0% found this document useful (0 votes)
49 views9 pages

Microscopic Identification of Taenia Solium in Pig Farms

This document summarizes a study that identified Taenia solium eggs microscopically in pig farms in Denpasar City, Bali, Indonesia. The study examined 31 pig fecal samples using a simple random sampling technique. Microscopic examination found that 54.8% (17 samples) tested positive for T. solium eggs, indicating infection of the pig farms. Pig farming in Denpasar is traditionally done indoors with little attention to pig health or environmental sanitation. There is also a lack of pork inspection, allowing the transmission of T. solium. Improved inspection of pig farms and pork is needed to prevent and eliminate T. solium infection.

Uploaded by

Amal Web
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
49 views9 pages

Microscopic Identification of Taenia Solium in Pig Farms

This document summarizes a study that identified Taenia solium eggs microscopically in pig farms in Denpasar City, Bali, Indonesia. The study examined 31 pig fecal samples using a simple random sampling technique. Microscopic examination found that 54.8% (17 samples) tested positive for T. solium eggs, indicating infection of the pig farms. Pig farming in Denpasar is traditionally done indoors with little attention to pig health or environmental sanitation. There is also a lack of pork inspection, allowing the transmission of T. solium. Improved inspection of pig farms and pork is needed to prevent and eliminate T. solium infection.

Uploaded by

Amal Web
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 9

Jurnal Kesehatan

Volume 12, Nomor 1, Tahun 2021


ISSN 2086-7751 (Print), ISSN 2548-5695 (Online)
http://ejurnal.poltekkes-tjk.ac.id/index.php/JK

Identifikasi Taenia solium secara Mikroskopis pada Peternakan Babi

Microscopic Identification of Taenia solium in Pig Farms

Heri Setiyo Bekti 1, Nur Habibah2, Luh Putu Rinawati3, Ni Putu Candra Dewi Pradnya Yasa4,
Oktavelendi Dhaneta Graha Rindi5, Ni Km Ayu Kusuma Dewi6, Ni Putu Ayu Dani Savitri7,
Aprilia Rakhmawati8
Prodi Teknologi Laboratorium Medis, Politeknik Kesehatan Denpasar, Indonesia

ARTICLE INFO ABSTRACT/ ABSTRAK

Article history Taenia solium is a zoonosis found all over the world, especially in developing
countries. T solium can cause taeniasis and cysticercosis in humans. Pigs as intermediate
Received date hosts can be infected with T solium which causes porcine cysticercosis. T solium can
01 Mar 2021 infect muscle, skin, eye, and brain tissue which can develop into neurocysticercosis.
Neurocysticercosis is the cause of 30% of cases of epilepsy in the world. In Denpasar
Revised date city, pigs are one type of livestock. A large number of pig farms and the Balinese’s
07 Mar 2021 people's habit of consuming pork is one of the sources of T solium infection. This
research was conducted to determine T solium eggs in pig feces. The study was
Accepted date conducted microscopically on 31 samples with simple random sampling technique. The
08 Apr 2021 results showed that of the 31 samples examined, 54.8% (17 samples) were positive for T
solium eggs. This indicates that the pig farms in Denpasar city have been infected with T
solium. Pig farming in Denpasar city was done traditionally and kept indoors. However,
Keywords: the breeders pay less attention to pig health and environmental sanitation. Also, pigs are
slaughtered privately by breeders because there are no slaughterhouses. Lack of
Cysticercosis; supervision of pork circulating in the community is also the cause of T solium infection.
Pig; Therefore, it is necessary to carry out supervision by the local government on pig farms
Taenia solium. as well as supervision of pork consumed by the public to prevent and eradicate T
solium infection.

Kata kunci: Taenia solium merupakan zoonosis yang ditemukan di seluruh dunia, terutama di negara-
negara berkembang. T solium dapat menyebabkan taeniasis dan sistiserkosis pada
Cysticercosis; manusia. Babi sebagai hospes perantara yang dapat terinfeksi T solium yang
Babi; menyebabkan sistiserkosis babi. T solium dapat menginfeksi jaringan otot, kulit, mata,
Taenia solium. serta otak yang dapat berkembang menjadi neurocysticercosis. Neurocysticercosis
merupakan penyebab 30% kasus epilepsi di dunia. Di kota Denpasar, babi merupakan
salah satu jenis hewan ternak. Banyaknya peternakan babi dan kebiasaan masyarakat Bali
mengonsumsi daging babi merupakan salah satu sumber infeksi T solium. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui telur T solium pada feses babi. Penelitian dilakukan secara
mikroskopik terhadap 31 sampel dengan teknik simple random sampling. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dari 31 sampel yang diperiksa sebanyak 54,8% (17 sampel) positif
mengandung telur T solium. Hal ini menunjukkan bahwa peternakan babi di kota
Denpasar telah terinfeksi T solium. Peternakan babi di kota Denpasar dilakukan secara
tradisional dan dipelihara di dalam ruangan. Namun, para peternak kurang
memperhatikan kesehatan babi dan sanitasi lingkungan. Selain itu, babi disembelih
secara pribadi oleh peternak karena tidak ada tempat penyembelihan hewan. Kurangnya
pengawasan terhadap daging babi yang beredar di masyarakat juga menjadi penyebab
infeksi T solium. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengawasan oleh pemerintah setempat
terhadap peternakan babi serta pengawasan terhadap daging babi yang dikonsumsi
masyarakat untuk mencegah dan memberantas infeksi T solium.

Corresponding Author:

Heri Setiyo Bekti


Prodi Teknologi Laboratorium Medis, Politeknik Kesehatan Denpasar, Indonesia
Email: [email protected]

74
Bekti, Identifikasi Taenia solium secara Mikroskopis pada Peternakan Babi 75

PENDAHULUAN data menunjukkan bahwa taeniasis paling banyak


ditemukan di tiga propinsi yaitu Papua, Bali, dan
Cacing merupakan parasit manusia yang Sumatera Utara. Selain itu, penyakit ini juga
ada sejak waktu yang lama (Hotez, et al., 2008) ditemukan di Lampung, Sulawesi Utara,
dan sampai sekarang masih menjadi masalah Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, dan
kesehatan utama di dunia, dengan jumlah Kalimantan Barat (Wandra, et al., 2011, 2013).
penderita lebih dari 1,5 juta jiwa. Penyebab Di Bali, kasus taeniasis/sistiserkosis pertama kali
kematian tertinggi disebabkan oleh Taenia spp. dilaporkan pada tahun 1928 pada hewan ternak
(WHO, 2016). dan babi dan mencapai kasus tertinggi pada tahun
Di Asia terdapat tiga spesies Taenia yaitu 1975 sampai dengan 1990, dengan data kasus
Taenia saginata, Taenia solium, dan Taenia taeniasis 50 pasien/tahun. Pada tahun 2017,
asiatica. Dari ketiga spesies tersebut, T solium kasus taeniasis di Bali dapat diturunkan dan
mempunyai peran yang paling besar terhadap hanya ditemukan kasus sporadik di beberapa
masalah kesehatan. Taenia saginata dan Taenia tempat. Tahun 2018, Winianti dkk mendeteksi 2
solium termasuk ke dalam kelas cestoda dari kasus taeniasis dari 98 orang yang diteliti di
filum Plathyhelminthes. Cacing pada kelas Karangasem (Winianti, et al., 2018). Daerah
cestoda mempunyai bentuk pipih dan tubuhnya dengan resiko tinggi diperlukan upaya
terdiri dari segmen-segmen yang disebut pencegahan yang menyeluruh dan program
proglotid. Pada tiap proglotid mempunyai pengawasan yang sesuai untuk mencegah potensi
susunan alat kelamin jantan dan betina, yang transmisi taeniasis (Wandra, et al., 2011). Selain
disebut sebagai hemaprodit. Infeksi yang itu, masyarakat Bali juga mempunyai kebiasaan
disebabkan oleh T solium dapat terjadi dalam dua memakan lawar babi. Lawar merupakan makanan
kondisi, yaitu taeniasis yang merupakan infeksi tradisional penduduk Bali yang terbuat dari
yang disebabkan cacing dewasa dan sistiserkosis daging babi mentah.
yang merupakan infeksi yang disebabkan akibat Diagnosa laboratorium untuk identifikasi
larva cacing. Hospes perantara T solium adalah taeniasis pada umumnya dilakukan dengan
babi. Identifikasi infeksi lebih mudah ditegakkan menggunakan metode morfologi, yaitu dengan
dengan konfirmasi telur atau larva pada babi cara menemukan telur dan proglatid pada sampel
karena identifikasi dari lingkungan sangat sulit feses penderita. Pada metode morfologi, dapat
dilakukan (Garcia, et al., 2014; Flisser, 2013; Ito, digunakan pewarna untuk mengamati morfologi
et al., 2003). telur atau proglatid, yaitu pewarna Ziehl-Neelsen
Infeksi pada manusia terjadi melalui larva dan Hematoxylin-Eosin (Parija & Ponnambath,
cacing yang terdapat pada daging babi dan telur 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Wandra,
cacing yang dikleluarkan oleh karier, pada dkk (2011), menyebutkan bahwa masih terdapat
umumnya manusia (Wandra et al., 2013). Infeksi potensi endemik taeniasis di Bali. Tahun 2011
larva cacing yang berkembang pada jaringan ditemukan 80 kasus taeniasis karena T saginata,
otot, kulit, mata, serta otak dapat berkembang 2 kasus karena infeksi T saginata dan T solium,
menjadi neurocysticercosis. Neurocysticercosis serta 12 kasus neurocysticercosis yang terjadi
merupakan penyebab 30% kasus epilepsi di dunia pada manusia. Penelitian yang dilakukan oleh
(Garcia et al., 2014; Walker & Zunt, 2005; Dharmawan, dkk (2012) melaporkan bahwa
WHO, 2016). Penderita infeksi ini umumnya terdapat 50 sampel dari 641 babi yang terdapat di
asimptomatik dalam jangka waktu 10 tahun dan Kabupaten Karangasem menunjukkan hasil
menjadi karier (Garcia, et al., 2014; Ito, et al., seropositif. Beberapa penelitian tersebut
2003). dilakukan di luar kota Denpasar. Padahal seperti
Peningkatan prevalensi taeniasis salah kita ketahui, Denpasar merupakan pusat kota di
satunya disebabkan karena adanya peningkatan Bali dan terdapat beberapa peternakan babi.
produksi daging babi yang menyebabkan Untuk mencegah terjadinya transmisi dan
terjadinya peningkatan peternakan babi, terutama mengetahui terjadinay infeksi cacing T solium,
peternakan babi dengan biaya rendah dengan terutama di wilayah kota Denpasar diperlukan
sanitasi yang buruk (Montresor & Palmer, 2006). informasi yang berbasis data hasil riset. Hal ini
Selain itu, konsumsi daging babi yang mentah juga akan meningkatkan keamanan dan
dan tidak dimasak dengan benar juga kenyamanan, terutama di bidang kesehatan
meningkatkan prevalensi infeksi (Wandra, et al., pariwisata mengingat kota Denpasar juga
2011). memiliki kunjungan wisatawan yang cukup
Berdasarkan data WHO tahun 2016, tinggi setiap tahunnya.
Indonesia merupakan salah satu negara endemik
T solium (WHO, 2016). Di Indonesia, beberapa
76 Jurnal Kesehatan, Volume 12, Nomor 1, Tahun 2021, hlm 74-82

METODE Penelitian ini telah mendapatkan


persetujuan etik (ethical approval) Nomor:
Penelitian ini merupakan penelitian LB.02.03/EA/KEPK/0324/2019 oleh Komisi Etik
deskriptif dengan desain observasional. Penelitian Kesehatan Politeknik Kesehatan
Penelitian ini digunakan untuk menggambarkan Denpasar.
taeniasis pada peternakan babi yang terdapat di
Kota Denpasar.
Sampel dalam penelitian ini berupa feses HASIL
babi. Pengumpulan sampel dilakukan dari
peternakan babi yang terdapat di Kabupaten Berdasarkan survei lapangan yang telah
Denpasar. Teknik sampling yang digunakan kami lakukan, di kota Denpasar terdapat 7
merupakan teknik simple random sampling. Total peternakan babi. Dari 7 peternakan babi yang
sampel dalam penelitian ini adalah 31 sampel ada, semua pemilik peternakan bersedia untuk
yang diambil secara proporsional dari 7 menjadi responden dalam penelitian ini dengan
peternakan babi yang ada di kota Denpasar. menyetujui informed concent yang telah
Instrumen yang digunakan adalah lembar disediakan.
informed concent, lembar wawancara, alat tulis, Dari hasil wawancara didapatkan rata-rata
serta kamera digital. Pengisian informed concent peternakan babi, memiliki 7 kandang babi,
dilakukan dengan wawancara terhadap pemilik dengan jumlah babi +30babi pada tiap
peternakan babi, untuk mendapatkan data peternakan, baik babi yang sudah deewasa
identitas pemilik peternakan serta kesedian maupun yang belum dewasa. Peternakan
terlibat pada penelitian ini, hanya responden yang umumnya mempunyai jarak yang dekat dengan
menyetujui informed concent yang kami sertakan pemukiman warga. Kondisi kandang dibuat
dalam penelitian ini. dengan tidak sepenuhnya tertutup, sehingga
Pengambilan sampel dilakukan sirkulasi udara dan pencahayaan cukup baik,
menggunakan lidi steril dan dimasukkan ke serta pembersihan kandang dilakukan tiap hari,
dalam wadah sampel. Sampel feses ditambahkan dengan melakukan penyemprotan air
2,5% potassium dikromat dengan perbandingan Pemeriksaan secara mikroskopik dilakukan
1:2 dan disimpan pada suhu kamar. Sampel untuk mengetahui ada tidaknya telur T solium
diperiksa secara mikroskopik dan hasilnya yang ada di feses babi. Sampel yang diperiksa
dimasukkan ke dalam kategori positif atau dikategorikan ke dalam kategori positif dan
negatif. negatif. Kategori positif ditunjukkan dengan
Sampel yang masuk ke dalam kategori ditemukannya telur T solium pada sampel.
positif merupakan sampel yang telah diperiksa Sedangkan kategori negatif ditunjukkan dengan
secara mikroskopik dan ditemukan adanya telur T tidak ditemukannya telur T solium.
solium. Hasil pemeriksaan mikroskopik T solium
Pemeriksaan sampel dilakukan di pada feses babi yang dilakukan terhadap 31
laboratorium molekuler Jurusan Analis sampel, ditemukan 54,8% (17 sampel) positif
Kesehatan Poltekkes Kemenkes Denpasar. yang mengandung telur T solium seperti
Sampel yang akan diperiksa ditambah larutan ditunjukkan pada tabel 1.
NaCl jenuh kemudian dihomogenkan. Kemudian
ditutup dengan cover glass dan didiamkan pada Tabel 1. Jumlah Pengamatan Mikroskopis
suhu 270C selama 15 menit. Larutan paling atas Feses Babi
diambil dan diteteskan pada obyek glass dengan Hasil Pengamatan Jumlah
ditambah larutan lugol 1%. Selanjutnya ditutup (+) Taenia 17
dengan cover glass. Sampel diamati (-) Taenia 14
menggunakan mikroskop dengan perbesaran Total 31
obyektif 40x.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Hasil positif ditunjukkan dengan
rumus : ditemukannya telur T solium pada sampel yang
x = F/n x K diperiksa. Hasil tersebut menggambarkan bahwa
Keterangan: babi yang dipelihara di peternakan babi yang ada
X : persentase di kota Denpasar telah terinfeksi T solium seperti
F : Frekuensi kategori variabel yang diamati yang terlihat pada Gambar 1.
N : jumlah sampel penelitian
K : Konstanta (100%) (Nasir et al., 2011)
Bekti, Identifikasi Taenia solium secara Mikroskopis pada Peternakan Babi 77

solium juga berbahaya karena dapat menular ke


manusia (Rahayu, 2015).
Di Indonesia, infeksi T solium masih
terabaikan. Penyakit ini tersebar di beberapa
wilayah dengan jumlah prevalensi yang
bervariasi. Hal ini berhubungan erat dengan
kebiasaan konsumsi daging babi serta sistem
peternakan babi. Peternakan babi tradisional
dengan biaya rendah dan sanitasi yang buruk
menjadi salah satu penyebab terjadinya infeksi T
solium. Babi dapat terinfeksi T solium karena
memakan makanan yang terkontaminasi feses
Gambar 1. Grafik Persentase (%) Pengamatan penderita (Dharmawan, et al., 2012; Flisser,
Mikroskopis Sampel Feses Babi 2013).
Terdapat 3 propinsi endemik
Pengamatan sampel feses babi yang taeniasis/sistiserkosis di Indonesia, yaitu: Papua,
diperoleh dari peternakan babi di kota Denpasar Bali, dan Sumatra Utara. Sedangkan di Lampung,
dilakukan secara mikroskopik. Hasil pemeriksaan Jakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi
sampel positif yang berarti mengandung telur T Utara, dan Nusa Tenggara Timur, kasus taeniasis
solium dapat dilihat seperti pada Gambar 2. dan sistiserkosis tersebar secara sporadik
(Wandra, et al., 2011, 2013).
Bali merupakan salah satu propinsi
endemik untuk taeniasis yang disebabkan T
saginata dan taeniasis/sistiserkosis yang
disebabkan T solium (Sudewi, et al., 2008;
Wandra et al., 2006). Tahun 2011, Wandra et al,
mendeteksi 80 kasus taeniasis karena T saginata,
2 kasus karena infeksi T saginata dan T solium,
serta 12 kasus neurocysticercosis yang terjadi
pada manusia (Wandra, et al., 2011).
Manusia dapat terinfeksi T solium jika
memakan daging mentah atau daging diolah
Sumber: Koleksi Pribadi, 2019 dengan tidak sempurna yang mengandung kista
Gambar 2. Hasil Pengamatan Mikroskopis larva. Setelah tertelan, kista larva masuk ke usus
Sampel Feses Babi manusia, di usus manusia kista larva berkembang
menjadi cacing dewasa. Infeksi pada manusia
dapat berupa taeniasis atau sistiserkosis (Mayta,
PEMBAHASAN et al., 2008).
Hingga saat ini laporan mengenai
T solium merupakan agen penyebab distribusi sistiserkosis pada babi dan hewan
sistiserkosis babi serta taeniasis dan sistiserkosis ternak di dunia, termasuk Indonesia sangat jarang
manusia. Infeksi T solium dianggap sebagai ditemukan. Umumnya data sistiserkosis pada
parasit zoonosis dengan konsekuensi kesehatan hewan hanya berdasarkan data dari inspeksi
dan dampak ekonomi yang signifikan bagi daging yang dilakukan oleh pemerintah daerah
masyarakat (Murrell, et al., 2005). Babi setempat. Sehingga data yang diperoleh
merupakan hospes perantara bagi T solium. Babi umumnya kurang dari keadaan sebenarnya dan
dapat terinfeksi T solium setelah menelan telur tidak lengkap. Hal ini yang menyebabkan kasus
cacing yang ada di feses manusia yang terinfeksi sistiserkosis pada hewan sangat jarang ditemui
(Dharmawan, et al., 2012; Flisser, 2013). bahkan seperti tidak ada kasus (Wandra, et al.,
Infeksi T solium pada babi dapat 2011).
menurunkan nilai jual daging babi sehingga Laporan mengenai sistiserkosis pada
berdampak pada perekonomian masyarakat hewan dapat tersedia jika dilakukan program
terutama produsen daging. Hal ini dikarenakan surveilans atau penelitian yang spesifik mengenai
daging atau jeroan babi yang terinfeksi dilarang sistiserkosis pada hewan. Dalam hal ini
dikonsumsi dan harus dimusnahkan (Prasad, et dukungan dari pemerintah setempat dan para
al., 2008). Selain itu, babi yang terinfeksi T peneliti sangat dibutuhkan. Dengan adanya
laporan mengenai distribusi sistiserkosis pada
78 Jurnal Kesehatan, Volume 12, Nomor 1, Tahun 2021, hlm 74-82

hewan dapat digunakan untuk menentukan pemukiman yang terdapat disekitar peternakan.
strategi untuk mengontrol, mencegah, dan Kotoran ternak babi dapat dimanfaatkan sebagai
memberantas sistiserkosis pada hewan sehingga pupuk organik. Kotoran ternak yang tidak diolah
tidak sampai menular ke manusia (Wandra, et al., dapat mengganggu kebersihan lingkungan,
2011). sanitasi kandang, serta dapat menimbulkan bau
Babi merupakan salah satu komunitas tidak sedap di sekitar kandang (Sapanca, et al.,
ternak penghasil daging yang mempunyai potensi 2015). Oleh karena itu perlu diadakan
dan prospek yang baik. Hal ini dikarenakan laju penyuluhan tentang pengolahan limbah ternak
pertumbuhan yang cepat, tingginya jumlah anak menjaddi pupuk organik yang dapat dijual
perkelahiran serta memiliki tingkat adaptasi yang sehingga bisa menjadi pemasukan tambahan bagi
tinggi terhadap makanan dan lingkungan peternak.
menjadikan babi sebagai hewan ternak yang Dengan ditemukannya hasil positif telur T
memiliki potensi besar. Selain itu, pasar solium pada feses babi di peternakan babi di kota
komoditas babi masih terbuka lebar ke berbagai Denpasar, upaya pengendalian dan
negara (Kementerian Pertanian, 2016; Podung & pemberantasan infeksi T solium pada babi perlu
Asiani, 2018). dilakukan.
Di Bali, ternak babi merupakan salah satu Para peternak babi dapat memberikan obat
sumber pendapatan bagi masyarakatnya. Sekitar cysticidal sebagai pengobatan anti cacing.
80% penduduk Bali di area pedesaan memelihara Beberapa obat anti parasit yang telah diuji
babi. Hal ini berkaitan dengan mayoritas misalnya albendazole sulphoxide, albendazole,
penduduk yang non Muslim serta budaya yang praziquantel, oxfendazole, dan flubendazole.
ada. Kebiasaan masyarakat Bali mengonsumsi Pemberian oxfendazole paling disukai.
daging babi menjadi salah satu faktor banyaknya Oxfendazole merupakan golongan obat
peternakan babi di Bali. Selain itu, babi juga benzimidazole, obat ini tidak mahal, mudah
digunakan untuk keperluan upacara adat dan diberikan dan manjur melawan cacing baik
agama (Budaarsa, 2014). berupa larva maupun cacing dewasa. Dosis
Denpasar selain sebagai ibukota provinsi tunggal 30mg/kg dapat membunuh semua kista di
Bali, juga merupakan pusat kegiatan bisnis dan otot babi (Gabriël, et al., 2016; Gonzalez, et al.,
merupakan salah satu tujuan wisata popular bagi 2001, 2003). Selain dengan pemberian obat,
wisatawan nusantara dan mancanegara. Tidak sistiserkosis pada babi juga bisa diobati dengan
hanya karena ada banyak objek wisata, Kota tindakan pembedahan (operasi) (Estunigsih,
Denpasar juga memiliki beragam kuliner khas 2009).
Bali yang menjadi daya tarik bagi para Pencegahan infeksi T solium pada babi
wisatawan, salah satunya babi guling. Babi dapat dilakukan dengan penerapan peternakan
guling merupakan salah satu makanan khas Bali babi yang higienis dengan memperhatikan
yang populer selain ayam betutu (Dinas sanitasi lingkungan (Gilman, et al., 2012).
Pariwisata, 2016; Utama, 2017). Peternakan babi di kota Denpasar dilakukan
Peternakan babi yang terdapat dikota secara tradisional. Meskipun babi dikurung
Denpasar memiliki rerata +71 babi/peternak, dalam kandang dan tidak dilepas secara liar, para
yang umumnya dikelola dengan sistem peternak babi masih kurang memperhatikan
tradisonal, yaitu lokasi yang dekat dengan sanitasi kandang terutama penyemprotan
pemukiman/tempat tinggal dan akses yang cukup desinfektan.
bebas, yang bertujuan memudahkan dalam hal Para peternak perlu memperhatikan
perawatan sehari-hari. Peternakan babi yang beberapa hal terkait sanitasi seperti, air, udara,
dekat dengan pemukiman dapat menyebabkan pakan, lingkungan, peralatan, termasuk pekerja
resiko terjadinya taeniasis, faktor resiko taeniasis kandang. Meskipun sanitasi di peternakan kota
pada manusia dan babi adalah dengan Denpasar sudah tergolong baik, masih perlu
keberadaaan cacing T solium diantara dilakukan penyemprotan desinfektan pada
pemukiman penduduk (Ito, et al., 2003), hal ini kandang ternak secara teratur. Dengan begitu,
karena kemampuan bebarapa serangga yang kandang dan lingkungan di sekitarnya tetap
dapat menyimpan telur cacing telur T solium dan bersih sehingga mampu mencegah
menyimpan telur pada saluran pencernaanya berkembangnya penyakit pada babi. Kandang
selama beberapa minggu. babi yang dibuat juga harus memenuhi
Peternakan belum melakukan pengelolan persyaratan.
pembuangan limbah kotoran peternakan dengan Selain sanitasi, para peternak juga perlu
baik, dimana pengelolalan limbah kotoran masih memperhatikan pakan yang diberikan. Babi
berdekatan dengan saluran limbah dari membutuhkan air, protein, mineral, energi, dan
Bekti, Identifikasi Taenia solium secara Mikroskopis pada Peternakan Babi 79

vitamin agar pertumbuhannya optimal. Pakan ini memiliki sensitivitas yang tinggi akan tetapi
yang diberikan dapat memberikan efek bagi spesifitasnya rendah, yang disebabkan morfologi
pertumbuhan dan kesehatan babi. Patokan utama telur pada spesies Taenia spp yang mirip, serta
dalam pemberian pakan babi adalah kebutuhan pengamatan struktur internal proglotid untuk
protein dan energinya. menentukan spesies Taenia sp. (Gilman, et al.,
Pemberian obat cacing dan vaksin terhadap 2012)
babi juga harus dilakukan sesuai jadwal. Telur T solium dapat bertahan selama
Misalnya pemberian vaksin hog cholera/clasiccal delapan minggu di lingkungan luar hospes, serta
swine fever. Vaksinasi dilakukan agar babi infektif baik bagi manusia serta babi (Eom,
memiliki antibodi terhadap agen penyakit yang 2011). T solium pada babi dapat ditemukan pada
dapat menyerang babi seperti Hog Cholera, daging lidah, jantung, otak, bahu, dan leher
Pasteurella/SE, dan lain-lain. Vaksinasi sangat (Estunigsih, 2009).
penting dan harus dilakukan karena waktu hidup Diagnosis taeniasis dapat dilakukan
babi yang cukup lama yaitu sekitar 5 tahun. dengan mengidentifikasi telur dan proglotid
Pemberian obat cacing/antelmintika digunakan cacing pada feses secara mikroskopik. Telur
untuk mengurangi atau membasmi cacing yang cacing Taenia berbentuk spherical, mengandung
ada dalam rumen usus atau jaringan tubuh babi. embrio, dan berwarna coklat. Pada larutan garam
Selain obat cacing, babi juga perlu diberikan jenuh, telur akan mengapung. Dengan cara
suplemen, vitamin, serta anti bakteri agar membedakan morfologinya, proglotid Taenia
kesehatan babi terjaga dan mikroorganisme dapat dibedakan dari cacing pita lainnya (Eom, et
penyebab penyakit yang ada di dalam tubuh babi al., 2011; Estunigsih, 2009).
terbunuh (Kementerian Pertanian, 2016; Sapanca, Babi rentan terhadap beberapa penyakit
et al., 2015). salah satunya sistiserkosis. Daging babi yang
Di kota Denpasar, para peternak juga terinfeksi sistiserkosis dilarang untuk
menyembelih babi secara pribadi dikarenakan diperjualbelikan dan harus dimusnahkan
tidak adanya tempat pemotongan hewan di sehingga akan mengakibatkan kerugian bagi para
sekitar peternakan. Babi yang dipotong juga peternak. Pemahaman mengenai kebersihan dan
tanpa melalui pemeriksaan kesehatan ternak. kesehatan ternak dapat membuat produksi daging
Selain menyembelih sendiri, para peternak juga babi meningkat. Selain itu, para peternak juga akan
menjual sendiri daging yang sudah disembelih memahami penanganan ternak yang bermasalah
tanpa melalui inspeksi daging yang seharusnya sebelum terlambat (Bulu, et al., 2019).
dilakukan oleh pemerintah setempat. Upaya pengendalian dan pemberantasan
Oleh karena itu, penyuluhan mengenai infeksi T solium pada babi juga dapat dilakukan
kebersihan dan kesehatan hewan ternak perlu melalui adanya pengawasan terhadap daging
dilakukan kepada para peternak babi di kota yang dijual, pengolahan daging babi yang benar
Denpasar. Agar para peternak memahami serta tidak mengonsumsi daging babi mentah
pentingnya sanitasi kandang dan kesehatan (Gilman, et al., 2012). Kebiasaan masyarakat
ternaknya (Bulu, et al., 2019). Selain itu juga Bali mengonsumsi daging babi mentah dapat
perlu dilakukan pemeriksaan feses babi secara menjadi faktor resiko terjadinya taeniasis.
rutin untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing Inspeksi daging yang dilakukan oleh pemerintah
pada babi. Dengan mengetahui infeksi cacing setempat perlu dilakukan untuk mencegah
maka pengobatan dapat segera dilakukan peredaran daging babi yang terinfeksi T solium di
(Andriaty, 2015; Kementerian Pertanian, 2016). masyarakat.
Telur cacing dapat ditemukan di feses Tidak adanya tempat pemotongan hewan
dengan pemeriksaan secara mikroskopik. di sekitar peternakan babi di Denpasar, juga
Pengamatan secara mikroskopis merupakan alat menjadi salah satu faktor resiko T solium yang
diagnostik standar, yang masih banyak digunakan ada di babi menular ke manusia. Sehingga
sebagai pemeriksaan rutin di banyak pemerintah daerah bersama masyarakat perlu
laboratorium (Gilman, et al., 2012). Metode ini mengadakan tempat pemotongan hewan yang
menggunakan alat dan bahan yang mudah memenuhi syarat. Hal ini dimaksudkan agar
digunakan. Selain itu, langkah pemeriksaannya daging babi yang beredar di masyarakat tidak
cukup sederhana. Sehingga sampai saat ini terinfeksi T solium.
pemeriksaan telur cacing secara mikroskopik Tindakan pencegahan, pengendalian, dan
masih menjadi pemeriksaan yang paling banyak pemberantasan infeksi T solium sangat penting
digunakan di laboratorium untuk diagnosis dilakukan. Manusia bisa terinfeksi T solium jika
taeniasis dan sistiserkosis (Morales-Gomez, et mengonsumsi daging atau jeroan babi yang
al., 2017; Nezar, 2014), meskipun pemeriksaan mentah atau dimasak dengan tidak benar
80 Jurnal Kesehatan, Volume 12, Nomor 1, Tahun 2021, hlm 74-82

(Dharmawan, et al., 2012; Flisser, 2013). SIMPULAN


Penyuluhan tentang cara memasak daging babi
dengan benar perlu disosialisasikan kepada Simpulan dari penelitian ini yaitu
seluruh masyarakat. Memasak daging babi dapat diperoleh 17 sampel (54,8%) sampel positif telur
dilakukan pada suhu di atas 500C selama 30 T solium dari 31 sampel feses babi di 7
menit agar kista larva cacing yang ada di daging peternakan babi yang ada di kota Denpasar.
mati (Soedarto, 2012). Infeksi T solium pada babi dapat disebabkan
Infeksi cacing dewasa T solium pada karena sistem peternakan babi yang kurang
manusia bisa menyebabkan taeniasis dan larva memperhatikan kesehatan babi dan sanitasi
cacing ini dapat menyebabkan sistiserkosis. lingkungan. Beberapa faktor resiko yang dapat
Larva cacing dapat berkembang pada jaringan menyebabkan infeksi T solium pada babi antara
otot, kulit, mata, serta otak dapat berkembang lain kebiasaan masyarakat mengonsumsi daging
menjadi neurocysticercosis (NCC). babi mentah atau daging babi yang dimasak
Neurocysticercosis merupakan penyebab 30% dengan tidak sempurna, limbah ternak yang
kasus epilepsi di dunia (Walker and Zunt, 2005; belum ditangani dengan baik, pemotongan babi
WHO, 2016). Kebanyakan pasien dengan NCC tanpa melalui pemeriksaan kesehatan ternak.
terkait epilepsi mengalami kejang. Kejang Penulis menyarankan agar dilakukan
merupakan manifestasi yang sangat sering pada penelitian lebih lanjut mengenai infeksi T solium
pasien dengan kista T solium (Garcia, et al., pada babi di kota Denpasar agar dapat dilakukan
2014). upaya pencegahan dan pemberantasan infeksi
tersebut. Mengingat kota Denpasar merupakan
salah satu kota yang memiliki potensi wisata
besar di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Andriaty, V. (2015). Kejadian nematodiasis https://doi.org/10.3347/kjp.2011.49.4.399


gastrointestinal pada pedet sapi bali di kec. Estunigsih, S. E. (2009). Taeniasis dan
marioriwawo, kab. soppeng. [Skripsi]. sistiserkosis merupakan penyakit zoonosis
Makassar: Universitas Hasanuddin. parasiter. Wartazoa, 19(2), 84-92.
Budaarsa, K. (2014). Potensi Ternak Babi dalam Flisser, A. (2013). State of the art of Taenia solium
Menyumbangkan Daging di Bali. Seminar as compared to Taenia asiatica. Korean
Nasional Ternak Babi, 1-18. Journal of Parasitology, 51(1), 43-49.
Bulu, P. M., Wera, E., & Yuliani, N. S. (2019). https://doi.org/10.3347/kjp.2013.51.1.43
Manajemen Kesehatan pada Ternak Babi Gabriël, S., Dorny, P., Mwape, K. E., Trevisan, C.,
di Kelompok Tani Sehati Kelurahan Braae, U. C., Magnussen, P., & Thys, S.
Tuatuka, Kecamatan Kupang Timur, (2016). Control of Taenia solium
Kabupaten Kupang, NTT. Jurnal taeniasis/cysticercosis: The best way forward
Pengabdian Masyarakat Peternakan, 4(2), for sub-Saharan Africa? Acta Tropica, 165,
164-176. 252-260.
Dharmawan, N. S., Swastika, I. K., Putra, I. M., https://doi.org/10.1016/j.actatropica.2016.04.
Wandra, T., Sutisna, P., Okamoto, M., & 010
Ito, A. (2012). Present Situation and Garcia, P. H. H., Nash, T. E., & Oscar, H. D. B.
Problems of Cysticercosis in Animal in (2014). Clinical symptoms, diagnosis, and
Bali and Papua. Jurnal Veteriner, 13(2), treatment of neurocysticerosis. Lancet
154-162. Neurol, 13(12), 1202-1215.
Dinas Pariwisata. (2016). Profil Dinas pariwisata https://doi.org/10.1016/S1474-
kota Denpasar 2016. Dinas Pariwisata 4422(14)70094-8.Clinical
Kota Denpasar. Gilman, R. H., Gonzalez, A. E., Llanos-zavalaga,
Eom, K. S., Chai, J. Y., Yong, T. S., Min, D. Y., F., Tsang, V. C. W., Garcia, H. H., &
Rim, H. J., Kihamia, C., & Jeon, H. K. Working, C. (2012). Prevention and
(2011). Morphologic and genetic control of Taenia solium taeniasis /
identification of Taenia Tapeworms in cysticercosis in Peru. Pathogens and
Tanzania and DNA genotyping of Taenia Global Health, 106(5), 312–318.
solium. Korean Journal of Parasitology, https://doi.org/10.1179/2047773212Y.000
49(4), 399-403. 0000045
Bekti, Identifikasi Taenia solium secara Mikroskopis pada Peternakan Babi 81

Gonzalez, A. E., Garcı, H. H., Gilman, R. H., dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Tsang, V. C. W., & Working, C. (2003). Negeri Semarang.
Control of Taenia solium. Acta Tropica, 87, Parija, S. C., & Ponnambath, D. K. (2013).
103-109. https://doi.org/10.1016/S0001- Laboratory diagnosis of Taenia asiatica in
706X(03)00025-1 humans and animals. Tropical
Gonzalez, A. E., Gavidia, C., Falcon, N., Bernal, T., Parasitology, 3(2), 120–124.
Verastegui, M., Garcia, H. H., Gilman, R. H., https://doi.org/10.4103/2229-5070.122127
& Tsang, V. C. W. (2001). Protection of Pigs Podung, A. J., & Asiani, S. (2018). Upaya
with Cysticercosis from Further Infections Peningkatan Pengetahuan Peternak Babi
After Treatment with Oxfendazole. Am. J. terhadap Penyakit Hog Cholera di
Trop. Med., 65(1), 15-18. Kelurahan Kalasey. Jurnal LPPM Bidang
Hotez, P. J., Brindley, P. J., Bethony, J. M., King, Sains Dan Teknologi, 5(59), 19-25.
C. H., Pearce, E. J., & Jacobson, J. (2008). Prasad, K. N., Prasad, A., Verma, A., & Singh,
Helminth infections: the great neg;ected A. K. (2008). Human cysticercosis and
tropical diseases. The Journal of Clinical Indian scenario : a review. J. Biosci, 33(4),
Investigation, 118(4), 1311–1321. 571–582.
https://doi.org/10.1172/JCI34261 Rahayu, S. (2015). Prevalensi nematodiasis
Ito, A., Nakao, M., & Wandra, T. (2003). Human saluran pencernaan pada sapi bali.
taeniasis and cysticercosis in Asia. The [Skripsi]. Makassar: Fakultas Peternakan,
Lancet, 362, 1918-1920. Universitas Hasanuddin.
Kementerian Pertanian. (2016). Pedoman Sapanca, P. L. Y., Cipta, I. W., & Suryana, I. M.
Pelaksanaan Pengembangan Budidaya (2015). Peningkatan Manajemen
Babi Tahun 2016. Kementerian Pertanian. Kelompok Ternak Babi di Kabupaten
Mayta, H., Gilman, R. H., Prendergast, E., Bangli. Agrimerta, 05(09), 18-25.
Castillo, J. P., Tinoco, Y. O., Garcia, H. Soedarto. (2012). Penyakit Zoonosis Manusia
H., Gonzalez, A. E., & Sterling, C. R. Ditularkan oleh Hewan. Sagung Seto.
(2008). Nested PCR for specific diagnosis Sudewi, A. A. R., Wandra, T., Artha, A., Nkouawa,
of Taenia solium taeniasis. Journal of A., & Ito, A. (2008). Taenia solium
Clinical Microbiology, 46(1), 286–289. cysticercosis in Bali , Indonesia : serology
https://doi.org/10.1128/JCM.01172-07 and mtDNA analysis. Transactions of the
Montresor, A., & Palmer, K. (2006). Taeniasis / Royal Society of Tropical Medicine and
cysticercosis trend worldwide and Hygiene, 102, 96-98.
rationale for control. Parasitol Int, 55, 1–4. https://doi.org/10.1016/j.trstmh.2007.06.018
https://doi.org/10.1016/j.parint.2005.11.04 Utama, I. G. B. R. (2017). Integrasi daya tarik
5.Taeniasis/cysticercosis wisata kota denpasar bali. Jurnal
Morales-Gomez, M. A., Gárate, T., Blocher, J., Perkotaan, 9(1), 48-66.
Devleesschauwer, B., Smit, G. S. ., Walker, M., & Zunt, J. R. (2005). Neuroparasitic
Schmidt, V., Perteguer, M. J., Ludovisi, Infections: Cesyodes, Trematodes, and
A., Pozio, E., Dorny, P., Gabriel, S., & Protozoans. Semin Neurol, 25(3), 262-277.
Winkler, A. S. (2017). Present status of https://doi.org/10.1055/s-2005-
laboratory diagnosis of human taeniosis / 917663.Neuroparasitic
cysticercosis in Europe. Eur J Clin Wandra, T., Depary, A. A., Sutisna, P., Margono, S.
Microbiol Infect DIs, 36, 2029–2040. S., Suroso, T., Okamoto, M., Craig, P. S., &
https://doi.org/10.1007/s10096-017-3029-1 Ito, A. (2006). Taeniasis and cysticercosis in
Murrell, K. D., Dorny, P., Flisser, A., Geerts, S., Bali and North Sumatra , Indonesia.
Kyvsgaard, N. C., Mcmanus, D. P., Nash, T. Parasitology Interanational, 55, S155-S160.
E., & Pawlowski, Z. S. (2005). https://doi.org/10.1016/j.parint.2005.11.024
WHO/FAO/OIE Guidelines for the Wandra, T., Ito, A., Swastika, K., Dharmawan, N.
surveillance, prevention and control of S., Sako, Y., & Okamoto, M. (2013).
taeniosis/cysticercosis (K. D. Murrell (ed.)). Taeniases and cysticercosis in Indonesia:
Nasir, A., Muhith, A., & M.E., I. (2011). Buku Past and present situations. Parasitology,
Ajar Metodologi Penelitian Kesehatan. 1st 140(13), 1608-1616.
ed. Nuha Medika. https://doi.org/10.1017/S0031182013000863
Nezar, M. R. (2014). Jenis Cacing pada Feses Wandra, T., Sudewi, A. R., Swastika, I. K.,
Sapi di TPA Jatibarang dan KTT Sutisna, P., Dharmawan, N. S., Yulfi, H.,
Sidomulyo Desa Nongkosawit Semarang. Darlan, D. M., Kapti, I. N., Samaan, G.,
[Skripsi]. Semarang: Fakultas Matematika Sato, M. O., Okamoto, M., Sako, Y., & Ito,
82 Jurnal Kesehatan, Volume 12, Nomor 1, Tahun 2021, hlm 74-82

A. (2011). Taeniasis/cysticercosis in bali, tools: report of a stakeholder meeting,


Indonesia. Southeast Asian Journal of Geneva, 17-18 December 2015.
Tropical Medicine and Public Health, Winianti, N. W., M, E. H., Wijayanti, M. A.,
42(4), 793-802. Sutisna, P., Kapti, I. N., & Sudiarta, I. W.
World Health Organization. (2016). Taenia (2018). Taeniasis in Karangasem, Bali.
solium taeniasis/cysticercosis diagnostic Warmadewa Medical Journal, 3(1), 1-5.

You might also like