Dokumen - Tips - Hakikat Pertumbuhan Gereja Berdasarkan Kisah para Rasul 2
Dokumen - Tips - Hakikat Pertumbuhan Gereja Berdasarkan Kisah para Rasul 2
DOI: https://doi.org/10.34307/b.v3i2.134
Abstraksi: Penelitian ini merupakan kajian terhadap teks Kisah Para Rasul
2:41-47 guna memahami seperti pola hidup jemaat mula-mula untuk
menemukan hakikat pertumbuhan gereja. Oleh karena seperti kesimpulan
penelitian yang telah dilakukan oleh Yayasan Bilangan Research Center
dengan sebuah kesimpulan bahwa pertumbuhan yang terjadi dalam gereja
mayoritas disebabkan faktor perpindahan jemaat dan sangat kecil presentase
disebabkan penginjilan. Itulah sebabnya dengan menggunakan metode
kualitatif khususnya kajian literature terhadap teks Kisah Para Rasul 2:41-47
maka diperoleh beberapa kesimpulan. Pertama, pola kehidupan jemaat mula-
mula yang dapat dijadikan contoh model bagi jemaat atau gereja masa kini
supaya dapat mengalami pertumbuhan, yakni: mereka bertekun dalam
pengajaran Rasul, mereka bertekun dalam persekutuan, mereka bertekun
memecahkan roti, mereka bertekun dalam doa, bahkan mereka juga suka
memuji Tuhan. Sehingga mereka disenangi banyak orang dan Tuhan pun
menambahkan jumlah mereka. Kedua, hakikat pertumbuhan gereja yakni:
Firman Tuhan/ khotbah tentang Yesus Kristus, Pekerjaan Roh Kudus, dan
1. Pendahuluan
Gereja yang sehat adalah gereja yang bertumbuh. Di mana pertumbuhan yang
dialami bukan hanya pertumbuhan kuantitas tetapi juga kualitas. Bahkan dalam kitab
Injil, Yesus sendiri mengajarkan bagaimana nanti gereja-Nya akan bertumbuh. Seperti
yang dikemukakan oleh Yakob Tomatala, “Mencermati ajaran Tuhan Yesus yang
diungkapkan melalui perumpamaan, dapat ditemukan adanya analogi bagi
pertumbuhan gereja”.1 Kemudian ditambahkannya dengan menjelaskan secara
terperinci, misalnya dalam Matius 13:33; 13:47-48; Matius 25; 13:1-23; Yohanes 4:35-
38. Untuk Matius 13:33, Dever memberikan komentar dengan mengatakan, “Tuhan
Yesus sendiri mengatakan bagaimana kerajaan-Nya akan bertumbuh dari benih yang
paling kecil menjadi tanaman yang paling besar di Taman… Kemudian dia
mengaitkannya dengan peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus – di mana Kerajaan
Allah dibangun dan bertumbuh setelah kebangkitan Yesus. Situasi yang sama dialami
oleh benih yang dikubur dan mati – tetapi kemudian bertumbuh dan menghasilkan buah
yang melimpah”.2
Handi Irawan dan Bambang Budijanto mengatakan, “Hampir separuh gereja
(45,7%) jumlah umatnya yang bertumbuh dalam sepuluh tahun terakhir
mengungkapkan bahwa faktor paling dominan atau sebab utama pertumbuhannya
adalah perpindahan umat dari gereja lain. Kemudian sekitar 23.8 % disebabkan faktor
pertumbuhan biologis, 11,7% faktor perkawinan dengan agama lain, 6,7% faktor
konversi (pindah dari agama lain), 2,2% faktor pindah tempat tinggal, sekitar 1,7%
faktor penginjilan, dan 8,2 % karena faktor lainnya”.3
Berdasarkan informasi data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gereja
(khususnya di Indonesia) sebenarnya nyaris tidak bertumbuh karena hanya mayoritas
pertambahan jumlah umat dalam sebuah gereja lokal disebabkan karena perpindahan
dan sangat kecil presentase faktor penginjilan. Inilah yang menjadi persoalan serius bagi
gereja karena ternyata ada yang keliru dalam lingkup penatalayanan sehingga gereja
tidak mengalami pertumbuhan.
Padahal apabila dalam gereja telah hadir pengajaran yang sehat, maka gereja
seharusnya bertumbuh. Karena melalui ajaran Alkitab, gereja itu hidup dan Kristuslah
yang membuat Gereja hidup. Oleh karena Kristus adalah sang kepala Gereja yang
memberikan hidup dan pertumbuhan kepada jemaat-Nya.
Yohanes 15:1-8 memberikan sebuah analogi tentang kebergantungan total gereja
kepada Kristus, sang kepala gereja. Di sana diilustrasikan tentang gereja yang
diibaratkan ranting yang harus melekat (“tetap tinggal”) kepada pokok anggur supaya
tetap hidup dan berbuah. Menurut Herman Ridderbos, “Tetap di dalam Dia bukan suatu
keadaan istirahat, suatu kesetiaan kepada apa yang murid-murid sudah terima di dalam
Yesus semata-mata untuk mengawetkannya (bdk. Mat. 25:24 dst.), tetapi suatu
kesetiaan kepada-Nya sebagai sumber pertolongan dan kekuatan yang penting, untuk
menghasilkan banyak buah”.4 Artinya, apabila diimplementasikan kepada pertumbuhan
gereja, maka perikop ini jelas menegaskan bahwa hanya melalui dan di dalam Kristus,
pertumbuhan dapat terwujud.
Sehingga muncul pertanyaan, apakah pertumbuhan Gereja dipahami dalam
pengertian pertumbuhan kualitatif ataukah kuantitatif? Meskipun tidak sedikit yang
yakin bahwa tidak mungkin kedua unsur tersebut seharusnya tercakup dalam
pertumbuhan Gereja – namun alangkah bijaknya apabila melihat pertumbuhan gereja
secara kualitatif dan kuantitatif. Mark Dever menyebut pertumbuhan secara kualitas
sebagai pertumbuhan rohani. Baginya, dalam Perjanjian Lama, Gereja bertumbuh
seolah-olah secara kuantitas – hal itu tidak terlepas dari perkataan Allah sendiri seperti
dalam Kejadian 1:28; 9:1; Yer. 29:6; Mzm. 92:13-14. Namun dalam Perjanjian Baru
sedikit mengalami perkembangan karena Gereja tidak hanya bertumbuh secara
kuantitas, tetapi juga secara kualitas. Konsep seperti ini tampak dengan jelas dalam
Matius 13:32; Kisah Para Rasul 6:1,7; 12:24; 19: 20; Efesus 4:15-16. 5 Dever
menambahkan,
Kita menemukan pertumbuhan secara kuantitas yang terus terjadi dalam
Perjanjian Baru sama seperti dalam Perjanjian Lama. Tetapi pertumbuhan yang
kita bicarakan dan bahas serta doakan dalam Perjanjian Baru bukan sekadar
pertumbuhan secara kuantitas. Jika gereja Anda lebih padat dengan orang
sekarang ini daripada dahulu beberapa tahun yang lalu, apakah hal itu berarti
bahwa gereja Anda adalah sebuah gereja yang sehat? Belum tentu. Ada jenis
pertumbuhan yang lain. Dalam Perjanjian Baru kita menemukan gagasan tentang
sebuah pertumbuhan yang melibatkan tidak hanya lebih banyak orang tetapi
orang-orang yang bertumbuh, dewasa, dan diperdalam dalam iman. 6
4 Herman N. Ridderbos, Tafsiran Injil Yohanes: Sebuah Tafsiran Teologis (Surabaya: Momentum,
2012),
562.
5 Dever, Sembilan Tanda Gereja Yang Sehat, 248-255.
6 Ibid, 251.
Berdasarkan masalah serius yang telah dikemukakan oleh Irawan dan Budijanto di
atas perihal minimnya pertumbuhan gereja terjadi karena hasil penginjilan, maka
melalui penelitian ini mencoba untuk memberikan sebuah masukan yang konstruktif
terhadap gereja perihal “Cara hidup jemaat mula-mula” seperti yang termaktub dalam
Kisah Para Rasul 2:41-47. Supaya melalui uraian atau kajian ini dapat memberikan
pemahaman yang konstruktif sekaligus bermanfaat untuk memahami Hakikat
Pertumbuhan Gereja. Seperti yang dikemukakan oleh Conrad Gempf dengan
mengatakan, di sini menunjukkan hasil dari khotbah itu, di mana memang menakjubkan.
Jumlah bertumbuh dari 120 menjadi 3000 orang.7
Melalui kajian terhadap teks Kisah Para Rasul 2:41-47 diharapkan dapat
memberikan sebuah masukan yang konstruktif tentang hakikat pertumbuhan gereja
guna diterapkan oleh setiap gembala dan juga pemimpin gereja. Selain itu, melalui
penelitian ini pula diharapkan dapat menjawab problematika tentang manakah yang
terlebih dahulu terjadi, apakah pertumbuhan kualitatif ataukah kuantitatif.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Dengan menitikberatkan pada
kajian literatur atau pustaka, khususnya yang berkaitan tentang hermeneutik dan
commentary Kisah Para Rasul, khususnya 2:41-47. Menurut William Klein, Craig L.
Blomberg, dan Robert L. Hubbard Jr., untuk meneliti dan menafsirkan teks dalam Kisah
Para Rasul, maka ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yakni: berpikir secara vertikal,
signifikansi dari Pentakosta, dan membaca Kisah Para Rasul sebagai sebuah narasi. 8
Artinya, setiap penafsir harus melihat setiap teks dan kisah dalam Kisah Para Rasul
dalam konteks dari pasal pertama sampai terakhir, kemudian peristiwa hari Pentakosta
juga harus diperhatikan dan menjadi peristiwa yang signifikan bagi setiap kisah yang
mengikutinya, serta terakhir harus memperlakukan Kisah Para Rasul sebagai sebuah
narasi. Seperti apa menafsirkan narasi maka seperti itu pula harus diperlakukan kepada
setiap teks dalam Kisah Para Rasul.
7 G.J. Wenham. D.A. Carson, R.T. France, J.A. Motyer, ed., Tafsiran Alkitab Abad Ke-21 (Matius-
Wahyu)
(Jakarta: YKBK/OMF, 2017), 263.
8 Robert L. Hubbard Jr. Klein, William W, Craig L. Blomberg, Introduction to Biblical Interpretation 2
(Malang: Literatur SAAT, 2017), 370-83.
9 D.A. Carson; Douglas J. Moo, An Introduction to the New Testament (Malang: Gandum Mas,
2008),
330..
Dengan demikian tafsiran Kisah Para Rasul 2:41-47 akan diuraikan berdasarkan
struktur di atas.
10 C.van den Berg, Sungguh Merekalah Umat-Ku! (Jakarta: YKBK/OMF, 2011), 51.
11 Bentuk leksikal dari verba ini adalah προςτίθημι yang secara umum diterjemahkan dengan
menambahkan atau menjumlahkan (aktif), sedangkan untuk pasif berarti ditambahkan atau dijumlahkan
(bdk. Moulton and Milligan 2004, 551).
masa itu di mana penjajah Romawi tentu tidak akan membolehkan kegiatan yang
melibatkan khalayak ramai seperti itu.12
Namun, bagi Marshall alasan di atas tidak cukup kuat untuk meruntuhkan bahwa
jumlah orang yang akhirnya percaya dan menjadi Kristen pada saat itu bahkan dapat
lebih dari 3.000 orang. Marshall berasumsi bahwa Petrus berkhotbah di ruangan
terbuka, sehingga memungkinkan orang dalam jumlah yang besar akan dapat
menyaksikan dan mendengar khotbahnya. Kemudian apabila murid-murid yang lain
ikut membantu membaptiskan mereka yang bertobat, maka untuk menyelesaikan
pekerjaan tersebut tidak perlu menggunakan waktu yang lama. Bahkan meskipun
pemerintahan Romawi tidak mengizinkan setiap pertemuan yang melibatkan orang
banyak, serta meskipun jumlah populasi penduduk Yerusalem relatif sedikit, akan tetapi
informasi yang diberikan oleh Lukas dalam ayat 41 menjadi masuk akal dan secara
objektif dapat terjadi – karena peristiwa itu terjadi bersamaan dengan kegiatan ziarah
ke Yerusalem dan dilakukan oleh orang-orang Yahudi dari luar Yerusalem untuk dapat
mengunjungi Bait Suci (bdk. Kis. 2:5-13). Dan mereka mengadakan pertemuan bukan
untuk membuat kerusuhan, melainkan untuk mendengarkan ajaran-ajaran tentang
Taurat dan Kitab para Nabi (bandingkan dengan khotbah Petrus yang juga menyinggung
nubuat Yoel bahkan Daud dalam Perjanjian Lama – Kis.2:14-40), sehingga tentara
Romawi tidak harus melarang dan membubarkan pertemuan yang mereka lalukan.
Meskipun tidak disinggung oleh Marshall dalam komentarnya terhadap ayat ini,
akan tetapi perlu ditambahkan satu hal lagi yang membuat peristiwa ini menjadi sangat
mungkin untuk terjadi yakni: peran Roh Kudus. Roh Kudus-lah yang membuat Petrus
memiliki keberanian untuk berkhotbah, sehingga orang banyak mendengar dan Roh
Kudus jugalah yang akhirnya memampukan mereka untuk percaya – dikonversi menjadi
orang Kristen (baca: Gereja).
Peran Roh Kudus tampak dengan jelas dalam penjelasan Kisah Para Rasul 2:4, yang
berbunyi: “Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata
dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk
mengatakannya”. Situasi ini kontras dengan situasi sebelum peristiwa turunnya Roh
Kudus (baca: Pentakosta), seperti yang dicatat dalam pasal sebelumnya di mana mereka
hanya bisa berkumpul dan berdoa dalam ruangan-ruangan yang tertutup dengan rapat –
supaya orang lain tidak melihat dan menemukan mereka. Peran Roh Kudus dalam
pertobatan massal pada perikop ini juga dikedepankan oleh David G. Peterson dengan
mengatakan, sekalipun demikian, ini adalah bukti luar biasa dari pekerjaan Roh yang
meyakinkan, melalui beberapa kesaksian dari para saksi Kristus (lih. Yoh 16: 8-11),
12 I. Howard Marshall, The Tyndale New Testament Commentaries: Acts (Surabaya: Momentum,
2007),
82.
bahwa begitu banyak yang seharusnya dibawa pada pertobatan dan iman pada satu
waktu ".13
Sebelum jumlah mereka ditambahkan menjadi sekitar 3.000 orang, ada satu
peristiwa penting yang menjadi pemicu pertobatan besar-besaran pada waktu itu.
Peristiwa apa itu? Peristiwa itu tidak lain adalah peristiwa Petrus berkhotbah (2:14-40).
Khotbah Petrus-lah yang kemudian mereka terima dan akhirnya mereka dibaptis untuk
menjadi Gereja. Ketika jumlah mereka bertambah menjadi sekitar 3.000 orang, maka
dapat dikategorikan perumbuhan Gereja secara kuantitatif telah terjadi. Tetapi sebelum
sampai kepada tahap tersebut, mereka lebih dahulu diubah secara kualitas melalui
perkataan Petrus.
Dalam ayat 41, frasa ἀ ποδεξά μενοι τὸ ν λό γον αὐ τοῦ ἐβαπτίςθηςαν menegaskan
bahwa ada perkataan Petrus yang akhirnya membuat mereka menjadi percaya kepada
Kristus dan dibaptis. Perkataan-perkataan apakah itu? Ada pun perkataan-perkataan
yang dimaksudkan di sini adalah perkataan-perkataan yang disampaikan oleh Petrus
dalam khotbahnya, seperti yang dicatat dalam ayat-ayat sebelumnya (14-40). Simon J.
Kistemaker berkomentar tentang frasa ini, “The text clearly indicates that not everyone
who heard Peter’s words believed. But the people who accepted his message requested
baptism. Because this verse fails to provide any information about the mode of baptism,
the age of the persons who were baptized, and the place where their baptism occurred,
we do well to refrain from being dogmatic”.14 Jadi, bagi Kistemaker teks ini
mengindikasikan bahwa tidak semua orang yang mendengar perkataan Petrus menjadi
percaya. Sebab ayat ini pasti menyediakan beberapa informasi tentang cara baptisan,
usia setiap orang yang dibaptis, dan tempat di mana pembaptisan mereka terjadi.
Sehingga dapat dikatakan bahwa orang-orang tertentu saja (yang dikehendaki oleh Roh
Kudus) yang akan meresponi perkataan Petrus tersebut dan kemudian menjadi percaya
dan memberi diri dibaptis.
Apakah yang Petrus telah kemukakan kepada mereka? Ada pun isi dari perkataan
Petrus terangkum sangat jelas dalam ayat-ayat sebelumnya (14-40). Diawali dengan
mengutip nubuat dari nabi Yoel (17-21) dengan mengelaborasinya dan menegaskan
bahwa nubuat tersebut digenapi dalam Yesus Kristus yang telah ditentukan oleh Allah
untuk mati karena dosa-dosa manusia. Tetapi pada hari ketiga, Allah membangkitkan-
Nya dari kematian. Kemudian Petrus mengutip nubuat dari Raja Daud seperti yang
terdapat dalam Mazmur 16:8-11. Sekali lagi Petrus pun mengaitkannya dengan Yesus, di
mana nubuat tersebut berbicara tentang Mesias yang dibangkitkan Allah, karena tidak
selamanya Dia akan berada dalam dunia orang mati. Bahkan dalam ayat 35, sekali lagi
Petrus mengutip nubuat dari Raja Daud – yang bagi Petrus bahwa nubuat itu berbicara
13 David G. Peterson, The Acts of The Apostles (Michigan: Grand Rapids, 2009), 159.
14 Simon J. Kistemaker, New Testament Commentary: Acts (Michigan, USA: Baker Books, 2007), 108.
tentang Yesus yang adalah Tuhan dan Kristus, meskipun telah disalibkan oleh orang
Yahudi. Khotbah tersebut ternyata membuat hati mereka yang mendengar menjadi
terharu (ay.37) dan percaya. Sehingga Petrus pun menantang mereka untuk bertobat
supaya mereka dibaptis dan dosa-dosa mereka diampuni (ay.38). Jadi, sangat jelas
bahwa Yesus menjadi sentral dari pada pemberitaan Petrus – kemudian perkataan inilah
yang kemudian yang membuat mereka menjadi percaya dan dibaptis. Petrus
memberitakan tentang Yesus yang telah ditetapkan oleh Allah untuk datang menjadi
manusia, menderita, disalibkan, dan mati untuk dosa-dosa manusia. Akan tetapi pada
hari ketiga, Dia dibangkitkan Allah untuk menunjukkan bahwa Dia telah menang dan
telah memenangkan orang-orang yang berdosa. Perkataan-perkataan Petrus ini identik
dengan apa yang dijelaskan oleh Paulus dalam 1 Korintus 15:3-4, di mana ayat ini
seringkali disebut sebagai definisi Injil.
Berita Injil yang disampaikan oleh Petrus di ataslah yang mendahului konversi
besar-besaran pada waktu itu – di mana sekitar 3000 orang menjadi percaya dan
dibaptis. Intinya, sebelum terjadi pertumbuhan Gereja secara kuantitatif, terlebih
dahulu diawali dengan pertumbuhan kualitatif. Maksudnya, sebelum Gereja bertambah
maka terlebih dahulu harus melewati sebuah pemberitaan Firman yang benar sehingga
Gereja mengerti ajaran yang benar. Seperti apakah khotbah yang benar itu? Khotbah
yang benar adalah khotbah yang kristosentris, bukan egosentris.
Kemudian dalam ayat 42 juga memberikan indikasi bahwa setelah Gereja
ditambahkan jumlahnya, terlihat begitu jelas pertumbuhan Gereja yang bersifat
kuatitatif. Di mana dalam ayat 42 ditegaskan, “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-
rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti
dan berdoa”. Dari ayat ini, ada empat hal yang mereka kemudian lakukan secara
continue, bersama-sama dan serius. Ada pun keempat hal itu adalah: bertekun dalam
pengajaran rasul-rasul, bertekun dalam persekutuan, berkumpul untuk memecahkan
roti, dan berkumpul untuk berdoa.
15 “Esan – the use of the imperfect tense to express continuity is evident in this verse and the
rest of the passage. For the past periphrastic contruction of esan and the present active participle
proskarterountes, see explanation in 1:14” (Kistemaker 2007, 111).
16 Simon J. Kistemaker, New Testament Commentary: Acts (Michigan, USA: Baker Books, 2007),
110.
17 Walter Bauer’s, A Greek-English Lexicon of The New Testament And Other Early Christian Literature
(BDAG) Third Edition., ed. Frederick William Danker. (Chicago: The University of Chicago Press, 2000), 881.
18 Kistemaker, New Testament Commentary: Acts, 110.
19 Hauck seperti yang dikutip Peterson menyatakan, “Originally a commercial term, κοινωνίa is
used in a number of NT contexts to refer to the joint participation of believers in Christ (e.g., 1 Cor. 1:9) or
the Holy Spirit (e.g., 2 Cor. 13:13) or their share in the demands and blessings of the gospel (e.g., Phil. 1:5).
Common participation in Christ necessarily leads to a mutual fellowship among members of the Christian
community (e.g., 1 Jn. 1:3)” (Peterson 2009, 160 fn.106).
20 Kistemaker, New Testament Commentary: Acts, 110-11.
dijelaskan dalam ay. 44-45, di mana kita diberitahu bahwa orang-orang percaya
memiliki semua kesamaan (koina).21
Jadi, baik Kistemaker maupun Peterson sepakat bahwa persekutuan dalam
konteks ini adalah semangat besar yang ditunjukkan oleh Gereja mula-mula dalam
sebuah ikatan umum pada ibadah, pada makanan, dan berbagi dari apa yang mereka
miliki (seperti dalam ayat 44-45). Orang Kristen secara nyata memperlihatkan kesatuan
mereka dalam Yesus Kristus di dalam pelayanan ibadah, di mana mereka disebut
saudara satu sama lain.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa maksud dari frasa bertekun dalam
persekutuan adalah mereka secara sukarela dan secara terus-menerus bersatu dalam
ibadah, dalam makanan, saling berbagi dalam segala apa pun yang mereka miliki – untuk
hal inilah mereka disebut bersaudara satu sama lain.
Mereka bertekun untuk memecahkan roti (Ἦςαν δὲ προςκαρτεροῦ ντεσ ….., τῇ κλά ςει
τοῦ ἄ ρτου – lalu mereka [telah] ada bersama-sama untuk memecahkan roti).
Menurut Kistemaker, bagaimana pun, berdasarkan konteks sepertinya memberi
kesan bahwa bertekun memecahkan roti mengacu kepada sebuah perayaan dari
Perjamuan Terakhir Tuhan. Dalam bahasa Yunani, kata sandang yang mendahului kata
benda bread dan demikian menetapkan bahwa orang orang Kristen mengambil bagian
dari bagian-bagian roti yang dipecahkan selama sakramen dalam jemaat, seperti yang
terdapat dalam 1 Korintus 10:16, “….bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah
persekutuan dengan tubuh Kristus?”. Selain itu, tindakan memecahkan roti sebagai
kesinambungan dalam tindakan dari pelayanan orang-orang yang beribadah – agaknya
dalam bentuk ibadah umum. 22
Apabila Kistemaker mengaitkan tindakan memecahkan roti dengan persekutuan
yang Gereja lakukan (Perjamuan Tuhan), maka lain halnya dengan Marshall yang justru
melihat tindakan ini sebagai kebiasaan orang Yahudi makan terbuka, dan sungguh aneh
apabila orang Kristen menilai sama tindakan Yesus pada Perjamuan Terakhir dengan
ketika Dia memberi makan banyak orang, seperti yang terdapat dalam Lukas 9:16;
22:19; 24:30; Kisah Para Rasul 20:7, 11. Meskipun istilah yang digunakan Lukas di sini
sama dengan yang digunakan oleh Paulus – sepertinya Lukas secara sederhana
menggunakan sebuah istilah yang di Palestina pada zaman itu untuk Perjamuan Tuhan
dalam bentuk yang sopan atau pantas.
Marshall menambahkan, mungkin sebuah kelanjutan dari makanan-makanan yang
dipegang bersama dengan kebangkitan Tuhan, tanpa beberapa hubungan yang spesifik
dengan Perjamuan Terakhir dan yang Paulus pernah lakukan untuk memperingati
kematian-Nya. Pernyataan Marshall di atas seperti yang dikemukakannya bahwa, ini
adalah istilah Lukas untuk apa yang Paulus sebut Perjamuan Tuhan. Ini mengacu pada
tindakan membuka perjamuan orang Yahudi, dan yang telah mendapatkan makna
khusus bagi orang Kristen mengingat tindakan Yesus pada Perjamuan Terakhir dan juga
ketika Dia memberi makan orang banyak (Luk 9:16; 22:19; 24: 30; Kisah 20: 7,11).
Telah diklaim bahwa pemikiran itu hanyalah sebuah perjamuan persekutuan, perharps
merupakan kelanjutan dari makan yang diadakan dengan Tuhan Yang Bangkit, tanpa
ada hubungan khusus dengan Perjamuan Terakhir atau bentuk Paulus dari Perjamuan
Tuhan yang merayakan kematiannya, tetapi itu adalah jauh lebih mungkin bahwa Lukas
hanya menggunakan nama Palestina awal untuk Perjamuan Tuhan dalam arti yang
tepat.23
Sebenarnya, bagi Marshall meskipun tindakan bertekun untuk memecahkan roti
tidak memiliki kaitan langsung dengan Perjamuan Malam Tuhan – meskipun Lukas
menggunakan istilah yang digunakan untuk the Lord’s Supper; namun ketika Gereja
berkumpul dan memecahkan roti tetap tindakan ini dilakukan dalam terang
kebangkitan Kristus.
Apa yang dikatakan Marshall hendak menegaskan bahwa tindakan ini bukan
semacam sakramen akan tetapi hanya jamuan makan biasa yang dilakukan di sela-sela
persekutuan – di mana mereka menikmati kebersamaan tidak hanya dalam persekutuan
tetapi juga dalam hal makanan.
Kistemaker menambahkan, kata “memecahkan roti” muncul dalam urutan
pengajaran, persekutuan, dan doa dalam kebaktian. Oleh karena itu, kami memahami
istilah tersebut sebagai gambaran awal untuk perayaan Perjamuan Kudus. Dalam liturgi
gereja Kristen, perayaan ini biasanya diiringi dengan pengajaran Injil dan doa”. 24 Jadi,
karena frasa ini merupakan rangkaian dari ajaran, persekutuan, dan doa dalam
pelayanan ibadah, maka istilah yang digunakan harus dipahami sebagai deskripsi awal
untuk Perjamuan Kudus. Dalam liturgi Gereja, perayaan ini telah ada dan biasanya
dirangkai oleh pengajaran Injil dan dirangkai oleh kegiatan berdoa. Meskipun istilah
digunakan adalah istilah yang seringkali digunakan untuk Perjamuan Tuhan, akan tetapi
tetap tindakan yang dimaksud di sini sangat berbeda – yakni: jamuan makan biasa yang
dilakukan dalam persekutuan jemaat mula-mula.
23 I. Howard Marshall, The Tyndale New Testament Commentaries: Acts (Surabaya: Momentum,
2007),
83.
24 Kistemaker, New Testament Commentary: Acts, 111.
Lukas dalam ayat ini (ayat 42) tampaknya berhubungan dengan ibadah umum:
pengajaran dan pemberitaan rasuli, persekutuan orang-orang percaya, perayaan
Perjamuan Tuhan, dan doa bersama.25
Jadi, karena di sini Lukas menggunakan kata sandang maka menunjukkan bahwa
kata ini menggambarkan doa-doa tertentu yang diucapkan dalam ibadah, mungkin saja
termasuk doa-doa yang seringkali dipanjatkan oleh orang Yahudi di Bait Allah (3:1).
Empat elemen yang disebutkan oleh Lukas dalam ayat ini tampaknya berhubungan
dengan ibadah umum: pengajaran rasul dan khotbah, persekutuan orang percaya,
perayaan Perjamuan Tuhan, dan doa bersama.
Hal yang senada juga dikemukakan oleh Peterson dengan berkata, bentuk jamak
dengan menggunakan kata sandang menunjuk kepada doa-doa yang spesifik – bukan
doa secara umum. Sama seperti Kistemaker, di sini juga mengacu kepada kelanjutan dari
serangkaian doa di dalam Bait Allah (3:1). Namun, karena mereka makan bersama-sama,
maka tidak diragukan lagi juga mereka berdoa bersama-sama untuk mengajukan
permohonan tentang kebutuhan-kebutuhan mereka kepada Tuhan. Doa itu pasti
merupakan bagian yang penting dari kehidupan mereka (4:31) bersama dengan
kepemimpinan rasul (6:4).26
Dengan demikian dapat dilihat bahwa mereka tidak hanya bertekun dalam
pengajaran para rasul, tidak hanya bertekun dalam persekutuan dan memecahkan roti
untuk mereka dapat mengadakan perjamuan kasih satu dengan yang lain. Akan tetapi,
sebagai bagian dari rangkaian dari persekutuan mereka, di dalamnya mereka juga
memanjatkan doa kepada Tuhan. Dan doa yang dimaksud di sini adalah doa-doa
tertentu, mungkin menyangkut tentang kebutuhan atau pun hal-hal yang urgen dari
kehidupan mereka.
Penulis memiliki pendapat yang sama dengan Marshall dan Peterson yang
menegaskan bahwa memecahkan roti tidak mengacu kepada Perjamuan Tuhan, namun
lebih kepada perjamuan kasih di dalam persekutuan jemaat mula-mula. Tentu pendapat
ini berbeda dengan pendapat Kistemaker yang menegaskan bahwa aktivitas tersebut
merujuk kepada Perayaan Perjamuan Tuhan.
Bagian terakhir yang dibahas dalam bagian ini adalah frasa “dan tiap-tiap hari
Tuhan menambahkan jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan” (ay. 47). Namun
sebelum ke situ, perlu memperhatikan dua frasa yang mendahului, yakni: sambil memuji
Tuhan dan mereka disukai semua orang. Menurut Ajith Fernando, pujian menjadi faktor
yang mengangkat semangat orang-orang yang hidup dalam tekanan karena tantangan
yang mereka hadapi dalam hidup. Mereka datang ke lingkungan itu berfokus pada
Tuhan; mereka mendengarkan kesaksian dan menyanyikan lagu-lagu yang
mengingatkan mereka realitas kekal yang tidak berubah. Mereka menerima tumpangan
25 Ibid, 111.
26 David G. Peterson, The Acts of The Apostles (Michigan: Grand Rapids, 2009), 162.
sehingga mereka juga bisa puji Tuhan. Pujian adalah disiplin yang harus kita pelajari
saat kita bertemu. Sangat mudah untuk membiarkan tantangan yang dihadapi kelompok
dan waktu belajar untuk diisi program kelompok kecil kita yang bisa kita abaikan
pujian.27
Oleh karena sikap hidup dan cara hidup yang selalu memperlihatkan kebaikan dan
suka berbagi satu sama lain, membuat banyak orang yang bersimpatik bahkan tidak
sedikit ikut bergabung dengan mereka. Itulah sebabnya jumlah mereka selalu
bertambah dan itu merupakan intervensi dari Tuhan. Oleh karena Tuhanlah yang
memberikan penambahan jumlah kepada mereka.
Apakah dari aktivitas persekutuan yang Gereja mula-mula kerjakan di atas dapat
dikategorikan sebagai pertumbuhan Gereja secara kuantitas? Tentu tidak. Justru melalui
bertekun dalam pengajaran rasul, bertekun dalam persekutuan, bertekun dalam
memecahkan roti, dan bertekun dalam doa menegaskan sebuah pertumbuhan secara
kualitatif. Meskipun selanjutnya pertumbuhan secara kualitatif ini akan memberikan
efek secara langsung terhadap pertumbuhan secara kuantitas.
27 Ajith Fernando, The NIV Application Commentary: Acts (Michigan, USA: Zondervan Publishing
House, Grand Rapids, 1998), 136.
berkhotbah tentang Yesus kepada orang banyak yang sedang berziarah ke Yerusalem
pada saat itu. Apa yang dikhotbahkan oleh Petrus? Petrus mengkhotbahkan tentang
Yesus adalah Tuhan/Mesias, Anak Allah yang mau mati demi dosa-dosa manusia. Hal ini
mengingatkan kepada Pengakuan Petrus bahwa ‘Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang
hidup!’ dalam Matius 16: 15. Kemudian Yesus meresponi pengakuan tersebut dengan
berkata, ‘…dan di atas batu karang ini [maksudnya: di atas pengakuan ini] Aku akan
mendirikan jemaat-Ku…’ (Mat. 16:18). Jadi, Yesus-lah yang menjadi dasar dari sebuah
Gereja. Mustahil Gereja dapat bertumbuh apabila di dalamnya tidak ada lagi Yesus
Kristus.
Dever mengemukakan sebuah argumen yang baik tentang poin ini, “Sebuah gereja
yang memajukan suatu pemahaman yang alkitabiah khususnya tentang Injil adalah
suatu gereja yang akan menolong kita bertumbuh sebagai orang Kristen”. 28 Apa yang
dikemukakan oleh Dever ini sebenarnya hendak menegaskan tentang sentralitas Injil
(berisi tentang Yesus Kristus) dalam pertumbuhan Gereja atau pun sebuah gereja.
Karena Kristus merupakan sumber kehidupan bagi Gereja, sebaliknya tanpa Kristus
Gereja tidak akan pernah ada dan tidak akan pernah bertumbuh. Michael Horton dalam
bukunya yang berjudul Kekristenan Tanpa Kristus, menegaskan keprihatinannya
terhadap gereja-gereja (khususnya di Amerika) yang tidak lagi menempatkan Kristus
sebagai sentral. Hal tersebut terlihat jelas dalam pernyataannya, “Ketika Allah ingin
memberikan kepada kita hidup kekal, kita memilih pemuasan yang remeh atas
kebutuhan-kebutuhan superfisial yang sebagian besar diciptakan di dalam kita oleh
budaya pemasaran”.29
Ketika Gereja tidak lagi mengutamakan Kristus dalam ajaran, khotbah dan praktik
hidup setiap hari, maka tentu perlahan-lahan Gereja sedang berjalan kepada kematian.
Pada penelitian tentang perikop ini, Sonny Zalukhu juga memberikan pemahaman yang
sama. Zalukhu mengatakan, “Tekun dan hidup di dalam pengajaran firman Tuhan adalah
salah satu kekuatan utama di dalam kehidupan rohani jemaat mula-mula. Mereka
menaklukan diri dan mengikuti secara konsisten semua hal baru yang diajarkan para
rasul di Yerusalem. Kelompok ini berakar di dalam firman karena mereka mau dididik
dan diajar dengan kebenaran (punya teachable spirit)… Belajar dan mendalami firman
Tuhan adalah salah satu ciri dari kehidupan rohani yang sehat. Yesus pernah berkata,
―Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut
Allah (Matius 4:4).”30
Dengan demikian, pertumbuhan Gereja dapat terjadi apabila pemberitaan Firman
Tuhan dapat terlaksana secara berkelanjutan dan bersifat teosentris atau pun
kristosentris. Yesus Kristus-lah yang menjadi dasar dari sebuah Gereja yang bertumbuh.
Dari apa yang dikemukakan oleh Berkhof tentang pandangan Reformed terhadap
peran Roh Kudus dalam pertobatan serta relasinya dengan Firman untuk membuat
seseorang bertobat dan percaya kepada Kristus – meskipun terdapat perbedaan dengan
pandangan kelompok Lutheran namun tetap dilihat dengan jelas betapa pentingnya
peran Roh Kudus terhadap peristiwa itu. Firman dan Roh Kudus masing-masing
memiliki signifikansi yang seimbang dalam mempertobatkan seseorang. Sehingga
ketiadaan salah satunya akan memberikan pengaruh yang signifikan juga terhadap
pertobatan seseorang.
31 Louis Berkhof, Teologi Sistematika 5: Doktrin Gereja (Surabaya: Momentum, 1997), 114.
Berikut ini Wayne Grudem memberikan komentar lebih jelas terhadap peran Roh
Kudus dalam mempertobatkan seseorang melalui pemberitaan Firman. Dia mengatakan,
Roh Kudus juga memberdayakan murid-murid Yesus untuk berbagai jenis pelayanan.
Yesus telah berjanji kepada mereka, “Kamu akan menerima kuasa ketika Roh Kudus
turun ke atasmu; dan kamu akan menjadi saksiku di Yerusalem dan di seluruh Yudea
dan Samaria dan sampai ke ujung bumi ”(Kis 1: 8). Ada beberapa contoh spesifik dari
Roh Kudus yang memberdayakan orang-orang Kristen mula-mula untuk melakukan
mukjizat saat mereka memberitakan Injil… Tetapi Roh Kudus juga memiliki kuasa yang
besar untuk pemberitaan gereja mula-mula jadi bagaimana ketika para murid dipenuhi
dengan Roh Kudus mereka mewartakan Dunia dengan berani dan dengan kekuatan
besar (Kis 4: 8, 31; 6:10; 1 Tes 1: 5; 1 Petrus 1:12). Secara umum, kita dapat mengatakan
bahwa Roh Kudus berbicara melalui pesan Injil seperti yang diberitakan secara efektif
ke hati orang-orang ... Sebenarnya, tidak hanya dalam pemberitaan pesan Injil, tetapi
juga dalam membaca dan mengajar Kitab Suci, Roh Kudus terus berbicara ke hati orang
setiap hari ...32
Intinya, tanpa peran Roh Kudus mustahil seseorang dapat merespons dan percaya
kepada berita Injil. Seperti yang dikemukakan oleh Grudem bahwa Roh Kudus berbicara
dalam hati setiap orang melalui pesan Injil. Bahkan bukan hanya melalui khotbah, Roh
Kudus juga bekerja ketika membaca dan mengajar tentang Kitab Suci – sehingga orang-
orang yang mendengar menjadi percaya. Kondisi inilah yang dialami atau dirasakan oleh
para murid seperti yang dicatat dalam Kisah Para Rasul 2. Melalui peran Roh Kudus
mereka memiliki keberanian untuk berkhotbah. Melalui peran Roh Kudus, setiap orang
yang mendengar khotbah mereka akan merespons dengan percaya, bertobat dan
memberi diri untuk dibaptiskan – sehingga menjadi Gereja.
Dengan kata lain, pertumbuhan Gereja secara kualitas ataupun kuantitas dapat
berjalan dengan baik dan efektif melalui peran Roh Kudus. Sehingga dapat dikatakan
dalam konteks pertumbuhan Gereja, peran Roh Kudus memiliki signifikansi yang sama
dengan peran Firman Tuhan (yang berisi tentang Kristus). Pendapat ini sesuai dengan
apa yang dikemukakan oleh Hengky Wijaya, “Pertumbuhan gereja adalah kehendak
Allah karena Allah sendirilah yang menghendaki agar gereja-Nya bertumbuh. Hal ini
dengan jelas diungkapkan dalam Firman Tuhan berikut ini. “Orang-orang yang
menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka
bertambah kira-kira tiga ribu jiwa”(Kisah Para Rasul 2:41).” 33 Dengan demikian,
kehendak Allah merupakan factor penentu dalam pertumbuhan Gereja.
Persekutuan dan kesatuan Gereja akan terwujud apabila kedua bagian sebelumnya
terdapat dalam gereja sesuai dengan porsi dan tempat yang tepat. Maksudnya, tanpa
Firman Tuhan (Injil) maka persekutuan dan kesatuan akan sulit untuk terwujud dalam
Gereja. Tanpa peran Roh Kudus, maka juga akan sulit untuk Gereja bersatu dan
bersekutu seperti yang dijelaskan dalam Kisah Para Rasul 2:42. Dalam ayat ini,
dijelaskan bahwa Gereja bertekun dalam pengajaran para rasul, dalam persekutuan,
dalam memecahkan roti, dan dalam doa. Ada empat kegiatan yang diikat dengan satu
kata kerja yakni: bertekun.
Setelah mereka mendengar dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan
Juruselamat, maka mereka bersatu dalam sebuah persekutuan. Berdasarkan hal ini,
maka dapat dikatakan bahwa Kristuslah yang telah mempersatukan mereka. Sehingga
dalam ayat 44 dikatakan, “Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu,
dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama”. Kondisi ini hanya akan
terwujud apabila seseorang hidup dalam Kristus.
Ketika mereka menerima Kristus, itu bukanlah kemampuan mereka. Tetapi semua
itu dapat terjadi karena peran Roh Kudus. Roh Kuduslah yang membuat mereka percaya
dan terus menjaga mereka sehingga senantiasa bertekun dalam iman mereka. Hal itu
diekspresikan dari praktik hidup Gereja mula-mula yang senantiasa bertekun dalam
pengajaran rasul, bertekun dalam persekutuan, bertekun dalam memecahkan roti, dan
bertekun dalam doa.
Apabila semua gereja memiliki persekutuan dan kesatuan yang sama dengan
Gereja mula-mula maka pasti mereka akan bertumbuh. Perlu digarisbawahi, ketiga poin
ini tidak dapat berdiri sendiri, karena ketiganya saling terkait satu sama lain.
4. Kesimpulan
Setelah melakukan kajian terhadap teks dalam Kisah Para Rasul 2:41-47, maka
diperoleh beberapa kesimpulan yang diuraikan sebagai berikut:
Pertama, berdasarkan teks Kisah Para Rasul 2:41-47 maka diperoleh pola
kehidupan jemaat mula-mula yang dapat dijadikan contoh model bagi jemaat atau gereja
masa kini supaya dapat mengalami pertumbuhan, yakni: mereka bertekun dalam
pengajaran Rasul, mereka bertekun dalam persekutuan, mereka bertekun memecahkan
roti, mereka bertekun dalam doa, bahkan mereka juga suka memuji Tuhan. Sehingga
mereka disenangi banyak orang dan Tuhan pun menambahkan jumlah mereka.
Kedua, berdasarkan kajian teks Kisah Para Rasul 2:41-47 maka diperoleh beberapa
hakikat pertumbuhan gereja yakni: Firman Tuhan/ khotbah tentang Yesus Kristus,
Pekerjaan Roh Kudus, dan persekutuan serta kesatuan gereja. Artinya, pertumbuhan
gereja hanya dimungkinkan terjadi apabila dalam gereja tersebut terdapat ketiga hal ini.
Hal inilah yang perlu diperhatikan oleh setiap gembala dan pemimpin gereja supaya
diterapkan dan mereka akan melaihat pertumbuhan gereja bukan hanya sekadar
perpindahan jemaat saja.
Ketiga, berdasarkan kajian teks Kisah Para Rasul 2:41-47 juga diperoleh sebuah
konsep tentang pertumbuhan gereja yakni: pertumbuhan gereja harus dimulai dari
pertumbuhan kualitas barulah kepada kuantitas. Ketika anggota jemaat belajar dengan
tekun Firman Tuhan sehingga mengerti dan memahaminya, maka mereka akan keluar
untuk memberitakan Injil dan bersaksi, sehingga kemudian memberikan pertumbuhan
jemaat atau gereja.
5. Referensi
Bauer’s, Walter. A Greek-English Lexicon of The New Testament And Other Early
Christian Literature (BDAG) Third Edition. Edited by Frederick William Danker.
Chicago: The University of Chicago Press, 2000.
Berkhof, Louis. Teologi Sistematika 5: Doktrin Gereja. Surabaya: Momentum, 1997.
C.van den Berg. Sungguh Merekalah Umat-Ku! Jakarta: YKBK/OMF, 2011.
D.A. Carson, R.T. France, J.A. Motyer, dan G.J. Wenham., ed. Tafsiran Alkitab Abad Ke-
21 (Matius-Wahyu). Jakarta: YKBK/OMF, 2017.
Dever, Mark. Sembilan Tanda Gereja Yang Sehat. Surabaya: Momentum, 2010.
Fernando, Ajith. The NIV Application Commentary: Acts. Michigan, USA:
Zondervan Publishing House, Grand Rapids, 1998.
Grudem, Wayne. Systematic Theology: An Introduction to Bible Doctrine. Patterson
Avenue S.E., Grand Rapids, Michigan, USA: Zondervan Publishing House, 1994.
Handi Irawan, Bambang Budijanto. Kunci Pertumbuhan Gereja Di Indonesia: Menyingkap
Faktor Pendorong Pertumbuhan Gereja Berdasarkan Temuan Survey Nasional BRC.
Jakarta: Yayasan Bilangan Research Center, 2020.
Horton, Michael. Kekristenan Tanpa Kristus. Surabaya: Momentum, 2012.
Kistemaker, Simon J. New Testament Commentary: Acts. Michigan, USA: Baker Books,
2007.
Klein, William W, Craig L. Blomberg, Robert L. Hubbard Jr. Introduction to
Biblical Interpretation 2. Malang: Literatur SAAT, 2017.
Marshall, I. Howard. The Tyndale New Testament Commentaries: Acts. Surabaya:
Momentum, 2007.
Moo, D.A. Carson; Douglas J. An Introduction to the New Testament. Malang: Gandum Mas,
2008.
Peterson, David G. The Acts of The Apostles. Michigan: Grand Rapids, 2009.
Ridderbos, Herman N. Tafsiran Injil Yohanes: Sebuah Tafsiran Teologis. Surabaya:
Momentum, 2012.
Tomatala, Yakob. Teologi Misi. Jakarta: Leadership Foundation, 2003.