Muhammad Tarobin: Kitab Nur Al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh - 1
Muhammad Tarobin: Kitab Nur Al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh - 1
Muhammad Tarobin
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta
email: [email protected]
Abstract: This paper presents the study results of the Nūr al-Salāh book by Tengku Muhammad
Saleh (1901-1966), a Moslem scholar in Lingga Island, Riau Islands. Through
intertextual study of that book and several other opuses, this paper proves that the
fiqh books writing in the Malay-Indonesian region, especially in Lingga Island and
its surroundings, it is not much different from the fiqh books writing in other Malay
regions, which are more dominant in using fiqh books references written by Malay
Moslem scholars and written using Malay. This is done so that the books are easily
understood and impregnated by Malay readers. However, more than just a translation
effort, the author makes an effort to instill an understanding and value which is in
a sociological perspective known as internalization. When trying to internalize the
values prayer spirit, Tengku Muhammad Saleh did several things: first, writing using
Malay. Second, translating reading texts when praying into Malay, every word and /
or phrase. Third, completing with an theosophy explanation behind every movement,
reading or a certain amount of movement when praying. When explaining the
importance of prayer, TMS built the argument that prayer is a form of gratitude to
Allah.
Abstraksi: Tulisan ini menyajikan hasil kajian terhadap kitab Nūr al-Salāh karya Tengku
Muhammad Saleh (1901-1966), seorang ulama di Pulau Lingga, Kepulauan Riau.
Melalui studi intertekstual atas kitab tersebut dan beberapa karya lainnya, tulisan ini
2_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018
A. Pendahuluan
Kajian tentang ulama dan karyanya di Provinsi Kepulauan Riau
(selanjutnya ditulis Kepri) masih terbatas. Terutama untuk kriteria
ulama yang memiliki pondok pesantren, dayah, atau surau. Kebanyakan
ulama di wilayah ini berada di lingkaran istana atau elit sosial1, baik
dalam istana Yang Dipertuan Muda (YDM; setara Perdana Menteri)
di Pulau Penyengat maupun istana Yang Dipertuan Besar (Sultan
Riau-Lingga) di Pulau Lingga. Dalam dua wilayah ini, kajian tentang
para ulama di Pulau Penyengat relatif lebih banyak daripada di Pulau
Lingga dan sekitarnya.Studi tentang ulama sebagian besar berhubungan
dengan tarekat yang tumbuh dan berkembang di Nusantara. Sebagai
misal, Martin van Bruinessen menyebut Kepri dalam kajian tentang
tarekat Naqsyabandiyah. Ia menyebutkan bahwa salah satu tarekat
yang berkembang di Kepri adalah Naqsyabandiyah. Tarekat ini masuk
ke Kepri saat Syekh Ismâ’îl al-Khâlidî al-Minangkabawî (W. 1859 M)
diundang oleh Raja Ali (YDM VIII: 1844-1857) ke Pulau Penyengat.
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _3
Raja Ali, dan penggantinya Raja Abdullah (YDM IX: 1857-1858) beserta
para bangsawan istana kemudian menjadi murid-murid Syekh Ismâ›îl2.
Sedangkan Abdullah3 menyebutkan bahwa tarekat ini semula tumbuh di
Simabur, Batu Sangkar, kemudian menyebar ke Kepri (Pulau Penyengat)
melalui sambutan yang meriah dari Sultan Muhammad Yusuf dan
Raja Ali Engku Kelana. Menurut Abdullah, Sultan Muhammad Yusuf
al-Ahmadi belajar pula kepada Syekh Muhammad Shâlih al-Zawawî,
guru tarekat Naqsyabandiyah yang lain. Nampaknya Abdullah salah
mengidentifikasi Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi yang merupakan
seorang “Yang Dipertuan Muda” (Perdana Menteri) sebagai sultan.
Selain para penulis yang berasal dari kalangan istana, juga terdapat
penulis dari kalangan rakyat biasa, seperti: Hadijah Terung, Salamah
binti Ambar, dan Badriah Muhammad Taher.
Ketiga, Nasîhah Ahl al-Wafâ’ ilâ Washîyat al-Mushthafâ. Isi kitab ini
merupakan penjelasan atas beberapa Hadis wasiat Nabi Muhammad Saw.
kepada sahabat, sepupu, sekaligus menantunya, ‘Ali bin Abî Thâlib Kaw.
yang berisi ilmu dan hikmah. Disebutkan bahwa siapa yang memelihara
wasiat-wasiat tersebut maka akan memperoleh kemuliaan di dunia
dan akhirat. Menurut Abdullah12 dan Tehrani13 kitab ini diselesaikan di
Mekah pada hari Sabtu, 11 Syawal 1312 H ( 6 April 1895 M). Keempat,
Hadîqah al-Rayhân fî Bayâni Qisshah Sayyidinâ Sulaymân. Kitab ini berisi
kisah Nabi Sulaiman As., diselesaikan pada 24 Jumadilawwal 1313 H
(12 November 1895 M) di Mekah. Cetakan pertama tidak diketahui,
sedangkan cetakan kedua oleh Mathba›ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah,
pada bulan Muharram 1324 H (Februari/Maret 1906 M).
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _7
B. Kerangka Teoritis
ke masa lalu. Kata tradisi berasal dari bahasa Inggris tradition, kata ini
berasal dari bahasa Latin “traditio”. Kata traditio sendiri merupakan kata
benda yang berasal dari kata kerja tradere yang berarti “to transmit, to give
up atau to give over” (mengirimkan, menghentikan atau menyerahkan).
Sedangkan kata Latin traditio (Inggris: tradition) menurut David Gross21
bermakna proses transmisi sesuatu (“the process by which something is
transmitted”). Sedangkan materi yang ditransmisikan disebut traditum.
Maka menurut definisi-definisi di atas, terdapat tiga hal dalam tradisi,
yakni: pertama, sesuatu yang bermakna atau bernilai; kedua, sesuatu itu
diberikan oleh seseorang atau generasi kepada orang atau generasi lain atas
dasar kepercayaan; dan ketiga, terdapat orang yang menerima pemberian
itu dan merasa berkewajiban untuk menjaganya dari kerusakan sebagai
peninggalan dari si pemberi.
2. Kajian Terdahulu
pesan untuk menjaga hubungan dengan Sang Khalik (habl min Allâh) dan
hubungan sesama manusia (habl min al-nâs). Bahkan menurut Dahlan26
jika seseorang sudah mengamalkan isi Gurindam Dua Belas, maka ia
disebut telah mengamalkan sebagian besar inti ajaran al-Quran dan
Hadis Nabi Muhammad Saw.. Merujuk segala aspek dari Gurindam Dua
Belas –dan karya-karya lainnya- maka tak ada keraguan sedikitpun untuk
menyebut RAH sebagai ulama yang prolifik.
Maka melalui TsM, RAH menolak konvensi umum dalam tradisi Melayu
sebelumnya yang memahami raja sebagai khalifah Allah, bayangan
Allah di alam semesta, dan bayangan Allah di muka bumi (khalîfah Allâh,
zhill Allāh fī al-›alam, zhill Allāh fī al-ardh) yang keabsahan kedudukannya
karena hubungan khusus dengan kekuatan adikodrati.
C. Metodologi Penelitian
Tabel 1
Gaung Anak Serka dan Sapat merupakan dua daerah yang berada di
Kabupaten Indragiri Hilir, di daerah ini dikenal seorang tokoh ulama
yang cukup berpengaruh yakni Syekh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari.
Syekh Abdurrahman Shiddiq dilahirkan pada tahun 1284 H (1867 M)
di Kampung Dalam Pagar, Martapura, Kalimantan Selatan. Nama
lengkapnya Syekh Abdurrahman Shiddiq bin Muhammad ‘Afif bin
Muhammad bin Jamaluddin al-Banjari.38 Sepulang dari belajar di Makkah
dan Madinah, Syekh Abdurrahman sempat menetap di Mentok (Bangka)
dan melakukan beberapa kali perjalanan sebelum akhirnya menetap di
Sapat (sebuah desa di Kecamatan Kuala Indragiri, Kab. Indragiri Hilir)
setelah tahun 1907. Pada tahun 1919 Syekh Abdurrahman resmi menjadi
mufti Kerajaan Indragiri Hilir sampai beliau meninggal pada tanggal 10
Maret 1939.
Data pada tabel I di atas, menyebut bahwa TMS pernah tinggal di Sapat
pada tahun 1935-1938, maka ada kemungkinan kuat bahwa TMS pernah
bertemu atau belajar secara langsung dengan Syekh Abdurrahman
Shiddiq di Sapat. Meski demikian dalam kitab Nûr al-Shalâh, tidak
disebut sekali pun nama Abdurrahman Shiddiq. Demikian juga dalam
naskah-naskah eks koleksi TMS tidak terdapat naskah yang ditulis oleh
Abdurrahman Shiddiq. Sebaliknya, terdapat satu salinan naskah fikih
yang disusun oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yakni Kitâb
Majmû’ yang ditulis di Banjar pada 30 Muharram 1233 H (10 Desember
1817 M). Kolofon kitab tersebut menyebut bahwa naskah tersebut disalin
di Malaka pada 25 Zulhijjah 1263 H (4 Desember 1847 M).39
Sementara itu versi tulisan tangan dari Kitab Nûr al-Shalâh diselesaikan
pada tahun 1373 H (1954 M) dan dicetak oleh Al-Ahmadiyah Press,
Singapura pada tahun yang sama. Versi tulisan tangan tersebut terdiri
dari 45 halaman, sedangkan versi cetaknya terdiri dari 93 halaman isi
dan beberapa halaman fihrasah (daftar isi) di bagian belakang.
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _21
Fihrasah ini terdiri atas 97 poin isi buku, tidak terlebih dulu dibagi
dalam beberapa “bab” kemudian masing-masing bab dibagi dalam
beberapa “sub bab”, juga tidak dibagi menjadi beberapa “pasal” dan
“sub pasal”. Demikian pula “judul” yang tertulis dalam 97 poin tersebut
bukan tertulis sebagai “judul” dalam halaman yang tersebut di
dalamnya. Misalnya poin nomor 2, 3, dan 4 tertulis judul dalam fihrasah
adalah “Khutbah kitab, Asal sembahyang, dan Arti sembahyang pada lughat”,
ketiganya terletak di halaman 4. Ternyata “judul” poin tersebut tidak
ditemukan pada halaman 4. Tiga poin tersebut ditemukan sebagai “isi
pembahasan” di halaman 4, tidak tertulis sebagai judul bab atau sub bab
pada halaman 4.
Merujuk pada isinya, kitab Nûr al-Shalâh setidaknya berisi sebelas pokok
bahasan: pertama, khutbah kitab: makna sembahyang (halaman 4-9).
22_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018
Kedua, rukun sembahyang (halaman 9-28). Ketiga, makna dan tahapan niat
(halaman 28-33). Keempat, istihdhâr dan muqâranah (halaman 33-43). Kelima,
makna gerakan dan bacaan dalam sembahyang (halaman 44-51). Keenam,
hal yang mewajibkan sembahyang, syarat sah sembahyang, hal yang
membatalkan sembahyang, hal yang makruh dalam sembahyang, dan
uzur dalam sembahyang (halaman 51-63). Ketujuh, sunnah sembahyang
dan sujud sahwi (halaman 63-72). Kedelapan, makna lahir dan batin
sembahyang (halaman 72-78). Kesembilan, bacaan sembahyang dan artinya
dalam bahasa Melayu (halaman 78-84). Kesepuluh, sembahyang berjamaah
(halaman 85-91). Kesebelas, aurat pada saat sembahyang (91-93).
Tabel 2
Nama-Nama Tokoh dalam Kitab Nûr al-Shalâh
Tabel 3
Nama-Nama Kitab dalam Kitab Nūr al-Șalāh
Berdasarkan daftar tokoh dan kitab yang disebut dalam Nûr al-Shalâh
di atas dapat disebut bahwa kitab ini menggunakan sumber-sumber
otoritatif dalam fikih ibadah. Ada beberapa kitab rujukan dalam tradisi
fikih mazhab Syafii di Timur Tengah yang disebut oleh TMS. Pertama,
26_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018
adalah kitab Tuhfah. Judul lengkap kitab ini adalah Tuhfah al-Muhtâj fî
Sharh al-Minhâj karya Ibnu Hajar al-Haytamî (w. 974/1567 M). Kedua,
kitab fikih yang disebut adalah kitab Nihâyah. Judul lengkap kitab ini
adalah Nihâyah al-Muhtâj Sharh al-Minhâj karya Muhammad al-Ramlî (w.
1004/1596 M).
Dua kitab yang disebut di atas merupakan dua diantara empat kitab
pokok yang digunakan pula sebagai rujukan oleh Dâwûd bin ‘Abdullâh
al-Fathânî (w. 1265/1847 M) ketika menyusun kitab Bughyah al-Thullâb
li Murîd Ma›rifah al-Ahkâm bi al-Shawâb.41 Bughyah al-Thullâb itu sendiri,
juga nanti disebut oleh TMS sebagai referensi kitab dalam bahasa
Melayu. Ada dua kitab lain yang tidak disebut oleh TMS, yakni Minhâj al-
Thâlibîn karya al-Nawâwî dan Fath al-wahhâb karya Zakariya al-Anshârî.
Meskipun Minhâj al-Thâlibîn tidak disebut oleh TMS, namun beberapa
kali ia menyebut pengarangnya, yakni Imam Nawâwî.42
Bughyah al-Thullâb terdiri atas dua jilid, masing-masing berisi 244 dan
236 halaman. Kitab ini telah dicetak berulang kali di Makkah, Istanbul,
Kairo, dan berbagai tempat di Nusantara. Isinya menjelaskan secara rinci
berbagai kewajiban keagamaan kaum Muslimin. Furû› al-Masâ’il juga
telah dicetak ulang beberapa kali di Makkah (1257/1841) dan Kairo (t.t)..
Seperti Bughyah al-Thullâb, kitab ini pun terdiri atas dua jilid, masing-
masing 275 dan 394 halaman.47
F. Teosofi “Salat”
Tidak hanya itu, TMS juga memberikan legitimasi tafsir teosofis dan
filosofis terhadap setiap gerakan-gerakan dalam salat dan bacaannya,
termasuk jumlah rakaatnya. Ia mengambil referensi dari berbagai
sumber untuk menjelaskan makna-makna gerakan dan bacaan dalam
salat. Misalnya tentang mengapa dalam salat ada gerak berdiri, rukuk,
dan sujud, mengapa ada dua kali sujud, dan mengapa salat itu ada lima
waktu dengan jumlah rakaat tertentu.51
Salah satu persoalan “teosofis” yang juga dibahas oleh TMS adalah
mengapa sujud ada dua kali dalam satu rakaat. Ketika menjelaskan
masalah ini, TMS merujuk dua peristiwa sebagai jawaban: pertama,
sebagaimana dalam penjelasan tentang gerakan salat di atas, yakni bahwa
para malaikat yang sedang sujud di langit ketiga, sempat mengangkat
kepala karena menjawab salam Rasulullah Saw., dengan demikian para
malaikat tersebut melakukan sujud dua kali. Kedua, TMS menyebut
riwayat dari kitab Jawhar al-Mawhûb bahwa sujud dua kali merujuk pada
peristiwa ketika malaikat sujud kepada Adam, mereka mendapati iblis
menentang perintah Allah karena tidak mau sujud kepada Adam. Maka
malaikat melakukan sujud untuk yang kedua kali sebagai ungkapan
syukur bahwa mereka tidak termasuk hamba yang menentang perintah
Allah.
Persoalan lain yang mendapat penjelasan cukup luas oleh TMS ialah
tentang jumlah rakaat dalam salat dan waktunya. Sembahyang Subuh
menurut TMS, pertama kali dilakukan oleh Nabi Adam As. sebagai
bentuk ungkapan syukur kepada Allah Swt.. Saat ia turun ke dunia, dan
berada dalam “kegelapan”, ia dihinggapi ketakutan yang luar biasa.
Kemudian tiba-tiba terbit fajar, maka ia bersyukur dengan melaksanakan
salat dua rakaat. Syukur yang pertama karena bebas dari kegelapan.
Kedua, syukur karena terbitnya mentari pagi. Hal ini sebagaimana terlihat
dalam kutipan berikut ini:
30_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018
Ibadah salat Magrib pertama kali dilakukan oleh Nabi Isa As. tatkala
diselamatkan oleh Allah dari kaumnya. Hal itu terjadi ketika matahari
terbenam. Maka ia sembahyang tiga rakaat sebagai ungkapan syukur.
Pertama, dengan menafikan ketuhanan bagi selain Allah Ta’âlâ. Kedua,
menafikan tuhmah bagi ibunya. Ketiga, mengakui Ketuhanan hanya bagi
Allah. Oleh karena itu, dua rakaat yang awal itu terhubung, sedangkan
rakaat yang ketiga tersendiri.
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _31
Salat Isya pertama kali dilaksanakan oleh Nabi Musa As. sebagaimana
terlihat dalam kutipan berikut:
“Dan pertama-tama orang yang sembahyang Isya itu Nabi Allah Musa
‘alayhi al-salâm. Ketika sesat jalan, ketika keluar ia daripada Madyan
dan adalah padanya itu di dalam dukacita istrinya, dan dukacita
Harun saudaranya, dan dukacita seterunya, Fir’aun, dan dukacita
beberapa anaknya. Maka dilepaskan Allah Ta›âlá daripada demikian
itu sekaliannya dengan janjian yang sebenar, dan adalah demikian
waktu Isya yang akhir. Maka sembahyang ia empat rakaat syukur
akan Allah Ta›âlá daripada segala dukacita yang empat itu.”56
Kitab Jam’ al-Fawâ’id menurut Abdullah selesai ditulis pada tahun 1239
H (1823/24 M) dan telah beberapa kali dicetak di Mesir dan Makkah. Jam’
al-Fawâ’id merupakan kitab tasawuf akhlaki, isinya membahas kelebihan-
kelebihan suatu amal dan akhlak; berbeda dengan kitab Manhal al-Shâfī,
karangan Dâwud al-Fathânî yang berisi ulasan tasawuf falsafi seputar
teologi, ontologi dan kosmologi.57 Kitab Jam’ al-Fawâ’id dirancang untuk
mengimbangi kitab-kitab yang disusun para ulama fikih. Kitab ini juga
dilengkapi dengan cerita-cerita kesufian, dan kelebihan bulan-bulan
tertentu, misalnya bulan Rajab. Pada keistimewaan bulan Rajab tersebut
terdapat kisah Isra Mikraj Nabi Saw.. Diduga kuat pada kisah Isra Mikraj
inilah terdapat riwayat tentang salat para nabi di atas.
TMS, yang hingga tulisan ini dimuat penulis belum berhasil menemukan
pengarangnya, yaitu kitab: ‘Anâshir al-Insân li al-Muttaqîn, Maw’izhah li
al-Nâs, dan Hidâyah al-Sâ’il.
Sementara itu, hanya ada dua sumber dari “Timur Tengah” yang
menyebut kisah tentang para nabi terdahulu yang melaksanakan salat
sesuai dengan narasi di atas yakni kitab Rûh al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân
karya Syekh Ismâ’îl Haqqî al-Barûsawî (w. 1127 H/1715 M atau 1137
H/1725 M) dan Hilyah al-Nâjî ’alá al-Sharh al-Halabî karya Syekh Musthafâ
Güzelhisari (al-Kawz Lihishârî) (w. 1215 H/1800 M). Al-Barûsawî
menyebut riwayat-riwayat tentang rakaat-rakaat salat tersebut ketika
menafsirkan al-Qur›an Surah al-Isrâ ayat 1.59 Namun al-Barûsawî tidak
menyebut sumber periwayatan kisah salat para nabi tersebut. Sementara
itu dalam Hilyah al-Nâjî, Güzelhisari60 menyebut bahwa kisah tentang
para nabi yang mula-mula melaksanakan salat tersebut ia kutip dari
kitab Mi’râj al-Dirâyah Syarh al-Hidâyah karya Qawâm al-Dîn al-Kâkî
(Muhammad bin Muhammad al-Sanjârî/w. 749/1348 M).
Jika kita perhatikan, narasi tentang salat yang dilakukan oleh para
nabi terdahulu, maka terdapat satu nilai budaya dan agama dalam
tradisi Melayu yang sangat ditekankan yakni ungkapan terima kasih
atau syukur. Menurut narasi-narasi tersebut salat merupakan bentuk
rasa sukur seorang hamba kepada Allah atas limpahan rahmat dan
karunianya. Hal yang juga menarik adalah bahwa ungkapan syukur
tersebut merupakan hasil dari asosiasi antara sejumlah nikmat, ampunan
dan keselamatan yang diterima dengan jumlah rakaat dalam salat.
G. Penutup
Kajian ini dapat terwujud karena bantuan berbagai pihak, baik secara
individu maupun kelembagaan. Secara kelembagaan penulis ucapkan
terima kasih kepada Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Agama
Jakarta, Dr. M. Adlin Sila, Ph.D.. Saya ucapkan terima kasih kepada para
narasumber sepanjang penulis melakukan penelitian di Pulau Lingga,
Kepulauan Riau. Terkhusus kepada Tengku Husein Saleh sebagai
salah seorang putra dari Tengku Muhammad Saleh, Tengku Saodah,
Muhammad Fadli serta K.H. Ahmad Baso dan Dr. Munawar Holil,
M.Hum yang telah membantu penulis dari sisi penulisan penelitian ini
sejak awal. Demikian juga penulis ucapkan terima kasih kepada tim
redaksi Jurnal Bimas Islam yang telah memberikan saran-saran dan
perbaikan sehingga tulisan ini layak dimuat.
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _35
Daftar Pustaka
Syahri, Aswandi, Jan Van Der Putten, Alex Teoh, Katalogus Naskah
Melayu: Koleksi Tengku Muhammad Salleh, 2010, Tidak
diterbitkan.
Teeuw, A., Sastera dan Ilmu Sastera, Jakarta: Pustaka Jaya, 1988.
Tehrani, Faisal, Perempuan Nan Bercinta, Kuala Lumpur: ITBM, 2012.
Tim Peneliti, Koleksi Naskah-Naskah Fikih di Perpustakaan dan
Museum Daerah, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan
Agama Jakarta, 2011.
Internet, Wawancara dll.
‹Abdullah, Haji Wan Mohd Shaghir, “Al-Bahr Al-Wâfî: Kitab Fiqh
Terbaik” (http://khazanahfathaniyah.blogspot.co.id/2010/03/
cetakan-ulangan-terbaharu-kitab-al-bahr.html) diakses maret 2018.
Abdullah, Wan Mohd. Shaghir, “Syeikh Ahmad Yunus Lingga-
Pakar Bahasa Melayu di Mekah”, dalam (http://ww1.utusan.
com.my/utusan/info.asp?y=2005&dt=1107&pub=Utusan_
Malaysia&sec=Bicara_Agama&pg=ba_01.htm) 2005. (diakses 31
Januari 2018).
KBBI offline versi 1.5.1.
Syamsuddin, Sahiron, “Metode Penelitian Teks” Dalam rumahkitab.com.
(http://www.rumahkitab.com/pelatihan/metodologi penelitian/62
meneliti teks.html), 2011, (Diakses tanggal 31 Januari, 2014).
Tengku Muhammad Saleh Damnah, “Riwayat Sirah Saya”. Teks ini
merupakan memoar pribadi yang ditulis secara ringkas oleh TMS,
ditulis di atas lembaran folio bergaris, Daik, pada 23 Syawal 1370
H, bertepatan pada 27 Juli 1951.
Wawancara dengan Tengku Husein bin Tengku Muhammad Saleh pada
akhir 26 Pebruari 2018.
38_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018
Endnotes
4. Syofyan Hadi, Naskah al-Manhal al-‘adhb li-dzikr al-qalb: Kajian atas Dinamika
Perkembangan Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Minangkabau,
Tangerang Selatan: LSIP, 2011, h. 198, 243-245.
5. Hasan Junus, Raja Ali Haji: Budayawan di Gerbang Abad XX, Pekanbaru: UNRI
Press, 2002, h. 140.
9. Hasan Junus, Raja Ali Haji: Budayawan di Gerbang Abad XX..., h. 219.
10. UU Hamidy, Teks dan Pengarang di Riau..., h. 96-97, 128; lihat juga UU Hamidy,
Naskah Melayu Kuno Daerah Riau..., h. 24.
11. Wan Mohd. Shaghir Abdullah, “Syeikh Ahmad Yunus Lingga-Pakar Bahasa
Melayu di Mekah” 2005, dalam http://ww1.utusan.com.my/ diakses 31
Januari 2018.
12. Wan Mohd. Shaghir Abdullah, 2005, “Syeikh Ahmad Yunus Lingga-Pakar
Bahasa Melayu di Mekah”, dalam http://ww1.utusan.com.my/ diakses 31
Januari 2018.
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _39
13. Faisal Tehrani, Perempuan Nan Bercinta, Kuala Lumpur: ITBM, 2012, h. 364.
14. Aswandi Syahri, dkk., Katalogus Naskah Melayu: Koleksi Tengku Muhammad
Salleh, T.P., 2010, h. 3. Monograf tidak diterbitkan.
15. Wawancara dengan Tengku Husein bin Tengku Muhammad Saleh pada
akhir 26 Pebruari 2018.
16. A. Teeuw, Sastera dan Ilmu Sastera, Jakarta: Pustaka Jaya, 1988, h. 145-146.
17. Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta:
Modern English Press, 1991, h. 576.
18. Penulis menggunakan KBBI offline versi 1.5.1, dalam keterangan panduan
singkatan disebutkan bahwa versi ini menggunakan penjelasan yang ada di
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi III. KBBI edisi III mulai diluncurkan
pada tahun 2001. Kamus ini terdiri atas 78.000 lema dan 2.034 peribahasa,
disusun di bawah pimpinan Dendy Sugono. KBBI edisi ketiga ini direvisi
sebanyak 3 kali pada 2001, 2002, dan 2005. KBBI edisi III juga telah direvisi
dalam KBBI edisi IV. Sedangkan KBBI edisi V baru dapat diakses secara
online di laman kbbi.kemdikbud.go.id.
24. Ahmad Dahlan, Sejarah Melayu, Jakarta: KPG, 2014, h. 308, 513.
25. Lihat dan bandingkan: Ahmad Dahlan, Sejarah Melayu..., h. 512; Hasan Junus,
Raja Ali Haji: Budayawan di Gerbang Abad XX..., h. 105-180; Mahdini, Raja dan
Kerajaan dalam Kebudayaan Melayu..., h. 21-33.
40_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.I 2018
31. Junus, Raja Ali Haji: Budayawan di Gerbang Abad XX..., h. 165, 185; Mahdini,
Raja dan Kerajaan dalam Kebudayaan Melayu..., h. 4-7.
36. Tengku Muhammad Saleh Damnah, 1951, “Riwayat Sirah Saya”. Teks ini
merupakan memoar pribadi yang ditulis secara ringkas oleh TMS, ditulis di
atas lembaran folio bergaris, Daik, pada 23 Syawal 1370 H, bertepatan pada
27 Juli 1951.
37. Wawancara dengan Tengku Husein bin Tengku Muhammad Saleh, Tanjung
Pinang, 01 Maret 2018.
38. Ade Darmawi, Ibrah Keagamaan dalam Syair Ibarat dan Khabar Kiamat Karya
Syekh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari, Pekanbaru: Alaf Riau, 2003, h. 19;
Mastuki HS dan M. Ishom El-Saha (ed.), Intelektualisme Pesantren..., h. 27.
39. Tim Peneliti, Koleksi Naskah-Naskah Fikih di Perpustakaan dan Museum Daerah,
Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2011, h. 181-182.
Kitab Nur al-Salah Karya Tengku Muhammad Saleh _41
42. Muhammad Saleh Abû Husein Sa’ûdî, Nûr al-Shalâh, Singapura: Al-
Ahmadiyah Press, 1954, h. 6, 40, 60, 88, dan 92.
43. Haji Wan Mohd Shaghir ‘Abdullah, “Al-Bahr Al-Wafî: Kitab Fiqh Terbaik”.
http://khazanahfathaniyah.blogspot.co.id/2010/03/cetakan-ulangan-
terbaharu-kitab-al-bahr.html, 2010, diakses 05 Maret 2018; lihat juga Martin
van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di
Indonesia, Bandung: Mizan, 1995, h. 127.
59. Ismâ’îl Haqqî al-Barûsawî, Rûh al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân, Beirut: Dâr Ihyâ
al-Turâts al-›Arabî, t.t., jilid 5, h. 128-129.
60. Mustafa ibn Muhammad Güzelhisari, Hilyah al-Nâjî ‹alâ al-Syarh al-Halabî,
t.p., 1828, h. 242-246) Dokumentasi Digital oleh Perpustakaan Nasional Austria
pada 7 Februari 2013 diakses dari https://books.google.co.id/books.