Microscopic Identification of Taenia Solium in Pig Farms
Microscopic Identification of Taenia Solium in Pig Farms
Heri Setiyo Bekti 1, Nur Habibah2, Luh Putu Rinawati3, Ni Putu Candra Dewi Pradnya Yasa4,
Oktavelendi Dhaneta Graha Rindi5, Ni Km Ayu Kusuma Dewi6, Ni Putu Ayu Dani Savitri7,
Aprilia Rakhmawati8
Prodi Teknologi Laboratorium Medis, Politeknik Kesehatan Denpasar, Indonesia
Article history Taenia solium is a zoonosis found all over the world, especially in developing
countries. T solium can cause taeniasis and cysticercosis in humans. Pigs as intermediate
Received date hosts can be infected with T solium which causes porcine cysticercosis. T solium can
01 Mar 2021 infect muscle, skin, eye, and brain tissue which can develop into neurocysticercosis.
Neurocysticercosis is the cause of 30% of cases of epilepsy in the world. In Denpasar
Revised date city, pigs are one type of livestock. A large number of pig farms and the Balinese’s
07 Mar 2021 people's habit of consuming pork is one of the sources of T solium infection. This
research was conducted to determine T solium eggs in pig feces. The study was
Accepted date conducted microscopically on 31 samples with simple random sampling technique. The
08 Apr 2021 results showed that of the 31 samples examined, 54.8% (17 samples) were positive for T
solium eggs. This indicates that the pig farms in Denpasar city have been infected with T
solium. Pig farming in Denpasar city was done traditionally and kept indoors. However,
Keywords: the breeders pay less attention to pig health and environmental sanitation. Also, pigs are
slaughtered privately by breeders because there are no slaughterhouses. Lack of
Cysticercosis; supervision of pork circulating in the community is also the cause of T solium infection.
Pig; Therefore, it is necessary to carry out supervision by the local government on pig farms
Taenia solium. as well as supervision of pork consumed by the public to prevent and eradicate T
solium infection.
Kata kunci: Taenia solium merupakan zoonosis yang ditemukan di seluruh dunia, terutama di negara-
negara berkembang. T solium dapat menyebabkan taeniasis dan sistiserkosis pada
Cysticercosis; manusia. Babi sebagai hospes perantara yang dapat terinfeksi T solium yang
Babi; menyebabkan sistiserkosis babi. T solium dapat menginfeksi jaringan otot, kulit, mata,
Taenia solium. serta otak yang dapat berkembang menjadi neurocysticercosis. Neurocysticercosis
merupakan penyebab 30% kasus epilepsi di dunia. Di kota Denpasar, babi merupakan
salah satu jenis hewan ternak. Banyaknya peternakan babi dan kebiasaan masyarakat Bali
mengonsumsi daging babi merupakan salah satu sumber infeksi T solium. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui telur T solium pada feses babi. Penelitian dilakukan secara
mikroskopik terhadap 31 sampel dengan teknik simple random sampling. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dari 31 sampel yang diperiksa sebanyak 54,8% (17 sampel) positif
mengandung telur T solium. Hal ini menunjukkan bahwa peternakan babi di kota
Denpasar telah terinfeksi T solium. Peternakan babi di kota Denpasar dilakukan secara
tradisional dan dipelihara di dalam ruangan. Namun, para peternak kurang
memperhatikan kesehatan babi dan sanitasi lingkungan. Selain itu, babi disembelih
secara pribadi oleh peternak karena tidak ada tempat penyembelihan hewan. Kurangnya
pengawasan terhadap daging babi yang beredar di masyarakat juga menjadi penyebab
infeksi T solium. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengawasan oleh pemerintah setempat
terhadap peternakan babi serta pengawasan terhadap daging babi yang dikonsumsi
masyarakat untuk mencegah dan memberantas infeksi T solium.
Corresponding Author:
74
Bekti, Identifikasi Taenia solium secara Mikroskopis pada Peternakan Babi 75
hewan dapat digunakan untuk menentukan pemukiman yang terdapat disekitar peternakan.
strategi untuk mengontrol, mencegah, dan Kotoran ternak babi dapat dimanfaatkan sebagai
memberantas sistiserkosis pada hewan sehingga pupuk organik. Kotoran ternak yang tidak diolah
tidak sampai menular ke manusia (Wandra, et al., dapat mengganggu kebersihan lingkungan,
2011). sanitasi kandang, serta dapat menimbulkan bau
Babi merupakan salah satu komunitas tidak sedap di sekitar kandang (Sapanca, et al.,
ternak penghasil daging yang mempunyai potensi 2015). Oleh karena itu perlu diadakan
dan prospek yang baik. Hal ini dikarenakan laju penyuluhan tentang pengolahan limbah ternak
pertumbuhan yang cepat, tingginya jumlah anak menjaddi pupuk organik yang dapat dijual
perkelahiran serta memiliki tingkat adaptasi yang sehingga bisa menjadi pemasukan tambahan bagi
tinggi terhadap makanan dan lingkungan peternak.
menjadikan babi sebagai hewan ternak yang Dengan ditemukannya hasil positif telur T
memiliki potensi besar. Selain itu, pasar solium pada feses babi di peternakan babi di kota
komoditas babi masih terbuka lebar ke berbagai Denpasar, upaya pengendalian dan
negara (Kementerian Pertanian, 2016; Podung & pemberantasan infeksi T solium pada babi perlu
Asiani, 2018). dilakukan.
Di Bali, ternak babi merupakan salah satu Para peternak babi dapat memberikan obat
sumber pendapatan bagi masyarakatnya. Sekitar cysticidal sebagai pengobatan anti cacing.
80% penduduk Bali di area pedesaan memelihara Beberapa obat anti parasit yang telah diuji
babi. Hal ini berkaitan dengan mayoritas misalnya albendazole sulphoxide, albendazole,
penduduk yang non Muslim serta budaya yang praziquantel, oxfendazole, dan flubendazole.
ada. Kebiasaan masyarakat Bali mengonsumsi Pemberian oxfendazole paling disukai.
daging babi menjadi salah satu faktor banyaknya Oxfendazole merupakan golongan obat
peternakan babi di Bali. Selain itu, babi juga benzimidazole, obat ini tidak mahal, mudah
digunakan untuk keperluan upacara adat dan diberikan dan manjur melawan cacing baik
agama (Budaarsa, 2014). berupa larva maupun cacing dewasa. Dosis
Denpasar selain sebagai ibukota provinsi tunggal 30mg/kg dapat membunuh semua kista di
Bali, juga merupakan pusat kegiatan bisnis dan otot babi (Gabriël, et al., 2016; Gonzalez, et al.,
merupakan salah satu tujuan wisata popular bagi 2001, 2003). Selain dengan pemberian obat,
wisatawan nusantara dan mancanegara. Tidak sistiserkosis pada babi juga bisa diobati dengan
hanya karena ada banyak objek wisata, Kota tindakan pembedahan (operasi) (Estunigsih,
Denpasar juga memiliki beragam kuliner khas 2009).
Bali yang menjadi daya tarik bagi para Pencegahan infeksi T solium pada babi
wisatawan, salah satunya babi guling. Babi dapat dilakukan dengan penerapan peternakan
guling merupakan salah satu makanan khas Bali babi yang higienis dengan memperhatikan
yang populer selain ayam betutu (Dinas sanitasi lingkungan (Gilman, et al., 2012).
Pariwisata, 2016; Utama, 2017). Peternakan babi di kota Denpasar dilakukan
Peternakan babi yang terdapat dikota secara tradisional. Meskipun babi dikurung
Denpasar memiliki rerata +71 babi/peternak, dalam kandang dan tidak dilepas secara liar, para
yang umumnya dikelola dengan sistem peternak babi masih kurang memperhatikan
tradisonal, yaitu lokasi yang dekat dengan sanitasi kandang terutama penyemprotan
pemukiman/tempat tinggal dan akses yang cukup desinfektan.
bebas, yang bertujuan memudahkan dalam hal Para peternak perlu memperhatikan
perawatan sehari-hari. Peternakan babi yang beberapa hal terkait sanitasi seperti, air, udara,
dekat dengan pemukiman dapat menyebabkan pakan, lingkungan, peralatan, termasuk pekerja
resiko terjadinya taeniasis, faktor resiko taeniasis kandang. Meskipun sanitasi di peternakan kota
pada manusia dan babi adalah dengan Denpasar sudah tergolong baik, masih perlu
keberadaaan cacing T solium diantara dilakukan penyemprotan desinfektan pada
pemukiman penduduk (Ito, et al., 2003), hal ini kandang ternak secara teratur. Dengan begitu,
karena kemampuan bebarapa serangga yang kandang dan lingkungan di sekitarnya tetap
dapat menyimpan telur cacing telur T solium dan bersih sehingga mampu mencegah
menyimpan telur pada saluran pencernaanya berkembangnya penyakit pada babi. Kandang
selama beberapa minggu. babi yang dibuat juga harus memenuhi
Peternakan belum melakukan pengelolan persyaratan.
pembuangan limbah kotoran peternakan dengan Selain sanitasi, para peternak juga perlu
baik, dimana pengelolalan limbah kotoran masih memperhatikan pakan yang diberikan. Babi
berdekatan dengan saluran limbah dari membutuhkan air, protein, mineral, energi, dan
Bekti, Identifikasi Taenia solium secara Mikroskopis pada Peternakan Babi 79
vitamin agar pertumbuhannya optimal. Pakan ini memiliki sensitivitas yang tinggi akan tetapi
yang diberikan dapat memberikan efek bagi spesifitasnya rendah, yang disebabkan morfologi
pertumbuhan dan kesehatan babi. Patokan utama telur pada spesies Taenia spp yang mirip, serta
dalam pemberian pakan babi adalah kebutuhan pengamatan struktur internal proglotid untuk
protein dan energinya. menentukan spesies Taenia sp. (Gilman, et al.,
Pemberian obat cacing dan vaksin terhadap 2012)
babi juga harus dilakukan sesuai jadwal. Telur T solium dapat bertahan selama
Misalnya pemberian vaksin hog cholera/clasiccal delapan minggu di lingkungan luar hospes, serta
swine fever. Vaksinasi dilakukan agar babi infektif baik bagi manusia serta babi (Eom,
memiliki antibodi terhadap agen penyakit yang 2011). T solium pada babi dapat ditemukan pada
dapat menyerang babi seperti Hog Cholera, daging lidah, jantung, otak, bahu, dan leher
Pasteurella/SE, dan lain-lain. Vaksinasi sangat (Estunigsih, 2009).
penting dan harus dilakukan karena waktu hidup Diagnosis taeniasis dapat dilakukan
babi yang cukup lama yaitu sekitar 5 tahun. dengan mengidentifikasi telur dan proglotid
Pemberian obat cacing/antelmintika digunakan cacing pada feses secara mikroskopik. Telur
untuk mengurangi atau membasmi cacing yang cacing Taenia berbentuk spherical, mengandung
ada dalam rumen usus atau jaringan tubuh babi. embrio, dan berwarna coklat. Pada larutan garam
Selain obat cacing, babi juga perlu diberikan jenuh, telur akan mengapung. Dengan cara
suplemen, vitamin, serta anti bakteri agar membedakan morfologinya, proglotid Taenia
kesehatan babi terjaga dan mikroorganisme dapat dibedakan dari cacing pita lainnya (Eom, et
penyebab penyakit yang ada di dalam tubuh babi al., 2011; Estunigsih, 2009).
terbunuh (Kementerian Pertanian, 2016; Sapanca, Babi rentan terhadap beberapa penyakit
et al., 2015). salah satunya sistiserkosis. Daging babi yang
Di kota Denpasar, para peternak juga terinfeksi sistiserkosis dilarang untuk
menyembelih babi secara pribadi dikarenakan diperjualbelikan dan harus dimusnahkan
tidak adanya tempat pemotongan hewan di sehingga akan mengakibatkan kerugian bagi para
sekitar peternakan. Babi yang dipotong juga peternak. Pemahaman mengenai kebersihan dan
tanpa melalui pemeriksaan kesehatan ternak. kesehatan ternak dapat membuat produksi daging
Selain menyembelih sendiri, para peternak juga babi meningkat. Selain itu, para peternak juga akan
menjual sendiri daging yang sudah disembelih memahami penanganan ternak yang bermasalah
tanpa melalui inspeksi daging yang seharusnya sebelum terlambat (Bulu, et al., 2019).
dilakukan oleh pemerintah setempat. Upaya pengendalian dan pemberantasan
Oleh karena itu, penyuluhan mengenai infeksi T solium pada babi juga dapat dilakukan
kebersihan dan kesehatan hewan ternak perlu melalui adanya pengawasan terhadap daging
dilakukan kepada para peternak babi di kota yang dijual, pengolahan daging babi yang benar
Denpasar. Agar para peternak memahami serta tidak mengonsumsi daging babi mentah
pentingnya sanitasi kandang dan kesehatan (Gilman, et al., 2012). Kebiasaan masyarakat
ternaknya (Bulu, et al., 2019). Selain itu juga Bali mengonsumsi daging babi mentah dapat
perlu dilakukan pemeriksaan feses babi secara menjadi faktor resiko terjadinya taeniasis.
rutin untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing Inspeksi daging yang dilakukan oleh pemerintah
pada babi. Dengan mengetahui infeksi cacing setempat perlu dilakukan untuk mencegah
maka pengobatan dapat segera dilakukan peredaran daging babi yang terinfeksi T solium di
(Andriaty, 2015; Kementerian Pertanian, 2016). masyarakat.
Telur cacing dapat ditemukan di feses Tidak adanya tempat pemotongan hewan
dengan pemeriksaan secara mikroskopik. di sekitar peternakan babi di Denpasar, juga
Pengamatan secara mikroskopis merupakan alat menjadi salah satu faktor resiko T solium yang
diagnostik standar, yang masih banyak digunakan ada di babi menular ke manusia. Sehingga
sebagai pemeriksaan rutin di banyak pemerintah daerah bersama masyarakat perlu
laboratorium (Gilman, et al., 2012). Metode ini mengadakan tempat pemotongan hewan yang
menggunakan alat dan bahan yang mudah memenuhi syarat. Hal ini dimaksudkan agar
digunakan. Selain itu, langkah pemeriksaannya daging babi yang beredar di masyarakat tidak
cukup sederhana. Sehingga sampai saat ini terinfeksi T solium.
pemeriksaan telur cacing secara mikroskopik Tindakan pencegahan, pengendalian, dan
masih menjadi pemeriksaan yang paling banyak pemberantasan infeksi T solium sangat penting
digunakan di laboratorium untuk diagnosis dilakukan. Manusia bisa terinfeksi T solium jika
taeniasis dan sistiserkosis (Morales-Gomez, et mengonsumsi daging atau jeroan babi yang
al., 2017; Nezar, 2014), meskipun pemeriksaan mentah atau dimasak dengan tidak benar
80 Jurnal Kesehatan, Volume 12, Nomor 1, Tahun 2021, hlm 74-82
DAFTAR PUSTAKA
Gonzalez, A. E., Garcı, H. H., Gilman, R. H., dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Tsang, V. C. W., & Working, C. (2003). Negeri Semarang.
Control of Taenia solium. Acta Tropica, 87, Parija, S. C., & Ponnambath, D. K. (2013).
103-109. https://doi.org/10.1016/S0001- Laboratory diagnosis of Taenia asiatica in
706X(03)00025-1 humans and animals. Tropical
Gonzalez, A. E., Gavidia, C., Falcon, N., Bernal, T., Parasitology, 3(2), 120–124.
Verastegui, M., Garcia, H. H., Gilman, R. H., https://doi.org/10.4103/2229-5070.122127
& Tsang, V. C. W. (2001). Protection of Pigs Podung, A. J., & Asiani, S. (2018). Upaya
with Cysticercosis from Further Infections Peningkatan Pengetahuan Peternak Babi
After Treatment with Oxfendazole. Am. J. terhadap Penyakit Hog Cholera di
Trop. Med., 65(1), 15-18. Kelurahan Kalasey. Jurnal LPPM Bidang
Hotez, P. J., Brindley, P. J., Bethony, J. M., King, Sains Dan Teknologi, 5(59), 19-25.
C. H., Pearce, E. J., & Jacobson, J. (2008). Prasad, K. N., Prasad, A., Verma, A., & Singh,
Helminth infections: the great neg;ected A. K. (2008). Human cysticercosis and
tropical diseases. The Journal of Clinical Indian scenario : a review. J. Biosci, 33(4),
Investigation, 118(4), 1311–1321. 571–582.
https://doi.org/10.1172/JCI34261 Rahayu, S. (2015). Prevalensi nematodiasis
Ito, A., Nakao, M., & Wandra, T. (2003). Human saluran pencernaan pada sapi bali.
taeniasis and cysticercosis in Asia. The [Skripsi]. Makassar: Fakultas Peternakan,
Lancet, 362, 1918-1920. Universitas Hasanuddin.
Kementerian Pertanian. (2016). Pedoman Sapanca, P. L. Y., Cipta, I. W., & Suryana, I. M.
Pelaksanaan Pengembangan Budidaya (2015). Peningkatan Manajemen
Babi Tahun 2016. Kementerian Pertanian. Kelompok Ternak Babi di Kabupaten
Mayta, H., Gilman, R. H., Prendergast, E., Bangli. Agrimerta, 05(09), 18-25.
Castillo, J. P., Tinoco, Y. O., Garcia, H. Soedarto. (2012). Penyakit Zoonosis Manusia
H., Gonzalez, A. E., & Sterling, C. R. Ditularkan oleh Hewan. Sagung Seto.
(2008). Nested PCR for specific diagnosis Sudewi, A. A. R., Wandra, T., Artha, A., Nkouawa,
of Taenia solium taeniasis. Journal of A., & Ito, A. (2008). Taenia solium
Clinical Microbiology, 46(1), 286–289. cysticercosis in Bali , Indonesia : serology
https://doi.org/10.1128/JCM.01172-07 and mtDNA analysis. Transactions of the
Montresor, A., & Palmer, K. (2006). Taeniasis / Royal Society of Tropical Medicine and
cysticercosis trend worldwide and Hygiene, 102, 96-98.
rationale for control. Parasitol Int, 55, 1–4. https://doi.org/10.1016/j.trstmh.2007.06.018
https://doi.org/10.1016/j.parint.2005.11.04 Utama, I. G. B. R. (2017). Integrasi daya tarik
5.Taeniasis/cysticercosis wisata kota denpasar bali. Jurnal
Morales-Gomez, M. A., Gárate, T., Blocher, J., Perkotaan, 9(1), 48-66.
Devleesschauwer, B., Smit, G. S. ., Walker, M., & Zunt, J. R. (2005). Neuroparasitic
Schmidt, V., Perteguer, M. J., Ludovisi, Infections: Cesyodes, Trematodes, and
A., Pozio, E., Dorny, P., Gabriel, S., & Protozoans. Semin Neurol, 25(3), 262-277.
Winkler, A. S. (2017). Present status of https://doi.org/10.1055/s-2005-
laboratory diagnosis of human taeniosis / 917663.Neuroparasitic
cysticercosis in Europe. Eur J Clin Wandra, T., Depary, A. A., Sutisna, P., Margono, S.
Microbiol Infect DIs, 36, 2029–2040. S., Suroso, T., Okamoto, M., Craig, P. S., &
https://doi.org/10.1007/s10096-017-3029-1 Ito, A. (2006). Taeniasis and cysticercosis in
Murrell, K. D., Dorny, P., Flisser, A., Geerts, S., Bali and North Sumatra , Indonesia.
Kyvsgaard, N. C., Mcmanus, D. P., Nash, T. Parasitology Interanational, 55, S155-S160.
E., & Pawlowski, Z. S. (2005). https://doi.org/10.1016/j.parint.2005.11.024
WHO/FAO/OIE Guidelines for the Wandra, T., Ito, A., Swastika, K., Dharmawan, N.
surveillance, prevention and control of S., Sako, Y., & Okamoto, M. (2013).
taeniosis/cysticercosis (K. D. Murrell (ed.)). Taeniases and cysticercosis in Indonesia:
Nasir, A., Muhith, A., & M.E., I. (2011). Buku Past and present situations. Parasitology,
Ajar Metodologi Penelitian Kesehatan. 1st 140(13), 1608-1616.
ed. Nuha Medika. https://doi.org/10.1017/S0031182013000863
Nezar, M. R. (2014). Jenis Cacing pada Feses Wandra, T., Sudewi, A. R., Swastika, I. K.,
Sapi di TPA Jatibarang dan KTT Sutisna, P., Dharmawan, N. S., Yulfi, H.,
Sidomulyo Desa Nongkosawit Semarang. Darlan, D. M., Kapti, I. N., Samaan, G.,
[Skripsi]. Semarang: Fakultas Matematika Sato, M. O., Okamoto, M., Sako, Y., & Ito,
82 Jurnal Kesehatan, Volume 12, Nomor 1, Tahun 2021, hlm 74-82