0% found this document useful (0 votes)
833 views

TDM Uts

This document discusses therapeutic drug monitoring (TDM), which is the individualization of dosage regimens by measuring drug concentrations in the blood. TDM is important to determine the optimal dose for patients by keeping drug concentrations within the therapeutic window. It involves measuring drug levels in biological fluids and interpreting the results based on pharmacokinetics, sampling times, drug history, and the patient's clinical condition. TDM is useful for individualizing doses, evaluating therapy effectiveness and toxicity, monitoring drug interactions, and assessing patient compliance. Drugs that often require TDM have a narrow therapeutic window, unpredictable dosing, or variable metabolism.

Uploaded by

nabila aulia
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
833 views

TDM Uts

This document discusses therapeutic drug monitoring (TDM), which is the individualization of dosage regimens by measuring drug concentrations in the blood. TDM is important to determine the optimal dose for patients by keeping drug concentrations within the therapeutic window. It involves measuring drug levels in biological fluids and interpreting the results based on pharmacokinetics, sampling times, drug history, and the patient's clinical condition. TDM is useful for individualizing doses, evaluating therapy effectiveness and toxicity, monitoring drug interactions, and assessing patient compliance. Drugs that often require TDM have a narrow therapeutic window, unpredictable dosing, or variable metabolism.

Uploaded by

nabila aulia
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 285

APLIKASI THERAPEUTIC DRUG MONITORING

(INDIVIDUALISASI ATURAN DOSIS)

Apt, Ema Nillafita P.K., MFarm


Pharmacodynamics is the relationship between
drug concentration and pharmacological response.
(Applied Clinical Pharmacokinetic)

Penting untuk diketahui dan


diingat bahwa perubahan
efek obat tidak selalu
sebanding dengan dosis/
konsentrasi obat
3
Hubungan Dosis-Efek PK-PD

4
How often and How much to give 1
RELEVANSI
When is steady-state
FARMAKOKINETIKA achieved ? 2

How will some drug-drug


interactions occur? 3

How to change the dose in certain medical


conditions ? 4
Parameter Farmakokinetik Dasar dalam Farmakokinetik Klinik

Waktu Paruh (t!⁄")


Bioavialibiltas (F) Time taken for the plasma
The propotion of drug absorbed as concentration to fall by one half once
a percent of total administered distribution equilibriumium has been

Volume Distribusi (Vd) Peak Concentration (Cmax)


The apparent volume into The highest drug consentration
which the drug dissolved

Clearance (Cl) Trough Concentration (Cmin)


Rate of which drug is The lowest drug consentration
eliminate

Area Under Curve (AUC)


The measure of the total systemic exposure
to the drug
Bioaviabilitas

The fraction (F) of the


administered dose of the drug Jika F < 1 (100%)
that reaches the systemic Absorbed dose = administered dose x bioavalabilitas
circulation available to have Perhitungan dosis po berdasarkan nilai F dan dosis iv

an effect (0-1)
Volume Distribusi (Vd)

Volume Distribusi
“The volume into which the drug would have
to be distributed in order to obtain the same
plasma”

Loading Dose (LD) =


a dose of drug sufficient to produce a plasma
concentration of drug that would fall within
the therapeutic window after only one dose
over a very short interval.
Clearance (Cl)

Clearance
“volume of plasma that is cleared of
drug per unit time”

Maintenance Dose
“The dose needed to maintain the
concentration within the therapeutic window
when given repeatedly at a constant interval”
Half Life
Interval Dosis
- Time to completely eliminate the drug
from the body (5x 𝑡#⁄$ )
- Time to reach steady state (Tss) depends
Half life on half life (Tss – 4-5x 𝑡#⁄$ )
“time taken for the concentration
of drug in blood to fall by a half ”

0,693 0,693×𝑉&
𝑡#" = =
$ 𝐾% 𝐶𝑙
Therapeutic Drug
Monitoring???
Therapeutic Drug Monitoring

Tindakan yang mengarah untuk mencapai dosis optimal pada pasien


yang di dapatkan dengan mengetahui rentang konsentrasi obat tetap
berada dalam kisaran indeks terapi.

• Pengukuran konsentrasi obat dalam cairan biologis dan interpretasi


• Interpretasi membutuhkan kemampuan dan pengetahuan mengenai farmakokinetik,
waktu sampling, riwayat penggunaan obat dan kondisi klinis pasien
Mengapa perlu dilakukan TDM?
BASIC PRINCIPLES OF TDM
1. Pengukuran serum pasien atau konsentrasi plasma obat pada waktu yang
tepat setelah pemberian obat.
2. Pemahaman dan Pengetahuan tentang profil farmakokinetika dari obat yang
diberikan.
3. Pengetahuan tentang profile pasien termasuk data demografi, status klinis,
laboratorium dan investigasi klinis yang lain.
4. Interpretasi SDC setelah penggunaan obat dengan mempertimbangkan
semua informasi tsb dan regimen dosis individualisasi sesuai dengan kondisi
klinis pasin.
Fungsi TDM
Regimen Dosis Evaluasi Terapi
Individualisasi Dosis
- Monitoring kondisi klinis
- Efektivitas Terapi

Toksisitas Interaksi Obat


- Diagnosis toksisitas
- Mencegah toksisitas Monitoring dan deteksi
- Terapi kondisi keracunan interaksi obat

Compliance Withdrawal
Menilai kepatuhan pasien Panduan dalam terapi
dalam menjalani proses “withdrawal”
terapi
Kriteria obat yang memerlukan TDM

Drug Patient
1. Narrow therapeutics 1. Renal disease
window 2. In withdrawal therapy
2. dose and plasma 3. Chronic Disease à
concentration is Compliance
unpredictable 4. Indicate toxicity / Abuse
3. Saturable metabolism
4. Unpredictable clinical
response

Other Condition
Have individual variabilities
Change of drug interaction
Bagaimana proses TDM?

How to Evaluate??
Response Evaluation

Kurang
Positif Negatif
1. Evaluasi dosis dan
Terapi Dilanjutkan STOP Terapi interval, Interaksi
2. Evaluasi
farmakodinamik
3. Kepatuhan

• Penilaian kondisi klinis pasien dilakukan setelah pasien menerima aturan dosis awal
• Jika pasien tidak menunjukkan reaksi sesuai harapanà tinjau obat dan aturan dosis (aturan
kecukupan dosis, kepatuhan)
• Praktisi hendaknya menentukan perlu tidaknya pengukuran melalui serum pasien
Pengukuruan Konsentrasi Obat dalam Serum
Ø Tentukan terlebih dahulu perlu/ tidaknya pengukuran melalui serum
Ø Dalam beberapa hal respon pederita tidak dapat dikaitkan dengan konsentrasi
obat dalam serum (contoh: alergi dan mual ringan)
Ø Banyak studi klinik obat telah dilakukan terkait rentang efektif terapetik dari
konsentrasi obat dalam serum à pengetahuan mengenai konsentrasi obat
dalam serum dapat menjelaskan mengapa pasien tidak menunjukkan efek /
muncul efek yang tidak diinginkan
Ø Pengukuran konsnetrasi serum sebaiknya juga mempertimbangkan biaya
penetapan kadar, resiko, metode yang digunakan (invasif sehingga
kemungkinan pasien merasa tidak nyaman, manfaat informasi yang diperoleh)
TDM dan
Individual Dosis
RATIONAL DRUG Personalize Medicine
THERAPY (Indizidualization dose regimen)

Same dose of drug may produce large differences in pharmacologic response in different individuals,
this is called as Intersubject variability
Aturan Dosis dan Kondisi Steady State
Sumber Variabilitas

Pharmacokinetic Variability
• Adanya perbedaan pada proses Absorpsi, Distibusi, Metabolisme
dan Eksresi
• Berpengaruh terhadap konsentrasi obat
• Major cause : Genetik, Penyakit, Usia, Berat Badan, dan

Pharmacodynamics Variability
• Adanya perbedaan konsentrasi à perbedaan efek dan respon tubuh
Keuntungan Individualisasi Dosis

1 2
3
Efektivitas Toksisitas
Tinggi Rendah Kepatuhan
Meminimalkan Tingkat
Sesuai dengan
toksisitas dan kepatuhan
kondisi pasien efek samping pasien lebih
baik
Rancangan Dosis Individual
Pertimbangan
1. Farmakokinetik, profil ADME obat pada pasien
2. Kondisi fisiologis pasien (umur, berat badan, jenis kelamin)
3. Kondisi patofisiologis (gangguan organ yang mempengaruhi profil
farmakokinetik obat normalnya)
4. Paparan (exposure) lain yang diterima pasien dan dapat mengubah
farmakokinetik secara umum (contoh: merokok)
5. Target konsentrasi obat pada reseptor pasien (contoh: perubahan
kepekaan reseptor terhadap obat)
Jenis Rancangan Dosis

1 Aturan Dosis Individual

Parameter Farmakokinetik Parsial dan Populasi Rata – Rata 2

3 Empirik

Faktor Genetik 4
Sebagai Tugas :
1. Apakah yang dimaksud dengan indeks terapi / rentang terapi ?
2. Apakah semua obat dan pasien memerlukan sebuah proses individualisasi
dosis? Jelaskan !
3. Jadi apakah tujuan dari rancangan dosis ?
4. Carilah sebuah jurnal terbaru (maks. 5 tahun terakhir) tentang salah satu
jenis rancangan dosis dan Buatlah Resume tentang jurnal tersebut ! (maks.
2 lembar).

Kerjakan secara Mandiri dan Kumpulkan melalui link : https://bit.ly/Tugas_TDMCD


(Paling Lambat : Jumat, 30 Sep 22 (pukul : 15.00 WIB))
VARIABILITAS FARMAKOKINETIK DAN
FARMAKODINAMIK PADA KONDISI
PATOLOGI KHUSUS (KARDIOVASKULAR DAN
GASTROINTESTINAL)

LOGO
Therapeutic Drug Monitoring
vPenyakit merupakan salah satu sumber
keanekaragaman respons.
vSebagai contoh adalah penyakit ginjal
kronik (PGK), gangguan hati, gangguan
sirkulasi darah, gangguan thyroid dan
gastrointestinal serta keberadaan
penyakit lebih dari satu.
vAgar diperoleh respons sesuai dengan
yang diharapkan maka dosis lazim perlu
dimodifikasi untuk pasien yang
bersangkutan.
Penyakit Kardiovaskular

vGagal jantung merupakan sindrom


dengan mortalitas dan morbiditas yang
tinggi dan selalu dikaitkan dengan
komorbid, terutama pada pasien yang
berusia lanjut, yang dapat
mempengaruhi farmakodinamik dan
farmakokinetik obat yang digunakan
untuk gagal jantung.
vPatogenesis gagal jantung begitu
kompleks dan multifaktor, meliputi
neuroendokrin, inflamasi, metabolisme
dan mekanisme imunologi.
vTerapi pada fase akut diutamakan untuk
mengatasi gejala dan hemodinamika,
sedangkan pada fase kronis untuk
mengatasi perubahan prognosis jangka
panjang.
vGangguan fungsi hepar menyebabkan
metabolisme obat melambat
vPerubahan fungsi ginjal pada tipe I dan
tipe II Cardiorenal Syndrome (CRS)
diduga dapat menyebabkan perubahan
metabolisme obat dan/atau disposisi.
vGangguan metabolisme juga dapat
terjadi pada Therapeutic Hypothermia
(penanganan hipotermi post cardiact
arrest).
vKebanyakan pembentukan enzimatik di
dalam tubuh dipengaruhi oleh suhu,
hipotermi menyebabkan penurunan
klirens pada obat-obat kardiovaskular
yang bergantung pada metabolisme.
vEnzim superfamily CYP merupakan
mediator utama dari transformasi
oksidatif dari molekul exogenus dan
endogenus serta senyawa-senyawanya.
vEkspresi CYP terjadi pada organ hepatik
dan extra-hepatik, termasuk sistem
kardiovaskular.
vEkspresi enzim CYP dan produksi
metabolit-metabolitnya berubah pada
penyakit kardiovaskular.
vPerubahan ekspresi CYP juga ditemukan
pada keadaan patologi lainnya, seperti
penyakit hepar dan ginjal.
vCYP pathway bertanggungjawab pada
metabolisme dari sebagian besar obat-
obatan kardiovaskular.
vIsoform CYP penting yang ditemukan
untuk biotransformasi obat
kardiovaskuler yaitu: CYP3A, CYP2D6,
CYP2C19, CYP2C9, dan CYP1A2
vAbnormalitas hepatik pada gagal jantung
relatif luas, dengan spektrum mulai dari
yang perubahan kecil biokimia hepar ke
steatosis, hepatitis iskemik kardiogenik,
kongesti fibrosis hepar, dan sirrosis
kardiak.
vAbnormalitas biokimia hepar terjadi pada
3–80 % pasien dengan gagal jantung
Farmakokinetik obat pada gagal jantung
vPasien Congestive heart failure (CHF)
dengan edema persisten dapat
menurunkan aliran darah splanchnic dan
menyebabkan edema pada dinding usus.
vSelain itu, motilitas usus melambat.
vBerkurangnya aliran darah ke usus dan
melambatnya motilitas usus
menyebabkan penurunan absorpsi obat.
vContohnya pada Furosemide (Lasix),
menyebabkan absorpsi obat oral menjadi
tidak menentu atau menurun pada
pasien CHF dan melambatnya onset.
vMetabolisme obat (disebut juga
biotransformasi) terjadi terutama di
hepar melalui reaksi fase I (oksidasi,
hidrolisis, dan reduksi) dan fase II
(konjugasi).
vReaksi fase I termasuk dalam sistem
enzim yang diperantarai cytocrom P
(CYP) 450, diperkirakan dilalui lebih dari
90% dari semua pengobatan.
v Induksi dan inhibisi sistem enzimatik ini
membantu memantau interaksi obat-obatan dan
juga menggambarkan karakteristik fungsi
genetik yang bervariasi, hal ini menghasilkan
perbedaan klinis yang signifikan dalam
metabolisme obat (farmakogenomik).
v Reaksi Fase I juga termasuk dalam konversi
prodrug, dari tidak aktif menjadi aktif.
v Prodrug digunakan untuk beberapa alasan
seperti stabilitas, absorbsi, dan keuntungan
tertentu.
vSebagai contoh enalapril merupakan
prodrug yang dimetabolisme cepat di
hepar menjadi enalaprilat, yang
merupakan bentuk aktif yang
menghambat angiotensin-converting
enzym (ACE).
vPerubahan metabolisme obat melalui
sistem enzim dipengaruhi oleh genetik,
fungsi hepatik, dan obat-obatan lain,
yang hasilnya dapat meningkatkan atau
menurunkan paparan pengobatan
tersebut.
Substrat dan inhibitor enzim CYP450
Penyakit Gastrointestinal

vFaktor fisiologik yang berperan dalam


proses absorpsi obat : pH, sekresi
lambung, pancreas dan usus, motilitas
usus, aktivitas enzim metabolisme di
dalam lumen dan epitel GI, aliran darah
splanchnic yang menuju ke vena portal
sebelum masuk ke hati
vdapat mempengaruhi ketersediaan
hayati/ bioavailabilitas obat (kecepatan
absorpsi dan jumlah obat yang masuk ke
sirkulasi sistemik)
Penyakit celiac dan chron’s

v Merupakan Penyakit autoimun pada intestinal


yang dapat mempengaruhi absorpsi obat karena
kenaikan permeabilitas usus
v Penyakit celiac (gluten-sensitive enteropathy)
peradangan pada usus halus bagian proksimal
karena faktor genetik atau terlalu sering
konsumsi gluten (suatu protein dari biji-bijian
atau gandum) menyebabkan malabsorpsi
nutrient seperti KH & lemak (kelelahan dan BB
turun), zat besi, asam folat, dan vit B12
(anemia), kalsium dan vit D (osteopenia dan
osteoporosis), vit A, E, dan K, pertumbuhan
bakteri berlebih di usus
vPenyakit Chron’s peradangan pada usus
bagian distal dan usus besar bagian
proksimal obstruksi, pertumbuhan
bakteri berlebih, penyakit hati
vTerapinya :
vCeliac à berhenti mengkonsumsi gluten
vChron’s à glukokortikoid (prednisone,
metilprednisolon), imunosupresan
(azatioprin, metotreksat, siklosporin),
antibiotik (metronidazole, siprofloksasin,
klaritromisin)
Hipoksemia dan Hipovolemia

v Kondisi hipoksemia dan hipovolemia terbukti


menunjukkan efek buruk pada intestinal
microvilli (Harrois et al, 2013).
v Dimana microvilli penting dalam proses absorpsi
obat.
v Pasien dengan kehilangan darah yang
bermakna, hipoksemia, atau iskemia usus dapat
mengalami gangguan absorpsi obat.
v Sebaiknya tenaga medis mempertimbangkan
untuk pemberian obat melalui rute selain oral.
Aclorhidria

vAclorhidria adalah suatu kelainan pada


lambung yang ditandai dengan sekresi
asam lambung yang sangat sedikit
vHCl lambung sangat diperlukan dalam
melarutkan basa bebas yang sukar larut.
vBanyak obat basa lemah yang tidak
dapat membentuk garam sehingga tidak
larut di lambung dan tidak dapat
diabsorpsi.
vDapsone, itraconazole, dan ketoconazole
juga sedikit diabsorpsi pada kondisi
aclorhidria.
vPada pasien dengan gangguan refluks
asam, penghambat pompa proton,
seperti omeprazole, membuat lambung
menjadi aclorhidria, sehingga juga
mempengaruhi absorpsi obat.
vPemberian bersama dengan jus jeruk,
cola, atau minuman asam lainnya dapat
membantu absorpsi beberapa obat yang
memerlukan suasana asam.
vPasien HIV–AIDS rentan terhadap
gangguan gastrointestinal (GI), seperti
penurunan waktu transit lambung, diare,
dan aclorhidria.
vWaktu transit lambung dan diare dapat
mengubah absorpsi obat oral.
vAclorhidria kadang dapat mengurangi
absorpsi, tergantung pada tingkat
keasaman yang diperlukan untuk
absorpsi obat tertentu.
vMisalnya obat Indinavir, memerlukan
suasana keasaman yang normal untuk
absorpsi.
vTherapeutic window indinavir sangat
sempit, jadi konsentrasi serum yang
optimal sangat diperlukan untuk
mencapai efikasi.
Pustaka

v Azizah Nasution. 2015. Farmakokinetika Klinis, Medan: USU


Press
v Hakim L. 2012. Farmakokinetika Klinik, Edisi 1, Bursa Ilmu,
Yogyakarta
v Shargel, L., Pong, W. dan Yu, A.B.C. 2005. Applied
Biopharmaceutics and Pharmacokinetics, 5th ed., McGraw-
Hill Medical Publishing Division, Boston.
v Winter ME. 1994. Basic clinical pharmacokinetics, 3rd ed.,
Applied Therapeutics, Inc., Vancouver
v Coons, J. C., & Empey, P. 2017. Drug Metabolism in
Cardiovascular Disease. Drug Metabolism in Diseases, (Cv),
139–156. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-802949-
7.00006-7
v Katzung Bertram G. et al. 2015. Farmakologi Dasar & Klinik
ed.12 vol.1, Jakarta: EGC.
v Lainscak, M., Vitale, C., Seferovic, P., Spoletini, I., Cvan
Trobec, K., & Rosano, G. M. C. 2016. Pharmacokinetics
and pharmacodynamics of cardiovascular drugs in chronic
heart failure. International Journal of Cardiology. Elsevier.
https://doi.org/10.1016/j.ijcard.2016.09.015.
v Sleder, A. T., Kalus, J., & Lanfear, D. E. 2016.
Cardiovascular Pharmacokinetics, Pharmacodynamics, and
Pharmacogenomics for the Clinical Practitioner. Journal of
Cardiovascular Pharmacology and Therapeutics, 21(1),
20–26. https://doi.org/10.1177/1074248415590196.
v Valentová, M., Von Haehling, S., Doehner, W., Murín, J.,
Anker, S.D., & Sandek, A. 2013. Liver dysfunction and its
nutritional implications in heart failure. Nutrition, 29(2),
370–378. https://doi.org/10.1016/j.nut.2012.06.002
Terima Kasih
REGIMEN DOSIS
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
⦿ Keberhasilan terapi obat sangat tergantung pada pemilihan obat dan
produk obat serta rancangan aturan dosis

⦿ Sebuah rancangan aturan dosis dirancang secara benar mencoba untuk


mencapai suatu respons terapi optimal dengan efek samping yang
minimal.

⦿ Perbedaan individu dalam farmakokinetik dan farmakokinetik membuat


rancangan dosis menjadi sulit à evaluasi klinis pasien dan monitoring

3
⦿ Untuk obat indeks terapi sempit à tujuan rancangan dosis adalah
untuk menghasilkan konsentrasi obat yang aman

⦿ Oleh karena itu diperlukan perancangan dosis yang teliti untuk


menghindari fluktuasi konsentrasi plasma.

4
INDEKS TERAPI
the ratio of the dose that produces toxicity to the dose
that produces a clinically desired or effective response in
a population of individuals:

6
⦿ TD50 = the drug dose that produces a toxic effect in half the
population and
⦿ ED50 = the drug dose that produces a therapeutic or desired
response in half the population.
⦿ The therapeutic index is a measure of a drug's safety,
because a larger value indicates a wide margin between
doses
7
8
9
• therapeutic index is determined by measuring
• the frequency of desired response, and
• Toxic the frequency of desired response, and toxic response, at
various doses of drug.
By convention, response, at various doses of drug. By convention, the
doses that produce the therapeutic effect and the doses that produce
the therapeutic effect and the toxic effect in fifty percent of the
population are the toxic effect in fifty percent of the population are
employed; these are known as the ED50 and TD50,employed; these are
known as the ED50 and TD50, respectively.

10
• in humans, the therapeutic index of a drug is determined using :
• drug trials and accumulated determined using drug trials and
• accumulated clinical experience.
These usually reveal a range of clinical experience. These usually reveal
a range of effective doses and a different (sometimes effective doses
and a different (sometimes overlapping) range of toxic doses.over
lapping) range of toxic doses.

11
REGIMEN DOSIS
Regimen Dosis :
Cara bagaimana obat digunakan, berapa besarnya dosis dan
interval pemberian serta lama penggunaan

Tujuan : Mencapai konsentrasi obat target pada site reseptor

Lama pengobatan dan regimen dosis tergantung kepada tujuan


pengobatan yaitu apakah untuk penghilang rasa sakit, pencegahan
ataupun penyembuhan penyakit.

13
Penentuan • Diestimasi menggunakan paremeter
Dosis farmakokinetika

• Memastikan respon terapetik melalui


Monitoring pemeriksaan fisik, dan jika perlu
pengukuran kadar obat dalam darah

• Penyesuaian
Evaluasi dosis
Pendekatan yang paling akurat untuk merancang regimen dosis :
⦿ Menghitung berdasarkan farmakokinetika obat pada pasien
individu
⦿ Dosis awal diperkirakan menggunakan parameter
farmakokinetika populasi rata-rata yang diperoleh dari
literatur
⦿ Menggunakan software, biasanya untuk obat indeks terapi
sempit

15
Activity – Toxicity
Pharmacokinetic - Therapeutics window
ADME - Side effects
- Toxicity
- Concentration – response
DOSIS
REGIMEN
Other Factor
Clinical Factor
- Route
- Patients (Age, weight,
- Dose
pathophysiologic
- Tolerance dependent
condition)
- Drug Interation
- Management Therapy
JENIS ATURAN RANCANGAN DOSIS
INDIVIDU PARAMETER FARMAKOKINETIK
• Tidak memungkinkan perhitungan dosis PARSIAL
awal. Menggunakan asumsi umum
• Perhitungan dosis didasarkan pada
parameter farmakokinetika yang
berdasarkan kondisi pasien.

• berdasarkan parameter farmakokinetika


yang diperoleh dari studi klinis

• Ada 2 asumsi : fixed model and adaptive Didasarkan pada pengalaman, data klinis
model empiris dan pengamatan klinis
POPULASI RATA - RATA DOSIS EMPIRIS

17
Aturan Dosis : POPULASI RATA - RATA
ADAPTIVE MODEL
v Menggunakan variable dari pasien
(usia, berat badan, kondisi
FIXED MODEL patofisiologis, BMI)
Ø Parameter farmakokinetika populasi v Berupaya untuk mengadaptasi dan
rata-rata dapat digunakan secara memodifikasi aturan dosis sesuai
langsung tanpa perubahan / konstan dengan kebutuhan pasien
v Mengasumsikan Cl obat tidak
Ø Mengikuti model kompartemen satu berubah
Ø Acuannya adalah dosis lazim yang
kemudian disesuaikan dengan kondisi
pasien (berat badan dan/atau usia)

18
Parameter dalam Penentuan Regimen Dosis
Dose Size Dose Frequency

• “Quality of drug administration” • “Time interval between doses”

• Amount of drug absorbed after • Dose interval is calculated on


administration of each dose is
considered while calculating the the basis of half life of the drug.
dose size.
• When dose interval is increased
• Greater the dose size greater the with no change in the dose size
fluctuation between Css,max & ,Cmin, Cmax & Cav decrease,
Css,min (max. and min. steady state but when dose interval is
concentration) during each dosing reduced, it results in greater
interval & greater chances of toxicity.
drug accumulation in the body
and toxicity
PERUBAHAN DOSIS REGIMEN
⦿ Kita tidak dapat mengendalikan variable : CL, Vd, F
⌾ Perubahan pada F à mengubah Css rerata
⌾ Perubahan Vd à mengubah Css min
⌾ Perubahan Cl à menngubah Css min dan Css rerata
⦿ Adanya komorbid, usia, gangguan ginjal dan hati, adanya
obat lain à mengubah CL, F, V
⦿ Namun kita dapat mengendalikan Dose rate (D/τ)
20
INFUS INTRAVENA KE DOSIS ORAL
⦿ Setelah pendosisan pasien dikendalikan dengan infus intravena à
digantikan dengan pemberian secara oral.

⦿ Infus intravena dihentikan à konsentrasi obat akan menurun


sesuai dengan kinetika eliminasi orde ke satu.

⦿ Untuk penggunaan per oral à waktu untuk mencapai kadar tunak


juga mengikuti orde ke satu.

21
Model 1
⦿ Metode ini mengasumsikan bahwa konsentrasi obat dalam
keadaan tunak (Css), setelah infus IV identic dengan C∞av yang ingin
digunakan setelah dosis oral ganda. Persamaan yang digunakan :

𝑆 𝐹 𝐷𝑜 # 𝑘 𝑉𝑑
𝐷𝑜 𝐶!"
#
𝐶!" = =
𝑘𝑉𝑑𝜏 𝜏 𝑆𝐹

22
Contoh Model 1
Seorang pasien asma, laki – laki dewasa (umur 55, 78 kg) telah
dipertahankan infus intravena aminofilin pada laju 34 mg/jam.
Konsentrasi teofilin pada kondisi tunak adala 12 mcg/mL dan klirens
tubuh oral dihitung sebagai 3.0 L/Jam. Hitung aturan dosis yang tepat
dari teofilin untuk pasien tsb?

Aminofilin adalah bentuk garam dari teofilin dan mengandung 85%


teofilin. (S = 0.85)
F=1

23
$ % &' ).+,× .× /0
laju 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑡𝑒𝑜𝑓𝑖𝑙𝑖𝑛 = (
= .
= 28.9 mg/jam

$ % &' ).+,× .× /0 12
laju 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑡𝑒𝑜𝑓𝑖𝑙𝑖𝑛 = = = 28.9 ×24𝑗𝑎𝑚 =
( . 341
693,6𝑚𝑔/ℎ𝑎𝑟𝑖

24
Model 2

⦿ Laju infus intravena (mg/L) adalah (harus sama dengan kecepatan


dosis ideal

25
Contoh Model 2

Seorang pasien asma, laki – laki dewasa (umur 55, 78 kg)


telah dipertahankan infus intravena aminofilin pada laju 34
mg/jam. Konsentrasi teofilin pada kondisi tunak adala 12
mcg/mL dan klirens tubuh oral dihitung sebagai 3.0 L/Jam.
Hitung
1. Dosis harian total
2. aturan dosis yang tepat dari teofilin untuk pasien tsb?

26
Laju infus = 34 mg/jam à per hari = 34 mg x24 = 816 mg

Dosis harian = 816mg x 0.85 = 693.6 mg = 700mg

Rancangan Aturan dosis : dibuat 2 x sehari = setiap 12 jam.


Dosis sekali minum = 700 mg : 2 = 350 mg

27
PENENTUAN DOSIS
⦿ Dosis obat diestimasi untuk memberikan kadar therapeutic yang
diinginkan.
⦿ Untuk obat yang diberikan dalam dosis ganda untuk jangka
waktu lama, biasanya dihitung sehingga kadar tunak rata – rata
berdiri dalam rentang therapeutics.
⦿ Dosis dapat dihitung dengan rumus :
1,44 𝐹 𝐷𝑜 𝑡.5
# 6
𝐶!" =
𝑉𝑑𝜏
28
Contoh Soal
Menurut literatur, Tobramisin memiliki waktu paruh 2,15
jam dan volume distribusi 33.5% dari berat badan.
Hitunglah berapa dosis untuk pasien dengan berat badan
80kg, jika kadar tunak yang diharapkan adalah 2,5 mcg/L.
Asumsi bahwa obat diberikan melalui injeksi intravena
bolus setiap 8 jam.
29
1,44 𝐹 𝐷𝑜 𝑡.5
# = 6
𝐶!"
𝑉𝑑𝜏

1,44 ×1× 𝐷𝑜 2,15


2,5 =
2.68×8

2,5×2.68×8
𝐷= = 173,103𝑚𝑔
1,44×1×2,15

30
PENENTUAN FREKUENSI PEMBERIAN
⦿ Besaran dosis obat sering dikaitkan dengan frekuensi
pemberian.
⦿ Lebih sering obat diberikan à semakin kecil dosis yang
diperlukan untuk mencapai C∞av
⦿ Secara umum, interval pendosisan ditentukan oleh waktu paruh
eliminasi.
⦿ Obat dengan indeks terapi sempit à harus diberikan relative
sering untuk menghindarkan fluktuatif

31
DIGOKSIN : Penisilin G

• Jadwal dosis penjagaan : 0.25mg/hari • Jadwal dosis penjagaan : 250 mg/6 jam

• Waktu paruh eliminasi : 1,7 hari • Waktu paruh eliminasi : 0.75 jam

• Interval pendosisan – 0.59 x waktu • Interval pendosisan : 8 x waktu paruh


paruh eliminasi eliminasi

• Konsentrasi plasma toksik 1.5x lbh besar • Konsentrasi plasma toksik 100x lbh
daripada konsentrasi efektiff besar daripada konsentrasi efektif

Suatu obat dengan indeks terapi besar dapat diberikan dalam dosis
besar dan interval pendosisan yang relative panjang

32
PENENTUAN DOSIS DAN INTERVAL PENDOSISAN
⦿ Dosis dan interval pendosisan harus dipertimbangkan dalam
perhitungan dosis.
⦿ Idealnya, aturan dosis terhitung harus menjaga konsentrasi
obat serum antara Cssmax dan Cssmin.

𝐶𝑝)
# L(1 − 𝑒 <8() %
𝐶7!89 𝐶!"#$ 1
# = = (#)
𝐶7:; 𝐶𝑝) 𝑒 <8( %
𝐶!&' 𝑒
L
(1 − 𝑒 <8()

33
34
35
PEMILIHAN PERSAMAAN
FARMAKOKINETIKA YANG TEPAT
Tim Dosen Pengampu Kuliah Therapeutics Drug Monitoring
Dosis Muatan / Dosis Bolus / Loading Dose
C menunjukkan konsentrasi awal setelah
pemberian dosis muatan dan C1
menunjukkan konsentrasi pada interval
waktu tertentu (t1) setelah pemberian dosis.
Jika obat diberikan secara oral, diasumsikan
bahwa obat menunjukkan model
kompartemen satu terbuka dan absorpsi
cepat.

Grafik perubahan kadar plasma seiring berjalannya waktu


setelah pemberian suatu dosis muatan.
Apabila dosis muatan atau dosis bolus obat telah diberikan, konsentrasi plasma
awal (C) dapat ditentukan dengan rumus

𝑆. 𝐹. 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑀𝑢𝑎𝑡𝑎𝑛
𝐶=
𝑉

Kadar Plasma berikutnya (C1) pada waktu tertentu (t1) setelah diberikan dapat
dihitung dengan persamaan berikut yang menggambarkan eliminasi orde pertama :

𝐶! = (𝐶" ) (𝑒 #$%! )
𝑆. 𝐹. 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑀𝑢𝑎𝑡𝑎𝑛
Jika C1 digantikan dengan 𝐶=
𝑉
dan C2 digantikan C1, maka ada
didapatkan persamaan :

&.(.)*+,+ -./%/0
𝐶" = (𝑒 #$%! )
1

Pada persamaan ini, (C1) menggambarkan konsentrasi yang tersisa pada (t1) jam
setelah pemberian dosis muatan
Infus Kontinu Sampai Keadaan Tunak
Pada kurva konsentrasi plasma vs waktu yang dihasilkan oleh pemberian secara infus
kontinu yang diberikan hingga tercapai keadaan tunak ditunjukkan pada gambar berikut :
PENGHENTIAN INFUS
SETELAH KEADAAN TUNAK TERCAPAI
Konsentrasi (C2) yang dihasilkan pada waktu tertentu (t2) setelah infus dihentikan dapat
dihitung dengan menggunakan variasi persamaan eliminasi order pertama

𝐶! = (𝐶" ) (𝑒 #$%! )

Jika C1 digantikan oleh Css rerata dan t1 digantikan t2, diperoleh persamaan :

𝑆. 𝐹. (𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 4𝜏) !"#


𝐶! = (𝐶++ 𝑟𝑒𝑟𝑎𝑡𝑎) (𝑒 #$%" ) 𝐶! = 𝑒 !
𝐶𝑙
PEMBERIAN AWAL DAN PENGHENTIAN INFUS
SEBELUM KEADAAN TUNAK TERCAPAI

Penentuan pemberian obat dengan model bolus atau model infus


bergantung pada hubungan relativitas antara durasi input obat dan
waktu paruh obat.
Sebagai contoh, jika obat diberikan secara cepat melalui iv bolus atau
jika obat diberikan secara per oral. Maka obat akan diabsorpsi secara
cepat dibandingkan dengan waktu paruhnya.
Pada situasi ini, konsentrasi (C1) yang terjadi pada waktu tertentu (t1)
setelah infus dimulai dan konsentrasi (C2) yang terjadi pada waktu
tertentu (t2) setelah infus dihentikan dapat diestimasi dengan
persamaan :
𝑆. 𝐹. 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 &𝜏
𝐶0 = 1 − 𝑒 123!
𝐶𝑙
Dan persamaan :

𝑆. 𝐹. 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 &𝜏
𝐶4 = 1 − 𝑒 123! 𝑒 123"
𝐶𝑙

Model input persamaan tersebut merupakan model infusi.


Apakah input atau absorpsi obat kedalam tubuh akan digambarkan sebagai model
bolus atau model infusi bergantung pada hubungan relativitas antara durasi input
obat dan waktu paruh obat.

Sebagai contoh, jika obat diberikan secara cepat sebagai bolus IV atau jika obat
yang diberikan secara oral di absorpsi relatif cepat dibandingkan waktu paruh
obat.
Akan tetapi, jika obat diabsorpsi dalam waktu yang relatif lama dibandingkan
waktu paruh obat, sejumlah besar obat akan dieliminasi selama periode input
atau absorpsi dan konsentrasi plasma yang dihasilkan dari model infuse.
SEBAGAI ATURAN UMUM :
- Jika waktu input obat (tin) kurang dari sepersepuluh waktu paruh, obat
dapat dimodelkan secara efektif sebagai dosis bolus;
- jika waktu input obat lebih besar dari setengah waktu paruh, lebih tepat
menggunakan model infuse.

Apabila durasi input obat berada diantara sepersepuluh dan setengah


waktu paruh, model dosis bolus dan modul infuse dapat dipilih secara
bebas.
Panduan dalam menentukan model pemberian dapat menggunakan konsep “1/6
dari waktu paruh obat” artinya

Waktu input obat (tin) = 1/6; atau (tin) < 1/6 waktu paruh à dosis bolus

Waktu input obat (tin) >1/6 à infus / infus singkat


Sebagai panduan klinis,
menggunakan seperenam waktu paruh obat sebagai titik putus (break point) random.

• obat-obat yang diabsorpsi selama periode yang sama dengan atau kurang dari
seperenam waktu paruh menggunakan model bolus,
• obat-obat yang diabsorpsi dalam periode lebih besar dari seperenam waktu paruh
menggunakan model infuse singkat.

Walaupun “aturan” seperenam waktu paruh ini merupakan asumsi umum, nilai ini dipilih karena
perbedaan pada konsentrasi plasma yang dihitung bila menggunakan model bolus atau model
infuse singkat < 10%.
• Jika tidak dapat ditentukan dengan pasti, maka dapat digunakan infus singkat / IV
bolus karena kurva yang dihasilkan lebih menunjukkan proses absorpsi dan
eliminasi obat. Konsentrasi plasma yang diperoleh pada akhir dari suatu infus
singkat dapat dihitung dengan:

𝑆. 𝐹. 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 &𝑡
𝐶3#$ = 56
1 − 𝑒 123#$
𝐶𝑙

• Persamaan di atas tidak menunjukkan durasi input obat, namun 1 − 𝑒 !"#!"


menunjukkan fraksi keadaan tunak yang akan dicapai selama infus. Ctin
menunjukkan konsentrasi / kadar puncak pada akhir infus
Grafik suatu infus singkat
Grafik Obat Dengan Infus Singkat / IV bolus
Grafik obat yang diberikan sebagai bolus
Atau sebagai infuse singkat

Model dosis bolus mengasumsikan bahwa input obat atau absorpsi telah terjadi seketika. Karena itu,
interval penurunan t1 (yakni tin + t2), mulai terjadi pada akhir periode infus (tin).
Jika tin ≤ 1/6 dari t1/2, konsentrasi hampir sama untuk metode infusi singkat dan model dosis bolus.
Jika tin jauh lebih besar dari 1/6 dari t1/2 , konsentrasi yang dihitung dengan menggunakan model
infus singkat dan dosis bolus yang berbeda.
Perlu dicatat bahwa dosis bolus diasumsikan diabsorpsi seketika pada awal infusi;
karena itu, konsentrasi puncak awal lebih tinggi daripada yang diprediksikan oleh
model infuse singkat.

Akan tetapi, konsentrasi plasma pada akhir model infuse singkat (tin) jam setelah
infusa dimulai dan semua kadar plasma berikutnya lebih rendah untuk model dosis
bolus dibandingkan untuk model infusi.
DOSIS MUATAN DILANJUTKAN INFUS

• Bila pasien diberikan dosis muatan dan dilanjutkan dengan infusi dapat dihitung
dengan persamaan berikut :
C₁ : konsentrasi plasma
t₁ : pada waktu tertentu

Perlu dicatat bahwa (S)(F)(Dosis/τ) pada suku suku kedua pesrsaam tersebut menunjukkan laju infusi . Dosi
muatan dieliminasi dengan farmakokinetik orde pertama .
PEMBERIAN INTERMITEN DENGAN INTERVAL
TETAP MENUJU KEADAAN TUNAK
• Jika obat diberikan secara intermiten dengan interval pendosisan tetap hingga
keadaan tunak tercapai, konsentrasi rerata keadaan tunak dapat dihitung
menggunakan persamaan :
𝑆 𝐹 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠/τ
𝐶88 𝑟𝑒𝑟𝑎𝑡𝑎 =
𝐶𝑙

Jika absorbsi diasumsikan lebih cepat dibanding t⅟₂ , konsentrasi maksimum dan
minimum pada keadaan tunak dapat ditentukan dengan persamaan berikut:

𝑆 𝐹 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑆 𝐹 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠
𝐶$$ 𝑚𝑎𝑘𝑠 = 𝑉 𝐶$$ 𝑚𝑖𝑛 = 𝑉 𝑒 !%'
1 − 𝑒 !%& 1 − 𝑒 !%&
Prediksi konsentrasi plasma pada waktu
tertentu (t₁) setelah puncak dapat diperoleh
menggunakan persamaan berikut

𝑆 𝐹 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠
𝐶++" = 𝑣 𝑒 #B%₁
1 − 𝑒 #B%₁

Grafik kurva kadar plasma-waktu yang dihasilkan dari


muatan dilanjutkan infus pemeliharaan
RANGKAIAN DOSIS INDIVIDUAL

• Apabila pasien diberi rangkaian dosis individual dan konsentrasi sebelum


keadaaan tunak harus dihitung, dengan menggunakan beberapa metode.

• Salah satu metode yang dapat digunakan adalah menjumlahkan kontribusi setiap
individu. Hal ini dilakukan dengan menurunkan konsentrasi puncak setiap dosis
hingga waktu pada konsentrasi plasma perlu diprediksi.
Hal 67-68 • Grafik kurva konsentrasi plasma versus waktu pada
keadaan tunak yang diperoleh jika obat diberikan
secara intermiten dengan interval pendosisan tetap.
• Setiap konsentrasi maksimum (Css maks) identik
dengan konsentrasi maksimum lainnya; setiap
konsentrasi minimum (Css min) juga identik dengan
konsentrasi minimum lainnya.
• Selain itu, setiap konsentrasi (Css,) pada waktu t,
dalam interval pendosisan identik dengan konsentrasi
yang sesuai pada waktu t, yang sama dalam interval
pendosisan yang lainnya.
• Metode perhitungan hitungan konsentrasi dari dosis ke dosis sangat berguna jika pola
akumulasi obat dan potensi efek obat pada setiap titik waktu menjadi perhatian utama.

• Akan tetapi, jika tujuan pengamatan adalah melihat besar kontribusi setiap dosis in dividual
atau jika harus dilakukan solusi berulang untuk memperbaiki parameter farmakokinetik,
dibutuhkan metode yang memungkinkan kita melihat besar kontribusi setiap dosis terhadap
solusi akhir.

• Jika setiap dosis dan interval antar-dosis sama, perhitungan yang lebih sederhana adalah
mengalikan Css maks atau konsentrasi puncak yang akan dicapai pada keadaan tunak
dengan fraksi keadaan tunak yang dicapai setelah N dosis.

𝑆 𝐹 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠
𝐶++ D/B+ = 𝑣
1 − 𝑒 #BE
Grafik penjumlahan dosis-dosis individual pada keadaan tidak tunak

• Garis penuh menunjukkan persamaan


penjumlahan atas dan konsentrasi plasma
pada saat setiap dosis diberikan dan
berakumulasi
• Garis putus-putus dan titik-titik menunjukkan
persamaan penjumlahan bawah dan
kontribusi setiap dosis individual terhadap
konsentrasi total atau Ct,, ty dan t,
menunjukkan waktu mulai dari setiap dosis
diberikan sampai waktu penentuan
konsentrasi plasma (C).
𝐹𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝐾𝑒𝑎𝑑𝑎𝑎𝑛 𝑇𝑢𝑛𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑐𝑎𝑝𝑎𝑖 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑁 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 = 1 − 𝑒 19(;)=

- Interval antara tiap dosis dan N menunjukkan jumlah dosis yang telah
diberikan.
- Setiap konsentrasi (C₂) setelah dosis ke-N dapat dihitung dengan mengalikan
konsentrasi puncak setelah N dosis dengan (e-);
- t, adalah jumlah jam setelah pemberian dosis terakhir.
N = bernilai 3
t2 = Jumlah jam setelah pemberian dosis ke-3

Persamaan ini berguna ketika sejumlah dosis


diberikan dengan t yang konsisten, tetapi keadaan
tunak belum tercapai

Menunjukkan C obat yg dihasilkan oleh rangkaian


dosis bolus yaang diberikan secara monsisten,
tetapi belum mencapai keadaan tunak

Dapat diperluas untuk menunjukkan rangkaian


dosis yang diabsorbsi dalam waktu cukup panjang
dari t1/2 obat (tin > ⅙ t⅟2)
BENTUK SEDIAAN LEPAS BERKELANJUTAN
• Bentuk sediaan lepas berkelanjutan (sustained release) umumnya dirancang
untuk menghasilkan konsentrasi yang tidak banyak berfluktuasi dalam interval
pendosisan. Karena itu, C yang dihasilkan sering kali dapat diestimasikan
menggunakan persamaan yang menggambarkan C rerata keadaan tunak :

𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠
𝑆 (𝐹)( )
𝐶++ 𝑟𝑒𝑟𝑎𝑡𝑎 = 𝜏
𝐶𝑙
• Penggunaan rumus Css rerata untuk produk sustained release berdasarkan
asumsi bahwa waktu yang dibutuhkan untuk absorbsi (tin) hampir sama dengan
interval pemberian (𝜏)
𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠
𝑆 𝐹
𝑡)*
(1 − 𝑒 !%#"# )
𝐶$$( = 𝐶𝑙 (𝑒 !%#! )
(1 − 𝑒 !%# )
Persamaan ini tidak universal dan tidak hanya bergantung pada absorbs produk obat, tetapi juga
bergantung pada interval pendosisan yang dipilih dan waktu paruh pada pasien tertentu

• (1 – e-kt) pada pembilang dan penyebut saling meniadakan. Selanjutnya


mengasumsikan t2 adalah 0,

𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠
𝑆 (𝐹)( )
𝐶88 𝑟𝑒𝑟𝑎𝑡𝑎 = 𝜏
𝐶𝑙
Jika waktu dalam interval pendosisan
tanpa input obat relatif pendek
dibandingkan dengan waktu paruh
obat, dinyatakan bahwa akan terjadi
fluktuasi kecil pada konsentrasi plasma
dalam interval pendosisan
ALGORITMA
MEMILIH PERSAMAAN YANG TEPAT
Pemilihan persamaan yang tepat untuk digunakan pada situasi klinis tertentu dapat
menjadi proses yang kompleks. Algoritma menampilkan pendekatan secara bertahap
untuk proses ini. Hal yang harus dipertimbangkan mula-mula adalah :

• Apakah keadaan tunak tercapai ?

• Kemudian pilih model yang tepat untuk memprediksi atau menghitung konsentrasi
obat
METODE TDM,
INTERPRETASI DAN
APLIKASINYA
Tim Dosen Pengampu Praktikum Therapeutic Drug Monitoring
INDIVIDUALISASI DOSIS

Empirik dan Namun, jika pasien


meNgalami gangguan fungsi
pustaka vital seperti kardiovaskular,
pernafasan, gangguan hati
dan/atau ginjal,
Biasanya untuk obat-obat menggunakan obat
yang dikenal aman dan berbahaya, kondisi kritis,
pasien tidak mengalami atau peka terhadap adverse
gangguan fungsi vital effect obat

Penetapan regimen dosis


dengan cara ini bisa
menghasilkan efek terapi PERLU DISESUAIKAN DOSISNYA
yang diharapkan UNTUK MENDAPATKAN REGIMEN
DOSIS YANG AMAN
3

Dosis empiris/Pustaka terkadang


tidak diketahui apakah dosis tersebut
merupakan rata-rata atau median Efek terapi
dari suatu populasi. Dimana hasilnya tercapai/tidak?????
bisa saja sangat tidak akurat dalam
menghasilkan efek terapi

Obat indeks terapi lebar => biasanya


Pada awal pemberian obat, menggunakan parameter nilai rata-rata
biasanya diberikan dosis empirik relatif kadar obat di dalam darah
dan perlu penyesuaian lebih lanjut
jika efek yang diharapkan tidak Obat indeks terapi sempit => tidak bisa
tercapai hanya dengan nilai rata-rata relatf, karena
berisiko subterapeutik/toksik

Kadar obat di dalam darah merupakan surrogate yang lebih tepat


menggambarkan efek dibandingkan dengan dosis, maka kisar terapeutik
merupakan kunci utama dan dapat dijadikan acuan dalam terapi
Penetapan Kisar
Terapeutik
Pertimbangan dan Filosofi Penetapan
Kisar Terapeutik
Dosis Terapi dan Kisar
terapeutik Contoh lain:
Umumnya untuk ras kaukasia. Sebagaimana Efek propranolol terhadap
yang diketahui bahwa penetapan dosis dan penurunan tekanan darah dan
kisar terapeutik sangat bervariasi antar denyut jantung pada subyek Cina 2
ras/etnik kali lebih sensitif dibandingkan
Kaukasia
Contoh:
INR subyek Asia lebih rendah disbanding Kaukasia (2-3), Cina
(1,8-2,4) atau Jepang (1,6-2,6) sehingga dosis Warfarin untuk Dari informasi di atas, maka kita perlu
populasi Cina dan Melayu = 58-59 µg/kg/hari, sedangkan
India 89 µg/kg/hari. mengetahui nilai ambang efek dan
Sedangkan sub Populasi Indonesia dewasa dengan BB ambang toksik yang tertera di
normal dosis warfarin rata-rata 52,9 µg/kg/hari (untuk Pustaka apakah sesuai untuk subyek
mencapai INR 3,1) dan hanya 37% dari sub populasi
Indonesia yang mencapai INR 3,1 dengan dosis 48,2
Indonesia untuk tiap obat dan indikasi
µg/kg/hari, sedangka 63% nya tidak mencapai INR dengan
dosis 43 ug/kg/hari/
Penentuan Nilai Efek Minimum (MEC)

Nilai MEC yang tercantum di Pustaka merupakan nilai rata-rata sub


populasi atau median. Nilai tersebut ditetapkan saat efek terapi sudah
tercapai pada sejumlah subyek dengan menggunakan obat yang sama
dengan indikasi yang sama. Contoh antihipertensi dilihat dari efek
penurunan tekanan darah, diuretic dilihat dari efeknya dalam
mengurangi udem dan lainnya.

Jika efek klinik sulit diamat, maka penandanya dilihat dari surrogate
yang paling mendekati efek klinik, ex: penggunaan obat asma dilihat dari
penurunan kadar histamin, kadar bilirubin dan SGPT pada gangguan hati,
penurunan angkat leukosit pada penggunaan obat antibiotic atau CD4
pada infeksi virus (HIV AIDS).
Penetapan Nilai Toksik Minimum (MTC)
1. Ditentukan dengan melihat kadar obat di dalam darah ketika mulai
terjadi efek ketoksikan. Sama halnya dengan MEC, nilai MTC pada
Pustaka merupakan rata-rata atau median dari sub populasi.

2. Gejala ketoksikan sulit dibedakan, apakah berasal dari obat atau


kondisi patologi subyek.

3. Untuk obat-obat yng tidak berkorelasi antar kadar obat dengan efek
klinik, maka efek klinik dapat dijadikan ukuran langsung dari dosis.
EX: Warfarin, penentuan dosis pada warfarin ditentukan langsung
berdasarkan efek klinik yang terjadI yang dilihat dari INR. Namun,
perlu diwaspadai bahwa nilai kisar terapeutik warfarin sangat sempit
(1-4 mg/L)
Penetapan
Parameter
Farmakokinetik
Filosofi
Data farmakokinetik populasi Indonesia sangatlah
penting untuk ditentukan. Penggunaan nilai klirens,
volume distribusi, dan waktu paro eliminasi suatu obat
dari populasi untuk penetapan atau penyesuaian dosis
individual lebih cepat mencapai suatu efek terapi
dibandingkan metode empirik semisal berdasarkan
berat badan/BSA/ start slow, go slow.

Start slow => memulai terapi dengan dosis rendah,


dimana yang sering terjadi ialah besar dosis awal yang
digunakan terlalu rendah, sedangkan Go slow =>
menaikkan dosis perlahan, memerlukan waktu agar
peningkatan dosis sesuai dengan hasil terapi yang
diharapkan.
Langkah Individualisasi Regimen Dosis
(Mehvar, 2006)

Merancang Menetapkan Penyesuaian


regimen dosis nilai Nilai
awal farmakokinetik Farmakokinetik

Jika pasien baru menggunakan obat Jika nilai farmakokinetik pasien


Dengan cara mengambil sampel darah pada
pertama kali, atau jika nilai berbeda dengan nilai populasi,
waktu yang tepat setelah pemberian dosis
farmakokinetik belum diketahui maka regimen dosis perlu disesuaikan
awal.
dapat dilakukan: dan TDM
Langkah ini diperlukan jika mengalami
• Menggunakan regimen dosis yang
ketoksikan (karena kelebihan dosis, ADR tipe A,
dianjurkan Pustaka. Biasanya dosis ini
atau subterapeutik.
berdasarkan BB atau BSA
Jika kondisi pasien membaik, maka dua sampel
• Menggunakan nilai farmakokinetik sub
darah bermanfaat untuk diambil untuk
populasi yang sesuai
menentukan kisar terapeutik yang khas pada
pasien => Kisar terapeutik populasi Indonesia
EXAMPLE
Data berikut merupakan klirens
dan Vd dari 16 pasien pria dan
Wanita dengan fungsi ginjal
beragam. Dari data tersebut,
akan ditentukan nilai rata-rata Cl
dan Vd. Lalu membuat
persamaan yang mengaitkan
nilai farmakokinetik dan ClCr.

Dari data di atas, dihitung rata-


rata dan SD klirens dan Vd dari
seluruh pasien
Hasil perhitungan rata-rata dan SD dan ketika sudah dibagi menjadi 2 kelompok:

Kelompok Klirens (mL/menit/kg) Vd (ml/kg)

Pria 0,263±0,0022* 94,3±28,8

Wanita 0,566±0,082 104±19

Seluruh subyek 0,414±0,167 99,3±24,1

NOTE: *berbeda signifikan dengan


klirens pada wanita
KAITAN VOLUME DISTRIBUSI DAN CLCR

Dari hasil analisis regresi antara Vd dan ClCr didapatkan hasil


nilai signifikansi (p<0,05) dengan intersep 58,2 mL/kg dan slope
66,6 dan r2 = 0,88 yang artinya 88% perubahan nilai Vd
disebabkan oleh perubahan ClCr, sehingga dapat dituliskan
persamaan:

Vd = 66,6 x ClCr + 58,2


(Vd dalam mL/kg;CCr dalam mL/menit/kg
Con’t
Selanjutnya hitung Cl dan Vd pada pasien A dan B.

Pasien BB (kg) Jenis Kelamin ClCr


(mL/menit/kg)
A 64 Pria 1,2
B 72 Wanita 0,285

Pasien A : klirens obat pada pria tidak tergantung pada


ClCr dan ditemukan sebesar 0,263 ml/menit/kg. Jadi untuk Dosis Muatan:
pasien A klirens obat menjadi (0,263 x 64 kg = 16,8 𝑉𝑑 𝑥 𝐶𝑝
𝐷𝑙 =
mL/menit). Nilai ini dapat digunakan untuk memperkirakan 𝑆. 𝐹
Note: Cp:kadar obat yang akan dicapai, F:
dosis maintenance awal pada pasien. Karena Vd tidak bioavailability
tergantung jenis kelamin berdasarkan hasil pada paparan
sebelumnya, maka Vd pada pasien ini dapat ditentukan Dosis Maintenance:
dengan cara: 𝐶𝑙 𝑥 τ 𝑥 𝐶𝑠𝑠
Vd = (66,6 x 1,2) + 58,2 = 138 mL/kg atau 8,83 L. 𝐷𝑚 =
𝑆. 𝐹
Vd ini dapat digunakan untuk menentukan loading Note: τ: interval pemberian obat, Css=kadar
dose/dosis muatan target dalam darah
Con’t

Bagaimana jika pasien B


dengan jenis kelamin
Wanita?
Con’t

THERAPEUTIC DRUG
Dari paparan di atas terlihat bahwa
MONITORING
diperlukannya pendataan nilai
farmakokinetik populasi Indonesia
Salah satu metode
untuk dapat menentukan regimen dosis penetapan regimen
yang tepat. dosis
TDM
HUBUNGAN ANTARA DOSIS VS EFEK KLINIK
Pada farmakokinetik khususnya untuk dapat melakukan TDM, nilai ketersediaan hayati dan profil eliminasi
sangat penting, demikian pula dengan kadar obat vs efek klinik. Terkadang hubungan antara dosis vs efek
klinik sulit diprediksi sehingga menyulitkan klinisi dan farmasi dalam menetapkan dosis yang tepat.

Farmakokinetik/ Disposisi obat


disposis non berubah
Auto-inhibitor
Dapat menghambat
linear Disposisi obat setelah 2 enzimnya sendiri, ex:
Untuk obat-obat seperti dose minggu dapat berubah, ex: eritromisin, klaritromisin,
dependent atau time dependent, obat auto-inducer (mampu fluoksetin, dan paroksetin.
ex: asam valproate, diazepan, menginduksi enzimnya
fenitoin, teofilin. sendiri, ex: fenitoin,
fenobarbital, karbamazepin,
rifampizin, prednisone, morfin Protein bound
Protein sehingga obat-obat ini perlu
>90%
bound<80% dinaikkan dosisnya secara
Efek klinik berkorelasi dengan kadarobat
berkala untuk mendapatkan
Terdapat korelasi yang baik antara kadar bebas dan banyak faktor yang dapat
efek klinik seperti semua mengubah kadar obat bebas seperti adanya
obat di dalam darah dan efek klinik. Dalam
hal ini, kadar obat total (bound+unbound) peningkatan kadar obat bebas pada
dapat digunakan untuk pemantauan kadar gangguan hati/ginjal, bayi dan lanjut usia
dan efek klinik
Waktu
Pengambilan
Sampel
PRINSIP
Cara 1.
Dilakukan dengan mengambil sampel
secara serial segera setelah
Cara 2.
pemberian obat sampai semua obat
Jika data populasi belum tersedia,
hamper tereliminasi (4-5xt1/2) sejak
atau tidak sesuai dengan keadaan
obat diberikan single dose.
pasien, 2 sampel darah dapat diambil
Cara ini tepat untuk pengembangan pada saat yang TEPAT setelah
obat baru, atau data farmakokinetik dosis awal diberikan kepada pasien.
populasi belum ada.
Pengambilan harus tepat karena
Data ini diperlukan untuk penentuan berkaitan dengan validitas data
dosis awal ketika memulai farmakokinetik obat tersebut.
pengobatan atau penyesuaian dosis
selama terapi berlangsung
Agar bisa menentukan dengan tepat, perlu pengetahuan
Cara 2. mengenai jalur pemberian vs kadar obat di dalam darah.
Jika data populasi belum Umumnya model yang digunakan model kompartemen 1-
tersedia, atau tidak sesuai terbuka baik intravaskular maupun ekstravaskular karena
dengan keadaan pasien, 2 fluktuasi kadar obat di dalam darah kecil namun dengan syarat
sampel darah dapat diambil pemberian dilakukan setiap t1/2 eliminasi.
pada saat yang TEPAT
setelah dosis awal Waktu paro eliminasi
diberikan kepada pasien. τ > t1/2 eliminasi, ex: aminoglikosida 1x sehari, dengan t1/2
eliminasi 2 jam, maka variasi Cssmaks dan Cssmin masih dianggap
Pengambilan harus tepat linear karena nilai t1/2 eliminasi obat kecil.
karena berkaitan dengan
validitas data Namun jika, t1/2 eliminasi sangat panjang (> 12 jam), fluktuasi
farmakokinetik obat sudah tidak linear sehingga pengambilan sampel dilakukan 1
tersebut. kali pada Cssmin, dilakukan segera setelah pemberian obat
berikutnya, ex: digoksin dan siklosporin
INTRAVENA CEPAT,
DOSIS TUNGGAL
TDM PADA INTRAVENA CEPAT
Antbiotik dalam bentuk 100% aktif diberikan secara iv cepat/bolus (Div = 150 mg)
kepada subyek, BB 50 kg. Dari Pustaka diketahui Vd = 6 L/kg, dan t1/2el 8 jam

1. Perkirakan C0.
Vd = 300 L
S=1
Persamaan: S x F x Div = C0 x Vd
𝑫
Persamaan Perkiraan Kadar Obat di Dalam darah : 𝐂𝐭 = 𝑽𝒅𝒊𝒗 𝒙 𝒆−𝒌 𝒙 𝒕
NOTE: nilai C0 disini hanya perkiraan karena menggunaan nilai Vd populasi asing. Sehingga harus
dihitung lagi Vd untuk pasien ini dengan mengambil sampel darah segera setelah penyuntikkan

2. Didapatkan sampel darah pada t0 adalah C0= 0,35 mg/L.


Hitung harga Vd:
𝑆.𝐹.𝐷𝑖𝑣
Persamaan: Vd = 𝐶0
Hasil???
Note: Vd hitung >>> Vd populasi

3. Hitung nilai k untuk subjek karena k yang diketahui adalah nilai populasi. Dapat dilakukan 2 cara =>> next…
4. Ambil sampel darah pada t0 lalu 1 sampel lagi pada sembarang
waktu misal t=8 jam setelah penyuntikan ditemukan C8= 0,2 mg/L.
Hitung nilai k:
𝑪𝒐
𝑳𝒏
𝑪𝟖
Persamaan : 𝐤 = hasil???
𝒕𝒐−𝒕𝟖

Bandingkan dengan nilai k populasi

5. Hitung nilai klirens pada subjek


Persamaan: Cl = k x Vd
Hasilnya??
Jika antibiotic tersebut akan diberikan setiap 12 jam, dan KHM adalah 0,175 mg/ml dan post-
antibiotic effect selama 2 jam, bagaimana efektivitas antibiotic tersebut?
Maka harus dicari berapa waktu yang diperlukan obat untuk turun dari 0,35 mg/L menjadi
0,175 mg/L.
𝐶𝑜
𝐿𝑛
Persamaan : k = 𝐶8
𝑡𝑜−𝑡8

Hasilnya = 9,9 jam ~ 10 jam. Kemudian hitung kadar setelah 10 jam. Karena antibiotik
memilik post-antibiotic effect maka interval pemberian menjadi 12 jam, dan hitung kembali
kadar setelah 12 jam untuk memastikan bahwa kadar obat sudah di bawah KHM

Persamaan : Ct = 0,35 x 𝑒 −𝑘𝑡 = Ct = 0,35 x 𝑒 −0,07𝑥12 = 0,15 mg/L

Kadar pada C12 sudah di bawah KHM.

Karena kadar obat pada C12 adalah 0,15 mg/L dan Vd 428, 57 L maka jumlah obat yang
tersisa dalam tubuh pada saat itu dapat diperkirakan:
Persamaan : Db12 = Vd x C12 = 64,3 mg atau 43% dari dosis. Sehingga, 12 jam pemberian
obat, yang tereliminasi sudah 57% dari dosis.
INTRAVENA LAMBAT,
DOSIS TUNGGAL
FILOSOFI
Seperti yang telah dikemukakan, pemberian intravena bolus tidak lazim digunakan dalam pengobatan, sebab dapat menimbulkan
peningkatan kadar obat di dalam darah seketika, sehingga berisiko menimbulkan toksisitas. Oleh sebab itu, obat dapat diberikan dengan
intravena lambat, 30-60 menit setiap penyuntikkan. Dari hal ini timbul pertanyaan, apakah dengan intravena lambat dapat berpengaruh
terhadap Vd dan t1/2 eliminasi terhadap kadar obat di dalam darah ?

Pertanyaan teersebut dapat dijelaskan dengan penjelasan di bawah ini:


Example : Suatu obat diberikan dengan Div 1000 mg, BB 50 kg dengan Vd dan t1/2 eliminasi obat tidak sama. Hasil pengukuran kadar obat di
dalam darah pada Vd dan t1/2 eliminasi yang berbeda.

Tabel A. Perbandingan intravena cepat dan lambat terhadap kadar obat di dalam darah. Untuk obat dengan t1/2 eliminasi pendek (2 jam)

Kadar obat dalam darah (mg/l) segera setelah penyuntikkan


Volume Distribusi (L/kg)
Intravena IV lambat (30 IV lambat (60
cepat menit) menit)

2 40 33,64 28,29

10 2 1,68 1,41

Tabel B. Perbandingan intravena cepat dan lambat terhadap kadar obat di dalam darah. Untuk obat dengan t1/2 eliminasi panjang (10 jam)

Kadar obat dalam darah (mg/l) segera setelah penyuntikkan


Volume Distribusi (L/kg)
Intravena IV lambat (30 IV lambat (60
cepat menit) menit)

2 40 38,30 36,68

10 2 1,92 1,83
Con’t
1. Dari hasil terlihat bahwa pemberian intravena bolus menyebabkan tingginya
kadar obat khususnya untuk obat dengan Vd yang kecil. Pemberian intravena
lambat dapat mengurangi kadar obat di dalam darah dan semakin lama
pemberiannya, semakin rendah kadar obat yang dicapai setelah injeksi sebab
obat langsung terdistribusi ke seluruh tubuh.
2. Obat dengan intravena lambat, waktu paro eliminasi ternyata tidak
berpengaruh terhadap kadar obat, khususnya untuk obat dengan waktu paro
elimiinasi Panjang jika dibandingkan dengan waktu paro eliminasi pendek.
3. Sehingga yang berpengaruh besar terhadap kadar obat di dalam darah adalah
nilai Vd, yaitu semakin besar bilai Vd maka semakin kecil kadar obat di dalam
darah baik pada pemberian intravena cepat maupun lambat.
4. Oleh sebab itu, untuk obat-obat dengan index terapeutik sempit nilai Vd
(khususnya Vd kecil) dan waktu paro eliminasi (> 8 jam) perlu
dipertimbangkan cara pemberian obat apakah intravena lambat atau infus
intravena.
Con’t
1. Pemberian obat dengan intravena lambat (infus intravena) dimaksudkan untuk
mengurangi lonjakan kadar obat di dalam darah, sehingga lama injeksi intravena perlu di
atur dan tergantung dari nilai waktu paro eliminasi.
2. Pemberian parenteral ini dimaksudkan untuk mempercepat onset efek obat utamanya
jika dibandingkan oral sebab tidak melewati absorpsi dan first pass metabolism.

Dalam pemberian dengan intravena lambat


Persaman Prediksi Kadar Puncak
𝑆 𝑥 𝐹 𝑥 𝐷𝑖𝑣 (short infusion) perlu memperhatikan dosis
𝐶𝑚𝑎𝑘𝑠 = (1 − 𝑒 −𝑘 𝑥 𝑇𝑖𝑛𝑓 ) dan kadar puncak agar tidak melampaui
𝑇𝑖𝑛𝑓 𝑥 𝐶𝑙
kadar toksik minimum (MTC) sehingga perlu
mengatur lama pemberian obat.
Aturan Umum Short Infusion (Intravena
Lambat)
• Jika lama pemberian injeksi intravena ≤ 10% dari t1/2 eliminasi obat, maka
Cmaks cukup diperkirakan dengan model bolus.

𝑫𝒊𝒗
Persamaan: 𝐂𝐭 = 𝒙 𝒆−𝒌 𝒙 𝒕 (1)
𝑽𝒅

• Jika lama injeksi > 50% dari t1/2 eliminasi, gunakan persamaan model infus.

𝑆 𝑥 𝐹 𝑥 𝐷𝑖𝑣
Persamaan: 𝐶𝑚𝑎𝑘𝑠 = (1 − 𝑒 −𝑘 𝑥 𝑇𝑖𝑛𝑓 ) (2)
𝑇𝑖𝑛𝑓 𝑥 𝐶𝑙

• Jika lama injeksi ≤ 20% t1/2 eliminasi, gunakan persamaan model infus (sama
dengan persamaan 2).
TDM PADA INTRAVENA LAMBAT
Sediaan injeksi parasetamol 1 g/100 mL diberikan selama 15 menit kepada subyek dewasa 50 kg yang menderita
demam. Dari Pustaka diketahui, t1/2el dan Vd berturut-turut 2 jam dan 1,1 L/kg. Berapa perkiraan kadar puncak
parasetamol?

Jawab:
(1) Hitung nilai k dan CL

Persamaan : t1/2el = 0,693/k ‘ k = 0,3465/jam


0,693 𝑥 𝑉𝑑
Persamaan : t1/2el = ; Cl = 19,06 L/jam
𝐶𝑙
𝑆.𝐹.𝐷𝑖𝑣
Cmaks = 𝑇 (1 − 𝑒 −𝑘 𝑥 𝑇𝑖𝑛𝑓 ) ; =17,42 mg/L
𝑖𝑛𝑓 𝑥 𝐶𝑙

(2) Bagaimana jika parasetamol diberikan selama 1 jam? Maka hitung perkiraan Cmaks pada Tinf 60 menit. Hasilnya
adalah 15,37 mg/L. Dari data ini terlihat Cmaks pada Tinf 15 menit dan 60 menit tidak berbeda jauh dan secara klinik masih
bisa digunakan karena kisar terapeutik antipiretik 10-20 mg/L. Sehingga parasetamol dapat diberikan dengan Tinf 15 atau
60 menit.

(3) Pada pasien dilakukan TDM. Pengambilan sampel dilakukan untuk memastikan kadar parasetamol pada subyek.
Diambil 2 sampel, pada saat injeksi selesai (Cmaks) dan pada sembarang (t) (sebaiknya t < t1/2el), yaitu antara Cmaks dan
2 jam sejak selesai injeksi.
t=0,25 jam saat injeksi selesai dengan C00,25 = 25 mg/L dan t=2 jam sesudah injeksi dengan C2 = 15 mg/L
Hitung nilai k dan CL.
(4) Hitung nilai k dan CL
𝐶0.25
𝐿𝑛
𝐶2
Persamaan : k = = 0,2919/jam
𝑡0 25−𝑡2
,

𝑆 𝑥 𝐹 𝑥 𝐷𝑖𝑣
Persamaan : Cl = (1 − 𝑒 −𝑘.𝑇𝑖𝑛𝑓 ) ; Cl = 11,26 L/jam
𝑇𝑖𝑛𝑓 𝑥 𝐶𝑚𝑎𝑘𝑠

Setelah diketahui nilai parameter subyek, maka dapat dihitung dosis dan interval.
Semisal diinginkan Cmaks 20 mg/L dengan lama suntikan 15 menit maka dosis
dan intervalnya ?

𝐶𝑚𝑎𝑘𝑠 𝑥 𝑇𝑖𝑛𝑓 𝑥 𝐶𝑙
Persamaan : Div = = ; 800 mg ; 0,8 mg/100 mL
𝑆.𝐹.((1−𝑒 −𝑘 𝑥 𝑇𝑖𝑛𝑓 )
TDM Pada Anastesi
• Anastesi biasanya menggunakan Teknik inhalasi (Halotan) dan infus intravena (Total Intravenous
Anasthesia (TIVA)) yang diberikan dengan kecepatan konstan.

• Obat-obat anestesi yang lazim digunakan dengan infus, ex: propofol, ketamin, fentanyl atau
kombinasi anestesi.

• Pemberian anestesi biasanya diberikan loading dose terlebih dahulu kemudian dilanjutkan
dengan infus intravena.

• Pola dosis maintenance dapat dilakukan dengan satu besaran dosis untuk menjaga kadar
anestesi konstan di dalam darah (opioid) atau dapat diturunkan secara periodik untuk mencapai
efek anestesi yang optimal, ex: ketamin dan propofol.

• Semisal, Remifentanil dengan dosis maintenance 0,25 µg/kg/menit menghasilkan kadar 6-9
ng/ml yang emmadai untuk laringoskopi dan laparoskopi. Namun, kurang besar jika untuk bedah
jantung dan diperlukan 0,5 µg/kg/menit untuk mencapai target 10-12 ng/ml.
CONCLUSION
Pada negara-negara maju, konsep one
dose for all sudah lama ditinggalkan,
khususnya untuk obat berbahaya. Para
ahli kesehatan mulai
mempertimbangkan regimen dosis per
orang mengingat variabilitas hayati yang
begitu besar. Penetapan regimen dosis
individual dapat diawali dengan
menggunakan dosis terapi populasi.
Namun, jika ternyata hasil terapi tidak
seperti yang diharapkan, dapat dilakukan
pengaturan dosis agar sesuai dengan
individu.
Salah satu metode yang banyak digunakan
dalam pengaturan dosis individual adalah TDM.
TDM dilakukan dengan mengambil dua sampel
darah dan mengukur kadarnya ketika terapi
berlangsung dan penetapan parameter
farmakokinetik (Vd, Cl dan t1/2 eliminasi) maka
dapat ditentukan regimen dosis pada setiap
individu.

Pengalaman di negara-negara maju, TDM


menghasilkan capaian terapi sekaligus
mengurangi adverse effect.
THANK YOU
PEMBERIAN ORAL BERULANG
Apt. Ema Nillafita P.K., MFarm
Multiple Dosing with Respect to Oral Route
• Pada saat pemberian oral dengan regimen dosis yang berulang, konsentrasi
plasma akan meningkat, mencapai maksismal dan perlahan menurun. Dosis
kedua akan diberikan sebelum seluruh obat dosis pertama yang terabsorpsi di
eliminasi.

• Akibatnya, konsentrasi plasma setelah pemberian dosis kedua akan lebih tinggi
dibandingkan dosis pertama. Peningkatan konsentrasi akibat pemberian dosis
selanjutnya akan terjadi hingga tercapai kondisi steady state (konsentrasi tunak,
dimana laju obat yang masuk ke dalam tubuh = laju yang dikeluarkan)
• Aturan dosis ganda bertujuan agar kadar obat dalam plasma dapat dipertahankan
dalam rentang kadar terapeutik (konsentrasi obat dalam plasma tetap di atas
MEC tetapi di bawah konsentrasi toksik minimal atau KTM/MTC) untuk
memperpanjang efek terapi yang optimal.

• Secara ideal, aturan dosis untuk tiap obat ditetapkan untuk memberikan kadar
plasma yang benar tanpa adanya fluktuasi dan akumulasi obat yang berlebihan.
Τ > t1/2el maka tidak
Obat diberikan dengan
akan ada yang
dosis dan interval tetap
terakumulasi namun
diberikan berulang dengan
masih terdapat
τ<t1/2el maka kadar obat
sejumlah kecil obat
akan terus meningkat dan
yang terikat jaringan
akhirnya akan tercapai
keadaan tunak. Peningkatan kadar obat
ini dapat disebabkan
karena pemberian
sebelumnya masih
berada di dalam darah
𝛕 < t1/2el sehingga terjadi
Akumulasi obat dalam tubuh. akumulasi gradual. 𝛕 > t1/2el
Dengan kata lain, konsentrasi dalam Tidak terjadi akumulasi
plasma setelah dosis kedua akan
lebih tinggi dibanding konsentrasi
plasma setelah dosis pertama
AKUMULASI OBAT
• Untuk menghitung aturan dosis ganda pada seorang pasien, pertama parameter
farmakokinetika yang diperoleh dari kurva plasma –waktu.
• Untuk menghitung pengaturan dosis ganda, perlu menetapkan apakah dosis obat
berikutnya berpengaruh terhadap dosis obat sebelumnya.

PRINSIP SUPERPOSISI
Menganggap bahwa dosis obat sebelumnya tidak mempengaruhi farmakokinetik
kadar dosis obat berikutnya
Oleh karena itu, dosis kedua, ketiga dan dosis ke-n akan terjadi overlay.
PRINSIP DOSIS GANDA
• Jika suatu obat diberikan dengan dosis dan jarak pemberian dosis yang tetap
seperti pada aturan dosis ganda, jumlah obat dalam tubuh akan naik dan
kemudian plateu pada suatu rerata kadar plasma yang lebih tinggi daripada
puncak Cp yang diperoleh dari dosis awal.

• Bila dosisi yang sama diberikan berulang pada frekuensi yang konstan à keadaan
tunak.

• Pada keadaan tunak, kadar obat dalam plasma berfluktuasi antara


% %
𝐶!"#$ dan 𝐶!&'
%
Catatan Penting Tentang 𝑪𝒎𝒂𝒌𝒔
• Penting dalam menentukan keamanan obat
• Harus berada di bawah konsentrasi toksik minimum
• Suatu petunjuk yang baik dari akumulasi obat

JIKA PADA KONDISI TUNAK


%
𝐶!"#$ = (Cn=1)maks setelah pemberian pertama à Tidak ada akumulasi
%
𝐶!"#$ > (Cn=1)maks setelah pemberian pertama à ada akumulasi
Akumulasi dipengaruhi oleh :
1. Waktu paruh eliminasi INDEKS AKUMULASI = R
2. Jarak waktu pemberian dosis

𝐷* 1
&
𝐶"#$% 𝑉𝑑 (1 − 𝑒 ($+ )
𝑅= 𝑅=
𝐶 '() "#$% 𝐷*
𝑉𝑑

1
𝑅=
(1 − 𝑒 ($+ )
PENGATURAN DOSIS ORAL GANDA

• Dengan menganggap suatu model kompartemen satu, dan dosis serta jarak dosis
konstan, konsentrasi dalam plasma pada setiap waktu selama pemberian dosis
ganda dapat ditentukan dengan rumus berikut :
Untuk Cmaks dapat dihitung dengan persamaan :

Pada kondisi tunak, konsentrasi obat dapat ditentukan dengan memisalkan n sama
dengan tak hingga. Oleh karena itu, 𝑒−𝑛𝑘𝜏 akan menjadi kurang lebih sama dengan 0 :
% ) menggunakan rumus yang sama dengan
• Untuk rerata kadar tunak plasma (𝐶"(
obat yang digunakan secara intravena

#
𝐹𝐷$ #
𝐹𝐷$
𝐶!" = 𝐶!" =
𝑉% 𝑘𝜏 𝐶𝑙 & 𝜏

Kadar tunak rata – rata berbanding terbalik dengan volume distribusi, tetapan eliminasi,
klirens dan interval pemberian obat. Jika harga Cl dan 𝛕 membesar sedangkan dosis tetap,
maka kadar tunak rata – rata akan berkurang dan sebaliknya. Seperti diketahui nilai Cl dapat
bervariasi antar subjek dan dipengaruhi kondisi patologis seperti kondisi sirosis hepatic
dan/atau gagal ginjal kronik serta interaksi obat
& &
• Untuk nilai 𝐶"#$% dan 𝐶",'

&
𝑆. 𝐹𝐷* 1 %
($-!"#$
𝐶"#$% = ($+
𝑒
𝑉𝑑 1 − 𝑒

& 𝑆 𝐹 𝐷* 1 ($-
𝐶",' = 𝑒
𝑉𝑑 1 − 𝑒 ($+
• Waktu tercapainya konsentrasi maksimum dalam plasma puncak setelah
pemberian dosis oral tunggal adalah :

2,3 𝑘#
𝑡"#$% = 𝑙𝑜𝑔
(𝑘# − 𝑘) 𝑘

&
1 𝑘# (1 − 𝑒 ($+ )
𝑡"#$% = 𝐿𝑛
(𝑘# − 𝑘) 𝑘(1 − 𝑒 ($"+ )
SOAL UNTUK DIKERJAKAN
Seorang pasien pria dewasa (46 tahun, 81 kg) diberikan obat secara oral 500 mg
Amoksisilin, setiap 8 jam selama 2 minggu. Dari kepustakaan, amoksisilin 75%
dapat berada dalam sistemik dan mempunyai volum distribusi 1,5 L/kg. waktu
paruh eliminasi 10 jam. Tetapan laju absorpsi 0.9/jam.
Berdasarkan informasi tsb, hitung :
a. Cmaks setelah dosis pertama tunggal
b. Cmin setelah dosis pertama
c. Konsentrasi dalam plasma pada 4 jam setelah dosis ketujuh
d. Konsentrasi tunak minimum dalam plasma
e. Konsentrasi tunak rata – rata dalam plasma.
DOSIS MUATAN
• Oleh karena dosis ekstravaskular memerlukan waktu untuk absorpsi
ke dalam plasma, maka efek terapetik tertunda sampai dicapai
konsentrasi plasma yang mencukupi.
• Untuk menurunkan waktu mulai kerja obat, maka diberikan suatu
dosis muatan (dosis awal).
• Tujuan utama dari dosis muatan adalah untuk mencapai konsentrasi
plasma yang diinginkan segera.
• Untuk obat yang diabsorpsi cepat dalam kaitannya dengan eliminasi
(ka>>k) dan yang didistribusi cepat, maka dosis muatan (DL) adalah :
𝐷) 1
=
𝐷* (1 − 𝑒 +#! , )(1 − 𝑒 +#, )

• Untuk obat yang diabsorpsi sangat cepat, bila hasil 𝑘! 𝜏 besar atau dalam
hal infus, 𝑒 "#$$ menjadi mendekati nol
'% (
=
'& ()* '()

• Jika interval pemberian obat sama dengan waktu paruh eliminasi, maka
DOSIS MUATAN = 2X DOSIS MAINTANANCE
• Jika mempertimbangkan bentuk garamnya, suatu pendekatan cepat untuk dosis
muatan, DL adalah :
$ &'
%"#
𝐷$ =
()

NOTE: persamaan ini digunakan dengan syarat:


1. Untuk obat yang absorpsi cepat dan distribusi cepat seperti pada model 1-
kompartemen
2. Obat yang akan diberikan belum ada dalam tubuh, jika ada kadarnya tidak signifikan
secara klinik
Jika obat yang diberikan, kadarnya ada di dalam tubuh dan signifikan secara klinik
maka digunakan persamaan Loading Dose Inkremental

$ +% ) &'
(%"#
𝐷$&'# = *
()
DOSIS MAINTENANCE

, '( )
'*+
𝐷& =
*+

Dosis berbanding lurus dengan kadar tunak rata – rata setelah dikoreksi terhadap
klirens dan interval pemberian obat.
Semakin besar dosis maka semakin besar pula kada tunak rata – rata, jika klirens
dan interval pemberian obat tetap
PERSAMAAN INTERVAL PEMBERIAN OBAT
Terlihat pada persamaan bahwa interval pemberian obat ditentukan oleh harga
tetapan kecepatan eliminasi dan tmaks.
Pada pemberian IV bolus/cepat, nilai tmaks = 0 dan pada IV lambat (short infusion)
tmaks = lama injeksi atau infus.
&
𝐶"#$%
𝐿𝑛 ( & )
𝐶",' &
𝜏= + 𝑡"#$%
𝑘
Persamaan Volume Distribusi
% %
• Fluktuasi terjadi antara 𝐶!"#$ dan 𝐶!&' , Vd tidak banyak berubah jika dipantau
kadanya adalah kadar obat total (terikat dan tidak terikat protein darah) sebab
adanya kesetimbangan kadar obat di dalam darah dan jaringan.

• Akibatnya penurunan kadar obat mengikuti kurva monofase, sehingga analisis


obat – obat per oral mengikuti model kompartemen 1 terbuka yaitu mengambil
%
sampel darah antara Cmaks dan satu titik pada fase eliminasi misalnya 𝐶!&'

𝑆. 𝐹. 𝐷*
𝑉. = &
𝐶/* − 𝐶",'
𝑆. 𝐹. 𝐷* 𝑒 ($-
𝐶-& = ( ($-
)
𝑉. 1−𝑒

Persamaan di atas digunakan untuk memperkirakan kadar obat dalam darah pada
%
keadaan tunak setiap saat (t) pasca 𝐶!"#$ .
Konsep ini bermanfaat Ketika seorang subyek menggunakan obat tidak tepat
jadwal, lebih awal atau lambat dari interval yang ditetapkan, misalkan untuk
%
menghitung kadar 𝐶!"#$ yang sebenarnya
SOAL UNTUK DIKERJAKAN
Seorang pasien dengan kondisi aritmia jantung mendapatkan terapi kinidin tablet
250 mg per oral setiap 6 jam, sampai keadaan tunak.
Parameter farmakokinetikan Kinidin pada pasien diketahui Vd 180L; laju kecepata
0,0693/jam dan F = -0,7.
Pertanyaan :
1. Berapakah kadar Pundak kinidin pada keadaan tunak jika Tmaks = 1,5 jam?
2. Berapa kadar kinidin minimum sebelum obat berikutnya ? Pasien minum obat
tepat waktu berarti waktu yang dilalui kinidin sejak pertama kali yang dilalui
kinidin sejak minum sebelumnya adalah 6 jam (= 𝛕).
3. Berapakah interval pemberian kinidin ?
PENYESUAIAN DOSIS :
GINJAL dan HATI

Ema Nillafita Putri K., MFarm., Apt


Prodi Farmasi - Fakultas MIPA
Universitas Pakuan
What we will Learn ??
PERHITUNGAN PENYESUAIAN DOSIS
GINJAL Klirens Obat
Fisiologi Organ Ginjal Perubahan Laju Eliminasi
Fungsi Ginjal Laju Filtrasi
Gangguan Ginjal Serum Kreatinin dan Clearance Kreatinin
Pada Kondisi Dialisis
PENYESUAIAN DOSIS : GINJAL
Pertimbangan Farmakokinetika PENYESUAIAN DOSIS : HEPAR
Pendekatan Umum Gangguan Hepar
Kondisi Dialisis Pengaruh Penyakit Hepatik
Perhitungan Dosis

2
1 GINJAL
Anatomi – Fungsi - Gangguan

3
ANATOMI
• Berbentuk seperti kacang (beanshaped)
• Letak Ginjal
• Terletak pada dinding posterior abdomen, di luar rongga peritoneum
• Retroperitoneal di regio lumbal superior
• Terletak setinggi vertebra T12- L3
• Ginjal kanan terdesak hati 🡪 letak lebih rendah dari ginjal kiri
• Berat dan Ukuran Ginjal
• Ginjal dewasa ± 150gr ± 0,5% BB total,
• Ukuran : 12 x 6 x 3-4 cm3

4
5
ANATOMI
◉ Terdiri dari ± 1 juta nefron/ginjal
◉ 1 nefron, terdiri dari
1. Glumerulus
Dilalui sejumlah besar cairan yang difiltrasi daru darah
high-pressure cappilary bed 🡪 ± 60 mmHg
Dilapisi Sel Epitel dan dibungkus dalam Kapsula Bowman

2. Tubulus Renal
terdiri atas : kapsula glomerulus/bowman, tubulus proksimal,
ansa henle, & tubulus distal

6
FUNGSI

•1
•Menyaring plasma dan memindahkan zat dari filtrat pada
kecepatan yang bervariasi

•2
•Membuang bahan-bahan sampah tubuh dari hasil pencernaan atau
yang diproduksi oleh metabolisme.

•3
•Mengontrol volume dan komposisi cairan tubuh
•4
•Mengontrol keseimbangan elektrolit

7
GANGGUAN GINJAL
•Peradangan
dan
kemunduran
dari
pielonefron
Pyelonephritis yang
disebabkan
oleh infeksi,
antigen, atau
penyebab lain
yang tidak
•Peningkatan beban
diketahui.
kerja ginjal
berkepanjangan
Hypertension dengan cairan dan
elektrolit yang
memicu insufisiensi
ginjal.
•Gangguan
metabolisme gula
dan keseimbangan
Diabetes mellitus asam-basa yang
memicu
predisposisi pasien
menjadi penyakit
ginjal degeneratif. 8
GANGGUAN GINJAL
•Beberapa obat yang
digunakan secara
terus menerus akan
menyebabkan
Nephrotoxic kerusakan ginjal
yang irreversible,
drugs/metals seperti
aminoglycosides, dan
beberapa logam
berat (merkuri dan
timbal)
•Sebuah kondisi yang
dapat menyebabkan
penurunan aliran
Hypovolemia darah ginjal yang
akan memicu
terjadinya iskemik
ginjal dan kerusakan.

9
PENDEKATAN / ASUMSI
Klirens kreatinin mengukur secara Perkiraan klirens kreatinin dapat bias 🡪
akurat tingkat gangguan ginjal perlu diklarifikasi dengan diagnosis fisik
dan uji klinik lainnya

Obat mengikuti Farmakokinetika Farmakokinetika tidak bergantung dosis


tidak bergantung dosis (nonlinear)

Penyakit ginjal juga dapat mempengaruhi


Eliminasi obat nonrenal tetap liver 🡪 menyebabkan suatu perubahan
konstan eliminasi obat nonrenal (metabolisme
obat)

Ikatan obat protein tidak berubah Ikatan obat pasien dapat berubah
sehubungan dengan akumulasi urea, sisa
nitrogen dan metabolit obat
10
PENDEKATAN / ASUMSI
Konsentrasi obat – target tetap Perubahan komposisi eletrolit (Kalium)
konstan Mempengaruhi kepekaan beberapa obat
(digoksin)

Akumulasi metabolit aktif dapat


menyebabkan respon farmakodinamika
yang lebih kuat dibandingkan obat induk.

Klirens normal obat dapat mencakup


Klirens obat, Clu menurun secara sekresi aktif dan filtrasi pasif 🡪 Tidak
linear dengan klirens kreatinin, menurun secara linear
Clcr.

11
PENYESUAIAN DOSIS :
2 GINJAL
Pertimbangan – Pendekatan – Kondisi Dialisis

12
Penurunan filtrasi
Filtrasi Glomerulus Akumulasi cairan glomerulus
terganggu atau dan produk
menurun nitrogen darah Perpanjangan
waktu paruh obat

Gangguan elektrolit Klirens tubuh total


Penurunan tetapan
dan cairan dalam obat akan
laju eliminasi,
tubuh MENURUN

Pertimbangan Farmakokinetika

13
PERHITUNGAN
3 DOSIS
Berbagai Metode dan Pendekatan

14
Rancangan aturan dosis untuk penderita uremia (gangguan ginjal)
didasarkan atas perubahan dan pertimbangan farmakokinetika yang terjadi.

Dua pendekatan farmakokinetik yang digunakan :


Klirens obat.
Waktu paruh eliminasi.

15
PENYESUAIAN DOSIS :
KLIRENS OBAT

Metode ini berusaha untuk


mempertahankan Cav∞
setelah dosis oral ganda atau Untuk pasien dengan kondisi
uremia
injeksi IV bolus ganda

16
Penentuan D0

waktu pemberian dosis (τ) dibuat konstan

17
Untuk infus IV, Css yang diinginkan dipertahankan dengan mengubah laju
infus R 🡪 RU

18
PENYESUAIAN DOSIS :
TETAPAN LAJU ELIMINASI

Pasien Uremia Keseluruhan tetapan Laju Eliminasi, TURUN

DOSIS ???

• Menurunkan dosis normal


• Menjaga atau menurunkan frekuensi pemberian dosis
• Menjaga dosis konstan
19
Pendekatan yang lazim untuk memperkirakan suatu aturan dosis ganda
pada kondisi NORMAL 🡪 mempertahankan Cav∞

VD pada pasien uremia = normal


τ konstan

DOSIS pada Kondisi Uremia ?

20
Asusmsi di mana aturan dosis ini dihitung :
Tetapan laju eliminasi ginjal (kR) menurun secara proporsional bila fungsi
ginjal menurun

Rute eliminasi nonrenal tetap tidak berubah

Keseluruhan klirens ginjal obat ini dicerminkan oleh perubahan klirens


kreatinin

21
PENGUKURAN LAJU
FITRASI GLOMERULUS

Laju filtrasi glomerulus ,


Laju dimana obat penanda ini difiltrasi dari darah ke dalam urin per
satuan waktu

Dipengaruhi oleh :
1. Umur
2. Berat badan
3. Jenis kelamin

22
KONSENTRASI KREATININ SERUM
DAN KLIRENS KREATININ

Kondisi Normal, produksi kreatinin = eksresi kreatinin 🡪 kadar kreatinin


serum konstan

Klirens Kreatinin, laju eksresi kreatinin melalui urin/kreatinin serum.


Dapat dihitung secara langsung melalui :
a. Penentuan konsentrasi kreatinin serum
b. Laju ekskresi kreatinin lewat urin.

23
DEWASA
Metode Sederhana : dinyatakan dalam ml/menit, 1.73m2

Metode Jellife

24
DEWASA
Metode Cockroff and Gault

25
26
ANAK - ANAK

Metode Schwart Monogram Traub and Johnson


2
dinyatakan dalam ml/menit, 1.73m

27
LATIHAN SOAL
1. Hitung Klirens Kreatinin untuk seorang penderita pria dewasa
dengan konsentrasi kreatinin 1 mg %?

2. Berapakah Klirens kreatinin, untuk seorang pasien pria (25 tahun)


dengan konsentrasi kreatinin 1mg% dan berat badan 80 kg?

28
Metode Jellife

Metode Cockroff and Gault

29
METODE NOMOGRAM

Tahapan penggunaan metode nomogram :


1. Tempatkan kelompok di mana obat termasuk sesuai dengan
tabel tetapan laju eliminasi obat.
2. Dapatkan Ku/KN pada titik yang sesuai dengan ClCr penderita.
3. Tentukan Ku untuk penderita.
4. Buat penyesuaian dosis sesuai dengan prinsip farmakokinetik.

30
NOMOGRAM

31
CONTOH SOAL

Amoksisilin diberikan pada dosis 500 mg setiap 8 jam pada


seorang penderita normal dengan berat badan 70 kg.
Berapakah dosis yang akan digunakan :
a. pada “penutupan” sempurna ginjal (Clcr = 0)
b. Bila ClCr = 10 ml/menit

32
PENYELESAIAN SOAL
a. “penutupan” sempurna ginjal (Clcr = 0)

33
b. pada Clcr = 10 ml/menit

34
METODE GIUSTI - HAYTON
Metode ini menganggap :
Pengaruh penurunan fungsi ginjal pada tetapan eliminasi ginjal dapat
diperkirakan dari rasio klirens kreatinin uremia (ClCrU) terhadap klirens
kreatinin normal

35
f
1-f

36
37
CONTOH SOAL

Dosis penjagaan gentamisin untuk pasien dengan fungsi ginjal


normal adalah 80mg setiap 6 jam.
Berapakah dosis penjagaan untuk seorang pasien uremia dengan
klirens kreatinin 20 ml/menit?

38
Penyelesaian
Gentaminin 100% diekskresi oleh ginjal, maka f=1
Klirens kreatinin normal = 100 ml/menit

39
METODE WAGNER
Tetapan eliminasi untuk seseorang penderita uremia dapat diperoleh
dari klirens kreatinin berikut :

Dosis obat yang diberikan

40
CONTOH SOAL

Dosis ampisilin dalam kondisi normal sebesar 500 mg setiap 6 jam.


Apabila pasien memiliki ClCr = 80 ml/menit, berapakah dosis yang
dianjurkan?

41
Penyelesaian
K% Normal = 70

42
Suatu proses buatan dimana akumulasi obat atau metabolit-metabolit
sisa dipindahkan melalui difusi dari tubuh ke dalam cairan dialisis.

DIALISIS

43
Kelarutan Obat dalam Air

•Obat yang tidak larut air atau larut


lemak, tidak akan terdialisis.

Ikatan Protein

•Dialisis merupakan suatu proses


difusi pasif, sehingga obat dengan
ikatan protein kuat tidak akan
terdialisis
Berat Molekul

•Obat dengan BM >500, tidak akan


terdialisis.

Volume distribusi besar

•Obat dengan Vd luas banyak


terdistribusi dalam jaringan,
sehingga akan sulit terdialisis.

Faktor yang mempengaruhi kemampuan dialisis obat


Pasien Uremia

DIALISIS
laju aliran darah ke mesin dialisis
Terapi OBAT dan Pelaksanaan Mesin Dialisis.

Dialisan (Dialysance)
Menggambarkan jumlah darah yang dibersihkan
dari obat secara sempurna (dalam ml/menit)

45
CONTOH SOAL

Seorang pasien uremia, mendapatkan terapi hemodialisis dengan


laju aliran darah ke mesin dialisis adalah 40ml/menit.
Dengan analisis kimia konsentrasi obat yang masuk dan
meninggalkan mesin berturut-turut 90 dan 10µg/ml.
Berapa Klirens Dialisis?

46
Penyelesaian

47
Dalam pemberian dosis obat yang menyangkut dialisis,
rata-rata konsentrasi obat dalam plasma :

Jika ClD = 30% atau lebih dari ClT,


Penyesuaian dilakukan untuk
menghitung jumlah obat yang hilang selama dialisis.

48
t(1/2) eliminasi pada pasien tanpa dan saat dialisis terkait dengan total
klirens tubuh (Clτ) dan Volume distribusi (Vd)

Fraksi obat yang hilang saat dialisis dan eliminasi, dapat dihitung

49
Pasien laki – laki (73 tahun, 65 kg) dengan riwayat diabetes mellitus dan menjalani hemodialisis.

Nilai residual klirens kreatinin <5ml/menit. Pasien mendapatkan terapi tobramisin (antibiotika

aminoglikosida) dosis 1mg/kgBB secara IV bolus.

Sifat Tobramisin pada pasien dengan fungsi ginjal normal : 90% disekresi secara utuh di urin,<10%

terikat dengan plasma protein, dan t(1/2) eliminasi kurang lebih 2.2 jam.

Pada kondisi pasien ini : t(1/2) eliminasi selama 50 jam pada periode interdialisis dan t(1/2) eliminasi

selama hemodialisis, 8 jam. Volume distribusi = 0.33L/kg

Dengan kondisi pasien tsb, hitung :

a. Konsentrasi antibiotika dalam plasma awal setelah pemberian tobramisin dosis pertama

b. Konsentrasi plasma obat sebelum hemodialisis (48jam setelah dosis pertama tobramisin)

c. Konsentrasi plasma setelah 4 jam hemodialisis.

d. Jumlah obat yang hilang setelah hemodialisis

e. Dosis tobramisin (dosis pengganti) yang perlu diberikan setelah proses hemodialisis.

50
PENYESUAIAN DOSIS :
4 HEPAR
Gangguan – Pengaruh Gangguan – Perhitungan Dosis

51
GANGGUAN HEPAR

52
PENGARUH PENYAKIT HEPATIK
Konsentrasi obat – target tetap
konstan

Gangguan Terakumulasi
hati Kegagalan pembentukan
Metabolit (mungkin) akan
metabolit aktif
diekskresikan melalui
sekresi bilier Bioaviabilitas meningkat
Perubahan ikatan protein obat

53
PERTIMBANGAN PENDOSISAN
Sifat dan Beratnya penyakit hati Tidak semua penyakit hati
mempengaruhi farmakokinetika obat
pada tingkat yang sama

Eliminasi Obat Obat yang dieliminasi melalui hati >


20% kurang dipengaruhi oleh
penyakit hati.
Obat – obat yang terutama
dieliminasi oleh ginjal akan sedikit
dipengaruhi oleh penyakit hati

Rute Pemberian Pemberian Oral : Bioaviabilitas


dapat ditingkatkan

54
PERTIMBANGAN PENDOSISAN
Ikatan Protein Ikatan protein obat berubah
sehubungan dengan perubahan
sintesis hepatik dari albumin

Aliran darah hepatik Obat – obat dengan klirens hepatik


bergantung aliran akan dipengaruhi
oleh perubahan aliran hepatik

Klirens instrinsik Metabolisme obat dengan klirens


instrinsik tinggi dapat terganggu

Obstruksi bilier Ekskresi bilier dari beberapa obat


dan metabolit, terutama metabolit
glukuronida akan terganggu
55
PERTIMBANGAN PENDOSISAN
Perubahan farmakodinamik Sensitivitas jaringan terhadap obat
akan berubah

Rentang terapeutik Obat – obat dengan rentang terapi


lebar (tidak terlalu berpengaruh)
Obat – obat dengan rentang terapi
sempit (akan sangat berpengaruh)

56
FRAKSI OBAT TERMETABOLISME
ELIMINASI OBAT Fraksi ekskresi obat
termetabolisme

Fraksi ekskresi obat tidak


berubah (fe)
1-fe
Rasio Clh /Cl

Clh = Cl (1-fe)
57
58
TDM pada Gangguan Fungsi Ginjal
dan Hati
Penyakit Ginjal Kronik
• Ginjal merupakan organ utama pengeliminasi berbagai senyawa dari
dalam tubuh termasuk obat dan metabolitnya.
• Eliminasi obat dan metabolitnya berkurang pada pasien dengan PGK
dan akan mengakibatkan akumulasi di dalam tubuh àberbagai
masalah termasuk efek toksikà dosis obat untuk pasien dengan
gangguan ginjal perlu disesuaikan dengan fungsi ginjal
Indikator Fungsi Ginjal

Inulin

Blood Urea Nitrogen (BUN)

Kreatinin
Senyawa eksogen (suatu polysaccharide)à kurang
bermanfaat untuk penentuan rutin Glomerular Filtration
Rate (GFR)
Inulin

Blood Urea • hasil akhir metabolisme protein di dalam tubuh.

Nitrogen (BUN) • Penigkatan BUN merupakan indikator adanya gangguan ginjal


• mudah ditentukan, namun mempunyai beberapa kelemahan
yaitu terjadi reabsorpsi secara signifikan sehingga kadarnya
tergantung kepada urine flow rate

senyawa endogen yang mudah ditentukan dan memberikan


hasil yang lebih akurat àdapat dijadikan sebagai indikator
GFR.
Kreatinin
• Agar diperoleh efek terapi yang optimal, maka dosis obat
per\lu disesuaikan berdasarkan creatinine clearance
terutama obat dengan rentang terapi yang sempit dan obat
keras
• Dosis gentamisin untuk infeksi pleural (membran serous
dari paru) pada pasien gagal ginjal harus dikurangi agar
tidak terjadi akumulasi yang berlebihan dan efek toksik.
Perubahan Farmakokinetika

Perubahan absorpsi obat

Perubahan distribusi obat

Perubahan metabolisme dan eksresi


Perubahan absorpsi obat

• Besarnya absorpsi obat pada pasien dengan gangguan ginjal dipengaruhi oleh
gangguan pencernaan seperti mual dan muntah dan perubahan pH di saluran
pencernaan yang dialami oleh pasien sebagai akibat peninggian ureum di dalam
saliva dan pemberian obat seperti histamine H2-inhibitor.
• Untuk obat yang bersifat basa, peninggian pH akan menurunkan konsentrasi obat
tak teionisasi di dalam saluran pencernaan, yang selanjutnya akan menurunkan
absorpsi, bioavailabilitas, dan efek terapi.
Perubahan distribusi obat
• Volume distribusi obat pada pasien dengan gangguan ginjal
dapat meningkat, menurun ataupun tidak berubah.
• Peninggian volume distribusi dapat terjadi sebagai akibat
penurunan ikatan antara obat dengan protein, kompetisi obat
terhadap protein, dan akumulasi cairan di dalam tubuh.
• Hipoalbuminemia selalu dialami oleh pasien dengan gangguan
ginjal karena terganggu produksi albumin oleh
ginjalàpenurunan ikatan antara obat yang bersifat asam dengan
protein (seperti cefazolin, furosemide, gentamycin, and
phenytoin) àmeningkatkan kadar obat bebas di dalam darah,
meningkatkan distribusi obat ke dalam organ-organ lain, ikatan
jaringan, efekàmeningkatkan toksisitas.
• Polifarmasi pada pasien GGK mengakibatkan masalah interaksi
obatàpenggeseran suatu ikatan obat dengan protein plasma akibat
berkompetisi dengan obat lain terhadap protein plasma.
• phenylbutazone menggeser asam salisilat dari ikatan protein
plasmaàmeningkatkan konsentrasi dan volume distribusi asam
salisilat.
• Strategi yaitu dengan dan menurunkan dosis asam salisilat saat
phenylbutazone diberikan kepada pasien.
• Penumpukan cairan tubuh meningkatkan volume distribusi obat yang
bersifat hidrofil (seperti β-lactams) à kadar obat berada di bawah
level terapià kondisi ini merupakan faktor pemicu terjadinya resistensi
bakteri terhadap golongan β-lactam tersebut.
• Pemilihan terhadap dosis lazim maksimum dan monitoring konsentrasi
obat bebas adalah penting untuk menyelesaikan masalah ini.
Perubahan metabolisme dan eksresi

• Obat yang dieksresikan dari organ-organ pengeliminasi dapat berupa metabolit


ataupun dalam bentuk tidak berubah. Umumnya obat dimetabolisme di hati
melalui berbagai rute.
• Clearance beberapa obat menurun sebagai akibat penurunan aliran darah ke hati
pada pasien dengan gangguan ginjal dengan kondisi infeksi berat.
• Umumnya obat-obatan dan metabolitnya dieksresikan melalui ginjal, sebagian
kecil juga dieksresikan melalui organ-organ lain seperti GIT, kulit, saliva, dan
cairan mata.
• Pada pasien dengan gangguan ginjal, kemampuan ginjal untuk mengeliminasi
senyawa- senyawa dari dalam tubuh menurun.
• Perhatian harus difokuskan terhadap obat dan metabolitnya karena dapat
mengakumulasi di dalam tubuh, selanjutnya meningkatkan respons dan
menimbulkan efek toksik sebagai akibat penurunan fungsi ginjal.
Perubahan Farmakodinamika

• Efek farmakodinamika obat dapat berubah sebagai akibat perubahan biokimia


dan fisiologi pasien dengan gangguan ginjal.
• Untuk mengoptimalkan terapi, dosis obat terutama yang bersifat nefrotoksik dan
rentang terapi sempit yang diberikan kepada pasien dengan gangguan ginjal
harus disesuaikan berdasarkan kepada fungsi ginjal.
Penyesuaian Dosis untuk Pasien dengan Gangguan
Ginjal

Therapeutic drug monitoring

Pendekatan praktis
Therapeutic drug monitoring

• Proses penggunaan konsentrasi obat di dalam plasma agar diperoleh efek terapi
yang diinginkan.
• Pendekatan ini dapat diaplikasikan untuk beberapa obat termasuk antibiotika.
• Kriteria obat yang sesuai dalam pelaksanaan TDM
(1) karakteristik farmakokinetika dan farmakodinamika obat harus jelas
(2) obat yang akan dimonitor mempunyai rentang terapi sempit dan waktu paruh
singkat
(3) korelasi antara dosis obat dan respons sulit diprediksi serta tidak mempunyai
titik akhir klinis yang jelas seperti golongan aminiglikosida dan vancomycin.
Langkah pelaksanaan TDM

1) Pengukuran fungsi ginjal


Persamaan Cockcroft-Gault (C-G) umum digunakan untuk menghitung fungsi
ginjal seperti ditulis berikut ini:
Untuk jenis kelamin laki-laki:
Clcr (ml/min) = ((140 – age) BW)/(72 x Scr) (1)
Untuk jenis kelamin perempuan:
Clcr (ml/min) = ((140 – age) BW)/(72 x Scr) x 0.85 (2)

kf = Clcr (RI)/Clcr(nl) (3)

Clcr = Creatinine clearance; age=usia pasien; BW = body weight (berat badan); Scr = konsentrasi serum
creatinine; Clcr(RI) = Creatinine clearance pada penderita PGK; Clcr(nl) = Creatinine clearance pada pasien
dengan fungsi ginjal normal; kf = kidney function (fungsi ginjal)
Langkah pelaksanaan TDM
2) Penentuan clearance obat pada pasien dengan gangguan ginjal (ClRI )
ClRI = Clnl [1 – fe . (1 - kf )] (4)
3) Perhitungan kecepatan pemberian obat
F.D/τ = Cl . Css (5)
4) Penentuan interval pemberian maksimum (τmax)
τmax = 1.44t1/2. ln Cmax/Cmin (6)

fe = fraksi obat tidak berubah yang dieksresikan melalui urin; ClRI = clearance obat pada penderita PGK; Clnl =
clearance obat pada pasien dengan fungsi ginjal normal; F = bioavailabilitas; D/τ = kecepatan pemberian obat; Css =
konsentrasi efektif obat; t1/2= waktu paruh obat; Cmax = konsentrasi obat maksimum (upper limit of therapeutic
window); Cmin = konsentrasi obat minimum (lower limit of therapeutic window); τmax = interval pemberian obat
maksimum.
Langkah pelaksanaan TDM
5) Pemilihan interval pemberian
6) Monitoring kadar obat di dalam plasma,respons,dan tanda- tanda
keracunan
7) Penyesuaian dosis apabila masih diperlukan
Pendekatan praktis

• Pendekatan praktis dapat dilakukan untuk menyesuaikan dosis obat apabila data
ataupun acuan tidak tersedia. Dalam hal ini prinsip penyesuaian dosis obat
didasarkan kepada perbandingan antara clearance obat pada penderita PGK
dengan clearance obat pada pasien dengan fungsi ginjal normal (Q) sebagaimana
ditulis pada persamaan berikut ini:
Q = [(kf x fe) + (1- fe) x (140- age) x weight in kg0.7]/1660 (7)
• Dapat disederhanakan menjadi persamaan (8) untuk obat yang
mempunyai ikatan rendah dengan protein plasma (<25%) dan
dieksresikan dalam bentuk tidak berubah lebih besar atau sama
dengan 70 % seperti cefadroxyl dan ceftazidime

Cl(ri)/ Cl(nl) = Q = [1 – fe (1 – kf)] 8)


• Metode untuk mengaplikasikan nilai Q dalam penyesuaian dosis dapat
dilakukan dengan pengurangan dosis seperti ditulis dalam persamaan (9),
DRI = Q x DN (9)
• penyesuaian interval pemberian sebagaimana ditulis dalam persamaan
(10)
τRI = τN/Q (10)
• modifikasi antara interval pemberian obat dan dosis seperti ditulis dalam
persamaan (11)

DRI = (DN x Q x τRI )/ τN (11)


Contoh Soal
• Seorang pasien (laki=laki, usia 46 tahun, berat badan 55 kg) didiagnosis
menderita PGK dengan nilai serum creatinin sebesar 25,2 mg/dL. Pasien juga
mengalami infeksi yang ditandai dari kadar leukosit darah sebesar
13,1(103)/mm3. Penanganan infeksi dilakukan dengan terapi ciprofloxacin tablet.
Diketahui: bioavailabilitas ciprofloxacin = 0,7- 0,8; volume distribusi = 1-2 L/kg
berat badan; waktu paruh = 4 jam; rentang terapi = 3,4-4,3 ng/ml plasma;
dieksresikan dalam bentuk tidak berubah melalui urin sebesar 40-65%. Berapa
dosis dan interval pemberian ciprofloxacin untuk pasien tersebut? Jelaskan
langkah-langkah yang harus dilaksanakan dalam TDM.
• Creatinine clearance pada pasien dengan fungsi ginjal normal dan tidak mormal:
ClCr pasien = (140 – umur) BB/72 x Scr
= (140 – 46) 55 kg / 72 x 25,2 mg/dL = 2,85 ml/men
Kadar serum creatinin normal = 0,6 – 1,2 mg/dL = 0,9mg/dL
ClCr normal = (140 – umur)BB/72 x Scr
= (140 – 46) 55kg / 72 x 0,9mg/dL = 79,78 ml/men

• Penentuan fungsi ginjal:


KF = CrCl (ri) / CrCl (nl) = 2,85 ml/men / 79,78 ml/menit = 0.036
• Penentuan clearance pada pasien dengan PGK:
Clearance obat utk pasien dengan fungsi ginjal normal:
k = 0,693/ t 1⁄2 = 0,693/4 jam = 0,17 jam-1
Cl(nl) = k.V
= 0,17 jam-1 . 2 L/kg . 55 kg = 18,7 L/jam

• Clearance obat untuk pasien penderita penyakit ginjal kronik adalah sebagai
berikut:
Cl (ri) = Cl(nl) {1-fe. (1 – KF)}
= 18,7 L/jam {1-0,5 (1 – 0,036 )} = 9,7 L/jam = 161 ml/men
• Berdasarkan persamaan (5):

• F x D/τ = Cl xCss
0,8 . D/τ = 9,7 L/jam . 4 ng/ml
0,8 . D/τ = 9700 ml/jam.4 ng/ml
D/τ = 48,5 mcg/jam = 50 mcg/jam
• Penentuan interval maximum
t1/2 ciprofloxacin adalah antara 4.4–12.6 jam untuk dewasa dengan Clcr ≤ 30
mL/minute.Bila nilai t1/2 adalah 12 jam, maka:

τmax = 1.44 t1/2 . ln Cmax/Cmin = 1,44 . 12 jam .ln4,3/3,4 =1.44 . 12 jam .


(1,5 – 1,2) = 5,18 jam
Alternatif interval pemberian obat adalah 6, 8, 12 atau 24 jam

• Bila interval pemberian yang dipilih adalah 12 jam, maka:


Dosis pertahanan = 12 jam . 50 mcg/jam = 600 mcg = 0.6 mg
Dosis muatan = V x Css /F = 55000 s/d 110000 ml x 4 ng/ml / 0,8 = 250 s/d 500 mg
• Dosis muatan sebesar 250 sampai dengan 500 mg adalah rasional dan sesuai
dengan dosis produk yang ada di pasaran. Prediksi kecepatan eliminasi obat
hanya sekitar 600 mcg /12jam.
• Laksanakan monitoring, pengambilan sampel darah, penentuan kadar obat, dan
interpretasi data. Bila diperlukan, sesuaikan dosis.
• Bila pada soal di atas pendekatan TDM tidak dapat dilaksanakan, maka
pendekatan praktis merupakan alternatif dalam pengaturan dosis ciprofloxacin
untuk pasien tersebut. Hitunglah dosis dan interval pemberian ciprofloxacin
untuk pasien tersebut di atas. Diketahui bahwa dosis ciprofloxacin untuk pasien
dengan fungsi ginjal normal adalah 250 mg/12 jam.
• Cl (ri)/ Cl(nl) = 9.7 L/jam/ 18.7 L/jam = 0.518 = 0.5
• Bila dosis disesuaikan, maka:
DRI = Q x DN = 0.5 x 250 mg = 125 mg

• Maka:
• Dosis ciprofloxacin untuk pasien tersebut adalah 125 mg/12 jam
• Bila interval diperpanjang, maka: τRI = τn/Q = 12 jam/0.5 = 24 jam
• Jadi, dosis ciprofloxacin untuk pasien tersebut adalah 250 mg/24 jam
Perhitungan ini sesuai dengan saran di Handbook of Clinical Drug Data: Clcr < 30
ml/min ada 2 alternatif: Dosis dikurangi 50 % atau Interval diperpanjang
PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN DENGAN
GANGGUAN HATI
• Hati merupakan organ utama pengmetabolisme obat melalui berbagai rute yaitu
oksidasi, reduksi, hidrolisis, dan konjugasi.
• Gangguan hati seperti hepatic cirrhosis akan mengakibatkan kerusakan sel-sel
hati, sebagai konsekuensinya adalah gangguan produksi berbagai enzim di hati
seperti cytochrome P450.
• Kondisi ini memperlambat metabolisme obat sehingga nilai clearance akan
menurun, seterusnya mengakibatkan akumulasi obat di dalam tubuh dan efek
toksik.
• Untuk mencegah terjadinya efek toksik, maka perlu penyesuaian dosis obat
berdasarkan keadaan fungsi hati pasien.
Patofisiologi dan Manifetasi Klinik

• Gangguan hati terutama hepatic cirrhosis, mengakibatkan berbagai perubahan


patofisiologi di dalam hati.
(1) Gangguan hati dapat mengakibatkan perubahan farmakokinetika obat.
(2) Nodule abnormal (kelenjar dengan dengan konsistensi padat dan dapat
diketahui dengan meraba) dapat terbentuk pada pasien cirrhosisàpenurunan
aliran darah ke hati serta penurunan metabolisme obat.

Perubahan fungsi hati dan perkembangan penyakit cirrhosis bervariasi dari pasien
yang satu dengan lainnya tergantung kepada etiologi cirrhosis.
Perubahan Aliran Darah di Hati

• Kecepatan munculnya obat di suatu organ pengeliminasi merupakan hasil kali


antara aliran darah (Q) dengan konsentrasi obat yang memasuki daerah arteri
(CA).
Kecepatan munculnya obat di organ = Q . CA (1)
• Kecepatan obat meninggalkan daerah vena merupakan hasil kali aliran darah (Q)
dengan konsentrasinya pada daerah vena (CV)
Kecepatan obat meninggalkan vena = Q .CV (2)
• Kecepatan ekstraksi obat adalah selisih antara kecepatan munculnya obat di
organ dengan kecepatan obat meninggalkan vena yaitu:
Kecepatan ekstraksi obat = Q.CA – Q.CB = Q (CA – CV)
• Perbandingan antara konsentrasi obat yang terekstraksi (dieliminasi) dengan
konsentrasi mula-mula atau Extraction ratio (E) dapat dihitung sebagai berikut:
E = {Q (CA – CV)/CA}/ (Q . CA) = (CA – CV)/CA

• Nilai E berkisar antara 0 dan 1.


Bila tak ada obat yang dieliminasi, maka nilai E = 0
Bila tak ada obat yang keluar dari organ, maka nilai E = 1
Tabel Obat dengan Berbagai Ekstraksi Rasio

Tabel Hubungan antara Aliran Darah, Clearance (Cl) dan Extraction


ratio

Clearance = Blood flow . Extraction ratio(5)


Penentuan Fungsi Hati

• Child-Pugh classification mengelompokkan gangguan hati ke dalam 3 kategori


yaitu ringan, menengah, dan berat berdasarkan kepada skor indikator kimia dan
biokimia
Tabel Pengkategorian Gangguan Hati
• Bila total skor yang diperoleh adalah antara 5-6 poin, maka gangguan
hati termasuk ke dalam kategori ringan, sedangkan 7-9 poin termasuk
kategori menengah. Bila total skor yang diperoleh adalah antara 10-15
poin, maka gangguan hati dikategorikan ke dalam kelompok berat.
• Child-Pugh score tidak dapat sepenuhnya memberi gambaran Cl
(hepatic) atau farmakodinamika obat untuk kelompok pasien ini.
Strategi Penyesuaian dosis
• Obat dengan Extraction Ratio Tinggi
• Obat dengan extraction ratio tinggi antara lain adalah imipramine, promethazine,
lovastatine, chlorpromazine, midazolam, metoprolol, propranolol, sidenafil, dan
verapamil.
• Efek liver cirrhosis ketersediaan hayati meningkat karena pengurangan aliran
darah ke hati dan penurunan eliminasi obat.
• Strategi yang dapat dilakukan bila obat diberikan per oral adalah dengan
menurunkan dosis muatan dan dosis pertahanan. Bila tidak disebut lain, maka
bioavailabilitas obat per oral dianggap 100%. Dosis muatan dan dosis pertahanan,
masing-masing dihitung sebagai berikut:

Dosis = (Dosis normal x Fnormal)/100


Obat dengan Extraction Ratio Menengah

• Yang termasuk ke dalam kelompok obat dengan extraction ratio menengah antara
lain ciprofloxacin, diltiazem, erythromycin, simvastatin, haloperidol, dan
omeprazole.
• Liver cirrhosis mengakibatkan penurunan clearance hepatic (Clhep) yg ditentukan
oleh Q, metabolisme hepatik, dan ikatan dengan albumin.
• Pendekatan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Dosis muatan dipilih pada rentang yg rendah.
2. Dosis pertahanan untuk gangguan hati kategori ringan dan menengah berturut-
turut sebesar 50% dan 25% dari dosis normal.
3. Untuk gangguan hati kategori berat, direkomendasikan agar dipilih obat yang
metabolismenya melalui konjugasi, bukan melalui enzim CYP.
Obat dengan Extraction Ratio dan Ikatan Protein
Rendah
• Paracetamol, doxycline, metronidazole, metoclopramide, carbamazepine,
phenobarbital, diphenhydramine, alprazolam, clobazam, theophyllyne,
methylprednisone, prednisone, dan INH termasuk ke dalam kategori obat dengan
extraction ratio rendah (≤90%).
• Gangguan hati tidak terlalu berpengaruh terhadap bioavailabilitas obat-obat ini.
• Dosis pertahanan disesuaikan seperti dilakukan untuk obat dengan extraction
ratio menengah yaitu 25% dari dosis normal. Diutamakan juga agar memilih obat
yang metabolismenya melalui konjugasi, bukan melalui enzim CYP.
Obat dengan Extraction Ratio dan Ikatan Protein
Tinggi
• Beberapa obat seperti chlordiazepoxide, diazepam, prednisolone, rifampicin
ceftroaxone, clindamycin, tolbutamide, phenytoin, gemfibrozil, lansoprzole,
chlordiazepoxide, diazepame, prednisolone, dan rifampicin mempunyai
extraction ratio yang rendah dan ikatan protein yang tinggi (>90%).
• Pemberian kelompok obat-obat ini kepada pasien dengan cirrhosis sebaiknya
disertakan dengan pemantauan kadar obat bebas.
Contoh Soal
• Ciprofloxacin tablet 250 mg diberikan kepada pasien dengan
gangguan fungsi hati. Berat badan pasien adalah 70 kg. Konsentrasi
obat pada arteri adalah 5 ng/ml. Setelah obat melintasi hati bersama
sirkulasi darah, konsentrasi pada vena adalah 2 ng/ml. Berapa
extraction ratio (ER) ciprofloxacin? Bila diketahui aliran darah ke hati
(liver blood flow atau Q) adalah 1.5 L/men, berapa hepatic clearance
ciprofloxacin pada pasien tersebut?
• ER = (CA - Cv)/ CA= (5 mcg/ml – 2 mcg/ml)/5 mcg/ml = 0,6
• Clhepatic = Q . ER = 1,5 L/men . 0,6 = 0,9 L/men

You might also like