarnaan gram positif terhadap bakteri yang diduga Bacillus
cereus pada pembesaran 1000x ………………………………………… 45
11. Hasil pewarnaan spora terhadap bakteri Bacillus cereus pada
pembesaran 1000x ……………………………………………………… 46
12. Tipe pertumbuhan pada medium motilitas setelah diinokulasi dengan
isolat Bacillus cereus ……………………………………………............ 47
13. Adanya gelembung udara menunjukkan Bacillus cereus katalase positif. 47
14. Perubahan jumlah sel vegetatif Bacillus cereus alami pada produk PR II
selama penyimpanan 1 jam pada suhu ruang, dengan suhu air preparasi
30⁰C, 70⁰C dan 90⁰C……………………………………………………. 50
15. Pola pertumbuhan Bacillus cereus alami pada produk B MP-ASI, pada
suhu optimum pertumbuhan 30-40°C selama 24 jam dengan suhu air
preparasi 70⁰C (♦ data eksperimen, — hasil fitting DMFit) …………. 52
16. Perubahan jumlah sel vegetatif Bacillus cereus dengan penambahan
spora sebesar 103, pada produk CR II selama penyimpanan 1 jam pada
suhu ruang dengan suhu air preparasi 30⁰C, 70⁰C dan 90⁰C…………. 54
4
17. Perubahan jumlah sel vegetatif Bacillus cereus spora sebesar 2.5x10 ,
dengan proses penyimpanan MP-ASI produk CR II pada suhu ruang
dengan lama pengamatan 60 menit dan suhu air preparasi 70⁰C ............. 58
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Prosedur produksi spora Bacillus cereus ATCC 10876 ………………... 70
2. Komposisi MP-ASI yang digunakan sebagai sampel pada penelitian …. 71
3. Hasil uji sidik ragam Total Plate Count pada MP-ASI yang dipreparasi
menggunakan 3 suhu air yang berbeda (30⁰, 70⁰ dan 90⁰C)……………. 72
4. Hasil uji sidik ragam jumlah sel vegetatif Bacillus cereus pada suhu air
yang digunakan saat preparasi MP-ASI produk PR II………………….. 74
5. Hasil uji sidik ragam jumlah sel vegetatif Bacillus cereus (103) pada
suhu air yang digunakan saat preparasi MP-ASI produk CR II………. 76
4
6. Hasil uji sidik ragam jumlah sel vegetatif Bacillus cereus (2.5x10 )
selama proses penyimpanan MP-ASI produk CR II …………………… 78
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Air susu ibu merupakan makanan terbaik bagi bayi jika ditinjau dari,
komposisi zat gizinya, dimana zat gizi yang terdapat dalam air susu ibu ini sangat
kompleks, tetapi ketersediaan air susu ibu sifatnya terbatas sehingga di saat bayi
masih membutuhkan air susu ibu untuk pertumbuhannya, maka pemberian
makanan tambahan lainnya juga sangat diperlukan untuk pemenuhan gizinya.
Makanan jenis ini dikenal dengan istilah makanan pendamping ASI (MP-ASI),
dimana komposisi gizi dari makanan ini hampir mirip dengan air susu ibu.
Berdasarkan rekomendasi Resolusi World Health Assembly (WHA) Tahun
2001 dengan ketentuan Menteri Kesehatan yang tertuang dalam SK Menkes No.
450/Menkes/SK/IV/2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif
pada bayi di Indonesia, menyatakan bahwa bayi perlu diberi ASI ekslusif sampai
usia 6 bulan dan dilanjutkan hingga usia 2 (dua) tahun dengan pemberian
makanan tambahan yang sesuai untuk bayi. Berdasarkan Surat Keputusan tersebut
diatas maka ditetapkan bahwa MP-ASI diberikan setelah bayi berumur 6 bulan.
Makanan bayi didefinisikan sebagai makanan yang secara tunggal dapat
memenuhi kebutuhan anak, sedangkan makanan sapihan dapat berupa makanan
tunggal maupun makanan campuran untuk dapat memenuhi kecukupan gizi anak.
(Hartoyo et al., 2000).
Produk makanan tambahan untuk bayi biasanya dikenal dengan istilah
makanan pendamping ASI (MP-ASI). MP-ASI yang beredar di Indonesia sangat
beragam, baik buatan dalam negeri maupun luar negeri. Ada yang berbentuk
biskuit, bubuk instan dan makanan siap untuk disantap dengan mutu yang
beragam. Berdasarkan SNI No. 01-7111 Tahun 2005 Makanan Pendamping ASI
terbagi menjadi 4 kelompok besar, yaitu : MP-ASI Biskuit, MP-ASI Bubuk
Instan, MP-ASI Siap Santap dan MP-ASI Siap Masak
Produk ini sangat disukai oleh ibu dan bayi karena rasanya yang enak serta
sangat mudah untuk disajikan. Salah satu bentuk makanan yang memenuhi
kriteria tersebut, selain susu formula lanjutan adalah MP-ASI bubuk instan seperti
SUN, Promina, Milna, Goodmil, dan Cerelac yang pada proses pengolahan
2

biasanya ditambahkan bahan dasar susu bubuk. Susu bubuk merupakan bahan
pangan yang tidak steril, karena beberapa bakteri mampu bertahan hidup
khususnya bakteri pembentuk spora yaitu kelompok Bacillus terutama Bacillus
cereus (Dadhicd, 2006). Makanan pendamping ASI yang formulasinya
ditambahkan susu bubuk, dapat dikategorikan ke dalam pangan beresiko tinggi,
sehingga membutuhkan persyaratan yang lebih ketat dalam hal penyajian dan
penyimpanannya.
Susu bubuk terbuat dari susu murni yang telah mengalami proses
pemanasan menjadi bubuk kering yang padat atau tepung susu yang dibuat
sebagai kelanjutan dari proses penguapan. Perlakuan pengolahan susu bubuk
seperti pemanasan dan pengeringan belum mampu membunuh seluruh mikroba
yang pada awalnya sudah ada didalam susu mentahnya, terutama bakteri
pembentuk spora. Bakteri pembentuk spora seperti Bacillus spp yang ditemukan
dalam susu mentah masih mampu bertahan selama proses pengolahan karena
sporanya tahan terhadap proses pemanasan (Muir, 2000).
Bacillus cereus merupakan salah satu bakteri patogen penyebab penyakit
karena makanan (foodborne diseases). Bakteri ini berbentuk batang, gram positif,
membentuk spora, aerobik fakultatif, motil dan non motil, umumnya ditemukan
didalam tanah, material tanaman, jerami kering, makanan mentah dan matang,
serta mampu membentuk enterotoksin komplek. Enterotoksin terdiri atas protein
dengan berat molekul antara 35-50 kDa, diproduksi selama fase pertumbuhan
logaritmik (Harmon et al., 1992; Granum dan Lund, 1997; Jay, 2000). Toksin
Bacillus cereus pada umumnya diproduksi atau terbentuk sebelum Bacillus cereus
dalam bahan pangan mencapai jumlah sebanyak 107 sel/ml (Granum et al., 1993).
Aas et al., (1992), menyatakan bahwa mengkonsumsi makanan yang mengandung
Bacillus cereus sebanyak > 104 sel/gram atau spora Bacillus cereus, menjadi
sumber utama keracunan makanan di Norwegia.
Bakteri ini menyebabkan diare tipe sedang yaitu diare yang dapat sembuh
dengan sendirinya dalam waktu 12-24 jam. Diare tipe sedang jika terjadi pada
bayi dapat mengganggu pertambahan berat badannya dan apabila terkonsumsi
dalam jumlah yang tinggi akan menyebabkan kematian pada bayi. Dosis infeksi
sebesar 105-107 sel/ml, tetapi untuk anak-anak dosisnya lebih rendah yaitu 103-105
3

sel/ml (Gianella dan Brasile., 1997; McClane, 2001). Keberadaan Bacillus cereus
enterotoksigenik dalam makanan bayi telah dilaporkan oleh Becker et al., (1994),
dimana dari 261 sampel yang diperiksa, yang berasal dari 17 negara positif
terkontaminasi oleh bakteri tersebut. Pada tahun 1992, 70% makanan bayi dan
produk susu formula di Jerman juga positif Bacillus cereus dengan level 0,3-600
sel/g.
Bentuk bubuk dan bersifat mudah larut, kadang membuat ibu kurang
waspada dalam tata cara penyimpanan dan pelarutannya, sehingga tanpa disadari
menyebabkan spora bakteri mampu bergerminasi dan tumbuh. Produk susu kering
dan makanan bayi diketahui sering terkontaminasi oleh bakteri Bacillus cereus.
Bacillus cereus enterotoksigenik terdistribusi secara luas dilingkungan (Labbe,
1989).
Kontaminasi pada makanan yang disebabkan oleh Bacillus cereus
biasanya dapat mengakibatkan derajat tingkat kesakitan sedang, tetapi jika
mengkonsumsi makanan yang mengandung Bacillus cereus ≥ 105 sel atau spora
dapat menyebabkan terjadinya diare akut dan dapat menyebakan kematian. Pada
bayi dan balita dosis infeksinya dapat lebih rendah hal ini dikarenakan belum
sempurnanya sistem imun pada bayi dan balita, sehingga kelompok ini menjadi
lebih peka dibandingkan orang dewasa atau anak-anak yang usianya lebih dari 24
bulan (FSANZ, 2003).
Spesies Bacillus spp. memiliki kemampuan membentuk spora yang
dorman secara metabolik, yang secara ekstrim resisten terhadap stress lingkungan,
seperti panas, radiasi, dan bahan kimia toksik (Setlow, 2006; Raju et al., 2007).
Kondisi yang resisten menyebabkan spora spesies ini secara signifikan berperan
sebagai agen pembusuk makanan dan penyebab penyakit gastrointestinal akibat
pangan (Setlow, 2003). Bakteri ini merupakan bakteri yang sering
mengkontaminasi berbagai macam makanan, termasuk produk-produk susu dan
susu, sereal (terutama beras), dan food aditif (Kramer dan Gilbert, 1989; Becker et
al, 1994.).
4

Rumusan Permasalahan

Bacillus cereus telah diketahui sebagai penyebab keracunan pangan di


Eropa sejak tahun 1906, KLB yang disebabkan oleh Bacillus cereus
didokumentasikan pertama kali di Amerika pada tahun 1969 dan di Inggris
pertama kali pada tahun 1971 (Jay et al., 2005). Di Indonesia, data mengenai
kasus keracunan pangan yang disebabkan oleh kontaminasi Bacillus cereus
terutama pada produk pangan yang berbahan dasar susu dan sereal masih sangat
sedikit, sehingga perlu dilakukan penelitian dan pengkajian yang lebih lanjut.
Keberadaan Bacillus cereus pada produk olahan berbahan dasar susu
dilaporkan oleh Bean dan Griffin (1990), menyatakan bahwa 94% penyakit
keracunan disebabkan oleh Bacillus cereus yang pada umumnya berasal dari
produk-produk asal susu yang disimpan pada suhu penyimpanan yang tidak tepat.
Suhu penyimpanan dan kelembaban lingkungan yang tepat untuk susu bubuk
maupun produk makanan berbahan dasar susu adalah ± 25⁰C dan RH≤ 50%.
Becker et al., (1994) menemukan adanya kontaminasi dan pertumbuhan Bacillus
cereus pada makanan bayi dan produk-produk susu bubuk dimana dari 261
sampel yang diperiksa, yang berasal dari 17 negara positif terkontaminasi oleh
bakteri tersebut. Pada tahun 1992, 70% makanan bayi dan produk susu formula di
Jerman juga positif Bacillus cereus dengan kisaran 0,3-600 sel/g. Penelitian
terhadap kontaminasi Bacillus cereus pada makanan bayi dimulai pada tahun
1982/1983 yang menyatakan bahwa 31% makanan bayi dan produk susu formula
di Jerman positif Bacillus cereus. Rowan dan Anderson (1997) menemukan
bahwa B. cereus tumbuh di 63 sampel dari 100 sampel susu formula bayi yang
diuji setelah proses perlarutan dengan lama waktu 4 jam pada suhu 250C.
Beberapa strain B. cereus yang berasal dari makanan bayi di temukan sebagai
produsen cereulide (Andersson et al., 2004;. Ehling-Schulz et al., 2005). Di Chile,
lebih dari 1,3 juta makanan yang disajikan setiap hari untuk anak-anak sekolah
oleh School Feeding Program mengandung Bacillus cereus. Produk-produk
makanan kering, seperti : produk susu, susu bubuk, pengganti susu, dan makanan
penutup yang mengandung susu (misalnya puding karamel, puding susu, dan
beras campur susu), yang dilarutkan di dapur sekolah dan sering dibiarkan pada
5

temperatur ruang yang tinggi untuk waktu yang lama sebelum dikonsumsi (Kain
et al., 2002).
Pengolahan susu segar menjadi susu bubuk yang nantinya akan digunakan
untuk formulasi produk makanan bayi dan balita ternyata tidak dapat
mengeliminasi keberadaan spora dari kelompok Bacillus. Susu segar tersebut
dikontaminasi oleh Bacillus cereus sesaat setelah proses pemerasan susu, dimana
susu tersebut dibiarkan terbuka dan terpapar udara serta debu. Makanan bayi yang
mengandung bahan-bahan sereal dan susu adalah yang paling mendukung untuk
produksi Bacillus cereus cereulide.
Habitat utama Bacillus cereus adalah lingkungan dan saluran pencernaan.
Terutama tanah dan air yang menyebabkan bakteri ini mempunyai peluang yang
besar untuk mencemari bahan makanan asal hewan maupun tanaman. Selain itu
pencemaran juga bisa terjadi pada ruang proses pengolahan karena bakteri ini
dapat menempel pada sepatu, pakaian, dan kulit karyawan, serta dapat melalui
udara ataupun debu (Soejoedono, 2002).

Tujuan Penelitian

1. Mengkaji ketahanan spora dan pertumbuhan sel vegetatif Bacillus cereus


dalam MP-ASI bubuk instan.
2. Menganalisis pengaruh suhu air matang preparasi dan pengaruh lamanya
penyimpanan MP-ASI bubuk instan terhadap kemampuan bertahan dan
tumbuh spora Bacillus cereus.
3. Mengetahui kualitas mikrobiologi MP-ASI bubuk instan setelah preparasi
melalui pengujian total mikroba
4. Mendeteksi keberadaan Bacillus cereus dalam MP-ASI bubuk instan.

Hipotesis

1. Spora Bacillus cereus tahan panas mampu bertahan dan tumbuh di dalam MP-
ASI bubuk instan selama penyimpanan.
2. Spora dan sel vegetatif Bacillus cereus mampu bertahan terhadap suhu
preparasi.
6

3. Jumlah sel vegetatif Bacillus cereus pada MP-ASI meningkat setelah preparasi
yang disimpan pada suhu ruang.

Manfaat Penelitian

1. Sebagai penyedia data bagi penentu kebijakan di bidang kesehatan masyarakat


dan industri pengolahan pangan sehingga dapat menjamin bahwa produk MP-
ASI bubuk instan tersebut aman untuk dikonsumi.
2. Membantu industri pangan untuk menyikapi dan mengambil langkah
pencegahan yang diperlukan.
3. Sebagai landasan untuk memperbaiki tatacara penyajian dan kondisi
penyimpanan produk berbahan dasar beras dan susu.
7

TINJAUAN PUSTAKA

Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)

Makanan yang ditujukan untuk anak-anak usia dibawah 6 bulan sering


disebut makanan bayi (infant food), sedangkan makanan sapihan (weaning food)
ditujukan untuk anak-anak usia diatas 6 bulan sampai sekitar 24 atau 36 bulan.
Makanan bayi didefinisikan sebagai makanan yang secara tunggal dapat
memenuhi kebutuhan anak, sedangkan makanan sapihan dapat berupa makanan
tunggal maupun makanan campuran yang dapat memenuhi kecukupan gizi anak.
Makanan jenis ini juga dikenal dengan istilah makanan pendamping ASI (MP-
ASI) (Hartoyo et al., 2000).
MP-ASI tidak berperan sebagai pengganti ASI melainkan sebagai
pendamping ASI, sehingga dengan pemberian MP-ASI tidak berarti ASI
dihentikan. Tujuan pemberian MP-ASI adalah memenuhi kebutuhan zat gizi bayi
yang tidak dapat dipenuhi lagi oleh ASI karena bertambahnya umur dan berat
badan bayi. Selain itu, pemberian MP-ASI juga bertujuan mengembangkan
kemampuan bayi untuk menerima berbagai macam makanan dengan berbagai rasa
dan tekstur, mengembangkan kemampuan mengunyah dan menelan serta
melakukan adaptasi terhadap makanan yang mengandung energi tinggi (Anomin,
1992).
Menurut Muchtadi (1994), makanan tambahan untuk bayi sebaiknya
memenuhi persyaratan sebagai berikut : (a) nilai energi dan proteinnya tinggi,
yaitu 370 Kal/100 gr bahan dan 5.4 gr protein/100 gr bahan (PAG, 1972 dalam
Muchtadi, 1994), (b) jumlah yang cukup untuk memenuhi kelengkapan zat gizi
yang dianjurkan, (c) dapat diterima dengan baik oleh pencernaan bayi, (d) harga
relatif murah, (e) dapat diproduksi dari bahan-bahan yang tersedia secara lokal.
Makanan tambahan untuk bayi usia 6-8 bulan diberikan lebih sering daripada bayi
usia 4-6 bulan, yaitu tiga kali sehari kemudian meningkat menjadi lima kali sehari
ketika bayi berusia 12 bulan (WHO, 1997).
Hal yang perlu diperhatikan dalam penyediaan makanan tambahan bagi
bayi adalah jumlah dan mutu makanan yang diberikan harus cukup untuk
mempertahankan kesehatan dan pertumbuhan bayi, selain itu yang perlu diingat
8

bahwa makanan tersebut juga harus dapat melatih kebiasaan makan yang baik
bagi bayi. Hal ini harus diperhatikan karena pada masa tersebut indera pengecap
rasa bayi sedang berkembang. Anak sebaiknya hanya diperkenalkan atau dicoba
dengan satu makanan saja, kemudian ditunggu satu minggu sebelum
diperkenalkan makanan baru lainnya dengan memperhatikan reaksi yang muncul.
Jika anak tidak mau makan makanan yang baru, jangan dipaksa, namun dapat
ditawarkan kembali pada hari berikutnya. Jika makanan tersebut masih ditolak,
tunggu dua atau tiga minggu sebelum ditawarkan kembali (Hartoyo et al., 2000).
Pemberian makanan tambahan sebaliknya diberikan sedikit demi sedikit
dan berangsur-angsur dengan memperhatikan perkembangan anak. Pemberian
makanan tambahan yang terlalu dini, yaitu pada saat bayi berusia kurang dari 4
bulan akan mengurangi keinginan bayi untuk menyusui sehingga kekuatan bayi
untuk menyusui juga berkurang yang akan mengakibatkan produksi ASI
berkurang. Pemberian makanan tambahan yang tidak sesuai dengan usia tidak
jarang menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan alat-alat pencernaan bayi
belum kuat untuk menerima makanan. Dalam jangka panjang pemberian makanan
tambahan yang terlalu dini akan mengakibatkan obesitas. Sebaliknya
keterlambatan pemberian makanan tambahan kepada bayi akan menyebabkan
bayi kekurangan kalori dan protein yang selanjutnya juga akan mengakibatkan
pertumbuhan anak menjadi terhambat. Tujuan, pemberian MP-ASI adalah untuk
menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat
memenuhi kebutuhan bayi secara terus menerus seiring dengan bertambahnya
umur dan berat badan bayi. Apabila berat badan seorang bayi tidak mengalami
peningkatan maka hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan gizi bayi tidak terpenuhi
secara maksimal. Hal tersebut dapat disebabkan karena asupan makanan bayi
hanya mengandalkan ASI saja atau pemberian MP-ASI kurang memenuhi syarat.
Disamping itu, faktor terjadinya infeksi pada saluran pencernaan bayi juga
memberikan pengaruh yang cukup besar (Krisnatuti dan Yenrina, 2000)
Menurut RSCM dan PERSAGI (1994), jenis dan bentuk serta frekuensi
makan untuk bayi berusia 6-8 bulan dalam sehari meliputi : ASI diberikan
sebanyak 2-6 kali/hari, buah-buahan diberikan sebanyak 1-2 kali/hari, makanan
9

lumat sebanyak 2 kali/hari, makanan lembek sebanyak 1 kali/hari dan telur


sebanyak 1 kali/ha
Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI
Sejak anak berusia 5 bulan, kebutuhannya akan berbagai zat gizi sudah
tidak dapat dipenuhi hanya dengan ASI, maka perlu diberikan makanan tambahan
sebagai pendamping ASI (Moehji, 2003). Penberian MP-ASI pertama kali kepada
bayi merupakan suatu proses dimana bayi mulai secara perlahan-lahan dibiasakan
dengan makanan orang dewasa. Selama masa tersebut makanan anak berubah
secara perlahan dari hanya ASI menjadi campuran ASI dan makanan lain yang
berbentuk padat. Selama proses ini terkadang menjadi masa yang berbahaya
karena sering terjadi resiko infeksi yang lebih tinggi terutama penyakit diare. Hal
ini disebabkan karena terjadinya perubahan konsumsi ASI yang bersih dan
mengandung faktor anti-infeksi, menjadi makanan yang seringkali disiapkan,
disimpan dan diberikan pada anak dengan cara yang tidak higienis. Masalah
kurang gizi lebih banyak terjadi pada masa transisi ini (Muchtadi, 1994). Hal ini
sesuai dengan pendapat Pudjiadi (2001), yang menyatakan bahwa pemberian
makanan tambahan sebelum usia 4-5 bulan akan beresiko :
1. Tingginya solute load hingga dapat menimbulkan hyperosmolality
2. Kenaikan berat badan yang terlalu cepat hingga menjurus ke obesitas
3. Alergi terhadap salah satu zat gizi yang terdapat dalam makanan tersebut
4. Mendapat zat-zat tambahan seperti garam dan nitrat yang dapat merugikan
kesehatan bayi (dilihat dari segi pandang ilmu toksikologi)
5. Mungkin saja dalam makanan padat yang dipasarkan terdapat zat pewarna dan
pengawet yang tidak diinginkan
6. Kemungkinan pencemaran dalam menyediakan atau menyimpannya.
Jika terjadi penundaan pemberian makanan tambahan pada bayi dapat
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan bayi, hal ini dikarenakan jumlah energi
dan zat gizi yang dihasilkan oleh ASI tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan bayi
yang terus menerus meningkat sesuai dengan bertambahnya usia bayi tersbut
(Pudjiadi, 2001).
Bentuk dan frekuensi makanan bayi (0-12 bulan) disesuaikan dengan
bertambahnya umur, perkembangan dan kemampuan menerima makanan.
10

Menurut Depkes (2000) pola pemberian makanan kepada anak dibawah umur dua
tahun dibagi dalam lima tahap seperti tercantum dalam Tabel 1. Sedangkan untuk
anak diatas dua tahun pola makannya sudah menyerupai makanan orang dewasa.

Tabel 1. Pola Pemberian Makanan Anak Balita


Makanan
Umur Makanan Makanan Makanan
ASI Lumat
(bulan) Lumat Lunak Padat
Halus
0-4 X
4-6 X X
6-9 X X
9-12 X X
12-24 X X
Sumber : Depkes RI, 2000

Makanan Bayi Umur 6-9 bulan. Pemberian ASI tetap diteruskan, dan
ASI diberikan terlebih dahulu sebelum MP-ASI. Bayi mulai diperkenalkan
dengan MP-ASI lumat 2 kali sehari. Sumber zat lemak, yaitu santan atau minyak
kelapa/margarine dapat ditambah sedikit demi sedikit, untuk mempertinggi nilai
gizi makanan.
Makanan Bayi Umur 9-12 bulan. Pemberian ASI tetap diteruskan. Pada
umur 10 bulan bayi mulai diperkenalkan dengan makanan keluarga secara
bertahap. Bentuk makanan adalah lunak dan diberikan 3 kali sehari. Makanan
selingan yang bernilai gizi tinggi seperti bubur kacang hijau dan buah diberikan 1
kali sehari.
Makanan Anak Umur 12-24 bulan. Pemberian ASI juga tetap diteruskan,
dan pemberian MP-ASI dengan bentuk makanan seperti makanan keluarga
diberikan 3 kali sehari. Pemberian makanan selingan 2 kali sehari (Depkes dan
Kessos RI, 2000).
Frekuensi pemberian makan pada anak umur lebih dari 6 bulan adalah 4-
6 kali sebagai tambahan untuk ASI, sedangkan untuk anak umur 2-3 tahun yang
dapat dikurangi menjadi 3 kali sehari. Pemberian makan kepada anak dengan
frekuensi yang sering tapi dengan porsi kecil dikarenakan anak umur 1-3 tahun
hanya bisa mengkonsumsi 200-300 ml makanan (Muchtadi, 1994).
11

Jenis dan Bentuk Makanan Pendamping ASI


Jenis makanan pendamping-ASI yang pertama kali diberikan kepada
anak bayi cukup beragam. Jenis MP-ASI yang diberikan oleh kebanyakan ibu
sekitar 78% adalah bubur instant seperti SUN, Promina dan Milna dengan alasan
praktis cara membuatnya dan mudah diperoleh. Selain itu juga ada ibu yang
memberikan pisang mas (11.9%), bubur beras (6.8%) dan biskuit (3.4%) (Sitti,
2004). Pada Tabel 2. Diketahui bahwa sebagian besar (98.3 %) bentuk MP-ASI
yang pertama kali diberikan adalah lumat halus. Hal ini sesuai dengan anjuran
Depkes agar bayi umur 4-6 bulan mulai diperkenalkan MP-ASI berbentuk lumat
halus karena bayi sudah memiliki reflek mengunyah. Untuk lebih jelasnya dapat
di lihat pada Tabel 2. jenis dan bentuk MP-ASI yang umumnya diberikan pada
bayi.

Tabel 2. Jenis dan Bentuk MP-ASI yang Pertama Kali Diberikan


Jenis dan bentuk MP-ASI n % (persen)
yang diberikan pertama kali
Jenis MP-ASI
Bubur tepung beras 2 3.4
Bubur beras 3 5.1
Sun/Promina/Milna 44 74.6
Pisang mas 7 11.9
Popeda 1 1.7
Biskuit 2 3.4
Total 59 100.0
Bentuk MP-ASI
Lumat halus 58 98.3
Cair 1 1.7
Total 59 100.0
Sumber : Sitti, 2004

Makanan anak baduta harus mengandung enam kelompok bahan pangan,


yaitu 1) makanan pokok, 2) kacang-kacangan, 3) bahan pangan hewani, 4)
sayuran berwarna, 5) buah-buahan dan 6) lemak dan minyak. Secara komersial,
makanan bayi tersedia dalam bentuk tepung campuran instan atau biscuit yang
dapat dimakan langsung atau dapat dijadikan bubur. Beberapa merek yang
beredar di pasaran adalah SUN, Promina, Milna, Goodmil, Cerelac, dan
12

sebagainya. Produk makanan bayi komersial ini dibuat dengan teknologi modern
dan terkait dengan tatacara produksi yang ketat (Krisnatuti dan Yenrina, 2000).
Untuk menjaga kesehatan masyarakat konsumen, pemerintah membuat
berbagai regulasi yang harus dipatuhi oleh produsen, antara lain :
1.) SNI 01-7111.1-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-
ASI) bubuk instant (bagian 1), mencantumkan angka lempeng total 1.0 x
104 koloni/g, MPN koliform harus kurang dari 20/g, E.coli harus negatif,
Salmonella harus negatif dalam 25/g, Staphylococcus sp. tidak lebih dari
1.0 x 102 koloni/g dan produk yang menggunakan madu atau sirup
gula(antara lain maple, fruktosa glukosa) harus diproses sehingga bebas
(negatif) Clostridium botulinum.
2.) SNI 01-7111.2-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-
ASI) biskuit (bagian 2), mencantumkan angka lempeng total tidak lebih
dari 1.0 x 104 koloni/g, MPN coliform harus kurang dari 20/gram,
Escherichia coli harus negatif, Salmonella harus negatif dalam 25 gram
contoh (sampel), Staphylococcus sp. tidak lebih dari 1.0 x 102 koloni/gram
dan produk yang menggunakan madu atau sirup gula (antara lain maple,
fruktosa, glukosa) harus diproses sehingga bebas (negatif) dari
Clostridium botulinum.
3.) SNI 01-7111.3-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-
ASI) bagian 3 (siap masak), mencantumkan angka lempeng total tidak
lebih dari 1.0 x 104 koloni/g, MPN koliform harus kurang dari 20/g, E.coli
harus negatif, Salmonella harus negatif/25g, Staphylococcus sp. tidak lebih
dari 1.0 x 102 koloni/g dan Clostridium botulinum negatif untuk produk
yang menggunakan madu atau sirup gula.
4.) SNI 01-7111.4-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-
ASI) bagian 4 (siap santap), mencantumkan angka lempeng total tidak
lebih dari 1.0 x 102 koloni/g, MPN koliform harus kurang dari 3/g, E.coli
harus negatif, Salmonella harus negatif/25g, Staphylococcus sp. harus
negatif dan Clostridium botulinum negatif untuk produk yang
menggunakan madu atau sirup gula.
13

Selain Indonesia yang memiliki persyaratan mikrobiologi untuk produk


susu formula dan makanan bayi, ada beberapa negara yang memiliki kiteria
khusus untuk produk susu formula dan makanan bayi yang beredar di negaranya.
Peraturan yang berhubungan dengan susu formula dan makanan bayi dibuat lebih
ketat dan lebih terinci, hal ini dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel tersebut
menggambarkan persyaratan standar mikrobiologi yang tercantum dalam sebuah
peraturan di beberapa negara/lembaga yang berhubungan dengan susu formula
dan makanan bayi (dalam CFU).

Tabel 3. Standar Mikrobiologi Dalam Peraturan di Beberapa Negara/Lembaga


yang Berhubungan Dengan Susu Formula dan Makanan Bayi (dalam
CFU/g).
Nama Peraturan Standar
Codex standard n c m M
dalam Code of Hygienic - bakteri aerob mesofilik/g 5 2 5.0 x 102 5.0 x 103
Practice for Powdered - Enterobacteriaceae/10 g 10 2 0 0
Formulae for Infants and - E. sakazakii/10g 30 0 0 0
Young Children, - Salmonella negatif/25g 60 0 0 0
CAC/RCP 66-2008,
perbaikan CAC/RCP 21-1979
(CAC 2008)
Canadian standard n c m M
dalam Health Products - Mikroba aerob/g 5 2 1.0 x 103 1.0 x 104
and Food Branch - E. coli/g 10 1 < 1.8 1.0 x 10
Standards and Guidelines - Salmonella negatif/25g 20 0 0 0
For Microbiological - S. aureus/g 10 1 1.0 x 10 1.0 x 102
Safety of Food (HPFB - Bacillus cereus/g 10 1 1.0 x 102 1.0 x 104
2008) - C. perfringens/g 10 1 1.0 x 102 1.0 x 103

FDA dalam 21 Current - Mikroba aerob/g ≤ 1.0 x 104


Federal Rules (CFR)106- - Koliform/g ≤ 3.05 MPN
107 (FDA 1996) - Fekal koliform/g ≤ 3.05 MPN
Salmonella negatif/25 g n=60, c=0, m=0, M=0
L. monocytogenes/g negatif
S. aureus/g ≤ 3.05 MPN
B. cereus/g ≤ 1.0 x 102

Australia-New Zealand n c m M
dalam Standard 1.6.1 - B. cereus/g 5 1 1.0 x 102 1.0 x 103
Microbiological Limit for - Koagulase positif 5 1 0 1.0 x 10
Food (FSANZ 2001) staphylococci/g
- Kolifrom/g 5 2 <3 1.0 x 102
- Salmonella negatif/25 g 5 0 0 0
- C. perfringens/g 5 2 <1 1.0 x 10
- L. monocytogenes/25 g 5 0 0 0
- SPC* / g 5 2 1.0 x 104 1.0 x 105

Keterangan : n = jumlah unit sampel minimal yang harus duji dari sebuah lot makanan, c
= jumlah maksimun unit sampel yang diperbolehkan tidak sempurna, m =
14

konsentrasi mikroba yang dapat diterima dalam sebuah unit sampel pada
2-class plan, pada 3-class plan nilai ini memisahkan antara kualitas
mikroba yang “dapat diterima” dengan “kualitas marginal yang dapat
diterima”, M = hanya digunakan pada 3-class plan, yaitu level mikroba
yang mengindikasikan potensi bahaya, yang memisahkan antara kualitas
marginal yang dapat diterima dan yang harus ditolak; * standard plate
count (SPC) pada suhu 300C, selama 72 jam.

Bacillus cereus

Bacillus cereus merupakan bakteri gram positif berbentuk batang besar


(>0,9 µm) dengan ukuran panjang sel 3-5 mikron dan lebarnya 1 mikron. Bakteri
ini menghasilkan spora yang berbentuk elips dan terletak ditengah-tengah sel.
Spora hanya terbentuk bila terdapat oksigen dilingkungan sekitar (aerob
fakultatif). Bacillus cereus termasuk salah satu organisme mesofilik yaitu dapat
tumbuh pada suhu optimal 30-35◦C (Blackburn dan McClure, 2002). Bakteri
Bacillus cereus mempunyai alat gerak berupa flagella yang jumlahnya lebih dari
dua dan mengeliling seluruh permukaan sel bakteri (peritrichous). Bacillus cereus
dapat menyebabkan beberapa penyakit infeksi dan intoksikasi. Spora sel B.cereus
bertunas dan sel vegetatif menghasilkan toksin selama fase eksponensial
pertumbuhan atau selama masa sporulasi. Munculnya diare terjadi setelah masa
inkubasi 1-24 jam dan terlihat sebagai diare yang terus menerus disertai nyeri dan
kejang perut; jarang terjadi demam dan muntah. Enterotoksin dapat ditemukan
pada bahan pangan atau dibentuk dalam usus (Granum dan Baird-Parker 2000).
Kondisi yang diperlukan bagi pertumbuhan maksimal Bacillus cereus terdapat
pada Tabel 4.

Tabel 4. Kondisi yang Diperlukan Bagi Pertumbuhan Bacillus cereus


Parameter Nilai data Referensi
pH minimal 4.3 Reed, 1994
pH maksimal 9.3 Fluer and Ezepchuk, 1970
% maksimal NaCl 18 Pradhan et al., 1985
Suhu minimal 4◦C FDA, 1998

Suhu maksimal 50 C FDA, 1998

Bacillus cereus (Gambar 1) mampu tumbuh pada suhu 4-50◦C, dengan


suhu optimum 30-40◦C (ICMSF, 1996). Waktu regenerasi pada suhu 30◦C adalah
15

26-57 menit, pada suhu 35◦C adalah 18-27 menit (Kramer and Gilbert, 1989).
Rentang minimum aktivitas air untuk pertumbuhan sel vegetative adalah 0.91-
0.95 (Jenson and Moir, 1997). Spora Bacillus cereus lebih tahan terhadap panas
kering dibandingkan dengan panas lembab. Spora Bacillus cereus dapat bertahan
untuk waktu yang lama di produk kering (FSANZ, 2003). Spora yang dihasilkan
relatif tahan panas, walaupun nilai D yang dimiliki cenderung bervariasi antara
strain. Secara umum, D 100 Bacillus cereus berkisar antara 2.5-5.4 menit. Spora ini
dapat bertahan hidup pada kondisi ekstrim dan ketika dibiarkan pada suhu yang
dingin, maka kemampuan spora untuk tumbuh dan berkembang menjadi sel
vegetatif relatif lambat. Proses germinasi sporanya cepat dan pada beberapa strain
dapat berlangsung dalam waktu 30 menit. Germinasi membutuhkan beberapa
molekul protein seperti glisin, alanin, dan basa purin (Batt, 2000). Sel vegetatif
dapat tumbuh dan menghasilkan enterotoksin pada kisaran suhu 25-420C. Sel
vegetatif Bacillus cereus berbentuk batang dengan lebar 1.0-1.2 μm (Rajkowski et
al., 2003). Selain itu, germinasi juga dapat terjadi karena adanya perlakuan
pemanasan, pH, dan bahan kimia. Germinasi Bacillus cereus secara optimum
terjadi pada suhu 370C (White et al., 1974).

Gambar 1. Penampakan Bacillus cereus pada media MYP


16

Sifat Biokimiawi
Bacillus cereus bersifat proteolitik yang kuat yaitu memproduksi enzim
(protease, amylase, lecithinase, dan lain-lain) yang dapat memecah protein dan
mempunyai sifat yang hampir sama dengan renin sehingga dapat menggumpalkan
susu (Fardiaz, 1998). Species ini juga memfermentasi karbohidrat (glukosa dan
mannosa). Selain itu, bakteri ini akan tumbuh pada pH 4.3-9.3 dan aktivitas air
(Aw) 0.95 (Blackburn and McClure, 2002).
Bacillus cereus membentuk koloni yang spesifik bila ditumbuhkan pada
agar darah (Horse Blood Agar), pada suhu 35-37◦C, selama 48 jam akan
membentuk koloni yang mempunyai ukuran besar (4-7µm) dengan permukaan
datar dan berwarna kehijauan. Koloni tersebut biasanya menunjukkan sifat α-
hemolitik, tetapi beberapa strain membentuk β-hemolitik. Pada keadaan
anaerobik, koloni berbentuk kecil dengan diameter 2-3 mm, dikelilingi oleh areal
bersifat β-hemolitik yang menyerupai koloni Clostridium perfringens, hanya
bedanya bagian tepinya tidak rata (Imam dan Sukamto, 1999).
Bacillus cereus memproduksi enzim ekstraseluler yang dapat
menghidrolisis protein, lemak, pati dan karbohidrat lainnya. Oleh karena itu,
mikroorganisme ini dapat memanfaatkan berbagai jenis pangan untuk
mendukukng pertumbuhannya, tetapi pangan yang mengadung pati merupakan
sumber optimal untuk pertumbuhannya (Gibbs, 2005).
Media yang cukup selektif digunakan untuk mendeteksi adanya Bacillus
cereus dalam bahan makanan adalah agar mannitol egg-yolk polymyxin (MYP).
Penambahan polymyxin-B ditujukan untuk menekan pertumbuhan mikroba lain,
sedangkan Bacillus cereus sangat resisten terhadap polymyxin-B . Mannitol tidak
digunakan oleh Bacillus cereus sehingga akan membentuk koloni yang berwarna
merah jambu dengan zona presipitasi di sekelilingnya. Ekstrak daging sapi dan
pepton yang ada didalam media MYP berfungsi sebagai sumber nitrogen, vitamin,
mineral dan asam amino essensial yang digunakan untuk pertumbuhan Bacillus
cereus (Batt, 2000). Untuk uji konfirmasi mengacu pada karakteristik bentuk
Bacillus cereus dan reaksi metabolisme, yaitu mampu memfermentasi glukosa
dalam kondisi anaerob, mereduksi nitrat menjadi nitrit, uji Voges Proskauer dan
17

motilitas (Harmon et al., 1992). Untuk lebih jelas tentang karakteristik penting
Bacillus spp. dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik Penting dari Group Species Bacillus spp.


Bacillus Bacillus Bacillus Bacillus
Ciri-ciri
cereus thuringiensis mycoides anthracis
Reaksi gram + + + +
Katalase + + + +
Motil +/- +/- - -
Reduksi nitrat + + + +
Pengurai
+ + +/- -
tirosin
Resisten
+ + + +
lisozim
Reaksi
terhadap + + + +
kuning telur
Uji fermentasi
glukosa + + + +
anaerob
Reaksi VP + + + +
Produksi asam
- - - -
dari manitol
Hemolysis
+ + + -
(domba RBC)
Kristal
Patogen
Produksi endotoksin
Karakteristik Rhizoidal terhadap
enterotoksi patogen
sifat patogen growth manusia
n terhadap
dan hewan
serangga
Sumber : BAM, 2001

Habitat
Habitat utama Bacillus cereus adalah lingkungan dan saluran
pencernaan. Terutama tanah dan air yang menyebabkan bakteri ini mempunyai
peluang yang besar untuk mencemari bahan makanan asal hewan maupun
tanaman. Selain itu pencemaran juga bisa terjadi pada ruang proses pengolahan
karena bakteri ini dapat menempel pada sepatu, pakaian, dan kulit karyawan, serta
dapat melalui udara ataupun debu (Soejoedono, 2002). Genus Bacillus biasanya
18

ditemukan pada beberapa jenis pangan, seperti madu, keju, rempah-rempah


(Iurlina et al., 2006), nasi yang telah dimasak (From et al., 2007), susu
pasteurisasi (Zhou et al., 2008), dan daging (Borge et al., 2001). Pangan yang
mengandung lebih dari 104-105 sel atau spora per gram tidak aman untuk
dikonsumsi karena dosis infeksi diperkirakan berkisar antara 105-108 sel atau
spora per gram (Beattie et al., 1999).

Endospora
Endospora tahan terhadap proses yang secara normal akan membunuh sel
bakteri vegetatif, seperti proses pemanasan, pembekuan, pengeringan,
penggunaan bahan kimia (desifektan) dan radiasi. Kebanyakan sel vegetatif akan
mati dengan temperatur di atas 70◦C, sedangkan endospora dapat bertahan hidup
dalam air mendidih untuk beberapa jam atau lebih. Salah satu bakteri yang
membentuk spora untuk mempertahankan diri dari lingkungan adalah Bacillus
cereus. Spora Bacillus cereus sering ditemukan pada pangan seperti susu, sereal,
rempah-rempah, makanan kering, dan pada permukaan daging karena kontaminasi
debu atau tanah. Bila kondisi memungkinkan untuk tumbuh, maka spora akan
tumbuh menjadi sel vegetatif, beberapa spesies akan menghasilkan toksin yang
berakibat dapat menimbulkan gejala penyakit (Naim, 2003).
Dalam kondisi stress, seperti kekurangan makanan atau dalam lingkungan
yang tidak cocok, Bacillus cereus akan mengalami proses sporulasi. Spora
tersebut kemudian dapat berubah kembali menjadi sel vegetatif (proses
germinasi). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan germinasi
Bacillus cereus antara lain suhu, pH, kandungan oksigen, serta terdapatnya
kandungan nitrogen dan karbon (Vlaemynck dan Van Heddeghem, 1992). Spora
Bacillus cereus mampu melekat pada berbagai macam permukaan, terutama
permukaan yang terbuat dari bahan hidrofobik. Spora Bacillus cereus juga
memiliki sifat tahan panas dan mampu bertahan hidup melalui proses pasteurisasi.
Spora psikrotropik kemudian mengalami germinasi dan akan tumbuh kembali
selama penyimpanan pada suhu dingin (Kramer dan Gilbert, 1989). Proses
pasteurisasi merupakan pemicu germinasi spora, setelah pasteurisasi selesai
19

mikroba yang tidak tahan panas akan mati dan tak adanya kompetisi mikroba,
Bacillus cereus mampu tumbuh kembali dengan baik (Granum dan Lund, 1997).
Pembentukan endospora melibatkan jalur yang membutuhkan energi dan
produksi struktur morfologi yang kompleks. Sinyal eksternal (dan mungkin
internal) memaksa sel untuk memberikan respon dengan menghambat
pembelahan sel dan memulai proses sporulasi. Sporulasi menghasilkan sekat yang
membagi sel ke dalam kompartemen dengan ukuran berbeda. Bagian yang lebih
kecil disebut forespore. Selama proses sporulasi, beberapa gen diaktifkan secara
bertahap; aktivasi gen tertentu dimulai karena adanya komunikasi antara sel induk
(mothercell) dan forespore, dengan sinyal yang ditransfer melewati sekat.
Pengaturan transkripsi gen spora dipengaruhi oleh aktivasi faktor sigma yang
berbeda-beda, yang menentukan spesifitas promoter terhadap RNA polymerase.
Pada akhirnya, forespore akan berubah menjadi endospora dan sel induk akan
mati karena lisis (Dahl, 1999).

Germinasi Spora
Endospora dapat tumbuh menjadi sel vegetatif apabila kondisi
lingkungannya memungkinkan. Proses germinasi dirangsang oleh perlakuan
kejutan panas (heat shock) pada suhu subletal, adanya asam amino, glukosa, dan
ion-ion magnesium dan mangan. Pada waktu germinasi sifat dorman endospora
menghilang sehingga mulai terjadi aktivitas metabolisme yang mengakibatkan sel
dapat tumbuh (Fardiaz, 1992).
Proses germinasi dirangsang oleh faktor nutrisi dan nonnutrisi (bahan
kimia dan enzim). L-alanin merupakan nutrisi paling umum yang merangsang
proses germinasi dengan cara menarik air masuk ke dalam spora dan mengurangi
Ca2+ dan asam dipikolinat sehingga spora kehilangan sifat refraktilnya dan mulai
terjadi metabolisme pada inti spora (Pol et al, 2001).
Perubahan struktur yang terjadi pada saat germinasi adalah hidrasi
korteks, ekskresi Ca2+ dan DPN serta hilangnya sifat resisten dan refraktil.
Sedangkan perubahan fungsional yang terjadi yaitu inisiasi aktivitas metabolik,
aktivasi beberapa protease spesifik dan cortex-lytic enzymes, dan pelepasan hasil
pelisisan korteks. Germinasi dapat dihambat oleh D-alanin, etanol, EDTA, NaCl
20

(konsentrasi tinggi), NO 2 , dan sorbat. Proses aktivasi spora diperlukan sebelum


germinasi untuk reorganisasi makromolekul di dalam spora. Aktivasi spora dapat
dilakukan dengan perlakuan panas subletal, radiasi, tekanan tinggi, kombinasi
tekanan tinggi dengan oksidator atau reduktor, pH yang ekstrim, dan sonifikasi.
Perlakuan tersebut akan meningkatkan permeabilitas struktur spora untuk
reorganisasi makromolekul. Setelah germinasi maka akan terjadi proses
outgrowth. Outgrowth meliputi biosisntesis dan perbaikan proses setelah
germinasi dan sebelum perumbuhan sel vegetatif. Selama outgrowth akan terjadi
pembengkakan spora karena hidrasi dan pengambilan nutrisi, perbaikan dan
sintesis RNA, protein dan bahan untuk membran dan dinding sel, pelarutan
lapisan luar spora, elongasi sel, dan replikasi DNA. Faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya outgrowth adalah nutrisi, pH, dan suhu. Setelah
outgrowth maka sel vegetatif keluar dari spora dan mulai tumbuh (Ray, 2004).

Patogenesis
Bakteri Bacillus cereus mempunyai dua tipe toksin yaitu tipe pertama
enterotoksin yang biasanya timbul pada produk pangan nabati dan makanan siap
saji (Soejoedono, 2002). Toksin ini mengandung protein dengan berat molekul
sebesar 38-39 kDa, tidak tahan panas dan akan hancur pada suhu 56◦C selama 5
menit. Bila terkonsumsi oleh manusia dalam jumlah yang tinggi sebesar 105 – 107
sel/gram, maka akan menimbulkan gangguan saluran pencernaan berupa sakit
perut dan diare tipe sedang. Toksin diare dari Bacillus cereus diproduksi selama
fase logaritmik. Enterotoksin tersebut berinteraksi dengan membran sel epitel usus
halus dan menyebabkan gejala keracunan pangan yang mirip dengan Clostridium
perfringens. Keduanya memproduksi toksin yang merusak membran, tetapi
berbeda mekanismenya. Clostridium perfringens membutuhkan ion Ca2+ untuk
mengikat sel target dan menyebabkan kebocoran. Kebalikannya Bacillus cereus
enterotoksin menjadi terhambat kemampuannya dalam menyebabkan kebocoran
sel karena adanya ion Ca2+ (Beattie et al., 1999).
Toksin tipe kedua yaitu emetic toksin yang mengandung peptida dengan
berat molekul < 10 kDa dan relatif tahan panas karena tidak hancur pada suhu
yang mencapai 120◦C selama 1 jam. Toksin ini biasanya dapat ditemukan pada
21

nasi, susu beserta produknya dan bila terkonsumsi oleh manusia dalam jumlah 105
– 108 sel/gram sel dapat menyebabkan mual-mual dan muntah (Harmon et al.,
1992). Toksin emetik Bacillus cereus adalah cereulide. Molekul toksin ini sangat
stabil panas, pH ekstrem, dan proteolisis oleh tripsin. Pembentukan toksin emetic
biasanya dihubungkan dengan Bacillus cereus serovar H-1 dan terjadi setelah
pembentukan spora. Produksi toksin ini dipengaruhi oleh komposisi media
tumbuh. Susu dan media berbasis nasi efektif dalam mendukung pembentukan
toksin emetik (Beattie et al., 1999). Menurut Wijnads et al., (2006), Bacillus
cereus memiliki empat faktor virulen, yaitu tiga enterotoksin (haemolisin
BL/HBL, nono hemolitik enterotoksin/nhE, sitotoksin K) dan cereulide.
Haemolisin BL (HBL) dipercayai merupakan toksin diare utama dari Bacillus
cereus (Burgess and Horwood, 2006). Beecher and MacMillan (1990),
mengidentifikasi bahwa HBL kompleks terdiri atas tiga protein yaitu B, L1 dan
L2 yang menurut Beecher and Wong (1997), protein B berperan sebagai
komponen pelekat dan protein L1 (36 kDa) dan L2 (45 kDa) sebagai pelisis sel.
Toksin ini memiliki aktivitas haemolitik dan dermonekrotik, serta menyebabkan
peningkatan permiabilitas vaskuler dan menyebabkan akumulasi cairan di gelung
ileum kelinci (Beecher et al., 1995).
Gejala awal keracunan umumnya muncul 6-24 jam setelah mengkonsumsi
susu. Lama penyakit sangat pendek sehingga sering diabaikan (Gilbert et al.,
1979). Bacillus cereus baru akan menghasilkan toksin jika tumbuh di dalam usus
halus (Harmon et al., 1992). Untuk lebih jelas tentang karakteristik penyakit yang
disebabkan oleh Bacillus cereus dapat dilihat pada Tabel 6.
22

Tabel 6. Karakteristik Penyakit Akibat Bacillus cereus


Sindrom diare Sindrom emetik
5 7
Dosis infektif 10 – 10 sel/g 105 – 108 sel/g
Produksi toksin Di usus halus penderita Terbentuk di dalam makanan

Tipe toksin Protein Peptide siklik


Masa inkubasi 8-16 jam (bisa > 24 jam) 0,5-5 jam
Lama penyakit 12-24 jam (bisa beberapa hari) 6-24 jam
Gejala Sakit perut, diare encer dan ada Mual, muntah dan lesu
mual
Makanan yang Produk daging, sup, sayuran, susu Nasi, nasi goring, pasta,
sering terlibat dan produk susu, pudding/sausnya pastry, dan mie

Sumber : Granum dan Lund, 1997

Kasus Cemaran Bacillus cereus pada Makanan Bayi

Keberadaan Bacillus cereus enterotoksigenik dalam makanan bayi telah


dilaporkan oleh Becker et al., (1994), dimana dari 261 sampel yang diperiksa,
yang berasal dari 17 negara positif terkontaminasi oleh bakteri tersebut. Pada
tahun 1992, 70% makanan bayi dan produk susu formula di Jerman juga positif
mengandung Bacillus cereus dengan kisaran sebesar 0.3-600 sel/g. Di negara
Chile, lebih dari 1.3 juta makanan yang disajikan setiap hari untuk anak-anak
sekolah oleh School Feeding Program positif mengandung Bacillus cereus.
Makanan yang disajikan tersebut terdiri dari produk-produk kering seperti :
produk susu, susu bubuk, pengganti susu, dan makanan penutup yang
mengandung susu (misalnya puding karamel, puding susu, dan beras campur
susu), yang pada umumnya sering terkontaminasi Bacillus cereus, produk-produk
ini dilarutkan di dapur sekolah dan sering dibiarkan pada suhu ruang yang tinggi
untuk waktu yang lama sebelum dikonsumsi oleh anak-anak (Kain et al., 2002).
Bacillus cereus dinyatakan sebagai penyebab berbagai infeksi saluran
pencernaan. Hal ini terbukti secara signifikan dimana Bacillus cereus menjadi
penyebab beberapa infeksi sistemik klinis pada bayi (Hilliard et al., 2003). Rowan
dan Anderson (1997), menemukan bahwa Bacillus cereus tumbuh di 63 sampel
susu formula dari 100 sampel yang diuji, hal ini terjadi pada susu formula bayi
yang dilarutkan kemudian dibiarkan selama 4 jam pada suhu 25⁰C. Baru-baru ini
23

beberapa strain Bacillus cereus yang berasal dari makanan bayi juga terungkap
sebagai produsen cereulide (toksin emetik) (Andersson et al., 2004;. Ehling-
Schulz et al., 2005).

Fitting Model Pertumbuhan

DMFit adalah Excell add-in, dapat digunakan pada Windows 98 dan Excel
97 keatas, untuk membuat fit suatu kurva dimana fase linear didahului dan diikuti
oleh fase diam. Perbedaan utama antara model ini dan kurva sigmoid lainnya
seperti Gompertz, Logistic, dan lain-lain adalah bahwa fase-mid (mid-phase)
sangat dekat dengan linear, tidak seperti kurva sigmoid klasik yang dinyatakan
dengan kelengkungan. DMFit adalah bagian dari sistem yang digunakan in-house
di Institute of Food Research untuk membuat model waktu-variasi logaritma dari
konsentrasi sel pada sejumlah kultur bakteri (DM: Dynamic Modelling). Hal ini
berdasarkan pada model yang sama (Baranyi dan Roberts, 1994) tetapi hanya
cocok untuk kurva pertumbuhan. Namun, juga membandingkan parameter-
parameter berdasarkan F-test, yang tidak termasuk dalam prosedur DMFit. Model
dari program Growth Predictor, didukung oleh UK Food Standards Agency, di
download dari situs web yang sama http://www.ifr.ac.uk/safety/GrowthPredictor,
yang dikembangkan oleh DMFit.
24

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Pebruari - September 2011


bertempat di Laboratorium Mikrobiologi, Seafast Center PAU Institut Pertanian
Bogor.

Bahan dan Alat Penelitian

Makanan Pendamping ASI


Bahan baku yang digunakan dalam analisis sampel adalah 6 merek
makanan pendamping asi (bubuk instan), meliputi PR I, PR II, CR I, CR II, SN I
dan SII, yang diperoleh dari pasar tradisional dan warung kelontong yang ada
dikota Bogor dengan berat 20 g/kemasan. Pengujian dilakukan sebanyak 3 x
ulangan dengan waktu yang berbeda.

Media
Media yang digunakan adalah Mannitol-egg yolk-polymyxine agar
(MYP/Oxoid CM 0929), egg yolk emulsion dan polymyxin B, Plate Count Agar
(PCA), Tryptone Soya Agar (TSA), Brain Heart Infusion Broth (BHIB), Nutrient
Agar (NA) dan sulfit indol motility medium (SIM).

Kultur
Kultur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bacillus cereus yang
diisolasi dari sampel makanan pendamping asi (MP-ASI) dan Bacillus cereus
ATCC 10876 sebagai kontrol positif.

Bahan kimia
Bahan kimia yang digunakan adalah KH 2 PO 4 (buffer fosfat), alkohol 70%,
alkohol 95%, akuades, spiritus, hijau malasit, gram’s iodine, safranin, kristal
violet-ammonium oksalat, minyak emersi, MnSO 4 40 mg/L, CaCl2 100mg/L dan
KOH 40%.
25

Alat
Alat yang digunakan adalah cawan petri (berdiameter 100 mm, tinggi 15
mm), mikropipet dan tipnya, erlenmeyer (ukuran 50-100 ml), neraca analitik,
bunsen, inkubator 30⁰C dan 37⁰C, autoklaf, waterbath, vortex, oven, hockey stick,
ose mata bulat, kaca obyek, mikroskop, gunting, plastic HDPE, botol semprot,
alumunium foil, batang pengaduk, pipet tetes, termometer, hot plate, bulb, pipet
Mohr (ukuran 5 dan10 ml), tabung reaksi bertutup beserta raknya, sendok, labu
takar (ukuran 100, 500 dan 1000 ml) dan colony counter.

Metodologi

Tahapan awal penelitian ini adalah pengujian MP-ASI bubuk instan


terhadap kualitas mikrobiologi MP-ASI berdasarkan Total Plate Count (mengacu
pada BAM, Aerobic Plate Count) dan analisis jumlah awal Bacillus cereus
(mengacu pada BAM, Bacillus cereus). Pada tahap selanjutnya diuji pengaruh
variasi suhu air yang digunakan untuk preparasi makanan pendamping ASI
terhadap Bacillus cereus ATCC 10876 dan pengaruh masa simpan makanan
pendamping ASI terhadap Bacillus cereus ATCC 10876. Sebelum dilakukan
penelitian tahap ini, terlebih dahulu dilakukan proses produksi spora dari Bacillus
cereus ATCC 10876. Preparasi MP-ASI di penelitian ini menggunakan 3 suhu
preparasi yang berbeda (30⁰C, 70⁰C dan 90⁰C) dengan lama penyimpanan pada
suhu ruang 60 menit dan untuk pengaruh masa simpan, penyimpanan dilakukan
pada suhu ruang ± 27⁰C dengan kelembaban >70% selama 8 minggu. Diagram
alir proses penelitian secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 3.
26

Sampel komersil Bacillus cereus


ATCC 10876

Analisis Total Analisis Bacillus Produksi spora Bacillus


Mikroba (TPC) cereus cereus ATCC 10876

Isolasi Bacillus
cereus Inokulasi spora ke dalam
sampel MP-ASI
Perwarnaan gram
Perwarnaan spora Uji konfrimasi
Uji katalase Bacillus cereus
Analisis Bacillus
Uji motilitas Analisis Bacillus
cereus terhadap
Uji reaksi terhadap cereus pada suhu
masa simpan
kuning telur preparasi MP-ASI
MP-ASI

Uji konfrimasi
Bacillus cereus

Perwarnaan gram
Perwarnaan spora
Uji katalase
Uji motilitas
Uji reaksi terhadap kuning telur

Gambar 2. Diagram alir tahapan penelitian

Isolasi Bacillus cereus dan Analisis Total Mikroba pada Sampel


Makanan Pendamping ASI

a. Pengambilan sampel
Sampel makanan pendamping ASI diperoleh dari pasar tradisional dan
warung kelontong yang ada dikota Bogor. Sampel yang akan dianalisis adalah 6
merek makanan pendamping asi (bubuk instan), meliputi PR I, PR II, CR I, CR II,
SN I dan SII, yang diperoleh dari pasar tradisional dan warung kelontong yang
ada dikota Bogor dengan berat 20 g/kemasan. Sampel tersebut langsung dibawa
ke laboratorium untuk dianalisis.
27

b. Analisis total mikroba


Analisis total mikroba dilakukan dengan merujuk pada metode [BAM]
Bacteriological Analytical Manual (2001a), yaitu sebanyak 20 gram sampel
diencerkan dengan 100 ml larutan pengencer Butterfield’s phosphate-buffered
(sesuai dengan petunjuk penyajian yang tertera pada kemasan) dan
dihomogenkan. Selanjutnya, dibuat seri pengenceran 10-1 dan 10-2 (perbandingan
1:10), dengan mengencerkan 1 ml sampel dari pengenceran sebelumnya kedalam
9 ml larutan pengencer BPB. Pengujian hitungan cawan dilakukan dengan cara
menginokulasikan dari masing-masing pengenceran sebanyak 1 ml (duplo) ke
dalam cawan petri. Kemudian ditambahkan media Plate Count Agar (PCA)
sebanyak 13-15 ml ke dalam cawan petri, digoyangkan di atas meja secara
mendatar (membentuk angka 8), lalu dibiarkan memadat. Cawan kemudian
diinkubasi selama ± 3 hari pada suhu 37⁰C. Setelah diinkubasi, jumlah koloni
yang tumbuh dihitung berdasarkan metode Bacteriological Analytical Manual
(BAM). Untuk analisis total koloni yang dihitung adalah 25-250 koloni/cawan.
Diagram alir proses analisis total mikroba dapat dilihat pada Gambar 3.
Rumus perhitungan yang digunakan adalah :
N = ΣC/ [1 * n1 ] + [0.1 * n2 ] * (d)
Keterangan :
N = jumlah koloni per ml atau per g produk
ΣC = jumlah koloni yang dihitung
n1 = jumlah cawan pada pengenceran pertama
n2 = jumlah cawan pada pengenceran kedua
d = pengenceran pertama cawan yang dihitung
28

Gambar 3. Metode Tuang (Pour Plate Method) pada Metode Hitungan Cawan
(Plate Count Method)

c. Analisis Bacillus cereus


Analisis Bacillus cereus dilakukan dengan metode modifikasi BAM
(2001b). Sebanyak 20 gram sampel bubuk insant diencerkan dengan 100 ml
larutan pengencer Butterfield’s phosphate-buffered (sesuai dengan petunjuk
penyajian yang tertera pada kemasan) dan pengujian dilakukan dengan cara
menginokulasi suspensi sebanyak 1 ml yang dibagi kedalam 3 buah cawan petri
yang berisi media mannitol egg yolk polymyxine (MYP) agar padat masing-
masing 0.3 ml, 0.3 ml dan 0.4 ml. Suspensi kemudian diratakan pada permukaan
media dengan menggunakan hockey stick steril yang terbuat dari kaca.
Selanjutnya, cawan petri diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30⁰C dengan posisi
cawan dibalik. Media mannitol egg yolk polymyxine agar (MYP) yang digunakan
ditambah dengan egg yolk emulsion dan polymyxin B.
Bacillus cereus tidak memiliki kemampuan untuk memfermentasi
mannitol pada media MYP agar, sehingga koloni Bacillus cereus akan
menunjukkan warna pink pada media MYP agar. Egg yolk emulsion mengandung
lesitin. Lesitin merupakan substrat untuk enzim lesitinase yang diproduksi oleh
Bacillus cereus. Enzim lesitinase dapat menghidrolisis lesitin dan menyebabkan
timbulnya zona keruh disekeliling koloni (BD, 2010). Polymyxin B yang
29

ditambahkan ke dalam MYP agar merupakan antibiotik yang berfungsi untuk


menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif (Oxoid, 2001). Bacillus cereus
adalah bakteri gram positif dan sangat resisten terhadap polymyxin B sehingga
penambahan polymyxin B tidak akan menghambat pertumbuhan Bacillus cereus
(Batt, 2000). Koloni Bacillus cereus yang tumbuh pada MYP agar dihitung
dengan rumus standard plate count. Perhitungan Bacillus cereus, yang dihitung
hanya pada cawan yang mengandung jumlah koloni sebanyak 15-150 koloni
(BAM, 2001b).
Koloni yang diduga Bacillus cereus kemudian diisolasi dan ditumbuhkan
pada media Tryptone Soya Agar miring (TSA) dan disimpan pada lemari
pendingin sebagai koloni stok yang nantinya akan diuji konfirmasi Bacillus cereus
secara biokimia.

d. Konfirmasi kultur Bacillus cereus


Uji konfirmasi yang dilakukan adalah pewarnaan spora, pewarnaan gram,
uji katalase, uji reaksi terhadap kuning telur dan uji motilitas. Uji konfirmasi
kultur Bacillus cereus dilakukan pada kultur yang berumur 24-72 jam.
Prosedur pewarnaan spora (modifikasi Hussey et al., 2007), yaitu dibuat
olesan bakteri di atas kaca objek dan difiksasi. Olesan bakteri kemudian digenangi
dengan hijau malasit selama 10 menit kemudian diletakkan diatas gelas kimia
yang berisi air mendidih, yang dipanaskan diatas penangas air sehingga uap yang
dihasilkan akan mengenai kaca objek yang berisi bakteri. Kaca objek kemudian
dibilas dengan aquades dan ditiriskan. Selanjutnya, digenangi dengan safranin
selama 1 menit. Kemudian dibilas dengan aquades, dikeringkan dan diamati di
bawah mikroskop.
Prosedur perwarnaan gram menurut dilakukan BAM (2001c), yaitu dibuat
olesan bakteri di atas kaca objek dan difiksasi. Olesan bakteri lalu digenangi
dengan pewarna kristal violet-ammonium oksalat selama 1 menit. Kemudian
dibilas dengan aquades dan dikeringkan. Selanjutnya, digenangi dengan Gram’s
iodine selama 1 menit, dibilas dengan aquades, dan dikeringkan. Warnanya
dihilangkan dengan etanol 95% hingga tidak ada lagi warna biru yang menempel
pada kaca objek. Lalu dibilas dengan aquades, dikeringkan, digenangi dengan
30

pewarna safranin selama 10-30 detik. Selanjutnya, dibilas dengan aquades,


dikeringkan dan diamati dibawah mikroskop.
Prosedur uji katalase dilakukan menurut Rhodehamel dan Harmon (1998),
yaitu disiapkan gelas objek yang bersih. Biakan diambil sebanyak 1 ose kemudian
diinokulasi pada kaca objek dan difiksasi. Olesan bakteri kemudian ditetesi
dengan H 2 O 2 3% sebanyak 2-3 tetes. Amati perubahan yang terjadi, jika ada
gelembung udara maka bakteri tersebut katalase positif (gelembung terbentuk dari
hasil penguraian H 2 O 2 ).
Prosedur uji motilitas dilakukan menurut BAM (2001c), yaitu medium
motilitas, medium Sulfide-Indole-Motility (SIM) ditusuk dengan jarum yang telah
dicelupkan ke dalam kultur isolat Bacillus cereus, kemudian diinkubasi selama
18-24 jam pada suhu 30⁰C dan diamati tipe pertumbuhan yang terjadi disepanjang
garis tusukan. Mikroba yang motil akan tumbuh secara difus menjauhi garis
tusukan tersebut. Untuk diagram alir proses analisis Bacillus cereus secara
keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 4.

Sampel komersil bubuk


instant kering sebanyak 20 g

Diencerkan dengan 100 ml BPB (sesuai dengan prosedur


penyajian) dan dihomogenkan

Penanaman sebanyak 1 ml pada media MYP agar


masing-masing sebanyak 0.3 ; 0.3 dan 0.4 ml kemudian
diinkubasi pada suhu 30oC selama 24 jam

Koloni yang berwarna merah jambu dan lecithinase


positif

Uji konfrimasi : pewarnaan gram, pewarnaan spora, uji


katalase, uji reaksi terhadap kuning telur, dan uji motilitas

Gambar 4. Skema pengujian sampel terhadap Bacillus cereus


31

Evaluasi Pengaruh Suhu Preparasi dan Penyimpanan MP-ASI


(bubuk instan) terhadap Bacillus cereus ATCC 10876

a. Pengawetan dan Penyegaran Kultur


Kultur Bacillus cereus ATCC 10876 disegarkan setiap dua minggu pada
media agar Tryptone Soya Agar (TSA). Penyegaran dilakukan dengan mengambil
1 ose kultur dan digores pada agar miring TSA yang baru, kemudian diinkubasi
pada suhu 30⁰C selama 24 jam. Setelah 24 jam, kultur agar miring disimpan
dalam lemari pendingin.

b. Persiapan Spora Bacillus cereus ATCC 10876


Prosedur produksi spora Bacillus cereus ATCC 10876 yaitu koloni
Bacillus cereus ATCC 10876 ditumbuhkan pada media BHIB (Brain Heart
Infusion Broth), diinkubasi pada suhu 300C selama 24 jam. Kemudian diambil 1
ml dan ditumbuhkan pada 5 ml BHIB dan diinkubasi pada inkubator bergoyang
(200 rpm) dengan suhu 300C selama 48 jam. Selanjutnya supsensi sebanyak 100
μl diambil dan ditransfer ke dalam 1 ml aquades steril dan dihomogenkan
menggunakan vortex. Kemudian ditanam pada nutrient agar (NA) yang
mengandung MnSO 4 40 mg/l dan CaCl2 100 mg dan ditanam juga pada media
NA. Suspensi diinkubasi pada suhu 30⁰C selama 7 hari. Spora dipanen dengan
mengosok permukaan media dengan cotton bath steril untuk melepaskan spora
dan sel yang tidak bersporulasi. Suspensi tersebut dimasukkan kedalam tabung
reaksi steril yang berisi aquades steril 5 ml. Tabung reaksi yang berisi suspensi
dan aquades steril divortex agar homogen kemudian dipanaskan didalam
waterbath selama 15 menit pada suhu 70°C, hal ini bertujuan untuk membunuh sel
vegetatif Bacillus cereus sehingga yang diperoleh adalah spora murni. Kemudian
suspensi yang telah dipanaskan tersebut dimasukkan kedalam tabung sentrifuse
steril. Kemudian disentrifuse menggunakan sentrifuse (5000 rpm selama 10
menit). Supernatan diambil dan disimpan pada suhu 4⁰C. Terakhir, suspensi yang
diperoleh sekitar 10 9 - 1010 spora/ml.
32

c. Persiapan Sampel Makanan Pendamping ASI


Sebanyak 20 gram sampel MP-ASI (bubuk instan) yang telah
diinokulasikan dengan spora Bacillus cereus ATCC 10876 dan sampel yang tidak
diinokulasikan dengan spora Bacillus cereus ATCC 10876 sebagai kontrol positif
dilarutkan dengan 100 ml BPB dengan suhu air pelarutan 90⁰, 70⁰, dan 30⁰C.
Perlakuan ketiga suhu tersebut dipilih dengan pertimbangan bahwa suhu 70⁰C
adalah suhu pelarutan minimal yang disarankan oleh EFSA (2004), suhu 30⁰C
merupakan suhu ruang di negara tropis dan suhu 90⁰C merupakan suhu air
didalam dispenser. Untuk pelarutan MP-ASI disesuaikan dengan petunjuk
penyajian yang tertera dalam kemasan produk MP-ASI.

d. Analisis Pengaruh Suhu Air yang Digunakan Saat Preparasi MP-ASI


terhadap Bacillus cereus ATCC 10867
Sebanyak 20 gram sampel MP-ASI diinokulasikan dengan spora Bacillus
cereus ATCC 10876 sebanyak 103 cfu/ml. Sebagai kontrol dibuat juga larutan
MP-ASI tanpa ditambahkan spora Bacillus cereus ATCC 10876. Pemeriksaan
mikrobiologi dilakukan dengan menginokulasi 1 ml larutan MP-ASI (bubuk
instan), kemudian dimasukkan kedalam media (mannitol egg yolk polymyxine)
MYP agar, masing-masing sebanyak 0.3 ml; 0.3 ml dan 0.4 ml kemudian
diinkubasi pada suhu 30oC selama 20-24 jam.
Koloni yang membentuk zona presipitasi warna eosin merah jambu-
lavender yang dihitung. Larutan MP-ASI (bubuk instan) selanjutnya disimpan
pada suhu ruang dan dilakukan pemeriksaan mikrobiologi setiap 30 menit sekali
selama 1 jam. Waktu 1 jam adalah feeding time yang disarankan oleh EFSA
(2004) untuk susu formula dan produk MP-ASI (bubuk instan).

e. Analisis Masa Simpan MP-ASI terhadap Bacillus cereus ATCC 10867


Sebanyak 20 gram sampel MP-ASI diinokulasikan dengan spora Bacillus
cereus ATCC 10876 sebanyak 2.5 x 103 cfu/ml. Selanjutnya diaduk dengan
spatula steril dan dikocok sampai spora tercampur rata dengan makanan
pendamping ASI (bubuk instan). MP-ASI (bubuk instan) yang sudah diinokulasi
Bacillus cereus, dimasukkan ke dalam cawan petri steril dan dimasukkan ke
33

dalam oven suhu 55⁰C selama 4 jam.MP-ASI (bubuk instan), kemudian


dimasukkan kedalam plastik steril dan disealer. Sebagai kontrol, 20 gram MP-ASI
(bubuk instan) yang tidak diinokulasi Bacillus cereus dimasukkan ke dalam
kantong plastik steril dan di sealer. Selanjutnya MP-ASI (bubuk instan) baik yang
telah diinokulasi Bacillus cereus maupun tidak diinokulasikan disimpan dalam
ruangan yang kering, suhu ± 25-27⁰C dan kelembaban ≥ 70%
Pemeriksaan mikrobiologi dilakukan setiap 2 minggu sekali, dengan cara
dan media yang sama seperti pada kajian suhu air yang digunakan saat preparasi.
Lamanya penyimpanan MP-ASI selama 2 bulan.

Analisis pendugaan pertumbuhan Bacillus cereus pada produk MP-ASI


dengan menggunakan model Baranyi

Analisis untuk menduga pertumbuhan Bacillus cereus menggunakan


model prediktif dari Baranyi dengan persamaan berikut:

dengan y(t) = ln x(t) adalah jumlah bakteri pada waktu ke-(t), y 0 = ln x 0 adalah
jumlah bakteri awal, dan v adalah rata-rata kenaikan substrat, yang secara umum
diasumsikan sama dengan µ max (growth rate), parameter m mengkarakteristik
kurva sebelum fase stasioner , A(t) atau fase lag adalah fungsi integral dari α(t),
dan y max adalah akhir dari fase log yang merupakan ln x max . Kemudian dilanjutkan
dengan kurva fitting menggunakan DMFit. Selain itu jika pertumbuhan bersifat
linear dihitung menggunakan regresi linear. Bentuk umum dari persamaan linier,
dapat dituliskan sebagai berikut:
y=ax+b
dengan: a = kelandaian (slope) kurva garis lurus
b = perpotongan (intercept) kurva dengan ‘ordinat’atau sumbu tegak

Regresi yang dimaksudkan adalah pencarian nilai tetapan a dan b


berdasarkan deretan data yang ada (jumlah atau pasangan data x-y sebanyak N
buah). Sumbu x sebagai jumlah koloni (log cfu ml-1) dan sumbu y adalah waktu
34

pengamatan (hari ke-) serta N sebanyak n data pengamatan. Model regresi yang
dihasilkan dapat diketahui baik tidaknya dengan R2.

Analisis Data

Program yang digunakan untuk mengolah data adalah SPSS 17, sedangkan
tampilan grafik diolah dengan menggunakan Microsoft Office Excel 2007.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis ANOVA univariate dan
dianalisis lebih lanjut dengan uji Duncan yang bertujuan untuk mengetahui ada
tidaknya perbedaan yang terjadi antara faktor perlakuan yang digunakan beserta
interaksinya.
Untuk kajian suhu preparasi MP-ASI dan kajian penyimpanan MP-ASI
dianalisis menggunakan analisis ragam dua arah dengan uji lanjut Duncan. Kajian
suhu preparasi MP-ASI yang menjadi faktor pertama adalah suhu air yang
digunakan dan faktor kedua adalah waktu pengamatan. Sedangkan untuk kajian
penyimpanan MP-ASI yang menjadi faktor pertama adalah masa simpan MP-ASI
dan faktor kedua adalah waktu pengamatan. Rancangan percobaan yang
digunakan adalah rancangan acak lengkap dua faktor.
35

HASIL DAN PEMBAHASAN

Total Mikroba pada Sampel Produk MP-ASI

Total mikroba pada bahan pangan umumnya mengindikasikan praktek


sanitasi yang diterapkan dalam suatu kegiatan proses produksi, transportasi dan
penyimpanan pangan (ACT Health, 2006). Analisis total mikroba pada sampel
dilakukan untuk mengetahui mutu mikrobiologi sampel produk MP-ASI (bubuk
instan). Mutu mikrobiologi pangan perlu diketahui untuk melihat tingkat cemaran
mikroba pada produk pangan tersebut, sehingga dapat diketahui risiko
keamanannya apabila dikonsumsi.

2,53
2,55
2,36 2,39
2,30
2,08
Total Mikroba (log cfu/g)

2,05

1,80

1,55

1,30
1,08 1,12
1,05

0,80
PR I PR II CR I CR II SN I SN II
Jenis produk MP-ASI

Gambar 5. Total mikroba produk MP-ASI setelah preparasi dengan menggunakan


suhu air preparasi 30⁰C , dilakukan sebanyak 3 kali ulangan.

Dari Gambar 5. di atas, dapat dilihat bahwa total mikroba pada produk
MP-ASI setelah preparasi dengan menggunakan suhu air preparasi 30⁰C. Hal
tersebut menunjukkan bahwa produk MP-ASI dapat menjadi sumber makanan
yang baik bagi pertumbuhan mikroba. Berdasarkan Gambar 5. produk CR (I dan
II) memiliki Angka Lempeng Total (ALT) yang lebih rendah dibandingkan
produk yang lain (α = 0,05). Total mikroba yang tinggi pada bahan pangan
36

mengindikasikan masalah kualitas mikrobiologi yang selalu dikaitkan dengan


praktek sanitasi dan hygiene yang diterapkan.
Komposisi MP-ASI bubuk instan dibuat dari salah satu atau campuran
bahan-bahan berikut ini : serealia (misalnya beras, jagung, gandum, sorgum,
barley, oats, rye, millet, buckwheat), umbi-umbian (misalnya ubi jalar, ubi kayu,
garut, kentang, gembili), bahan berpati (misalnya sagu, pati, aren), kacang-
kacangan (misalnya kacang hijau, kacang merah, kacang tunggak, kacang dara),
biji-bijian yang mengandung minyak (misalnya kedelai, kacang tanah, wijen),
susu, ikan, daging, unggas, dan buah. Pada penelitian ini komposisi dari sampel
yang di analisa dibuat seragam dengan harapan komposisi dari MP-ASI tidak
akan mempengaruhi hasil akhir mikroorganisme yang diperoleh.
Berdasarkan SNI 01-7111.1-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu
Ibu (MP-ASI) bubuk instan (bagian 1), yang mencantumkan batas cemaran
maksimun mikroba untuk angka lempeng total sebesar 1.0 x 104 koloni/g dan
FSANZ (2001), yang mencantumkan standar TPC (Total Plate Count) untuk
produk MP-ASI adalah n=5, c=2, m=1.0x104 dan M=1.0x105, artinya maksimal 2
sampel dari 5 sampel yang dianalisis boleh mengandung total mikroba 1.0x104 –
1.0x105 CFU/g, maka dapat ditarik kesimpulan awal bahwa sampel MP-ASI
(bubuk instan) yang diteliti memenuhi syarat TPC yang ditetapkan oleh FSANZ
maupun SNI. Hasil perhitungan yang terlihat pada Gambar 5. rata-rata jumlah
mikroba yang terdapat pada sampel MP-ASI bubuk instan berada dibawah 1.0 x
104 log CFU/g.
Adanya mikroba ini disebabkan karena penggunaan bahan baku yang tidak
steril atau rekontaminasi selama proses pencampuran dan pengemasan.
Berdasarkan keterangan yang tercantum pada label kemasan, komposisi MP-ASI
terdiri dari susu skim bubuk, beras merah, kacang hijau, kacang kedelai, minyak
kelapa sawit, pengemulsi lesitin kedelai, vanili, vitamin dan mineral. Bahan-bahan
tersebut di pabrik dicampur secara kering (dry mix). Proses pencampuran secara
kering tersebut tidak menggunakan panas, sehingga berisiko terkontaminasi
mikroba.
Air sangat penting untuk kehidupan bakteri terutama karena bakteri hanya
dapat mengambil makanan dari luar dalam bentuk larutan (holophytis). Semua
37

bakteri tumbuh baik pada media yang basah dan udara yang lembab. Dan tidak
dapat tumbuh pada media yang kering. Mikroorganisme mempunyai nilai
kelembaban optimum. Pada umumnya untuk pertumbuhan ragi dan bakteri
diperlukan kelembaban yang tinggi diatas 85%, sedang untuk jamur diperlukan
kelembaban yang rendah dibawah 80%. Kadar air bebas didalam larutan
merupakan nilai perbandingan antar tekanan uap air larutan dengan tekanan uap
air murni, atau 1/100 dari kelembaban relatif. Nilai kadar air bebas didalam
larutan untuk bakteri pada umumnya terletak diantara 0,90 sampai 0,999 sedang
untuk bakteri halofilik mendekati 0,75. Banyak mikroorganisme yang tahan hidup
didalam keadaan kering untuk waktu yang lama seperti dalam bentuk spora.
Kadar air untuk masing-masing sampel MP-ASI, berkisar mulai dari 1.86 – 4.95
% dan Aw mulai dari 0.17 – 0.36, yang ditujukan pada Tabel 7.

Tabel 7. Kadar air dalam persen dan Aw produk MP-ASI


Sampel Kadar air (%) Aw
PR I 4.95 033
PR II 4.46 0.31
SN I 4.07 0.34
SN II 3.44 0.36
CR I 1.86 0.20
CR II 1.88 0.17

Pengaruh Suhu Air Preparasi terhadap Total Mikroba


pada Sampel Produk MP-ASI

Suhu air preparasi yang digunakan untuk melarutkan sampel MP-ASI


menghasilkan total mikroba yang berbeda-beda untuk tiap sampel yang dianalisa,
untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 6.
38

2,45 2,35 70 C 90 C
2,12 2,14
2,17 2,04
Total Koloni Mikroba (log cfu/g)
2,10
2,00
1,76
1,75 1,72

1,40

1,05
0,87
0,70 0,86

0,35
0,00 0,00
0,00
PR I PR II CR I CR II SN I SN II
Jenis Produk MP-ASI

Gambar 6. Total mikroba produk MP-ASI, setelah preparasi dengan 2 (70°C dan
90°C) suhu yang berbeda, dilakukan sebanyak 3 kali ulangan

Total mikroba untuk pelarutan MP-ASI menggunakan suhu air preparasi


70⁰C menghasilkan koloni rata-rata sebesar 1.54 CFU/g dengan standar deviasi
sebesar 0.92, dan pelarutan MP-ASI menggunakan suhu air 90⁰C menghasilkan
koloni rata-rata sebesar 1.47 CFU/g dengan standar deviasi sebesar 0.86. Koloni
bakteri yang tumbuh mempunyai berbagai macam bentuk dan ukuran yang
merupakan hasil biakan murni maupun yang bukan, seperti yang terlihat pada
Gambar 7.

Gambar 7. Berbagai bentuk dan ukuran koloni pada media PCA

Pada perlakuan pelarutan MP-ASI menggunakan suhu air preparasi 70⁰C


dan 90⁰C, dari 6 sampel yang dianalisa ada 1 sampel yang tidak ditemukan koloni
39

bakteri yaitu untuk sampel CR II, sedangkan pada perlakuan pelarutan MP-ASI
menggunakan suhu air preparasi 30⁰C pada 6 sampel yang dianalisis tersebut
ditemukan sejumlah koloni bakteri dengan bentuk dan ukuran yang beragam. Hal
ini mengindikasikan bahwa suhu air preparasi yang digunakan untuk pelarutan
MP-ASI memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keberadaan dan jumlah
koloni bakteri yang terdapat pada MP-ASI bubuk instan tersebut (α = 0,05).
Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa sampel MP-ASI produk CR II
menghasilkan jumlah log cfu/g paling kecil dan berbeda nyata terhadap sampel
MP-ASI produk PR I, PR II, CR I, SN I dan SN II, tetapi sampel MP-ASI produk
PR I dan SN II tidak menunjukkan beda nyata dan SN II tidak berbeda nyata
dengan produk PR II. Sampel MP-ASI CR I dan SN I juga menunjukkan beda
nyata dengan sampel CR II, PR I, PR II, dan SN II. Sampel produk PR II
menghasilkan jumlah log cfu/g paling besar.
Perlakuan suhu air preparasi yang digunakan untuk melarutkan sampel
MP-ASI menunjukkan hasil pengamatan yang berbeda nyata untuk perlakuan
suhu air preparasi MP-ASI bubuk instan, dimana pada pelakuan suhu air preparasi
30⁰C menghasilkan jumlah koloni yang tinggi dan berbeda nyata dengan
perlakuan suhu air preparasi 70⁰C dan 90⁰C, sedangkan perlakuan suhu air
preparasi 70⁰C dan 90⁰C tidak berbeda nyata dalam hal jumlah koloni mikroba
(α=0.05) pada analisa total plate count. Hal ini disebabkan karena suhu air yang
digunakan pada saat melarutkan MP-ASI mampu mengeliminasi sejumlah kecil
mikroba yang ada didalam produk MP-ASI sehingga total koloni yang diperoleh
pada suhu air 70⁰C dan 90⁰C tersebut kecil (tidak berbeda nyata). Hal ini
dikarenakan mikroba pada umumnya tidak tahan terhadap suhu tinggi dan suhu
optimum yang digunakan untuk pertumbuhan mikroba sekitar ± 37oC.
Berdasarkan hasil total koloni yang diperoleh pada penelitian dapat
dikatakan bahwa suhu air preparasi yang digunakan untuk proses pelarutan MP-
ASI menunjukkan pengaruh yang signifikan (beda nyata) dengan jumlah
mikroorganisme yang ada didalam sampel MP-ASI. Suhu air preparasi yang
disarankan untuk mengurangi atau mengeliminasi sebagian mikroorganisme yang
ada didalam produk MP-ASI adalah suhu 70⁰C, hal ini sesuai dengan saran
penyajian yang tertera pada kemasan produk dan sesuai juga dengan WHO
40

(2004), menyatakan bahwa penggunaan air matang suhu 70⁰C untuk melarutkan
susu formula dapat menekan kontaminan E. sakazakii hingga 4 log.
Komposisi MP-ASI memegang peranan yang penting dalam hal
keberadaan mikrooganisme dalam produk. Komposisi MP-ASI yang kompleks
sangat menguntungkan mikrooganisme yang ada didalam produk, karena
mikrooganisme dapat menggunakan nutrisi yang ada untuk melakukan
berkembangbiak. Selain komposisi MP-ASI yang kompleks, suhu air yang
digunakan saat pelarutan MP-ASI juga memberikan kontribusi terhadap
pertumbuhan mikroorganisme dalam produk. Beberapa faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan mikrooganisme dalam produk pangan, yaitu faktor
yang berasal dari produk itu sendiri seperti nutrisi, aw, pH, potensi reaksi redoks,
struktur dinding sel (biologi) dan antimikroba. Sedangkan faktor yang berasal dari
luar produk seperti RH (kelembaban), suhu lingkungan dan ketersediaan oksigen
(O 2 ).
Pertumbuhan mikroorganisme pada umumnya tergantung pada kondisi
bahan makanan dan juga lingkungan. Apabila kondisi makanan dan lingkungan
cocok untuk mikroorganisme tersebut, maka mikroorganisme akan tumbuh
dengan waktu yang relatif singkat dan sempurna.

Kandungan Bacillus cereus pada Sampel Produk MP-ASI

Untuk memastikan keamanan mikrobiologi MP-ASI bubuk instan, maka


produk MP-ASI dilakukan pengujian terhadap cemaran mikroba yang lebih
spesifik terutama cemaran mikroba yang sifatnya patogen pada manusia, yaitu
pengujian terhadap keberadaan bakteri Bacillus cereus. Bakteri ini mampu
membentuk spora pada kondisi lingkungan yang ekstrim dan mampu
menyebabkan gangguan sakit pada manusia terutama pada saluran pencernaan.
Spora bakteri Bacillus cereus lebih tahan dari bentuk sel vegetatifnya terhadap
pemanasan, kekeringan, bahan pengawet makanan dan pengaruh lingkungan
lainnya. Selain itu, spora Bacillus cereus sering ditemukan pada makanan seperti
susu, sereal, rempah-rempah dan makanan lainnya, juga sering ditemukan pada
permukaan daging yang kemungkinan disebabkan adanya kontaminasi dengan
debu atau tanah setelah proses pemotongan hewan (Soejoedono, 2002).
41

Sampel yang telah diuji total plate count, kemudian dilanjutkan kembali
dengan pengujian pada media MYPA, yang merupakan media selektif untuk
pertumbuhan Bacillus cereus. MYPA mengandung mannitol yang tidak dapat
difermentasi oleh B. cereus, namun oleh beberapa bakteri lain (misalnya B.subtilis
dan S. aureus) dapat difermentasi. Penambahan kuning telur dapat memperjelas
koloni tipikal B. cereus sebab kuning telur memiliki lesitin dan B. cereus
menghasilkan enzim fosfatidilkolin hidrolase, fosfolipase C yang menghidrolisis
lesitin. Dengan begitu, koloni tipikal B. cereus akan mendegradasi lesitin yang
terlihat sebagai zona presipitasi di sekeliling koloni (Schraft dan Griffiths, 1995).
Polymyxin B juga ditambahkan pada MYPA untuk menghambat pertumbuhan
bakteri Gram negatif. Koloni bakteri yang tumbuh pada media MYPA diduga
sebagai koloni Bacillus cereus, seperti yang terlihat pada Gambar 8.

Bacillus cereus

Gambar 8. Pertumbuhan isolat Bacillus cereus dari MP-ASI pada media agar
MYP

Hasil analisis cemaran Bacillus cereus produk MP-ASI yang diuji dapat
dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan Gambar 9 diketahui bahwa jumlah total
Bacillus cereus pada sampel MP-ASI yang beredar di pasar Indonesia, berkisar
antara 1.73 CFU/g sampai 2.06 CFU/g, sehingga diperoleh rata-rata jumlah total
Bacillus cereus sebesar 1.23 CFU/g dengan nilai standar deviasi sebesar 0.02.
42

2,5
2,06
Total Bacillus cereus (Log CFU/g)

2 1,84 1,78
1,73

1,5

0,5

0 0
0
PR I PR II CR I CR II SN I SN II
Jenis Produk MP-ASI

Gambar 9. Jumlah koloni Bacillus cereus pada produk MP-ASI, setelah di


preparasi dengan suhu 70 ⁰C

Hasil analisis cemaran Bacillus cereus menunjukkan bahwa ada 2 sampel


MP-ASI yang tidak mengandung Bacillus cereus. Berdasarkan ketentuan FSANZ
(2001), kandungan Bacillus cereus untuk produk susu formula dan makanan bayi
yang berbahan susu maksimal sebesar 1,0x102 CFU/g produk. Jika dilihat dari
ketentuan tersebut maka Bacillus cereus yang ada pada produk MP-ASI yang
diteliti masih dalam batas wajar dan dapat dikatakan aman untuk dikonsumsi dan
didistribusikan.
Hasil total Bacillus cereus dari 6 sampel yang dianalisa tersebut ternyata
tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Purwanti (2009), yang menyatakan
bahwa total jumlah koloni mikroba aerob (Bacillus cereus) pada sampel makanan
tambahan pemulihan (MT-P) sebesar 1.2 x 102 log CFU/g. Mikroba yang
ditemukan dalam MP-ASI dan MT-P merupakan indikasi bahwa MP-ASI dan
MT-P yang berbahan susu bubuk bukan bahan pangan yang steril. Hasil penelitian
ini setara dengan penelitian dari Herdiana (2007), terhadap susu skim bubuk
impor yang masuk ke Indonesia dari Australia, Denmark, New Zealand dan
Jerman dengan jumlah total mikroba aerob masing-masing 3.1 x 10 CFU/g; 6.2 x
10 CFU/g; 7.9 x 10 CFU/g dan 6.2 x 10 CFU/g. Menurut EFSA (2004) jumlah
mikroba aerob pada akhir pembuatan susu bubuk sampai dengan 5.0 x 102 CFU/g
dianggap sebagai keadaan yang wajar dan masih diperbolehkan.
43

Kewaspadaan tetap harus diperhatikan mengingat 4 sampel yang diuji


tersebut mengandung Bacillus cereus, dimana Bacillus cereus mampu membentuk
enterotoksin yang dapat membahayakan kesehatan, terutama anak-anak atau balita
yang memiliki sistem imun terbatas (umumnya berbahaya bagi bayi yang lahir
prematur dan balita penderita gizi buruk). Berdasarkan hasil penelitian Granum et
al., (1993), di Norwegia menemukan Bacillus cereus yang diisolasi dari produk
susu dimana dari 85 strain Bacillus cereus ternyata 59% merupakan Bacillus
cereus yang mampu menghasilkan enterotoksigenik. Dari hasil penelitian tersebut
industri pangan harus waspada jika jumlah Bacillus cereus didalam produk yang
dihasilkan mencapai 103-104 CFU/g atau ml, karena mampu menyebabkan
keracunan jika memakan produk yang mengandung sel vegetatif atau spora
Bacillus cereus lebih dari 102 log CFU/g (Aas et al., 1992).
Produk susu kering dan makanan bayi sering diketahui terkontaminasi oleh
bakteri Bacillus cereus. Hasil penelitian membuktikan bahwa adanya cemaran
Bacillus cereus didalam makanan bayi, dimana dari 261 sampel yang telah
didistribusikan ke-17 negara ternyata 54% dari sampel tersebut positif
terkontaminasi bakteri Bacillus cereus dengan kandungan Bacillus cereus dalam
produk sebesar 0,3-600/g. Sampel yang di teliti tersebut, ketika diklasifikasikan
menjadi berbagai jenis produk, ternyata sekitar 50% sampel berasal dari susu
formula dan makanan penyapihan (infant food) dan 50% sampel berasal dari
makanan yang biasa dikonsumsi oleh orang yang melakukan program diet,
dimana komposisi penyusun makanan tersebut adalah protein kedelai. Sebuah
studi menunjukkan bahwa konsentrasi B. cereus dari 103-105/g dapat
menyebabkan penyakit pada bayi atau individu yang berusia dan lemah, meskipun
ini jarang terjadi (Becker et al., 1994).
Bacillus cereus merupakan salah satu bakteri patogen penyebab penyakit
karena makanan (foodborne diseases). Bacillus cereus merupakan bakteri gram
positif berbentuk batang besar (>0,9 µm) dengan ukuran panjang sel 3-5 mikron
dan lebarnya 1 mikron, membentuk spora, aerobik fakultatif, motil dan non motil,
umumnya ditemukan didalam tanah, material tanaman, jerami kering, makanan
mentah dan matang, serta mampu membentuk enterotoksin komplek. Bakteri ini
menghasilkan spora yang berbentuk elips dan terletak ditengah-tengah sel. Spora
44

hanya terbentuk bila terdapat oksigen dilingkungan sekitar (aerob fakultatif).


Bacillus cereus termasuk salah satu organisme mesofilik yaitu dapat tumbuh pada
suhu optimal 30-35◦C (Blackburn and McClure, 2002).
Enterotoksin terdiri atas protein dengan berat molekul antara 35-50 kDa,
diproduksi selama fase pertumbuhan logaritmik di usus (Harmon et al., 1992;
Granum dan Lund, 1997; Jay, 2000). Bacillus cereus mampu tumbuh pada suhu
4-50◦C, dengan suhu optimum 30-40◦C (ICMSF, 1996). Waktu regenerasi sel
vegetatif pada suhu 30◦C adalah 26-57 menit, pada suhu 35◦C adalah 18-27 menit
(Kramer and Gilbert, 1989). Rentang minimum aktivitas air untuk pertumbuhan
sel vegetatif adalah 0.91-0.95 (Jenson and Moir, 1997). Spora Bacillus cereus
lebih tahan terhadap panas kering dibandingkan dengan panas lembab. Spora
Bacillus cereus dapat bertahan untuk waktu yang lama di produk kering (FSANZ,
2003).
Bacillus cereus yang memproduksi toksin cereulide diisolasi dari makanan
bayi komersial yang dipilih secara acak, dimana produksi toksin cereulide dalam
formula makanan bayi yang diteliti. Makanan bayi tersebut telah diinokulasi
dengan ≥ 105 log CFU/ml Bacillus cereus yang kemudian dilarutkan, hasil
menunjukkan bahwa Bacillus cereus mampu memproduksi toksin cereulide
sekitar 2-200 μg per 100 ml toksin cereulide pada makanan bayi yang proses
penyimpanan dibiarkan di suhu ruang selama 4 jam. Makanan bayi dan susu
formula yang komposisinya mengandung sereal dan susu, merupakan media yang
paling mendukung untuk pertumbuhan Bacillus cereus terutama yang
memproduksi toksin cereulide. Toksin cereulide yang terakumulasi dalam
makanan tersebut, dipengaruhi oleh komposisi penyusun dari makanan bayi serta
adanya kesalahan yang terjadi saat penanganan makanan tersebut (proses
produksi) (Ranad Shaheen et al., 2005).
B. cereus tumbuh cepat apabila substratnya mengandung karbohidrat.
Sedangkan bila substratnya tidak mengandung karbohidrat, pertumbuhannya akan
sangat lambat dan tidak dapat membentuk toksin. B. cereus dapat tumbuh secara
baik pada media yang mengandung 0.025 M glukosa dan mencapai maksimum
setelah 4.5 jam. Produksi toksin terjadi selama pertumbuhan logaritmik, dan
mencapai maksimum sampai glukosa di dalam medium habis dipecah oleh bakteri
45

tersebut. Galur B. cereus yang bersifat patogenik digolongkan ke dalam bakteri


penyebab intoksikasi dan dapat dibedakan atas dua grup berdasarkan sifat
patogeniknya, yaitu galur penyebab diare dan galur penyebab muntah. Galur
penyebab diare yang memproduksi enterotoksin dapat tumbuh pada berbagai
pangan dan mempunyai waktu inkubasi sejak tertelan sampai timbulnya gejala
intoksikasi berkisar antara 8-16 jam. Galur yang memproduksi toksin emetik
mempunyai masa inkubasi lebih pendek, sekitar 1-5 jam (Supardi dan Sukamto,
1999).
Setelah diamati perubahan di MYP agar, koloni yang berwarna pink dan
memiliki zona keruh di sekelilingnya digores ke dalam media TSA. Selanjutnya,
dilakukan uji konfirmasi yang meliputi pewarnaan gram, pewarnaan spora, uji
katalase dan uji motilitas terhadap isolat bakteri tersebut.
Uji konfirmasi yang pertama kali dilakukan terhadap koloni yang diduga
sebagai koloni Bacillus cereus adalah pewarnaan gram. Pewarnaan gram
dilakukan untuk mengetahui morfologi dan jenis bakteri yang dianalisis. Bacillus
cereus merupakan bakteri gram positif yang berbentuk batang. Hasil pewarnaan
gram terhadap Bacillus cereus (Gambar 10) menunjukkan warna ungu yang
mengindikasikan bahwa Bacillus cereus merupakan bakteri gram positif.

Gambar 10. Hasil perwarnaan gram terhadap bakteri yang diduga Bacillus cereus
pada pembesaran 1000x

Beberapa jenis bakteri gram positif, terutama bakteri patogen mempunyai


kemampuan untuk bertahan terhadap kondisi yang kurang maupun yang tidak
menguntungkan bagi bakteri tersebut. Kemampuan bertahan pada kondisi ekstrim
ini menyebabkan bakteri dapat membentuk endospora. Proses sporulasi diawali
46

saat sel vegetatif mengeluarkan sumber nutrisinya secara bertahap. Pada kondisi
yang memungkinkan sel tersebut bertumbuh, maka spora akan bergerminasi dan
kembali menjadi sel vegetatifnya. Endospora mengandung sedikit sitoplasma,
materi genetik, dan ribosom. Dinding endospora yang tebal tersusun atas protein
dan menyebabkan endospora tersebut tahan terhadap kekeringan, radiasi cahaya,
suhu tinggi dan zat kimia. Hal ini terkait dengan kemampuan bakteri tersebut
dalam mentransfer penyakit dari inang yang satu ke inang yang lainnya.
Dua bakteri patogen penting yang mampu membentuk endospora adalah
Bacillus dan Clostridium. Bacillus cereus merupakan bakteri penghasil spora. Uji
konfirmasi setelah perwarnaan gram adalah proses pewarnaan spora. Pewarnaan
spora pada sel vegetatif Bacillus cereus ditunjukkan dengan warna merah dan
pada spora ditunjukkan warna hijau seperti terlihat pada Gambar 11. Sebanyak 4
sampel yang diduga positif Bacillus cereus tersebut menunjukkan bahwa 100%
isolat tersebut merupakan gram positif dan memiliki spora sehingga dapat
dikatakan 100% sampel MP-ASI mengandung Bacillus cereus.

Spora

Sel vegetatif

Gambar 11. Hasil pewarnaan spora terhadap bakteri Bacillus cereus pada
pembesaran 1000x

Uji biokimiawi selanjutnya yang dilakukan terhadap 4 isolat Bacillus


cereus yang diperoleh dari 4 sampel yang dianalisa selain uji pewarnaan gram dan
pewarnaan spora juga dilakukan uji katalase dan uji motilitas. Uji motilitas yang
dilakukan terhadap 4 isolat menunjukkan bahwa isolat yang diperoleh bersifat
tidak motil, yang ditandai dengan tidak adanya tipe pertumbuhan yang terjadi
disepanjang garis tusukan di dalam media SIM seperti yang ditunjukan pada
47

Gambar 12. Sedangkan mikroba yang motil akan tumbuh secara difusi menjauhi
garis tusukan tersebut.

Garis tusukan

Gambar 12. Tipe pertumbuhan pada medium motilitas setelah diinokulasi dengan
isolat Bacillus cereus

Uji katalase juga dilakukan terhadap 4 isolat yang diperoleh dari 4 sampel
yang diduga positif mengandung Bacillus cereus, uji katalase dilakukan dengan
menambahkan larutan 3% H 2 O 2 , isolat bakteri yang memiliki enzim katalase akan
menunjukkan adanya gelembung udara di sekitar koloni seperti yang ditunjukan
pada Gambar 13. Menurut Jay (2000), uji katalase membuktikan adanya enzim
katalase dari isolat yang berfungsi dalam penguraian H 2 O 2 .

Katalase positif

Gambar 13. Adanya gelembung udara menunjukkan Bacillus cereus katalase


positif.

Faktor utama yang diduga dapat memungkinkan terjadi kontaminasi


Bacillus cereus yang ada didalam produk MP-ASI berasal dari bahan baku yang
digunakan (dalam hal ini susu dan beras), faktor lain yang memungkinkan
48

terjadinya kontaminasi cemaran Bacillus cereus dapat berasal dari lingkungan,


kontak dengan tangan pekerja baik yang menggunakan sarung tangan maupun
yang tidak menggunakan, penanganan pangan yang dilakukan oleh orang yang
sakit atau pembawa patogen, kebersihan peralatan pengolahan yang kurang baik,
penyimpanan dalam lingkungan yang telah terkontaminasi (contohnya : ruang
stok bahan baku). Pengolahan susu segar menjadi susu bubuk yang nantinya akan
digunakan untuk formulasi produk makanan bayi dan balita ternyata tidak dapat
mengeliminasi keberadaan spora dari kelompok Bacillus. Susu segar tersebut
dikontaminasi oleh Bacillus cereus sesaat setelah proses pemerasan susu, dimana
susu tersebut dibiarkan terbuka dan terpapar udara serta debu. Makanan bayi yang
mengandung bahan-bahan sereal dan susu adalah yang paling mendukung untuk
produksi Bacillus cereus cereulide.
Bacillus cereus biasanya terdapat di dalam susu, daging, rempah-rempah
dan sereal. Pangan yang mengandung lebih dari 104-105 sel atau spora per gram
tidak aman untuk dikonsumsi karena dosis infeksi diperkirakan berkisar antara
105-108 sel atau spora per gram (Beattie et al., 1999).
Komposisi MP-ASI bubuk instan dibuat dari salah satu atau campuran
bahan-bahan berikut ini : serealia (misalnya beras, jagung, gandum, sorgum,
barley, oats, rye, millet, buckwheat), umbi-umbian (misalnya ubi jalar, ubi kayu,
garut, kentang, gembili), bahan berpati (misalnya sagu, pati, aren), kacang-
kacangan (misalnya kacang hijau, kacang merah, kacang tunggak, kacang dara),
biji-bijian yang mengandung minyak (misalnya kedelai, kacang tanah, wijen),
susu, ikan, daging, unggas, dan buah. Pada penelitian ini komposisi dari sampel
yang di analisa dibuat seragam dengan harapan komposisi dari MP-ASI tidak
akan mempengaruhi hasil akhir mikroorganisme yang diperoleh. Adanya mikroba
ini disebabkan karena penggunaan bahan baku yang tidak steril atau
rekontaminasi selama proses pencampuran dan pengemasan. Bahan-bahan
tersebut di pabrik dicampur secara kering (dry mix). Proses pencampuran secara
kering tersebut tidak menggunakan panas, sehingga berisiko terkontaminasi
mikroba selain itu pelaksanaan GMP pada pabrik pengolahan MP-ASI juga
merupakan hal yang wajib diperhatikan agar produk yang dihasilkan aman untuk
49

dikonsumsi (jumlah mikroorganisme rendah dan tidak membahayakan


konsumen).
Pelaksanaan GMP (Good Manufacturing Practices) merupakan praktek-
praktek dengan penerapan persyaratan sanitasi dan proses produksi yang tepat
untuk menghasilkan produk yang aman dikonsumsi. GMP diterapkan pada
tahapan pengolahan/proses bahan pangan untuk menghasilkan produk akhir yang
bermutu baik dan aman. Penerapan GMP pada industri pangan meliputi personil,
peralatan, fasilitas, bangunan serta tahapan proses dan produksi yang terkontrol.
Penerapan GMP dimulai dari saat perencanaan untuk membuat pabrik produk
pangan (bangunan), raw material, proccces plant, dan penyimpanan. Pada
tahapan pengolahan bahan pangan.
Beberapa hal yang memungkinkan untuk menjadi sumber kontaminasi
pada industri pangan adalah : (a) bahan baku mentah, proses pembersihan dan
pencucian untuk menghilangkan kulit dan untuk mengurangi jumlah mikroba
pada bahan mentah, khususnya dalam bentuk spora; (b) peralatan/mesin yang
berkontak langsung dengan makanan, alat ini harus dibersihkan secara berkala
dan efektif dengan interval waktu agak sering, guna menghilangkan sisa makanan
yang memungkinkan sumber pertumbuhan mikroba; (c) peralatan untuk
sterilisasi, harus diusahakan dan dipelihara agar berada di atas suhu 75–760C agar
bakteri thermofilik dapat dibunuh dan dihambat pertumbuhannya; (d) air untuk
pengolahan makanan, air yang digunakan sebaiknya memenuhi persyaratan air
minum; (e) air pendingin kaleng, setelah proses sterilisasi berakhir, kalengnya
harus segera didinginkan dengan air pendingin kaleng yang mengandung
disinfektan dalam dosis yang cukup. Biasanya digunakan khlorinasi air sehingga
residu khlorine 0,5 – 1,0 ppm; (f) peralatan atau mesin yang menangani produk
akhir (post process handling equipment). Pembersihan peralatan ini harus kering
dan bersih untuk menjaga agar tidak terjadi rekontaminasi.

Pengaruh Suhu Air yang digunakan Saat Preparasi MP-ASI terhadap


sel vegetatif Bacillus cereus

Penelitian pada tahap ini dilakukan dengan menggunakan sampel produk


yang jumlah awal Bacillus cereus telah diketahui, dimana dari 6 sampel yang
50

dilakukan analisa hanya 1 sampel yang digunakan, hal ini didasarkan pada jumlah
total koloni Bacillus cereus yang terdapat pada produk MP-ASI (produk yang
memiliki jumlah total koloni Bacillus cereus tinggi yang dipergunakan untuk uji
pengaruh suhu air saat preparasi). Pada tahap ini dilakukan pengamatan terhadap
pertumbuhan Bacillus cereus pada media MYP agar dengan perlakuan suhu air
preparasi MP-ASI suhu 30⁰, 70⁰, dan 90⁰C, pengamatan terhadap larutan MP-ASI
dilakukan selama 60 menit dengan penyimpanan pada suhu ruang ± 27°C.
Melarutkan MP-ASI (bubuk instan) dengan air matang panas menjadi
bentuk siap dikonsumsi, seharusnya mampu mengeliminasi sebagian besar bakteri
di dalamnya. Namun yang terjadi dilapangan berbeda dari yang diharapkan.
Jumlah bakteri terutama sel vegetatif Bacillus cereus setelah pelarutan MP-ASI
meningkat secara nyata (p< 0.05). Perubahan jumlah sel vegetatif Bacillus cereus
pada sampel MP-ASI produk B ini dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 14.
Berdasarkan Gambar 14, terlihat bahwa jumlah sel semakin meningkat dengan
semakin lamanya waktu pengamatan.

2,30 30 70 90
Jumlah sel vegatatif Bacillus cereus

2,22
2,20
2,17 R² = 1
(log cfu/g)

2,14 2,14

2,06
2,01 R² = 0,923
1,98
1,98 1,97 2,00 R² = 0,964
1,98
1,94
1,90
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu pengamatan (menit)

Gambar 14. Perubahan jumlah sel vegetatif Bacillus cereus alami pada produk PR
II selama penyimpanan 1 jam pada suhu ruang, dengan suhu air
preparasi 30⁰C, 70⁰C dan 90⁰C

Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan suhu air 30⁰C yang
digunakan saat preparasi menghasilkan jumlah log cfu/g paling besar dan berbeda
nyata terhadap perlakuan suhu air 70⁰C dan suhu air 90⁰C, tetapi perlakuan suhu
51

air 70⁰C tidak berbeda nyata dengan suhu air 90⁰C. Hasil ANOVA dapat dilihat
pada Lampiran 9.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, menunjukkan bahwa perlakuan
suhu air yang digunakan untuk preparasi MP-ASI (bubuk instan) dapat
mempengaruhi jumlah sel vegetatif Bacillus cereus alami yang ada didalam
produk (α < 0.05). Perlarutan MP-ASI menggunakan suhu air 30⁰C menghasilkan
total jumlah koloni sebesar 2.17 CFU/g dengan standar deviasi sebesar 0.03,
dengan lama waktu pengamatan 60 menit, dimana pengamatan ini dilakukan pada
menit ke-0, 30 dan 60 menit, hal ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya
pengaruh lamanya penyimpanan setelah preparasi terhadap pertumbuhan sel
vegetatif Bacillus cereus. Pelarutan MP-ASI menggunakan suhu air 70⁰C
menghasilkan total jumlah koloni sebesar 1.99 CFU/g dengan standar deviasi
sebesar 0.02, dengan lama waktu pengamatan 60 menit dan pelarutan MP-ASI
menggunakan suhu air 90⁰C menghasilkan total jumlah koloni sebesar 1.97
CFU/g dengan standar deviasi sebesar 0.03, dengan lama waktu pengamatan 60
menit (sama seperti perlakuan suhu air 30⁰C).
Pada tahap ini pemilihan suhu air yang digunakan untuk preparasi MP-ASI
yang baik adalah suhu 70⁰C sesuai dengan saran penyajian yang tertera pada
kemasan produk. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Purwanti (2009), yang
menyatakan bahwa suhu air yang digunakan untuk proses preparasi MT-P
berpengaruh nyata terhadap proses germinasi spora Bacillus cereus, dimana pada
suhu 35⁰C diperoleh jumlah koloni yang lebih tinggi dengan rata-rata koloni awal
sebesar 2.79 x 103 CFU/ml dibandingkan dengan suhu air 70⁰C dengan rata-rata
koloni awal sebesar 2.30 x 103 CFU/ml.
Bertambahnya jumlah bakteri dalam MP-ASI (bubuk instan), selain akibat
spora yang sudah ada di dalam MP-ASI, juga karena suhu preparasi dibawah
70⁰C. Hal ini dikaitkan dengan kemampuan spora tersebut untuk tumbuh lebih
cepat, karena tidak perlu terlalu lama beradaptasi untuk menyesuaikan diri. Suhu
awal preparasi ternyata berpengaruh pada kecepatan melakukan multipikasi,
dimana pada suhu 42⁰C kecepatan multipikasi bervariasi antara 11-34 menit
(Borge et al.,2001).
52

Pelarutan susu formula dengan menggunakan suhu 70⁰C, jika disimpan


pada suhu ruang (27-30⁰C) dalam waktu ± 2 jam dengan kondisi pelarutan
menggunakan wadah tertutup mampu menurunkan suhu pelarutan menjadi ±
27⁰C. Jika pelarutan menggunakan suhu yang lebih rendah, maka kesesuaian suhu
MP-ASI dengan suhu ruang akan dicapai dalam waktu yang lebih cepat. Hasil
penelitian Purwanti (2009), menyatakan bahwa pengukuran suhu preparasi di
lapangan memperlihatkan 98% responden lebih senang menggunakan suhu
<70⁰C, dimana 12% sampel ditemukan mengandung Bacillus cereus dengan
jumlah antara 1.0 x 102 – 5.7 x 103 CFU/ml.
Berdasarkan kurva pertumbuhan Bacillus cereus pada Gambar 15 terlihat
peningkatan jumlah koloni pada waktu pengamatan jam ke-2. Dari hasil kurva
pertumbuhan tersebut dapat dikatakan bahwa fase lag dimulai dari jam ke-0
sampai 2 jam, fase log dari 2 jam sampai sekitar 14 jam, dan fase stasioner pada
jam ke-14 sampai 24 jam waktu pengamatan. Output hasil fitting menggunakan
DMFit terhadap pola pertumbuhan Bacillus cereus pada suhu optimumnya dapat
dilihat pada Lampiran 10. Hasil fitting menunjukkan persamaan dengan µ sebesar
0.72 CFU.g-1 jam-1, fase lag selama 3.82 jam dan R2 sebesar 0.99.

10
Total Koloni Bacillus cereus (Log cfu/g)

9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Waktu Pengamatan (jam)

Gambar 15. Pola pertumbuhan Bacillus cereus alami pada produk B MP-ASI,
pada suhu optimum pertumbuhan 30-40°C selama 24 jam dengan
suhu air preparasi 70⁰C (♦ data eksperimen, — hasil fitting DMFit)
53

Pada dasarnya tahap pertumbuhan bakteri adalah fase adaptasi (lag), fase
pertumbuhan (log), fase stasioner dan fase kematian (death). Tahap tersebut
digambarkan dalam bentuk kurva/model sigmoid. Model sigmoid dalam
sejarahnya digunakan untuk menggambarkan peningkatan logaritma densitas sel
bakteri terhadap waktu. Pertumbuhan dapat diamati dari meningkatnya jumlah sel
atau massa sel (berat kering sel). Pada umumnya bakteri dapat memperbanyak diri
dengan pembelahan biner, yaitu dari satu sel membelah menjadi 2 sel baru, maka
pertumbuhan dapat diukur dari bertambahnya jumlah sel. Waktu yang diperlukan
untuk membelah diri dari satu sel menjadi dua sel sempurna disebut waktu
generasi. Waktu yang diperlukan oleh sejumlah sel atau massa sel menjadi dua
kali jumlah/massa sel semula disebut doubling time atau waktu penggandaan.
Waktu penggandaan tidak sama antara berbagai mikroba, dari beberapa menit,
beberapa jam sampai beberapa hari tergantung kecepatan pertumbuhannya.
Kecepatan pertumbuhan merupakan perubahan jumlah atau massa sel per unit
waktu. Pada fase permulaan, bakteri baru menyesuaikan diri dengan lingkungan
yang baru, sehingga sel belum membelah diri. Sel mikroba mulai membelah diri
pada fase pertumbuhan yang dipercepat, tetapi waktu generasinya masih panjang.
Fase permulaan sampai fase pertumbuhan dipercepat sering disebut lag
phase. Kecepatan sel membelah diri paling cepat terdapat pada fase pertumbuhan
logaritma atau pertumbuhan eksponensial, dengan waktu generasi pendek dan
konstan. Selama fase logaritma, metabolisme sel aktif, sintesis bahan sel sangat
cepat dengan jumlah konstan sampai nutrien habis atau terjadinya penimbunan
hasil metabolisme yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan. Selanjutnya
pada fase pertumbuhan yang mulai terhambat, kecepatan pembelahan sel
berkurang dan jumlah sel yang mati mulai bertambah. Pada fase stasioner
maksimum jumlah sel yang mati semakin meningkat sampai terjadi jumlah sel
hidup hasil pembelahan sama dengan jumlah sel yang mati, sehingga jumlah sel
hidup konstan. Pada fase kematian yang dipercepat, kecepatan kematian sel terus
meningkat sedang kecepatan pembelahan sel nol, sampai pada fase kematian
logaritma maka kecepatan kematian sel mencapai maksimal, sehingga jumlah sel
hidup menurun dengan cepat seperti deret ukur. Walaupun demikian penurunan
54

jumlah sel hidup tidak mencapai nol, dalam jumlah minimum tertentu sel
mikrobia akan tetap bertahan sangat lama dalam medium tersebut.

Pengaruh Suhu Air yang Digunakan Saat Preparasi MP-ASI terhadap


sel vegetatif Bacillus cereus ATCC 10867

Penelitian pada tahap kali ini dilakukan dengan menggunakan sampel


produk yang jumlah awal Bacillus cereus nol, dimana dari 6 sampel yang
dilakukan analisa ada 2 sampel yang setelah diuji keberadaan Bacillus cereus
hasil negatif (0). Sampel yang dipergunakan terlebih dahulu telah diinokulasikan
dengan spora Bacillus cereus yang diperoleh dari proses produksi spora pada
tahap sebelumnya. Pada tahap ini dilakukan pengamatan terhadap pertumbuhan
Bacillus cereus ATCC 10867 pada media MYP agar dengan perlakuan suhu air
preparasi MP-ASI 30⁰, 70⁰, dan 90⁰C, pengamatan selama 60 menit dengan
penyimpanan pada suhu ruang ± 27°C dengan jumlah awal mikroba yang
diinokulasikan sebesar 103 cfu/ml.
Jumlah bakteri terutama sel vegetatif Bacillus cereus setelah pelarutan
MP-ASI meningkat secara nyata (p< 0.05). Perubahan jumlah sel vegetatif
Bacillus cereus pada sampel MP-ASI produk CR II ini dapat dilihat dengan jelas
pada Gambar 16. Berdasarkan Gambar 16, terlihat bahwa jumlah sel semakin
meningkat dengan semakin lamanya waktu pengamatan (α < 0.05).
55

2,25 2,25
R² = 0.972
2,23
2,20
Jumlah sel vegetatif Bacillus cereus
2,20

2,15 2,14 R² = 0.999


(Log CFU/g)

2,12 2,13
R² = 0.999
2,10 2,11
2,10
2,09
30 70 90

2,05
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu Pengamatan (menit)

Gambar 16. Perubahan jumlah sel vegetatif Bacillus cereus dengan penambahan
spora sebesar 103 cfu/ml, pada produk CR II selama penyimpanan 1
jam pada suhu ruang dengan suhu air preparasi 30⁰C, 70⁰C dan
90⁰C.
Hasil ANOVA dapat dilihat pada Lampiran 11. Uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa perlakuan suhu air 30⁰C yang digunakan saat preparasi
menghasilkan jumlah log cfu/g paling besar dan berbeda nyata terhadap perlakuan
suhu air 70⁰C dan perlakuan suhu air 90⁰C, tetapi jumlah koloni pada perlakuan
suhu air 70⁰C tidak berbeda nyata dengan jumlah koloni pada perlakuan suhu air
90⁰C. Perlakuan suhu air berbeda nyata dengan waktu pengamatan, dimana pada
menit ke-60 jumlah koloni yang diperoleh tinggi dan berbeda nyata dengan menit
ke-0 dan menit ke-30.
Perlarutan MP-ASI menggunakan suhu air 30⁰C menghasilkan total
jumlah koloni sebesar 2.22 x 102 log CFU/g dengan standar deviasi sebesar 0.02,
dengan lama waktu pengamatan 60 menit, pelarutan MP-ASI menggunakan suhu
air 70⁰C menghasilkan total jumlah koloni sebesar 2.12 x 104 log CFU/g dengan
standar deviasi sebesar 0.05, dengan lama waktu pengamatan 60 menit dan
pelarutan MP-ASI menggunakan suhu air 90⁰C menghasilkan total jumlah koloni
sebesar 2.11 x 104 log CFU/g dengan standar deviasi sebesar 0.06, dengan lama
waktu pengamatan 60 menit. WHO (2004), menyatakan bahwa penggunaan air
matang suhu 70⁰C untuk melarutkan susu formula dapat menekan kontaminan E.
sakazakii hingga log 4.
56

Total koloni awal (menit ke-0) yang diperoleh pada hasil penelitian ini
mengalami penurunan 1 log cfu/g, hal ini disebabkan karena pada saat
penambahan spora ke dalam sampel menggunakan botol spray, jadi kemungkinan
spora ada yang tertinggal dalam botol spray saat penyemprotan sampel.
Penggunaan botol spray pada saat penambahan spora didasarkan pada volume
spora/ml yang digunakan sebesar 2 ml, hal ini diharapkan mampu mempermudah
penambahan spora ke dalam sampel produk MP-ASI dan memperkecil
kemungkinan sampel produk menggumpal (lebih homogen).
Spora yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam produk ternyata mampu
melakukan proses germinasi (spora berubah menjadi sel vegetatif) setelah diberi
perlakuan suhu air yang berbeda dengan waktu generasi yang berbeda. Hal ini
sesuai dengan penelitian Purwanti (2009), menyatakan bahwa suhu air (35⁰C)
yang digunakan untuk pelarutan susu formula memiliki kemampuan untuk
meningkat proses germinasi dengan waktu generasi sebesar 24 menit.
Untuk meminimalkan resiko, disarankan untuk segera mungkin
mengkonsumsi MP-ASI yang telah dilarutkan dan memperpendek waktu
konsumsi (feeding time) menjadi dua jam dan untuk MP-ASI yang tidak habis
dimakan harus dibuang. Menyimpan makanan pada suhu ruang ternyata
meningkatkan jumlah bakteri di dalam makanan. Feeding time yang disarankan
oleh Codex Alimentarius Commision untuk semua produk makanan pendamping
ASI termasuk susu formula bubuk dan bubuk instan adalah ± 2 jam, hal tersebut
dilandasi oleh penelitian yang dilakukan pada E.sakazakii dan Salmonella pada
produk susu formula bubuk (FAO 2006). Penelitian Purwanti (2009), mengatakan
bahwa susu formula terlarut yang telah ditambahkan 103 spora/ml Bacillus cereus
dan disimpan pada suhu ruang (±30⁰C) selama 4 jam, ternyata spora Bacillus
cereus melakukan germinasi menjadi sel vegetatif dan bermultifikasi sebesar 1 log
dalam 3 jam.
Endospora dapat tumbuh menjadi sel vegetatif apabila kondisi
lingkungannya memungkinkan. Proses germinasi dirangsang oleh perlakuan
kejutan panas (heat shock) pada suhu subletal, adanya asam amino, glukosa, dan
ion-ion magnesium dan mangan. Pada waktu germinasi sifat dorman endospora
menghilang sehingga mulai terjadi aktivitas metabolisme yang mengakibatkan sel
57

dapat tumbuh (Fardiaz, 1992). Proses germinasi dirangsang oleh faktor nutrisi dan
non nutrisi (bahan kimia dan enzim). L-alanin merupakan nutrisi paling umum
yang merangsang proses germinasi dengan cara menarik air masuk ke dalam
spora dan mengurangi Ca2+ dan asam dipikolinat sehingga spora kehilangan sifat
refraktilnya dan mulai terjadi metabolisme pada inti spora (Pol et al, 2001).
Aktivasi dengan panas (heat activation) bersifat reversible. Spora dapat
menjadi dorman kembali apabila suhu aktivasi diturunkan. Proses ini dapat
meningkatkan germinasi spora sampai 90%. Selama proses heat activation akan
terjadi pemutusan ikatan hidrogen dan ikatan sulfida pada protein spora serta
pelepasan Ca-DPA (Zhang et al, 2009). Setelah germinasi maka akan terjadi
proses outgrowth. Outgrowth meliputi biosisntesis dan perbaikan proses setelah
germinasi dan sebelum petumbuhan sel vegetatif. Selama outgrowth akan terjadi
pembengkakan spora karena hidrasi dan pengambilan nutrisi, perbaikan dan
sintesis RNA, protein dan bahan untuk membran dan dinding sel, pelarutan
lapisan luar spora, elongasi sel, dan replikasi DNA. Faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya outgrowth adalah nutrisi, pH, dan suhu. Setelah
outgrowth maka sel vegetatif keluar dari spora dan mulai tumbuh (Ray, 2001).

Pengaruh Penyimpanan MP-ASI (bubuk instan) terhadap Spora


Bacillus cereus ATCC 10867

Penelitian pada tahap kali ini dilakukan dengan menggunakan sampel


produk yang jumlah awal Bacillus cereus nol, dimana dari 6 sampel yang
dilakukan analisa ada 2 sampel yang setelah diuji keberadaan Bacillus cereus
hasil negatif (0). Sampel yang dipergunakan terlebih dahulu telah diinokulasikan
dengan spora Bacillus cereus yang diperoleh dari proses produksi spora pada
tahap sebelumnya. Pada tahap ini dilakukan pengamatan terhadap kemampuan
spora Bacillus cereus ATCC 10867 bertahan selama proses penyimpanan pada
suhu ruang dengan perlakuan suhu air preparasi MP-ASI 70⁰C, dimana proses
pengamatan dilakukan selama 60 menit dengan penyimpanan pada suhu ruang ±
27°C dengan jumlah awal spora yang diinokulasikan sebesar 2.5 x 103 cfu/ml.
Jumlah bakteri terutama sel vegetatif Bacillus cereus setelah penyimpanan
MP-ASI meningkat secara nyata (p< 0.05). Perubahan jumlah sel vegetatif
58

Bacillus cereus pada sampel MP-ASI produk CR II ini dapat dilihat dengan jelas
pada Gambar 17. Berdasarkan Gambar 17, terlihat bahwa jumlah sel semakin
meningkat dengan semakin lamanya waktu pengamatan.

0 30 60
2,68
Total koloni B.cereus (log cfu/g)

2,64

2,60

2,56

2,52

2,48

2,44
0 2 4 6 8
Waktu Pengamatan (Minggu)

Gambar 17. Perubahan jumlah sel vegetatif Bacillus cereus dengan penambahan
spora sebesar 2.5x103 cfu/ml, dengan proses penyimpanan MP-ASI
produk CR II pada suhu ruang dengan lama pengamatan 60 menit
dan suhu air preparasi 70⁰C

Hasil ANOVA dapat dilihat pada Lampiran 12. Uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa perlakuan penyimpanan pada minggu ke-0 menghasilkan
jumlah log cfu/g paling kecil dan berbeda nyata terhadap perlakuan penyimpanan
pada minggu ke-2, 4, 6 dan perlakuan penyimpanan minggu ke-8. Perlakuan
penyimpanan pada minggu ke-2 tidak menunjukkan beda nyata dengan perlakuan
penyimpanan minggu ke-0 dan pada minggu ke-4, tetapi berbeda nyata dengan
minggu ke-6 dan minggu ke-8. Perlakuan penyimpanan pada minggu ke-4 tidak
menunjukkan beda nyata dengan perlakuan penyimpanan minggu ke-2 dan pada
minggu ke-6, tapi berbeda nyata dengan minggu ke-0 dan minggu ke-8. Perlakuan
penyimpanan pada minggu ke-6 menunjukkan beda nyata dengan perlakuan
penyimpanan pada minggu ke-0, 2 dan 8, tetapi tidak berbeda nyata dengan
perlakuan penyimpanan pada minggu ke-4. Perlakuan penyimpanan pada minggu
ke-8 menunjukkan beda nyata dengan perlakuan penyimpanan pada minggu ke-0,
2, 4 dan 6. Perlakuan waktu pengamatan berbeda nyata untuk semua perlakuan
59

penyimpanan MP-ASI bubuk instan, dimana pada menit ke-60 jumlah koloni
yang diperoleh tinggi dan berbeda nyata dengan menit ke-0 dan menit ke-30.
Produk ini memiliki kadar air awal sebesar ± 4.0 gram per seratus gram
dan Aw sebesar 0.45. Berdasarkan hasil penelitian diatas, ternyata spora yang
dengan sengaja diinokulasikan kedalam produk sebesar 2.5 x 103 cfu/ml tersebut
mampu bertahan selama proses penyimpanan berlangsung dan spora juga mampu
bertahan terhadap suhu air 70⁰C yang digunakan saat preparasi produk MP-ASI
serta mampu bergerminasi menjadi sel vegetatif Bacillus cereus. Spora tersebut
ternyata juga mampu melakukan proses germinasi selama proses penyimpanan (8
minggu), pada suhu ruang (± 27⁰C) dengan kelembaban ruang sebesar > 70%.
Total koloni awal (menit ke-0) pada minggu ke-0 yang diperoleh pada
hasil penelitian ini mengalami penurunan 1 log cfu/g, hal ini disebabkan karena
kurang homogen sampel dan spora yang ditambahkan kedalam produk.
Penambahan spora ke dalam produk sebesar 0,5 ml spora/kemasan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Purwanti (2009), menyatakan
bahwa kelembaan udara, baik kelembaban tinggi >70 % maupun kelembaban
rendah <50 % secara nyata mempengaruhi Aw susu formula bubuk yang disimpan
selama 5 hari. Pada susu formula yang dikontaminasi dengan B.cereus, beda rata-
rata jumlah B. cereus secara nyata terjadi setelah dua hari penyimpanan. Suhu
udara lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam germinasi spora
B. cereus, ini terlihat dari bertambahnya bakteri pada susu formula yang disimpan
dalam tempat tertutup walaupun nilai Aw cenderung tidak berubah dari hari ke
hari. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Gurtier dan Beuchat (2007), yang
menyatakan bahwa E. sakazakii yang dengan sengaja diinokulasikan ke dalam
susu formula berbahan dasar susu dan tepung kacang kedelai, mampu bertahan
pada rentang Aw antara 0.43-0.86.
Bakteri pembentuk spora, seperti Bacillus sp dan Clostridium sp perlu
pengendalian Aw yang lebih ketat selama proses penyimpanan. Hal ini terkait
dengan kemampuan spora yang dapat mulai bergerminasi pada Aw yang lebih
rendah daripada Aw yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimum bakteri itu
sendiri (Syarief R dan Hariyadi H, 2000). Hasil penelitian ini membuktikan
60

bahwa spora B.cereus ternyata dapat bertahan pada MP-ASI bubuk instan
(Gambar 17) yang memiliki Aw antara 0.44-0.73.
Komposisi penyusun matriks makanan terhadap ketahanan panas spora
Bacillus cereus pernah dilakukan penelitian. Hasil penelitian tersebut menyatakan
bahwa spora B.cereus cukup tahan terhadap panas, namun resistensinya akan
meningkat dalam makanan yang tinggi lemak dan berminyak (misalnya minyak
kedelai, D121oC = 30 menit) dan makanan yang umumnya memiliki aktivitas air
yang rendah. Keberadaan B. cereus dalam makanan olahan hasil dari kontaminasi
bahan baku dan proses panas selama pengolahan makanan meningkatkan
resistensi spora B.cereus (AIFST, 2003).
61

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Jumlah total mikroba yang ada didalam MP-ASI masih dibawah batas
standar nilai dari SNI 01-7111.1-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu
(MP-ASI) bubuk instant, mengenai batas cemaran maksimun mikroba yang
mencantumkan angka lempeng total sebesar 1.0 x 104 koloni/g. Hasil rata-rata
Total Plate Count yang diperoleh untuk perlakuan pelarutan MP-ASI
menggunakan suhu air preparasi 30⁰C adalah sebesar 1.93 CFU/g ± 0.66,
menggunakan suhu air preparasi 70⁰C sebesar 1.54 CFU/g ± 0.92, dan pelarutan
MP-ASI menggunakan suhu air 90⁰C menghasilkan rata-rata total jumlah koloni
sebesar 1.47 CFU/g ± 0.86.
Dari 6 sampel (PR I, PR II, CR I, CR II, SN I dan SN II) yang dianalisa,
terdapat 4 sampel yang positif mengandung Bacillus cereus dengan kandungan
Bacillus cereus yang bervariasi mulai dari 1.73 cfu/g hingga 2.06 cfu/g.
Pengetahuan tentang tatacara preparasi terutama suhu air yang digunakan
untuk melarutkan MP-ASI menunjukkan hasil yang signifikan terhadap
pertumbuhan sel vegetatif Bacillus cereus, dimana suhu air 30⁰C yang digunakan
saat preparasi menghasilkan jumlah Bacillus cereus log cfu/g paling besar.
Pertumbuhan sel vegetatif Bacillus cereus juga menunjukkan hasil yang
signifikan dengan lamanya waktu penyimpanan MP-ASI yang sudah dilarutkan
pada suhu ruang (28-29⁰C). Suhu air preparasi yang disarankan untuk
mengurangi atau mengelimanisasi sebagian mikroorganisme yang ada didalam
produk MP-ASI adalah suhu 70⁰C.
Pertumbuhan spora Bacillus cereus berbeda nyata dengan lamanya waktu
penyimpanan MP-ASI pada suhu ruang, dimana spora Bacillus cereus tersebut
mampu bergerminasi pada kondisi suhu penyimpanan ruang. Spora B. cereus
mampu bertahan pada kondisi lingkungan yang ekstrim terutama terhadap Aw dan
kadar air yang rendah, spora ini juga mampu bertahan dan berubah menjadi sel
vegetatif terhadap suhu air yang digunakan saat preparasi MP-ASI.
62

Saran

Perlu dilakukan penelitian serupa dengan jumlah sampel yang lebih


banyak terutama untuk produk MP-ASI bubuk instant dan produk MP-ASI
biskuit, sehingga dapat memberikan gambaran keberadaaan Bacillus cereus pada
produk MP-ASI yang beredar dipasaran Indonesia saat ini. Serta perlu dilakukan
perhitungan terhadap jumlah spora Bacillus cereus yang ada didalam produk MP-
ASI dan perlu dilakukan penelitian terhadap proses penyimpanan MP-ASI dengan
pengaturan kadar Aw, kelembaban dan suhu lingkungan tempat penyimpanan
MP-ASI tersebut terhadap kemampuan spora Bacillus cereus bertahan dalam
produk tersebut.
63

DAFTAR PUSTAKA

Aas N, Gondrosen B, Langeland G. 1992. Norwegian Food Control Authority’s


report on Food Associated Diseases in 1990. SNT-Report 3. Olso.

ACT Health Australian Capital Territory Department of Health. 2006.


Microbiological Quality of Cooked Rice.
http://www.health.act.gov.au/c/health [ 21 April 2011].

Andersson Borge GI, Skeie M, Sorhaug T, Langsrud T, Granum, PE. 2001.


Growth and toxin profile of Bacillus cereus isolated frim different food
sources. Internasional Journal of Food Microbiology. 69: 237-246.

Andersson MA, Jaa Skelainen EL, Shaheen R, Pirhonen T, Wijnands LM,


Salkinoja-Salonen MS. 2004. Sperm bioassay for rapid detection of
cereulide producing Bacillus cereus in food and related environments.
International Journal of Food Microbiology. 94(5): 1453–1457.

Batt CA. 2000. Encyclopedia of Food Microbiology. Academic Press. San Diego.

[BAM] Bacteriological Analytical Manual. 2001a. Aerobic Plate Count.


http://www.fda.gov/Food/ScienceResearch/LaboratoryMethods/Bacteriolo
gicalAnalyticalManualBAM/UCM063346 [ 21 Oktober 2010].

_______. 2001b. Bacillus cereus.


http://www.fda.gov/Food/ScienceResearch/LaboratoryMethods/Bacteriolo
gicalAnalyticalManualBAM/UCM070875 [ 21 Oktober 2010].

_______. 2001c. GramStrain.


http://www.fda.gov/Food/ScienceResearch/LaboratoryMethods/Bacteriolo
gicalAnalyticalManualBAM/UCM062229 [ 21 Oktober 2010].

Bean NH and PM Griffin. 1990. Foodborne Dissease Outbreaks in The United


States, 1973-1987: Pathogens, Vehicles and Trends. Journal of Food
Protein 53.

Beattie SH and Williams AG. 1999. Detection of toxins. Di dalam: Robinson RK,
Batt CA, Patel PD (eds). Encyclopedia of Food Microbiology Volume
One. London: Academic Press, pp 119-124.

Becker H, Schaller G, von Wiese W, Terplan G. 1994. Bacillus cereus in Infant


Food and Dried Milk Products. Internasional Journal of Food
Microbiology. 23:1-15.

Beecher DJ, MacMillan JD. 1990. A Novel Bicomponent Haemolysin From


Bacillus cereus. Infection Immunology. 58:2220-2227.
64

Beecher DJ, Pulido JS, Barney NP, Wong AC. 1995. Extracellular Virulence
Factors in Bacillus cereus Endophtalmitis: Methods and Implication of
Involvement of Hemolysin BL. Infection Immunology. 63:632-639.

[BD] Becton, Dickinson, and Company. 2010. MYP Agar Antimicrobic Vial P.
http://www.bd.com/ds/technicalCenter/insert/MYP_Agar.pdf [ 28 Oktober
2010].

Blackburn, Clive de and McClure, PJ. 2002. Foodborne pathogens : Hazards, Risk
Analysis and Control. New York: CRC Press.

Borge GIA, Skeie M, Sorhaug T, Langsrud T, Granum PE. 2001. Growth and
toxin profile of Bacillus cereus isolated from different food sources.
Internasional Journal of Food Microbiology 69:237-246.

Burgess G, Horwood P. 2006. Development of Improved Molecular Detection


Methods for Bacillus cereus Toxins. Rural Industries Research and
Development Corporation, Kingston.

Dadhicd JP. 2006. How Safe Are Infant Formulas. Journal of Neonatology 20:60-
63.

Dahl MK. 1999. Bacillus. Di dalam : Robinson RK, Batt CA, Patel PD. (eds).
Encyclopedia of Food Microbiology Volume One. London: Academic
Press. pp 113-119.

Depkes RI. 2000. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). Departemen
Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Direktorat Jenderal Kesehatan
Masyarakat, Direktorat Gizi Masyarakat. Jakarta.

Ehling-Schulz M, Vukov N, Schulz A, Shaheen R, Andersson M, Martlbauer E,


Scherer S. 2005. Identification and partial characterization of the
nonribosomal peptide synthetase gene responsible for cereulide production
in emetic Bacillus cereus. Applied and Environmental Microbiology 71
(1): 1105– 1113.

[EFSA] European Food Safety Authority. 2004. Microbiological Risks In Infant


Formulae and Follow-on Formulae. The EFSA Journal 113:1-35.

Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

________. 1998. Mikrobiologi Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


Bogor: Institut Pertanian Bogor Press.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2006. Enterobacter sakazakii and


Salmonella in powdered infant formula: meeting report, Microbiological
Risk Assessment Series 10.
65

From C, Hormazabal V, Granum PE. 2007. Food poisoning associated


pumilacidin-producing Bacillus pumilus in rice. Internasional Journal of
Food Microbiology 115: 319-324.

[FSANZ] Food Standard Australia and New Zealand. 2003. Application A 454:
Bacillus cereus Limits in Infant Formula. Assesment Report. Canberra-
Wellington.

Gianella RA, Brasile L. 1997. A Hospital Food-Borne Outbreak of Diarrhea


Caused by Bacillus cereus: clinical, epidemiologic and microbiologic
studies. Journal of Infection. Dis 139:366-370.

Gibbs, P. 2003. Characteristics of spore-forming bacteria. Di dalam : Blackburn,


C. de W. and McClure, P.J. (eds). Foodborne Pathogens Hazards, Risk
Analysis and Control. Cambridge: Woodhead Publishing Limited, pp 417-
435.

Gilbert RJ, Stringer MF, and Pearce JM. 1979. The Survival and Growth of
Bacillus cereus in Boiled and Fried Rice in Relation to Outbreaks of Food
Poisoning. Journal of Hygiene 73: 433-444.

Granum PE, Brynestad S, Sullivan K, Nissen H. 1993. The enterotoxin from


Bacillus cereus: production and biochemical characterization. Neth. Milk
Dairy Journal. 47:63-70

Granum PE, Lund T. 1997. Bacillus cereus and its Food Poisoning Toxins. FEMS
Microbial Letter. 157.

Gurtier JB, Beuchat LR. 2007. Survival of Enterobacter sakazakii in powedered


infant formula as affected by composition, water activity, and temperature.
Journal of Food Protein. 70:1579-1586.

Harmon SM, Goepfert JM and Bennet RW. 1992. Compendium of Method For
The Microbiological Examination of Food, 3rd ed. Washington: American
Public Health Association.

Hartoyo DW. Martianto B, Setiawan D, Briawan dan LN Yuliati. 2000.


Pemberian Makanan Tambahan Pada Anak Balita dan Pemberdayaan
Keluarga/Masyarakat di Kodya Bogor. Kerjasama Jurusan Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Faperta, IPB dan PLAN
Internasional Program Unit Bogor. Bogor.

Herdiana UR. 2007. Tingkat Keamanan Susu Bubuk Skim Impor Ditinjau dari
Kualitas Mikrobiologi. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
66

Hussey MA dan Zayaitz A. 2007. Endospore Strain Protocol.


http://www.microbelibrary.org/Edzine/details.asp/id=2565 [17 November
2010]

Hilliard NJ, Schelonka RL,Waites KB. 2003. Bacillus cereus bacteremia in


preterm neonate. Journal of Clinical Microbiology 41 (7):3441– 3444.

[ICMSF] Internasional Commision on Microbiological Spesification for Foods.


1996. Microorganism in Food. 5 Characteristic of Microbial Pathogens.
Blackie Academic and Professional. London.

Imam Supardi dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi Dalam Pengolahan dan


Keamanan Pangan. Edisi I. Penerbit Almuni. Bandung.

Iurlina MO, Saiz AI, Fusselli SR, Fritz R. 2006. Prevalence of Bacillus spp. in
different food products collected in Argentina. LWT 39:105-110.

Jay MJ. 2000. Modern Food Microbiology. Ed. Ke-6. An Aspen publication.

Jay MJ, Loessner JM, Golden DA. 2005. Modern Food Microbiology Seventh
Edition. USA: Springer.

Jenson I, Moir CJ. 1997. Bacillus cereus and Other Bacillus Spesies. Di dalam
Hocking AD, Arnold G, Jenson I, Newton K, Shuterland P, editor.
Foodborne Microorganisms of Public Health Importance. Ed. Ke-5.
AIFST, Sydney.

Kain J, Uauy R, Taibo M. 2002. Chile’s school feeding programme: targeting


experience. Nutrition Res. 22:599–608.

Kramer JM, Gilbert RJ. 1989. Bacillus cereus and Other Bacillus Spesies. Di
dlam Doyle MP, editor. Foodborne Bacterial Pathogens. Macrel Dekker,
Inc. New York.

Krisnatuti D dan R Yenrina. 2000. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Puspa


Swara. Jakarta.

Labbe R. 1989. Clostridium perfringens in Foodborne Bacterial Pathogens. M.


Doyle (edotor), Foodborne Bacterial Patogens. Marcel Decker, Inc. New
York.

McClane BA. 2001. Clostridium perfringens. Di dalam Vanderzant C,


Splittstoesser DF, editor. Compendium of Methods For The
Microbiological Examination of Foods. Ed. Ke-3. American Public Health
Association, Washington.

Moehji S. 2003. Ilmu Gizi. Bhratara Niaga Media. Jakarta.


67

Muchtadi D. 1994. Gizi untuk Bayi. Sinar Harapan. Jakarta.

Muir D. 2000. Microbiology of Dried Milk Products. Di dalam Robinson RK,


Batt CA, Patel PD, editor. Encylopedia of Food Microbiology. Volume ke-
2. Academic Press, San Diego.

Naim R. 2003. Endospora: Aspek Kesehatan, Industri Pangan.


http://www.kompas.com. (12 April 2010).

Oxoid. 2001. The Oxoid Manual. EY Bridson, editor. Ed. Ke-8. Oxoid Limited,
Hampshire.

Pudjiadi S. 2001. Bayiku Sayang. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


Jakarta.

Purwanti M. 2009. Keamanan Makanan Tambahan Pemulihan Bagi Balita


Penderita Gizi Buruk Berdasarkan Analisis Mikrobiologik Bacillus cereus
dan Clostridium perfringens di Kabupaten Bogor [Disertasi]. Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pol IE, van Arendonk WGC, Mastwijk HC, Krommer J, Smid EJ dan Moezelaar,
R. 2001. Sensitivities of Germinating Spores and Carvacrol-Adapted
Vegetative Cells and Spores of Bacillus cereus to Nisin and Pulsed-
Electric-Field Treatment. Applied and environmental microbiology. Apr.
2001, p. 1693–1699 Vol. 67, No. 4.

Rajkowksi KT dan Bennet RW. 2003. Bacillus cereus. Di dalam: Miliotis MD,
Bier JW. (eds). International Handbook of Foodborne Pathogens. New
York: Marcel Dekker, Inc., pp 27-39.

Raju D, Setlow P, Sarker MR. 2007. Antisense-RNA-Mediated Decreased


Synthesis of Small, Acid-Soluble Spore Proteins Leads to Decreased of
Clostridium perfringens Spore to Moist Heat and UV Radiation. Appl.
Eviron. Microbiol. 73 :2048-2053.

Ray B. 2001. Fundamental Food Microbiology. Ed. ke-2. CRC Press, Boca Raton.

Rhodehamel EJ, Harmon SM. 1998. Bacillus cereus. Di dalam Bacteriological


Analytical Manual. Ed. Ke-8 rev. Food and Drug Administration.
Washington.

Rizal S dan Hariyadi H. 2000. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan. Jakarta.

RSCM dan PERSAGI. 1992. Penuntun Diet Anak. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
68

Rowan NJ, Anderson JG. 1997. Maltodextrin stimulates growth of Bacillus cereus
and syntheses of diarrheal enterotoxin in infant milk formulae. Applied
and Environmental Microbiology 63:1182– 1184.

Setlow P. 2003. Spore Germination. Curr. Opin. Microbiol. 6:550-556.

Setlow P. 2006. Spore of Bacillus subtilis:their Resistance to and Killing by


Radiation, Heat and Chemicals. Journal of Applications Microbiology.
101:514-525.

Sitti A. 2004. Hubungan Umur Pertama Kali Pemberian MP-ASI dengan Status
Gizi Bayi di Kecamatan Kota Ternate Selatan, Kota Ternate, Propinsi
Maluku Utara. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga.
Fakultas Pertanian IPB. Bogor. [Skripsi] Tidak diterbitkan.

Soejoedono R. 2002. Bakteri Pembentuk Spora. Bahan Kuliah Mata Ajaran


Penyakit yang Ditularkan Oleh Bahan Pangan. (Tidak diterbitkan).

Van Gerwen SJC. 2000. Microbiological Risk Assessment of Food: A stepwise


quantitative risk assessment as a tool in the production of microbiologically
safe food. Van Wageningen Universiteit, Holand.

Vlaemynck G, Van Heddeghem A. 1992. Factors Affecting The Growth of


Bacillus cereus, in Bacillus cereus in milk and milk products. International
Dairy Federation. Brussel.

White CH, Chang RR, Martin JH, Loewenstein M. 1974. Factors affecting L-
Alanine induced germination of Bacillus spores. Journal of Dairy Science
57 (11) : 1309-1314.

WHO. 1997. Complementary Feeding: Family Foods for Breastfed Children.


Department of Nutrition for Health and Development. World Health
Organization. Geneva.

WHO. 2004. Joint WHO/FAO Workshop on Enterobacter sakazakii and other


microorganisms in powdered infant formula. 2-5 February 2004 Geneva,
Switzerland. www.who.int/foodsafety/micro/

Wijnands LM, Dufrenne JB, Rombouts FM, in Held PH, van Leusden FM. 2006.
Prevalence of Potentially Pathogenic Bacillus cereus in Food
Commodities in The Netherlands. Journal of Food Protein. 69:2587-2594.

Zhang P, Setlow P, dan Li Y. 2009.Characterization of single heat-activated


Bacillus spores using laser tweezers Raman spectroscopy. Optical Society
of America. Vol. 17, No. 19.
69

Zhou G, Liu H, He J, Yuan Y, Yuan Z. 2008. The Occurrence of Bacillus cereus,


B. thuringiensis and B. mycoides in Chinese pasteurized full fat milk.
International Journal of Food Microbiology 121, 195-200.
70

Lampiran 1. Prosedur produksi spora Bacillus cereus ATCC 10876

Koloni Bacillus cereus


ditumbuhkan pada media BHIB,
pada suhu 30⁰C selama 24 jam

Diambil 1 ml
Ditumbuhkan pada 5 ml BHIB dan
diinkubasi pada inkubator bergoyang
(200rpm) dengan suhu 30⁰C selama
48 jam

Diambil 100 μl koloni dan


ditransferkan ke dalam 1 ml
Aquades steril

Kemudian ditanam pada media Kemudian ditanam pada media NA


NA dan diinkubasi pada suhu yang mengandung MnSO4 40 mg/l
30⁰C selama 7 hari dan CaCl2 100 mg dan diinkubasi
pada suhu 30⁰C selama 7 hari

Spora dipanen, dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse


steril dan ditambahkan aquades steril kedalam tabung
tersebut

Kemudian disentrifuse
(5000 rpm selama 10 menit)

Supernatan diambil dan


disimpan pada suhu 4⁰C

Diperoleh sekitar 10 9 - 1010


spora/ml
71

Lampiran 2. Komposisi MP-ASI yang digunakan sebagai sampel pada penelitian.

PR I
Komposisi : kacang hijau, beras, gula, jagung, soya, tepung susu skim, minyak
nabati, minyak soya, lesitin soya, prebiotik fos, premix vitamin,
premix mineral dan minyak ikan.
PR II
Komposisi : beras, beras merah, gula, kacang merah, kedelai, susu skim bubuk,
minyak kelapa sawit (mengandung antioksidan L-askorbil palmitat
dan alfa tokoferol), minyak kedelai, pengemulsi lesitin kedelai,
prebiotik fos (Frukto oligosakarida), premix vitamin, premix mineral
dan minyak ikan (mengandung antioksidan L-askorbil palmitat dan
tokoferol).
CR I
Komposisi : beras, gula, kedelai, minyak kelapa sawit, kacang hijau, mineral,
pengemulsi lesitin kedelai, premix vitamin, bayam, vanillin, protein
susu dan gluten.
CR II
Komposisi : beras merah, kedelai, gula, minyak kelapa sawit, mineral, premix
vitamin, pengemulsi lesitin kedelai, vanillin, protein susu dan gluten.
SN I
Komposisi : terigu, beras putih, kedelai, gula, kacang hijau, minyak nabati, tepung
susu skim, mineral dan premix vitamin.
SN II
Komposisi : beras, beras merah, , gula, kacang merah, tepung susu skim bubuk,
minyak nabati (mengandung antioksidan L-askorbil palmitat dan alfa
tokoferol), lisin, prebiotik fos (Frukto oligosakarida), premix
vitamin, premix mineral dan DHA (mengandung campuran
antioksidan, tokoferol, L-askorbil palmitat).
72

Lampiran 3. Hasil uji sidik ragam Total Plate Count pada MP-ASI yang
dipreparasi menggunakan 3 suhu air yang berbeda (30⁰, 70⁰ dan
90⁰C)

Univariate Analysis of Variance


Between-Subjects Factors

Between-Subjects Factors
Value Label N
Sampel 1.00 PR I 9
2.00 PR II 9
3.00 CR I 9
4.00 CR II 9
5.00 SN I 9
6.00 SN II 9
Waktu 1.00 30 C 18
2.00 70 C 18
3.00 90 C 18

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:Koloni

Type III Sum


Source of Squares df Mean Square F Sig.
Model 175.551a 8 21.944 787.924 .000
Sampel 29.044 5 5.809 208.569 .000
Waktu 2.252 2 1.126 40.422 .000
Error 1.281 46 .028
Total 176.832 54
a. R Squared = .993 (Adjusted R Squared = .991)
73

Post Hoc Tests


Produk
Homogeneous Subsets
Koloni
a,,b
Duncan
Subset
Sampel N 1 2 3 4 5
CR II 9 .3678
CR I 9 .9178
SN I 9 1.8533
PR I 9 2.1322
SN II 9 2.1933 2.1933
PR II 9 2.3422
Sig. 1.000 1.000 1.000 .441 .065
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .028.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000.
b. Alpha = 0.05.

Suhu
Homogeneous Subsets

Koloni
a,,b
Duncan
Subset
Waktu N 1 2
90 C 18 1.4544
70 C 18 1.5289
30 C 18 1.9200
Sig. .187 1.000
Means for groups in homogeneous
subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error)
= .028.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size =
18.000.
b. Alpha = 0.05.
74

Lampiran 4. Hasil uji sidik ragam jumlah sel vegetatif Bacillus cereus pada suhu
air yang digunakan saat preparasi MP-ASI produk PR II

Univariate Analysis of Variance


Between-Subjects Factors
Value Label N
Suhu 1.00 30.00 6
2.00 70.00 6
3.00 90.00 6
Waktu 1.00 .00 6
2.00 30.00 6
3.00 60.00 6

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:Koloni
Type III Sum of
Source Squares df Mean Square F Sig.
Model 78.864a 5 15.773 7122.434 .000
Suhu .104 2 .052 23.378 .000
Waktu .051 2 .026 11.570 .001
Error .029 13 .002
Total 78.893 18
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = .999)

Post Hoc Tests


Suhu
Homogeneous Subsets
Koloni
Duncana,,b
Subset
Suhu N 1 2
90.00 6 2.0350
70.00 6 2.0400
30.00 6 2.1983
Sig. .857 1.000
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) =
.002.
75

a. Uses Harmonic Mean Sample Size =


6.000.
b. Alpha = 0.05.

Waktu
Homogeneous Subsets
Koloni
Duncana,,b
Subset
Waktu N 1 2
.00 6 2.0300
30.00 6 2.0833
60.00 6 2.1600
Sig. .071 1.000
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) =
.002.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size =
6.000.
b. Alpha = 0.05.
76

Lampiran 5. Hasil uji sidik ragam jumlah sel vegetatif Bacillus cereus (103) pada
suhu air yang digunakan saat preparasi MP-ASI produk CR II

Univariate Analysis of Variance


Between-Subjects Factors
Value Label N
Suhu 1.00 30.00 6
2.00 70.00 6
3.00 90.00 6
Waktu 1.00 .00 6
2.00 30.00 6
3.00 60.00 6

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:Koloni
Type III Sum of
Source Squares df Mean Square F Sig.
Model 81.889a 5 16.378 37869.514 .000
Suhu .045 2 .023 52.347 .000
Waktu .009 2 .004 10.187 .002
Error .006 13 .000
Total 81.894 18
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Post Hoc Tests


Suhu
Homogeneous Subsets
Koloni
a,,b
Duncan
Subset
Suhu N 1 2
70.00 6 2.0850
90.00 6 2.1100
30.00 6 2.2017
Sig. .058 1.000
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) =
.000.
77

a. Uses Harmonic Mean Sample Size =


6.000.
b. Alpha = 0.05.

Waktu
Homogeneous Subsets
Koloni
a,,b
Duncan
Subset
Waktu N 1 2
.00 6 2.1083
30.00 6 2.1267
60.00 6 2.1617
Sig. .151 1.000
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) =
.000.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size =
6.000.
b. Alpha = 0.05.
78

Lampiran 6. Hasil uji sidik ragam jumlah sel vegetatif Bacillus cereus (2.5x104)
selama proses penyimpanan MP-ASI produk CR II.

Univariate Analysis of Variance


Between-Subjects Factors
Value Label N
Penyimpanan 1.00 .00 6
2.00 2.00 6
3.00 4.00 6
4.00 6.00 6
5.00 8.00 6
Waktu 1.00 .00 10
2.00 30.00 10
3.00 60.00 10

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:Koloni
Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
a
Model 74.354 7 10.622 3983.454 .000
Penyimpanan .258 4 .064 24.159 .000
Waktu .180 2 .090 33.843 .000
Error .061 23 .003
Total 74.415 30
a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .999)
79

Post Hoc Tests


Penyimpanan
Homogeneous Subsets
Koloni
a,,b
Duncan
Subset
Penyimpanan N 1 2 3 4
.00 6 1.4600
2.00 6 1.5000 1.5000
4.00 6 1.5567 1.5567
6.00 6 1.6050
8.00 6 1.7267
Sig. .193 .070 .119 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .003.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b. Alpha = 0.05.

Pengamatan
Homogeneous Subsets
Koloni
Duncana,,b
Subset
Pengamatan N 1 2 3
.00 10 1.4640
30.00 10 1.5970
60.00 10 1.6480
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .003.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000.


b. Alpha = 0.05.

You might also like