Peran Kearifan Lokal Masyarakat Membuka Lahan Dengan Cara Membakar Sebagai Upaya Mencegah Kebakaran Hutan Dan Lahan
Peran Kearifan Lokal Masyarakat Membuka Lahan Dengan Cara Membakar Sebagai Upaya Mencegah Kebakaran Hutan Dan Lahan
net/publication/343185834
CITATION READS
1 444
1 author:
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Ali Imran Nasution on 25 January 2021.
E-mail: [email protected]
Abstract
The majority of Indonesian people's livelihoods are farming, which requires a lot of land to be used as
agricultural field. Limited land requires clearing land from forests so that it can be used as new land
for farmers. Clearing land by cutting and burning trees in a forest area is prohibited by law. However,
there are exceptions to local wisdom which burns land with a maximum land area of 2 hectares per
family to be planted with local varieties of plants and surrounded by firebreaks to prevent the spread of
fire to the surrounding area. The purpose of this study is to analyze the role of local wisdom in clearing
land by burning in an effort to prevent forest and land fires and the law enforcement against violations
of the rules on how to clear land by burning. The research method uses the type of normative legal
research with the statue approach and conceptual approach. The results showed that the role of local
wisdom in burning forests by local wisdom received constitutional recognition and could prevent
extensive forest fires.
Keywords: Local Wisdom, Burning, Preventing Forest Fires
Abstrak
Mayoritas pencaharian masyarakat Indonesia adalah bertani, yang tentunya membutuhkan banyak
lahan untuk dipakai sebagai lahan bertani. Keterbatasan lahan membutuhkan pembukaan lahan dari
hutan agar dapat dijadikan lahan baru bagi petani. Membuka lahan dengan cara menebang dan
membakar pohon di kawasan hutan adalah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Namun,
terdapat pengecualian terhadap kearifan lokal yang melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan
maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh
sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Tujuan penelitian ini
menganalisis peran kearifan lokal membuka lahan dengan cara membakar sebagai upaya mencegah
kebakaran hutan dan lahan serta penegakan hukum terhadap pelanggaran ketentuan tata cara
membuka lahan dengan cara membakar. Metode penelitian menggunakan jenis penelitian hukum
normatif dengan pendekatan undang-undang (statue approach) dan pendekatan konseptual
(conseptual approach). Hasil penelitian menunjukkan peran kearifan lokal membakar hutan dengan
cara kearifan lokal mendapat pengakuan konstitusional dan dapat mencegah kebakarn hutan yang luas.
1
Jurnal ESENSI HUKUM,
ISSN: 1978-1520
1. Pendahuluan
2
July 201x : first_page – end_page
dampak pembakaran hutan 4000 hektar bagi masyarakat, dan apakah dengan jumlah
sebesar itu masyarakat dapat mencegah kebakaran hutan agar tidak meluas.
Penelitian sebelumnya yang meneliti permasalahan yang hampir sama yaitu: Ni
Wayan Ella Apryani, melakukan studi tentang “Pembukaan Lahan Hutan dalam Perspektif
HAM: Studi tentang Pembakaran Lahan Terkait Kearifan Lokal.” Wayan menyoroti bahwa
dalam Pasal 69 Ayat (2) UUPPLH memperbolehkan membuka lahan dengan cara
membakar, yang bertujuan untuk menjaga kearifan lokal dimana di dalamnya
terkandung HAM yakni hak untuk mempertahankan hidup dan hak atas budaya,
namun terdapat HAM lain yang harus turut diperhatikan.1 Ketika muncul dampak
dari pembukaan lahan dengan cara tersebut maka besar potensi terlanggarnya HAM
lain dan juga akan berpotensi menimbulkan kerugian pada negara-negara tetangga.2
Penelitian selanjutnya Elviandri, Kombes (Purn). Effendi dan Yulias Erwin juga
melakukan studi terkait pembakaran lahan dengan judul penelitian: “Penegakan Hukum
Pembakaran Hutan: Tawaran Rekonstruksi Hukum Progresif Mewujudkan Keadilan”. 3
Penelitian tersebut membahas penegakan hukum pembakaran hutan dengan
memberikan contoh kasus di beberapa wilayah di Indonesia yang tidak memberikan
efek jera karena terjadi berulang-ulang. Kesimpulan dalam penelitian ini menyatakan
bahwa untuk menegakkan hukum kebakaran hutan, hakim harus menggunakan
hukum secara progresif. Kedua penelitian di atas mempunyai kesamaan pembahasan
tentang pembakaran hutan, namun, fokus pembahasannya berbeda dengan penelitian
ini yang berfokus pada peran kearifan lokal masayarakat membuka lahan dengan cara
membakar sebagai upaya pencegahan kebakaran hutan dan penegakan hukum
terhadap pelanggaran ketentuan pembakaran hutan dengan cara kearifan lokal.
1.2. Rumusan Masalah
Mengacu pada uraian latar belakang masalah di atas, perlu kiranya dilakukan
pembatasan pokok pembahasan agar bahasan menjadi fokus dan tidak melebar dan
bias pada permasalahan yang lain. Dengan demikian yang menjadi rumusan masalah
dalam pembahasan ini, yaitu:
1. Bagaimana peran kearifan lokal masyarakat dalam mencegah kebakaran hutan
dan lahan?
2. Bagaimana penegakan hukum terhadap pelanggaran ketentuan pembakaran
hutan dengan cara kearifan lokal?
2. Metode Penelitian
Penelitian hukum pada umumnya mempunyai tiga tipe, yaitu, normatif, empiris,
dan normatif empiris. 4 Dalam tulisan ini metode yang digunakan adalah metode
penelitian hukum normatif, yang menggunakan pendekatan undang undang (statue
approach) dan pendekatan konseptual (conseptual aproach). Pendekatan undang-undang
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut
1 Apryani, N. W. E., Pembukaan Lahan Hutan dalam Perspektif HAM: Studi tentang
Pembakaran Lahan Terkait Kearifan Lokal. Jurnal Magister Hukum Udayana, 7(3), 360-374.
DOI: 10.24843/JMHU.2018.c07.i03.p07, 2018, Hlm. 371.
2 Ibid.,
3 Elviandri, Penegakan Hukum Kebakaran Hutan: Tawaran Rekonstruksi Hukum
Progresif Mewujudkan Keadilan. Jurnal Yustisia Merdeka, 3(1): 12-29 ISSN: 2407-8778, 2017.
4
Ali, H. Z., Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2011, Hlm. 105.
3
Jurnal ESENSI HUKUM,
ISSN: 1978-1520
paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.5 Selanjutnya, pendekatan konseptual
beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam
ilmu hukum.6 Jenis data yang dipakai adalah data sekunder yang terdiri atas bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan tersier. 7 Penelitian hukum dengan
menggunakan data sekunder sering juga disebut sebagai penelitian kepustakaan
karena meneliti bahan pustaka. Adapun bahan pustaka yang diteliti merupakan data
dasar yang dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai data sekunder.8
Kearifan lokal berasal dari bahasa inggris local wisdom yang terdiri dari 2 (dua)
suku kata: kearifan, kebijaksanaan (wisdom) dan lokal, setempat (local). Kearifan lokal
dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana,
penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.9
Masyarakat diartikan sebagai golongan besar atau kecil yang terdiri dari beberapa
manusia dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh
mempengaruhi satu sama lain.10 Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
kearifan lokal merupakan sebuah gagasan lokal yang bersifat bijaksana dan penuh
kearifan yang hidup serta dipatuhi oleh suatu masyarakat setempat. Memasuki abad
21 terjadi perubahan sosial dalam masyarakat akibat dari perkembangan teknologi dan
informasi. Seluruh struktur masyarakat terkena dampak pengaruh perubahan atau
paling tidak dipengaruhi oleh struktur sosial lainnya, yang juga berdampak pada
perubahan sosial. Sebagai pedoman, kiranya dapatlah dirumuskan bahwa perubahan-
perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam
suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, temasuk di dalamnya nilai-
nilai, sikap-sikap, dan pola-pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok dalam
masyarakat.11
Salah satu nilai kearifan lokal masyarakat Indonesia yang tidak berubah dan
masih terakomodir dalam suatu peraturan perundang-undangan adalah membuka
lahan dengan cara membakar lahan. Pembakaran hutan adalah perbuatan membakar
hutan yang dilakukan dengan cara disengaja. Pembakaran identik dengan kejadian
yang disengaja pada satu lokasi dan luasan yang telah ditentukan. Pembakaran ini
bertujuan untuk membuka lahan, meremajakan hutan atau mengendalikan hama.
5 Marzuki, P. M., Penelitian Hukum. Jakarta Timur, Prenada Media Group, 2019, Hlm.132.
6 Ibid. Hlm. 135.
7 Soekanto, S., Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 2015, Hlm. 51-52.
Bandingkan dengan pendapat Peter Mahmud Marzuki yang menyebut bahan hukum tersier
sebagai bahan non hukum dalam Penelitian Hukum. Jakarta, Prenada Group, Hlm. 204.
8 Soekanto, S., & Mamudji, S., Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
47.
11 Soekanto, S., Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, Rajawali Press, 2014, Hlm. 101.
4
July 201x : first_page – end_page
Dalam lingkup ilmu kehutanan ada sedikit perbedaan istilah antara pembakaran hutan
dan kebakaran hutan. Pembakaran hutan identik dengan kejadian yang disengaja pada
satu lokasi tertentu secara terkendali. Gunanya untuk membuka lahan, meremajakan
hutan, atau mengendalikan hama, sedangkan kebakaran hutan lebih pada kejadian
tidak disengaja atau dapat juga terjadi secara alamiah. 12 Berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, tindakan membakar hutan merupakan perbuatan
tindak pidana. Setidaknya pelarangan pembakaran hutan diatur dalam tiga undang-
undang. Pertama, aturan larangan pembakaran hutan diatur dalam Pasal 50 Ayat (3)
huruf d Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa “Setiap
orang dilarang membakar hutan”. Pertanggungjawabannya diatur dalam Pasal 78 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yaitu:
“Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000 (Lima Milyar Rupiah)”
Kedua, aturan larangan pembakaran hutan diatur dalam Pasal 48 Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan:
“(1) Setiap orang yang dengan sengaja membuka dan/atau mengolah
lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan
kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal
263, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah).”
Ketiga, aturan larangan pembakaran hutan diatur dalam Pasal 69 Ayat (1) huruf H
Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup:
5
Jurnal ESENSI HUKUM,
ISSN: 1978-1520
pembakaran hutan yang telah disebutkan di atas. Norma perkenan tersebut harus
dimaknai sebagai upaya negara untuk mengakomodir kearifan lokal yang masih
hidup di Indonesia. Dasar konstitusional penghormatan negara terhadap kearifan
lokal diatur dalam Pasal 18 B Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia, yaitu sebagai berikut:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat
hukum adat serta hak hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Aturan perkenan membuka lahan dengan cara membakar diatur dalam Pasal 69 Ayat 2
UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
yaitu sebagai berikut:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan
dengan sungguh sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing”.
Selanjutnya dapat dilihat penjelasan dari Pasal 69 Ayat (2) yaitu sebagai berikut:
Ayat (2)
“Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan
pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala
keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh
sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya”.
https://rappler.com/indonesia/berita/171407-uji-materi-uu-lingkungan-hidup-ancam-
kearifan-lokal (Diakses 17 April 2019).
15 Ibid.
6
July 201x : first_page – end_page
sidang permohonan uji materi, gugatan dicabut oleh pemohon dengan alasan pasal-
pasal yang diajukan dalam uji materi itu perlu diharmoniskan karena sangat luas
penafsirannya.16
Pandangan masyarakat terhadap keberadaan Pasal 69 ayat (2) terbagi kepada
dua kelompok: pertama, kelompok yang menganggap pasal tersebut sebagai sumber
kebakaran hutan, dan kedua, kelompok yang menganggap penghormatan terhadap
kearifan lokal yang justru malah mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Pernyataan kelompok kedua dapat dibenarkan dengan cara mengkaji dan
menganalisis tata cara menjalankan praktik membakar hutan dengan memperhatikan
kearifan lokal di Indonesia. Adapun contoh-contoh daerah yang mempraktikkan
membakar hutan dengan kearifan lokal di dalam tulisan ini adalah daerah Riau,
Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan.
Masyarakat Riau mengenal sistem membuka lahan yang disebut dengan istilah
tebang dan bakar (slash and burn). Akan tetapi tidak semua orang dapat melakukan
penebangan dan pembakaran hutan. Lewat aturan adat mereka berkoordinasi.
“keluarga mana yang boleh tebang dan membakar lebih dahulu, setelah api
diyakinkan telah padam lalu dilanjutkan oleh keluarga lain. Begitu seterusnya
sehingga titik api terkontrol”. 17 Dengan sistem tersebut, setiap kepala keluarga
tidaklah membakar hutan secara bersama-sama yang tentunya akan menimbulkan
kekhawatiran jumlah titik api yang sangat luas. Sistem membakar hutan secara
bergantian justru akan mengontrol jumlah titik api yang dapat mencegah kebakaran
hutan dan lahan secara meluas.
Kearifan lokal membuka lahan dengan cara membakar di Kalimantan Barat
dilaksanakan dengan teknik nataki. Teknik nataki biasanya dilakukan bersama-sama
oleh satu kelompok masyarakat. Caranya dengan merobohkan pepohonan, belukar,
atau ilalang di sekeliling lahan yang hendak dibakar. Lebar batas api itu antara tiga
hingga lima meter. Nataki diperlukan agar api tidak menyambar lahan di luar
kawasan yang hendak dibuka untuk bertani.18 Setelah dirobohkan, ilalang atau belukar
biasanya disapu ke arah lahan yang hendak dibakar. Itu dilakukan supaya batas api
itu benar-benar bersih. Pekerjaan itu tidak mudah karena pembersihan batas api harus
dilakukan di sekeliling lahan. Padahal, lahan yang dibuka kadang kala hingga
beberapa hektar sekaligus dan dikerjakan secara bersama-sama oleh beberapa petani
sekaligus. Setelah batas api bersih, mereka baru memulai membakar lahan.
Daerah Sumatera Selatan mengenal budaya pengelolaan lahan dengan teknik
pembakaran terkendali. Pembakaran terkendali diatur dalam Undang-Undang Simbur
Cahaya yang telah ada sejak abad ke-17 yang dikenal dengan sistem kekas. Kitab
16 Saturi, S. Akhiri Gugatan, APHI-GAPKI Cabut Uji Materi UU Lingkungan. Available from
https://mongabay.co.id/2017/06/12/akhiri-gugatan-aphi-gapki-cabut-uji-materi-uu-
lingkungan (Diakses 18 April 2019).
17 Nurdin, N. Kebakaran Hutan Riau: Saatnya Belajar Kearifan Lokal?. 2013. Available from
https://nationalgeographic.grid.id/read/13284467/kebakaran-hutan-riau-saatnya-belajar-
kearifan-lokal (Diakses 11 November 2019).
18 National Geographic Indonesia. Cara Masyarakat Dayak Membatasi Pembakaran Hutan.
7
Jurnal ESENSI HUKUM,
ISSN: 1978-1520
Simbur Cahaya merupakan perpaduan antara hukum adat dan hukum islam.19 Dalam
Undang-Undang Simbur Cahaya hubungan manusia dengan lingkungan diatur dalam
bab III dengan jumlah 32 Pasal.
Simboer Tjahaja pasal 53 menyebutkan:
“Jika orang membuka ladang atau kebun hendaklah sekurang-kurangnya 7 depa
dari jalan besar, siapa saja melanggar dihukum dengan denda sampai 6 Ringgit
secara bagian dari ladang atau kebunnya yang sudah masuk ukuran depa tidak
boleh 2 jukan”.20
Demikian pula di pasal 54:
“Barang siapa akan membakar hutan ladang hendaklah waktunya ia beritahu
lebih dahulu pada proatingnya serta pukul canang sekaligus dusun, maka siapa
melanggar dihukum denda sampai 12 Ringgit serta harus mengganti harga
tanduran yang mutung. Jika kekasnya sudah dibuat 7 depa dan telah diterima
orang yang punya kebun, maka itu kebun angus juga tidak lagi ia kena ganti
kerugian”.21
Pengaturan sanksi tertera pada pasal 55:
“Jika membakar ladang lantas api melompat ke hutan lantaran kurang jaga, maka
yang salah didenda sampai 12 ringgit”.22
Dari contoh membakar hutan dengan kearifan lokal pada beberapa daerah
Indonesia, dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat membenarkan aturan
membuka hutan dengan cara membakar, tetapi melalui aturan yang ketat sehingga
tidak menyebabkan kebakaran hutan dan lahan yang luas. Namun, praktik membakar
lahan yang dilaksanakan di Riau dan Kalimantan Barat masih menggabungkan antara
teknik menebang dan membakar. Sementara itu, dalam ketentuan Undang-Undang
Kehutanan dan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
melarang perbuatan menebang pohon di dalam kawasan hutan apabila tidak memiliki
hak atau izin dari pejabat berwenang. Ketentuan pelarangan penebangan pohon diatur
dalam Pasal 50 Ayat (3) huruf e Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, yaitu:
“Setiap orang dilarang menebang pohon atau memanen atau memungut
hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat
berwenang”.
Selanjutnya, larangan penebangan pohon yang diatur dalam Pasal 12 huruf a, b, dan c
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan antara lain sebagai berikut:
8
July 201x : first_page – end_page
“Setiap orang dilarang:
a. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai
dengan izin pemanfatan hutan;
b. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki
izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berweanang:
c. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah”.
23 Mitchell, B., dkk. (2010). Pengelolaan Sumber Daya Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. Hlm. 254.
24 Taher, A. P. Peladang yang Dituduh Wiranto Biang Karhutla, Dibebaskan Pengadilan.
from https://antaranews.com/berita/1061652/wiranto-tegaskan-penindakan-hukum-
karhutla-keras-dan-tegas (Diakses pada 12 Maret 2020).
9
Jurnal ESENSI HUKUM,
ISSN: 1978-1520
oleh perilaku masyarakat yang telah berubah karena dipengaruhi oleh kehidupan
modernitas yang ditandai dengan kemajuan teknologi dan informasi. Disamping itu,
pembiaran pembakaran hutan oleh masyarakat terjadi karena ketidak mampuan
masyarakat dalam menghadapi kuasa modal dan beking yang dimiliki korporasi.
Seperti menurut dua laporan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Walhi, justru yang
korporasi dalam hal ini yang banyak melakukan aktivitas pembakaran hutan melalui
orang-orang suruhannya. Sebagaimana banyak contoh peristiwa pencemaran dan
kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia.28
B. Penegakan Hukum terhadap Pelanggaran Pembakaran Hutan dengan Cara
Kearifan Lokal
36.
30 Lihat Bab IX Tugas dan Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam
Undangan mengatur materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam,
Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
10
July 201x : first_page – end_page
yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum
konkrit. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses
konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das Sollen) yang bersifat umum
dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das Sein) tertentu.32
Sumber hukum yang digali dari Perda merupakan jenis peraturan yang
termasuk ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan dan mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat. Selanjutnya, jika pemerintah daerah melalui instrumen Perda
tidak dan/atau belum mengakui kearifan lokal membuka lahan dengan cara
membakar, lantas bagaimana cara penegakan hukumnya? Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Nyoman Serikat Putra Jaya, mengatakan
sumber hukum pidana di Indonesia bukan hanya pidana tertulis tetapi juga pidana
tidak tertulis. Secara formal, ketika Belanda memberlakukan Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandch Indie (1 Januari 1918), hukum pidana adat memang tidak diberlakukan.
Tetapi secara materil tetap berlaku dan diterapkan dalam praktik peradilan. Setelah
kemerdekaan, pidana adat mendapat tempat lewat Undang-Undang Darurat No. 1 Drt
1951. Pasal 5 ayat (3) huruf b undang-undang ini menjelaskan tentang pidana adat
yang tidak ada bandinganya dalam KUHP, pidana adat yang ada bandingannya dalam
KUHP, dan sanksi adat. Sanksi adat dapat dijadikan pidana pokok atau pidana utama
oleh hakim dalam memeriksa dan mengadili perbuatan yang menurut hukum yang
hidup dianggap sebagai tindak pidana yang tidak ada bandingannya dalam KUHP.33
Hukum adat adalah himpunan peraturan tentang perilaku bagi orang pribumi
dan timur asing pada satu pihak mempunyai sanksi (karena bersifat hukum), dan pada
pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat).34 Ciri utama
hukum adat adalah adanya peranan besar dari lembaga-lembaga peradilan dan
partisipasi yang luas bagi kelompok-kelompok sosial atau individu-individu di
masyarakat dalam menentukan arah pembangunan hukum.35 Prof. Nyoman Serikat
memberikan contoh penerapan hukum adat melalui putusan MA No. 984 K/Pid/1996
tanggal 30 Januari 1996. Dalam putusan ini, majelis hakim menyatakan jika pelaku
(dader) perzinahan telah dijatuhi sanksi adat atau mendapat reaksi adat oleh para
pemangku desa adat, dimana hukum adat masih dihormati dan hidup subur, maka
tuntutan oleh jaksa harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Putusan lain yang dikutip Guru Besar Undip Semarang itu adalah Putusan MA
No. 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991. Dalam putusan ini majelis
mempertimbangkan ‘seseorang yang telah melakukan perbuatan yang menurut
hukum yang hidup (hukum adat) di daerah tersebut merupakan suatu perbuatan yang
melanggar hukum adat, yaitu ‘delik adat’. Kepala dan para pemuka adat memberikan
reaksi reaksi adat (sanksi adat) terhadap si pelaku tersebut. Sanksi adat itu telah
dilaksanakan oleh terhukum. Terhadap si terhukum yang sudah dijatuhi ‘reaksi adat’
oleh kepala adat tersebut, maka ia tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya)
sebagai terdakwa dalam persidangan badan peradian negara (Pengadilan Negeri)
dengan dakwaan yang sama, melanggar hukum adat, dan dijatuhi hukuman penjara
menurut KUHP (Pasal 5 ayat (3) huruf b UU Darurat No. 1 Drt 1951). Dalam keadaan
11
Jurnal ESENSI HUKUM,
ISSN: 1978-1520
yang demikian itu, maka pelimpahan berkas perkara serta tuntutan kejaksaan di
Pengadilan Negeri harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).36
Peran masyarakat (dalam hal ini masyarakat adat) sangat dibutuhkan dalam
pencegahan kebakaran hutan dan lahan seperti yang diatur dalam Pasal 70 ayat (3)
huruf e UUPLH, “mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam
rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.” Hukum yang hidup dalam masyarakat
adat perlu diakomodir dan dilaksanakan dalam rangka pelestarian lingkungan serta
pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Dengan demikian, penegakan hukum
terhadap kepala keluarga yang terbukti melanggar ketentuan membuka lahan dengan
cara membakar dapat dipidana menurut ketentuan hukum masyarakat adat setempat.
Penegakan hukum positif tidak perlu lagi diberikan kepada kepala keluarga yang
sudah dijatuhi hukuman pidana adat. Penegakan melalui hukum positif dapat
diberikan apabila masyarakat adat belum/tidak memberikan sanksi pidana terhadap
pelaku yang melanggar tata cara pembukaan lahan dengan cara kearifan lokal.
4. Kesimpulan
Secara garis besar, dari pembahasan yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan
bahwa:
1. Kearifan lokal masyarakat Indonesia dalam membuka lahan dengan cara
membakar masih eksis dan diakui secara konstitusional. Kearifan lokal tersebut
dilakukan sebagai upaya untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan karena
praktiknya dilakukan dengan cara membuat sekat bakar terdahulu sebelum
melakukan pembukaan lahan.
2. Penegakan hukum terhadap kepala keluarga yang menyimpangi atau
melanggar tata cara membakar hutan dengan cara kearifan lokal dapat
dilaksanakan oleh masyarakat adat. Penegakan hukum oleh masyarakat adat
(dewan adat) dilakukan dengan memberi sanksi pidana adat. Penegakan
hukum positif dilakukan ketika masyarakat adat belum/tidak menjatuhkan
sanski pidana adat terhadap kepala keluarga yang melanggar ketentuan
kearifan lokal.
12
July 201x : first_page – end_page
Soekanto, S. (2015). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Soekanto, S., & Mamudji, S. (2006). Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Wahidin, S. (2014). Dimensi Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wulansari, D. C. (2010). Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika
Aditama.
Jurnal
Internet
Hendrawan, P. (2018). Simbur Cahaya, Kearifan Lokal yang Kekal. Retrieved from
https://pantaugambut.id/cerita/simbur-cahaya-kearifan-lokal-yang-kekal/ ,
diakses 11 November 2019.
Hukum Online. (2016). Putusan-Putusan Pidana yang menghargai Pidana Adat. Retrieved
from https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5746f66360762/putusan-
putusan-yang-menghargai-pidana-adat , diakses 20 Maret 2020.
Lubis, U. (2017). Uji materi UU Lingkungan Hidup Ancam Kearifan Lokal. Retrieved from
https://rappler.com/indonesia/berita/171407-uji-materi-uu-lingkungan-hidup-
ancam-kearifan-lokal , diakses 17 April 2019.
National Geographic Indonesia. (2011). Cara Masyarakat Dayak Membatasi Pembakaran
Hutan. Retrieved from https://nationalgeographic.grid.id/read/13279586/cara-
masyarakat-dayak-membatasi-pembakaran-hutan , diakses 11 November 2019.
Nurdin, N. (2013). Kebakaran Hutan Riau: Saatnya Belajar Kearifan Lokal?. Retrieved from
https://nationalgeographic.grid.id/read/13284467/kebakaran-hutan-riau-
saatnya-belajar-kearifan-lokal , diakses 11 November 2019.
Putusan PN Sintang. (2019). Nomor perkara 252/Pid.B/LH/2019/PN Stg. Retrieved
from https://sipp.pn-sintang.go.id/index , diakses 20 Maret 2020.
Risnandar, C. (2018). Kebakaran Hutan. Retrieved from
https://jurnalbumi.com/knol/kebakaran-hutan/ , diakses 10 November 2019.
13
Jurnal ESENSI HUKUM,
ISSN: 1978-1520
Sarwanto, A. (2015). Menteri Siti Pertimbangkan Revisi UU Lingkungan Hidup. Retrieved
from https://cnnindonesia.com/20151026155811-20-87445/menteri-siti-
pertimbangkan-revisi-uu-lingkungan-hidup , diakses 11 Januari 2019.
Saturi, S. (2017). Akhiri Gugatan, APHI-GAPKI Cabut Uji Materi UU Lingkungan.
Retrieved from https://mongabay.co.id/2017/06/12/akhiri-gugatan-aphi-
gapki-cabut-uji-materi-uu-lingkungan , diakses 18 April 2019.
Taher, A. P. (2020). Peladang yang Dituduh Wiranto Biang Karhutla, Dibebaskan
Pengadilan. Retrieved from https://tirto.id/peladang-yang-dituduh-wiranto-
biang-karhutla-dibebaskan-pengadilan-eD5a , diakses 12 Maret 2020.
Zulfikar, M. (2019). Wiranto Tegaskan Penindakan Hukum Karhutla Keras dan Tegas.
Retrieved from https://antaranews.com/berita/1061652/wiranto-tegaskan-
penindakan-hukum-karhutla-keras-dan-tegas , diakses 12 Maret 2020.
Peraturan Perundang-Undangan
14
July 201x : first_page – end_page