0% found this document useful (0 votes)
37 views10 pages

3669-Article Text-13640-1-10-20230806

The document discusses the Garudeya relief found in the Selomangleng Cave in Kediri, Indonesia. The relief depicts the story of Garuda freeing his mother, the goddess Winata, from slavery under the goddess Kadru and dragon snakes. This story was influential in the selection of Garuda as the symbol of the Indonesian state. The document also describes the research methodology used, which included library research, observation, documentation, and interviews to analyze the meaning and significance of the Garudeya relief in the cave.

Uploaded by

herwinda hstp
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
37 views10 pages

3669-Article Text-13640-1-10-20230806

The document discusses the Garudeya relief found in the Selomangleng Cave in Kediri, Indonesia. The relief depicts the story of Garuda freeing his mother, the goddess Winata, from slavery under the goddess Kadru and dragon snakes. This story was influential in the selection of Garuda as the symbol of the Indonesian state. The document also describes the research methodology used, which included library research, observation, documentation, and interviews to analyze the meaning and significance of the Garudeya relief in the cave.

Uploaded by

herwinda hstp
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 10

Cerita Relief Garudeya Di Goa Selomangleng Kediri, Serta

Filosofisnya Sebagai Lambang Negara Indonesia

Fitria Kartika Sari1, Yatmin2, Agus Budianto3


Universitas Nusantara PGRI Kediri
[email protected], [email protected], [email protected]

ABSTRACT
The relief carved on historic buildings are not only used as decoration, but have an
important meaning. One of the reliefs that has important meaning is the Garudeya
relief in Selomangleng Cave Kediri. The Garudeyan relief tells of an liberation. The
story of Garudeya itself is one of the foundations Garuda being used as the symbol
of the Indonesian state. The purpose of this study to find out 1) What is the story of
the Garudeya relief in Selomangleng Cave Kediri? 2) What is the reason for the
Garudeya story to be used as a philosophical symbol for the Indonesian state? 3)
What is the process for selecting the Indonesian state symbol? This research uses
a qualitative research approach with the type of ethnographic research. The data
result this research were obtained through library research, observation,
documentation, and interviews. The conclusion obtained is that the Garudeya relief
in Selomangleng Cave Kediri, tells about the liberation efforts made by Garuda to
free his mother, namely goddess Winata, from the bondage of slavery to goddess
Kadru and the dragon snakes. Because the story of the Garudeya relief is similar
to the history of the Indonesian nation, Sultan Hamid II proposed Garuda to be used
as the symbol of the Indonesian state
Keywords: Garudeya Relief, Selomangleng Cave Kediri, Indonesian National Emblem

ABSTRAK
Relief yang dipahatkan pada bangunan bersejarah tidak digunakan sebagai hiasan
saja, tetapi memiliki makna penting. Salah satu relief yang memiliki makna penting
adalah relief Garudeya di Goa Selomangleng Kediri. Relief Garudeya tersebut
berceritakan tentang pembebasan. Cerita Garudeya sendiri merupakan salah satu
dasar Garuda digunakan sebagai lambang negara Indonesia.Tujuan penelitian ini
untuk mengetahui 1) Bagaimana cerita relief Garudeya di Goa Selomangleng
Kediri? 2) Apa yang menjadi alasan cerita Garudeya digunakan sebagai filosofi
lambang negara Indonesia? 3) Bagaimana proses pemilihan lambang negara
Indonesia?. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif jenis
penelitian etnografi. Data hasil penelitian ini diperoleh melalui studi kepustakaan,
observasi, dokumentasi, dan wawancara. Kesimpulan yang didapatkan adalah
Relief Garudeya di Goa Selomangleng Kediri berceritakan tentang usaha
pembebasan yang dilakukan Garuda untuk membebaskan ibunya, yaitu Dewi
Winata dari belenggu perbudakan Dewi Kadru dan para ular naga. Karena cerita
relief Garudeya tersebut mirip dengan sejarah bangsa Indonesia, sehingga Sultah
Hamid II mengusulkan Garuda untuk dijadikan sebagai lambang negara Indonesia.
Kata Kunci: Relief Garudeya, Goa Selomangleng Kediri, Lambang Negara Indonesia

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan suatu negara yang kaya akan dengan cerita
rakyat, dimana cerita tersebut diwariskan secara lisan, maupun non lisan.
Cerita rakyat yang diwariskan secara non lisan ini kebanyakan dituangkan
dalam sebuah pahatan relief. Relief sendiri merupakan sebuah karya pahat
pada bangunan bersejarah yang memiliki makna dan nilai pada setiap
pahatannya. Menurut Islami, Budiono, dan Widiatmoko (2021:43) relief

334
merupakan gambar yang dipahatkan pada dinding candi yang mempunyai
cerita dan juga nilai-nilai kehidupan didalamnya. Sehingga melalui relief yang
ada leluhur kita bertujuan ingin memberikan pesan moral kepada generasi
penerusnya, bahwa segala prilaku yang kita lakukan memiliki sebab dan
akibatnya, bila kita berbuat baik maka akan mendapatkan kebaikan juga, dan
bila kita berbuat buruk maka akan mendapatkan keburukan juga. Sedangkan
menurut Restiyadi (2009:102) fungsi relief adalah sebagi media komunikasi.
Cerita relief tidak hanya mengandung pesan moral saja, namun di
dalamnya juga terdapat unsur-unsur kebudayaan yang ada di Indonesia.
Dengan harapan kebudayaan yang digunakan pada zaman dahulu dapat
tersampaikan dan dipertahankan oleh generasi yang akan datang. Selain itu
relief juga dapat menjadi bukti bahwa kebudayaan yang ada di Indonesia
sudah ada sejak zaman dahulu, serta kedepannya hal tersebut mampu
menjadi dasar agar generasi yang akan datang tidak mudah melupakan
kebudayaan yang sudah ada. Dengan demikian para genarasi yang akan
datang harus menjaga dan merawat warisan budaya yang ada. Menurut
Budiono, dkk (2018:127) generasi yang akan datang tidak akan mengetahui
warisan budaya bila semakin banyak warisan budaya yang rusak ataupun
hilang dicuri oleh orang yang tidak betanggung jawab.
Pahatan-pahatan relief yang ada di Indonesia, kebanyakan sering
dijumpai pada bangunan candi. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa
pahatan relief juga banyak dijumpai pada bangunan-bangunan bersejarah
lainnya, seperti pada dinding-dinding goa. Salah satu goa di Indonesia yang
memiliki relief adalah Goa Selomangleng Kediri. Goa Selomangleng
Kediri berlokasi di Jl. Selomangleng, Kelurahan Pojok, Kecamatan Mojoroto,
Kota Kediri, Jawa Timur, Indonesia. Di dalam Goa Selomangleng Kediri
banyak terdapat pahatan-pahatan relief, seperti relief garudeya, relief
medalion, relief kapala kala, relief kehidupan, relief pasetran, relief motif awan
atau megamendung, dan lain sebagainya.
Relief Garudeya yang ada di Goa Selomangleng Kediri berceritakan
tentang pembebasan. Dalam ceritanya pembebasan ini dilakukan oleh Garuda
dalam membebaskan ibunya, yaitu Dewi Winata dari belenggu perbudakan
Dewi Kadru dan para ular naga. Cara yang dilakukan Garuda dalam
membebaskan ibunya adalah berkelana mencari tirta amerta, karena air
tersebut merupakan syarat yang diberikan para ular naga kepada Garuda
untuk menebus ibunya.
Garuda merupakan hewan yang terkenal sebagai kendaraan atau
wahana dari Dewa Wisnu. Selain itu, di Indonesia sendiri garuda dijadikan
sebagai lambang negara yang disebut sebagai Garuda Pancasila. Dalam
proses pemilihan lambang negara Indonesia tidak dapat terjadi begitu saja,
akan tetapi harus melewati berbagi perubahan. Cerita Garudeya sendiri
merupakan salah satu dasar yang menjadikan Garuda digunakan sebagai
lambang negara Indonesia.
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif sendiri adalah penelitian yang bemutu dan berkualitas.
Menurut Yatmin dan Afandi (2022:70) kualitatif merupakan metode penelitian
berfokus pada pengamatan yang mendalam. Dalam hal ini, pendekatan

335
kualitatif menggunakan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi untuk
menghasilkan penelitian yang lebih luas dan meliputi banyak hal.
Dalam penelitian kualitatif ini yang digunakan adalah jenis penelitian
etnografi. Penelitian etnografi merupakan penelitian yang menggambarkan
tentang suku. Dalam penelitian etnografi ini peneliti akan mengkaji tentang
tingkah laku manusia, dari pola hidup, budaya, dan yang berkaitan dengan
sosial kultural. Menurut Windiani dan Rahmawati (2016:88) bahwa etnografi
merupakan salah satu jenis penelitian dalam metode penelitian kualitatif, yang
membahas tentang suatu budaya masyarakat.
Lokasi yang digunakan sebagai tempat penelitian relief Garudeya
adalah Goa Selomangleng Kediri, yang berlokasi di Jl. Selomangleng,
Kelurahan Pojok, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, Jawa Timur, Indonesia.
Lokasi tersebut merupakan tempat dimana peneliti dapat memperoleh
berbagai sumber data yang diperlukan dalam penelitian.
Data hasil penelitian ini diperoleh melalui empat tahap yaitu studi
kepustakaan, observasi, dokumentasi, dan juga wawancara. Dalam studi
kepustakaan, peneliti mengumpulkan beberapa literatur yang relavan
digunakan dalam penelitian. Menurut Tiarawanti, Yatmin, dan Widiatmoko
(2022:718) studi kepustakaan diperoleh dari data tertulis milik pemerintah
maupun perseorangan, seperti buku, skripsi, jurnal maupun artikel. Selain itu,
studi kepustakaan ini dilakukan sebelum dan sesudah peneliti terjun ke
lapangan.
Kemudian pada tahap observasi peneliti terjun langsung ke Goa
Selomangleng Kediri, yang merupakan tempat utama penelitian. Kegiatan
observasi menurut Widiatmoko, Lestari, dan Wiratama (2020:8) merupakan
kegiatan dalam mengawasi obyek, kemudian memahami pengetahuan dari
sebuah kejadian berdasar pada pengetahuan yang telah diketahui
sebelumnya untuk mendapatkan informasi yang diperlukan. Sehingga dalam
observasi ini, peneliti mengamati langsung relief Garudeya yang ada di dalam
Goa Selomangleng Kediri, lalu mencatat berbagai informasi yang diperoleh
dari hasil observasi yang telah dilakukan.
Pada tahap dokumentasi, peneliti mencantumkan berbagai bentuk
dokumentasi yang digunakan sebagai bukti telah melakukan penelitian.
Menurut Herawati, Budianto, dan Budiono (2022:215) dokumentasi berupa
tulisan, gambar atau foto-foto kegiatan penelitian.
Dan pada tahap wawancara peneliti membuat berbagai pertanyaan
terkait dengan makna cerita relief Garudeya di Goa Selomangleng Kediri, yang
kemudian diajukan kepada narasumber. Menurut Wulandari, Yatmin, dan
Budianto (2022:711) narasumber yang diwawancarai dalam penelitian adalah
narasumber yang benar-benar paham tentang fokus penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Cerita Relief Garudeya di Goa Selomangleng Kediri
Cerita Garudeya ditulis dalam serat Adiparwa pupuh ke VI. Dimana
cerita ini bermula pada seorang bagawan Kasyapa yang memiliki istri
banyak, yaitu berjumlah 14 orang. Tetapi diantara beberapa istrinya

336
tersebut, ada dua orang istri yang tidak memiliki anak, yaitu Dewi Winata
dan Dewi Kadru. Karena hal tersebut, keduanya meminta seorang anak
kepada Begawan Kasyapa. Dalam hal ini Dewi Kadru meminta 1000 orang
anak, dan Dewi Winata meminta dua orang anak saja, namun kesaktiannya
melebihi anak Dewi Kadru. Sehingga Dewi Kadru diberikan 1000 telur, dan
Dewi Winata diberikan dua telur.
Setelah lima ratus tahun berlalu, anak-anak dari Dewi Kadru mulai
menetas, dan berwujud ular naga. Sedangkan anak dari Dewi Winata belum
juga menetas, karena merasa khawatir bila anaknya tidak mentas akhirnya
Dewi Winata memecahkan satu butir telur yang dimilikinya, dan ketika telur
tersebut pecah anak yang di dalamnya masih berbentuk tubuh bagian
atasnya saja, namun kedua kakinya belum jadi. Sehingga membuat
anaknya marah karena ditetaskan sebelum waktunya, dan membuat
anaknya tersebut mengutuk ibunya bahwa kelak ibunya akan menjadi
budak saudaranya, dan yang dapat membebaskan adalah anak satunya
yang masih belum menetas.
Pada suatu waktu Dewi Winata mengatakan kepada Dewi Kadru bahwa
ada sebuah kuda Uccaihsrawa berwarna putih muncul dari lautan susu.
Tidak sependapat dengan Dewi Winata, Dewi Kadru berkata bahwa
ekornya berwarna hitam. Dalam hal ini Dewi Winata dan Dewi Kadru sama-
sama mepertahankan pendirian atas pendengarannya masing-masing,
karena hal tersebut mereka berdua bertaruh yang kalah akan menjadi
budak bagi yang menang, dan keduanya berjanji akan menyaksikan
kebenarannya pada esok harinya.
Setelah perjanjian yang dilakukannya, Dewi Kadru menceritakan hal
tersebut kepada anak-anaknya. Kemudian anaknya memberitahu bahwa
warna dari kuda Uccaihsrawa berwarna putih total tidak ada hitamnya,
sehingga Dewi Kadru meminta bantuan kepada anak-anaknya untuk
memperciki ekor kuda Uccaihsrawa dengan bisa. Pada awalnya anak-anak
Dewi Kadru menolak permintaan tersebut karena hal tersebut merupakan
perbuatan curang. Namun hal ini menyebabkan Dewi Kadru sangat marah,
dan mulai mengutuk anak-anaknya. Karena melihat kemarahan dari ibunya
akhirnya para ular naga menuruti permintaan tersebut, dan memberikan
bisa kepada ekor kuda Uccaihsrawa sehingga ekor kuda Uccaihsrawa
menjadi hitam.
Kesokan harinya, seperti yang telah dijanjikan sebelumnya Dewi
Winata dan Dewi Kadru pergi untuk melihat dan memastikan warna dari
kuda Uccaihsrawa. Dan saat dilihat ternyata warna kuda Uccaihsrawa putih
namun tidak dengan ekornya yang berwarna hitam, sehingga pada
pertaruhan tersebut Dewi Kadru yang menang, dan Dewi Winata yang
kalah, sehingga Dewi Winata harus menjadi budak dari Dewi Kadru.
Saat Garuda lahir, Garuda mencari-cari ibunya kemana, dan Garuda
mendapati bahwa ibunya diperbudak oleh Dewi Kadru untuk mengasuh
para ular naga. Karena mengetahui hal tersebut Garuda merasa sedih, dan
membantu ibunya untuk mengasuh para ular naga. Dan pada saat Garuda
menjaga dan mengasuh para ular naga, lalu para ular naga itu diterbangkan
oleh Garuda ke daerah panas, yang menyebabkan para ular naga
kepanasan. Mengetahui hal tersebut Dewi Kadru memohon pertolongan
Dewa Indra supaya menurunkan hujan, dan Dewa Indra mengabulkan
permintaan tersebut sehingga para ular naga tidak kepanasan lagi. Mulailah

337
para ular naga ini merayap kemana-mana, karena hal tersebut Garuda
kelelahan untuk mencari para ular naga yang begitu banyaknya. Garuda
yang merasa kelelahan mendatangi ibunya, dan Dewi Winata berkata bila
Garuda merasa kasihan kepada ibunya maka Garuda disuruh bertanya
kepada ular naga apa yang diinginkan para ular naga untuk menebus
ibunya.
Hingga pada suatu waktu saat mengasuh ular naga Garuda merasa
kelelahan karena para ular naga bermain-main terlalu jauh, sehingga
Garuda memakan ular naga karena merasa kelelahan mengasuh 1000 ekor
banyaknya. Pada akhirnya Garuda bertanya kepada ular naga apa yang
diinginkan mereka agar ibunya dapat dibebaskan, dan ternyata para ular
naga meminta tebusan tirta amerta. Mendengar hal ini Garuda merasa
senang, dan meyanggupi untuk membawakan tirta amerta. Setelah itu,
Garuda bergegas meminta izin kepada Dewi Winata untuk mencari tirta
amerta, dan Dewi Winata memberi izin dan medoakan Garuda supaya
berhasil.
Saat pencarian tirta amerta Garuda menghadapi berbagai rintangan,
dan akhirnya sampai di khayangan yang merupakan tempat tirta
amerta. Sesampainya di khayangan, Garuda langsung mengobrak-abrik
seluruh khayangan, sehingga para Dewa mencoba melawan Garuda,
termasuk Dewa Indra yang merupakan pemilik khayangan, namun para
Dewa yang tidak mampu menghadapi Garuda dikalahkan semua.
Mengetahui hal tersebut Dewa Wisnu datang, dan berkata bila Garuda
menginginkan tirta amerta hendaklah meminta kepada Dewa Winsu.
Karena merasa hal tersebut tidak pantas, akhirnya Garuda meminta untuk
dianugerahi hal lain, mendengar hal tersebut Dewa Wisnu meminta Garuda
supaya menjadi kendaraan (wahana) Dewa Wisnu dan menjadi lambang
panji-panji Dewa Wisnu. Garuda menyetujui hal tersebut, dan Garuda
menjadi kendaraan dan lambang panji-panji Dewa Wisnu. Saat Garuda
hendak membawa tirta amarta, Dewa Indra berkata bahwa tidak setuju
kalau tirta amerta diberikan kepada para ular naga, dan Garuda
memberitahu bahwa Dewa Indra berhak melakukan sesuka hatinya bila tirta
amerta sudah diberikan kepada ular naga sebagai penebusan ibunya.
Sesampainya Garuda di tempat para ular naga, Garuda langsung
memberikan tirta amerta sebagai syarat penebusan Dewi Winata, selain itu
Garuda juga berpesan bila ingin meminum tirta amerta mereka harus mandi
terlebih dahulu. Dan setelah itu Garuda pergi bersama Dewi Winata.
Mendengar perkataan Garuda para ular naga langsung bergegas untuk
mandi, karena mereka tidak ingin ketinggalan untuk meminum tirta amerta
akhirnya tidak ada yang menjaga tirta amerta, sehingga tirta amerta diambil
oleh Dewa Indra. Setelah selesai mandi tirta amerta sudah tidak ada, dan
para ular naga merasa sangat sedih, dan mereka menemukan percikan tirta
amerta di pucuk daun ilalang. Hingga akhirnya para ular naga menjilatinya,
dan menyebabkan lidahnya tersayat oleh tajamnya daun ilalang. Akibatnya
ilalang menjadi suci sampai sekarang karena telah terkena percikan tirta
amerta. Sementara itu, Garuda pulang ke surga karena telah berhasil
membebaskan ibunya dari belenggu perbudakan Dewi Kadru dan para ular
naga.
2. Cerita Garudeya sebagai Filosofi Lambang Negara Indonesia

338
Cerita Garudeya merupakan cerita tentang usaha pembebasan yang
dilakukan Garuda kepada ibunya Dewi Winata. Melalui cerita ini, para tokoh
pencetus lambang negara Indonesia terinspirasi menggunakan Garuda
sebagai lambang negara Indonesia, karena ceritanya yang mirip dengan
sejarah bangsa Indonesia yang tebebas dari penjajahan bangsa barat.
Menurut Rahmawati (2019:98) dalam konteks cerita Garudeya, ibu Garuda,
yaitu Dewi Winata diibaratkan sebagai ibu pertiwi atau tanah air Indonesia.
Selain itu, perjuangan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam
melawan penjajah demi kemerdekaan bangsa juga memiliki makna yang
sama seperti halnya Garuda yang berjuang dalam pencarian tirta amerta
untuk menebus ibunya dari perbudakan. Dengan hal ini cerita Garudeya
dibilang mirip dengan sejarah bangsa Indonesia.
Dengan kemiripan cerita tersebut akhirnya Sultan Hamid II yang
merupakan koordinator panitia lambang negara Indonesia memutuskan
untuk menggunakan Garuda sebagai lambang negara Indonesia. Namun
dalam prosesnya terdapat banyak perubahan sehingga bentuknya tidak
sama dengan relief Garudeya pada umumnya, tetapi pemaknannya diubah
dan disesuaikan ulang oleh panitia lambang negara Indonesia.
3. Proses Pemilihan Lambang Negara Indonesia
Lambang negara Indonesia adalah Garuda Pancasila, penentuan ini
tidak semata-mata dipilih begitu saja, tetapi juga terdapat proses yang harus
dilewati agar menjadi lambang negara seperti sekarang ini. Penetapan ini
bermula pada tahun 1945, dimana menurut Virdianti dan Alrianingrum
(2014:61) terdapat beberapa proses yang dilalui dalam penetapan lambang
negara Indoensia, dimana yang pertama adanya rumusan lambang negara,
kemudian terdapat kesadaran tentang pentingnya lambang negara, karena
hal tersebut dibentuklah Panitia Lambang Negara, dan yang terakhir
mengadakan sebuah sayembara untuk pemilihan lambang negara.
Kejadian ini bermula pada rapat Panitia Perancangan UUD, yang
dilakukan pada tanggal 13 Juli 1945, ada seorang anggota panitia yang
bernama Parada Harahap mengusulkan tentang lambang negara. Dan
pada tanggal 16 November 1945 dibentuklah Panitia Indonesia Raya yang
bertugas menyelidiki arti lambang-lambang dari peradaban bangsa
Indonesia sebagai langkah awal untuk mengkaji lambang negara. Panitia
ini diketuai oleh Ki Hajar Dewantara, dan disekretarisi oleh Muhammad
Yamin. Namun panitia ini belum dapat menyelesaikan tugasnya karena
terjadinya peristiwa 3 Juli 1946 yang melibatkan Muhammad Yamin sebagai
anggota Panitia Indonesia Raya. Kemudian Menteri Penerangan
mengadakan sayembara lambang negara pada tahun 1947. Akan tetapi
para peserta yang mengikuti kurang paham tentang sejarah dan pengertian
tentang tanda yang digunakan sebagai lambang negara.
Sehingga pada tanggal 27 Desember 1949, Konstitusi Republik
Indonesia Serikat mengatakan bahwa Indonesia perlu memiliki lambang
negara. Dan pada tanggal 10 Januari 1950 dibetuklah Panitia Lambang
Negara yang dikoordianatori oleh seorang Menteri Negara Zonder Porto
Folio Sultan Hamid II, dengan susunan panitia Muhammad Yamin (ketua),
Ki Hajar Dewantara (anggota), M.A. Pelleupessy (anggota), Mohammad
Natsir (anggota), R.M. Ng. Poerbatjaraka (anggota). Tugas dari panitia ini
adalah menilai dan menyeleksi usulan-usulan rancangan lambang negara
yang akan di ajukan kepada pemerintah.

339
Kemudian pada tahun 1950 seorang staf kementrian, yaitu Priyono
mengadakan Sayembara Lambang Negara. Pada sayembara ini terpilih
dua gambar terbaik, yaitu milik Sultan Hamid II dan milik Muhmmad Yamin.
Rancangan lambang negara milik Sultan Hamid II adalah burung Garuda
yang memegang perisai Pancasila, sedangkan rancangan milik Muhammad
Yamin adalah gambar Bulan Sabit yang menyerupai tanduk banteng.
Menurut Turiman (2014:125-126) rancangan lambang negara Sultan Hamid
II diterima oleh pemerintah, dikarenakan rancangan milik Muhammad
Yamin disengaja ataupun tidak menampakkan pengaruh Jepang, yaitu
terdapatnya sinar-sinar matahari.
Setelah terpilihnya rancangan lambang negara milik Sultan Hamid II,
terjadilah dialog intensif antara Sultan Hamid II dengan Presiden Soekarno
untuk menyempurnakan rancangan tersebut. Penyempurnaan yang
pertama adalah mengganti warna pita yang dicengkram Garuda, dari merah
putih menjadi putih dan ditulisi Bhinneka Tunggal Ika atas usulan dari
Soekarno dan Mohammad Hatta, karena warna merah putih sudah ada di
perisai Pancasila.
Namun tanggal 8 Februari 1950 muncul kritikan dari Mohmmad Natsir,
yang mewakili partai Islam, Masyumi untuk mempertimbangkan gambar
burung Garuda dengan bahu dan tangan manusia, karena terkesan
mitologis. Selain itu R.M. Ng. Poerbatjaraka juga memberikan kritikannya
terhadap jumlah ekor Garuda yang berjumlah tujuh, lalu M. Pellaupesy juga
memberikan usul untuk merubahnya menjadi delapan sebagai identitas
Proklamasi yaitu pada tanggal 17-08-1945.
Pada saat merancang lambang negara Indonesia Sultan Hamid II
mengacu pada Elang Rajawali karena berukuran besar seperti negara-
negara lain, dan tidak menggunakan Elang Jawa yang ukurannya lebih
kecil. Hal ini memiliki makna dan tujuan agar bangsa Indonesia bisa tumbuh
besar dan kuat seperti negara-negara lain di dunia.
Usulan lambang negara Indonesia yang diberikan Sultan Hamid II
mendapatkan resopon yang positif, sehingga semakin banyak yang
memberikan masukan untuk penyempurnaan bentuk dan figurnya. Hal ini
menyebabkan perubahan dari figur burung Garuda dari mitologi bangsa
Indonesia menjadi figur burung Elang Rajawali. Dan lambang negara
tersebut dinamai oleh Sultan Hamid II sebagai Burung Elang Rajawali
Garuda Pancasila atau disingkat menjadi Garuda Pancasila. Pada tanggal
10 Februari 1950 rancangan lambang negara tersebut diterima dalam siding
parlemen RIS, dan berselang sehari pada tanggal 11 Februari 1950
lambang negara tersebut diresmikan dalam sidang Kabinet RIS yang
dipimpin oleh Mohmmad Hatta selaku perdana menteri RIS. Akan tetapi
bentuk dari lambang negara Indonesia pada saat itu adalah burung Garuda
tanpa jambul dengan membawa perisai yang terbagi dalam lima ruang,
yang menggambarkan pada Pancasila. Kemudian pada tanggal 20 Februari
1950 saat sidang Parlemen RIS pertama, Presiden Soekarno
memperkenalkan gambar lambang negara Indonesia pertama kali di dalam
ruang sidang Parlemen RIS (sekarang menjadi Gedung Pancasila).
Setelah lambang negara Indonesia mengalami penyempurnaan pada
akhir Februari 1950, Presiden Soekarno kembali memberikan sarannya
agar bagian kepala diberikan jambul supaya tidak menyerupai lambang
negara Amerika Serikat. Selain itu, hal ini juga serupa dengan burung Elang

340
Rajawali yang ada di Pulau Jawa yang juga memiliki jambul. Tidak hanya
itu, Presiden Soekarno juga memberikan kritikan terhadap bentuk cakar
yang mencengkram pita bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika dari belakang
agar diubah dari depan.
Pada tanggal 20 Maret 1950 Presiden Soekarno memerintahkan Dullah
untuk melukis kembali penyempurnaan gambar lambang negara Indonesia
dengan menambahkan jambul dan juga merubah bentuk cakar kaki menjadi
di depan pita. Dan Presiden Soekarno juga memberikan perintah kepada
Sultan Hamid II selaku koordinator Panitia Lambang Negara untuk
menyempurnakan lambang negara dengan menambahkan tata warna dan
skala ukurannya.
Kemudian Dewan Menteri mengadakan rapat mengenai pengaturan
lambang negara yang diadakan pada tanggal 10 Juli 1951. Dalam rapat ini
menghasilkan rancangan Peraturan Pemerintahan yang mengatur lambang
negara berdasarkan pasal 3 ayat 3 Undang-Undang Dasar Sementara
1950. Dan kemudian pada tanggal 17 Agustus 1951 lambang negara
tersebut diresmikan pemakaiannya di seluruh Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sehingga pada hari yang sama pula Presiden Soekarno dan
Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjoyo menetapkan Peraturan
Pemerintahan No.66 tahun 1951 tentang Lambang Negara.
KESIMPULAN DAN SARAN
Di Goa Selomangleng ini terdapat relief Garudeya, relief Garudeya
tersebut berceritakan tentang perjuangan yang dilakukan oleh Garuda dalam
membebaskan ibunya, yaitu Dewi Winata dari belenggu perbudakan Dewi
Kadru, dan para ular naga. Cerita relief Garudeya sendiri digunakan sebagai
filosofi lambang negara Indonesia dikarenakan ceritanya yang mirip dengan
sejarah bangsa Indonesia. Dalam konteks cerita Garudeya, Dewi Winata yang
merupakan ibu Garuda diibaratkan sebagai ibu pertiwi yang harus dibebaskan
dari segala perbudakan (penjajahan). Selain itu, perjuangan yang dilakukan
oleh bangsa Indonesia dalam melawan penjajah demi kemerdekaan bangsa
juga memiliki makna sama seperti halnya Garuda yang berjuang dalam
pencarian tirta amerta untuk menebus ibunya dari perbudakan. Karena
kemiripan cerita tersebut akhirnya panitia lambang negara Indonesia
memutuskan untuk menggunakan Garuda sebagai lambang negara
Indonesia.
Rancangan lambang negara yang menggunakan burung Garuda
adalah usulan yang diberikan Sultan Hamid II selaku koordinator Panitia
Lambang Negara. Rancangan yang di usulkan oleh Sultan Hamid II ini adalah
burung Garuda yang memegang perisai Pancasila. Dalam prosesnya,
rancangan milik Sultan Hamid II ini mendapatkan banyak perubahan dari
usulan-usulan yang diberikan oleh para Panitia Lambang Negara, sekaligus
dari Presiden Soekarno. Perubahan ini merupakan bentuk penyesuaian yang
disesuaikan dengan keadaan dari bangsa Indonesia itu sendiri. Dengan
banyaknya perubahan yang terjadi, akhirnya pada tanggal 11 Februari 1950
lambang negara tersebut diresmikan. Dan pada tanggal 20 Februari 1950
lambang negara tersebut diperkenalkan oleh Presiden Soekarno. Meskipun
telah diresmikan dan diperkenalkan, masih terdapat perubahan dari usulan
Presiden Soekarno. Setelah proses penyempurnaan yang begitu panjang,

341
akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1951 lambang negara tersebut diresmikan
pemakaiannya di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan dari hasil penelitian mengenai cerita relief Garudeya yang
ada di Goa Selomangleng Kediri, maka peneliti memberikan saran sebagai
berikut :
1. Pemerintah
Bagi Pemerintah Kota Kediri hendaknya lebih memperhatikan
peninggalan sejarah yang ada agar warisan budaya tetap terjaga
keasliannya, dan tidak di rusak oleh orang tidak bertanggung jawab.
Sedangkan bagi lembaga yang mengelola Goa Selomangleng Kediri
supaya lebih meningkatkan kebersihan agar Goa Selomangleng Kediri
tetap terjaga, serta menambahkan tour guide supaya para pengunjung
yang datang dapat mengetahui tentang sejarah Goa Selomangleng
Kediri.
2. Masyarakat
Bagi masyarakat yang berkunjung ke Goa Selomangleng Kediri
hendaknya lebih meningkatkan kepeduliannya dengan cara menjaga
kebersihan dan tidak merusaknya, supaya kedepannya Goa
Selomangleng Kediri tetap terjaga keasliannya dan dapat digunakan
oleh generasi yang akan datang.
DAFTAR RUJUKAN

Budiono, Heru., Widiatmoko, Sigit., Budianto, Agus., Afandi, Zainal. 2018.


Inventaris Cagar Budaya Kecamatan Badas, Ngampeng Rejo,
Ngrogol dan Gurah Kabupaten Kediri. Jurnal ABDINUS, Universitas
Nusantara PGRI Kediri, 1(2): 127.
https://ojs.unpkediri.ac.id/index.php/PPM/article/view/11742
Herawati, Vinny Ratna., Budianto, Agus., Budiono, Heru. 2022. Dampak
Sosial Ekonomi Ritual Larung Sesaji di Kawah Gunung Kelud
Terhadap Masyarakat Setempat. Semdikjar 5 FKIP Universitas
Nusantara PGRI Kediri, 2022. Kediri: Universitas Nusantara PGRI
Kediri.
Islamii, Nadya Titah., Budiono, Heru., Widiatmoko, Sigit. 2021. Makna
Edukasi Relief Sri Tanjung di Candi Surowono, Desa Surowono,
Kecamatan Badas, Kabupaten Kediri. Prosiding Konseling Kearifan
Nusantara (KKN) 2 dan Call For Papers Program Studi Bimbingan
dan Konseling Universitas Nusantara PGRI Kediri, 2021. Kediri:
Universitas Nusantara PGRI Kediri.
Rahmawati, Femi Eka. 2019. Meneroka Garuda Pancasila dari Kisah
Garudeya. Malang: UB Press.
Restiyadi, Andri. 2009. Visualisasi Dimensi Kewaktuan dalam
Penggambaran Relief Cerita. Balai Arkeologi Medan, 24:102.
http://uilis.unsyiah.ac.id/serial/index.php?p=show_detail&id=21571

342
Tiarawanti, Riswanda., Yatmin., Widiatmoko, Sigit. 2022. Upaya
Melestarikan Candi Tegowangi sebagai Tempat Peninggalan
Bersejarah di Kediri. Semdikjar 5 FKIP Universitas Nusantara PGRI
Kediri, 2022. Kediri: Universitas Nusantara PGRI Kediri.
Turiman. 2014. Analisis Semiotika Hukum Terhadap Lambang Negara
Republik Indonesia. Jurnal Hukum dan Pembangunan, 44 (3):125
126. http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/26
Virdianti, Puput., Alrianingrum, Septina. 2014. Proses Penetapan Garuda
Pancasila Sebagai Lambang Negara Indonesia Tahun 1949-1951.
Avatara, e-Journal Pendidikan Sejarah, 2 (2): 61.
https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/avatara/article/view/7810
Widiatmoko, Sigit., Lestari, Siska Nurazizah., Wiratama, Nara Setya. 2020.
Peningkatan Keaktifan Mahasiswa Pendidikan Sejarah Dalam Mata
Kuliah Studi Observasi Melalui Kegiatan Lesson Study. Jurnal
Penelitian Pendidikan Sosial Humaniora, Universitas Muslim
Nusantara Al Washliyah, 1 (5): 8.
https://jurnal-lp2m.umnaw.ac.id/index.php/JP2SH/article/view/412
Windiani., Rahmawati, Farida Nurul. 2016. Menggunakan Metode Etnografi
Dalam Penelitian Sosial. Jurnal Sosiologi, 9 (2): 88.
https://journal.trunojoyo.ac.id/dimensi/article/view/3747
Wulandari, Revin Estika., Yatmin., Budianto, Agus. 2022. Goa Umbul Tuk
sebagai Tempat Wisata Bersejarah di Blitar Selatan. Semdikjar 5
FKIP Universitas Nusantara PGRI Kediri, 2022. Kediri: Universitas
Nusantara PGRI Kediri.
Yatmin., Afandi, Zainal. 2022. Studi Tentang Candi Ngetos Di Kabupaten
Nganjuk Ditinjau Dari Kajian Ikonografi. Efektor Jurnal Ilmiah, 9 (1):
67. https://ojs.unpkediri.ac.id/index.php/efektor-e/article/view/17516

343

You might also like