0% found this document useful (0 votes)
49 views9 pages

Implementasi Model Komunikasi KAP Dalam Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Interpersonal Anak Berkebutuhan Khusus

The document discusses the implementation of the KAP (Knowledge, Attitude, and Practice) communication planning model to improve the interpersonal communication skills of children with special needs. It begins by outlining Indonesian constitutional rights to education without discrimination. It then describes the three phases of the KAP model: 1) targeting audiences, messages, and channels, 2) planning message design, media production, and trials, and 3) changing target audiences' knowledge, attitudes, and practices. The goal is to enhance communication for special needs children in learning and daily life. The document analyzes applying this model in a school for special needs children in Bali.

Uploaded by

Mamat Rachmat
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
49 views9 pages

Implementasi Model Komunikasi KAP Dalam Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Interpersonal Anak Berkebutuhan Khusus

The document discusses the implementation of the KAP (Knowledge, Attitude, and Practice) communication planning model to improve the interpersonal communication skills of children with special needs. It begins by outlining Indonesian constitutional rights to education without discrimination. It then describes the three phases of the KAP model: 1) targeting audiences, messages, and channels, 2) planning message design, media production, and trials, and 3) changing target audiences' knowledge, attitudes, and practices. The goal is to enhance communication for special needs children in learning and daily life. The document analyzes applying this model in a school for special needs children in Bali.

Uploaded by

Mamat Rachmat
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 9

JCommSci – Journal Of Media and Communication Science 176

ISSN 2620-8709 online


ISSN 2655-4410 print

Implementasi Model Komunikasi KAP dalam Meningkatkan Kemampuan


Komunikasi Interpersonal Anak Berkebutuhan Khusus

Putri Ekaresty Haes


Universitas Pendidikan Nasional, [email protected]

Implementation of KAP Communication Model in Improving


Interpersonal Communication Skill of Children with Special Needs

Article 31, paragraph (1) of the 1945 Indonesia Constitution said that every citizen has a basic right to
education. The law creates a framework for the main educational goals, policies, and plans as well as
aims to make education relevant to the needs of the community. It also provides the rights and
obligations of citizens to get full education without discrimination including children with disabilities or
children with special needs. The KAP (Knowledge, Attitude, and Practice) communication planning model
is divided into three phases. The first phase is targeting the audience, messages and communication
channels. The second phase is planning to design messages, produce the media (drafting) and make the
trial. The third phase includes changing the knowledge, attitudes, and practice of targets that are
expected to be carried out by teachers and therapists. KAP communication planning model is intended to
improve the interpersonal communication of children with special needs both in the teaching and
learning process and also in their daily lives in the family and community.

Keywords: KAP Communication Planning Model; Children with Special Needs; Interpesonal
Communication
ABSTRAK
Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak dasar untuk pendidikan.
Undang-undang tersebut memberikan kerangka kerja untuk tujuan utama pendidikan, kebijakan dan
juga rencana serta bertujuan pula untuk membuat pendidikan yang relevan bagi kebutuhan masyarakat.
Pasal tersebut juga memberikan hak dan kewajiban bagi semua warga negara, untuk mendapatkan
pendidikan penuh tanpa diskriminasi termasuk anak-anak penyandang cacat atau Anak-anak
Berkebutuhan Khusus (ABK). Model Perencanaan Komunikasi Berbasis KAP (knowledge, attitude, dan
practice) yang terbagi atas tiga tahapan yaitu : Tahap pertama, bertujuan menargetkan audiens atau
sasaran, pesan dan saluran komunikasi, Tahap kedua, mencangkup perencanaan untuk melakukan
desain pesan, produksi media dan uji coba, Tahap ketiga, mencangkup pengetahuan, sikap dan perilaku
target sasaran yang diharapkan telah dilaksanakan oleh para guru dan terapis. Ketiga pmodel
perencanaan KAP ini dimaksudkan untuk meningkatkan komunikasi interpersonal anak berkebutuhan
khusus (ABK) baik dalam proses belajar mengajar maupun dalam kehidupan mereka sehari-hari di
lingkungan keluarga dan masyarakat.

Kata Kunci: Perencanaan Komunikasi KAP; Anak Berkebutuhan Khusus; Komunikasi interpersonal

Received: 29-08-2019 Acceptance: 10-09-2019


Revision: 9-09-2019 Published online: 11-09-2019

JCommSci Vol. 2 No. 3, 2019, hlm. 176 - 184


177

PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu faktor utama dalam pembentukan kepribadian
manusia. Pemerintah Indonesia melalui pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak dasar untuk pendidikan. Pasal UUD 1945
tersebut menciptakan kerangka kerja untuk tujuan utama pendidikan, kebijakan dan
perencanaan sistem pendidikan. Selain itu, undang-undang tersebut membuka banyak akses
pendidikan di semua tingkatan dan semua bentuk - formal, non-formal, dan informal - untuk
semua warga negara Indonesia. Pasal konstitusi tersebut bertujuan mendorong pembangunan
sistem pendidikan yang relevan untuk kebutuhan masyarakat, serta memberikan hak dan
kewajiban yang sama bagi semua warga negara tanpa diskriminasi termasuk anak-anak
penyandang cacat atau anak-anak dengan kebutuhan khusus (ABK).
Anak-anak dengan kebutuhan khusus adalah anak-anak yang memiliki kelainan atau
penyimpangan yang signifikan (fisik, mental-intelektual, sosial, emosional) dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan dibandingkan dengan anak-anak lain seusia mereka sehingga
mereka membutuhkan layanan pendidikan khusus. Keterbatasan dalam menangkap pesan yang
disampaikan oleh orang lain, dan kesulitan dalam menanggapi atau menjawab percakapan
serta keterbatasan dalam mengekspresikan diri mereka terhadap kebutuhan mereka sering kali
membuat anak-anak dengan kebutuhan khusus tertekan. Oleh karena itu, diperlukan intervensi
untuk membantu anak-anak dengan kebutuhan khusus (ABK) dalam mengatasi keterbatasan
dalam komunikasi terutama di dalam kelas.
Pembelajaran untuk anak ABK membutuhkan strategi yang disesuaikan dengan
kebutuhan masing-masing anak. Seperti diungkap oleh Dick dan Carey (1985) (dalam Rusman,
2013: 134) pembelajaran merupakan seperangkat materi dan prosedur pembelajaran yang
digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada peserta didik atau siswa.
Keterbatasan anak berkebutuhan khusus dalam menangkap pesan yang disampaikan orang lain,
dan kesulitan dalam merespon atau menjawab percakapan serta keterbatasan dalam
mengungkapkan atau mengekspresikan diri akan kebutuhannya sering membuat anak ABK
tertekan sehingga berdampak pada proses pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas.
Dalam proses pembelajaran, anak berkebutuhan khusus memiliki ciri khas yaitu mudah
memahami dan mengingat berbagai hal yang dilihat (visual learner atau visual thinking), mudah
memahami berbagai hal yang diraba (hands on learner) oleh karena itu penggunaan alat bantu
dengan memakai strategi visual (alat bantu visual) dapat digunakan dalam mengajarkan
keterampilan komunikasi. Lebih lanjut Gagne dan Berliner (dalam Hosnan, 2016: 8), terdapat
beberapa prinsip belajar siswa yang dapat dipergunakan oleh guru atau terapis dalam
meningkatkan kreativitas belajar yaitu pemberian perhatian dan motivasi siswa; mendorong
dan memotivasi siswa, melibatkan siswa secara langsung; pemberian pengulangan; pemberian
tantangan; umpan balik dan penguatan, serta memperhatikan perbedaan individual siswa.
Tujuan dari proses pembelajaran yang dilakukan guru atau terapis adalah untuk mengetahui

JCommSci Vol. 2 No. 3, 2019, hlm. 176 - 184


178

implementasi model perencanaan komunikasi KAP (Knowledge, Attitude, Practice) dalam


meningkatkan kemampuan komunikasi interpersonal anak berkebutuhan khusus. Penelitian ini
hendak mendeskripsikan penerapan perencanaan komunikasi KAP dalam meningkatkan
komunikasi interpersonal anak-anak ABK pada sekolah Yayasan Anak Emas Denpasar, Bali.
Menurut Canggara (2017, 9) model perencanaan komunikasi berbasis KAP (knowledge,
attitude, dan practice) memiliki tiga tahapan penting. Tahap pertama adalah menargetkan
audience / sasaran, pesan dan saluran komunikasi. Tahap kedua adalah perencanaan untuk
melakukan desain pesan, produksi media (draft) dan uji coba. Tahap ketiga, mencangkup
perubahan pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan perilaku (practice) target sasaran
yang diharapkan.
Ketiga tahapan dalam model komunikasi ini memberikan gambaran tentang tiga
komponen penting yaitu khalayak, pesan, dan saluran. Lebih lanjut Cangara (2017: 90-92)
mengatakan bahwa model komunikasi ini juga memberi tekanan perlunya dilakukan pre-testing
materi informasi, penetapan anggaran, waktu, dan personil yang melaksanakan program
tersebut, serta monitoring pelaksanaan dalam upaya peningkatan pengetahuan, sikap, dan
perubahan perilaku para khalayak yang menjadi target sasaran program. Model perencanaan
komunikasi dengan model berbasis KAP (knowledge, attitude, dan practice) harus
memperhitungkan faktor-faktor yang bisa mempengaruhi khalayak dalam menerima informasi.
Selain itu, faktor-faktor tersebut dapat berasal dari luar pendidikan dan juga dari masalah
pendidikan. Kedua faktor ini berpengaruh terhadap tingkat penerimaan dan daya serap
audience / sasaran, juga memengaruhi komponen proses komunikasi yakni pesan yang akan
disampaikan, cara penyampaiannya, dalam bahasa apa, dan melalui saluran media apa.
Demikian pula dalam penyusunan pesan, apakah isi atau materi tetap diarahkan pada
perubahan pengetahuan, sikap, dan perilaku.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang mengumpulkan data dengan natural
setting sehingga dapat menguraikan tentang implementasi model perencanaan komunikasi KAP
(Knowledge, Attitude, Practice) dalam meningkatkan kemampuan komunikasi interpersonal
anak berkebutuhan khusus. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi,
wawancara dan dokumentasi. Observasi menurut meliputi kegiatan pemuatan perhatian
terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra Arikunto (2010,199). Teknik ini
dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara teliti. Dalam penelitian ini, peneliti ikut
dalam setiap kegiatan belajar mengajar baik yang dilakukan oleh guru maupun terapis sehingga
mendapatkan data yang akurat tentang implemetasi model perencanaan komunikasi KAP
(Knowledge, Attitude, Practice) dalam meningkatkan kemampuan komunikasi interpersonal
anak berkebutuhan khusus (ABK) sehingga dapat melihat langsung implementasi model

JCommSci Vol. 2 No. 3, 2019, hlm. 176 - 184


179

perencanaan komunikasi KAP (Knowledge, Attitude, Practice) dalam meningkatkan kemampuan


komunikasi interpersonal anak berkebutuhan khusus (ABK).

Teknik wawancara yang dipergunakan adalah wawancara tidak terstruktur dimana


peneliti tidak menyiapkan panduan wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan
lengkap untuk pengumpulan datanya. Informan dalam penelitian terbagi menjadi informan
utama dan informan pendukung. Kedua informan ini memegang peranan yang sangat penting
dalam pengumpulan data. Sedangkan teknik dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan
dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu Sugiyono (2016,312). Analisis data
dilakukan dengan teknik triangulasi sumber, waktu dan teknik prngumpulan data.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Untuk meningkatkan cara berkomunikasi yang baik dengan anak berkebutuhan khusus
dibutuhkan ketekunan, kesabaran dalam proses komunikasi hingga anak dapat memberikan
umban balik (feedback) sesuai dengan pesan yang diberikan oleh guru atau terapis. Oleh karena
itu, peranan keluarga sangat penting bagi perkembangan anak berkebutuhan khusus ini. Crain
(2007: 480) mengatakan bahwa ada beberapa hal yang dapat berperan dalam pendidikan anak
berkebutuhan khusus yaitu (1) banyaknya cinta dan perhatian, (2) membangun kepercayaan
bahwa mereka mampu melangkah menuju tindakan otonom mereka sendiri, (3) menguatkan
penghargaan dalam setiap kemajuan yang mereka capai, (4) hendaknya komunikasi yang di
bangun dengan mereka menonjolkan usaha kita untuk memahami pengalaman unik mereka.
Dengan keempat hal ini dapat membantu proses pembelajaran guru atau terapis kepada anak
berkebutuhan khusus.
Seorang guru atau terapis dituntut untuk memberikan layanan pendidikan secara baik
kepada anak berkebutuhan khusus. Oleh sebab itu, sebelum melakukan proses belajar pengajar
guru atau terapis harus merencanakan program pengajaran. Program pendidikan tersebut
harus mengacu pada metode atau kurikulum yang telah ditetapkan. Ariyanto (2017)
mengatakan bahwa terdapat tiga prinsip-prinsip dalam pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus yaitu : 1) pendidikan yang ramah; 2) mengakomodasi semua kebutuhan; 3)
mengembangkan potensi peserta didik secara maksimal. Dalam dunia pendidikan, anak
berkebutuhan khusus memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan anak-anak normal
lainnya, oleh sebab itu tidak boleh dibedakan dalam proses belajar mengajar dengan yang
lainnya karena pada dasarnya sekolah merupakan tempat anak diterima untuk belajar dengan
baik dan dilayani sesuai dengan kebutuhan anak tersebut, dengan begitu antara guru dan
teman yang lain harus saling membantu satu sama lain.
Hal ini bertujuan agar kebutuhan dari masing-masing anak baik yang normal dan anak
berkebutuhan khusus terpenuhi. Selain itu proses belajar mengajar yang dilakukan guru atau
terapis pada anak berkebutuhan khusus adalah untuk meningkatkan kemandirian anak

JCommSci Vol. 2 No. 3, 2019, hlm. 176 - 184


180

sehingga mereka mampu untuk mengurus diri mereka sendiri, selain itu pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus (ABK) juga bertujuan agar mereka mampu berkomunikasi dengan baik
sehingga dapat berinteraksi dengan lingkungan mereka. Dari latar belakang tersebut maka
dalalm mendidik anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) guru atau terapis juga bekerjasama
dengan orang tua (wali murid). Seperti diungkap oleh Lewis, West, Robert & Noden, (2014)
bahwa dalam hubungan antara orangtua dan anak tersebut harus ada keseimbangan atas
perhatian yang diberikan seperti guru di sekolah.

Penentuan target audiens, pesan dan saluran komunikasi


Pada tahap ini, guru atau terapis di Yayasan Anak Emas Denpasar mulai mendesain
pesan yang akan diberikan kepada anak berkebutuhan khusus dan memilih saluran komunikasi
yang akan dipergunakan dalam mentransfer pesan yang akan dikirimkan. Pesan menurut
Mulyana (2010) merupakan seperangkat simbol verbal atau nonverbal yang mewakili perasaan,
nilai, gagasan, atau maksud sumber tadi. Lebih lanjut Soyomukti (2013, 49) mengatakan bahwa
lambang yang umum digunakan adalah bahasa. Tetapi selain bahasa, ada pula yang dapat
digunakan untuk menyampaikan pesan, seperti gambar, gesture, tubuh, warna, isyarat dan
lainnya. Sedangkan saluran komunikasi merupakan alat atau wahana yang digunakan sumber
untuk menyampaikan pesan kepada penerima (Mulyana, 2010). Sebelum mulai tahun ajaran
baru, guru atau terapis telah memetakan siapa yang akan menjadi sasaran pesan dari proses
belajar mengajar mereka. Langkah selanjutnya adalah membagi guru, terapis dan pendamping
pada kelas-kelas program PAUD (Pendidikan Usia Dini). Dengan demikian para guru atau terapis
dapat membuat program kerja yang disesuaian dengan sasaran khalayak mereka. Selanjutnya
terapis juga menentukan media (channel) yang akan dipergunakan dalam proses belajar
mengajar.
Kelas yang ada pada program PAUD (Pendidikan Usia Dini) disesuaikan dengan usia anak,
selain itu bagi anak berkebutuhan khusus yang masih memerlukan banyak bantuan dan tidak
bisa digabungkan dengan anak-anak normal lainnya akan dibuatkan kelas khusus dengan
program khusus pula begitu juga anak-anak yang masih tantrum (emosi atau marah) akan
dilakukan pendampingan secara khusus. Sedangkan untuk anak-anak berkebutuhan khusus
yang sudah bisa berinteraksi akan diberikan program bersama dengan anak-anak lainnya tapi
juga dengan pendamping di dalam kelas. Dengan perencanaan tahap pertama ini, guru
merancang komunikasi interpersonal yang yang nantinya akan dipergunakan dalam proses
belajar mengajar. Komunikasi interpersonal antara guru dan peserta didik menjadi sangat
penting, agar materi ajar dapat dimengerti oleh peserta didik dapat melaksanakan materi
tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Drafting pesan, media dan uji coba


Guru atau terapis menyusun pesan berdasarkan kurikulum yang dipergunakan pada
Yayasan Anak Emas Denpasar. Ilahi (2013: 168) mengatakan kurikulum penting untuk menata

JCommSci Vol. 2 No. 3, 2019, hlm. 176 - 184


181

arah dan tujuan kependidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak didik tanpa mengabaikan
hak-haknya yang belum tercapai, jadi secara sederhana, kurikulum yang dipergunakan
merupakan bagian penting dari setiap perencanaan pendidikan yang memengaruhi arah dan
tujuan anak didik dalam lembaga pendidikan. Yayasan Anak Emas Denpasar merupakan salah
satu sekolah inklusi di kota Denpasar. Pendidikan inklusi merupakan pendidikan yang
memperbolehkan anak berkebutuhan khusus untuk sama-sama belajar bersama dengan anak
normal lainnya. Kustawan (2012:1) mengatakan bahwa pendidikan inklusi menjadi salah satu
upaya pemerataan kesempatan dalam memperoleh pendidikan, lebih dari itu pendidikan inklusi
juga menjawan kesenjagan yang terjadi dimasyarakat tentang pemenuhan hak-hak semua
warga negara dalam bidang pendidikan.

Yayasan Anak Emas kota Denpasar menggunakan metode Sentra dalam menerapkan
pendidikan inklusi dalam program PAUD berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa guru
yang mengajar pada program PAUD metode sentra ini merupakan metode yang bagus untuk
mendidik anak berkebutuhan khusus karena didalamnya terdapat berbagai cara untuk
mengetahui kemampuan seorang anak. Dalam metode sentra terbagi menjadi 7 kegiatan yaitu :
(1) sentra persiapan, (2) sentra seni, (3) sentra bahan alam, (4) sentra balok, (5) sentra imtaq,
(6) sentra main peran besar dan (7) sentra main peran kecil. Ketujuh metode sentra yang
dipergunakan dalam proses belajar mengajar pada program PAUD dilaksanakan sesuai dengan
tingkatan atau kemampuan anak-anak. Selain itu, ketujuh metode sentra tersebut akan
membantu guru dalam mengajar dan memudahkan anak berkebutuhan khusus dalam
menerima materi pelajaran.

Guru atau terapis mendapatkan panduan lengkap serta pelatihan metode ini sebelum
memulai kelas atau dalam model perencanaan komunikasi berbasis KAP seperti yang diungkap
oleh Cangara (2017: 90) sebagai pre-testing materi informasi. Selain itu pihak guru atau terapis
juga melakukan proses monitoring terhadap penerapan metode sentra tersebut untuk
mengetahui dan mengevaluasi perubahan sikap dan perilaku anak berkebutuhan khusus serta
anak-anak normal dalam menerima materi. Perubahan perilaku yang nampak pada anak
berkebutuhan khusus berbeda- beda satu dengan lainnya, ada yang memberikan reaksi cepat
namun banyak pula yang lambat dalam merespon materi yang diberikan oleh guru atau terapis.
Hal penting lainnya yang diungkap dalam penelitia ini adalah pesan yang diberikan pada anak-
anak dalam program PAUD (Pendidikan Usia Dini) adalah pesan pendek, artinya pesan yang
yang hanya menggunakan beberapa kata perintah atau kata kerja dan meminta anak untuk
melaksanakan perintah tersebut.

Model perencanaan komunikasi berbasis KAP seperti yang diungkap oleh Cangara (2017:
90) juga menekankan pada saluran komunikasi. Dalam metode sentra ini, seperti diungkap oleh
beberapa guru atau terapis bahwa media atau saluran komunikasi yang baik juga penting

JCommSci Vol. 2 No. 3, 2019, hlm. 176 - 184


182

dilakukan dalam proses belajar mengajar karena anak berkebutuhan khusus memiliki
perbedaan fisik dan non fisik, untuk itulah penting bagi para pengajar untuk meningkatkan cara
berkomunikasi yang baik dengan anak berkebutuhan khusus. Saluran komunikasi yang
dipergunakan disesuaikan dengan tingkatan dalam metode sentra. Namun kebanyakan para
guru atau terapis menggunakan media PECS (Picture Exchange Communication System). Media
PECS tidak membatasi anak untuk berkomunikasi dengan siapapunpun. Material (bahan-bahan)
yang digunakan sebagai media PECS tergolong cukup murah, mudah untukdisiapkan, dan bisa
dipakai kapan saja. Lebih lanjut, material PECS diperoleh dengan cara menggambar sendiri,
menggunting dari majalah atau koran, foto atau gambar dari komputer. Gambar-gambar
tersebut kemudian dilaminating dan dibelakang gambar tersebut dipasang pengait agar bisa
digantung dalam berbagai media.

Media PECS dianggap sebagai alat bantu yang efektif karena dapat mengurangi
ketidakfokusan anak dalam proses belajar mengajar. Terdapat 6 tingkatan dalam pembelajaran
dengan menggunakan media PECS yaitu mulai dari mengenal benda-benda atau mengamati
objek, mampu berganti panter dalam berkomunikasi dengan menyerahkan gambar pada guru,
anak mampu meminta objek yang di inginkan, anak mampu menyusun kata dan fase dengan
menunjukan gambar atau objek yang di inginkan, anak mampu meminta objek yang di inginkan
secara sepontan, anak mamapu memberikan komentar dan mengekspresikan perasaan
mereka.

Perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku sasaran


Tahap ketiga ini merupakan umpan balik (feedback) yang diberikan oleh anak-anak
berkebutuhan khusus terhadap pola pemberlajaran yang dilakukan oleh guru atau terapis pada
program PAUD. Beberapa guru dan terapis berpendapat bahwa setelag mengikuti pendidikan
program PAUD. beberapa anak berkebutuhan khusus. telah memberikan banyak peningkatan.
Peningkatan tersebut dimulai dengan kurangnya tantrum pada anak-anak. Beberapa anak
berkebutuhan khusus yang baru menjalani program pada yayasan Anak Emas di Kota Denpasar
ini akan mengalami tingkat stress yang sangat tinggi, karena mereka terbiasa dengan rutinitas
rumah, sedangkan di sekolah ini mereka diharuskan untuk beradaptasi dengan banyak hal
seperti lingkungan sekolah, guru atau terapis, teman-teman dan tidak adanya orang tua yang
akan membantu mereka. Pada tahapan awal anak-anak berkebutuhan khusus akan sulit untuk
diajak berkomunikasi dan berkonsentrasi di dalam kelas, namun setelah mereka menemukan
kenyamanan pada guru atau terapis mereka dapat menerima kondisi kelas dan mulai bisa
diajak berkomunikasi walaupun hanya lewat pesan non verval saja.
Dalam model perencanaan KAP yang pertama adalah pengetahuan (knowledge). Dalam
umpan balik (feedback) proses komunikasi konsep pengetahuan ini sama dengan efek Kognitif,
yaitu memberikan informasi, meningkatkan pengetahuan, dan menambah wawasan. Dalam
model perencanaan KAP yang pertama adalah pengetahuan diharapkan anak-anak

JCommSci Vol. 2 No. 3, 2019, hlm. 176 - 184


183

berkebutuhan khsusu mengalami perubahan dalam hal wawasan dan pengetahuan. Paling tidak
mereka mengerti tentang perbedaan bentuk (yang diajarkan dengan balok) perbedaan warna,
berbedaan aktifitas, kata kerja dan lain sebagainya. Dengan adanya pengetahuan baru yang
mereka dapatkan, maka mereka akan dapat melaksanakan perintah sesuai dengan petunjuk
guru atau terapis.
Hasil Perencaaan tersebut yang telah dijalanlan oleh guru atau terapis adalah anak-anak
berkebutuhan khusus yang mengikuti program program PAUD mengalami perubahan
pengetahuan, dari mereka yang tidak bisa menunjukkan gambar sesuai dengan perintah
akhirnya bisa. Dengan bantuan media PECS anak-anak berkebutuhan khusus) banyak
mengalami perkembangan, media PECS menstimulasi otak anak dengan gambar, warna yang
tertera pada media sehingga mudah bagi anak untuk melaksanakan perintah guru atau terapis.
Sikap merupakan model perencanaan KAP yang kedua, sikap yang diharapkan dalam
proses belajar mengajar pada naka berkebutuhan khusus ini adalah konsetrasi belajar dan
perhatian, karena anak berkebutuhan khusus apapun jenis nya akan lebih sering mengalami
kebosanan selama proses belajar dan sangat sulit untuk berkonsentrasi.
Hasil dari perencanaan sikap yang terjadi pada diri anak berkebutuhan khsusus yang
telah mengikuti program selama setahun (namun tidak semua anak sama waktu perubahan
sikap). Sikap awal yang ditunjukkan oleh anak anak berkebutuhan khusus ini adalah sulit
berkonsentrasi di kelas, tidak mau diajak berkomunikasi (hanya mereka dan dunia mereka) dan
lebih banyak mengalami tantrum di kelas. Beberapa guru atau terapis menuturkan bahwa
dibutuhkan waktu yang lama agar anak mau berkonsentasi didalam kelas, biasanya mereka
meraba tangan, menggelitik dan membunyikan barang atau menjentikkan jari tangan untuk
mendapatkan perhatian si anak. Perubahan sikap ini penting bagi program belajar dan
mengajar anak berkebutuhan khusus agar dapat naik ke program selanjutkna sesuai dengan
kurikulum.
Model perencanaan ketiga yaitu perilaku (practise), hal yang diharapkan dalam
perencanaan model ketiga ini adalah adanya perubahan perilaku, berbeda dengan sikap. Yang
diharapkan dalam perubahan perilaku ini adalah anak-anak berkebutuhan khusus sudah dapat
berinteraksi dengan anak-anak normal lainnya. Selain itu anak-anak berkebutuhan khusus juga
diharapkan dapat melakukan banyak kegiatan sendiri seperti toilet training, makan, mandi dan
lain sebagainya.
Hasil dari model perencanaan perilaku ini adalah beberapa anak yang awalnya tidak
mau bergaul menjadi mudah untuk didekati, mulai bias tersenyum dan berinteraksi dengan
anak-anak lainnya. Tentu saja perubahan ini memerlukan waktu yang sangay panjang karena
anak-anak berkebutuhan khusus ini banyak yang menutup diri karena keterbatasan mereka.
Demikian juga dengan kegiatan toilet training Dengan bantuan media PECS anak-anak
berkebutuhan khusus diajarkan bagaimana cara melakukan toilet training dengan urutan yang
benar sehingga mereka mengalami perkembangan dalam hal perilaku.

JCommSci Vol. 2 No. 3, 2019, hlm. 176 - 184


184

SIMPULAN

Model perencanaan komunikasi berbasis KAP terbagi atas tiga tahap. Pertama,
menargetkan audience atau sasaran, pesan dan saluran komunikasi. Kedua, perencanaan
desain pesan, produksi media dan uji coba, Ketiga, perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku
target sasaran sesuai yang diharapkan oleh para guru dan terapis pada Yayasan Anak Emas di
Kota Denpasar. Perencanaan tersebut meliputi mendesain pesan yang akan diberikan kepada
anak berkebutuhan khusus, memilih saluran komunikasi yang akan dipergunakan dalam
mentransfer pesan yang akan dikirimkan. Para guru atau terapis pada Yayasan Anak Emas kota
Denpasar menggunakan metode Sentra dalam menerapkan pendidikan inklusi dalam program
PAUD dengan bantuan media PECS (Picture Exchange Communication System), untuk
meningkatkan perubahan baik dalam hal pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) maupun
perilaku (practise) anak ABK sesuai harapan guru atau terapis.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. (Edisi Revisi). Jakarta : Rineka Cipta
Aqib, Z. (2013). Model Podel Pengajaran dan Penelitian. Yogayakarta: Pustaka Pelajar
Cangara, H. (2017). Perencanaan & Strategi Komuniksi .Edisi Revisi. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Crain, W. (2007). Teori Perkembangan. (Penerjemah: Yudi Santoso). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hosnan, M. (2016). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Kustawan D. (2012), Pendidikan Inklusif dan Upaya Implementasinya. Jakarta : PT Luxima Metro Media.
Lewis, J., West, A., Roberts, J., and Noden, P. (2014) Parents’ involvement and university students’
independence. Families, Relationships and Societies: An International Journal of Research and
Debate. ISSN 2046-7435
Rusman. (2013). Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Soyomukti, N., (2013), Komunikasi Politik, Jatim; Intrans Publishing
Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: PT Alfabet.
Mulyana, D. (2010). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Pt Remaja Rosdakarya.
Widoyoko, E.P. 2013. Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

JCommSci Vol. 2 No. 3, 2019, hlm. 176 - 184

You might also like