Bacillus Cereus Terhadap Suhu Awal Preparasi
Bacillus Cereus Terhadap Suhu Awal Preparasi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Ketahanan Spora dan Sel
Vegetatif Bacillus cereus Terhadap Suhu Awal Preparasi dan Selama
Penyimpanan Makanan Pendamping ASI Bubuk Instan adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
ASI PEBRINA CICILIA. Survival of Bacillus cereus spores and vegetative cell
on water temperature during the preparation and storage of infant food instan
powder. Under direction of HARSI D. KUSUMANINGRUM, and
SULIANTARI.
ASI PEBRINA CICILIA. Ketahanan Spora dan Sel Vegetatif Bacillus cereus
Terhadap Suhu Awal Preparasi dan Selama Penyimpanan Makanan Pendamping
ASI Bubuk Instan. Dibimbing oleh HARSI D. KUSUMANINGRUM dan
SULIANTARI.
Kata kunci : Bacillus cereus, MP-ASI (bubuk Instan), suhu air preparasi, kondisi
penyimpanan.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KETAHANAN SPORA DAN SEL VEGETATIF
Bacillus cereus TERHADAP SUHU AWAL PREPARASI
DAN SELAMA PENYIMPANAN MAKANAN
PENDAMPING ASI BUBUK INSTAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP, DEA
Judul Tesis : Ketahanan Spora dan Sel Vegetatif Bacillus Cereus
Terhadap Suhu Awal Preparasi dan Selama
Penyimpanan Makanan Pendamping Asi Bubuk Instan
Nama : Asi Pebrina Cicilia
NIM : F251080161
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat penulis selesaikan. Rangkaian
kegiatan penelitian dan penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah
Pascasarjana IPB.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada:
1. Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum, M.Sc. selaku ketua komisi
pembimbing dan Dr. Suliantari, MS. selaku anggota komisi pembimbing
yang telah memberikan bimbingan, kritik, saran, dan motivasi selama
pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.
2. Dr. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. selaku ketua Program Studi Ilmu Pangan
yang telah memberikan bimbingan dan motivasi selama mengikuti
perkuliahan di Program Studi Ilmu Pangan.
3. Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP, DEA sebagai dosen penguji luar komisi
pada ujian tesis yang telah memberikan, komentar, kritik dan saran yang
berharga sebagai bentuk lain dari pembimbingan untuk kesempurnaan tesis
ini.
4. Ayahanda Drs. Djanius Runting, M.Si, ibunda Dra. Aqsiwa Sandy, dan
Andrie Santoso Runting, SP atas motivasi, semangat, doa dan kasih sayang
yang selalu diberikan kepada penulis dalam suka dan duka.
5. Yulius Triadi Limandra, ST atas perhatian, motivasi dan kasih sayang yang
tulus terhadap penulis.
6. Staf laboratorium Southeast Asia Food and Agricultural Science and
Technology Center (SEAFAST Center) IPB: Mbak Ari, Bu Sari, Pak Taufik
dan Mas Yerris atas bantuannya selama pelaksanaan penelitian.
7. Teman-teman seperjuangan di Program Studi Ilmu Pangan, khususnya
sahabat-sahabat saya: Bu Triana, Bu Nurha, Bu Paini Sri, Mas Andi, Mas
Zaki, Mas Wahyu, Mas Arief, Mas Isak, Mbak Devy, Mbak Yenni, Mas
Zaim, Nono, Wanny Hamdani, Melina Sari, Tinna dan Riyanti.
8. Teman-teman perwira 4, khususnya sahabat-sahabat saya: Bude Endah, Mbak
Prima, Kani, Marika Veraria, Mbak Dian, Mbak Dani, dan Risa.
9. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu atas dukungan dan
doanya selama ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas budi baik Bapak/Ibu/Saudara/i
semuanya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 7
Makanan Pendamping ASI .................................................................... 7
Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI ......................................... 9
Jenis dan Bentuk Makanan Pendamping ASI ....................................... 11
Bacillus cereus ……………………………......................................... 14
Kasus Cemaran Bacillus cereus pada Makanan Bayi ………………... 22
Fitting Model Pertumbuhan ………………………………………….. 22
METODOLOGI………............................................................................... 24
Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................... 24
Bahan dan Alat Penelitian ………………………………………….. 25
Metodologi .……................................................................................... 25
Isolasi Bacillus cereus dan Analisis Total Mikroba pada Sampel
Makanan Pendamping ASI……………………………………….. 26
Evaluasi Pengaruh Suhu Preparasi dan Penyimpanan MP-ASI (bubuk
instan) terhadap Bacillus cereus ATCC 10876……………………….. 31
Analisis pendugaan pertumbuhan Bacillus cereus pada produk MP-
ASI dengan menggunakan model Baranyi…………………………… 33
Analisa Data…………………………………………………………... 34
PEMBAHASAN ………............................................................................. 35
Total Mikroba pada Sampel Produk MP-ASI ……………………….. 35
Pengaruh Suhu Air Preparasi terhadap Total Mikroba pada Sampel
Produk MP-ASI………………………………………………………. 37
Kandungan Bacillus cereus pada Sampel Produk MP-ASI ………… 40
Pengaruh Suhu Air yang Digunakan Saat Preparasi MP-ASI
terhadap sel vegetatif Bacillus cereus …………………………… 49
Pengaruh Suhu Air yang Digunakan Saat Preparasi MP-ASI terhadap
sel vegetatif Bacillus cereus ATCC 10867 ………………………….. 54
Pengaruh Penyimpanan MP-ASI (bubuk Instan) terhadap spora
Bacillus cereus ATCC 10867 ……………………………………….. 57
SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………. 61
Simpulan …………………………………………………………….. 61
Saran …………………………………………………………………. 62
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………... 63
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Pola Pemberian Makanan Anak Balita …………………………………. 10
2. Jenis dan Bentuk MP-ASI yang Pertama Kali Diberikan ……………… 11
3. Standar Mikrobiologik Dalam Peraturan di Beberapa Negara/Lembaga
yang Berhubungan Dengan Susu Formula dan Makanan Bayi
(dalam CFU) …………………………………………………………… 13
4. Kondisi yang Diperlukan Bagi Pertumbuhan Bacillus cereus …………. 14
5. Karakteristik Penting dari Group Species Bacillus cereus ……………... 17
6. Karakteristik penyakit akibat Bacillus cereus ………………………….. 21
7. Kadar air dalam persen dan Aw produk MP-ASI……………………….. 37
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Penampakan Bacillus cereus pada media MYP …………………........... 15
2. Diagram alir proses penelitian ………………………………………….. 26
3. Metode Tuang (Pour Plate Method) pada Metode Hitungan Cawan
(Plate Count Method) …………………………………………………... 28
4. Skema Pengujian Sampel terhadap Bacillus cereus ATCC ..…………... 30
5. Total mikroba produk MP-ASI setelah preparasi dengan menggunakan
suhu air preparasi 30oC, dilakukan sebanyak 3 kali
ulangan…………………………………………………………………... 35
6. Total Mikroba produk MP-ASI, setelah preparasi dengan 2 (70°C dan
90°C), suhu yang berbeda dilakukan sebanyak 3 kali ulangan………..... 38
7. Berbagai bentuk dan ukuran koloni pada media PCA ………………….. 38
8. Pertumbuhan isolate Bacillus cereus dari MP-ASI pada media agar
MYP……………………………………………………………………... 41
9. Jumlah koloni Bacillus cereus pada produk MP-ASI, setelah di
preparasi dengan suhu 70°C…………………………………………… 42
10. Hasil perwarnaan gram positif terhadap bakteri yang diduga Bacillus
cereus pada pembesaran 1000x ………………………………………… 45
11. Hasil pewarnaan spora terhadap bakteri Bacillus cereus pada
pembesaran 1000x ……………………………………………………… 46
12. Tipe pertumbuhan pada medium motilitas setelah diinokulasi dengan
isolat Bacillus cereus ……………………………………………............ 47
13. Adanya gelembung udara menunjukkan Bacillus cereus katalase positif. 47
14. Perubahan jumlah sel vegetatif Bacillus cereus alami pada produk PR II
selama penyimpanan 1 jam pada suhu ruang, dengan suhu air preparasi
30⁰C, 70⁰C dan 90⁰C……………………………………………………. 50
15. Pola pertumbuhan Bacillus cereus alami pada produk B MP-ASI, pada
suhu optimum pertumbuhan 30-40°C selama 24 jam dengan suhu air
preparasi 70⁰C (♦ data eksperimen, — hasil fitting DMFit) …………. 52
16. Perubahan jumlah sel vegetatif Bacillus cereus dengan penambahan
spora sebesar 103, pada produk CR II selama penyimpanan 1 jam pada
suhu ruang dengan suhu air preparasi 30⁰C, 70⁰C dan 90⁰C…………. 54
4
17. Perubahan jumlah sel vegetatif Bacillus cereus spora sebesar 2.5x10 ,
dengan proses penyimpanan MP-ASI produk CR II pada suhu ruang
dengan lama pengamatan 60 menit dan suhu air preparasi 70⁰C ............. 58
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Prosedur produksi spora Bacillus cereus ATCC 10876 ………………... 70
2. Komposisi MP-ASI yang digunakan sebagai sampel pada penelitian …. 71
3. Hasil uji sidik ragam Total Plate Count pada MP-ASI yang dipreparasi
menggunakan 3 suhu air yang berbeda (30⁰, 70⁰ dan 90⁰C)……………. 72
4. Hasil uji sidik ragam jumlah sel vegetatif Bacillus cereus pada suhu air
yang digunakan saat preparasi MP-ASI produk PR II………………….. 74
5. Hasil uji sidik ragam jumlah sel vegetatif Bacillus cereus (103) pada
suhu air yang digunakan saat preparasi MP-ASI produk CR II………. 76
4
6. Hasil uji sidik ragam jumlah sel vegetatif Bacillus cereus (2.5x10 )
selama proses penyimpanan MP-ASI produk CR II …………………… 78
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Air susu ibu merupakan makanan terbaik bagi bayi jika ditinjau dari,
komposisi zat gizinya, dimana zat gizi yang terdapat dalam air susu ibu ini sangat
kompleks, tetapi ketersediaan air susu ibu sifatnya terbatas sehingga di saat bayi
masih membutuhkan air susu ibu untuk pertumbuhannya, maka pemberian
makanan tambahan lainnya juga sangat diperlukan untuk pemenuhan gizinya.
Makanan jenis ini dikenal dengan istilah makanan pendamping ASI (MP-ASI),
dimana komposisi gizi dari makanan ini hampir mirip dengan air susu ibu.
Berdasarkan rekomendasi Resolusi World Health Assembly (WHA) Tahun
2001 dengan ketentuan Menteri Kesehatan yang tertuang dalam SK Menkes No.
450/Menkes/SK/IV/2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif
pada bayi di Indonesia, menyatakan bahwa bayi perlu diberi ASI ekslusif sampai
usia 6 bulan dan dilanjutkan hingga usia 2 (dua) tahun dengan pemberian
makanan tambahan yang sesuai untuk bayi. Berdasarkan Surat Keputusan tersebut
diatas maka ditetapkan bahwa MP-ASI diberikan setelah bayi berumur 6 bulan.
Makanan bayi didefinisikan sebagai makanan yang secara tunggal dapat
memenuhi kebutuhan anak, sedangkan makanan sapihan dapat berupa makanan
tunggal maupun makanan campuran untuk dapat memenuhi kecukupan gizi anak.
(Hartoyo et al., 2000).
Produk makanan tambahan untuk bayi biasanya dikenal dengan istilah
makanan pendamping ASI (MP-ASI). MP-ASI yang beredar di Indonesia sangat
beragam, baik buatan dalam negeri maupun luar negeri. Ada yang berbentuk
biskuit, bubuk instan dan makanan siap untuk disantap dengan mutu yang
beragam. Berdasarkan SNI No. 01-7111 Tahun 2005 Makanan Pendamping ASI
terbagi menjadi 4 kelompok besar, yaitu : MP-ASI Biskuit, MP-ASI Bubuk
Instan, MP-ASI Siap Santap dan MP-ASI Siap Masak
Produk ini sangat disukai oleh ibu dan bayi karena rasanya yang enak serta
sangat mudah untuk disajikan. Salah satu bentuk makanan yang memenuhi
kriteria tersebut, selain susu formula lanjutan adalah MP-ASI bubuk instan seperti
SUN, Promina, Milna, Goodmil, dan Cerelac yang pada proses pengolahan
2
biasanya ditambahkan bahan dasar susu bubuk. Susu bubuk merupakan bahan
pangan yang tidak steril, karena beberapa bakteri mampu bertahan hidup
khususnya bakteri pembentuk spora yaitu kelompok Bacillus terutama Bacillus
cereus (Dadhicd, 2006). Makanan pendamping ASI yang formulasinya
ditambahkan susu bubuk, dapat dikategorikan ke dalam pangan beresiko tinggi,
sehingga membutuhkan persyaratan yang lebih ketat dalam hal penyajian dan
penyimpanannya.
Susu bubuk terbuat dari susu murni yang telah mengalami proses
pemanasan menjadi bubuk kering yang padat atau tepung susu yang dibuat
sebagai kelanjutan dari proses penguapan. Perlakuan pengolahan susu bubuk
seperti pemanasan dan pengeringan belum mampu membunuh seluruh mikroba
yang pada awalnya sudah ada didalam susu mentahnya, terutama bakteri
pembentuk spora. Bakteri pembentuk spora seperti Bacillus spp yang ditemukan
dalam susu mentah masih mampu bertahan selama proses pengolahan karena
sporanya tahan terhadap proses pemanasan (Muir, 2000).
Bacillus cereus merupakan salah satu bakteri patogen penyebab penyakit
karena makanan (foodborne diseases). Bakteri ini berbentuk batang, gram positif,
membentuk spora, aerobik fakultatif, motil dan non motil, umumnya ditemukan
didalam tanah, material tanaman, jerami kering, makanan mentah dan matang,
serta mampu membentuk enterotoksin komplek. Enterotoksin terdiri atas protein
dengan berat molekul antara 35-50 kDa, diproduksi selama fase pertumbuhan
logaritmik (Harmon et al., 1992; Granum dan Lund, 1997; Jay, 2000). Toksin
Bacillus cereus pada umumnya diproduksi atau terbentuk sebelum Bacillus cereus
dalam bahan pangan mencapai jumlah sebanyak 107 sel/ml (Granum et al., 1993).
Aas et al., (1992), menyatakan bahwa mengkonsumsi makanan yang mengandung
Bacillus cereus sebanyak > 104 sel/gram atau spora Bacillus cereus, menjadi
sumber utama keracunan makanan di Norwegia.
Bakteri ini menyebabkan diare tipe sedang yaitu diare yang dapat sembuh
dengan sendirinya dalam waktu 12-24 jam. Diare tipe sedang jika terjadi pada
bayi dapat mengganggu pertambahan berat badannya dan apabila terkonsumsi
dalam jumlah yang tinggi akan menyebabkan kematian pada bayi. Dosis infeksi
sebesar 105-107 sel/ml, tetapi untuk anak-anak dosisnya lebih rendah yaitu 103-105
3
sel/ml (Gianella dan Brasile., 1997; McClane, 2001). Keberadaan Bacillus cereus
enterotoksigenik dalam makanan bayi telah dilaporkan oleh Becker et al., (1994),
dimana dari 261 sampel yang diperiksa, yang berasal dari 17 negara positif
terkontaminasi oleh bakteri tersebut. Pada tahun 1992, 70% makanan bayi dan
produk susu formula di Jerman juga positif Bacillus cereus dengan level 0,3-600
sel/g.
Bentuk bubuk dan bersifat mudah larut, kadang membuat ibu kurang
waspada dalam tata cara penyimpanan dan pelarutannya, sehingga tanpa disadari
menyebabkan spora bakteri mampu bergerminasi dan tumbuh. Produk susu kering
dan makanan bayi diketahui sering terkontaminasi oleh bakteri Bacillus cereus.
Bacillus cereus enterotoksigenik terdistribusi secara luas dilingkungan (Labbe,
1989).
Kontaminasi pada makanan yang disebabkan oleh Bacillus cereus
biasanya dapat mengakibatkan derajat tingkat kesakitan sedang, tetapi jika
mengkonsumsi makanan yang mengandung Bacillus cereus ≥ 105 sel atau spora
dapat menyebabkan terjadinya diare akut dan dapat menyebakan kematian. Pada
bayi dan balita dosis infeksinya dapat lebih rendah hal ini dikarenakan belum
sempurnanya sistem imun pada bayi dan balita, sehingga kelompok ini menjadi
lebih peka dibandingkan orang dewasa atau anak-anak yang usianya lebih dari 24
bulan (FSANZ, 2003).
Spesies Bacillus spp. memiliki kemampuan membentuk spora yang
dorman secara metabolik, yang secara ekstrim resisten terhadap stress lingkungan,
seperti panas, radiasi, dan bahan kimia toksik (Setlow, 2006; Raju et al., 2007).
Kondisi yang resisten menyebabkan spora spesies ini secara signifikan berperan
sebagai agen pembusuk makanan dan penyebab penyakit gastrointestinal akibat
pangan (Setlow, 2003). Bakteri ini merupakan bakteri yang sering
mengkontaminasi berbagai macam makanan, termasuk produk-produk susu dan
susu, sereal (terutama beras), dan food aditif (Kramer dan Gilbert, 1989; Becker et
al, 1994.).
4
Rumusan Permasalahan
temperatur ruang yang tinggi untuk waktu yang lama sebelum dikonsumsi (Kain
et al., 2002).
Pengolahan susu segar menjadi susu bubuk yang nantinya akan digunakan
untuk formulasi produk makanan bayi dan balita ternyata tidak dapat
mengeliminasi keberadaan spora dari kelompok Bacillus. Susu segar tersebut
dikontaminasi oleh Bacillus cereus sesaat setelah proses pemerasan susu, dimana
susu tersebut dibiarkan terbuka dan terpapar udara serta debu. Makanan bayi yang
mengandung bahan-bahan sereal dan susu adalah yang paling mendukung untuk
produksi Bacillus cereus cereulide.
Habitat utama Bacillus cereus adalah lingkungan dan saluran pencernaan.
Terutama tanah dan air yang menyebabkan bakteri ini mempunyai peluang yang
besar untuk mencemari bahan makanan asal hewan maupun tanaman. Selain itu
pencemaran juga bisa terjadi pada ruang proses pengolahan karena bakteri ini
dapat menempel pada sepatu, pakaian, dan kulit karyawan, serta dapat melalui
udara ataupun debu (Soejoedono, 2002).
Tujuan Penelitian
Hipotesis
1. Spora Bacillus cereus tahan panas mampu bertahan dan tumbuh di dalam MP-
ASI bubuk instan selama penyimpanan.
2. Spora dan sel vegetatif Bacillus cereus mampu bertahan terhadap suhu
preparasi.
6
3. Jumlah sel vegetatif Bacillus cereus pada MP-ASI meningkat setelah preparasi
yang disimpan pada suhu ruang.
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
bahwa makanan tersebut juga harus dapat melatih kebiasaan makan yang baik
bagi bayi. Hal ini harus diperhatikan karena pada masa tersebut indera pengecap
rasa bayi sedang berkembang. Anak sebaiknya hanya diperkenalkan atau dicoba
dengan satu makanan saja, kemudian ditunggu satu minggu sebelum
diperkenalkan makanan baru lainnya dengan memperhatikan reaksi yang muncul.
Jika anak tidak mau makan makanan yang baru, jangan dipaksa, namun dapat
ditawarkan kembali pada hari berikutnya. Jika makanan tersebut masih ditolak,
tunggu dua atau tiga minggu sebelum ditawarkan kembali (Hartoyo et al., 2000).
Pemberian makanan tambahan sebaliknya diberikan sedikit demi sedikit
dan berangsur-angsur dengan memperhatikan perkembangan anak. Pemberian
makanan tambahan yang terlalu dini, yaitu pada saat bayi berusia kurang dari 4
bulan akan mengurangi keinginan bayi untuk menyusui sehingga kekuatan bayi
untuk menyusui juga berkurang yang akan mengakibatkan produksi ASI
berkurang. Pemberian makanan tambahan yang tidak sesuai dengan usia tidak
jarang menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan alat-alat pencernaan bayi
belum kuat untuk menerima makanan. Dalam jangka panjang pemberian makanan
tambahan yang terlalu dini akan mengakibatkan obesitas. Sebaliknya
keterlambatan pemberian makanan tambahan kepada bayi akan menyebabkan
bayi kekurangan kalori dan protein yang selanjutnya juga akan mengakibatkan
pertumbuhan anak menjadi terhambat. Tujuan, pemberian MP-ASI adalah untuk
menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat
memenuhi kebutuhan bayi secara terus menerus seiring dengan bertambahnya
umur dan berat badan bayi. Apabila berat badan seorang bayi tidak mengalami
peningkatan maka hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan gizi bayi tidak terpenuhi
secara maksimal. Hal tersebut dapat disebabkan karena asupan makanan bayi
hanya mengandalkan ASI saja atau pemberian MP-ASI kurang memenuhi syarat.
Disamping itu, faktor terjadinya infeksi pada saluran pencernaan bayi juga
memberikan pengaruh yang cukup besar (Krisnatuti dan Yenrina, 2000)
Menurut RSCM dan PERSAGI (1994), jenis dan bentuk serta frekuensi
makan untuk bayi berusia 6-8 bulan dalam sehari meliputi : ASI diberikan
sebanyak 2-6 kali/hari, buah-buahan diberikan sebanyak 1-2 kali/hari, makanan
9
Menurut Depkes (2000) pola pemberian makanan kepada anak dibawah umur dua
tahun dibagi dalam lima tahap seperti tercantum dalam Tabel 1. Sedangkan untuk
anak diatas dua tahun pola makannya sudah menyerupai makanan orang dewasa.
Makanan Bayi Umur 6-9 bulan. Pemberian ASI tetap diteruskan, dan
ASI diberikan terlebih dahulu sebelum MP-ASI. Bayi mulai diperkenalkan
dengan MP-ASI lumat 2 kali sehari. Sumber zat lemak, yaitu santan atau minyak
kelapa/margarine dapat ditambah sedikit demi sedikit, untuk mempertinggi nilai
gizi makanan.
Makanan Bayi Umur 9-12 bulan. Pemberian ASI tetap diteruskan. Pada
umur 10 bulan bayi mulai diperkenalkan dengan makanan keluarga secara
bertahap. Bentuk makanan adalah lunak dan diberikan 3 kali sehari. Makanan
selingan yang bernilai gizi tinggi seperti bubur kacang hijau dan buah diberikan 1
kali sehari.
Makanan Anak Umur 12-24 bulan. Pemberian ASI juga tetap diteruskan,
dan pemberian MP-ASI dengan bentuk makanan seperti makanan keluarga
diberikan 3 kali sehari. Pemberian makanan selingan 2 kali sehari (Depkes dan
Kessos RI, 2000).
Frekuensi pemberian makan pada anak umur lebih dari 6 bulan adalah 4-
6 kali sebagai tambahan untuk ASI, sedangkan untuk anak umur 2-3 tahun yang
dapat dikurangi menjadi 3 kali sehari. Pemberian makan kepada anak dengan
frekuensi yang sering tapi dengan porsi kecil dikarenakan anak umur 1-3 tahun
hanya bisa mengkonsumsi 200-300 ml makanan (Muchtadi, 1994).
11
sebagainya. Produk makanan bayi komersial ini dibuat dengan teknologi modern
dan terkait dengan tatacara produksi yang ketat (Krisnatuti dan Yenrina, 2000).
Untuk menjaga kesehatan masyarakat konsumen, pemerintah membuat
berbagai regulasi yang harus dipatuhi oleh produsen, antara lain :
1.) SNI 01-7111.1-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-
ASI) bubuk instant (bagian 1), mencantumkan angka lempeng total 1.0 x
104 koloni/g, MPN koliform harus kurang dari 20/g, E.coli harus negatif,
Salmonella harus negatif dalam 25/g, Staphylococcus sp. tidak lebih dari
1.0 x 102 koloni/g dan produk yang menggunakan madu atau sirup
gula(antara lain maple, fruktosa glukosa) harus diproses sehingga bebas
(negatif) Clostridium botulinum.
2.) SNI 01-7111.2-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-
ASI) biskuit (bagian 2), mencantumkan angka lempeng total tidak lebih
dari 1.0 x 104 koloni/g, MPN coliform harus kurang dari 20/gram,
Escherichia coli harus negatif, Salmonella harus negatif dalam 25 gram
contoh (sampel), Staphylococcus sp. tidak lebih dari 1.0 x 102 koloni/gram
dan produk yang menggunakan madu atau sirup gula (antara lain maple,
fruktosa, glukosa) harus diproses sehingga bebas (negatif) dari
Clostridium botulinum.
3.) SNI 01-7111.3-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-
ASI) bagian 3 (siap masak), mencantumkan angka lempeng total tidak
lebih dari 1.0 x 104 koloni/g, MPN koliform harus kurang dari 20/g, E.coli
harus negatif, Salmonella harus negatif/25g, Staphylococcus sp. tidak lebih
dari 1.0 x 102 koloni/g dan Clostridium botulinum negatif untuk produk
yang menggunakan madu atau sirup gula.
4.) SNI 01-7111.4-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-
ASI) bagian 4 (siap santap), mencantumkan angka lempeng total tidak
lebih dari 1.0 x 102 koloni/g, MPN koliform harus kurang dari 3/g, E.coli
harus negatif, Salmonella harus negatif/25g, Staphylococcus sp. harus
negatif dan Clostridium botulinum negatif untuk produk yang
menggunakan madu atau sirup gula.
13
Australia-New Zealand n c m M
dalam Standard 1.6.1 - B. cereus/g 5 1 1.0 x 102 1.0 x 103
Microbiological Limit for - Koagulase positif 5 1 0 1.0 x 10
Food (FSANZ 2001) staphylococci/g
- Kolifrom/g 5 2 <3 1.0 x 102
- Salmonella negatif/25 g 5 0 0 0
- C. perfringens/g 5 2 <1 1.0 x 10
- L. monocytogenes/25 g 5 0 0 0
- SPC* / g 5 2 1.0 x 104 1.0 x 105
Keterangan : n = jumlah unit sampel minimal yang harus duji dari sebuah lot makanan, c
= jumlah maksimun unit sampel yang diperbolehkan tidak sempurna, m =
14
konsentrasi mikroba yang dapat diterima dalam sebuah unit sampel pada
2-class plan, pada 3-class plan nilai ini memisahkan antara kualitas
mikroba yang “dapat diterima” dengan “kualitas marginal yang dapat
diterima”, M = hanya digunakan pada 3-class plan, yaitu level mikroba
yang mengindikasikan potensi bahaya, yang memisahkan antara kualitas
marginal yang dapat diterima dan yang harus ditolak; * standard plate
count (SPC) pada suhu 300C, selama 72 jam.
Bacillus cereus
26-57 menit, pada suhu 35◦C adalah 18-27 menit (Kramer and Gilbert, 1989).
Rentang minimum aktivitas air untuk pertumbuhan sel vegetative adalah 0.91-
0.95 (Jenson and Moir, 1997). Spora Bacillus cereus lebih tahan terhadap panas
kering dibandingkan dengan panas lembab. Spora Bacillus cereus dapat bertahan
untuk waktu yang lama di produk kering (FSANZ, 2003). Spora yang dihasilkan
relatif tahan panas, walaupun nilai D yang dimiliki cenderung bervariasi antara
strain. Secara umum, D 100 Bacillus cereus berkisar antara 2.5-5.4 menit. Spora ini
dapat bertahan hidup pada kondisi ekstrim dan ketika dibiarkan pada suhu yang
dingin, maka kemampuan spora untuk tumbuh dan berkembang menjadi sel
vegetatif relatif lambat. Proses germinasi sporanya cepat dan pada beberapa strain
dapat berlangsung dalam waktu 30 menit. Germinasi membutuhkan beberapa
molekul protein seperti glisin, alanin, dan basa purin (Batt, 2000). Sel vegetatif
dapat tumbuh dan menghasilkan enterotoksin pada kisaran suhu 25-420C. Sel
vegetatif Bacillus cereus berbentuk batang dengan lebar 1.0-1.2 μm (Rajkowski et
al., 2003). Selain itu, germinasi juga dapat terjadi karena adanya perlakuan
pemanasan, pH, dan bahan kimia. Germinasi Bacillus cereus secara optimum
terjadi pada suhu 370C (White et al., 1974).
Sifat Biokimiawi
Bacillus cereus bersifat proteolitik yang kuat yaitu memproduksi enzim
(protease, amylase, lecithinase, dan lain-lain) yang dapat memecah protein dan
mempunyai sifat yang hampir sama dengan renin sehingga dapat menggumpalkan
susu (Fardiaz, 1998). Species ini juga memfermentasi karbohidrat (glukosa dan
mannosa). Selain itu, bakteri ini akan tumbuh pada pH 4.3-9.3 dan aktivitas air
(Aw) 0.95 (Blackburn and McClure, 2002).
Bacillus cereus membentuk koloni yang spesifik bila ditumbuhkan pada
agar darah (Horse Blood Agar), pada suhu 35-37◦C, selama 48 jam akan
membentuk koloni yang mempunyai ukuran besar (4-7µm) dengan permukaan
datar dan berwarna kehijauan. Koloni tersebut biasanya menunjukkan sifat α-
hemolitik, tetapi beberapa strain membentuk β-hemolitik. Pada keadaan
anaerobik, koloni berbentuk kecil dengan diameter 2-3 mm, dikelilingi oleh areal
bersifat β-hemolitik yang menyerupai koloni Clostridium perfringens, hanya
bedanya bagian tepinya tidak rata (Imam dan Sukamto, 1999).
Bacillus cereus memproduksi enzim ekstraseluler yang dapat
menghidrolisis protein, lemak, pati dan karbohidrat lainnya. Oleh karena itu,
mikroorganisme ini dapat memanfaatkan berbagai jenis pangan untuk
mendukukng pertumbuhannya, tetapi pangan yang mengadung pati merupakan
sumber optimal untuk pertumbuhannya (Gibbs, 2005).
Media yang cukup selektif digunakan untuk mendeteksi adanya Bacillus
cereus dalam bahan makanan adalah agar mannitol egg-yolk polymyxin (MYP).
Penambahan polymyxin-B ditujukan untuk menekan pertumbuhan mikroba lain,
sedangkan Bacillus cereus sangat resisten terhadap polymyxin-B . Mannitol tidak
digunakan oleh Bacillus cereus sehingga akan membentuk koloni yang berwarna
merah jambu dengan zona presipitasi di sekelilingnya. Ekstrak daging sapi dan
pepton yang ada didalam media MYP berfungsi sebagai sumber nitrogen, vitamin,
mineral dan asam amino essensial yang digunakan untuk pertumbuhan Bacillus
cereus (Batt, 2000). Untuk uji konfirmasi mengacu pada karakteristik bentuk
Bacillus cereus dan reaksi metabolisme, yaitu mampu memfermentasi glukosa
dalam kondisi anaerob, mereduksi nitrat menjadi nitrit, uji Voges Proskauer dan
17
motilitas (Harmon et al., 1992). Untuk lebih jelas tentang karakteristik penting
Bacillus spp. dapat dilihat pada Tabel 5.
Habitat
Habitat utama Bacillus cereus adalah lingkungan dan saluran
pencernaan. Terutama tanah dan air yang menyebabkan bakteri ini mempunyai
peluang yang besar untuk mencemari bahan makanan asal hewan maupun
tanaman. Selain itu pencemaran juga bisa terjadi pada ruang proses pengolahan
karena bakteri ini dapat menempel pada sepatu, pakaian, dan kulit karyawan, serta
dapat melalui udara ataupun debu (Soejoedono, 2002). Genus Bacillus biasanya
18
Endospora
Endospora tahan terhadap proses yang secara normal akan membunuh sel
bakteri vegetatif, seperti proses pemanasan, pembekuan, pengeringan,
penggunaan bahan kimia (desifektan) dan radiasi. Kebanyakan sel vegetatif akan
mati dengan temperatur di atas 70◦C, sedangkan endospora dapat bertahan hidup
dalam air mendidih untuk beberapa jam atau lebih. Salah satu bakteri yang
membentuk spora untuk mempertahankan diri dari lingkungan adalah Bacillus
cereus. Spora Bacillus cereus sering ditemukan pada pangan seperti susu, sereal,
rempah-rempah, makanan kering, dan pada permukaan daging karena kontaminasi
debu atau tanah. Bila kondisi memungkinkan untuk tumbuh, maka spora akan
tumbuh menjadi sel vegetatif, beberapa spesies akan menghasilkan toksin yang
berakibat dapat menimbulkan gejala penyakit (Naim, 2003).
Dalam kondisi stress, seperti kekurangan makanan atau dalam lingkungan
yang tidak cocok, Bacillus cereus akan mengalami proses sporulasi. Spora
tersebut kemudian dapat berubah kembali menjadi sel vegetatif (proses
germinasi). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan germinasi
Bacillus cereus antara lain suhu, pH, kandungan oksigen, serta terdapatnya
kandungan nitrogen dan karbon (Vlaemynck dan Van Heddeghem, 1992). Spora
Bacillus cereus mampu melekat pada berbagai macam permukaan, terutama
permukaan yang terbuat dari bahan hidrofobik. Spora Bacillus cereus juga
memiliki sifat tahan panas dan mampu bertahan hidup melalui proses pasteurisasi.
Spora psikrotropik kemudian mengalami germinasi dan akan tumbuh kembali
selama penyimpanan pada suhu dingin (Kramer dan Gilbert, 1989). Proses
pasteurisasi merupakan pemicu germinasi spora, setelah pasteurisasi selesai
19
mikroba yang tidak tahan panas akan mati dan tak adanya kompetisi mikroba,
Bacillus cereus mampu tumbuh kembali dengan baik (Granum dan Lund, 1997).
Pembentukan endospora melibatkan jalur yang membutuhkan energi dan
produksi struktur morfologi yang kompleks. Sinyal eksternal (dan mungkin
internal) memaksa sel untuk memberikan respon dengan menghambat
pembelahan sel dan memulai proses sporulasi. Sporulasi menghasilkan sekat yang
membagi sel ke dalam kompartemen dengan ukuran berbeda. Bagian yang lebih
kecil disebut forespore. Selama proses sporulasi, beberapa gen diaktifkan secara
bertahap; aktivasi gen tertentu dimulai karena adanya komunikasi antara sel induk
(mothercell) dan forespore, dengan sinyal yang ditransfer melewati sekat.
Pengaturan transkripsi gen spora dipengaruhi oleh aktivasi faktor sigma yang
berbeda-beda, yang menentukan spesifitas promoter terhadap RNA polymerase.
Pada akhirnya, forespore akan berubah menjadi endospora dan sel induk akan
mati karena lisis (Dahl, 1999).
Germinasi Spora
Endospora dapat tumbuh menjadi sel vegetatif apabila kondisi
lingkungannya memungkinkan. Proses germinasi dirangsang oleh perlakuan
kejutan panas (heat shock) pada suhu subletal, adanya asam amino, glukosa, dan
ion-ion magnesium dan mangan. Pada waktu germinasi sifat dorman endospora
menghilang sehingga mulai terjadi aktivitas metabolisme yang mengakibatkan sel
dapat tumbuh (Fardiaz, 1992).
Proses germinasi dirangsang oleh faktor nutrisi dan nonnutrisi (bahan
kimia dan enzim). L-alanin merupakan nutrisi paling umum yang merangsang
proses germinasi dengan cara menarik air masuk ke dalam spora dan mengurangi
Ca2+ dan asam dipikolinat sehingga spora kehilangan sifat refraktilnya dan mulai
terjadi metabolisme pada inti spora (Pol et al, 2001).
Perubahan struktur yang terjadi pada saat germinasi adalah hidrasi
korteks, ekskresi Ca2+ dan DPN serta hilangnya sifat resisten dan refraktil.
Sedangkan perubahan fungsional yang terjadi yaitu inisiasi aktivitas metabolik,
aktivasi beberapa protease spesifik dan cortex-lytic enzymes, dan pelepasan hasil
pelisisan korteks. Germinasi dapat dihambat oleh D-alanin, etanol, EDTA, NaCl
20
Patogenesis
Bakteri Bacillus cereus mempunyai dua tipe toksin yaitu tipe pertama
enterotoksin yang biasanya timbul pada produk pangan nabati dan makanan siap
saji (Soejoedono, 2002). Toksin ini mengandung protein dengan berat molekul
sebesar 38-39 kDa, tidak tahan panas dan akan hancur pada suhu 56◦C selama 5
menit. Bila terkonsumsi oleh manusia dalam jumlah yang tinggi sebesar 105 – 107
sel/gram, maka akan menimbulkan gangguan saluran pencernaan berupa sakit
perut dan diare tipe sedang. Toksin diare dari Bacillus cereus diproduksi selama
fase logaritmik. Enterotoksin tersebut berinteraksi dengan membran sel epitel usus
halus dan menyebabkan gejala keracunan pangan yang mirip dengan Clostridium
perfringens. Keduanya memproduksi toksin yang merusak membran, tetapi
berbeda mekanismenya. Clostridium perfringens membutuhkan ion Ca2+ untuk
mengikat sel target dan menyebabkan kebocoran. Kebalikannya Bacillus cereus
enterotoksin menjadi terhambat kemampuannya dalam menyebabkan kebocoran
sel karena adanya ion Ca2+ (Beattie et al., 1999).
Toksin tipe kedua yaitu emetic toksin yang mengandung peptida dengan
berat molekul < 10 kDa dan relatif tahan panas karena tidak hancur pada suhu
yang mencapai 120◦C selama 1 jam. Toksin ini biasanya dapat ditemukan pada
21
nasi, susu beserta produknya dan bila terkonsumsi oleh manusia dalam jumlah 105
– 108 sel/gram sel dapat menyebabkan mual-mual dan muntah (Harmon et al.,
1992). Toksin emetik Bacillus cereus adalah cereulide. Molekul toksin ini sangat
stabil panas, pH ekstrem, dan proteolisis oleh tripsin. Pembentukan toksin emetic
biasanya dihubungkan dengan Bacillus cereus serovar H-1 dan terjadi setelah
pembentukan spora. Produksi toksin ini dipengaruhi oleh komposisi media
tumbuh. Susu dan media berbasis nasi efektif dalam mendukung pembentukan
toksin emetik (Beattie et al., 1999). Menurut Wijnads et al., (2006), Bacillus
cereus memiliki empat faktor virulen, yaitu tiga enterotoksin (haemolisin
BL/HBL, nono hemolitik enterotoksin/nhE, sitotoksin K) dan cereulide.
Haemolisin BL (HBL) dipercayai merupakan toksin diare utama dari Bacillus
cereus (Burgess and Horwood, 2006). Beecher and MacMillan (1990),
mengidentifikasi bahwa HBL kompleks terdiri atas tiga protein yaitu B, L1 dan
L2 yang menurut Beecher and Wong (1997), protein B berperan sebagai
komponen pelekat dan protein L1 (36 kDa) dan L2 (45 kDa) sebagai pelisis sel.
Toksin ini memiliki aktivitas haemolitik dan dermonekrotik, serta menyebabkan
peningkatan permiabilitas vaskuler dan menyebabkan akumulasi cairan di gelung
ileum kelinci (Beecher et al., 1995).
Gejala awal keracunan umumnya muncul 6-24 jam setelah mengkonsumsi
susu. Lama penyakit sangat pendek sehingga sering diabaikan (Gilbert et al.,
1979). Bacillus cereus baru akan menghasilkan toksin jika tumbuh di dalam usus
halus (Harmon et al., 1992). Untuk lebih jelas tentang karakteristik penyakit yang
disebabkan oleh Bacillus cereus dapat dilihat pada Tabel 6.
22
beberapa strain Bacillus cereus yang berasal dari makanan bayi juga terungkap
sebagai produsen cereulide (toksin emetik) (Andersson et al., 2004;. Ehling-
Schulz et al., 2005).
DMFit adalah Excell add-in, dapat digunakan pada Windows 98 dan Excel
97 keatas, untuk membuat fit suatu kurva dimana fase linear didahului dan diikuti
oleh fase diam. Perbedaan utama antara model ini dan kurva sigmoid lainnya
seperti Gompertz, Logistic, dan lain-lain adalah bahwa fase-mid (mid-phase)
sangat dekat dengan linear, tidak seperti kurva sigmoid klasik yang dinyatakan
dengan kelengkungan. DMFit adalah bagian dari sistem yang digunakan in-house
di Institute of Food Research untuk membuat model waktu-variasi logaritma dari
konsentrasi sel pada sejumlah kultur bakteri (DM: Dynamic Modelling). Hal ini
berdasarkan pada model yang sama (Baranyi dan Roberts, 1994) tetapi hanya
cocok untuk kurva pertumbuhan. Namun, juga membandingkan parameter-
parameter berdasarkan F-test, yang tidak termasuk dalam prosedur DMFit. Model
dari program Growth Predictor, didukung oleh UK Food Standards Agency, di
download dari situs web yang sama http://www.ifr.ac.uk/safety/GrowthPredictor,
yang dikembangkan oleh DMFit.
24
METODOLOGI
Media
Media yang digunakan adalah Mannitol-egg yolk-polymyxine agar
(MYP/Oxoid CM 0929), egg yolk emulsion dan polymyxin B, Plate Count Agar
(PCA), Tryptone Soya Agar (TSA), Brain Heart Infusion Broth (BHIB), Nutrient
Agar (NA) dan sulfit indol motility medium (SIM).
Kultur
Kultur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bacillus cereus yang
diisolasi dari sampel makanan pendamping asi (MP-ASI) dan Bacillus cereus
ATCC 10876 sebagai kontrol positif.
Bahan kimia
Bahan kimia yang digunakan adalah KH 2 PO 4 (buffer fosfat), alkohol 70%,
alkohol 95%, akuades, spiritus, hijau malasit, gram’s iodine, safranin, kristal
violet-ammonium oksalat, minyak emersi, MnSO 4 40 mg/L, CaCl2 100mg/L dan
KOH 40%.
25
Alat
Alat yang digunakan adalah cawan petri (berdiameter 100 mm, tinggi 15
mm), mikropipet dan tipnya, erlenmeyer (ukuran 50-100 ml), neraca analitik,
bunsen, inkubator 30⁰C dan 37⁰C, autoklaf, waterbath, vortex, oven, hockey stick,
ose mata bulat, kaca obyek, mikroskop, gunting, plastic HDPE, botol semprot,
alumunium foil, batang pengaduk, pipet tetes, termometer, hot plate, bulb, pipet
Mohr (ukuran 5 dan10 ml), tabung reaksi bertutup beserta raknya, sendok, labu
takar (ukuran 100, 500 dan 1000 ml) dan colony counter.
Metodologi
Isolasi Bacillus
cereus Inokulasi spora ke dalam
sampel MP-ASI
Perwarnaan gram
Perwarnaan spora Uji konfrimasi
Uji katalase Bacillus cereus
Analisis Bacillus
Uji motilitas Analisis Bacillus
cereus terhadap
Uji reaksi terhadap cereus pada suhu
masa simpan
kuning telur preparasi MP-ASI
MP-ASI
Uji konfrimasi
Bacillus cereus
Perwarnaan gram
Perwarnaan spora
Uji katalase
Uji motilitas
Uji reaksi terhadap kuning telur
a. Pengambilan sampel
Sampel makanan pendamping ASI diperoleh dari pasar tradisional dan
warung kelontong yang ada dikota Bogor. Sampel yang akan dianalisis adalah 6
merek makanan pendamping asi (bubuk instan), meliputi PR I, PR II, CR I, CR II,
SN I dan SII, yang diperoleh dari pasar tradisional dan warung kelontong yang
ada dikota Bogor dengan berat 20 g/kemasan. Sampel tersebut langsung dibawa
ke laboratorium untuk dianalisis.
27
Gambar 3. Metode Tuang (Pour Plate Method) pada Metode Hitungan Cawan
(Plate Count Method)
dengan y(t) = ln x(t) adalah jumlah bakteri pada waktu ke-(t), y 0 = ln x 0 adalah
jumlah bakteri awal, dan v adalah rata-rata kenaikan substrat, yang secara umum
diasumsikan sama dengan µ max (growth rate), parameter m mengkarakteristik
kurva sebelum fase stasioner , A(t) atau fase lag adalah fungsi integral dari α(t),
dan y max adalah akhir dari fase log yang merupakan ln x max . Kemudian dilanjutkan
dengan kurva fitting menggunakan DMFit. Selain itu jika pertumbuhan bersifat
linear dihitung menggunakan regresi linear. Bentuk umum dari persamaan linier,
dapat dituliskan sebagai berikut:
y=ax+b
dengan: a = kelandaian (slope) kurva garis lurus
b = perpotongan (intercept) kurva dengan ‘ordinat’atau sumbu tegak
pengamatan (hari ke-) serta N sebanyak n data pengamatan. Model regresi yang
dihasilkan dapat diketahui baik tidaknya dengan R2.
Analisis Data
Program yang digunakan untuk mengolah data adalah SPSS 17, sedangkan
tampilan grafik diolah dengan menggunakan Microsoft Office Excel 2007.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis ANOVA univariate dan
dianalisis lebih lanjut dengan uji Duncan yang bertujuan untuk mengetahui ada
tidaknya perbedaan yang terjadi antara faktor perlakuan yang digunakan beserta
interaksinya.
Untuk kajian suhu preparasi MP-ASI dan kajian penyimpanan MP-ASI
dianalisis menggunakan analisis ragam dua arah dengan uji lanjut Duncan. Kajian
suhu preparasi MP-ASI yang menjadi faktor pertama adalah suhu air yang
digunakan dan faktor kedua adalah waktu pengamatan. Sedangkan untuk kajian
penyimpanan MP-ASI yang menjadi faktor pertama adalah masa simpan MP-ASI
dan faktor kedua adalah waktu pengamatan. Rancangan percobaan yang
digunakan adalah rancangan acak lengkap dua faktor.
35
2,53
2,55
2,36 2,39
2,30
2,08
Total Mikroba (log cfu/g)
2,05
1,80
1,55
1,30
1,08 1,12
1,05
0,80
PR I PR II CR I CR II SN I SN II
Jenis produk MP-ASI
Dari Gambar 5. di atas, dapat dilihat bahwa total mikroba pada produk
MP-ASI setelah preparasi dengan menggunakan suhu air preparasi 30⁰C. Hal
tersebut menunjukkan bahwa produk MP-ASI dapat menjadi sumber makanan
yang baik bagi pertumbuhan mikroba. Berdasarkan Gambar 5. produk CR (I dan
II) memiliki Angka Lempeng Total (ALT) yang lebih rendah dibandingkan
produk yang lain (α = 0,05). Total mikroba yang tinggi pada bahan pangan
36
bakteri tumbuh baik pada media yang basah dan udara yang lembab. Dan tidak
dapat tumbuh pada media yang kering. Mikroorganisme mempunyai nilai
kelembaban optimum. Pada umumnya untuk pertumbuhan ragi dan bakteri
diperlukan kelembaban yang tinggi diatas 85%, sedang untuk jamur diperlukan
kelembaban yang rendah dibawah 80%. Kadar air bebas didalam larutan
merupakan nilai perbandingan antar tekanan uap air larutan dengan tekanan uap
air murni, atau 1/100 dari kelembaban relatif. Nilai kadar air bebas didalam
larutan untuk bakteri pada umumnya terletak diantara 0,90 sampai 0,999 sedang
untuk bakteri halofilik mendekati 0,75. Banyak mikroorganisme yang tahan hidup
didalam keadaan kering untuk waktu yang lama seperti dalam bentuk spora.
Kadar air untuk masing-masing sampel MP-ASI, berkisar mulai dari 1.86 – 4.95
% dan Aw mulai dari 0.17 – 0.36, yang ditujukan pada Tabel 7.
2,45 2,35 70 C 90 C
2,12 2,14
2,17 2,04
Total Koloni Mikroba (log cfu/g)
2,10
2,00
1,76
1,75 1,72
1,40
1,05
0,87
0,70 0,86
0,35
0,00 0,00
0,00
PR I PR II CR I CR II SN I SN II
Jenis Produk MP-ASI
Gambar 6. Total mikroba produk MP-ASI, setelah preparasi dengan 2 (70°C dan
90°C) suhu yang berbeda, dilakukan sebanyak 3 kali ulangan
bakteri yaitu untuk sampel CR II, sedangkan pada perlakuan pelarutan MP-ASI
menggunakan suhu air preparasi 30⁰C pada 6 sampel yang dianalisis tersebut
ditemukan sejumlah koloni bakteri dengan bentuk dan ukuran yang beragam. Hal
ini mengindikasikan bahwa suhu air preparasi yang digunakan untuk pelarutan
MP-ASI memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keberadaan dan jumlah
koloni bakteri yang terdapat pada MP-ASI bubuk instan tersebut (α = 0,05).
Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa sampel MP-ASI produk CR II
menghasilkan jumlah log cfu/g paling kecil dan berbeda nyata terhadap sampel
MP-ASI produk PR I, PR II, CR I, SN I dan SN II, tetapi sampel MP-ASI produk
PR I dan SN II tidak menunjukkan beda nyata dan SN II tidak berbeda nyata
dengan produk PR II. Sampel MP-ASI CR I dan SN I juga menunjukkan beda
nyata dengan sampel CR II, PR I, PR II, dan SN II. Sampel produk PR II
menghasilkan jumlah log cfu/g paling besar.
Perlakuan suhu air preparasi yang digunakan untuk melarutkan sampel
MP-ASI menunjukkan hasil pengamatan yang berbeda nyata untuk perlakuan
suhu air preparasi MP-ASI bubuk instan, dimana pada pelakuan suhu air preparasi
30⁰C menghasilkan jumlah koloni yang tinggi dan berbeda nyata dengan
perlakuan suhu air preparasi 70⁰C dan 90⁰C, sedangkan perlakuan suhu air
preparasi 70⁰C dan 90⁰C tidak berbeda nyata dalam hal jumlah koloni mikroba
(α=0.05) pada analisa total plate count. Hal ini disebabkan karena suhu air yang
digunakan pada saat melarutkan MP-ASI mampu mengeliminasi sejumlah kecil
mikroba yang ada didalam produk MP-ASI sehingga total koloni yang diperoleh
pada suhu air 70⁰C dan 90⁰C tersebut kecil (tidak berbeda nyata). Hal ini
dikarenakan mikroba pada umumnya tidak tahan terhadap suhu tinggi dan suhu
optimum yang digunakan untuk pertumbuhan mikroba sekitar ± 37oC.
Berdasarkan hasil total koloni yang diperoleh pada penelitian dapat
dikatakan bahwa suhu air preparasi yang digunakan untuk proses pelarutan MP-
ASI menunjukkan pengaruh yang signifikan (beda nyata) dengan jumlah
mikroorganisme yang ada didalam sampel MP-ASI. Suhu air preparasi yang
disarankan untuk mengurangi atau mengeliminasi sebagian mikroorganisme yang
ada didalam produk MP-ASI adalah suhu 70⁰C, hal ini sesuai dengan saran
penyajian yang tertera pada kemasan produk dan sesuai juga dengan WHO
40
(2004), menyatakan bahwa penggunaan air matang suhu 70⁰C untuk melarutkan
susu formula dapat menekan kontaminan E. sakazakii hingga 4 log.
Komposisi MP-ASI memegang peranan yang penting dalam hal
keberadaan mikrooganisme dalam produk. Komposisi MP-ASI yang kompleks
sangat menguntungkan mikrooganisme yang ada didalam produk, karena
mikrooganisme dapat menggunakan nutrisi yang ada untuk melakukan
berkembangbiak. Selain komposisi MP-ASI yang kompleks, suhu air yang
digunakan saat pelarutan MP-ASI juga memberikan kontribusi terhadap
pertumbuhan mikroorganisme dalam produk. Beberapa faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan mikrooganisme dalam produk pangan, yaitu faktor
yang berasal dari produk itu sendiri seperti nutrisi, aw, pH, potensi reaksi redoks,
struktur dinding sel (biologi) dan antimikroba. Sedangkan faktor yang berasal dari
luar produk seperti RH (kelembaban), suhu lingkungan dan ketersediaan oksigen
(O 2 ).
Pertumbuhan mikroorganisme pada umumnya tergantung pada kondisi
bahan makanan dan juga lingkungan. Apabila kondisi makanan dan lingkungan
cocok untuk mikroorganisme tersebut, maka mikroorganisme akan tumbuh
dengan waktu yang relatif singkat dan sempurna.
Sampel yang telah diuji total plate count, kemudian dilanjutkan kembali
dengan pengujian pada media MYPA, yang merupakan media selektif untuk
pertumbuhan Bacillus cereus. MYPA mengandung mannitol yang tidak dapat
difermentasi oleh B. cereus, namun oleh beberapa bakteri lain (misalnya B.subtilis
dan S. aureus) dapat difermentasi. Penambahan kuning telur dapat memperjelas
koloni tipikal B. cereus sebab kuning telur memiliki lesitin dan B. cereus
menghasilkan enzim fosfatidilkolin hidrolase, fosfolipase C yang menghidrolisis
lesitin. Dengan begitu, koloni tipikal B. cereus akan mendegradasi lesitin yang
terlihat sebagai zona presipitasi di sekeliling koloni (Schraft dan Griffiths, 1995).
Polymyxin B juga ditambahkan pada MYPA untuk menghambat pertumbuhan
bakteri Gram negatif. Koloni bakteri yang tumbuh pada media MYPA diduga
sebagai koloni Bacillus cereus, seperti yang terlihat pada Gambar 8.
Bacillus cereus
Gambar 8. Pertumbuhan isolat Bacillus cereus dari MP-ASI pada media agar
MYP
Hasil analisis cemaran Bacillus cereus produk MP-ASI yang diuji dapat
dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan Gambar 9 diketahui bahwa jumlah total
Bacillus cereus pada sampel MP-ASI yang beredar di pasar Indonesia, berkisar
antara 1.73 CFU/g sampai 2.06 CFU/g, sehingga diperoleh rata-rata jumlah total
Bacillus cereus sebesar 1.23 CFU/g dengan nilai standar deviasi sebesar 0.02.
42
2,5
2,06
Total Bacillus cereus (Log CFU/g)
2 1,84 1,78
1,73
1,5
0,5
0 0
0
PR I PR II CR I CR II SN I SN II
Jenis Produk MP-ASI
Gambar 10. Hasil perwarnaan gram terhadap bakteri yang diduga Bacillus cereus
pada pembesaran 1000x
saat sel vegetatif mengeluarkan sumber nutrisinya secara bertahap. Pada kondisi
yang memungkinkan sel tersebut bertumbuh, maka spora akan bergerminasi dan
kembali menjadi sel vegetatifnya. Endospora mengandung sedikit sitoplasma,
materi genetik, dan ribosom. Dinding endospora yang tebal tersusun atas protein
dan menyebabkan endospora tersebut tahan terhadap kekeringan, radiasi cahaya,
suhu tinggi dan zat kimia. Hal ini terkait dengan kemampuan bakteri tersebut
dalam mentransfer penyakit dari inang yang satu ke inang yang lainnya.
Dua bakteri patogen penting yang mampu membentuk endospora adalah
Bacillus dan Clostridium. Bacillus cereus merupakan bakteri penghasil spora. Uji
konfirmasi setelah perwarnaan gram adalah proses pewarnaan spora. Pewarnaan
spora pada sel vegetatif Bacillus cereus ditunjukkan dengan warna merah dan
pada spora ditunjukkan warna hijau seperti terlihat pada Gambar 11. Sebanyak 4
sampel yang diduga positif Bacillus cereus tersebut menunjukkan bahwa 100%
isolat tersebut merupakan gram positif dan memiliki spora sehingga dapat
dikatakan 100% sampel MP-ASI mengandung Bacillus cereus.
Spora
Sel vegetatif
Gambar 11. Hasil pewarnaan spora terhadap bakteri Bacillus cereus pada
pembesaran 1000x
Gambar 12. Sedangkan mikroba yang motil akan tumbuh secara difusi menjauhi
garis tusukan tersebut.
Garis tusukan
Gambar 12. Tipe pertumbuhan pada medium motilitas setelah diinokulasi dengan
isolat Bacillus cereus
Uji katalase juga dilakukan terhadap 4 isolat yang diperoleh dari 4 sampel
yang diduga positif mengandung Bacillus cereus, uji katalase dilakukan dengan
menambahkan larutan 3% H 2 O 2 , isolat bakteri yang memiliki enzim katalase akan
menunjukkan adanya gelembung udara di sekitar koloni seperti yang ditunjukan
pada Gambar 13. Menurut Jay (2000), uji katalase membuktikan adanya enzim
katalase dari isolat yang berfungsi dalam penguraian H 2 O 2 .
Katalase positif
dilakukan analisa hanya 1 sampel yang digunakan, hal ini didasarkan pada jumlah
total koloni Bacillus cereus yang terdapat pada produk MP-ASI (produk yang
memiliki jumlah total koloni Bacillus cereus tinggi yang dipergunakan untuk uji
pengaruh suhu air saat preparasi). Pada tahap ini dilakukan pengamatan terhadap
pertumbuhan Bacillus cereus pada media MYP agar dengan perlakuan suhu air
preparasi MP-ASI suhu 30⁰, 70⁰, dan 90⁰C, pengamatan terhadap larutan MP-ASI
dilakukan selama 60 menit dengan penyimpanan pada suhu ruang ± 27°C.
Melarutkan MP-ASI (bubuk instan) dengan air matang panas menjadi
bentuk siap dikonsumsi, seharusnya mampu mengeliminasi sebagian besar bakteri
di dalamnya. Namun yang terjadi dilapangan berbeda dari yang diharapkan.
Jumlah bakteri terutama sel vegetatif Bacillus cereus setelah pelarutan MP-ASI
meningkat secara nyata (p< 0.05). Perubahan jumlah sel vegetatif Bacillus cereus
pada sampel MP-ASI produk B ini dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 14.
Berdasarkan Gambar 14, terlihat bahwa jumlah sel semakin meningkat dengan
semakin lamanya waktu pengamatan.
2,30 30 70 90
Jumlah sel vegatatif Bacillus cereus
2,22
2,20
2,17 R² = 1
(log cfu/g)
2,14 2,14
2,06
2,01 R² = 0,923
1,98
1,98 1,97 2,00 R² = 0,964
1,98
1,94
1,90
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu pengamatan (menit)
Gambar 14. Perubahan jumlah sel vegetatif Bacillus cereus alami pada produk PR
II selama penyimpanan 1 jam pada suhu ruang, dengan suhu air
preparasi 30⁰C, 70⁰C dan 90⁰C
Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan suhu air 30⁰C yang
digunakan saat preparasi menghasilkan jumlah log cfu/g paling besar dan berbeda
nyata terhadap perlakuan suhu air 70⁰C dan suhu air 90⁰C, tetapi perlakuan suhu
51
air 70⁰C tidak berbeda nyata dengan suhu air 90⁰C. Hasil ANOVA dapat dilihat
pada Lampiran 9.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, menunjukkan bahwa perlakuan
suhu air yang digunakan untuk preparasi MP-ASI (bubuk instan) dapat
mempengaruhi jumlah sel vegetatif Bacillus cereus alami yang ada didalam
produk (α < 0.05). Perlarutan MP-ASI menggunakan suhu air 30⁰C menghasilkan
total jumlah koloni sebesar 2.17 CFU/g dengan standar deviasi sebesar 0.03,
dengan lama waktu pengamatan 60 menit, dimana pengamatan ini dilakukan pada
menit ke-0, 30 dan 60 menit, hal ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya
pengaruh lamanya penyimpanan setelah preparasi terhadap pertumbuhan sel
vegetatif Bacillus cereus. Pelarutan MP-ASI menggunakan suhu air 70⁰C
menghasilkan total jumlah koloni sebesar 1.99 CFU/g dengan standar deviasi
sebesar 0.02, dengan lama waktu pengamatan 60 menit dan pelarutan MP-ASI
menggunakan suhu air 90⁰C menghasilkan total jumlah koloni sebesar 1.97
CFU/g dengan standar deviasi sebesar 0.03, dengan lama waktu pengamatan 60
menit (sama seperti perlakuan suhu air 30⁰C).
Pada tahap ini pemilihan suhu air yang digunakan untuk preparasi MP-ASI
yang baik adalah suhu 70⁰C sesuai dengan saran penyajian yang tertera pada
kemasan produk. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Purwanti (2009), yang
menyatakan bahwa suhu air yang digunakan untuk proses preparasi MT-P
berpengaruh nyata terhadap proses germinasi spora Bacillus cereus, dimana pada
suhu 35⁰C diperoleh jumlah koloni yang lebih tinggi dengan rata-rata koloni awal
sebesar 2.79 x 103 CFU/ml dibandingkan dengan suhu air 70⁰C dengan rata-rata
koloni awal sebesar 2.30 x 103 CFU/ml.
Bertambahnya jumlah bakteri dalam MP-ASI (bubuk instan), selain akibat
spora yang sudah ada di dalam MP-ASI, juga karena suhu preparasi dibawah
70⁰C. Hal ini dikaitkan dengan kemampuan spora tersebut untuk tumbuh lebih
cepat, karena tidak perlu terlalu lama beradaptasi untuk menyesuaikan diri. Suhu
awal preparasi ternyata berpengaruh pada kecepatan melakukan multipikasi,
dimana pada suhu 42⁰C kecepatan multipikasi bervariasi antara 11-34 menit
(Borge et al.,2001).
52
10
Total Koloni Bacillus cereus (Log cfu/g)
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Waktu Pengamatan (jam)
Gambar 15. Pola pertumbuhan Bacillus cereus alami pada produk B MP-ASI,
pada suhu optimum pertumbuhan 30-40°C selama 24 jam dengan
suhu air preparasi 70⁰C (♦ data eksperimen, — hasil fitting DMFit)
53
Pada dasarnya tahap pertumbuhan bakteri adalah fase adaptasi (lag), fase
pertumbuhan (log), fase stasioner dan fase kematian (death). Tahap tersebut
digambarkan dalam bentuk kurva/model sigmoid. Model sigmoid dalam
sejarahnya digunakan untuk menggambarkan peningkatan logaritma densitas sel
bakteri terhadap waktu. Pertumbuhan dapat diamati dari meningkatnya jumlah sel
atau massa sel (berat kering sel). Pada umumnya bakteri dapat memperbanyak diri
dengan pembelahan biner, yaitu dari satu sel membelah menjadi 2 sel baru, maka
pertumbuhan dapat diukur dari bertambahnya jumlah sel. Waktu yang diperlukan
untuk membelah diri dari satu sel menjadi dua sel sempurna disebut waktu
generasi. Waktu yang diperlukan oleh sejumlah sel atau massa sel menjadi dua
kali jumlah/massa sel semula disebut doubling time atau waktu penggandaan.
Waktu penggandaan tidak sama antara berbagai mikroba, dari beberapa menit,
beberapa jam sampai beberapa hari tergantung kecepatan pertumbuhannya.
Kecepatan pertumbuhan merupakan perubahan jumlah atau massa sel per unit
waktu. Pada fase permulaan, bakteri baru menyesuaikan diri dengan lingkungan
yang baru, sehingga sel belum membelah diri. Sel mikroba mulai membelah diri
pada fase pertumbuhan yang dipercepat, tetapi waktu generasinya masih panjang.
Fase permulaan sampai fase pertumbuhan dipercepat sering disebut lag
phase. Kecepatan sel membelah diri paling cepat terdapat pada fase pertumbuhan
logaritma atau pertumbuhan eksponensial, dengan waktu generasi pendek dan
konstan. Selama fase logaritma, metabolisme sel aktif, sintesis bahan sel sangat
cepat dengan jumlah konstan sampai nutrien habis atau terjadinya penimbunan
hasil metabolisme yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan. Selanjutnya
pada fase pertumbuhan yang mulai terhambat, kecepatan pembelahan sel
berkurang dan jumlah sel yang mati mulai bertambah. Pada fase stasioner
maksimum jumlah sel yang mati semakin meningkat sampai terjadi jumlah sel
hidup hasil pembelahan sama dengan jumlah sel yang mati, sehingga jumlah sel
hidup konstan. Pada fase kematian yang dipercepat, kecepatan kematian sel terus
meningkat sedang kecepatan pembelahan sel nol, sampai pada fase kematian
logaritma maka kecepatan kematian sel mencapai maksimal, sehingga jumlah sel
hidup menurun dengan cepat seperti deret ukur. Walaupun demikian penurunan
54
jumlah sel hidup tidak mencapai nol, dalam jumlah minimum tertentu sel
mikrobia akan tetap bertahan sangat lama dalam medium tersebut.
2,25 2,25
R² = 0.972
2,23
2,20
Jumlah sel vegetatif Bacillus cereus
2,20
2,12 2,13
R² = 0.999
2,10 2,11
2,10
2,09
30 70 90
2,05
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu Pengamatan (menit)
Gambar 16. Perubahan jumlah sel vegetatif Bacillus cereus dengan penambahan
spora sebesar 103 cfu/ml, pada produk CR II selama penyimpanan 1
jam pada suhu ruang dengan suhu air preparasi 30⁰C, 70⁰C dan
90⁰C.
Hasil ANOVA dapat dilihat pada Lampiran 11. Uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa perlakuan suhu air 30⁰C yang digunakan saat preparasi
menghasilkan jumlah log cfu/g paling besar dan berbeda nyata terhadap perlakuan
suhu air 70⁰C dan perlakuan suhu air 90⁰C, tetapi jumlah koloni pada perlakuan
suhu air 70⁰C tidak berbeda nyata dengan jumlah koloni pada perlakuan suhu air
90⁰C. Perlakuan suhu air berbeda nyata dengan waktu pengamatan, dimana pada
menit ke-60 jumlah koloni yang diperoleh tinggi dan berbeda nyata dengan menit
ke-0 dan menit ke-30.
Perlarutan MP-ASI menggunakan suhu air 30⁰C menghasilkan total
jumlah koloni sebesar 2.22 x 102 log CFU/g dengan standar deviasi sebesar 0.02,
dengan lama waktu pengamatan 60 menit, pelarutan MP-ASI menggunakan suhu
air 70⁰C menghasilkan total jumlah koloni sebesar 2.12 x 104 log CFU/g dengan
standar deviasi sebesar 0.05, dengan lama waktu pengamatan 60 menit dan
pelarutan MP-ASI menggunakan suhu air 90⁰C menghasilkan total jumlah koloni
sebesar 2.11 x 104 log CFU/g dengan standar deviasi sebesar 0.06, dengan lama
waktu pengamatan 60 menit. WHO (2004), menyatakan bahwa penggunaan air
matang suhu 70⁰C untuk melarutkan susu formula dapat menekan kontaminan E.
sakazakii hingga log 4.
56
Total koloni awal (menit ke-0) yang diperoleh pada hasil penelitian ini
mengalami penurunan 1 log cfu/g, hal ini disebabkan karena pada saat
penambahan spora ke dalam sampel menggunakan botol spray, jadi kemungkinan
spora ada yang tertinggal dalam botol spray saat penyemprotan sampel.
Penggunaan botol spray pada saat penambahan spora didasarkan pada volume
spora/ml yang digunakan sebesar 2 ml, hal ini diharapkan mampu mempermudah
penambahan spora ke dalam sampel produk MP-ASI dan memperkecil
kemungkinan sampel produk menggumpal (lebih homogen).
Spora yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam produk ternyata mampu
melakukan proses germinasi (spora berubah menjadi sel vegetatif) setelah diberi
perlakuan suhu air yang berbeda dengan waktu generasi yang berbeda. Hal ini
sesuai dengan penelitian Purwanti (2009), menyatakan bahwa suhu air (35⁰C)
yang digunakan untuk pelarutan susu formula memiliki kemampuan untuk
meningkat proses germinasi dengan waktu generasi sebesar 24 menit.
Untuk meminimalkan resiko, disarankan untuk segera mungkin
mengkonsumsi MP-ASI yang telah dilarutkan dan memperpendek waktu
konsumsi (feeding time) menjadi dua jam dan untuk MP-ASI yang tidak habis
dimakan harus dibuang. Menyimpan makanan pada suhu ruang ternyata
meningkatkan jumlah bakteri di dalam makanan. Feeding time yang disarankan
oleh Codex Alimentarius Commision untuk semua produk makanan pendamping
ASI termasuk susu formula bubuk dan bubuk instan adalah ± 2 jam, hal tersebut
dilandasi oleh penelitian yang dilakukan pada E.sakazakii dan Salmonella pada
produk susu formula bubuk (FAO 2006). Penelitian Purwanti (2009), mengatakan
bahwa susu formula terlarut yang telah ditambahkan 103 spora/ml Bacillus cereus
dan disimpan pada suhu ruang (±30⁰C) selama 4 jam, ternyata spora Bacillus
cereus melakukan germinasi menjadi sel vegetatif dan bermultifikasi sebesar 1 log
dalam 3 jam.
Endospora dapat tumbuh menjadi sel vegetatif apabila kondisi
lingkungannya memungkinkan. Proses germinasi dirangsang oleh perlakuan
kejutan panas (heat shock) pada suhu subletal, adanya asam amino, glukosa, dan
ion-ion magnesium dan mangan. Pada waktu germinasi sifat dorman endospora
menghilang sehingga mulai terjadi aktivitas metabolisme yang mengakibatkan sel
57
dapat tumbuh (Fardiaz, 1992). Proses germinasi dirangsang oleh faktor nutrisi dan
non nutrisi (bahan kimia dan enzim). L-alanin merupakan nutrisi paling umum
yang merangsang proses germinasi dengan cara menarik air masuk ke dalam
spora dan mengurangi Ca2+ dan asam dipikolinat sehingga spora kehilangan sifat
refraktilnya dan mulai terjadi metabolisme pada inti spora (Pol et al, 2001).
Aktivasi dengan panas (heat activation) bersifat reversible. Spora dapat
menjadi dorman kembali apabila suhu aktivasi diturunkan. Proses ini dapat
meningkatkan germinasi spora sampai 90%. Selama proses heat activation akan
terjadi pemutusan ikatan hidrogen dan ikatan sulfida pada protein spora serta
pelepasan Ca-DPA (Zhang et al, 2009). Setelah germinasi maka akan terjadi
proses outgrowth. Outgrowth meliputi biosisntesis dan perbaikan proses setelah
germinasi dan sebelum petumbuhan sel vegetatif. Selama outgrowth akan terjadi
pembengkakan spora karena hidrasi dan pengambilan nutrisi, perbaikan dan
sintesis RNA, protein dan bahan untuk membran dan dinding sel, pelarutan
lapisan luar spora, elongasi sel, dan replikasi DNA. Faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya outgrowth adalah nutrisi, pH, dan suhu. Setelah
outgrowth maka sel vegetatif keluar dari spora dan mulai tumbuh (Ray, 2001).
Bacillus cereus pada sampel MP-ASI produk CR II ini dapat dilihat dengan jelas
pada Gambar 17. Berdasarkan Gambar 17, terlihat bahwa jumlah sel semakin
meningkat dengan semakin lamanya waktu pengamatan.
0 30 60
2,68
Total koloni B.cereus (log cfu/g)
2,64
2,60
2,56
2,52
2,48
2,44
0 2 4 6 8
Waktu Pengamatan (Minggu)
Gambar 17. Perubahan jumlah sel vegetatif Bacillus cereus dengan penambahan
spora sebesar 2.5x103 cfu/ml, dengan proses penyimpanan MP-ASI
produk CR II pada suhu ruang dengan lama pengamatan 60 menit
dan suhu air preparasi 70⁰C
Hasil ANOVA dapat dilihat pada Lampiran 12. Uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa perlakuan penyimpanan pada minggu ke-0 menghasilkan
jumlah log cfu/g paling kecil dan berbeda nyata terhadap perlakuan penyimpanan
pada minggu ke-2, 4, 6 dan perlakuan penyimpanan minggu ke-8. Perlakuan
penyimpanan pada minggu ke-2 tidak menunjukkan beda nyata dengan perlakuan
penyimpanan minggu ke-0 dan pada minggu ke-4, tetapi berbeda nyata dengan
minggu ke-6 dan minggu ke-8. Perlakuan penyimpanan pada minggu ke-4 tidak
menunjukkan beda nyata dengan perlakuan penyimpanan minggu ke-2 dan pada
minggu ke-6, tapi berbeda nyata dengan minggu ke-0 dan minggu ke-8. Perlakuan
penyimpanan pada minggu ke-6 menunjukkan beda nyata dengan perlakuan
penyimpanan pada minggu ke-0, 2 dan 8, tetapi tidak berbeda nyata dengan
perlakuan penyimpanan pada minggu ke-4. Perlakuan penyimpanan pada minggu
ke-8 menunjukkan beda nyata dengan perlakuan penyimpanan pada minggu ke-0,
2, 4 dan 6. Perlakuan waktu pengamatan berbeda nyata untuk semua perlakuan
59
penyimpanan MP-ASI bubuk instan, dimana pada menit ke-60 jumlah koloni
yang diperoleh tinggi dan berbeda nyata dengan menit ke-0 dan menit ke-30.
Produk ini memiliki kadar air awal sebesar ± 4.0 gram per seratus gram
dan Aw sebesar 0.45. Berdasarkan hasil penelitian diatas, ternyata spora yang
dengan sengaja diinokulasikan kedalam produk sebesar 2.5 x 103 cfu/ml tersebut
mampu bertahan selama proses penyimpanan berlangsung dan spora juga mampu
bertahan terhadap suhu air 70⁰C yang digunakan saat preparasi produk MP-ASI
serta mampu bergerminasi menjadi sel vegetatif Bacillus cereus. Spora tersebut
ternyata juga mampu melakukan proses germinasi selama proses penyimpanan (8
minggu), pada suhu ruang (± 27⁰C) dengan kelembaban ruang sebesar > 70%.
Total koloni awal (menit ke-0) pada minggu ke-0 yang diperoleh pada
hasil penelitian ini mengalami penurunan 1 log cfu/g, hal ini disebabkan karena
kurang homogen sampel dan spora yang ditambahkan kedalam produk.
Penambahan spora ke dalam produk sebesar 0,5 ml spora/kemasan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Purwanti (2009), menyatakan
bahwa kelembaan udara, baik kelembaban tinggi >70 % maupun kelembaban
rendah <50 % secara nyata mempengaruhi Aw susu formula bubuk yang disimpan
selama 5 hari. Pada susu formula yang dikontaminasi dengan B.cereus, beda rata-
rata jumlah B. cereus secara nyata terjadi setelah dua hari penyimpanan. Suhu
udara lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam germinasi spora
B. cereus, ini terlihat dari bertambahnya bakteri pada susu formula yang disimpan
dalam tempat tertutup walaupun nilai Aw cenderung tidak berubah dari hari ke
hari. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Gurtier dan Beuchat (2007), yang
menyatakan bahwa E. sakazakii yang dengan sengaja diinokulasikan ke dalam
susu formula berbahan dasar susu dan tepung kacang kedelai, mampu bertahan
pada rentang Aw antara 0.43-0.86.
Bakteri pembentuk spora, seperti Bacillus sp dan Clostridium sp perlu
pengendalian Aw yang lebih ketat selama proses penyimpanan. Hal ini terkait
dengan kemampuan spora yang dapat mulai bergerminasi pada Aw yang lebih
rendah daripada Aw yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimum bakteri itu
sendiri (Syarief R dan Hariyadi H, 2000). Hasil penelitian ini membuktikan
60
bahwa spora B.cereus ternyata dapat bertahan pada MP-ASI bubuk instan
(Gambar 17) yang memiliki Aw antara 0.44-0.73.
Komposisi penyusun matriks makanan terhadap ketahanan panas spora
Bacillus cereus pernah dilakukan penelitian. Hasil penelitian tersebut menyatakan
bahwa spora B.cereus cukup tahan terhadap panas, namun resistensinya akan
meningkat dalam makanan yang tinggi lemak dan berminyak (misalnya minyak
kedelai, D121oC = 30 menit) dan makanan yang umumnya memiliki aktivitas air
yang rendah. Keberadaan B. cereus dalam makanan olahan hasil dari kontaminasi
bahan baku dan proses panas selama pengolahan makanan meningkatkan
resistensi spora B.cereus (AIFST, 2003).
61
Simpulan
Jumlah total mikroba yang ada didalam MP-ASI masih dibawah batas
standar nilai dari SNI 01-7111.1-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu
(MP-ASI) bubuk instant, mengenai batas cemaran maksimun mikroba yang
mencantumkan angka lempeng total sebesar 1.0 x 104 koloni/g. Hasil rata-rata
Total Plate Count yang diperoleh untuk perlakuan pelarutan MP-ASI
menggunakan suhu air preparasi 30⁰C adalah sebesar 1.93 CFU/g ± 0.66,
menggunakan suhu air preparasi 70⁰C sebesar 1.54 CFU/g ± 0.92, dan pelarutan
MP-ASI menggunakan suhu air 90⁰C menghasilkan rata-rata total jumlah koloni
sebesar 1.47 CFU/g ± 0.86.
Dari 6 sampel (PR I, PR II, CR I, CR II, SN I dan SN II) yang dianalisa,
terdapat 4 sampel yang positif mengandung Bacillus cereus dengan kandungan
Bacillus cereus yang bervariasi mulai dari 1.73 cfu/g hingga 2.06 cfu/g.
Pengetahuan tentang tatacara preparasi terutama suhu air yang digunakan
untuk melarutkan MP-ASI menunjukkan hasil yang signifikan terhadap
pertumbuhan sel vegetatif Bacillus cereus, dimana suhu air 30⁰C yang digunakan
saat preparasi menghasilkan jumlah Bacillus cereus log cfu/g paling besar.
Pertumbuhan sel vegetatif Bacillus cereus juga menunjukkan hasil yang
signifikan dengan lamanya waktu penyimpanan MP-ASI yang sudah dilarutkan
pada suhu ruang (28-29⁰C). Suhu air preparasi yang disarankan untuk
mengurangi atau mengelimanisasi sebagian mikroorganisme yang ada didalam
produk MP-ASI adalah suhu 70⁰C.
Pertumbuhan spora Bacillus cereus berbeda nyata dengan lamanya waktu
penyimpanan MP-ASI pada suhu ruang, dimana spora Bacillus cereus tersebut
mampu bergerminasi pada kondisi suhu penyimpanan ruang. Spora B. cereus
mampu bertahan pada kondisi lingkungan yang ekstrim terutama terhadap Aw dan
kadar air yang rendah, spora ini juga mampu bertahan dan berubah menjadi sel
vegetatif terhadap suhu air yang digunakan saat preparasi MP-ASI.
62
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Batt CA. 2000. Encyclopedia of Food Microbiology. Academic Press. San Diego.
Beattie SH and Williams AG. 1999. Detection of toxins. Di dalam: Robinson RK,
Batt CA, Patel PD (eds). Encyclopedia of Food Microbiology Volume
One. London: Academic Press, pp 119-124.
Beecher DJ, Pulido JS, Barney NP, Wong AC. 1995. Extracellular Virulence
Factors in Bacillus cereus Endophtalmitis: Methods and Implication of
Involvement of Hemolysin BL. Infection Immunology. 63:632-639.
[BD] Becton, Dickinson, and Company. 2010. MYP Agar Antimicrobic Vial P.
http://www.bd.com/ds/technicalCenter/insert/MYP_Agar.pdf [ 28 Oktober
2010].
Blackburn, Clive de and McClure, PJ. 2002. Foodborne pathogens : Hazards, Risk
Analysis and Control. New York: CRC Press.
Borge GIA, Skeie M, Sorhaug T, Langsrud T, Granum PE. 2001. Growth and
toxin profile of Bacillus cereus isolated from different food sources.
Internasional Journal of Food Microbiology 69:237-246.
Dadhicd JP. 2006. How Safe Are Infant Formulas. Journal of Neonatology 20:60-
63.
Dahl MK. 1999. Bacillus. Di dalam : Robinson RK, Batt CA, Patel PD. (eds).
Encyclopedia of Food Microbiology Volume One. London: Academic
Press. pp 113-119.
Depkes RI. 2000. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). Departemen
Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Direktorat Jenderal Kesehatan
Masyarakat, Direktorat Gizi Masyarakat. Jakarta.
[FSANZ] Food Standard Australia and New Zealand. 2003. Application A 454:
Bacillus cereus Limits in Infant Formula. Assesment Report. Canberra-
Wellington.
Gilbert RJ, Stringer MF, and Pearce JM. 1979. The Survival and Growth of
Bacillus cereus in Boiled and Fried Rice in Relation to Outbreaks of Food
Poisoning. Journal of Hygiene 73: 433-444.
Granum PE, Lund T. 1997. Bacillus cereus and its Food Poisoning Toxins. FEMS
Microbial Letter. 157.
Harmon SM, Goepfert JM and Bennet RW. 1992. Compendium of Method For
The Microbiological Examination of Food, 3rd ed. Washington: American
Public Health Association.
Herdiana UR. 2007. Tingkat Keamanan Susu Bubuk Skim Impor Ditinjau dari
Kualitas Mikrobiologi. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
66
Iurlina MO, Saiz AI, Fusselli SR, Fritz R. 2006. Prevalence of Bacillus spp. in
different food products collected in Argentina. LWT 39:105-110.
Jay MJ. 2000. Modern Food Microbiology. Ed. Ke-6. An Aspen publication.
Jay MJ, Loessner JM, Golden DA. 2005. Modern Food Microbiology Seventh
Edition. USA: Springer.
Jenson I, Moir CJ. 1997. Bacillus cereus and Other Bacillus Spesies. Di dalam
Hocking AD, Arnold G, Jenson I, Newton K, Shuterland P, editor.
Foodborne Microorganisms of Public Health Importance. Ed. Ke-5.
AIFST, Sydney.
Kramer JM, Gilbert RJ. 1989. Bacillus cereus and Other Bacillus Spesies. Di
dlam Doyle MP, editor. Foodborne Bacterial Pathogens. Macrel Dekker,
Inc. New York.
Oxoid. 2001. The Oxoid Manual. EY Bridson, editor. Ed. Ke-8. Oxoid Limited,
Hampshire.
Pol IE, van Arendonk WGC, Mastwijk HC, Krommer J, Smid EJ dan Moezelaar,
R. 2001. Sensitivities of Germinating Spores and Carvacrol-Adapted
Vegetative Cells and Spores of Bacillus cereus to Nisin and Pulsed-
Electric-Field Treatment. Applied and environmental microbiology. Apr.
2001, p. 1693–1699 Vol. 67, No. 4.
Rajkowksi KT dan Bennet RW. 2003. Bacillus cereus. Di dalam: Miliotis MD,
Bier JW. (eds). International Handbook of Foodborne Pathogens. New
York: Marcel Dekker, Inc., pp 27-39.
Ray B. 2001. Fundamental Food Microbiology. Ed. ke-2. CRC Press, Boca Raton.
RSCM dan PERSAGI. 1992. Penuntun Diet Anak. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
68
Rowan NJ, Anderson JG. 1997. Maltodextrin stimulates growth of Bacillus cereus
and syntheses of diarrheal enterotoxin in infant milk formulae. Applied
and Environmental Microbiology 63:1182– 1184.
Sitti A. 2004. Hubungan Umur Pertama Kali Pemberian MP-ASI dengan Status
Gizi Bayi di Kecamatan Kota Ternate Selatan, Kota Ternate, Propinsi
Maluku Utara. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga.
Fakultas Pertanian IPB. Bogor. [Skripsi] Tidak diterbitkan.
White CH, Chang RR, Martin JH, Loewenstein M. 1974. Factors affecting L-
Alanine induced germination of Bacillus spores. Journal of Dairy Science
57 (11) : 1309-1314.
Wijnands LM, Dufrenne JB, Rombouts FM, in Held PH, van Leusden FM. 2006.
Prevalence of Potentially Pathogenic Bacillus cereus in Food
Commodities in The Netherlands. Journal of Food Protein. 69:2587-2594.
Diambil 1 ml
Ditumbuhkan pada 5 ml BHIB dan
diinkubasi pada inkubator bergoyang
(200rpm) dengan suhu 30⁰C selama
48 jam
Kemudian disentrifuse
(5000 rpm selama 10 menit)
PR I
Komposisi : kacang hijau, beras, gula, jagung, soya, tepung susu skim, minyak
nabati, minyak soya, lesitin soya, prebiotik fos, premix vitamin,
premix mineral dan minyak ikan.
PR II
Komposisi : beras, beras merah, gula, kacang merah, kedelai, susu skim bubuk,
minyak kelapa sawit (mengandung antioksidan L-askorbil palmitat
dan alfa tokoferol), minyak kedelai, pengemulsi lesitin kedelai,
prebiotik fos (Frukto oligosakarida), premix vitamin, premix mineral
dan minyak ikan (mengandung antioksidan L-askorbil palmitat dan
tokoferol).
CR I
Komposisi : beras, gula, kedelai, minyak kelapa sawit, kacang hijau, mineral,
pengemulsi lesitin kedelai, premix vitamin, bayam, vanillin, protein
susu dan gluten.
CR II
Komposisi : beras merah, kedelai, gula, minyak kelapa sawit, mineral, premix
vitamin, pengemulsi lesitin kedelai, vanillin, protein susu dan gluten.
SN I
Komposisi : terigu, beras putih, kedelai, gula, kacang hijau, minyak nabati, tepung
susu skim, mineral dan premix vitamin.
SN II
Komposisi : beras, beras merah, , gula, kacang merah, tepung susu skim bubuk,
minyak nabati (mengandung antioksidan L-askorbil palmitat dan alfa
tokoferol), lisin, prebiotik fos (Frukto oligosakarida), premix
vitamin, premix mineral dan DHA (mengandung campuran
antioksidan, tokoferol, L-askorbil palmitat).
72
Lampiran 3. Hasil uji sidik ragam Total Plate Count pada MP-ASI yang
dipreparasi menggunakan 3 suhu air yang berbeda (30⁰, 70⁰ dan
90⁰C)
Between-Subjects Factors
Value Label N
Sampel 1.00 PR I 9
2.00 PR II 9
3.00 CR I 9
4.00 CR II 9
5.00 SN I 9
6.00 SN II 9
Waktu 1.00 30 C 18
2.00 70 C 18
3.00 90 C 18
Suhu
Homogeneous Subsets
Koloni
a,,b
Duncan
Subset
Waktu N 1 2
90 C 18 1.4544
70 C 18 1.5289
30 C 18 1.9200
Sig. .187 1.000
Means for groups in homogeneous
subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error)
= .028.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size =
18.000.
b. Alpha = 0.05.
74
Lampiran 4. Hasil uji sidik ragam jumlah sel vegetatif Bacillus cereus pada suhu
air yang digunakan saat preparasi MP-ASI produk PR II
Waktu
Homogeneous Subsets
Koloni
Duncana,,b
Subset
Waktu N 1 2
.00 6 2.0300
30.00 6 2.0833
60.00 6 2.1600
Sig. .071 1.000
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) =
.002.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size =
6.000.
b. Alpha = 0.05.
76
Lampiran 5. Hasil uji sidik ragam jumlah sel vegetatif Bacillus cereus (103) pada
suhu air yang digunakan saat preparasi MP-ASI produk CR II
Waktu
Homogeneous Subsets
Koloni
a,,b
Duncan
Subset
Waktu N 1 2
.00 6 2.1083
30.00 6 2.1267
60.00 6 2.1617
Sig. .151 1.000
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) =
.000.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size =
6.000.
b. Alpha = 0.05.
78
Lampiran 6. Hasil uji sidik ragam jumlah sel vegetatif Bacillus cereus (2.5x104)
selama proses penyimpanan MP-ASI produk CR II.
Pengamatan
Homogeneous Subsets
Koloni
Duncana,,b
Subset
Pengamatan N 1 2 3
.00 10 1.4640
30.00 10 1.5970
60.00 10 1.6480
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .003.