Implementasi Model Komunikasi KAP Dalam Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Interpersonal Anak Berkebutuhan Khusus
Implementasi Model Komunikasi KAP Dalam Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Interpersonal Anak Berkebutuhan Khusus
Article 31, paragraph (1) of the 1945 Indonesia Constitution said that every citizen has a basic right to
education. The law creates a framework for the main educational goals, policies, and plans as well as
aims to make education relevant to the needs of the community. It also provides the rights and
obligations of citizens to get full education without discrimination including children with disabilities or
children with special needs. The KAP (Knowledge, Attitude, and Practice) communication planning model
is divided into three phases. The first phase is targeting the audience, messages and communication
channels. The second phase is planning to design messages, produce the media (drafting) and make the
trial. The third phase includes changing the knowledge, attitudes, and practice of targets that are
expected to be carried out by teachers and therapists. KAP communication planning model is intended to
improve the interpersonal communication of children with special needs both in the teaching and
learning process and also in their daily lives in the family and community.
Keywords: KAP Communication Planning Model; Children with Special Needs; Interpesonal
Communication
ABSTRAK
Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak dasar untuk pendidikan.
Undang-undang tersebut memberikan kerangka kerja untuk tujuan utama pendidikan, kebijakan dan
juga rencana serta bertujuan pula untuk membuat pendidikan yang relevan bagi kebutuhan masyarakat.
Pasal tersebut juga memberikan hak dan kewajiban bagi semua warga negara, untuk mendapatkan
pendidikan penuh tanpa diskriminasi termasuk anak-anak penyandang cacat atau Anak-anak
Berkebutuhan Khusus (ABK). Model Perencanaan Komunikasi Berbasis KAP (knowledge, attitude, dan
practice) yang terbagi atas tiga tahapan yaitu : Tahap pertama, bertujuan menargetkan audiens atau
sasaran, pesan dan saluran komunikasi, Tahap kedua, mencangkup perencanaan untuk melakukan
desain pesan, produksi media dan uji coba, Tahap ketiga, mencangkup pengetahuan, sikap dan perilaku
target sasaran yang diharapkan telah dilaksanakan oleh para guru dan terapis. Ketiga pmodel
perencanaan KAP ini dimaksudkan untuk meningkatkan komunikasi interpersonal anak berkebutuhan
khusus (ABK) baik dalam proses belajar mengajar maupun dalam kehidupan mereka sehari-hari di
lingkungan keluarga dan masyarakat.
Kata Kunci: Perencanaan Komunikasi KAP; Anak Berkebutuhan Khusus; Komunikasi interpersonal
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu faktor utama dalam pembentukan kepribadian
manusia. Pemerintah Indonesia melalui pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak dasar untuk pendidikan. Pasal UUD 1945
tersebut menciptakan kerangka kerja untuk tujuan utama pendidikan, kebijakan dan
perencanaan sistem pendidikan. Selain itu, undang-undang tersebut membuka banyak akses
pendidikan di semua tingkatan dan semua bentuk - formal, non-formal, dan informal - untuk
semua warga negara Indonesia. Pasal konstitusi tersebut bertujuan mendorong pembangunan
sistem pendidikan yang relevan untuk kebutuhan masyarakat, serta memberikan hak dan
kewajiban yang sama bagi semua warga negara tanpa diskriminasi termasuk anak-anak
penyandang cacat atau anak-anak dengan kebutuhan khusus (ABK).
Anak-anak dengan kebutuhan khusus adalah anak-anak yang memiliki kelainan atau
penyimpangan yang signifikan (fisik, mental-intelektual, sosial, emosional) dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan dibandingkan dengan anak-anak lain seusia mereka sehingga
mereka membutuhkan layanan pendidikan khusus. Keterbatasan dalam menangkap pesan yang
disampaikan oleh orang lain, dan kesulitan dalam menanggapi atau menjawab percakapan
serta keterbatasan dalam mengekspresikan diri mereka terhadap kebutuhan mereka sering kali
membuat anak-anak dengan kebutuhan khusus tertekan. Oleh karena itu, diperlukan intervensi
untuk membantu anak-anak dengan kebutuhan khusus (ABK) dalam mengatasi keterbatasan
dalam komunikasi terutama di dalam kelas.
Pembelajaran untuk anak ABK membutuhkan strategi yang disesuaikan dengan
kebutuhan masing-masing anak. Seperti diungkap oleh Dick dan Carey (1985) (dalam Rusman,
2013: 134) pembelajaran merupakan seperangkat materi dan prosedur pembelajaran yang
digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada peserta didik atau siswa.
Keterbatasan anak berkebutuhan khusus dalam menangkap pesan yang disampaikan orang lain,
dan kesulitan dalam merespon atau menjawab percakapan serta keterbatasan dalam
mengungkapkan atau mengekspresikan diri akan kebutuhannya sering membuat anak ABK
tertekan sehingga berdampak pada proses pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas.
Dalam proses pembelajaran, anak berkebutuhan khusus memiliki ciri khas yaitu mudah
memahami dan mengingat berbagai hal yang dilihat (visual learner atau visual thinking), mudah
memahami berbagai hal yang diraba (hands on learner) oleh karena itu penggunaan alat bantu
dengan memakai strategi visual (alat bantu visual) dapat digunakan dalam mengajarkan
keterampilan komunikasi. Lebih lanjut Gagne dan Berliner (dalam Hosnan, 2016: 8), terdapat
beberapa prinsip belajar siswa yang dapat dipergunakan oleh guru atau terapis dalam
meningkatkan kreativitas belajar yaitu pemberian perhatian dan motivasi siswa; mendorong
dan memotivasi siswa, melibatkan siswa secara langsung; pemberian pengulangan; pemberian
tantangan; umpan balik dan penguatan, serta memperhatikan perbedaan individual siswa.
Tujuan dari proses pembelajaran yang dilakukan guru atau terapis adalah untuk mengetahui
METODE
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang mengumpulkan data dengan natural
setting sehingga dapat menguraikan tentang implementasi model perencanaan komunikasi KAP
(Knowledge, Attitude, Practice) dalam meningkatkan kemampuan komunikasi interpersonal
anak berkebutuhan khusus. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi,
wawancara dan dokumentasi. Observasi menurut meliputi kegiatan pemuatan perhatian
terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra Arikunto (2010,199). Teknik ini
dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara teliti. Dalam penelitian ini, peneliti ikut
dalam setiap kegiatan belajar mengajar baik yang dilakukan oleh guru maupun terapis sehingga
mendapatkan data yang akurat tentang implemetasi model perencanaan komunikasi KAP
(Knowledge, Attitude, Practice) dalam meningkatkan kemampuan komunikasi interpersonal
anak berkebutuhan khusus (ABK) sehingga dapat melihat langsung implementasi model
sehingga mereka mampu untuk mengurus diri mereka sendiri, selain itu pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus (ABK) juga bertujuan agar mereka mampu berkomunikasi dengan baik
sehingga dapat berinteraksi dengan lingkungan mereka. Dari latar belakang tersebut maka
dalalm mendidik anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) guru atau terapis juga bekerjasama
dengan orang tua (wali murid). Seperti diungkap oleh Lewis, West, Robert & Noden, (2014)
bahwa dalam hubungan antara orangtua dan anak tersebut harus ada keseimbangan atas
perhatian yang diberikan seperti guru di sekolah.
arah dan tujuan kependidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak didik tanpa mengabaikan
hak-haknya yang belum tercapai, jadi secara sederhana, kurikulum yang dipergunakan
merupakan bagian penting dari setiap perencanaan pendidikan yang memengaruhi arah dan
tujuan anak didik dalam lembaga pendidikan. Yayasan Anak Emas Denpasar merupakan salah
satu sekolah inklusi di kota Denpasar. Pendidikan inklusi merupakan pendidikan yang
memperbolehkan anak berkebutuhan khusus untuk sama-sama belajar bersama dengan anak
normal lainnya. Kustawan (2012:1) mengatakan bahwa pendidikan inklusi menjadi salah satu
upaya pemerataan kesempatan dalam memperoleh pendidikan, lebih dari itu pendidikan inklusi
juga menjawan kesenjagan yang terjadi dimasyarakat tentang pemenuhan hak-hak semua
warga negara dalam bidang pendidikan.
Yayasan Anak Emas kota Denpasar menggunakan metode Sentra dalam menerapkan
pendidikan inklusi dalam program PAUD berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa guru
yang mengajar pada program PAUD metode sentra ini merupakan metode yang bagus untuk
mendidik anak berkebutuhan khusus karena didalamnya terdapat berbagai cara untuk
mengetahui kemampuan seorang anak. Dalam metode sentra terbagi menjadi 7 kegiatan yaitu :
(1) sentra persiapan, (2) sentra seni, (3) sentra bahan alam, (4) sentra balok, (5) sentra imtaq,
(6) sentra main peran besar dan (7) sentra main peran kecil. Ketujuh metode sentra yang
dipergunakan dalam proses belajar mengajar pada program PAUD dilaksanakan sesuai dengan
tingkatan atau kemampuan anak-anak. Selain itu, ketujuh metode sentra tersebut akan
membantu guru dalam mengajar dan memudahkan anak berkebutuhan khusus dalam
menerima materi pelajaran.
Guru atau terapis mendapatkan panduan lengkap serta pelatihan metode ini sebelum
memulai kelas atau dalam model perencanaan komunikasi berbasis KAP seperti yang diungkap
oleh Cangara (2017: 90) sebagai pre-testing materi informasi. Selain itu pihak guru atau terapis
juga melakukan proses monitoring terhadap penerapan metode sentra tersebut untuk
mengetahui dan mengevaluasi perubahan sikap dan perilaku anak berkebutuhan khusus serta
anak-anak normal dalam menerima materi. Perubahan perilaku yang nampak pada anak
berkebutuhan khusus berbeda- beda satu dengan lainnya, ada yang memberikan reaksi cepat
namun banyak pula yang lambat dalam merespon materi yang diberikan oleh guru atau terapis.
Hal penting lainnya yang diungkap dalam penelitia ini adalah pesan yang diberikan pada anak-
anak dalam program PAUD (Pendidikan Usia Dini) adalah pesan pendek, artinya pesan yang
yang hanya menggunakan beberapa kata perintah atau kata kerja dan meminta anak untuk
melaksanakan perintah tersebut.
Model perencanaan komunikasi berbasis KAP seperti yang diungkap oleh Cangara (2017:
90) juga menekankan pada saluran komunikasi. Dalam metode sentra ini, seperti diungkap oleh
beberapa guru atau terapis bahwa media atau saluran komunikasi yang baik juga penting
dilakukan dalam proses belajar mengajar karena anak berkebutuhan khusus memiliki
perbedaan fisik dan non fisik, untuk itulah penting bagi para pengajar untuk meningkatkan cara
berkomunikasi yang baik dengan anak berkebutuhan khusus. Saluran komunikasi yang
dipergunakan disesuaikan dengan tingkatan dalam metode sentra. Namun kebanyakan para
guru atau terapis menggunakan media PECS (Picture Exchange Communication System). Media
PECS tidak membatasi anak untuk berkomunikasi dengan siapapunpun. Material (bahan-bahan)
yang digunakan sebagai media PECS tergolong cukup murah, mudah untukdisiapkan, dan bisa
dipakai kapan saja. Lebih lanjut, material PECS diperoleh dengan cara menggambar sendiri,
menggunting dari majalah atau koran, foto atau gambar dari komputer. Gambar-gambar
tersebut kemudian dilaminating dan dibelakang gambar tersebut dipasang pengait agar bisa
digantung dalam berbagai media.
Media PECS dianggap sebagai alat bantu yang efektif karena dapat mengurangi
ketidakfokusan anak dalam proses belajar mengajar. Terdapat 6 tingkatan dalam pembelajaran
dengan menggunakan media PECS yaitu mulai dari mengenal benda-benda atau mengamati
objek, mampu berganti panter dalam berkomunikasi dengan menyerahkan gambar pada guru,
anak mampu meminta objek yang di inginkan, anak mampu menyusun kata dan fase dengan
menunjukan gambar atau objek yang di inginkan, anak mampu meminta objek yang di inginkan
secara sepontan, anak mamapu memberikan komentar dan mengekspresikan perasaan
mereka.
berkebutuhan khsusu mengalami perubahan dalam hal wawasan dan pengetahuan. Paling tidak
mereka mengerti tentang perbedaan bentuk (yang diajarkan dengan balok) perbedaan warna,
berbedaan aktifitas, kata kerja dan lain sebagainya. Dengan adanya pengetahuan baru yang
mereka dapatkan, maka mereka akan dapat melaksanakan perintah sesuai dengan petunjuk
guru atau terapis.
Hasil Perencaaan tersebut yang telah dijalanlan oleh guru atau terapis adalah anak-anak
berkebutuhan khusus yang mengikuti program program PAUD mengalami perubahan
pengetahuan, dari mereka yang tidak bisa menunjukkan gambar sesuai dengan perintah
akhirnya bisa. Dengan bantuan media PECS anak-anak berkebutuhan khusus) banyak
mengalami perkembangan, media PECS menstimulasi otak anak dengan gambar, warna yang
tertera pada media sehingga mudah bagi anak untuk melaksanakan perintah guru atau terapis.
Sikap merupakan model perencanaan KAP yang kedua, sikap yang diharapkan dalam
proses belajar mengajar pada naka berkebutuhan khusus ini adalah konsetrasi belajar dan
perhatian, karena anak berkebutuhan khusus apapun jenis nya akan lebih sering mengalami
kebosanan selama proses belajar dan sangat sulit untuk berkonsentrasi.
Hasil dari perencanaan sikap yang terjadi pada diri anak berkebutuhan khsusus yang
telah mengikuti program selama setahun (namun tidak semua anak sama waktu perubahan
sikap). Sikap awal yang ditunjukkan oleh anak anak berkebutuhan khusus ini adalah sulit
berkonsentrasi di kelas, tidak mau diajak berkomunikasi (hanya mereka dan dunia mereka) dan
lebih banyak mengalami tantrum di kelas. Beberapa guru atau terapis menuturkan bahwa
dibutuhkan waktu yang lama agar anak mau berkonsentasi didalam kelas, biasanya mereka
meraba tangan, menggelitik dan membunyikan barang atau menjentikkan jari tangan untuk
mendapatkan perhatian si anak. Perubahan sikap ini penting bagi program belajar dan
mengajar anak berkebutuhan khusus agar dapat naik ke program selanjutkna sesuai dengan
kurikulum.
Model perencanaan ketiga yaitu perilaku (practise), hal yang diharapkan dalam
perencanaan model ketiga ini adalah adanya perubahan perilaku, berbeda dengan sikap. Yang
diharapkan dalam perubahan perilaku ini adalah anak-anak berkebutuhan khusus sudah dapat
berinteraksi dengan anak-anak normal lainnya. Selain itu anak-anak berkebutuhan khusus juga
diharapkan dapat melakukan banyak kegiatan sendiri seperti toilet training, makan, mandi dan
lain sebagainya.
Hasil dari model perencanaan perilaku ini adalah beberapa anak yang awalnya tidak
mau bergaul menjadi mudah untuk didekati, mulai bias tersenyum dan berinteraksi dengan
anak-anak lainnya. Tentu saja perubahan ini memerlukan waktu yang sangay panjang karena
anak-anak berkebutuhan khusus ini banyak yang menutup diri karena keterbatasan mereka.
Demikian juga dengan kegiatan toilet training Dengan bantuan media PECS anak-anak
berkebutuhan khusus diajarkan bagaimana cara melakukan toilet training dengan urutan yang
benar sehingga mereka mengalami perkembangan dalam hal perilaku.
SIMPULAN
Model perencanaan komunikasi berbasis KAP terbagi atas tiga tahap. Pertama,
menargetkan audience atau sasaran, pesan dan saluran komunikasi. Kedua, perencanaan
desain pesan, produksi media dan uji coba, Ketiga, perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku
target sasaran sesuai yang diharapkan oleh para guru dan terapis pada Yayasan Anak Emas di
Kota Denpasar. Perencanaan tersebut meliputi mendesain pesan yang akan diberikan kepada
anak berkebutuhan khusus, memilih saluran komunikasi yang akan dipergunakan dalam
mentransfer pesan yang akan dikirimkan. Para guru atau terapis pada Yayasan Anak Emas kota
Denpasar menggunakan metode Sentra dalam menerapkan pendidikan inklusi dalam program
PAUD dengan bantuan media PECS (Picture Exchange Communication System), untuk
meningkatkan perubahan baik dalam hal pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) maupun
perilaku (practise) anak ABK sesuai harapan guru atau terapis.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. (Edisi Revisi). Jakarta : Rineka Cipta
Aqib, Z. (2013). Model Podel Pengajaran dan Penelitian. Yogayakarta: Pustaka Pelajar
Cangara, H. (2017). Perencanaan & Strategi Komuniksi .Edisi Revisi. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Crain, W. (2007). Teori Perkembangan. (Penerjemah: Yudi Santoso). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hosnan, M. (2016). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Kustawan D. (2012), Pendidikan Inklusif dan Upaya Implementasinya. Jakarta : PT Luxima Metro Media.
Lewis, J., West, A., Roberts, J., and Noden, P. (2014) Parents’ involvement and university students’
independence. Families, Relationships and Societies: An International Journal of Research and
Debate. ISSN 2046-7435
Rusman. (2013). Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Soyomukti, N., (2013), Komunikasi Politik, Jatim; Intrans Publishing
Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: PT Alfabet.
Mulyana, D. (2010). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Pt Remaja Rosdakarya.
Widoyoko, E.P. 2013. Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar