0% found this document useful (0 votes)
85 views42 pages

Muhammad Tarobin: Kitab Nur Al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh - 1

This document discusses a study of the book Nur al-Salah by Tengku Muhammad Saleh (1901-1966), a Muslim scholar from Lingga Island, Riau Islands. It examines the book and other works through intertextual analysis. The analysis shows that fiqh books written in the Malay-Indonesian region, including Lingga Island, are similar to those written in other Malay regions in that they predominantly reference works by Malay Muslim scholars and are written in Malay. This makes the books easier for Malay readers to understand. When trying to internalize the values of prayer, Tengku Muhammad Saleh wrote in Malay, translated prayer texts to Malay, and provided theological explanations for prayer

Uploaded by

Muhammad Azka
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
85 views42 pages

Muhammad Tarobin: Kitab Nur Al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh - 1

This document discusses a study of the book Nur al-Salah by Tengku Muhammad Saleh (1901-1966), a Muslim scholar from Lingga Island, Riau Islands. It examines the book and other works through intertextual analysis. The analysis shows that fiqh books written in the Malay-Indonesian region, including Lingga Island, are similar to those written in other Malay regions in that they predominantly reference works by Malay Muslim scholars and are written in Malay. This makes the books easier for Malay readers to understand. When trying to internalize the values of prayer, Tengku Muhammad Saleh wrote in Malay, translated prayer texts to Malay, and provided theological explanations for prayer

Uploaded by

Muhammad Azka
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 42

Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _1

The Nūr al-Salāh Book by Tengku Muhammad


Saleh (1901-1966): Internalization of “Salat” in
Malay Tradition Perspective

Kitab Nūr al-Salāh Karya Tengku Muhammad


Saleh (1901-1966): Internalisasi “Salat” Perspektif
Tradisi Melayu

Muhammad Tarobin
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta
email: [email protected]

Abstract: This paper presents the study results of the Nūr al-Salāh book by Tengku Muhammad
Saleh (1901-1966), a Moslem scholar in Lingga Island, Riau Islands. Through
intertextual study of that book and several other opuses, this paper proves that the
fiqh books writing in the Malay-Indonesian region, especially in Lingga Island and
its surroundings, it is not much different from the fiqh books writing in other Malay
regions, which are more dominant in using fiqh books references written by Malay
Moslem scholars and written using Malay. This is done so that the books are easily
understood and impregnated by Malay readers. However, more than just a translation
effort, the author makes an effort to instill an understanding and value which is in
a sociological perspective known as internalization. When trying to internalize the
values ​​prayer spirit, Tengku Muhammad Saleh did several things: first, writing using
Malay. Second, translating reading texts when praying into Malay, every word and /
or phrase. Third, completing with an theosophy explanation behind every movement,
reading or a certain amount of movement when praying. When explaining the
importance of prayer, TMS built the argument that prayer is a form of gratitude to
Allah.

Abstraksi: Tulisan ini menyajikan hasil kajian terhadap kitab Nūr al-Salāh karya Tengku
Muhammad Saleh (1901-1966), seorang ulama di Pulau Lingga, Kepulauan Riau.
Melalui studi intertekstual atas kitab tersebut dan beberapa karya lainnya, tulisan ini
2_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018

membuktikan, bahwa penulisan kitab fikih di wilayah Melayu-Indonesia, khususnya


di Pulau Lingga dan sekitarnya, tidak jauh berbeda dengan penulisan kitab fikih di
wilayah Melayu lainnya, yakni lebih dominan menggunakan referensi kitab-kitab fikih
yang dikarang oleh ulama Melayu dan ditulis menggunakan bahasa Melayu. Hal
tersebut dilakukan agar kitab-kitab tersebut mudah difahami dan diresapi oleh pembaca
dari kalangan Melayu. Namun, lebih dari sekedar upaya penerjemahan, pengarang
melakukan upaya menanamkan suatu paham dan nilai yang dalam perspektif sosiologis
dikenal sebagai internalisasi. Ketika melakukan upaya internalisasi nilai dan spirit
ibadah salat, Tengku Muhammad Saleh melakukan beberapa hal: pertama; menulis
dengan menggunakan--- bahasa Melayu. Kedua, menerjemahkan teks bacaan-bacaan
ketika salat ke dalam bahasa Melayu, setiap kata dan/atau frasa. Ketiga, melengkapi
dengan penjelasan teosofi dibalik setiap gerakan, bacaan atau jumlah tertentu gerakan
ketika salat. Saat menjelaskan pentingnya ibadah salat, TMS membangun argumentasi
bahwa salat merupakan bentuk ungkapan syukur kepada Allah SWT.

Keywords: Book, prayer, gratitude, theosophy

A. Pendahuluan
Kajian tentang ulama dan karyanya di Provinsi Kepulauan Riau
(selanjutnya ditulis Kepri) masih terbatas. Terutama untuk kriteria
ulama yang memiliki pondok pesantren, dayah, atau surau. Kebanyakan
ulama di wilayah ini berada di lingkaran istana atau elit sosial1, baik
dalam istana Yang Dipertuan Muda (YDM; setara Perdana Menteri)
di Pulau Penyengat maupun istana Yang Dipertuan Besar (Sultan
Riau-Lingga) di Pulau Lingga. Dalam dua wilayah ini, kajian tentang
para ulama di Pulau Penyengat relatif lebih banyak daripada di Pulau
Lingga dan sekitarnya.Studi tentang ulama sebagian besar berhubungan
dengan tarekat yang tumbuh dan berkembang di Nusantara. Sebagai
misal, Martin van Bruinessen menyebut Kepri dalam kajian tentang
tarekat Naqsyabandiyah. Ia menyebutkan bahwa salah satu tarekat
yang berkembang di Kepri adalah Naqsyabandiyah. Tarekat ini masuk
ke Kepri saat Syekh Ismâ’îl al-Khâlidî al-Minangkabawî (W. 1859 M)
diundang oleh Raja Ali (YDM VIII: 1844-1857) ke Pulau Penyengat.
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _3

Raja Ali, dan penggantinya Raja Abdullah (YDM IX: 1857-1858) beserta
para bangsawan istana kemudian menjadi murid-murid Syekh Ismâ›îl2.
Sedangkan Abdullah3 menyebutkan bahwa tarekat ini semula tumbuh di
Simabur, Batu Sangkar, kemudian menyebar ke Kepri (Pulau Penyengat)
melalui sambutan yang meriah dari Sultan Muhammad Yusuf dan
Raja Ali Engku Kelana. Menurut Abdullah, Sultan Muhammad Yusuf
al-Ahmadi belajar pula kepada Syekh Muhammad Shâlih al-Zawawî,
guru tarekat Naqsyabandiyah yang lain. Nampaknya Abdullah salah
mengidentifikasi Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi yang merupakan
seorang “Yang Dipertuan Muda” (Perdana Menteri) sebagai sultan.

Bertentangan dengan pendapat Abdullah di atas, Hadi berpendapat


bahwa Syekh Ismā’īl tidak kembali ke kampung halamannya di Simabur
untuk berkarir dalam kapasitasnya sebagai tokoh tarekat Naqsyabandiyah
Khalidiyah. Dia lebih memilih Singapura dan Pulau Penyengat untuk
menetap dan sekaligus mengajarkan dan mengembangkan ajaran
tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, sebelum akhirnya memutuskan
kembali lagi ke tanah suci dan menghabiskan sisa hidup di Mekah.
Salah satu penyebab Syekh Ismâ’îl kembali ke tanah suci untuk kedua
kali adalah rasa kecewa kepada Raja Muhammad Yusuf (YDM X: 1883-
1899) setelah dibaiat pula menjadi pengikut sekaligus khalifah tarekat
Naqsyabandiyah Muzhariyah di Madinah oleh Muhammad Shâlih al-
Zawawî. Menurut Hadi, tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah masuk ke
Singapura dan Kepri pada awal abad XIX4. Hal ini berdasarkan kajian
yang telah ia lakukan terhadap naskah al-Manhal al-‘adhb li dhikr al-qalb
karya Syekh Ismâ’îl al-Khâlidî al-Minangkabawî.

Salah satu tokoh “ulama” Kepri yang mendapat perhatian adalah


Raja Ali Haji (selanjutnya ditulis RAH). Mahdini misalnya, sejak
tahun 1997 telah menulis dan/atau menerbitkan setidaknya empat
“laporan” penelitian dan satu artikel berisi kajian terhadap kitab
Tsamarât al-Muhimmah Dhiyafat li al-Umarâ’i wa al-Kubarâ’i li ahl al-
Mahkamah (selanjutnya ditulis: Tsamarât al-Muhimmah/TsM) karya
RAH. Dalam karyanya, Raja dan Kerajaan dalam Kebudayaan Melayu,
4_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018

ia menyunting teks TsM (Cod. No. DLXIV/W. 18) koleksi Perpusnas


RI dan membandingkannya dengan versi cetak terbitan tahun 18865.
Mahdini menggunakan pendekatan intertekstual untuk menganalisis
hubungan antara teks TsM dengan teks-teks Melayu yang telah ada
sebelumnya yakni Tâj al-Salathîn, Sejarah Melayu, dan Bustân al-Salathîn.
Hasil kajian tersebut menyebut bahwa RAH tidak lagi menggunakan
konsep “konvensi” raja dalam tradisi Melayu sebagai wakil Tuhan atau
khalifah kaum muslimin dan bayangan Allah di muka bumi (khalîfah al-
mu’minîn zhill Allâh fî al-ardh) dan semacamnya. Selain khawatir terhadap
kemusyrikan, RAH juga khawatir bahwa kekuasaan yang dilegitimasikan
dengan cara demikian akan berlaku tiran. Sementara itu, ide-ide politik
modern seperti nasionalisme, egalitarianisme, dan demokrasi juga tidak
digunakan, karena dikhawatirkan mendatangkan ancaman terhadap
kesultanan Melayu. TsM menurut Mahdini, lebih berorientasi syariah,
sehingga dalam teks ini raja disinonimkan dengan “khalifah, imam dan
sultan”6.

Sementara itu, “ulama-pengarang” di lingkungan istana Pulau


Penyengat menurut Hamidy dapat dibagi dalam beberapa generasi.
Generasi pertama, adalah angkatan Raja Haji Ahmad atau dikenal Engku
Haji Tua (L. 1773). Ia mengarang paling tidak tiga karangan, yakni: Syair
Perang Johor, Syair Engku Putri, dan Syair Raksi. Juga ada Tuan Bilal Abu
(Syair Siti Zawiyah, 1831), dan Encik Kamariah dari Lingga7.

Generasi kedua adalah para pengarang yang sebaya dengan Raja


Ali Haji (1808-1873 M). RAH menurut Hamidy setidaknya menulis 10
karangan. Para pengarang lainnya pada generasi ini adalah: R.H. Daud
(2 karangan), Raja Zaleha (2 karangan), Raja Ali (YDM VIII: 1 karangan),
R.H. Abdullah (YDM IX: 3 karangan).

Generasi ketiga, ialah para pengarang yang sebaya dengan Raja


Muhammad Yusuf al-Ahmadi (YDM X: 1858-1899 M). Para pengarang
pada angkatan ketiga ini adalah: Raja Abdul Mutalib (2 karangan), Raja
Haji Hasan (1 karangan), dan Raja Haji Muhammad Tahir (1 karangan)8.
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _5

Generasi keempat, merupakan generasi pengarang Riau yang tergabung


dalam Rusydiyah Klab. Perkumpulan Rusydiyah Klab didirikan pada
tahun 1885.9 Era ini disebut merupakan puncak kemajuan pengarang
naskah Jawi di Riau. Kemajuan ini tidak lepas dari dukungan Raja
Muhammad Yusuf al-Ahmadi (YDM X) melalui pembangunan
perpustakaan dan percetakan. Pelopor penulis dari Rusydiyah Klab
adalah Raja Ali Kelana (± 5 karangan). Sedangkan rekan seangkatan dia
adalah:

1. Raja Khalid Hitam (1 karangan).

2. Raja Aisyah Sulaiman (istri Khalid Hitam, 3 karangan).

3. Raja Abdullah, alias Abu Muhammad Adnan (6 karangan).

4. Raja Haji Umar (1 karangan).

5. Raja Haji Ahmad Tabib (6 karangan).

6. Raja Haji Muhammad Said (3 karangan).

7. Raja Haji Muhammad Yunus Ahmad (3 karangan).10

Selain para penulis yang berasal dari kalangan istana, juga terdapat
penulis dari kalangan rakyat biasa, seperti: Hadijah Terung, Salamah
binti Ambar, dan Badriah Muhammad Taher.

Selain Pulau Penyengat, daerah lain yang merupakan pusat


kebudayaan Melayu di Kepri adalah Pulau Lingga. Satu-satunya ulama
asal Lingga yang mengajar di Masjidil Haram, Mekah, ialah Syekh Ahmad
Yunus Lingga. Ulama ini disebut lama bermukim di Mekah dan diduga
kuat meninggal dan dimakamkan di Mekah. Namun sejauh ini belum
diketahui kapan ia dilahirkan dan wafat. Peran Syekh Ahmad Yunus
dapat diketahui dari penuturan salah seorang muridnya yang dijumpai
oleh Abdullah11 pada tahun 1979 di Mekah yakni Abdur Rahman bin
Syekh Yahya Raman al-Fathani. Ketokohan Syekh Ahmad Yunus juga
diakui secara tertulis oleh murid-muridnya yang kemudian menjadi
ulama besar seperti Syekh Zainuddin bin ‘Utsman Sarawak dan Qadhi
Abu Bakar bin Hasan Johor.
6_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018

Produktivitas Syekh Ahmad Yunus diketahui dari empat buah


karyanya sebagaimana disebut oleh Abdullah. Sebagian besar karya
tersebut merupakan kitab terjemahan. Keempat karya tersebut ialah:
pertama, Daqâ’iq al-Akhbâr fī Dzikr al-Jannah wa al-Nâr. Karya ini
merupakan terjemahan Melayu dari kitab berbahasa Arab Daqâ’iq al-
Akhbâr fî Dzikr ahl al-Jannah wa al-Nâr. Kitab ini menceritakan kejadian
alam gaib terutama tentang surga dan neraka. Terjemahan kitab ini
diselesaikan pada hari Selasa, 20 Muharram 1312 H (24 Juli 1894 M)
di Mekah. Hingga sekarang terdapat berbagai edisi cetakan kitab ini.
Cetakan pertama diketahui diterbitkan oleh Mathba’ah al-Miriyah al-
Kâ’inah, Makkah, pada Jumadilakhir 1312 H (1894 M). Kedua, Al-Tsimâr
al-Ladzîdzah ‘alâ al-Riyâdh al-Badî›ah. Judul terjemahan kitab ini oleh
Syekh Ahmad Yunus adalah “Segala Buah Kayu yang Sedap-Sedap atas
Segala Kebun yang Indah-Indah.” Isi utamanya ialah fikih ibadah menurut
Mazhab Syafi’i, namun dimulai dengan pembicaraan akidah. Sementara
pada bagian akhir berisi pembahasan tentang sumpah dan nazar, ziarah
Rasulullah Saw. dan zikrullah. Kitab tersebut diselesaikan pada 21 Safar
1312 H (24 Agustus 1894 M). Cetakan pertama dan kedua tidak diketahui,
sedangkan cetakan ketiga oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kâ’inah, Mekah,
pada 1322 H (1904/05 M).

Ketiga, Nasîhah Ahl al-Wafâ’ ilâ Washîyat al-Mushthafâ. Isi kitab ini
merupakan penjelasan atas beberapa Hadis wasiat Nabi Muhammad Saw.
kepada sahabat, sepupu, sekaligus menantunya, ‘Ali bin Abî Thâlib Kaw.
yang berisi ilmu dan hikmah. Disebutkan bahwa siapa yang memelihara
wasiat-wasiat tersebut maka akan memperoleh kemuliaan di dunia
dan akhirat. Menurut Abdullah12 dan Tehrani13 kitab ini diselesaikan di
Mekah pada hari Sabtu, 11 Syawal 1312 H ( 6 April 1895 M). Keempat,
Hadîqah al-Rayhân fî Bayâni Qisshah Sayyidinâ Sulaymân. Kitab ini berisi
kisah Nabi Sulaiman As., diselesaikan pada 24 Jumadilawwal 1313 H
(12 November 1895 M) di Mekah. Cetakan pertama tidak diketahui,
sedangkan cetakan kedua oleh Mathba›ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah,
pada bulan Muharram 1324 H (Februari/Maret 1906 M).
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _7

Keempat kitab tersebut diselesaikan oleh Syaikh Ahmad Yûnus


Lingga hanya dalam tempo kurang dari dua tahun, yakni dalam rentang
waktu Muharram 1312 H-Jumadil awwal 1313 H (Juli 1894 – November
1895 M). Hal ini membuktikan bahwa Syaikh Ahmad Yûnus Lingga
merupakan ulama yang sangat produktif. Jika tidak banyak diketahui
karya-karyanya selain keempat kitab tersebut, maka jawabannya dapat
diketahui dari pernyataan muridnya sebagaimana disebut oleh Abdullah
yakni bahwa Syekh Ahmad Yunus dikenal sebagai “Qus bahasa Melayu”
yang berarti orang cerdik, memegang ilmu dan adab, serta cermat. Berkat
kecermatannya ia dikenal sebagai pentashih kitab-kitab Melayu/Jawi.
Hal ini yang membuat namanya kurang banyak dikenal karena tidak
banyak kitab Jawi yang mencantumkan nama pentashihnya.

Berbeda dengan Syekh Ahmad Yunus, ulama Lingga yang aktifitas


intelektualnya dilakukan di Masjidil Haram. Terdapat tokoh ulama
Lingga yang aktifitas intelektualnya sebagian besar dilakukan di Pulau
Lingga, dia adalah Tengku Muhammad Saleh (selanjutnya ditulis TMS).
Selain menulis berbagai macam ilustrasi dan silsilah keagamaan, ia juga
menulis beberapa karya, diantaranya yang telah dicetak ialah: Tafsîr
al-Fâtihah dan Nûr al-Shalâh. Kitab yang terakhir disebut merupakan
kitab yang membahas tuntunan salat baik secara teosofis maupun fikih.
Menurut catatan Syahri dkk. TMS juga merupakan sejarawan yang
menulis Keringkasan Sejarah Melayu dan Jadwal Silsilahnya (1930).14 Berbeda
dengan kebanyakan sejarawan yang menulis menurut perspektif Pulau
Penyengat, ia menulis dalam perspektif Lingga.

Kajian terhadap karya dan perjuangan TMS penting dilakukan


karena beberapa hal, pertama: TMS memenuhi kualifikasi sebagai tokoh
perjuangan, baik sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia
maupun tokoh pejuang agama. Sebagai pejuang, ia pernah ditangkap oleh
Belanda dan hendak dibawa ke Batavia karena dianggap sebagai mata-
mata Jepang. Saat itu, ia berhasil melarikan diri dan kemudian menjadi
buronan Belanda selama beberapa bulan, bahkan ia pernah melarikan
diri ke Singapura. Sebagai pejuang agama, ia pernah menjadi ketua
8_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018

Mahkamah Syariah di Kepulauan Lingga dan Singkep. Selain sebagai


tokoh agama di masyarakat, ia juga penyalin naskah-naskah keagamaan
masa lalu yang menjadi penghubung antara masa-masa kerajaan Melayu
di Nusantara -sebelum dan sesudah datangnya kolonialisme- dengan era
kemerdekaan Indonesia.

Kedua, ada beberapa karyanya, khususnya dalam bidang keagamaan


yang masih hidup dan digunakan hingga kini, salah satunya adalah kitab
Nûr al-Shalâh. Kitab ini, hingga saat ini masih digunakan di masyarakat
Pulau Lingga. Menurut penuturan Tengku Husein15 (salah seorang anak
dari TMS), kitab ini menjadi bahan kajian bulanan yang diasuh oleh
Ketua Majelis Ulama Kabupaten Lingga di Masjid “bersejarah” Sultan
Lingga.

Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang difokuskan terhadap isi


kitab Nûr al-Shalâh tersebut. Rumusan masalah yang hendak dijawab
melalui tulisan ini ialah “bagaimana upaya internalisasi salat yang
dilakukan oleh TMS dalam kitab Nûr al-Shalâh?” Adapun tujuan tulisan
ini adalah mengeksplorasi upaya atau strategi TMS dalam melakukan
internalisasi salat di masyarakat Pulau Lingga dan sekitarnya. Sumber
utama tulisan ini adalah kitab Nûr al-Shalâh yang ditulis oleh TMS pada
1373 H/1954 M. Untuk melakukan analisis data-data tertulis digunakan
pendekatan intertekstual. Pendekatan ini menyebutkan bahwa penulis
dalam menghasilkan karyanya dipengaruhi oleh karya-karya yang
telah ada sebelumnya.16 Oleh karena itu, bahan-bahan penting yang
akan dikaji dalam studi ini berupa naskah-naskah tertulis, baik naskah
tulisan tangan (manuskrip) maupun teks-teks yang sudah tercetak, baik
merupakan karya TMS maupun guru-guru, murid-murid, dan karya-
karya ulama sebelum dan/atau sesudahnya.
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _9

B. Kerangka Teoritis

1. Memaknai Internalisasi dan Tradisi

Secara etimologis internalisasi berasal dari kata intern atau internal


yang berarti bagian dalam atau di dalam. Sedangkan internalisasi
sendiri berarti penghayatan.17 Sementara menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI)18 internalisasi memiliki dua makna, pertama:
penghayatan, seperti dicontohkan dengan kalimat: “Proses internalisasi
falsafah negara secara mendalam, berlangsung lewat penyuluhan, penataran,
dsb..” Kedua, bermakna penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin atau
nilai sehingga merupakan keyakinan dan kesadaran akan kebenaran
doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Sedangkan
menurut Asmani19 internalisasi adalah penyatuan ke dalam pikiran atau
kepribadian, pembuatan nilai-nilai, patokan-patokan ide atau praktek-
praktek dari orang-orang lain menjadi bagian dari diri sendiri.

Menurut pernyataan terakhir sebagaimana disebut Asmani, maka


internalisasi pada hakikatnya adalah sebuah “proses menanamkan
sesuatu”. Sedangkan frasa “internalisasi salat” dimaksudkan bahwa
penanaman salat itu tidak hanya mencakup “nilai-nilai ibadah salat”
melainkan juga mencakup semangat “ber-salat”.

Proses internalisasi menurut Firmansyah20 dapat terlaksana secara


maksimal ketika melibatkan beberapa unsur: pertama, ada lembaga
(institusi), misalnya: lembaga studi Islam, majelis taklim dan sebagainya.
Kedua, ada “figur” personal yang diteladani, misalnya pengajar di
sekolah, kyai/ustadz di pesantren, masyarakat, dsb.. Ketiga, ada materi,
kurikulum, dan media lain yang digunakan.

Kata perspektif menurut KBBI offline bermakna “cara melukiskan


suatu benda” pada permukaan yang mendatar sebagaimana yang terlihat
oleh mata dengan tiga dimensinya (panjang, lebar, dan tingginya)”.
Perspektif juga bermakna “sudut pandang atau pandangan.” Sedangkan
kata tradisi yang diletakkan setelah kata perspektif menunjukkan orientasi
10_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018

ke masa lalu. Kata tradisi berasal dari bahasa Inggris tradition, kata ini
berasal dari bahasa Latin “traditio”. Kata traditio sendiri merupakan kata
benda yang berasal dari kata kerja tradere yang berarti “to transmit, to give
up atau to give over” (mengirimkan, menghentikan atau menyerahkan).
Sedangkan kata Latin traditio (Inggris: tradition) menurut David Gross21
bermakna proses transmisi sesuatu (“the process by which something is
transmitted”). Sedangkan materi yang ditransmisikan disebut traditum.
Maka menurut definisi-definisi di atas, terdapat tiga hal dalam tradisi,
yakni: pertama, sesuatu yang bermakna atau bernilai; kedua, sesuatu itu
diberikan oleh seseorang atau generasi kepada orang atau generasi lain atas
dasar kepercayaan; dan ketiga, terdapat orang yang menerima pemberian
itu dan merasa berkewajiban untuk menjaganya dari kerusakan sebagai
peninggalan dari si pemberi.

Dengan demikian internalisasi salat dalam tulisan ini dapat dimaknai


sebagai proses penanaman nilai-nilai dan semangat ibadah salat
dengan menggunakan sudut pandang tradisi Melayu. Kata tradisi di
sini dimaknai sebagai suatu kecenderungan terhadap nilai-nilai positif
yang berasal dari masa lalu. Sedangkan Melayu, merujuk pada suatu
masyarakat yang mewarisi tradisi dan kebudayaan Melaka.22

2. Kajian Terdahulu

Salah satu ciri khas yang membedakan iklim “keulamaan” di Kerajaan


Riau-Lingga adalah tidak ada batasan yang tegas antara kebangsawanan
(umara), keulamaan (ulama), dan kecendekiawanan (intelektual). Hal
ini merupakan ciri khas keislaman di alam Melayu yang kuat sehingga
Melayu identik dengan Islam. Oleh karena itu tidak mengherankan
bahwa iklim keulamaan di wilayah Kerajaan Riau-Lingga juga dipelopori
para bangsawan dari istana.

Para pengkaji tradisi intelektual di Kepri (baca: Pulau Penyengat


dan sekitarnya) umumnya sepakat bahwa tokoh yang dianggap sebagai
peletak tradisi intelektual dan kepengarangan di Kepri adalah Raja
Haji Ahmad ibnu Raja Haji Fisabilillah.23 Sebagai “sastrawan” Raja Haji
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _11

Ahmad (w. 1879 M) merupakan tokoh intelektual pertama dari Kerajaan


Riau-Lingga yang menghasilkan karya tulis. Selain mengarang paling
tidak tiga karangan, yakni: Syair Perang Johor, Syair Engku Putri, dan Syair
Raksi. Ia juga disebut merupakan penulis Tuhfah al-Nafs versi pendek.24
Sebagai tokoh religius Raja Haji Ahmad dan keluarganya merupakan
tokoh yang pertama kali menunaikan haji pada tahun 1827 M.

Dari sekian banyak tokoh intelektual, sastrawan atau bahkan ulama


yang berasal dari iklim intelektual di Pulau Penyengat, nyaris tidak ada
yang melebihi ketokohan Raja Ali Haji (1808-1873 M). RAH merupakan
anak dari Raja Haji Ahmad. Saking terkenalnya RAH sehingga menutupi
populeritas tokoh-tokoh lainnya. RAH paling tidak telah menulis
10 karangan. Jika dikelompokkan sesuai “bidang keilmuan” maka
kelompok karya-karyanya itu adalah: pertama; di bidang kesusastraan,
karangannya adalah: Bustan al-Katibin (1850-1851); Kitab Pengetahuan
Bahasa (1858-belum selesai), “Syair Sultan Abdul Muluk” (1846). Kedua,
bidang kenegaraan yakni: Muqaddimah fî Intizhâm (1857, cetakan pertama
tahun 1887/1304 H); Tsamarât al-Muhimmah (1857, cetakan pertama tahun
1886). Ketiga, bidang sejarah, karangannya ialah: Silsilah Melayu dan Bugis
dan Sekalian Raja-Rajanya (1865-1866 M), Tuhfah al-Nafs (1865 M). Keempat:
bidang keagamaan, karangannya ialah: Gurindam Dua Belas (1263 H/1847
M), Syair Hukum Nikah/Syair Suluh Pegawai/Syair Hukum Faraid (1283
H/1866 M), Syair Siti Sianah/Syair Jauhar al-Maknunah (1866 M), dan Syair
Sinar Gemala Mestika Alam (Nyanyian Angsa) (1893 M).25

Diantara 10-an lebih karya RAH yang paling dikenal adalah


Gurindam Dua Belas. Selain karena terdapat dalam buku-buku pelajaran
kesusastraan Indonesia, juga sarat dengan pesan-pesan moral yang
disampaikan dengan bahasa yang kuat dan terpilih. Oleh karena itu,
Gurindam Dua Belas layak ditempatkan sebagai karya agung sastra
Melayu.

Para pengkaji menyimpulkan bahwa Gurindam Dua Belas mengandung


pesan keimanan dan ketakwaan yang mendalam. Isinya penuh dengan
12_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018

pesan untuk menjaga hubungan dengan Sang Khalik (habl min Allâh) dan
hubungan sesama manusia (habl min al-nâs). Bahkan menurut Dahlan26
jika seseorang sudah mengamalkan isi Gurindam Dua Belas, maka ia
disebut telah mengamalkan sebagian besar inti ajaran al-Quran dan
Hadis Nabi Muhammad Saw.. Merujuk segala aspek dari Gurindam Dua
Belas –dan karya-karya lainnya- maka tak ada keraguan sedikitpun untuk
menyebut RAH sebagai ulama yang prolifik.

Melalui kajian atas beberapa karya RAH, khususnya Tuhfah al-Nafs,


Tsamarât al-Muhimmah, dan Kitab Pengetahuan Bahasa, menurut Junus,
RAH sangat dipengaruhi oleh tasawuf al-Ghazâlî (W. 1111 M).27 Bahkan
RAH sendiri menurut Hassan menganjurkan kepada pembaca Kitab
Pengetahuan Bahasa agar membaca karya-karya al-Ghazâlî.28 Hal ini
diperkuat pula oleh pendapat Putten sebagaimana disebut oleh Hassan
bahwa entri-entri yang ada dalam Kitab Pengetahuan Bahasa sebagian
besar adalah entri kata yang mendefinisikan dan menjelaskan tentang
perbuatan baik dan aturan etika sesuai dengan tuntutan agama dan adat
istiadat.29

Sementara itu kajian-kajian terhadap Tuhfah al-Nafs menempatkan


RAH di titik kulminasi sebagai tokoh historiografi Melayu terpenting
setelah Tun Sri Lanang, penyusun teks Sejarah Melayu. Tuhfah al-Nafs
mulai dikenal sejak diterbitkan oleh sejarawan Inggris R. O. Winstedt
pada tahun 1932. Puncaknya adalah disertasi Virginia Matheson terhadap
Tuhfah al-Nafs pada tahun 1973. Disertasi Matheson dan tulisan-tulisan
dia berikutnya, selain menempatkan Raja Ali Haji sebagai sejarawan
terpenting di gerbang abad XX juga mengukuhkan Matheson sebagai
tokoh paling otoritatif dalam mengulas Tuhfat al-Nafs.30

Jika Tuhfat al-Nafs menempatkan RAH sebagai sejarawan Melayu


terulung pada paroh kedua abad XIX. Maka Tsamarât al-Muhimmah
(selanjutnya ditulis TsM) menempatkan RAH sebagai salah seorang
pemikir kenegaraan Melayu terpenting. RAH melalui TsM berusaha
melakukan apa yang disebut oleh Junus sebagai demitologisasi31 raja-raja.
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _13

Maka melalui TsM, RAH menolak konvensi umum dalam tradisi Melayu
sebelumnya yang memahami raja sebagai khalifah Allah, bayangan
Allah di alam semesta, dan bayangan Allah di muka bumi (khalîfah Allâh,
zhill Allāh fī al-›alam, zhill Allāh fī al-ardh) yang keabsahan kedudukannya
karena hubungan khusus dengan kekuatan adikodrati.

Penolakan RAH terhadap konvensi tradisi Melayu yang menempatkan


raja sebagai khalīfah Allāh, zhill Allâh fî al-›âlam, zhill Allâh fî al-ardh
menurut kajian Mahdini32 disebabkan oleh dua hal, pertama: RAH hidup
di tengah-tengah kancah campur tangan Asing (Belanda dan Inggris)
dan dalam suasana perpecahan atau konflik berkepanjangan pasca
Melaka. Kedua, sebagai ulama dan penasihat hukum bagi kerajaan
Riau-Lingga ia berusaha mendekatkan masyarakat Muslim di Riau-
Lingga abad XIX agar lebih akrab dengan syariat Islam (syariah oriented).
Sementara itu, penolakannya terhadap ide-ide politik modern seperti
nasionalisme, egalitarianisme, dan demokrasi menurut Mahdini ialah
karena dipandang akan mengancam eksistensi Kerajaan Melayu.

Berdasarkan beberapa kajian sebagaimana disebut di atas, menurut


Mastuki HS dan M. Ishom El-Saha33 setidaknya ada celah perspektif yang
belum digunakan yakni menjadikan karya-karya RAH sebagai bahan
kajian tentang sejarah intelektual Islam Melayu khususnya abad XIX.
Hal ini dapat dilakukan dengan menjadikan kitab-kitab tersebut sebagai
sumber data untuk mengamati adanya transmisi ilmu pengetahuan
dari tradisi Islam klasik ke tradisi intelektual Melayu abad XIX. Untuk
wilayah lain, hal ini, misalnya telah dilakukan dengan baik oleh Azra
untuk jaringan Nusantara abad XVII dan XVIII, Deliar Noer (gerakan
pembaharuan tahun 1900-1942), dan Erawadi (Aceh abad XVIII dan XIX).

Posisi tulisan ini dimaksudkan untuk mengisi celah kajian tentang


sejarah sosial intelektual di ranah Melayu tersebut. Namun, tokoh dan
teks yang penulis pilih (Tengku Muhammad Saleh, Nûr al-Shalâh) tidak
berasal dari tradisi Yang Dipertuan Muda (YDM) di Pulau Penyengat
melainkan dari tradisi Yang Dipertuan Besar (YDB) di Pulau Lingga.
14_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018

Alasannya, sebagaimana telah penulis kemukakan pada bagian


pendahuluan, yakni bahwa kajian-kajian terhadap karya-karya ulama
Kepri, khususnya yang berasal dari Pulau Lingga dan sekitarnya masih
sangat langka. Hal ini disebabkan karena secara geografis wilayah Pulau
Lingga dan Singkep terletak cukup jauh dari pusat pemerintahan di
Tanjung Pinang, Pulau Penyengat dan sekitarnya.

C. Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bekerja pada


domain teks dan konteks. Dalam domain teks, data-data yang diperoleh
berupa teks, baik berupa teks inti (kitab Nûr al-Shalâh) maupun sumber-
sumber primer lain yang merupakan karya TMS atau karya-karya
sebelum dan sesudahnya. Sumber tertulis ini dapat berupa naskah
kuno (manuskrip) atau teks tercetak. Jika sumber tertulis tersebut
berupa naskah kuno, maka pendekatan filologi dapat digunakan untuk
memeriksa otentisitas teks. Adapun untuk menganalisis isi teks yang
dikaitkan dengan isu penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan
intertekstual karena ditujukan untuk mengkaji konsistensi dan
hubungan-hubungan pemikiran atau ide seseorang dalam karya tulis.34
Sedangkan domain konteks, selain diperoleh melalui telaah teks-teks
yang memberi penjelasan atas konteks karya ulama yang dikaji, juga
diperoleh melalui wawancara kepada murid-murid, anak-anak dan/atau
keluarga TMS yang masih hidup.

Pengolahan data-data tertulis dilakukan dengan dua cara yaitu:


pembacaan analitis dan pencatatan. Kegiatan pembacaan analitis
adalah kegiatan membaca menyeluruh teks suatu bacaan. Tujuan utama
membaca analitis adalah untuk memperoleh pemahaman lebih dalam
terhadap hal-hal yang tertulis dalam kitab/buku. Dalam hal penelitian
ini, maka kegiatan membaca analitis dilakukan untuk menemukan
pemahaman ide-ide internalisasi nilai-nilai “ibadah” salat dan semangat
beribadah salat yang terdapat dalam kitab Nûr al-Shalâh. Selanjutnya
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _15

adalah melakukan pencatatan data-data “verbal” yang berkaitan dengan


fokus penelitian. Data-data verbal ini kemudian ditulis kembali dalam
pemaparan hasil penelitian sebagai pembuktian atas temuan-temuan.
Adapun pengolahan data hasil wawancara maka yang dilakukan adalah
melakukan transkripsi data wawancara tersebut kemudian dicatat hal-
hal penting melalui teknik “pengkodean” hal-hal yang terkait dengan
fokus penelitian.

Pengolahan data dengan cara pembacaan analitis memerlukan


kegiatan analisis data secara serentak. Analisis data dalam penelitian
dapat dilakukan dengan dua tahap; (1) analisis deskriptif; (2) analisis
eksplanatori. Pertama, analisis deskriptif (descriptive analysis), yaitu
memaparkan apa adanya terkait apa yang terdapat atau dimaksud
oleh teks dengan cara membahasakannya dengan bahasa peneliti.
Kedua, analisis eksplanatori (explanatory analysis), yaitu analisis yang
berfungsi memberi penjelasan yang lebih mendalam daripada sekadar
mendeskripsikan makna sebuah teks.35 Analisis ini memberi pemahaman,
antara lain, mengenai mengapa dan bagaimana fakta tekstual itu muncul.

D. Tengku Muhammad Saleh: Biografi dan Karya-Karyanya

Tengku Muhammad Saleh (selanjutnya disingkat TMS) merupakan


anak dari Tengku Abu Bakar (w. 2 Oktober 1929) dengan Tengku
Aluwiah. Menurut penuturan Tengku Husein (anak TMS), Tengku Abu
Bakar sebetulnya memiliki 11 atau 12 anak, namun anak yang hidup
sampai dewasa dan memiliki keturunan hanya 6 orang. Enam anak
tersebut adalah TMS, Tengku Hafsah, Tengku Ainun, Tengku Fitri,
Tengku Ahmad, dan Tengku Kalsum.

Tengku Muhammad Saleh dilahirkan pada akhir malam Jumat, 5


Syawal 1318 H atau bertepatan dengan 25 Januari 1901 M di Kota Damnah,
Daik, Lingga. Masa kecilnya tidak banyak diketahui. Setelah berumur 7
tahun, ia diambil oleh Sultan “Raja” Abd al-Rahmân Mu’azzham Syah
II (berkuasa: 1885-1911 M), Sultan Kerajaan Riau-Lingga terakhir, untuk
16_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018

tinggal di istananya di Pulau Penyengat. TMS dijadikan kawan sejawat


bagi cucunya, Tengku Mahmud, putera dari Tengku Umar (Tengku Besar
Riau).36

Masa-masa pendidikan TMS ditempuh dengan berpindah-pindah


tempat. Dua tahun setelah tinggal di Pulau Penyengat (± umur 9 tahun),
ia disekolahkan oleh Sultan Abdurrahman II di Sekolah Arabiyah yang
didirikan oleh Sultan. Namun hanya setahun ia berhenti sekolah karena
guru Sekolah Arabiyah tersebut mengalami gangguan jiwa. Berikut ini
penulis ringkaskan riwayat pendidikan dan aktifitas TMS:

Tabel 1

Riwayat pendidikan dan aktifitas TMS

Usia Tgl/Tahun Aktifitas/Pendidikan

TMS dilahirkan di Damnah, Daik,


25-01-1901
Lingga

Tinggal di istana Sultan Abdurrahman


± 7 tahun 1908 Mu’azzamsyah II di Pulau Penyengat
(2 tahun sebelum sekolah)

Belajar di Sekolah Arabiyah di Pulau


± 9 tahun 1910
Penyengat (1 tahun)

Belajar di Sekolah Kepribumian/


±10 tahun 1911
Sekolah Kelas II (1 tahun)

Sultan Abdurrahman Mu’azzamsyah


II dimakzulkan oleh Belanda, Sultan
03-02-1911
pindah ke Singapura. TMS pindah ke
Daik.

Pindah dan melanjutkan sekolah Kelas


±11 tahun 1911-1913
II di Daik, Lingga (± 2 tahun)
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _17

Pindah ke Mandah, Indragiri Hilir


(sekarang). Tengku Abu Bakar menjadi
±13 tahun 1913 Districtshoofd van Gaoeng-Mandah
(setingkat camat). (TMS tinggal di
Mandah ± 1 bulan dan tidak sekolah).

Pindah ke Johor Bahru, bersama


±13 tahun 1913/1914 Tengku Mahmud, masuk sekolah
Inggris (± 6 bulan).

28 Juli Terjadi perang dunia I, melibatkan


1914 Jerman vs Inggris

Pulang ke Daik, Lingga, hingga tamat


±13-15 tahun 1914-1916
sekolah kelas II tahun 1916.

Belajar ilmu agama kepada Imam


Kampung tentang: Akidah Islam,
±15-20 tahun 1916-1920 Iman, serta syarat dan rukun, sah, dan
batal, yang fardu ain dalam perkara
mengerjakan ibadah.

Dikirim oleh ayahnya agar magang di


kantor kontrolir Tanjung Pinang, tapi
±20 tahun 1920 TMS tidak berminat bekerja di kantor
pemerintah, sehingga ia kembali lagi
ke Daik, Lingga.

Membuat kebun getah para (kebun


±22 tahun 1923
karet) di Daik, Lingga.

02-10-1929 Tengku Abu Bakar wafat.

Pergi ke Sapat (Indragiri) dan menikah


±34-37 tahun 1935-1938
di sana dengan saudara sepupu.
18_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018

Membuat kebun kelapa di kuala Daik,


±37 tahun 1938
Lingga.

TMS ditangkap oleh Belanda karena


dianggap sebagai mata-mata untuk
Jepang, selama 7 hari dipenjara di
19-12-1941
Pulau Singkep. Namun berhasil
meloloskan diri ketika hendak dibawa
ke Betawi (Batavia).

Singapura dan sekitarnya dikuasai


15-02-1942
oleh Jepang, demikian juga Sumatera.

Menjadi Hakim Mahkamah Syariah


pada masa pendudukan Jepang,
±41-44 1942-1945
kantor Mahkamah ada di Pulau
Singkep.

Setelah kemerdekaan tetap tinggal di


±44-65 1945-1966 Daik, Lingga, hingga wafat pada 10
Oktober 1966.

Pendidikan formal TMS hanya ditempuh di Sekolah Rakyat (SR) yakni


Sekolah Kelas Dua (Tweede Inlandsche School) yang bisa ditempuh selama
3 tahun. Namun karena TMS berpindah-pindah maka diduga kuat
sekolah ini ditempuh lebih dari tiga tahun. Setelah lulus dari sekolah
rakyat, barulah TMS diarahkan oleh orang tuanya untuk belajar dasar-
dasar ilmu agama kepada Imam Kampung yang ada di Daik. Sementara
menurut penuturan Tengku Husein, TMS juga belajar agama ke Patani,
Sapat, dan Gaung Anak Serka (sebuah kecamatan di Kabupaten Indragiri
Hilir).37 Pernyataan Tengku Husein tentang “Sapat dan Gaung Anak
Serka” tersebut nampaknya sesuai dengan riwayat singkat yang dibuat
oleh TMS. TMS setidaknya pernah dua kali tinggal di daerah Indragiri,
yakni: pertama, selama ± 1 bulan pada sekitar tahun 1913 ketika ayahnya
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _19

menjadi Districtshoofd di Gaoeng-Mandah. Kedua, sekitar 3 tahun tinggal


di Sapat pada tahun 1935-1938. Pada saat ini TMS menikah, kemungkinan
dengan istri pertama, kemudian dilanjutkan dengan istri kedua, karena
istri pertama wafat.

Gaung Anak Serka dan Sapat merupakan dua daerah yang berada di
Kabupaten Indragiri Hilir, di daerah ini dikenal seorang tokoh ulama
yang cukup berpengaruh yakni Syekh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari.
Syekh Abdurrahman Shiddiq dilahirkan pada tahun 1284 H (1867 M)
di Kampung Dalam Pagar, Martapura, Kalimantan Selatan. Nama
lengkapnya Syekh Abdurrahman Shiddiq bin Muhammad ‘Afif bin
Muhammad bin Jamaluddin al-Banjari.38 Sepulang dari belajar di Makkah
dan Madinah, Syekh Abdurrahman sempat menetap di Mentok (Bangka)
dan melakukan beberapa kali perjalanan sebelum akhirnya menetap di
Sapat (sebuah desa di Kecamatan Kuala Indragiri, Kab. Indragiri Hilir)
setelah tahun 1907. Pada tahun 1919 Syekh Abdurrahman resmi menjadi
mufti Kerajaan Indragiri Hilir sampai beliau meninggal pada tanggal 10
Maret 1939.

Data pada tabel I di atas, menyebut bahwa TMS pernah tinggal di Sapat
pada tahun 1935-1938, maka ada kemungkinan kuat bahwa TMS pernah
bertemu atau belajar secara langsung dengan Syekh Abdurrahman
Shiddiq di Sapat. Meski demikian dalam kitab Nûr al-Shalâh, tidak
disebut sekali pun nama Abdurrahman Shiddiq. Demikian juga dalam
naskah-naskah eks koleksi TMS tidak terdapat naskah yang ditulis oleh
Abdurrahman Shiddiq. Sebaliknya, terdapat satu salinan naskah fikih
yang disusun oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yakni Kitâb
Majmû’ yang ditulis di Banjar pada 30 Muharram 1233 H (10 Desember
1817 M). Kolofon kitab tersebut menyebut bahwa naskah tersebut disalin
di Malaka pada 25 Zulhijjah 1263 H (4 Desember 1847 M).39

Selama hidupnya, menurut Tengku Husein TMS menikah empat


kali, namun hanya istri keempat yang melahirkan banyak keturunan
dan masih ada hingga sekarang. Istri pertama dan kedua berasal dari
20_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018

Mandah (Tengku Husein menyebut “Mande”), yakni: Jariyah dan Bontol


(bukan nama sebenarnya). Istri pertama dan kedua ini adalah kakak-
beradik. TMS menikah dengan istri kedua, yang merupakan adik dari
istri pertama, karena istri pertama meninggal dunia.40

TMS menikah dengan istri keempat, Rafeah binti Muhammad Nur


pada tahun 1951. Saat itu TMS berumur 50 tahun dan Tengku Rafeah
berumur 18 tahun. Dari pernikahan ini, TMS dikaruniai 7 anak, yakni:
Tengku Husein (L. 1952), Tengku Hasna (L. 1953), Tengku Saodah (L.
1955), Tengku Salme (L. 1957), Tengku Salman (wafat 3 tahun), Tengku
Salim (1960-1997), dan Tengku Hasiah (L. 1964).

TMS termasuk ulama yang cukup produktif dalam menulis. Karya-


karyanya berupa ringkasan pelajaran untuk disampaikan kepada murid-
muridnya, maupun untuk dicetak. Ada beberapa karya beliau yang
sudah dicetak diantaranya adalah Kitab Nûr al-Shalâh dan Risālah Tajwîd
al-Fâtihah. Risâlah Tajwîd al-Fâtihah diselesaikan melalui tulis tangan
pada 3 Sya’ban 1371 H (28 April 1952 M). Hal ini berarti Risâlah Tajwîd al-
Fâtihah selesai dan dicetak dua tahun sebelum Kitab Nûr al-Shalâh.

TMS juga menyalin beberapa naskah karangan para ulama terdahulu.


Beberapa contoh salinan naskah, ringkasan, atau naskah yang disusun
oleh TMS di bidang fikih adalah: Risalah Pada Menyatakan Hakikat Orang
Sembahyang, Masalah Dua Puluh Dua Puasa, Mukhtasar Fatwa Mahkamah
Riau-Lingga, Buku Nukil Pelajaran Agama, dan Kitab al-Faraid. Ada dua
Kitab al-Faraid yang mencantumkan nama TMS sebagai pengarang,
salah satu diantaranya mencantumkan tanggal penyusunan, yakni pada
2 Muharram 1363 H (29 Desember 1943 M) dan 30 Rabiulawwal 1365 H
(4 Maret 1946 M).

Sementara itu versi tulisan tangan dari Kitab Nûr al-Shalâh diselesaikan
pada tahun 1373 H (1954 M) dan dicetak oleh Al-Ahmadiyah Press,
Singapura pada tahun yang sama. Versi tulisan tangan tersebut terdiri
dari 45 halaman, sedangkan versi cetaknya terdiri dari 93 halaman isi
dan beberapa halaman fihrasah (daftar isi) di bagian belakang.
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _21

Fihrasah ini terdiri atas 97 poin isi buku, tidak terlebih dulu dibagi
dalam beberapa “bab” kemudian masing-masing bab dibagi dalam
beberapa “sub bab”, juga tidak dibagi menjadi beberapa “pasal” dan
“sub pasal”. Demikian pula “judul” yang tertulis dalam 97 poin tersebut
bukan tertulis sebagai “judul” dalam halaman yang tersebut di
dalamnya. Misalnya poin nomor 2, 3, dan 4 tertulis judul dalam fihrasah
adalah “Khutbah kitab, Asal sembahyang, dan Arti sembahyang pada lughat”,
ketiganya terletak di halaman 4. Ternyata “judul” poin tersebut tidak
ditemukan pada halaman 4. Tiga poin tersebut ditemukan sebagai “isi
pembahasan” di halaman 4, tidak tertulis sebagai judul bab atau sub bab
pada halaman 4.

Diantara 97 poin tersebut ada beberapa poin yang tertulis dengan


judul “Pasal ..... dst”, namun pada halaman yang ada, hanya tertulis
“Pasal”, tidak tertulis “isi pasal” secara lengkap sesuai fihrasah-nya,
kecuali “pasal” paling awal pada halaman 9. Beberapa pasal tersebut
adalah: poin nomor 18 “Pasal niat dan Hadisnya” (halaman 9), poin nomor
32 “Pasal waktu kita tidur” (halaman 28), poin nomor 42 “Pasal istihdhâr dan
muqâranah (halaman 33), poin nomor 65 “Pasal mewajibkan sembahyang”
(halaman 51), poin nomor 91 “Pasal hukum berjamaah” (halaman 85), dan
poin nomor 97 “Pasal pada menyatakan aurat” (halaman 91). Sementara itu
pada halaman 9 tertulis judul “Pasal pada menyatakan segala syarat-syarat
daripada rukun sembahyang”. Judul pasal ini berbeda dengan yang tertera
dalam fihrasah yakni “Pasal niat dan Hadisnya”. Mengingat mulai halaman
9-28 membicarakan 13 rukun sembahyang, maka judul poin yang tepat
adalah “Pasal rukun sembahyang”. Adapun jika judul poin tersebut
dimaksudkan untuk menyebut isi pada halaman 9 maka cukup ditulis
“Niat dan hadisnya.” Sebaliknya, ada dua “pasal” yang dalam fihrasah
tidak disebut sebagai pasal, yakni tentang: “Sunnah-sunnah dalam
sembahyang” (halaman 63-71) dan “Makna zahir dan batin sembahyang”
(halaman 72-78).

Merujuk pada isinya, kitab Nûr al-Shalâh setidaknya berisi sebelas pokok
bahasan: pertama, khutbah kitab: makna sembahyang (halaman 4-9).
22_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018

Kedua, rukun sembahyang (halaman 9-28). Ketiga, makna dan tahapan niat
(halaman 28-33). Keempat, istihdhâr dan muqâranah (halaman 33-43). Kelima,
makna gerakan dan bacaan dalam sembahyang (halaman 44-51). Keenam,
hal yang mewajibkan sembahyang, syarat sah sembahyang, hal yang
membatalkan sembahyang, hal yang makruh dalam sembahyang, dan
uzur dalam sembahyang (halaman 51-63). Ketujuh, sunnah sembahyang
dan sujud sahwi (halaman 63-72). Kedelapan, makna lahir dan batin
sembahyang (halaman 72-78). Kesembilan, bacaan sembahyang dan artinya
dalam bahasa Melayu (halaman 78-84). Kesepuluh, sembahyang berjamaah
(halaman 85-91). Kesebelas, aurat pada saat sembahyang (91-93).

E. Nûr al-Shalâh : Perpaduan Tradisi Fikih Arab Klasik dan


Melayu

Sebelum melangkah pada pembahasan berikutnya, penulis telah


mengumpulkan sejumlah nama tokoh dan nama kitab yang disebut
oleh TMS dalam Nûr al-Shalâh. Diantara tokoh-tokoh tersebut ada yang
disebut sebagai objek narasi oleh TMS, namun ada juga yang merupakan
sumber referensi penting. Dalam beberapa referensi yang disebut, TMS
hampir selalu menyebutkan sumber pustaka yang dia gunakan, lengkap
dengan penerbit, pasal, dan nomor halaman. Berikut ini beberapa nama
tokoh dan nama sejumlah kitab yang telah penulis kumpulkan:

Tabel 2
Nama-Nama Tokoh dalam Kitab Nûr al-Shalâh

No Nama Tokoh Halaman


1. Fudhayl ibn ‘Iyâd (w. 187/802/3 M) 9
2. Syâfi’i (w. 204/819 M) 8, 70, 91
Imâm al-Haramayn / Imâm Haramayn/ ‘Abd
3. al-Mâlik (b. ‘Abdullāh) al-Juwaynî (w. 478 H 40,41
(1085 M).
4. Imâm Ghazâlî (w. 505 H/1111 M) 31, 40
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _23

5. Imam Nawâwî (w. 676/1277 M) 6, 40, 60, 88, 92


6. Ibnu al-Raf'ah (w. 710/1310 M) 40
7. Syaikh al-Subkî (w. 771 H (1370 M) 40
Syaikh Hamzah/Hamzah Fanshurî
8. 49, 87
(w. 1527 M)
9. Shihâb al-Dîn al-Barlisî (w. 957 H (1550 M) 36
Ibnu Hajar (al-Haytamî) (Tuhfah) (w. 974/1567
10. 33, 35, 40
M)
11. Khathîb Sharbînî (w. 977/1570 M). 40
Imâm Ramlî (Muhammad al-Ramlî (w.
12. 35
1004/1596 M).
13. Syams al-Dîn al-Sumațrâ’î (w. 1630 M) 87
14. Syaikh Qalyûbî (w. 1069 H/1659 M) 36
15. Nûruddîn (al-Rânirî) Aceh (w. 1658 M) 36
16. Syaikh Adhrâ’i 87
17. Dawûd Fathânî (w. 1265/1847 M) 45, 63
Muhammad Isma'îl Dawûd Fatânî (w.
18. 58
1333/1915 M)
Muhammad Idrîs “al-Marbawi” (l. 1896-w.
19. 51
1989)
20. Habib 'Uthmân Betawi (l. 1822-w. 1914) 85
21. ‘Abd al-Hâdî Kâmil (w. ?) 72
22. Hajar al-Aswad 49
23. Jâbir 44
24. Mu'âdh 44
25. Abu Bakar 45
26. Jibril 45
27. Malaikat 45
28. Iblis 45
29. Adam 45
30. Ibrohim 46
31. Nabi Yunus 46
32. Nabi Isa 46
24_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018

33. Sayyidina ‘Umar 8, 9


34. 'Ubâdah bin al-Sâmit 14
35. Nabi Allah Musa 46
36. Imam Malikī 59, 70
37. Imam Ahmad 60
38. Sayyidatina Fāțimah 62
39. Shaykhayn 63
40. ‘Abdullâh ibn Mas'ûd 22
41. Ibn 'Abbâs 20
42. Abî Hurayrah 18, 19, 20, 86
43. Bukhârî 18, 20, 21
44. Tirmidhî 88

Tabel 3
Nama-Nama Kitab dalam Kitab Nūr al-Șalāh

No Nama Kitab Halaman “Pengarang”


Tuhfah (Tuhfah al-Muhtâj fī Ibnu Hajar al-Haytamî
1. 33, 35, 40
Sharh al-Minhâj) (w. 974/1567 M)
Nihâyah (Nihâyah al-Muhtâj Muhammad al-Ramlî
2. 35
Sharh al-Minhâj) (w. 1004/1596 M).
Nûruddîn al-Rânirî (w.
3. Shirâth al-mustaqîm 36
1658 M)
Muhamad Zayn b.
4. Kashf al-Kirâm 36 Faqih Jalal al-Dîn al-
Asyi (1170/1/1757/8 M)
Dâwud Fathânî (w.
5. Bughyah 63
1265/1847 M)
Dâwud Fathânî (w.
6. Jam' al-fawâ’id 45, 47
1265/1847 M)
Dâwud Fathânî (w.
7. Furû' al-Masâ’il 48
1265/1847 M)
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _25

Bahr al-Wâfī (wa Nahr al- Muhammad Fathânî


8. 58
Șāfī) (w. 1333/1915 M).
‘Alî ibn ‘Abd al-Rahmân
9. Jawhar al-Mawhûb 45
al-Kelantani (w. 1913 ).
'Anâshir al-Insân li al-
10. 47 ..?
Muttaqîn
11. Maw'izhah li al-nâs 47 Anonim.
12. Hidâyah al-Sâ’il 58 ..?
Nûr al-Islâm (Majalah/ Universitas Al-Azhar,
13. 51
Buletin) Mesir (1930-1934)
H. Muhammad Said
14. Tafsir Nûr al-Ihsân 48
bin Umar (w. 1932 M).
Al-Imam Printing
15. Agama Islam 50
Company Limited
Mohamed Idris al-
16. Perbendaharaan Ilmu 51
Marbawi (1896-1989)
Mohamed Idris al-
17. Tafsîr Marbawî 50
Marbawi (1896-1989)
Bahr al-Mâdhî (li Sharh
Mohamed Idris al-
18. Mukhtashar Shahîh al- 63
Marbawi (1896-1989)
Tirmidhî)
Kumpulan Fatwa Mufti
19. Muhimmât (al-Nafâ’is) 58 Makkah (1310 H/1892
M).
‘Abd al-Hâdî Kâmil (w.
20. Rahasia Sembahyang 72
..?)
Habib 'Uthmân Betawi
21. Jam' al-fawâ’id 85
(l. 1822-w. 1914)

Berdasarkan daftar tokoh dan kitab yang disebut dalam Nûr al-Shalâh
di atas dapat disebut bahwa kitab ini menggunakan sumber-sumber
otoritatif dalam fikih ibadah. Ada beberapa kitab rujukan dalam tradisi
fikih mazhab Syafii di Timur Tengah yang disebut oleh TMS. Pertama,
26_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018

adalah kitab Tuhfah. Judul lengkap kitab ini adalah Tuhfah al-Muhtâj fî
Sharh al-Minhâj karya Ibnu Hajar al-Haytamî (w. 974/1567 M). Kedua,
kitab fikih yang disebut adalah kitab Nihâyah. Judul lengkap kitab ini
adalah Nihâyah al-Muhtâj Sharh al-Minhâj karya Muhammad al-Ramlî (w.
1004/1596 M).

Dua kitab yang disebut di atas merupakan dua diantara empat kitab
pokok yang digunakan pula sebagai rujukan oleh Dâwûd bin ‘Abdullâh
al-Fathânî (w. 1265/1847 M) ketika menyusun kitab Bughyah al-Thullâb
li Murîd Ma›rifah al-Ahkâm bi al-Shawâb.41 Bughyah al-Thullâb itu sendiri,
juga nanti disebut oleh TMS sebagai referensi kitab dalam bahasa
Melayu. Ada dua kitab lain yang tidak disebut oleh TMS, yakni Minhâj al-
Thâlibîn karya al-Nawâwî dan Fath al-wahhâb karya Zakariya al-Anshârî.
Meskipun Minhâj al-Thâlibîn tidak disebut oleh TMS, namun beberapa
kali ia menyebut pengarangnya, yakni Imam Nawâwî.42

Selain kitab-kitab dalam bahasa Arab, TMS juga menyebut beberapa


kitab referensi untuk fikih ibadah dalam bahasa Melayu. ‹Abdullah
dan Bruinessen43 menyebut setidaknya ada lima kitab fikih ibadah yang
paling populer dalam tradisi Melayu yakni: Shirâth al-Mustaqîm karya
Nûr al-Dîn al-Rânirâ (w. 1658 M), Sabîl al-Muhtadîn karya Muhammad
Arsyad al-Banjari (w. 1227/1812 M), Bughyah al-Thullâb karya Dâwûd
bin ‘Abdullâh al-Fathânî, Fath al-Mubîn karya Muhammad Shalih al-
Rawa/al-Rawi dan Bahr al-Wâfī wa al-Nahr al-Shâfī karya Muhammad bin
Ismâ›îl Daudi al-Fathânî. Tiga diantara lima kitab itu disebut oleh TMS
dalam Nûr al-Shalâh kecuali Sabîl al-Muhtadîn dan Fath al-Mubîn. Hal ini
menunjukkan bahwa TMS juga mengetahui sumber-sumber referensi
fikih ibadah dalam tradisi Melayu.

Shirâth al-Mustaqîm merupakan kitab fikih pertama yang disusun


dalam bahasa Melayu. Menurut keterangan TMS kitab ini disusun pada
tahun 1044/1634 M.44 Menurut Azra dan Bruinessen45, kitab ini merupakan
kitab fikih yang paling populer di dunia Melayu-Indonesia. Bahkan
menjadi bacaan favorit kalangan ulama di Jawa pada pertengahan abad
ke-19.46
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _27

Bughyah al-Thullâb terdiri atas dua jilid, masing-masing berisi 244 dan
236 halaman. Kitab ini telah dicetak berulang kali di Makkah, Istanbul,
Kairo, dan berbagai tempat di Nusantara. Isinya menjelaskan secara rinci
berbagai kewajiban keagamaan kaum Muslimin. Furû› al-Masâ’il juga
telah dicetak ulang beberapa kali di Makkah (1257/1841) dan Kairo (t.t)..
Seperti Bughyah al-Thullâb, kitab ini pun terdiri atas dua jilid, masing-
masing 275 dan 394 halaman.47

Salah satu perbedaan penting dalam tradisi penulisan kitab di


pesantren di Jawa (termasuk Madura dan Sunda) dengan pesantren
di daerah Melayu (Sumatera, Malaysia, dan Kalimantan) ialah bahwa
di Jawa penekanan diberikan pada kitab Arab klasik, yang terkadang
diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Sementara di daerah Melayu,
biasanya berupa karya-karya orisinal karangan Ulama Melayu. Baru
pada abad XX kitab-kitab Melayu ini secara berangsur-angsur digantikan
dengan kitab-kitab klasik berbahasa Arab.48

Salah satu tujuan penulisan kitab dengan bahasa Melayu ialah


agar kaum Muslim Melayu Indonesia dapat memahami ajaran-ajaran
syariat. Para ulama menyadari bahwa sebagian besar masyarakat tidak
bisa memahami dengan baik teks-teks berbahasa Arab. Oleh karena
itu, teks-teks keagamaan perlu disusun dalam bahasa Melayu agar
masyarakat umum dapat memahami ajaran agama dengan baik. Hal
tersebut sebagaimana ditegaskan oleh Dawud al-Fatânî bahwa seorang
fakih yang baik akan dapat mempertahankan dirinya secara lebih baik
melawan “kejahatan” dibanding seribu orang Muslim yang menjalankan
kewajiban agama tanpa disertai pengetahuan yang memadai.49

Selain berfungsi sebagai media dalam memahami ajaran-ajaran agama.


Bahasa Melayu juga berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan dan
melestarikan nilai-nilai luhur budaya Melayu. Hal ini misalnya disadari
dengan sangat baik oleh Raja Ali Haji. Lahirnya Kitab Pengetahuan
Bahasa, misalnya, menurut Andaya dan Matheson merupakan bukti dari
keinginan Raja Ali Haji untuk membantu rakyatnya yang ingin hidup
saleh dan bersikap sesuai dengan tradisi Melayu.50
28_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018

F. Teosofi “Salat”

TMS terlihat berusaha semaksimal mungkin agar makna ibadah salat


dapat difahami dan diresapi oleh setiap individu Muslim. Hal ini terlihat
dari usaha-usaha yang dilakukannya. Selain menyusun kitab Nûr al-
Shalâh dengan bahasa Melayu, ia juga menerjemahkan semua bacaan-
bacaan salat dari niat sampai salam ke dalam bahasa Melayu setiap kata
dan/atau frasa dengan tetap mencantumkan teks Arabnya.

Tidak hanya itu, TMS juga memberikan legitimasi tafsir teosofis dan
filosofis terhadap setiap gerakan-gerakan dalam salat dan bacaannya,
termasuk jumlah rakaatnya. Ia mengambil referensi dari berbagai
sumber untuk menjelaskan makna-makna gerakan dan bacaan dalam
salat. Misalnya tentang mengapa dalam salat ada gerak berdiri, rukuk,
dan sujud, mengapa ada dua kali sujud, dan mengapa salat itu ada lima
waktu dengan jumlah rakaat tertentu.51

Sembahyang -istilah yang lebih banyak digunakan oleh TMS daripada


salat- menurut TMS adalah himpunan dari ibadah yang dilakukan oleh
para malaikat dan nabi-nabi terdahulu.52 Hal ini sesuai dengan apa yang
terdapat dalam doktrin Islam bahwa salat merupakan satu-satunya
ibadah yang perintahnya diterima langsung oleh Rasulullah Saw. dalam
peristiwa Mikraj. Maka salat merupakan ibadah istimewa dimana setiap
Muslim yang telah melaksanakan salat dengan khusyuk berarti ia telah
melaksanakan ibadah sebagaimana ibadah yang dilakukan oleh para
malaikat dan nabi-nabi terdahulu.

Guna menjelaskan bahwa salat merupakan ibadah yang dilakukan


oleh para malaikat, TMS menyebut pernyataan yang disampaikan oleh
Syekh Dawud Fathânî (w. 1265/1847 M) sebagaimana terdapat dalam
kitab Jamʻ al-Fawâ’id. Diriwayatkan oleh Jâbir dan Muʻâdh Ra. bahwa
saat Rasulullah Mikraj ke langit ketujuh, ia melihat para malaikat yang
patuh beribadah sesuai perintah Allah Swt.. Di langit dunia (pertama),
Nabi Saw. melihat para malaikat yang berdiri selama-lamanya dengan
menyebut zikrullah. Di langit kedua, Nabi Saw. melihat para malaikat
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _29

yang rukuk selama-lamanya. Di langit ketiga, Nabi Saw. melihat para


malaikat yang sujud kepada Allah tanpa mengangkat kepalanya,
kecuali ketika Nabi Saw. memberi salam kepada mereka, maka mereka
mengangkat kepalanya menjawab salam Rasulullah, kemudian mereka
sujud kembali hingga hari kiamat. Di langit keempat, Nabi Saw. melihat
para malaikat yang mengucap tasyahud. Di langit kelima, Nabi Saw.
melihat para malaikat yang mengucap kalimat tasbih dan berzikir. Di
langit keenam, Nabi Saw melihat para malaikat yang melantunkan
kalimat takbir. Dan di langit ketujuh, Nabi Saw melihat para malaikat
yang senantiasa mengucap salam dengan berkata: “yâ salâm, yâ salâm.”53

Salah satu persoalan “teosofis” yang juga dibahas oleh TMS adalah
mengapa sujud ada dua kali dalam satu rakaat. Ketika menjelaskan
masalah ini, TMS merujuk dua peristiwa sebagai jawaban: pertama,
sebagaimana dalam penjelasan tentang gerakan salat di atas, yakni bahwa
para malaikat yang sedang sujud di langit ketiga, sempat mengangkat
kepala karena menjawab salam Rasulullah Saw., dengan demikian para
malaikat tersebut melakukan sujud dua kali. Kedua, TMS menyebut
riwayat dari kitab Jawhar al-Mawhûb bahwa sujud dua kali merujuk pada
peristiwa ketika malaikat sujud kepada Adam, mereka mendapati iblis
menentang perintah Allah karena tidak mau sujud kepada Adam. Maka
malaikat melakukan sujud untuk yang kedua kali sebagai ungkapan
syukur bahwa mereka tidak termasuk hamba yang menentang perintah
Allah.

Persoalan lain yang mendapat penjelasan cukup luas oleh TMS ialah
tentang jumlah rakaat dalam salat dan waktunya. Sembahyang Subuh
menurut TMS, pertama kali dilakukan oleh Nabi Adam As. sebagai
bentuk ungkapan syukur kepada Allah Swt.. Saat ia turun ke dunia, dan
berada dalam “kegelapan”, ia dihinggapi ketakutan yang luar biasa.
Kemudian tiba-tiba terbit fajar, maka ia bersyukur dengan melaksanakan
salat dua rakaat. Syukur yang pertama karena bebas dari kegelapan.
Kedua, syukur karena terbitnya mentari pagi. Hal ini sebagaimana terlihat
dalam kutipan berikut ini:
30_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018

“Maka pertama-tama orang yang sembahyang fardu subuh itu Nabi


Adam ‘alayhim al-salâm tatkala keluar ia daripada surga dan melihat
ia akan zhulmah. Dan takut ia akan sebagai takut yang sangat maka
tatkala subuh dan pecah fajar sembahyang ia dua rakaat. Yang pertama
syukur bagi kelepasan ia daripada kelam dan keduanya syukur sebab
kembali siang hari.”54

Sedangkan salat Zuhur, ibadah ini menurut TMS, pertama kali


dilakukan oleh Nabi Ibrahim As. Saat ia diperintah oleh Allah Swt. untuk
menyembelih putra terkasihnya, Ismail As., Ibrahim As. pun hendak
menepati janjinya menyembelih putranya. Allah Swt. mengetahui
niat tulus dan keikhlasan Ibrahim As. Untuk menyembelih putranya.
Maka Allah mengganti dengan domba sebagai penebusnya. Perintah
tersebut menurut TMS terjadi saat gelincir matahari. Karena anugerah
tersebut maka Ibrahim As. pun melaksanakan sembahyang empat rakaat
sebagai ungkapan syukur: pertama, syukur bagi penebusan Ismail As..
Kedua, syukur untuk membukakan dukacita anak. Ketiga, syukur untuk
mengharapkan keridaan Allah Swt.. Keempat, syukur karena tebusan
yang amat besar.55

Orang yang pertama melaksanakan salat Asar menurut TMS adalah


Nabi Yunus As. ketika diselamatkan oleh Allah dari perut ikan. Nabi
Yunus As. ketika itu telah mengalami empat kegelapan: Pertama, kelam
zhulmah kesalahan. Kedua, kelam dalam air lautan. Ketiga, kelam malam.
Keempat, kelam perut ikan. Keluarnya terjadi pada waktu asar. Maka
Nabi Yunus As. sembahyang empat rakaat, sebagai ungkapan syukur
kepada Allah karena bebas dari empat kegelapan tersebut.

Ibadah salat Magrib pertama kali dilakukan oleh Nabi Isa As. tatkala
diselamatkan oleh Allah dari kaumnya. Hal itu terjadi ketika matahari
terbenam. Maka ia sembahyang tiga rakaat sebagai ungkapan syukur.
Pertama, dengan menafikan ketuhanan bagi selain Allah Ta’âlâ. Kedua,
menafikan tuhmah bagi ibunya. Ketiga, mengakui Ketuhanan hanya bagi
Allah. Oleh karena itu, dua rakaat yang awal itu terhubung, sedangkan
rakaat yang ketiga tersendiri.
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _31

Salat Isya pertama kali dilaksanakan oleh Nabi Musa As. sebagaimana
terlihat dalam kutipan berikut:

“Dan pertama-tama orang yang sembahyang Isya itu Nabi Allah Musa
‘alayhi al-salâm. Ketika sesat jalan, ketika keluar ia daripada Madyan
dan adalah padanya itu di dalam dukacita istrinya, dan dukacita
Harun saudaranya, dan dukacita seterunya, Fir’aun, dan dukacita
beberapa anaknya. Maka dilepaskan Allah Ta›âlá daripada demikian
itu sekaliannya dengan janjian yang sebenar, dan adalah demikian
waktu Isya yang akhir. Maka sembahyang ia empat rakaat syukur
akan Allah Ta›âlá daripada segala dukacita yang empat itu.”56

Penjelasan-penjelasan teosofis di atas, menurut TMS terdapat dalam


berbagai kitab, seperti: Jam’ al-Fawâ’id, ’Anâshir al-Insân li al-Muttaqîn,
Maw’izhah li al-Nâs, dan Jawhar al-Mawhûb.

Kitab Jam’ al-Fawâ’id menurut Abdullah selesai ditulis pada tahun 1239
H (1823/24 M) dan telah beberapa kali dicetak di Mesir dan Makkah. Jam’
al-Fawâ’id merupakan kitab tasawuf akhlaki, isinya membahas kelebihan-
kelebihan suatu amal dan akhlak; berbeda dengan kitab Manhal al-Shâfī,
karangan Dâwud al-Fathânî yang berisi ulasan tasawuf falsafi seputar
teologi, ontologi dan kosmologi.57 Kitab Jam’ al-Fawâ’id dirancang untuk
mengimbangi kitab-kitab yang disusun para ulama fikih. Kitab ini juga
dilengkapi dengan cerita-cerita kesufian, dan kelebihan bulan-bulan
tertentu, misalnya bulan Rajab. Pada keistimewaan bulan Rajab tersebut
terdapat kisah Isra Mikraj Nabi Saw.. Diduga kuat pada kisah Isra Mikraj
inilah terdapat riwayat tentang salat para nabi di atas.

Selain memberikan penjelasan teosofis dan filosofis tentang salat


tersebut, TMS juga menyebut bahwa penafsiran atau kesahihan
peristiwa-peristiwa tersebut masih terdapat khilafiah. Ia menyarankan
kepada pembaca untuk merujuk pada kitab ‘Anâshir al-Insân li al-
Muttaqîn dan kitab Maw’izhah li al-Nâs untuk memperoleh pemahaman
lebih lanjut. Namun penulis belum memperoleh informasi memadai
tentang kitab-kitab tersebut. Setidaknya ada tiga kitab yang disebut oleh
32_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018

TMS, yang hingga tulisan ini dimuat penulis belum berhasil menemukan
pengarangnya, yaitu kitab: ‘Anâshir al-Insân li al-Muttaqîn, Maw’izhah li
al-Nâs, dan Hidâyah al-Sâ’il.

Sesuai tabel 3 di atas, terlihat bahwa sebagian besar referensi yang


digunakan oleh TMS berasal dari para ulama Melayu Patani dan
Malaysia. Maka patut diduga bahwa ketiga kitab tersebut merupakan
karya ulama Melayu. Maw’izhah li al-Nâs misalnya, menurut Mohd. Nor
bin Ngah terdapat dalam scalia (hamisy) kitab Miftâh al-Jannah.58 Kitab
Miftâh al-Jannah merupakan kompilasi empat teks, yakni: Ushûluddîn;
Ushûluttahqîq pada Ushluddîn; Maw’izhah li al-Nâs; dan Kitab Tajwîd.
Namun penulis kitab Maw’izhah li al-Nâs tidak mau menuliskan namanya
karena takut sombong.

Sementara itu, hanya ada dua sumber dari “Timur Tengah” yang
menyebut kisah tentang para nabi terdahulu yang melaksanakan salat
sesuai dengan narasi di atas yakni kitab Rûh al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân
karya Syekh Ismâ’îl Haqqî al-Barûsawî (w. 1127 H/1715 M atau 1137
H/1725 M) dan Hilyah al-Nâjî ’alá al-Sharh al-Halabî karya Syekh Musthafâ
Güzelhisari (al-Kawz Lihishârî) (w. 1215 H/1800 M). Al-Barûsawî
menyebut riwayat-riwayat tentang rakaat-rakaat salat tersebut ketika
menafsirkan al-Qur›an Surah al-Isrâ ayat 1.59 Namun al-Barûsawî tidak
menyebut sumber periwayatan kisah salat para nabi tersebut. Sementara
itu dalam Hilyah al-Nâjî, Güzelhisari60 menyebut bahwa kisah tentang
para nabi yang mula-mula melaksanakan salat tersebut ia kutip dari
kitab Mi’râj al-Dirâyah Syarh al-Hidâyah karya Qawâm al-Dîn al-Kâkî
(Muhammad bin Muhammad al-Sanjârî/w. 749/1348 M).

Hilyah al-Nâjî merupakan hâsyiyah atas Mukhtashâr Ghunyah al-


Mutamallî fî Syarh Munyah al-Mushallî. Kitab yang disebut belakangan
merupakan versi ringkas dari Ghunyah al-Mutamallī fî Syarh Munyah al-
Mushallî karangan Ibrâhîm bin Muhammad bin Ibrâhîm al-Halabî (w.
956/1549 M). Kedua karya al-Halabî tersebut merupakan penjelasan atas
karya Muhammad bin Muhammad bin ‘Alî al-Kâshgharî (w. 705/1305
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _33

M) yakni Munyah al-Mushallî wa Ghunyah al-Mubtadî. Selain tafsir Rûh al-


Bayân, yang bukan merupakan kitab fikih, kitab-kitab tersebut berada
pada jaringan ulama-ulama fikih Mazhab Hanafi yang hidup pada
pertengahan abad XIII (meninggal awal abad XIV) sampai akhir abad
XVIII. Hal ini membuktikan bahwa para ulama Nusantara tidak fanatik
terhadap mazhab tertentu. Adakalanya dalam bidang fikih mereka
menggunakan Mazhab Syafii tetapi dalam aspek pemikiran lainnya,
mereka mengikuti pendapat mazhab lain yang dianggap lebih sesuai.

Jika kita perhatikan, narasi tentang salat yang dilakukan oleh para
nabi terdahulu, maka terdapat satu nilai budaya dan agama dalam
tradisi Melayu yang sangat ditekankan yakni ungkapan terima kasih
atau syukur. Menurut narasi-narasi tersebut salat merupakan bentuk
rasa sukur seorang hamba kepada Allah atas limpahan rahmat dan
karunianya. Hal yang juga menarik adalah bahwa ungkapan syukur
tersebut merupakan hasil dari asosiasi antara sejumlah nikmat, ampunan
dan keselamatan yang diterima dengan jumlah rakaat dalam salat.

G. Penutup

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa: pertama,


penulisan kitab fikih di wilayah Melayu-Indonesia, khususnya di Pulau
Lingga dan sekitarnya, tidak jauh berbeda dengan penulisan kitab
fikih di wilayah Melayu lainnya yakni lebih dominan menggunakan
referensi kitab-kitab fikih yang dikarang oleh ulama Melayu dan ditulis
menggunakan bahasa Melayu. Ketika menyusun kitab Nûr al-Shalâh TMS
menggunakan tiga diantara lima kitab fikih yang paling dikenal dalam
tradisi Melayu yakni: Shirâth al-Mustaqîm karya Nûr al-Dîn al-Rânirî (w.
1658 M), Bughyah al-Thullâb karya Dâwud bin ‘Abdullâh al-Fathânî (w.
1265/1847 M), dan Bahr al-Wâfī wa al-Nahr al-Shâfî karya Muhammad bin
Ismâ›îl Daudi al-Fathânî (w. 1333/1915 M).

Kedua, adapun upaya internalisasi ibadah salat yang dilakukan oleh


TMS dilakukan melalui tiga hal: Satu; menulis sesuai dengan bahasa ibu
34_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018

para pembaca tulisannya yakni bahasa Melayu. Dua, menerjemahkan


teks bacaan-bacaan ketika salat ke dalam bahasa Melayu, setiap kata
dan/atau frasa. Tiga, melengkapi dengan penjelasan dan teosofi dibalik
setiap gerakan, bacaan atau jumlah tertentu gerakan ketika salat. Ketika
menjelaskan pentingnya ibadah salat, TMS membangun argumentasi
bahwa salat merupakan bentuk ungkapan syukur kepada Allah Swt..

Kajian ini dapat terwujud karena bantuan berbagai pihak, baik secara
individu maupun kelembagaan. Secara kelembagaan penulis ucapkan
terima kasih kepada Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Agama
Jakarta, Dr. M. Adlin Sila, Ph.D.. Saya ucapkan terima kasih kepada para
narasumber sepanjang penulis melakukan penelitian di Pulau Lingga,
Kepulauan Riau. Terkhusus kepada Tengku Husein Saleh sebagai
salah seorang putra dari Tengku Muhammad Saleh, Tengku Saodah,
Muhammad Fadli serta K.H. Ahmad Baso dan Dr. Munawar Holil,
M.Hum yang telah membantu penulis dari sisi penulisan penelitian ini
sejak awal. Demikian juga penulis ucapkan terima kasih kepada tim
redaksi Jurnal Bimas Islam yang telah memberikan saran-saran dan
perbaikan sehingga tulisan ini layak dimuat.
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _35

Daftar Pustaka

Buku dan Artikel

Abdullah, Hawash, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya


di Nusantara. Surabaya: Al-Ikhlas, 1980.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Kencana Prenada Media,
2007.
al-Barûsawî, Ismâ’îl Haqqî, Rûh al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân. Beirut: Dār
Ihyā al-Turâth al-Arabî, T. th.
Baso, Ahmad, Pesantren Studies; Buku Kedua: Kosmopolitanisme
Peradaban Kaum Santri di Masa Kolonial (Pesantren, Jaringan
Pengetahuan dan Karakter Kosmopolitan-Kebangsaannya).
Jakarta: Pustaka Afid, 2012.
Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-
tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1995.
_________, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan, 1996.
Dahlan, Ahmad, Sejarah Melayu. Jakarta: KPG, 2014.
Darmawi, Ade, Ibrah Keagamaan dalam Syair Ibarat dan Khabar Kiamat
Karya Syekh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari. Pekanbaru: Alaf
Riau, 2003.
Firmansyah, “Internalisasi Nilai-Nilai PAI Melalui Metode Pembiasaan
pada Siswa MTs Al-Kautsar Ranggo”, Jurnal Studi Pendidikan
Islam Al-Furqan, Vol. V No. 2 Edisi September 2017-Februari 2018.
Hadi, Syofyan, Naskah al-Manhal al-‘adhb li al-dzikr al-qalb: Kajian
atas Dinamika Perkembangan Ajaran Tarekat Naqshabandiyah
Khalidiyah di Minangkabau, Tangerang Selatan: LSIP, 2011.
Gross, David, The past in ruins: tradition and the critique of modernity,
(Massachussets: The University of Massachussets Press, 1992.
Güzelhisari, Mustafa ibn Muhammad, Hilyah al-Nâjî ‹alâ al-Syarh al-
36_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018

Halabî, Dokumentasi Digital oleh Perpustakaan Nasional Austria


pada 7 Februari 2013 diakses dari (https://books.google.co.id/
books)
Hamidy, UU., Teks dan Pengarang di Riau, Pekanbaru: Cindai Wangi
Publishing House, 2003.
__________, Naskah Melayu Kuno Daerah Riau, Pekanbaru: Yayasan
Sagang, 2014.
Hassan, Alimuddin, “Historiografi Melayu: Kajian atas Tuhfah al-Nafs
Karya Raja Ali Haji” Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 8, No.
2, Juli-Desember 2009.
__________, “Pemikiran Keagamaan Raja Ali Haji,” Jurnal Sosial Budaya,
Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2015.
Junus, Hasan, Raja Ali Haji: Budayawan di Gerbang Abad XX, Pekanbaru:
UNRI Press, 2002.
Mahdini, Raja dan Kerajaan dalam Kebudayaan Melayu, Pekanbaru:
Yayasan Pusaka Riau, 2007.
Mastuki HS dan M. Ishom El-Saha (ed.), Intelektualisme Pesantren (Seri
2): Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Perkembangan
Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2003.
Nor bin Ngah, Mohd, Kitab Jawi: Islamic Thought of The Malay Muslim
Scholars. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1983.
Reid, Anthony dan David Marr (ed.), Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka,
terj. Th. Sumarthana. Jakarta: Grafiti Pers, 1983.
Roza, Ellya, “Tinjauan Sejarah Terhadap Naskah dan Teks Kitab
Pengetahuan Bahasa, Kamus Logat Melayu Johor Pahang Riau
Lingga Karya Raja Ali Haji,” Jurnal Sosial Budaya, Vol. 9 No. 2 Juli-
Desember 2012.
Salim, Peter dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer,
Jakarta: Modern English Press, 1991.
Sa’ûdî, Muhammad Saleh Abû Husein, Nūr al-Shalâh, Singapura: Al-
Ahmadiyah Press, 1954.
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _37

Syahri, Aswandi, Jan Van Der Putten, Alex Teoh, Katalogus Naskah
Melayu: Koleksi Tengku Muhammad Salleh, 2010, Tidak
diterbitkan.
Teeuw, A., Sastera dan Ilmu Sastera, Jakarta: Pustaka Jaya, 1988.
Tehrani, Faisal, Perempuan Nan Bercinta, Kuala Lumpur: ITBM, 2012.
Tim Peneliti, Koleksi Naskah-Naskah Fikih di Perpustakaan dan
Museum Daerah, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan
Agama Jakarta, 2011.
Internet, Wawancara dll.
‹Abdullah, Haji Wan Mohd Shaghir, “Al-Bahr Al-Wâfî: Kitab Fiqh
Terbaik” (http://khazanahfathaniyah.blogspot.co.id/2010/03/
cetakan-ulangan-terbaharu-kitab-al-bahr.html) diakses maret 2018.
Abdullah, Wan Mohd. Shaghir, “Syeikh Ahmad Yunus Lingga-
Pakar Bahasa Melayu di Mekah”, dalam (http://ww1.utusan.
com.my/utusan/info.asp?y=2005&dt=1107&pub=Utusan_
Malaysia&sec=Bicara_Agama&pg=ba_01.htm) 2005. (diakses 31
Januari 2018).
KBBI offline versi 1.5.1.
Syamsuddin, Sahiron, “Metode Penelitian Teks” Dalam rumahkitab.com.
(http://www.rumahkitab.com/pelatihan/metodologi ­ penelitian/62­
meneliti ­teks.html), 2011, (Diakses tanggal 31 Januari, 2014).
Tengku Muhammad Saleh Damnah, “Riwayat Sirah Saya”. Teks ini
merupakan memoar pribadi yang ditulis secara ringkas oleh TMS,
ditulis di atas lembaran folio bergaris, Daik, pada 23 Syawal 1370
H, bertepatan pada 27 Juli 1951.
Wawancara dengan Tengku Husein bin Tengku Muhammad Saleh pada
akhir 26 Pebruari 2018.
38_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018

Endnotes

1. Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan,


1996, h. 108-109; Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-
Tokohnya di Nusantara, Surabaya: Al-Ikhlas, 1980, h. 172. Hawash Abdullah
adalah nama lain atau singkatan dari Haji Wan Mohd. Shaghir Abdullah, dua nama
tersebut adalah tokoh yang sama.

2. Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, ..., h. 119.

3. Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf ..., h. 172.

4. Syofyan Hadi, Naskah al-Manhal al-‘adhb li-dzikr al-qalb: Kajian atas Dinamika
Perkembangan Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Minangkabau,
Tangerang Selatan: LSIP, 2011, h. 198, 243-245.

5. Hasan Junus, Raja Ali Haji: Budayawan di Gerbang Abad XX, Pekanbaru: UNRI
Press, 2002, h. 140.

6. Mahdini, Raja dan Kerajaan dalam Kebudayaan Melayu, Pekanbaru: Yayasan


Pusaka Riau, 2007, h. 316-321.

7. UU Hamidy, Teks dan Pengarang di Riau, Pekanbaru: Cindai Wangi Publishing


House, 2003, h. 95, 127; lihat juga UU Hamidy, Naskah Melayu Kuno Daerah
Riau, Pekanbaru: Yayasan Sagang, 2014, h. 23.

8. UU Hamidy, Teks dan Pengarang di Riau..., h. 96, 128; bandingkan dengan UU


Hamidy, Naskah Melayu Kuno Daerah Riau..., h. 23.

9. Hasan Junus, Raja Ali Haji: Budayawan di Gerbang Abad XX..., h. 219.
10. UU Hamidy, Teks dan Pengarang di Riau..., h. 96-97, 128; lihat juga UU Hamidy,
Naskah Melayu Kuno Daerah Riau..., h. 24.

11. Wan Mohd. Shaghir Abdullah, “Syeikh Ahmad Yunus Lingga-Pakar Bahasa
Melayu di Mekah” 2005, dalam http://ww1.utusan.com.my/ diakses 31
Januari 2018.

12. Wan Mohd. Shaghir Abdullah, 2005, “Syeikh Ahmad Yunus Lingga-Pakar
Bahasa Melayu di Mekah”, dalam http://ww1.utusan.com.my/ diakses 31
Januari 2018.
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _39

13. Faisal Tehrani, Perempuan Nan Bercinta, Kuala Lumpur: ITBM, 2012, h. 364.
14. Aswandi Syahri, dkk., Katalogus Naskah Melayu: Koleksi Tengku Muhammad
Salleh, T.P., 2010, h. 3. Monograf tidak diterbitkan.

15. Wawancara dengan Tengku Husein bin Tengku Muhammad Saleh pada
akhir 26 Pebruari 2018.

16. A. Teeuw, Sastera dan Ilmu Sastera, Jakarta: Pustaka Jaya, 1988, h. 145-146.
17. Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta:
Modern English Press, 1991, h. 576.

18. Penulis menggunakan KBBI offline versi 1.5.1, dalam keterangan panduan
singkatan disebutkan bahwa versi ini menggunakan penjelasan yang ada di
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi III. KBBI edisi III mulai diluncurkan
pada tahun 2001. Kamus ini terdiri atas 78.000 lema dan 2.034 peribahasa,
disusun di bawah pimpinan Dendy Sugono. KBBI edisi ketiga ini direvisi
sebanyak 3 kali pada 2001, 2002, dan 2005. KBBI edisi III juga telah direvisi
dalam KBBI edisi IV. Sedangkan KBBI edisi V baru dapat diakses secara
online di laman kbbi.kemdikbud.go.id.

19. dalam, Firmansyah, “Internalisasi Nilai-Nilai PAI Melalui Metode


Pembiasaan pada Siswa MTs Al-Kautsar Ranggo”, Jurnal Studi Pendidikan
Islam “Al-Furqan” Vol. V No. 2 Edisi September 2017-Februari 2018, h. 3.

20. Lihat, Firmansyah, “Internalisasi Nilai-Nilai PAI..., h. 3.


21. David Gross, The past in ruins: tradition and the critique of modernity
(Massachussets: The University of Massachussets Press, 1992, h. 9.

22. Mahdini, Raja dan Kerajaan dalam Kebudayaan Melayu..., h. 7.


23. Ellya Roza, “Tinjauan Sejarah Terhadap Naskah dan Teks Kitab Pengetahuan
Bahasa, Kamus Logat Melayu Johor Pahang Riau Lingga Karya Raja Ali
Haji,” Jurnal Sosial Budaya Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2012, h. 172-173; UU
Hamidy, Teks dan Pengarang di Riau..., h. 95, 127; UU Hamidy, Naskah Melayu
Kuno Daerah Riau..., h. 23.

24. Ahmad Dahlan, Sejarah Melayu, Jakarta: KPG, 2014, h. 308, 513.
25. Lihat dan bandingkan: Ahmad Dahlan, Sejarah Melayu..., h. 512; Hasan Junus,
Raja Ali Haji: Budayawan di Gerbang Abad XX..., h. 105-180; Mahdini, Raja dan
Kerajaan dalam Kebudayaan Melayu..., h. 21-33.
40_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018

26. Ahmad Dahlan, Sejarah Melayu..., h. 519.


27. Junus, Raja Ali Haji: Budayawan di Gerbang Abad XX..., h. 135-136, 141.
28. Alimuddin Hassan, “Pemikiran Keagamaan Raja Ali Haji,” Jurnal Sosial
Budaya Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2015, h. 256.

29. Alimuddin Hassan, “Pemikiran Keagamaan Raja Ali Haji,”...h. 250.


30. Alimuddin Hassan, “Historiografi Melayu: Kajian atas Tuhfat al-Nafis Karya
Raja Ali Haji” Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 8, No. 2, Juli-Desember
2009, h. 405-407.

31. Junus, Raja Ali Haji: Budayawan di Gerbang Abad XX..., h. 165, 185; Mahdini,
Raja dan Kerajaan dalam Kebudayaan Melayu..., h. 4-7.

32. Mahdini, Raja dan Kerajaan dalam Kebudayaan Melayu..., h. 316-317.


33. Mastuki HS dan M. Ishom El-Saha (ed.), Intelektualisme Pesantren (Seri 2):
Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Perkembangan Pesantren. Jakarta:
Diva Pustaka, 2003, h. 136-136.

34. A. Teeuw, Sastera dan Ilmu Sastera, h. 145-146.


35. Sahiron Syamsuddin, 2011, “Metode Penelitian Teks.” Dalam rumahkitab.
com. http://www.rumahkitab.com/pelatihan/metodologi ­ penelitian/62­
meneliti ­teks.html. Diakses tanggal 31 Januari, 2014.

36. Tengku Muhammad Saleh Damnah, 1951, “Riwayat Sirah Saya”. Teks ini
merupakan memoar pribadi yang ditulis secara ringkas oleh TMS, ditulis di
atas lembaran folio bergaris, Daik, pada 23 Syawal 1370 H, bertepatan pada
27 Juli 1951.

37. Wawancara dengan Tengku Husein bin Tengku Muhammad Saleh, Tanjung
Pinang, 01 Maret 2018.

38. Ade Darmawi, Ibrah Keagamaan dalam Syair Ibarat dan Khabar Kiamat Karya
Syekh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari, Pekanbaru: Alaf Riau, 2003, h. 19;
Mastuki HS dan M. Ishom El-Saha (ed.), Intelektualisme Pesantren..., h. 27.

39. Tim Peneliti, Koleksi Naskah-Naskah Fikih di Perpustakaan dan Museum Daerah,
Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2011, h. 181-182.
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _41

40. Wawancara dengan Tengku Husein, Tanjung Pinang, 01 Maret 2018.


41. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2007, h. 340.

42. Muhammad Saleh Abû Husein Sa’ûdî, Nûr al-Shalâh, Singapura: Al-
Ahmadiyah Press, 1954, h. 6, 40, 60, 88, dan 92.

43. Haji Wan Mohd Shaghir ‘Abdullah, “Al-Bahr Al-Wafî: Kitab Fiqh Terbaik”.
http://khazanahfathaniyah.blogspot.co.id/2010/03/cetakan-ulangan-
terbaharu-kitab-al-bahr.html, 2010, diakses 05 Maret 2018; lihat juga Martin
van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di
Indonesia, Bandung: Mizan, 1995, h. 127.

44. Muhammad Saleh Abû Husein Sa’ûdî, Nûr al-Shalâh..., h. 36.


45. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah..., h. 224; Martin van
Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di
Indonesia, Bandung: Mizan, 1995, h. 127.

46. Ahmad Baso, Pesantren Studies; Buku Kedua: Kosmopolitanisme Peradaban


Kaum Santri di Masa Kolonial (Pesantren, Jaringan Pengetahuan dan Karakter
Kosmopolitan-Kebangsaannya), Jakarta: Pustaka Afid, h. 2012, 282.

47. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah..., h. 340.


48. Martin van Bruinessen, Kitab Kuning..., h. 114, 126-128.
49. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah..., h. 341.
50. Anthony Reid dan David Marr (ed.), Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka, terj.
Th. Sumarthana, Jakarta: Grafiti Pers, 1983, h. 103.

51. Muhammad Saleh Abû Husein Sa’ûdî, Nûr al-Shalâh..., h. 44-47.


52. Muhammad Saleh Abû Husein Sa’ûdî Nûr al-Shalâh..., h. 51.
53. Muhammad Saleh Abû Husein Sa’ûdî, Nûr al-Shalâh..., h. 44.
54. Muhammad Saleh Abû Husein Sa’ûdî, Nûr al-Shalâh..., h. 45-46.
55. Muhammad Saleh Abû Husein Sa’ûdî, Nûr al-Shalâh..., h. 46.
56. Muhammad Saleh Abû Husein Sa’ûdî, Nûr al-Shalâh..., h. 47-48.
42_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018

57. Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf ..., h. 147.


58. Mohd. Nor bin Ngah, Kitab Jawi: Islamic Thought of The Malay Muslim
Scholars, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1983, h. 48.

59. Ismâ’îl Haqqî al-Barûsawî, Rûh al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân, Beirut: Dâr Ihyâ
al-Turâts al-›Arabî, t.t., jilid 5, h. 128-129.

60. Mustafa ibn Muhammad Güzelhisari, Hilyah al-Nâjî ‹alâ al-Syarh al-Halabî,
t.p., 1828, h. 242-246) Dokumentasi Digital oleh Perpustakaan Nasional Austria
pada 7 Februari 2013 diakses dari https://books.google.co.id/books.

You might also like