Penetapan Luas Lahan Optimum Usaha Tani
Penetapan Luas Lahan Optimum Usaha Tani
ABSTRACT
ABSTRAK
PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra
113
sawah, pertumbuhan penduduk, luas baku sawah, harga gabah, kebijakan pemerintah,
luas panen, jaringan irigasi, modal, dan pendapatan petani. Luas lahan minimal untuk
memenuhi kebutuhan hidup layak petani 0,73 ha KK-1 sedangkan luas lahan garapan
rata-rata 0,48 ha KK-1. Kontribusi pendapatan usahatani padi sawah terhadap kebutuhan
hidup layak sebesar 55,73 persen. Hasil simulasi kinerja skenario menunjukkan bahwa
provinsi NTB akan mengalami defisit produksi padi tahun 2017 apabila menjalankan
skenario pesimis. Berdasarkan potensi, kendala, dan peluang keberhasilan setiap
skenario, dapat disimpulkan bahwa skenario intervensi yang paling rasional adalah
skenario moderat dengan luas lahan sawah yang harus dipertahankan untuk mencapai
kemandirian pangan tahun 2023 minimal seluas 196.330 ha dari 239.127 ha tahun 2010,
pada tingkat kepercayaan 95 persen.
PENDAHULUAN
114
sedangkan ketahanan pangan lebih menekankan pada ketersediaan pangan
baik domestik maupun impor. Soekartawi menjelaskan empat komponen dalam
mewujudkan kemandirian pangan yaitu aspek kecukupan ketersediaan pangan,
aspek keberlanjutan stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim
ke musim atau dari tahun ke tahun, aspek aksesibilitas/keterjangkauan terhadap
pangan, serta aspek kualitas/keamanan pangan. Menurut Soekartawi, apapun
pengaruh global tidak boleh menabrak salah satu dari empat komponen
tersebut. Simatupang (2007) berpendapat bahwa kemandirian pangan menjadi
salah satu indikator pengukuran ketahanan pangan.
Perhatian pembangunan pertanian yang berkelanjutan menyebabkan
terjadinya beberapa perubahan yang menyangkut (1) meningkatnya perhatian
stakeholder akan pentingnya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan;
(2) terjadinya krisis pangan telah menyadarkan kita tentang konsekuensi yang
ditimbulkan tidak hanya konsekuensi ekologi, namun juga konsekuensi ekonomi
dan kerawanan sosial; (3) pemberdayaan para stakeholder yang menuntut
perlunya pandangan yang lebih luas (holistik) dalam pembangunan pertanian.
Menyadari hal tersebut, maka pembangunan pertanian selain
memperhatikan sustainability, juga harus didekati dengan pendekatan yang
menyeluruh terhadap seluruh dimensi yang berpengaruh, yaitu dimensi ekologi,
ekonomi, sosial, kebijakan dan kelembagaan, serta teknologi dan infrastruktur.
Pengalaman provinsi NTB hendaknya dapat dijadikan pelajaran berharga.
Pada era 70-an, daerah ini lebih dikenal sebagai daerah rawan pangan.
Penyebabnya selain ketidakmampuan daerah menyediakan pangan dalam
jumlah yang cukup, juga pembangunan pertanian pada umumnya masih
dilakukan dengan pendekatan yang parsial. Pada awal 80-an melalui introduksi
sistem tanam padi “Gogorancah/Gora“ dengan pendekatan menyeluruh melalui
“Operasi Tekad Makmur” berhasil meningkatkan produksi padi secara signifikan
dan mencapai swasembada beras tahun 1984. Momentum tersebut sekaligus
menghapuskan status NTB sebagai daerah rawan pangan (Tempo, 2010).
Hingga saat ini lahan sawah masih menjadi tumpuan utama sistem
produksi padi di NTB, karena lebih dari 90 persen produksi padi dihasilkan dari
lahan sawah. Pertambahan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan, dan
perkembangan industri, menyebabkan permintaan beras terus meningkat baik
untuk konsumsi langsung maupun untuk bahan baku industri. Tantangan utama
dalam penyediaan pangan saat ini dan dimasa yang akan datang adalah
ketersediaan sumber daya lahan yang makin langka (lack of resources), baik
luas maupun kualitasnya serta konflik penggunaannya (conflict of interest)
(Pasandaran, 2006). Lahan sawah tidak hanya diperlukan untuk proses produksi
padi, tetapi permintaan lahan sawah juga meningkat untuk memenuhi
kebutuhan pokok bukan pangan, seperti permukiman, industri, dan infrastruktur
lainnya. Hal ini menimbulkan permasalahan yang kompleks dan memacu
percepatan alih fungsi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian yang bersifat
permanen (irreversible) dan multiplikasi. Secara empiris, lahan sawah termasuk
PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra
115
lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi (Iqbal dan Sumaryanto,
2007). Kondisi demikian akan terus berlanjut, dan apabila tidak ada upaya
pengendalian dapat mengancam keberlanjutan kemandirian pangan.
Terjadinya penurunan produksi padi di NTB tahun 2010 sebesar 5,15
persen dari tahun sebelumnya menunjukkan bahwa dinamika dan kompleksitas
permasalahan tersebut diatas haruslah menjadi pertimbangan utama pentingnya
eksistensi lahan sawah dalam perspektif kemandirian pangan dan
kesejahteraan petani. Penelitian ini bertujuan menetapkan luas lahan optimum
usahatani padi sawah mendukung kemandirian pangan berkelanjutan di NTB. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai instrumen penunjang
keputusan bagi pengambil kebijakan dalam mewujudkan kemandirian pangan
berkelanjutan.
METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Kecukupan pangan adalah masalah hidup dan matinya suatu bangsa,
karenanya, harus tetap menjadi prioritas pembangunan nasional. Kementerian
Pertanian menetapkan empat target utama pembangunan pertanian 2010-2014
yaitu: (1) pencapaian swasembada yang berkelanjutan, (2) percepatan
diversifikasi pangan, (3) peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, dan
(4) peningkatan kesejahteraan petani (Mentan, 2010). Lahan pertanian terutama
lahan sawah memegang peranan penting dalam pencapaian swasembada/
kemandirian pangan dan kesejahteraan petani. Untuk mencapai kemandirian
yang berkelanjutan diperlukan luas lahan optimum usahatani padi sawah sesuai
dengan perkembangan teknologi dan dinamika permintaan konsumsi.
Sedangkan indikator utama kesejahteraan petani adalah terpenuhinya
kebutuhan hidup layak (KHL) minimal dari pendapatan usahatani. Hal ini sangat
tergantung dari luas lahan garapan dan besarnya pendapatan bersih yang
diperoleh dari usahatani dalam setahun.
Oleh karena itu, penyediaan konsumsi penduduk dan pemenuhan KHL
petani adalah dua hal pokok yang perlu mendapat perhatian. Determinan utama
produksi padi sawah adalah luas panen dan produktivitas, sedangkan kapasitas
produksi padi sawah diproyeksikan dari luas baku sawah, produktivitas dan
indeks pertanaman padi sawah (Badan Litbang Pertanian, 2005a).
Perluasan areal panen pada dasarnya dapat ditempuh melalui perluasan
areal sawah baru dan peningkatan indeks pertanaman. Akan tetapi perluasan
areal sawah baru terkendala oleh potensi lahan yang sangat terbatas. Demikian
pula perluasan areal panen melalui peningkatan indeks pertanaman dihadapkan
pada keterbatasan jaringan irigasi dan debit air. Upaya untuk meningkatkan
produksi padi melalui peningkatan produktivitas terhambat oleh kejenuhan
116
teknologi yang ditandai telah dicapainya batas maksimum potensi hasil varietas,
penurunan kualitas lahan karena terdegradasi, variabilitas iklim dan
meningkatnya serangan organisme pengganggu tanaman (Sumarno, 2006).
Peningkatan indeks pertanaman juga sangat dipengaruhi oleh tingkat
insentif yang masih rendah dari usahatani padi sawah. Rendahnya insentif yang
diterima dapat mempengaruhi keputusan petani untuk beralih ke usahatani
komoditas lain atau mencari sumber pendapatan lain di luar pertanian, sehingga
usahatani padi dapat dipandang sebagai alternatif terakhir. Keterbatasan
potensi lahan yang sesuai untuk lahan sawah berdasarkan hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa potensi lahan yang sesuai untuk sawah di NTB hanya
seluas 6.247 ha (Hidayat dan Ritung, 2008).
Ketergantungan sistem usahatani (on farm) pada penyediaan sarana
produksi (industri hulu) dan sistem pasar (hilir), serta kebijakan yang kurang
mendukung telah menyebabkan posisi tawar petani menjadi lemah. Diperlukan
pendekatan yang holistik dalam penyelesaian masalah kemandirian pangan
dengan melibatkan multisektor dan multidisipliner yang mencakup dimensi
ekologi, ekonomi, sosial, kebijakan dan kelembagaan, serta teknologi dan
infrastruktur. Kajian terhadap tiap dimensi sangat penting dalam menentukan
faktor-faktor yang menjadi determinan utama keberlanjutan sistem produksi padi
sawah untuk mencapai kemandirian pangan berkelanjutan di NTB.
PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra
117
pengalaman yang kompeten pada bidang yang dikaji; (b) memiliki reputasi,
kedudukan/jabatan dalam bidang yang dikaji; dan (c) kredibilitas tinggi,
bersedia, dan atau berada pada lokasi penelitian (Marimin, 2004).
Data sekunder dikumpulkan secara desk study dari berbagai sumber,
antara lain: BPS, dinas/Instansi terkait, BMKG, perguruan tinggi, lembaga
penelitian di daerah serta publikasi ilmiah, seperti buku, jurnal, disertasi, dan
laporan hasil penelitian.
Analisis Data
Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Sistem Produksi Padi Sawah
Analisis indeks dan status keberlanjutan sistem produksi padi sawah
dilakukan dengan menggunakan teknik Ordinasi Rap-Sisprodi (Rural Appraisal –
Sistem Produksi Padi) yaitu suatu teknik ordinasi yang dimodifikasi dari Rapfish.
Teknik Ordinasi Rapfish yaitu menentukan sesuatu pada urutan yang terukur
dengan metode Multidimensional Scaling (MDS) (Fauzi dan Anna, 2005).
Pendekatan MDS memberikan hasil yang stabil dibandingkan dengan metode
multivariate analysis lain (Pitcher and Preikshot, 2001). Dimensi yang dianalisis,
meliputi dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kebijakan dan kelembagaan, serta
dimensi teknologi dan infrastruktur. Indikator keberlanjutan tiap dimensi
diturunkan dari konsep pertanian berkelanjutan (Blakeney,1996; Saad, 1999
dan FAO, 2000).
Atribut tiap dimensi dan kriteria baik atau buruk mengikuti konsep
Fisheries Com (1999) dan Fisheries Center (2002) serta judgement knowladge
pakar/stakeholder. Tiap atribut yang kondisinya baik (good) diberikan skor 3,
sedangkan atribut yang kondisinya buruk (bad) diberi skor 0 (nol) dan di antara
kondisi baik dan buruk diberi skor antara 3 dan 0. Skor definitifnya adalah nilai
modus, yang dianalisis untuk menentukan titik-titik yang mencerminkan posisi
keberlanjutan relatif terhadap titik baik dan buruk dengan teknik Ordinasi
Statistik MDS. Skor perkiraan tiap dimensi dinyatakan dengan skala terburuk 0
persen (bad) sampai dengan yang terbaik 100 persen (good), yang
dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu: 0-25 persen adalah kategori
tidak berkelanjutan, 25,01-50 persen: kurang berkelanjutan, 50,01-75 persen:
cukup berkelanjutan dan 75,01-100 persen: berkelanjutan.
Teknik ordinasi atau penentuan jarak di dalam MDS didasarkan pada
Euclidian Distances yang dalam ruang berdimensi n dapat ditulis sebagai
berikut:
2 2 2
d x1 x2 y1 y2 z1 z2 ....... ............ (1)
Konfigurasi atau ordinasi dari suatu obyek atau titik di dalam MDS
kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak Euclidian (dij) dari titik i ke
titik j dengan titik asal (σ ij) sebagaimana persamaan berikut:
118
dij ij ( ....................................................................... 2)
2 2 2
m
d ijk o ijk
1 i j ....................................... (3)
s 4
m k 1 o ijk
i j
Goodness of fit dalam MDS dicerminkan dari besaran nilai Stress (S) dan
2 2
koefisien determinasi (R ). Nilai S yang baik <0,25, sedangkan nilai R yang baik
>80 persen atau mendekati 100 persen (Malhotra, 2006). Evaluasi pengaruh
galat acak (Error) dilakukan dengan analisis Monte Carlo untuk mengetahui:
pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut, pengaruh variasi pemberian skor,
stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang, kesalahan pemasukan,
atau hilangnya data (missing data). Nilai stress yang dapat diterima dari analisis
Monte Carlo <20 persen (Pitcher and Preikshot, 2001).
Nilai indeks dan status keberlanjutan multidimenasi serta bobot tiap
dimensi dihitung berdasarkan hasil analisis Rap-Sisprodi dan hasil penilaian
tingkat kepentingan (bobot) tiap dimensi terhadap kinerja keberlanjutan sistem
yang dikaji.
Analisis Kebutuhan
Analisis kebutuhan merupakan permulaan pengkajian dari suatu sistem
(Eriyatno, 1999; Hartrisari, 2007). Pada tahap ini diidentifikasi kebutuhan-
kebutuhan dari masing-masing pelaku sistem (stakeholders). Tiap pelaku
memiliki kebutuhan yang berbeda-beda yang dapat mempengaruhi kinerja
sistem. Pelaku mengharapkan kebutuhan tersebut dapat terpenuhi jika
mekanisme sistem dijalankan. Bila pelaku merasa bahwa mekanisme sistem
tidak dapat mengakomodasi kebutuhannya, maka pelaku sebagai komponen
PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra
119
sistem tidak akan menjalankan fungsinya secara optimal yang mengakibatkan
kinerja sistem terganggu.
Langkah awal dalam analisis kebutuhan adalah mendata stakeholder
yang terkait dalam sistem yang dikaji. Dalam penelitian ini ditentukan sebanyak
17 stakeholders kunci mewakili profesi petani, buruh tani, penyuluh, perangkat
desa, pedagang sarana produksi, dinas instansi terkait, peneliti, klimatologi, PU,
Bulog, kependudukan, pertanahan, konsumen, dan pakar. Setelah stakeholders
teridentifikasi, kemudian dianalisis kebutuhan masing-masing dengan teknik
Participatory Rural Appraisal (PRA) dan wawancara dengan pakar. Teknik PRA
adalah pendekatan dan metode yang memungkinkan masyarakat secara
bersama-sama menganalisis masalah kehidupan dalam rangka merumuskan
perencanaan/kebijakan secara nyata (Chambers, 1996).
Analisis prospektif
Analisis prospektif digunakan untuk menentukan faktor kunci dari atribut
atau faktor berdasarkan pengaruh atau tingkat ketergantungannya terhadap
pencapaian output yang diharapkan (Bourgeois and Jesus, 2004). Analisis
prospektif dilakukan melalui tiga tahapan analisis yaitu: pertama, penentuan
faktor-faktor kunci pada kondisi saat ini (existing condition) melalui analisis
indeks dan status keberlanjutan; kedua, penentuan faktor-faktor kunci melalui
analisis kebutuhan (need analysis), dan ketiga, penentuan faktor-faktor kunci
berdasarkan hasil analisis tahap pertama dan kedua. Hasil analisis prospektif
terlihat dalam diagram empat kuadran yang menggambarkan tingkat
kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem yang dikaji (Gambar
1).
120
Menurut Bourgeois and Jesus (2004), faktor penggerak (driving factors)
adalah faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kuat tetapi ketergantungannya
kurang kuat, sehingga termasuk ke dalam kategori faktor paling kuat dalam
sistem yang dikaji. Faktor penghubung (leverage factors), yaitu faktor yang
menunjukkan pengaruh dan ketergantungan yang kuat, sehingga faktor-faktor
ini sebagian dianggap sebagai faktor atau peubah yang kuat. Faktor terikat
(output factors), yaitu faktor yang mewakili output, faktor yang pengaruhnya kecil
tetapi ketergantungannya tinggi. Faktor bebas (marginal factors), yaitu faktor
yang pengaruh maupun tingkat ketergantungannya rendah, sehingga dalam
sistem bersifat bebas.
PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra
121
model sistem produksi dan struktur model permintaan konsumsi padi (Gambar 2
dan 3).
122
Validasi model menggunakan uji statistik Mean Absolut Percentage
Error/MAPE (Hauke et al., 2001; Muhammadi et al., 2001) dengan formula:
^
Y t Y t
1 n
MAPE ................................................. (6)
n i 1 Y 1
dimana:
Yt = nilai data aktual
Ŷt = nilai simulasi model
n = tahun/interval waktu
Kriteria ketepatan model dengan uji MAPE adalah: MAPE <5% (sangat
tepat); 5%<MAPE<10% (tepat), dan MAPE>10% (tidak tepat) (Hauke et al.,
2001). Untuk menyimpulkan apakah model yang dibangun merupakan
perwakilan dari realitas yang dikaji secara meyakinkan dilakukan validasi model.
Validasi model umumnya dilakukan dengan membandingkan perilaku dinamis
model dengan kondisi sistem nyata; apabila model telah dianggap valid, dapat
digunakan sebagai wakil sistem nyata (Eriyatno, 1999).
Untuk melihat parameter atau kombinasi parameter yang paling
berpengaruh terhadap kinerja model dilakukan analisis sensitivitas (Muhammadi
et al., 2001). Kriteria yang dipakai untuk menilai performa sensitivitas dalam
penelitian ini mengikuti kriteria Maani dan Cavana (2000). Parameter dikatakan
sensitif (sensitive) apabila diubah 10 persen dampaknya terhadap kinerja sistem
dapat mencapai 5-14 persen, sangat sensitif (very sensitive) bila dampaknya 15-
34 persen dan sangat sensitif (highly sensitive) bila dampaknya lebih besar dari
35 persen. Parameter yang sensitif dapat diperlakukan dalam skenario dan
strategi kebijakan.
PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra
123
paling rasional untuk mencapai tujuan yang diharapkan akan ditetapkan sebagai
skenario yang disarankan.
Ekologi
100
80 58,54
60
Teknologi & 40
Ekonomi
Infrastruktur 51,98
52,91 20
0
50,84
53,12
Kebijakan &
Sosial
Kelembagaan
124
Tabel 1. Nilai Bobot Dimensi terhadap Kinerja Sistem Produksi Padi Sawah di
NTB Tahun 2010
*)
Bobot Nilai Indeks Nilai Bobot
Dimensi Keberlanjutan
Ttb (%) Keberlanjutan Dimensi
Ekologi 38 58,54 22,24
Ekonomi 27 51,98 14,03
Sosial 14 50,84 7,12
Kebijakan & kelembagaan 13 53,12 6,91
Teknologi & infrastruktur 8 52,91 4,23
Jumlah 100 267,39 54,53
*)
Keterangan: Bobot Ttb = bobot tertimbang berdasarkan penilaian pakar n=7
PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra
125
penduduk memberikan dampak langsung terhadap eksistensi lahan sawah
untuk mencapai kemandirian pangan.
Sistem produksi padi sawah akan berjalan dengan baik apabila ditunjang
oleh kebijakan dan kelembagaan yang baik. Kebijakan dan kelembagaan ibarat
dua sisi sekeping mata uang yang sulit dipisahkan. Kebijakan yang baik tetapi
tidak didukung kelembagaan yang baik, tidak akan membawa proses
pembangunan mencapai hasil yang maksimal (Djogo et al., 2003). Kebijakan
adalah intervensi pemerintah untuk mencari cara pemecahan masalah dalam
proses pembangunan ke arah yang lebih baik. Sedangkan kelembagaan adalah
kelompok-kelompok sosial yang menjalankan fungsi tertentu masyarakat, baik
yang terbentuk oleh masyarakat itu sendiri maupun yang datang dari atas
(Syahyuti, 2006). Berbagai hasil kajian menunjukkan bahwa kegagalan
kebijakan dan kelembagaan sering menjadi penyebab fundamental kegagalan
pembangunan.
Teknologi dan infrastruktur berperan mempengaruhi tiap dimensi untuk
mencapai kinerja yang maksimal. Dalam sistem produksi padi, keterbatasan
teknologi ditunjukkan oleh terjadinya pelandaian produktivitas (levelling off),
yaitu suatu kondisi dimana penambahan per unit input hara yang tidak diikuti
oleh peningkatan produksi padi. Apabila input produksi seperti pupuk terus
ditambahkan justru mengakibatkan terjadinya penurunan produksi (low of
diminishing return) karena keterbatasan potensi hasil varietas dan kesuburan
lahan, sehingga pendapatan petani menjadi rendah. Teknologi yang unggul
ditandai sedikitnya empat syarat, yaitu secara teknis dapat diterapkan, secara
ekonomi menguntungkan, secara sosial diterima dan secara ekologi tidak
merusak lingkungan (FAO,1989; Harwood, 1987).
126
infrastruktur lainnya sangat besar peluangnya berubah fungsi ke penggunaan
nonpertanian. Kondisi tersebut diperkirakan terus berlanjut dan sulit dihentikan.
PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra
127
Pertambahan jumlah penduduk secara langsung berpengaruh terhadap
peningkatan permintaan konsumsi, sehingga diperlukan tambahan luas panen
padi sawah untuk meningkatan produksi padi. Jika produktivitas padi sawah
tetap seperti kondisi aktual sebesar 5,085 ton/ha, maka setiap pertambahan
1000 jiwa penduduk diperlukan tambahan luas panen padi sawah 48,37 ha.
Apabila IP padi sawah tetap seperti kondisi aktual 155 persen, maka tambahan
luas panen padi sawah yang diperlukan sekitar 31,20 ha. Bilamana laju
pertumbuhan penduduk 25 tahun ke depan konstan (1,67%/tahun atau 72.000
jiwa/tahun), maka tambahan lahan sawah yang dibutuhkan seluas 2.246
ha/tahun.
Kendala yang dihadapi dalam meningkatkan luas panen padi sawah
antara lain: (1) Marjin keuntungan usahatani padi lebih kecil dibandingkan
dengan marjin keuntungan kegiatan ekonomi produktif lainnya, sedangkan risiko
gagalnya cukup tinggi (low profit, high risk). Kondisi ini dapat ditunjukkan bahwa
para petani melaksanakan kegiatan produksi padi lebih dikarenakan tidak/belum
memiliki profesi lain. (2) Para investor tidak tertarik menanamkan modal dalam
kegiatan produksi padi, kecuali untuk komoditas yang mempunyai nilai ekonomi
tinggi atau yang berorientasi ekspor. (3) Penyediaan infrastruktur (irigasi,
transportasi), modal dan sarana produksi masih sangat terbatas, sehingga
meningkatkan biaya produksi dan distribusi.
128
pendapatan masyarakat di wilayah tersebut relatif lebih tinggi sebagai dampak
adanya industri tambang emas. Ketidakstabilan harga beras berpengaruh
terhadap KHL petani.
1)
Tabel 2. Kebutuhan Hidup Layak Petani di Tiga Lokasi Penelitian Tahun 2010
Lombok Sumbawa
Uraian Bima Rata-rata
Tengah Barat
-1
• Pengeluaran setara beras (kg
-1 -1 2)
kapita th ) 800 800 800 800
-1
• Harga beras kg 4.475 4.625 4.400 4.500
-1 3)
• Jumlah ART KK 3,51 3,73 3,77 3,67
-1 -1
KHL (Rp.jt KK tahun ) 12,566 13,801 13,270 13,212
1)
Keterangan: dimodifikasi dari Monde, 2008
2)
KFM 320 kg, pendidikan 160 kg, kesehatan 160 kg, dan sosial 160 kg
3)
jumlah anggota rumah tangga KK-1 (BPS, 2009).
Luas lahan garapan petani saat ini di tiga wilayah penelitian yang dihitung
berdasarkan rasio luas baku sawah dan jumlah petani ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Luas Lahan Garapan Petani Saat Ini di Tiga Lokasi Penelitian Tahun 2010
-1
Luas lahan garapan (ha KK )
Tipologi Lahan Sawah Lombok Sumbawa
Bima Rerata
Tengah Barat
Irigasi teknis 0,31 0,62 0,62 0,40
Irigasi 1/2 teknis 0,37 1,06 0,61 0,46
Tadah hujan 0,45 0,84 0,97 0,63
Rerata lokasi 0,36 0,77 0,74 0,48
PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra
129
2 2
dunia, seperti Vietnam adalah 986 m /kapita, China: 1.120 m /kapita, India:
2 2
1.590 m /kapita dan Thailand: 5.230 m /kapita (Pasaribu, 2009).
Pendapatan usahatani padi sawah akan mempengaruhi kemampuan
petani untuk memenuhi KHL. Hasil analisis pendapatan usahatani padi sawah di
tiga lokasi penelitian pada tiga tipologio lahan sawah, disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Pendapatan Usahatani Padi Sawah di Tiga Lokasi Penelitian Tahun 2010
Tabel 5. Kontribusi Pendapatan Usahatani Padi Sawah terhadap KHL Petani di Tiga
Lokasi Penelitian Tahun 2010
130
dari yang dilaporkan Badan Litbang Pertanian (2005b), bahwa sumbangan
pendapatan usahatani padi terhadap pendapatan rumah tangga petani
mencapai 25-35 persen. Rendahnya kontribusi pendapatan usahatani padi
sawah terhadap KHL petani di NTB terutama disebabkan luas lahan garapan
petani yang sempit (0,48 ha/KK) dan rendahnya indeks pertanaman padi (100-
155%).
Kontribusi pendapatan usahatani padi sawah yang terendah terjadi pada
lahan sawah tadah hujan (26,82%), disusul lahan sawah setengah teknis
(56,53%) dan tertinggi pada lahan sawah irigasi teknis (73,49%). Pada lahan
sawah tadah hujan tingkat produktivitas lebih rendah dibandingkan dengan pada
lahan irigasi, terutama karena faktor air yang terbatas, biaya usahatani lebih
tinggi dan indeks pertanaman padi hanya satu kali tanam/tahun, sebaliknya
pada lahan sawah irigasi teknis tingkat produktivitas padi lebih tinggi, IP padi
bisa ditingkatkan lebih dari 100 persen walaupun luas lahan garapan lebih
sempit.
Jika KHL tidak terpenuhi, berarti rumah tangga tersebut berada di bawah
garis kemiskinan. Hasil analisis tersebut memberikan gambaran bahwa
diperkirakan seluruh petani pada lahan sawah tadah hujan tidak dapat
memenuhi KHL-nya apabila hanya mengandalkan pendapatannya dari
usahatani padi sawah, 88 persen petani pada lahan sawah setengah teknis dan
65 persen petani pada lahan sawah irigasi teknis. Kenyataan tersebut
memberikan gambaran bagi setiap pengambil kebijakan bahwa sebagian besar
petani di perdesaan masih berada di bawah garis kemiskinan.
Untuk memenuhi KHL petani maka luas lahan minimal yang harus
dikelola petani di tiga wilayah penelitian disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Luas Lahan Minimal Usahatani Padi Sawah untuk Memenuhi KHL Petani di
Tiga Lokasi Penelitian Tahun 2010
131
areal sawah mengingat potensi lahan yang sesuai untuk lahan sawah sudah
maksimal. Alternatif yang memungkinkan Lm dapat dicapai adalah peningkatan
indeks pertanaman hingga 300 persen, peningkatan produktivitas dan
peningkatan efisiensi usahatani, serta pemberian insentif berupa subsidi sarana
produksi 100 persen.
Lm yang lebih luas dari luas lahan garapan menunjukkan tingkat
pendapatan petani yang lebih rendah. Lm yang lebih sempit dari luas lahan
garapan hanya terjadi pada tipologi lahan sawah irigasi teknis di Kabupaten
Sumbawa Barat dan Bima, masing-masing 0,62 ha berbanding 0,54 ha dan 0,62
ha berbanding 0,54 ha. Jika Lm lebih luas dari lahan garapan, petani harus
meningkatkan pendapatan usahataninya. Peningkatan pendapatan usahatani
padi sawah dapat dilakukan antara lain melalui peningkatan produktivitas,
efisiensi usahatani dan peningkatan indeks pertanaman padi. Jika hal tersebut
tidak memungkinkan, maka petani harus mencari sumber pendapatan lain baik
dari aktivitas off farm maupun non farm.
132
Gambar 6. Neraca Produksi dan Konsumsi Padi NTB pada Tahun 2023
Berdasarkan Skenario Pesimis, Moderat, dan Optimis.
.
Tabel 7. Intervensi yang Dilakukan pada Tiap Skenario untuk Mencapai Kemandirian
*)
Pangan 2023
Tahun
Skenario/Peubah **)
2008 2013 2018 2023
Skenario Pesimis
Konversi lahan sawah (%) 4,07 3,50 3,50 3,50
IP padi sawah (%) 155,00 160,00 185,00 200,00
Luas panen padi ladang (ribu ha) 53,46 83,46 113,46 143,46
***)
Luas komoditas lain (ribu ha) 38,64 39,91 41,22 42,58
Skenario Moderat
Konversi lahan sawah (%) 4,07 2,80 2,80 2,80
IP padi sawah (%) 155,00 165,00 175,00 185,00
Luas panen padi ladang (ribu ha) 53,46 73,46 93,46 113,46
***)
Luas komoditas lain (ribu ha) 38,64 39,91 41,22 42,58
Skenario Optimis
Konversi lahan sawah (%) 4,07 2,20 2,20 2,20
IP padi sawah (%) 155,00 165,00 175,00 185,00
Luas panen padi ladang (ribu ha) 53,46 60,96 68,46 75,96
***)
Luas komoditas lain (ribu ha) 38,64 39,91 41,22 42,58
*)
Hasil olah data dengan Powersim 2.5d **) Kondisi awal tahun 2008 ***)
Trend 2001-2008
PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra
133
ditingkatkan menjadi 185 persen dan areal panen padi ladang ditingkatkan
menjadi 75.960 ha.
Sintesis dari potensi, kendala, dan peluang keberhasilan tiap skenario
tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Pencapaian kemandirian pangan melalui skenario pesimis, akan
menghadapi hambatan dalam meningkatkan IP padi sawah menjadi 200
persen karena keterbatasan sumber daya air, infrastruktur jaringan irigasi,
motivasi petani, dan risiko ketidakpastian iklim. Data pada Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah NTB 2009 – 2013, menunjukkan
bahwa dalam kurun waktu 15 tahun sejak 1985-2000 teridentifikasi
sebanyak 440 titik mata air yang hilang. Saat ini jumlah titik mata air yang
tersisa sekitar 230 titik, sebagai dampak kerusakan hutan yang semakin
tidak terkendali. Demikian pula perluasan areal padi ladang seluas 143.460
ha tidak akan mencapai sasaran, karena potensi lahan yang sesuai untuk
areal padi ladang di NTB sekitar 137.600 ha (Hidayat dan Ritung, 2008).
b. Skenario moderat memiliki potensi dan peluang keberhasilan pada setiap
intervensi yang dilakukan. Pengendalian konversi lahan sawah menjadi 2,8
persen, memiliki peluang keberhasilan lebih besar dibandingkan dengan
skenario optimis. Peningkatan IP padi menjadi 185 persen dan perluasan
areal padi ladang 113.460 ha peluang keberhasilannya lebih besar
dibandingkan dengan skenario pesimis
c. Skenario optimis diperkirakan akan menghadapi kendala dalam pencapaian
pengendalian konversi lahan sawah sebesar 2,2 persen/tahun, mengingat
NTB saat ini tengah membangun berbagai infrastruktur pendukung untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pilihan yang paling rasional
(the most reasonable scenario) adalah skenario moderat. Intervensi peningkatan
IP padi menjadi 185 persen mempunyai peluang cukup besar apabila ditunjang
oleh perluasan jaringan irigasi teknis. Demikan halnya dengan perluasan areal
padi ladang menjadi 113.460 ha, dari sisi potensi masih cukup tersedia. Secara
kuantitatif hasil simulasi kinerja skenario moderat disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 memperlihatkan bahwa penurunan luas baku sawah sebesar 2,8
persen/tahun dari luas baku sawah 239.127 ha pada tahun 2010, secara
langsung memberikan pengaruh pada penurunan luas panen padi sawah
sebesar 28,55 persen. Apabila luas lahan sawah untuk penggunaan komoditas
selain padi meningkat mengikuti kecenderungan tahun 2001-2008, maka
diperkirakan luas baku sawah untuk usahatani padi seluas 153.750 ha. Dengan
penambahan areal padi ladang menjadi 113.460 ha dan asumsi tingkat
produktivitas padi sawah dan ladang mengikuti tren 2001-2008, yaitu 59 kw/ha
dan 39 kw/ha pada tahun 2023, maka neraca produksi padi diperkirakan akan
surplus sebesar 5,45 persen. Target produktivitas tersebut masih jauh di bawah
potensi hasil varietas.
134
Tabel 8. Kinerja Skenario Moderat dengan Strategi Peningkatan IP dan Perluasan Areal
*)
Padi Ladang pada Tahun 2023
Tahun
Peubah **)
2008 2013 2018 2023
Konversi lahan sawah (%) 4,07 2,8 2,8 2,8
Luas baku sawah (ribu ha) 230,99 201,36 176,12 153,75
Luas komoditas lain (ribu ha) 38,64 39,91 41,22 42,58
IP padi sawah (%) 155 165 175 185
Luas panen padi sawah (ribu ha) 298,14 266,39 236,07 205,67
Produksi padi sawah (juta ton) 1,52 1,42 1,33 1,21
Luas padi ladang (ribu ha) 53,46 73,46 93,46 113,46
Produksi padi ladang (juta ton) 0,19 0,27 0,36 0,45
Produksi total NTB (juta ton) 1,75 1,68 1,67 1,65
Konsumsi (juta ton GKG) 1,31 1,42 1,52 1,56
Surplus (%) 25,14 15,47 8,98 5,45
*) **) ***)
Hasil olah data dengan Powersim 2.5 Kondisi awal tahun 2008 Trend 2001-2008
Kesimpulan
Status sistem produksi padi sawah di NTB adalah cukup berkelanjutan
dengan nilai indeks 54,53 persen. Dimensi yang memiliki bobot tertinggi adalah
dimensi ekologi, diikuti ekonomi, sosial, kebijakan dan kelembagaan, serta
teknologi dan infrastruktur. Faktor-faktor yang berpengaruh adalah pertumbuhan
penduduk, konversi lahan sawah, luas baku sawah, luas panen padi, harga
gabah, kebijakan dan kelembagaan, teknologi dan jaringan irigasi, modal, dan
pendapatan petani.
PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra
135
Kebutuhan hidup layak petani NTB sebesar Rp.13.212.000/KK/tahun,
sedangkan pendapatan bersih yang diperoleh dari hasil usahatani padi sawah
sebesar Rp.15.351.206/ha/tahun. Dengan luas lahan garapan petani saat ini
rata-rata 0,48 ha/KK, sedangkan kebutuhan lahan minimal seluas 0,73 ha KK,
maka kontribusi pendapatan usahatani padi sawah terhadap kebutuhan hidup
layak petani hanya 55,73 persen. Ada dua opsi untuk memenuhi kebutuhan
hidup layak petani, yaitu opsi pertama melalui perluasan areal sawah baru dan
opsi kedua melalui peningkatan pendapatan petani. Berdasarkan potensi yang
ada opsi pertama peluangnya sangat kecil, sehingga opsi kedua menjadi pilihan
yang lebih rasional. Peningkatan pendapatan petani dapat dilakukan melalui
optimalisasi pemanfaatan lahan, peningkatan produktivitas dan efisiensi,
perluasan jaringan irigasi, serta penciptaan sumber pendapatan baru dari
aktivitas off farm maupun non farm.
NTB akan mengalami defisit produksi padi mulai tahun 2017 apabila tidak
dilakukan perbaikan intervensi yang tepat. Berdasarkan potensi, kendala, dan
peluang keberhasilan, maka skenario yang paling rasional untuk mencapai
kemandirian pangan tahun 2023 adalah skenario moderat dengan luas lahan
usahatani padi sawah yang harus dipertahankan seluas 196.330 ha dengan asumsi
produktivitas padi sawah dapat mencapai lebih dari 6,0 ton/ha, dan indeks
pertanaman padi 185 persen. Strategi utama yang harus dilakukan adalah
mengendalikan konversi lahan sawah, menekan laju pertumbuhan penduduk,
menurunkan konsumsi beras/kapita/tahun, dan meningkatkan pendapatan
usahatani padi sawah.
136
DAFTAR PUSTAKA
PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra
137
Eriyatno, 1999. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid 1. Edisi
Ketiga IPB Press.
FAO.1989. Sustainable Development and Natural Resources Management. Twenty-Fifth
Conference, Paper C 89/2 simp 2, Food and Agriculture Organization, Rome.
FAO. 1998. Guidelines for National Food Insecurity and Vulnerability Information and
Mapping Systems (FIVIMS): Background and Principles. Committee on World
Food Security CFS: 98/5, 24 th Session, 2-5 June 1998. Food and Agriculture
Organization, Rome.
FAO. 2000. Selected Indicators of Food and Agriculture Development in Asia Pasific
Region, 1989 – 1999, FAO Regional Office For Asian and The Pasific, Bangkok, Thailand.
Fauzi A dan S Anna, 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Untuk
Analisis Kebijakan. Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fisheries Centre. 2002. Attributes of Rapfish Analysis for Ecological, Technological,
Economic, Social and Ethical Evaluation Fields. Institute of Social and Economic
Research Press. St John’s Canada.
Fisheries. Com. 1999. Rapfish Project. http:/fisheries.com/project/rapfish.htm. Generated
9 April 2010.
Forrester, J.W. 1965. A New Corporate Design. Industrial Management Review 7 (1) 5-
17. Collected Papers of Jay W Forrester.
Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik. Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan
Lingkungan. SEAMEO BIOTROP. Bogor.
Harwood, R. R. 1987. Low Input Technologies for Sustainable Agricultural System. In:
V.W. Ruttan and C.E.Pray. (Eds.). Policy for Agricultural Research West View
Press., Boulder, Colorado, USA.
Hauke, J.E., D.W. Wicharn, A.Y. Reitch. 2001. Business Forecasting. Practises – Hall.
Inc. New Jersey.
Hidayat, A. dan S. Ritung. 2008. Prospek Perluasan Lahan Untuk Padi Sawah dan Padi
Gogo di Indonesia. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1, No. 4, Desember 2008:
25-38.
Iqbal, M. dan Sumaryanto. 2007. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian
Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian.
Volume 5 No. 2, Juni 2007 : 167-182. Bogor.
Maani, K.E. dan Cavana.R.Y. 2000. System Thinking and Modeling Understanding
Change and Complexity. Pearson Education New Zealand Limited. Aucckland.
Malhotra, N. K. 2006. Riset Pemasaran: Pendekatan Terapan. PT Indeks Gramedia.
Jakarta.
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo.
Jakarta.
[Mentan] Menteri Pertanian RI. 2010. Sambutan Menteri Pertanian Pada Launching
Gerakan Kemandirian Pangan di Desa Kuripan Selatan, Kecamatan Kuripan,
Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, 30 Januari 2010. Mataram.
138
Muhammadi, E. Aminullah dan B, Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamik: Lingkungan
Hidup Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta.
Monde A. 2008. Dinamika Kualitas Tanah, Erosi dan Pendapatan Petani Akibat Alih
Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian dan Kakao/Agroforestry Kakao di
DAS Nompu, Sulawesi Tengah [Disertasi] Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor.
Pasandaran, E. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah
Beririgasi di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 25 (4): 123-129.
Pasaribu, B. 2009. Peran Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Menunjang Tata Ruang dan Kedaulatan Pangan. Bahan Presentasi yang
disampaikan pada Lokakarya Pembaruan Agraria Pertanian Nasional pada 3
September 2009 di Jakarta.
Peraturan Pemerintah RI. No. 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan.
Pitcher, T.J. and Preikshot, D.B. 2001. Rapfish: A Rapid Appraisal Technique to Evaluate
the Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research 49(3): 255-270
Reijntjes, C., B. Harverkort dan A. W. Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan: Pengantar
untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Edisi Indonesia.
Kanisius (Anggota IKAPI) Yogyakarta.
Saad, M.B. 1999. Food Security for the Food Insecure. New Challenges and Renewed
Commitment. Center for Development Studies. University College Dublin,
Ireland.
Sajogjo. 1977. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. LPSP. IPB. Bogor.
Simatupang, P. 2007. Analisis Kritis Terhadap Paradigma dan Kerangka Dasar Kebijakan
Ketahanan Pangan Nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 25 No.
1, Juli 2007 : 1 – 18.
Sinukaban, N. 2007. Membangun Pertanian Menjadi Industri yang Lestari dengan
Pertanian Konservasi. Di dalam: N. Sinukaban, Konservasi Tanah dan Air,
Kunci Pembangunan Berkelanjutan. Direktorat Jenderal RLPS, Jakarta.
Soekartawi. 2008. Mewujudkan Kemandirian Pangan. Artikel dimuat di Koran Jakarta,
halaman 4, 31 Oktober 2008
Sumarno. 2006. Sistem Produksi Padi Berkelanjutan dengan Penerapan Revolusi Hijau
Lestari. Buku I. Pros. Seminar Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor,
14-15 September 2006.
Suryana, A. 2005. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Andalan Pembangunan
Nasional. Makalah pada Seminar Sistem Pertanian Berkelanjutan untuk Mendu-
kung Pembangunan Nasional, 15 Pebruari 2005 di Universitas Sebelas Maret
Solo.
Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian:
Penjelasan tentang “Konsep, Istilah, Teori dan Indikator serta Variabel”. PT.
Bina Rena Pariwara. Jakarta. 262 hal.
Tasrif, M. 2004. Model Simulasi Untuk Analisis Kebijakan. Pendekatan Metodologi
System Dinamics. Kelompok Penelitian dan Pengembangan Energi. Institut
Teknologi Bandung. Bandung.
PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra
139
Tempo. 2010. Tanah Gora Menuju Bumi Sejuta Sapi. http://bataviase.co.id/. Generated
30 Juni 2010.
Undang Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan.
Undang Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan.
140
Lampiran.
Tabel 9. Hasil Analisis Usahatani Padi pada Tiga Tipologi Lahan Sawah di Tiga Wilayah
Penelitian (ha/tahun) Tahun 2010
Lombok Sumbawa
Tipologi Lahan Sawah Bima Rata-Rata
Tengah Barat
Irigasi Teknis
1) 2) 2)
- Produksi (ton) 11,87 17,89 13,74 14,50
- Nilai Produksi (Rp) 35.753.509 46.929.490 34.130.102 38.937.700
- Biaya Usahatani (Rp) 9.667.286 19.427.217 14.314.392 14.469.632
- Pendapatan (Rp) 26.086.223 27.502.273 19.815.710 24.468.069
- R/C 3,70 2,41 2,39 2,83
Irigasi Setengah teknis
- Produksi (ton) 10,56 10,75 8,27 9,86
- Nilai Produksi (Rp) 27.190.045 20.800.202 21.912.783 23.301.010
- Biaya Usahatani (Rp) 7.256.299 7.751.969 6.564.065 7.190.778
- Pendapatan (Rp) 19.933.745 13.048.233 15.348.718 16.110.232
- R/C 3,75 2,70 3,33 3,24
Tadah Hujan
- Produksi (ton) 4,52 3,56 3,99 4,02
- Nilai Produksi (Rp) 9.208.017 9.170.424 10.959.756 10.431.573
- Biaya Usahatani (Rp) 4.575.274 3.871.027 4.144.828 4.197.043
- Pendapatan (Rp) 4.632.744 5.299.397 6.814.928 5.582.356
- R/C 2,01 2,37 2,64 2,33
Rata-Rata Lokasi
- Produksi (ton) 9,98 10,04 8,67 9,23
- Nilai Produksi (Rp) 23.783.857 26.059.675 22.067.547 23.970.360
- Biaya Usahatani (Rp) 7.166.286 10.350.071 8.341.095 8.619.151
- Pendapatan (Rp) 16.617.571 15.709.604 13.726.452 15.351.206
- R/C 3,12 2,54 2,75 2,80
1) 2)
IP Padi 200% IP Padi 300%
PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra
141
Tabel 10. Nilai Stress dan Koefisien Determinasi Multidimensi
Tabel 11. Perbandingan Nilai Paramater antara Data Aktual dengan Output Simulasi
dalam Validasi Model Periode 2001-2008
142
Persamaan matematis faktor-faktor yang membentuk struktur model
PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra
143
aux Swhpdi = Bakuswh-Swhnonpdi
aux Benihldngtotal = (Benihldng*Nenladang)/1000
aux Benihswhtotal = (Benihswh*Nenpdiswh)/1000
aux Drjtmandiri = ProduksiNTB-KonsumsiNTB
aux Gap = ProduksiNTB-KonsumsiNTB.
aux GrosprodNTB = Prodpdiswh+Prodladang
const F_Impor = -1
aux Impor = IF(Gap*F_Impor<0,0,Gap*F_Impor)*1000
aux Nenladang = Pdldng*IP_Padildng
aux Nenpdiswh = IP_Pdiswh/100*Swhpdi
aux Prodhilang = Galnen*Prtvpdiswh
aux Prodladang = Nenladang*Prtvldng
aux Prodpdiswh = (Prtvpdiswh*Nenpdiswh)
aux ProduksiNTB = GrosprodNTB-(Benihswhtotal+ Benihldngtotal-
(F_KonverGKG*GrosprodNTB)-Tercecer-Prodhilang)
144
const F_Kematian = 0.011
const F_Kons_Kap = 0
const F_Konversi_Beras = 1.4
const F_Stock = 0.0328
const F_Tercecer = 0.06
PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra
145