0% found this document useful (0 votes)
36 views15 pages

Peran Kearifan Lokal Masyarakat Membuka Lahan Dengan Cara Membakar Sebagai Upaya Mencegah Kebakaran Hutan Dan Lahan

This document analyzes the role of local wisdom in clearing land by burning as an effort to prevent forest and land fires in Indonesia, and the enforcement of laws against violations of rules on clearing land by burning. The majority of Indonesians' livelihoods depend on agriculture, which requires land, originally from surrounding forests. Clearing land by cutting and burning trees is illegal but there are exceptions for local wisdom that burns up to 2 hectares per family surrounded by firebreaks. While this aims to respect local traditions and prevent large fires, large cumulative burned areas could still cause issues. The study examines the role of local wisdom in preventing fires and legal enforcement for violations of local wisdom burning methods.
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
36 views15 pages

Peran Kearifan Lokal Masyarakat Membuka Lahan Dengan Cara Membakar Sebagai Upaya Mencegah Kebakaran Hutan Dan Lahan

This document analyzes the role of local wisdom in clearing land by burning as an effort to prevent forest and land fires in Indonesia, and the enforcement of laws against violations of rules on clearing land by burning. The majority of Indonesians' livelihoods depend on agriculture, which requires land, originally from surrounding forests. Clearing land by cutting and burning trees is illegal but there are exceptions for local wisdom that burns up to 2 hectares per family surrounded by firebreaks. While this aims to respect local traditions and prevent large fires, large cumulative burned areas could still cause issues. The study examines the role of local wisdom in preventing fires and legal enforcement for violations of local wisdom burning methods.
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 15

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/343185834

Peran Kearifan Lokal Masyarakat Membuka Lahan dengan Cara Membakar


sebagai Upaya Mencegah Kebakaran Hutan dan Lahan

Article · June 2020


DOI: 10.35586/esensihukum.v2i1.21

CITATION READS

1 444

1 author:

Ali Imran Nasution


Universitas Pembanguan Nasional "Veteran" Jakarta
4 PUBLICATIONS   1 CITATION   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Ali Imran Nasution on 25 January 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Volume 2 No. 1 Bulan Juni Tahun 2020
E-ISSN : 2716-2982 | P-ISSN : 2716-2893
https://journal.upnvj.ac.id/index.php/esensihukum/index

Peran Kearifan Lokal Masyarakat Membuka Lahan


dengan Cara Membakar sebagai Upaya Mencegah
Kebakaran Hutan dan Lahan
Ali Imran Nasution1, Taupiqqurrahman2
1Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
E-mail: [email protected]
2Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

E-mail: [email protected]

Abstract
The majority of Indonesian people's livelihoods are farming, which requires a lot of land to be used as
agricultural field. Limited land requires clearing land from forests so that it can be used as new land
for farmers. Clearing land by cutting and burning trees in a forest area is prohibited by law. However,
there are exceptions to local wisdom which burns land with a maximum land area of 2 hectares per
family to be planted with local varieties of plants and surrounded by firebreaks to prevent the spread of
fire to the surrounding area. The purpose of this study is to analyze the role of local wisdom in clearing
land by burning in an effort to prevent forest and land fires and the law enforcement against violations
of the rules on how to clear land by burning. The research method uses the type of normative legal
research with the statue approach and conceptual approach. The results showed that the role of local
wisdom in burning forests by local wisdom received constitutional recognition and could prevent
extensive forest fires.
Keywords: Local Wisdom, Burning, Preventing Forest Fires

Abstrak
Mayoritas pencaharian masyarakat Indonesia adalah bertani, yang tentunya membutuhkan banyak
lahan untuk dipakai sebagai lahan bertani. Keterbatasan lahan membutuhkan pembukaan lahan dari
hutan agar dapat dijadikan lahan baru bagi petani. Membuka lahan dengan cara menebang dan
membakar pohon di kawasan hutan adalah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Namun,
terdapat pengecualian terhadap kearifan lokal yang melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan
maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh
sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Tujuan penelitian ini
menganalisis peran kearifan lokal membuka lahan dengan cara membakar sebagai upaya mencegah
kebakaran hutan dan lahan serta penegakan hukum terhadap pelanggaran ketentuan tata cara
membuka lahan dengan cara membakar. Metode penelitian menggunakan jenis penelitian hukum
normatif dengan pendekatan undang-undang (statue approach) dan pendekatan konseptual
(conseptual approach). Hasil penelitian menunjukkan peran kearifan lokal membakar hutan dengan
cara kearifan lokal mendapat pengakuan konstitusional dan dapat mencegah kebakarn hutan yang luas.

Kata Kunci: Kearifan Lokal, Membakar, Mencegah Kebakaran Hutan

1
Jurnal ESENSI HUKUM,

Vol. 2 No. 1 Bulan Juni Tahun 2020, hlm. 1-15

ISSN: 1978-1520

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang


Selama beberapa tahun terakhir, seperti sudah menjadi tradisi tahunan di
sebagian wilayah Indonesia, tepatnya ketika tiba musim kemarau maka akan diikuti
oleh peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Secara umum kebakaran hutan
terjadi karena dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Kebakaran hutan yang
disebabkan faktor alam biasanya terjadi melalui proses alami karena gesekan antara
bagian organ pohon yang sudah kering, sambaran petir, dan letusan lahar gunung
berapi, sehingga memicu percikan api yang kemudian hembusan angin di hutan
membantu terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran hutan yang disebabkan
faktor manusia terjadi karena proses tidak sengaja dan disengaja. Manusia secara tidak
sengaja dapat melakukan perbuatan yang mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan
seperti membuang puntung rokok sembarangan di sekitar hutan, membiarkan sisa
bakaran di hutan tanpa mematikannya terlebih dahulu. Selanjutnya adalah perbuatan
manusia yang secara sengaja membakar hutan dengan maksud alih fungsi lahan dari
tanaman hutan menjadi tanaman perkebuanan kelapa sawit dan jenis tanaman
lainnya.
Mengacu pada sebutan bahwa Indonesia adalah negara agraris, maka mayoritas
mata pencaharian masyarakat di pedesaan adalah dengan cara bertani. Mata
pencaharian bertani sangat erat kaitannya dengan lahan, karena lahan yang digunakan
petani pada awalnya berasal dari hutan di sekitar pemukiman masyarakat. Tata cara
alih fungsi hutan menjadi lahan dilakukan dengan berbagai cara seperti menebang
hutan dan membakar hutan. Membuka lahan dengan cara menebang pohon dan
membakar hutan bukan tanpa konsekuensi hukum. Orang/badan usaha yang
menebang pohon secara ilegal dapat terjerat kasus hukum pembalakan liar (illegal
loging) seperti diatur dalam Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan. Begitu juga bagi orang/badan usaha dilarang
melakukan pembakaran hutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2004 tentang Perkebunan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun, dalam ketentuan Pasal 69
Ayat 2 Undang-Undang 32 Tahun 2009 terdapat aturan yang membolehkan membuka
lahan dengan cara membakar dengan memperhatikan kearifan lokal di daerah masing-
masing.
Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa kearifan lokal yang dimaksud
adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala
keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar
sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Kalimat terakhir dari
penjelasan pasal tersebut menegaskan bahwa pembakaran lahan mensyaratkan adanya
sekat bakar sebagai upaya pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Selain
itu, meskipun persyaratan ini telah membatasi pengaturan pembakaran lahan
maksimal 2 hektar per kepala keluarga, tetapi harus diperhatikan jumlah akumulasi
besarnya lahan yang dapat dibakar. Misalnya jika di suatu daerah dihuni oleh 2000
kepala keluaga, yang mana masing-masing kepala keluarga membuka lahan 2 hektar,
maka total lahan yang terbakar secara legal adalah sebesar 4000 hektar. Bagaimana

2
July 201x : first_page – end_page
dampak pembakaran hutan 4000 hektar bagi masyarakat, dan apakah dengan jumlah
sebesar itu masyarakat dapat mencegah kebakaran hutan agar tidak meluas.
Penelitian sebelumnya yang meneliti permasalahan yang hampir sama yaitu: Ni
Wayan Ella Apryani, melakukan studi tentang “Pembukaan Lahan Hutan dalam Perspektif
HAM: Studi tentang Pembakaran Lahan Terkait Kearifan Lokal.” Wayan menyoroti bahwa
dalam Pasal 69 Ayat (2) UUPPLH memperbolehkan membuka lahan dengan cara
membakar, yang bertujuan untuk menjaga kearifan lokal dimana di dalamnya
terkandung HAM yakni hak untuk mempertahankan hidup dan hak atas budaya,
namun terdapat HAM lain yang harus turut diperhatikan.1 Ketika muncul dampak
dari pembukaan lahan dengan cara tersebut maka besar potensi terlanggarnya HAM
lain dan juga akan berpotensi menimbulkan kerugian pada negara-negara tetangga.2
Penelitian selanjutnya Elviandri, Kombes (Purn). Effendi dan Yulias Erwin juga
melakukan studi terkait pembakaran lahan dengan judul penelitian: “Penegakan Hukum
Pembakaran Hutan: Tawaran Rekonstruksi Hukum Progresif Mewujudkan Keadilan”. 3
Penelitian tersebut membahas penegakan hukum pembakaran hutan dengan
memberikan contoh kasus di beberapa wilayah di Indonesia yang tidak memberikan
efek jera karena terjadi berulang-ulang. Kesimpulan dalam penelitian ini menyatakan
bahwa untuk menegakkan hukum kebakaran hutan, hakim harus menggunakan
hukum secara progresif. Kedua penelitian di atas mempunyai kesamaan pembahasan
tentang pembakaran hutan, namun, fokus pembahasannya berbeda dengan penelitian
ini yang berfokus pada peran kearifan lokal masayarakat membuka lahan dengan cara
membakar sebagai upaya pencegahan kebakaran hutan dan penegakan hukum
terhadap pelanggaran ketentuan pembakaran hutan dengan cara kearifan lokal.
1.2. Rumusan Masalah
Mengacu pada uraian latar belakang masalah di atas, perlu kiranya dilakukan
pembatasan pokok pembahasan agar bahasan menjadi fokus dan tidak melebar dan
bias pada permasalahan yang lain. Dengan demikian yang menjadi rumusan masalah
dalam pembahasan ini, yaitu:
1. Bagaimana peran kearifan lokal masyarakat dalam mencegah kebakaran hutan
dan lahan?
2. Bagaimana penegakan hukum terhadap pelanggaran ketentuan pembakaran
hutan dengan cara kearifan lokal?

2. Metode Penelitian
Penelitian hukum pada umumnya mempunyai tiga tipe, yaitu, normatif, empiris,
dan normatif empiris. 4 Dalam tulisan ini metode yang digunakan adalah metode
penelitian hukum normatif, yang menggunakan pendekatan undang undang (statue
approach) dan pendekatan konseptual (conseptual aproach). Pendekatan undang-undang
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut

1 Apryani, N. W. E., Pembukaan Lahan Hutan dalam Perspektif HAM: Studi tentang

Pembakaran Lahan Terkait Kearifan Lokal. Jurnal Magister Hukum Udayana, 7(3), 360-374.
DOI: 10.24843/JMHU.2018.c07.i03.p07, 2018, Hlm. 371.
2 Ibid.,
3 Elviandri, Penegakan Hukum Kebakaran Hutan: Tawaran Rekonstruksi Hukum

Progresif Mewujudkan Keadilan. Jurnal Yustisia Merdeka, 3(1): 12-29 ISSN: 2407-8778, 2017.
4
Ali, H. Z., Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2011, Hlm. 105.

3
Jurnal ESENSI HUKUM,

Vol. 2 No. 1 Bulan Juni Tahun 2020, hlm. 1-15

ISSN: 1978-1520
paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.5 Selanjutnya, pendekatan konseptual
beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam
ilmu hukum.6 Jenis data yang dipakai adalah data sekunder yang terdiri atas bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan tersier. 7 Penelitian hukum dengan
menggunakan data sekunder sering juga disebut sebagai penelitian kepustakaan
karena meneliti bahan pustaka. Adapun bahan pustaka yang diteliti merupakan data
dasar yang dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai data sekunder.8

3. Hasil Dan Pembahasan

A. Peran Kearifan Lokal Masyarakat untuk Mencegah Kebakaran Hutan

Kearifan lokal berasal dari bahasa inggris local wisdom yang terdiri dari 2 (dua)
suku kata: kearifan, kebijaksanaan (wisdom) dan lokal, setempat (local). Kearifan lokal
dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana,
penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.9
Masyarakat diartikan sebagai golongan besar atau kecil yang terdiri dari beberapa
manusia dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh
mempengaruhi satu sama lain.10 Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
kearifan lokal merupakan sebuah gagasan lokal yang bersifat bijaksana dan penuh
kearifan yang hidup serta dipatuhi oleh suatu masyarakat setempat. Memasuki abad
21 terjadi perubahan sosial dalam masyarakat akibat dari perkembangan teknologi dan
informasi. Seluruh struktur masyarakat terkena dampak pengaruh perubahan atau
paling tidak dipengaruhi oleh struktur sosial lainnya, yang juga berdampak pada
perubahan sosial. Sebagai pedoman, kiranya dapatlah dirumuskan bahwa perubahan-
perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam
suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, temasuk di dalamnya nilai-
nilai, sikap-sikap, dan pola-pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok dalam
masyarakat.11
Salah satu nilai kearifan lokal masyarakat Indonesia yang tidak berubah dan
masih terakomodir dalam suatu peraturan perundang-undangan adalah membuka
lahan dengan cara membakar lahan. Pembakaran hutan adalah perbuatan membakar
hutan yang dilakukan dengan cara disengaja. Pembakaran identik dengan kejadian
yang disengaja pada satu lokasi dan luasan yang telah ditentukan. Pembakaran ini
bertujuan untuk membuka lahan, meremajakan hutan atau mengendalikan hama.

5 Marzuki, P. M., Penelitian Hukum. Jakarta Timur, Prenada Media Group, 2019, Hlm.132.
6 Ibid. Hlm. 135.
7 Soekanto, S., Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 2015, Hlm. 51-52.

Bandingkan dengan pendapat Peter Mahmud Marzuki yang menyebut bahan hukum tersier
sebagai bahan non hukum dalam Penelitian Hukum. Jakarta, Prenada Group, Hlm. 204.
8 Soekanto, S., & Mamudji, S., Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,

Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2006, Hlm.12-13.


9 Sartini, Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati, Jurnal Filsafat

Universitas Gadjah Mada, 37(2): 111-120 ISSN: 0853-1870, 2004.


10 Shadily, H., Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 1999, Hlm.

47.
11 Soekanto, S., Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, Rajawali Press, 2014, Hlm. 101.

4
July 201x : first_page – end_page
Dalam lingkup ilmu kehutanan ada sedikit perbedaan istilah antara pembakaran hutan
dan kebakaran hutan. Pembakaran hutan identik dengan kejadian yang disengaja pada
satu lokasi tertentu secara terkendali. Gunanya untuk membuka lahan, meremajakan
hutan, atau mengendalikan hama, sedangkan kebakaran hutan lebih pada kejadian
tidak disengaja atau dapat juga terjadi secara alamiah. 12 Berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, tindakan membakar hutan merupakan perbuatan
tindak pidana. Setidaknya pelarangan pembakaran hutan diatur dalam tiga undang-
undang. Pertama, aturan larangan pembakaran hutan diatur dalam Pasal 50 Ayat (3)
huruf d Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa “Setiap
orang dilarang membakar hutan”. Pertanggungjawabannya diatur dalam Pasal 78 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yaitu:
“Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000 (Lima Milyar Rupiah)”
Kedua, aturan larangan pembakaran hutan diatur dalam Pasal 48 Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan:
“(1) Setiap orang yang dengan sengaja membuka dan/atau mengolah
lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan
kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal
263, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah).”

Ketiga, aturan larangan pembakaran hutan diatur dalam Pasal 69 Ayat (1) huruf H
Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup:

“Setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara


membakar”

Pertanggungjawabannya diatur dalam Pasal 108 Undang-Undang 32 Tahun 2009 yang


berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69 Ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar)”.

Uraian di atas telah menyebutkan ketentuan pelarangan pembakaran hutan di


dalam tiga undang-undang yang berbeda. Namun, terdapat juga aturan perkenan
membuka lahan dengan cara membakar dengan syarat-sayarat khusus berdasarkan
kearifan lokal di daerah masing-masing. Keberadaan norma perkenan pembakaran
hutan bukanlah merupakan suatu pertentangan dengan norma pelarangan

12 Risnandar, C. Kebakaran Hutan. Available from


https://jurnalbumi.com/knol/kebakaran-hutan/ (Diakses 10 November 2019).

5
Jurnal ESENSI HUKUM,

Vol. 2 No. 1 Bulan Juni Tahun 2020, hlm. 1-15

ISSN: 1978-1520
pembakaran hutan yang telah disebutkan di atas. Norma perkenan tersebut harus
dimaknai sebagai upaya negara untuk mengakomodir kearifan lokal yang masih
hidup di Indonesia. Dasar konstitusional penghormatan negara terhadap kearifan
lokal diatur dalam Pasal 18 B Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia, yaitu sebagai berikut:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat
hukum adat serta hak hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Aturan perkenan membuka lahan dengan cara membakar diatur dalam Pasal 69 Ayat 2
UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
yaitu sebagai berikut:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan
dengan sungguh sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing”.

Selanjutnya dapat dilihat penjelasan dari Pasal 69 Ayat (2) yaitu sebagai berikut:
Ayat (2)
“Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan
pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala
keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh
sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya”.

Dengan demikian, jelaslah bahwa membakar hutan dengan kearifan lokal


diperkenankan dan mempunyai dasar konstitusional. Namun, ketentuan ini sering
sekali dianggap bermasalah oleh sebagian orang. Siti Nurbaya, misalanya, mengatakan
sedang mempertimbangkan untuk melakukan revisi Undang-Undang 32 Tahun 2009,
yang penjelasan pasalnya tentang kearifan lokal dibenarkan melakukan pembukaan
lahan dengan membakar.13 Upaya serupa dengan cara uji materi Pasal 69 Ayat (2) UU
Nomor 32 Tahun 2009 juga dilakukan oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
(GAPKI) dan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia. Saat sidang pertama digelar, kuasa
hukum GAPKI dan APHI, Refli Harun menyatakan “Tujuan kami agar Yang Mulia
menghapuskan pasal [69 Ayat (2)], hingga tak ada ruang pembakaran hutan baik
penegang konsesi atau orang-orang di wilayah konsesi itu.” 14 Pandangan yang
berbeda disampaikan oleh Aliansi Masyarakakat Adat Nusantara (AMAN), urgensi
dimasukkannya pasal pengecualian terkait membuka lahan dengan cara membakar,
karena pembentuk undang-undang mengetahui dan memahami fakta bahwa kearifan
lokal dengan cara membakar lahan untuk membuka lahan ketika sudah masuk waktu
berladang.15 Diskursus tersebut tidak menumukan ujung karena pada saat lanjutan

13 Sarwanto, A. Menteri Siti Pertimbangkan Revisi UU Lingkungan Hidup. Available from


https://cnnindonesia.com/20151026155811-20-87445/menteri-siti-pertimbangkan-revisi-uu-
lingkungan-hidup (Diakses 11 Januari 2019).
14 Lubis, U. Uji materi UU Lingkungan Hidup Ancam Kearifan Lokal. Available from

https://rappler.com/indonesia/berita/171407-uji-materi-uu-lingkungan-hidup-ancam-
kearifan-lokal (Diakses 17 April 2019).
15 Ibid.

6
July 201x : first_page – end_page
sidang permohonan uji materi, gugatan dicabut oleh pemohon dengan alasan pasal-
pasal yang diajukan dalam uji materi itu perlu diharmoniskan karena sangat luas
penafsirannya.16
Pandangan masyarakat terhadap keberadaan Pasal 69 ayat (2) terbagi kepada
dua kelompok: pertama, kelompok yang menganggap pasal tersebut sebagai sumber
kebakaran hutan, dan kedua, kelompok yang menganggap penghormatan terhadap
kearifan lokal yang justru malah mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Pernyataan kelompok kedua dapat dibenarkan dengan cara mengkaji dan
menganalisis tata cara menjalankan praktik membakar hutan dengan memperhatikan
kearifan lokal di Indonesia. Adapun contoh-contoh daerah yang mempraktikkan
membakar hutan dengan kearifan lokal di dalam tulisan ini adalah daerah Riau,
Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan.
Masyarakat Riau mengenal sistem membuka lahan yang disebut dengan istilah
tebang dan bakar (slash and burn). Akan tetapi tidak semua orang dapat melakukan
penebangan dan pembakaran hutan. Lewat aturan adat mereka berkoordinasi.
“keluarga mana yang boleh tebang dan membakar lebih dahulu, setelah api
diyakinkan telah padam lalu dilanjutkan oleh keluarga lain. Begitu seterusnya
sehingga titik api terkontrol”. 17 Dengan sistem tersebut, setiap kepala keluarga
tidaklah membakar hutan secara bersama-sama yang tentunya akan menimbulkan
kekhawatiran jumlah titik api yang sangat luas. Sistem membakar hutan secara
bergantian justru akan mengontrol jumlah titik api yang dapat mencegah kebakaran
hutan dan lahan secara meluas.
Kearifan lokal membuka lahan dengan cara membakar di Kalimantan Barat
dilaksanakan dengan teknik nataki. Teknik nataki biasanya dilakukan bersama-sama
oleh satu kelompok masyarakat. Caranya dengan merobohkan pepohonan, belukar,
atau ilalang di sekeliling lahan yang hendak dibakar. Lebar batas api itu antara tiga
hingga lima meter. Nataki diperlukan agar api tidak menyambar lahan di luar
kawasan yang hendak dibuka untuk bertani.18 Setelah dirobohkan, ilalang atau belukar
biasanya disapu ke arah lahan yang hendak dibakar. Itu dilakukan supaya batas api
itu benar-benar bersih. Pekerjaan itu tidak mudah karena pembersihan batas api harus
dilakukan di sekeliling lahan. Padahal, lahan yang dibuka kadang kala hingga
beberapa hektar sekaligus dan dikerjakan secara bersama-sama oleh beberapa petani
sekaligus. Setelah batas api bersih, mereka baru memulai membakar lahan.
Daerah Sumatera Selatan mengenal budaya pengelolaan lahan dengan teknik
pembakaran terkendali. Pembakaran terkendali diatur dalam Undang-Undang Simbur
Cahaya yang telah ada sejak abad ke-17 yang dikenal dengan sistem kekas. Kitab

16 Saturi, S. Akhiri Gugatan, APHI-GAPKI Cabut Uji Materi UU Lingkungan. Available from
https://mongabay.co.id/2017/06/12/akhiri-gugatan-aphi-gapki-cabut-uji-materi-uu-
lingkungan (Diakses 18 April 2019).
17 Nurdin, N. Kebakaran Hutan Riau: Saatnya Belajar Kearifan Lokal?. 2013. Available from

https://nationalgeographic.grid.id/read/13284467/kebakaran-hutan-riau-saatnya-belajar-
kearifan-lokal (Diakses 11 November 2019).
18 National Geographic Indonesia. Cara Masyarakat Dayak Membatasi Pembakaran Hutan.

Available from https://nationalgeographic.grid.id/read/13279586/cara-masyarakat-dayak-


membatasi-pembakaran-hutan (Diakses 11 November 2019).

7
Jurnal ESENSI HUKUM,

Vol. 2 No. 1 Bulan Juni Tahun 2020, hlm. 1-15

ISSN: 1978-1520
Simbur Cahaya merupakan perpaduan antara hukum adat dan hukum islam.19 Dalam
Undang-Undang Simbur Cahaya hubungan manusia dengan lingkungan diatur dalam
bab III dengan jumlah 32 Pasal.
Simboer Tjahaja pasal 53 menyebutkan:
“Jika orang membuka ladang atau kebun hendaklah sekurang-kurangnya 7 depa
dari jalan besar, siapa saja melanggar dihukum dengan denda sampai 6 Ringgit
secara bagian dari ladang atau kebunnya yang sudah masuk ukuran depa tidak
boleh 2 jukan”.20
Demikian pula di pasal 54:
“Barang siapa akan membakar hutan ladang hendaklah waktunya ia beritahu
lebih dahulu pada proatingnya serta pukul canang sekaligus dusun, maka siapa
melanggar dihukum denda sampai 12 Ringgit serta harus mengganti harga
tanduran yang mutung. Jika kekasnya sudah dibuat 7 depa dan telah diterima
orang yang punya kebun, maka itu kebun angus juga tidak lagi ia kena ganti
kerugian”.21
Pengaturan sanksi tertera pada pasal 55:
“Jika membakar ladang lantas api melompat ke hutan lantaran kurang jaga, maka
yang salah didenda sampai 12 ringgit”.22
Dari contoh membakar hutan dengan kearifan lokal pada beberapa daerah
Indonesia, dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat membenarkan aturan
membuka hutan dengan cara membakar, tetapi melalui aturan yang ketat sehingga
tidak menyebabkan kebakaran hutan dan lahan yang luas. Namun, praktik membakar
lahan yang dilaksanakan di Riau dan Kalimantan Barat masih menggabungkan antara
teknik menebang dan membakar. Sementara itu, dalam ketentuan Undang-Undang
Kehutanan dan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
melarang perbuatan menebang pohon di dalam kawasan hutan apabila tidak memiliki
hak atau izin dari pejabat berwenang. Ketentuan pelarangan penebangan pohon diatur
dalam Pasal 50 Ayat (3) huruf e Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, yaitu:
“Setiap orang dilarang menebang pohon atau memanen atau memungut
hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat
berwenang”.
Selanjutnya, larangan penebangan pohon yang diatur dalam Pasal 12 huruf a, b, dan c
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan antara lain sebagai berikut:

19 Hendrawan, P. Simbur Cahaya, Kearifan Lokal yang Kekal. Avalibale from


https://pantaugambut.id/cerita/simbur-cahaya-kearifan-lokal-yang-kekal/ (Diakses 11
November 2019).
20 Ibid.
21 Ibid.
22 Ibid.

8
July 201x : first_page – end_page
“Setiap orang dilarang:
a. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai
dengan izin pemanfatan hutan;
b. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki
izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berweanang:
c. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah”.

Dari dua rumusan Undang-Undang tersebut, menebang pohon di kawasan


hutan adalah perbuatan yang dilarang kecuali jika mendapat izin dari pihak yang
berwenang. Bagi masyarakat yang mempraktikkan kombinasi antara menebang dan
membakar pohon, tidak perlu lagi mendapat izin dari pihak yang berwenang. Izin
menebang pohon tersebut sudah diberikan oleh Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang No
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan dalam rangka
menjalankan kearifan lokal masyarakat yang bersangkutan. Kearifan lokal dengan cara
yang disebutkan di atas merupakan bentuk peran serta masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan hidup, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan karena pengelola
lingkungan (pengambil kebijakan) biasanya dapat merumuskan persoalan biologis dan
teknis secara efektif, tetapi tidak berhasil dalam menghadapi aspek-aspek sosial dan
politik dalam pengelolaan lingkungan.23 Namun, dalam realitas sosial ketika terjadi
kebakaran hutan yang sangat meluas, sikap saling tuduh selalu terjadi untuk mencari
tahu siapa dalang yang paling bertanggung jawab atas peristiwa kebakan hutan. Tak
jarang lapisan stratifikasi sosial masyarakat bawah sering menjadi pihak yang tertuduh
untuk bertanggung jawab. Misalnya, pada 13 September yang lalu, saat masih
menjabat Menteri, Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto mengatakan
salah satu pelaku pembakaran lahan adalah peladang individu.24 Putusan Pengadilan
Negeri Sintang akhirnya membebaskan terdakwa yang dituduh sebagai biang
karhutla.25
Menurut Khalisa, Walhi mencatat titik api sebagian besar ada di wilayah konsesi
perkebunan, sawit, maupun HTI milik korporasi. Selama ini daerah tersebut sangat
sulit tersentuh hukum, bahkan meskipun sudah ada putusan namun tidak bisa
dieksekusi.26 Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya
mengatakan hingga kini pemerintah mencatat 103 perusahaan di Kalimantan Barat
terkena sanksi, 29 perusahaan disegel empat di antaranya milik Singapura dan
Malaysia.27 Pembukaan lahan dengan cara membakar yang dilakukan oleh korporasi
dinilai lebih praktis dan ekonomis dibandingkan dengan merujuk tata cara yang
ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian terhadap
masyarakat yang sudah tidak mempunyai kearifan lokal terjadi pembiaran atau sikap
acuh tak acuh masyarakat terhadap pelaku pembakaran hutan. Hal ini disebabkan

23 Mitchell, B., dkk. (2010). Pengelolaan Sumber Daya Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. Hlm. 254.
24 Taher, A. P. Peladang yang Dituduh Wiranto Biang Karhutla, Dibebaskan Pengadilan.

Available from https://tirto.id/peladang-yang-dituduh-wiranto-biang-karhutla-dibebaskan-


pengadilan-eD5a (Diakses pada 12 Maret 2020).
25 Lihat Putusan PN Sintang dengan nomor perkara 252/Pid.B/LH/2019/PN Stg.

Available from https://sipp.pn-sintang.go.id/index (Diakses pada 20 Maret 2020).


26 Taher, A. P. Op. Cit.
27 Zulfikar, M. Wiranto Tegaskan Penindakan Hukum Karhutla Keras dan Tegas. Available

from https://antaranews.com/berita/1061652/wiranto-tegaskan-penindakan-hukum-
karhutla-keras-dan-tegas (Diakses pada 12 Maret 2020).

9
Jurnal ESENSI HUKUM,

Vol. 2 No. 1 Bulan Juni Tahun 2020, hlm. 1-15

ISSN: 1978-1520
oleh perilaku masyarakat yang telah berubah karena dipengaruhi oleh kehidupan
modernitas yang ditandai dengan kemajuan teknologi dan informasi. Disamping itu,
pembiaran pembakaran hutan oleh masyarakat terjadi karena ketidak mampuan
masyarakat dalam menghadapi kuasa modal dan beking yang dimiliki korporasi.
Seperti menurut dua laporan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Walhi, justru yang
korporasi dalam hal ini yang banyak melakukan aktivitas pembakaran hutan melalui
orang-orang suruhannya. Sebagaimana banyak contoh peristiwa pencemaran dan
kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia.28
B. Penegakan Hukum terhadap Pelanggaran Pembakaran Hutan dengan Cara
Kearifan Lokal

Penegakan hukum adalah dalam konteks terjadinya pelanggaran pembukaan


lahan hutan dengan cara yang diatur dalam Pasal 69 ayat (2) UUPPLH, yakni melalui
kearifan lokal masyarakat. Penjelasan pasal tersebut berisi perkenan kepada
masyarakat yang mempunyai kearifan lokal untuk membuka lahan dengan cara
membakar dengan syarat luas lahan 2 hektar per kepala keluarga, ditanami jenis
tanaman varietas lokal, dan pembakaran harus dikelilingi sekat bakar. Namun,
bagaimana penegakan hukum jika salah satu dari 3 syarat, dan/atau 2 dari 3 syarat
tersebut tidak dipenuhi oleh mayarakat ketika membuka lahan dengan cara
membakar. Pelaksanaan hukum dapat berarti menjalankan hukum tanpa adanya
sengketa atau pelanggaran. Disamping itu pelaksanaan hukum dapat terjadi karena
adanya sengketa, yaitu yang dilaksanakan oleh hakim. Ini sekaligus merupakan
penegakan hukum.29
Dalam UUPPLH sama sekali tidak mengatur pemberian sanksi pidana terhadap
kepala keluarga yang melanggar ketentuan pembukaan lahan dengan cara kearifan
lokal. Akan tetapi, pemerintah pusat dan pemerintah daerah diberi tugas dan
kewenangan menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait
dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.30 Dari rumusan di atas, tata
cara pengakuan dan penegakan hukum mengenai keberadaan kearifan lokal hanya
bisa dilakukan oleh pemerintah melalui undang-undang yang dibuat bersama Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), dan melalui Peraturan Daerah (Perda) yang dibuat oleh
pemerintah daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). 31 Karena
undang-undang tidak mengatur mengenai sanksi dan penegakan hukum terhadap
kepala keluarga yang melanggar ketentuan pembukaan lahan dengan cara kearifan
lokal, penegak hukum harus menemukan hukumnya dari Perda yang berisi tentang
pengakuan kearifan lokal membuka lahan dengan cara membakar. Penemuan hukum
lazimnya adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya
28Wahidin, S. (2014). Dimensi Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 57.
29 Mertokusumo, S. (2009). Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty. Hlm.

36.
30 Lihat Bab IX Tugas dan Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan.


31 Pasal 15 Ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan mengatur materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam,
Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

10
July 201x : first_page – end_page
yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum
konkrit. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses
konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das Sollen) yang bersifat umum
dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das Sein) tertentu.32
Sumber hukum yang digali dari Perda merupakan jenis peraturan yang
termasuk ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan dan mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat. Selanjutnya, jika pemerintah daerah melalui instrumen Perda
tidak dan/atau belum mengakui kearifan lokal membuka lahan dengan cara
membakar, lantas bagaimana cara penegakan hukumnya? Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Nyoman Serikat Putra Jaya, mengatakan
sumber hukum pidana di Indonesia bukan hanya pidana tertulis tetapi juga pidana
tidak tertulis. Secara formal, ketika Belanda memberlakukan Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandch Indie (1 Januari 1918), hukum pidana adat memang tidak diberlakukan.
Tetapi secara materil tetap berlaku dan diterapkan dalam praktik peradilan. Setelah
kemerdekaan, pidana adat mendapat tempat lewat Undang-Undang Darurat No. 1 Drt
1951. Pasal 5 ayat (3) huruf b undang-undang ini menjelaskan tentang pidana adat
yang tidak ada bandinganya dalam KUHP, pidana adat yang ada bandingannya dalam
KUHP, dan sanksi adat. Sanksi adat dapat dijadikan pidana pokok atau pidana utama
oleh hakim dalam memeriksa dan mengadili perbuatan yang menurut hukum yang
hidup dianggap sebagai tindak pidana yang tidak ada bandingannya dalam KUHP.33
Hukum adat adalah himpunan peraturan tentang perilaku bagi orang pribumi
dan timur asing pada satu pihak mempunyai sanksi (karena bersifat hukum), dan pada
pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat).34 Ciri utama
hukum adat adalah adanya peranan besar dari lembaga-lembaga peradilan dan
partisipasi yang luas bagi kelompok-kelompok sosial atau individu-individu di
masyarakat dalam menentukan arah pembangunan hukum.35 Prof. Nyoman Serikat
memberikan contoh penerapan hukum adat melalui putusan MA No. 984 K/Pid/1996
tanggal 30 Januari 1996. Dalam putusan ini, majelis hakim menyatakan jika pelaku
(dader) perzinahan telah dijatuhi sanksi adat atau mendapat reaksi adat oleh para
pemangku desa adat, dimana hukum adat masih dihormati dan hidup subur, maka
tuntutan oleh jaksa harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Putusan lain yang dikutip Guru Besar Undip Semarang itu adalah Putusan MA
No. 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991. Dalam putusan ini majelis
mempertimbangkan ‘seseorang yang telah melakukan perbuatan yang menurut
hukum yang hidup (hukum adat) di daerah tersebut merupakan suatu perbuatan yang
melanggar hukum adat, yaitu ‘delik adat’. Kepala dan para pemuka adat memberikan
reaksi reaksi adat (sanksi adat) terhadap si pelaku tersebut. Sanksi adat itu telah
dilaksanakan oleh terhukum. Terhadap si terhukum yang sudah dijatuhi ‘reaksi adat’
oleh kepala adat tersebut, maka ia tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya)
sebagai terdakwa dalam persidangan badan peradian negara (Pengadilan Negeri)
dengan dakwaan yang sama, melanggar hukum adat, dan dijatuhi hukuman penjara
menurut KUHP (Pasal 5 ayat (3) huruf b UU Darurat No. 1 Drt 1951). Dalam keadaan

32 Mertokusumo, S. Op. Cit.


33 Hukum Online. Putusan-Putusan Pidana yang menghargai Pidana Adat. Available
from https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5746f66360762/putusan-putusan-yang-
menghargai-pidana-adat (Diakses pada 20 Maret 2020).
34 Wulansari, D. C., Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Bandung, PT Refika

Aditama, 2010, Hlm. 3-4.


35 Elviandri. Op. Cit. Hlm. 24.

11
Jurnal ESENSI HUKUM,

Vol. 2 No. 1 Bulan Juni Tahun 2020, hlm. 1-15

ISSN: 1978-1520
yang demikian itu, maka pelimpahan berkas perkara serta tuntutan kejaksaan di
Pengadilan Negeri harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).36
Peran masyarakat (dalam hal ini masyarakat adat) sangat dibutuhkan dalam
pencegahan kebakaran hutan dan lahan seperti yang diatur dalam Pasal 70 ayat (3)
huruf e UUPLH, “mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam
rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.” Hukum yang hidup dalam masyarakat
adat perlu diakomodir dan dilaksanakan dalam rangka pelestarian lingkungan serta
pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Dengan demikian, penegakan hukum
terhadap kepala keluarga yang terbukti melanggar ketentuan membuka lahan dengan
cara membakar dapat dipidana menurut ketentuan hukum masyarakat adat setempat.
Penegakan hukum positif tidak perlu lagi diberikan kepada kepala keluarga yang
sudah dijatuhi hukuman pidana adat. Penegakan melalui hukum positif dapat
diberikan apabila masyarakat adat belum/tidak memberikan sanksi pidana terhadap
pelaku yang melanggar tata cara pembukaan lahan dengan cara kearifan lokal.

4. Kesimpulan

Secara garis besar, dari pembahasan yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan
bahwa:
1. Kearifan lokal masyarakat Indonesia dalam membuka lahan dengan cara
membakar masih eksis dan diakui secara konstitusional. Kearifan lokal tersebut
dilakukan sebagai upaya untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan karena
praktiknya dilakukan dengan cara membuat sekat bakar terdahulu sebelum
melakukan pembukaan lahan.
2. Penegakan hukum terhadap kepala keluarga yang menyimpangi atau
melanggar tata cara membakar hutan dengan cara kearifan lokal dapat
dilaksanakan oleh masyarakat adat. Penegakan hukum oleh masyarakat adat
(dewan adat) dilakukan dengan memberi sanksi pidana adat. Penegakan
hukum positif dilakukan ketika masyarakat adat belum/tidak menjatuhkan
sanski pidana adat terhadap kepala keluarga yang melanggar ketentuan
kearifan lokal.

Daftar Pustaka / Daftar Referensi

Ali, H. Z. (2011). Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.


Marzuki, P. M. (2019). Penelitian Hukum. Jakarta Timur: Prenada Media Group.
Mertokusumo, S. (2009). Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
Mitchell, B., dkk. (2010). Pengelolaan Sumber Daya Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Shadily, H. (1999). Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Soekanto, S. (2014). Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.

36 Hukum Online. Op. Cit.

12
July 201x : first_page – end_page
Soekanto, S. (2015). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Soekanto, S., & Mamudji, S. (2006). Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Wahidin, S. (2014). Dimensi Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wulansari, D. C. (2010). Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika
Aditama.

Jurnal

Apryani, N. W. E. (2018). Pembukaan Lahan Hutan dalam Perspektif HAM: Studi


tentang Pembakaran Lahan Terkait Kearifan Lokal. Jurnal Magister Hukum
Udayana, 7(3), 360-374. DOI: 10.24843/JMHU.2018.c07.i03.p07
Elviandri. (2017). Penegakan Hukum Kebakaran Hutan: Tawaran Rekonstruksi
Hukum Progresif Mewujudkan Keadilan. Jurnal Yustisia Merdeka, 3(1): 12-29
ISSN: 2407-8778.
Sartini. (2004). Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati. Jurnal
Filsafat Universitas Gadjah Mada, 37(2): 111-120 ISSN: 0853-1870.

Internet

Hendrawan, P. (2018). Simbur Cahaya, Kearifan Lokal yang Kekal. Retrieved from
https://pantaugambut.id/cerita/simbur-cahaya-kearifan-lokal-yang-kekal/ ,
diakses 11 November 2019.
Hukum Online. (2016). Putusan-Putusan Pidana yang menghargai Pidana Adat. Retrieved
from https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5746f66360762/putusan-
putusan-yang-menghargai-pidana-adat , diakses 20 Maret 2020.
Lubis, U. (2017). Uji materi UU Lingkungan Hidup Ancam Kearifan Lokal. Retrieved from
https://rappler.com/indonesia/berita/171407-uji-materi-uu-lingkungan-hidup-
ancam-kearifan-lokal , diakses 17 April 2019.
National Geographic Indonesia. (2011). Cara Masyarakat Dayak Membatasi Pembakaran
Hutan. Retrieved from https://nationalgeographic.grid.id/read/13279586/cara-
masyarakat-dayak-membatasi-pembakaran-hutan , diakses 11 November 2019.
Nurdin, N. (2013). Kebakaran Hutan Riau: Saatnya Belajar Kearifan Lokal?. Retrieved from
https://nationalgeographic.grid.id/read/13284467/kebakaran-hutan-riau-
saatnya-belajar-kearifan-lokal , diakses 11 November 2019.
Putusan PN Sintang. (2019). Nomor perkara 252/Pid.B/LH/2019/PN Stg. Retrieved
from https://sipp.pn-sintang.go.id/index , diakses 20 Maret 2020.
Risnandar, C. (2018). Kebakaran Hutan. Retrieved from
https://jurnalbumi.com/knol/kebakaran-hutan/ , diakses 10 November 2019.

13
Jurnal ESENSI HUKUM,

Vol. 2 No. 1 Bulan Juni Tahun 2020, hlm. 1-15

ISSN: 1978-1520
Sarwanto, A. (2015). Menteri Siti Pertimbangkan Revisi UU Lingkungan Hidup. Retrieved
from https://cnnindonesia.com/20151026155811-20-87445/menteri-siti-
pertimbangkan-revisi-uu-lingkungan-hidup , diakses 11 Januari 2019.
Saturi, S. (2017). Akhiri Gugatan, APHI-GAPKI Cabut Uji Materi UU Lingkungan.
Retrieved from https://mongabay.co.id/2017/06/12/akhiri-gugatan-aphi-
gapki-cabut-uji-materi-uu-lingkungan , diakses 18 April 2019.
Taher, A. P. (2020). Peladang yang Dituduh Wiranto Biang Karhutla, Dibebaskan
Pengadilan. Retrieved from https://tirto.id/peladang-yang-dituduh-wiranto-
biang-karhutla-dibebaskan-pengadilan-eD5a , diakses 12 Maret 2020.
Zulfikar, M. (2019). Wiranto Tegaskan Penindakan Hukum Karhutla Keras dan Tegas.
Retrieved from https://antaranews.com/berita/1061652/wiranto-tegaskan-
penindakan-hukum-karhutla-keras-dan-tegas , diakses 12 Maret 2020.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan

14
July 201x : first_page – end_page

View publication stats

You might also like