0% found this document useful (0 votes)
18 views33 pages

Penetapan Luas Lahan Optimum Usaha Tani

Uploaded by

Ahmad Fatanah
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
18 views33 pages

Penetapan Luas Lahan Optimum Usaha Tani

Uploaded by

Ahmad Fatanah
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 33

PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI

PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN


BERKELANJUTAN DI NUSA TENGGARA BARAT

c¡ ¡‒« ‹\ ›‹?¢›‒ nfi «·« k\‹ `‒¡\?›¢ q ¦¡ e\‒« ‹£ h‹?n‒ ¡‒


›?r·fifi›‒ r· \ ‹\ ¡ e›› r¡ ¢Lr·¢¢ ¦ ¡‹¦„ ‹ v¡ ?m· \
s¡‹££\‒\
1 2 2 2 3
Nazam, M , S. Sabiham , B. Pramudya , Widiatmaka dan I W. Rusastra
1
Peneliti Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB; 2Guru Besar dan Lektor Muda pada
Institut Pertanian Bogor; dan 3Professor Riset pada PSE-KP Bogor

ABSTRACT

Food self-sufficiency is currently a complicated issue and it can’t be solved partially.


Determining an optimum land area size for rice farming to support sustainable food self-
sufficiency is a strategic means. This study aims to determine the optimum land area size for
rice farming to support sustainable food self-sufficiency in the Province of West Nusa
Tenggara (NTB). The research uses the methods of multi-dimensional scaling, prospective
analysis, farmers’ basic needs analysis, and a dynamic model using Powersim 2.5d validated
by MAPE. The results showed that the index value of rice production system is 54.53% which
is relatively sustainable. The most influential factors are land conversion, population growth,
standard paddy-field area, rice price, government policy, harvested area, irrigation network,
capital, and farmers’ income. Minimum land area to meet farmers’ basic needs in NTB is 0.73
ha per household. On the other hand, current farmers’ land holding average is 0.48 ha per
household. Contribution of households’ income from rice farming to meet their basic needs is
55.73%. Using a pessimistic scenario, it shows that NTB will have a rice deficit by 2017. The
most rational scenario to achieve rice self-sufficiency in this province is based on a moderate
scenario, i.e. maintaining land area for rice farm of 196,330 hectares in 2023 out of 239,127
hectares in 2010.

Key words: rice, paddy field, food self- reliance, sustainability

ABSTRAK

Mencukupi kebutuhan pangan masih merupakan masalah yang kompleks,


sehingga tidak bisa dipecahkan secara parsial. Penetapan luas lahan optimum usahatani
padi sawah adalah langkah strategis untuk mencapai kemandirian pangan secara
berkelanjutan. Penelitian bertujuan menetapkan luas lahan optimum usahatani padi
sawah mendukung kemandirian pangan berkelanjutan di NTB. Analisis yang digunakan
meliputi analisis indeks dan status keberlanjutan dengan metode Multi-dimensional
Scaling, analisis prospektif, analisis kebutuhan hidup layak petani, dan formulasi struktur
model dinamik menggunakan Powersim 2.5d yang divalidasi uji MAPE. Hasil analisis
menunjukkan nilai indeks sistem produksi padi sawah di NTB 54,53 persen dengan
status cukup berkelanjutan. Faktor yang paling berpengaruh adalah konversi lahan

PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra

113
sawah, pertumbuhan penduduk, luas baku sawah, harga gabah, kebijakan pemerintah,
luas panen, jaringan irigasi, modal, dan pendapatan petani. Luas lahan minimal untuk
memenuhi kebutuhan hidup layak petani 0,73 ha KK-1 sedangkan luas lahan garapan
rata-rata 0,48 ha KK-1. Kontribusi pendapatan usahatani padi sawah terhadap kebutuhan
hidup layak sebesar 55,73 persen. Hasil simulasi kinerja skenario menunjukkan bahwa
provinsi NTB akan mengalami defisit produksi padi tahun 2017 apabila menjalankan
skenario pesimis. Berdasarkan potensi, kendala, dan peluang keberhasilan setiap
skenario, dapat disimpulkan bahwa skenario intervensi yang paling rasional adalah
skenario moderat dengan luas lahan sawah yang harus dipertahankan untuk mencapai
kemandirian pangan tahun 2023 minimal seluas 196.330 ha dari 239.127 ha tahun 2010,
pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Kata kunci: padi, lahan sawah, kemandirian pangan, keberlanjutan

PENDAHULUAN

Padi masih merupakan komoditas strategis yang memiliki sensitivitas


tinggi dari aspek politis, ekonomi, dan kerawanan sosial, karena padi adalah
pangan pokok lebih dari 95 persen penduduk (Suryana, 2005). Disamping itu
usahatani padi adalah penyerap tenaga kerja dan sumber pendapatan lebih dari
45 persen penduduk NTB (BPS NTB, 2009). Memenuhi kebutuhan pangan
pokok adalah hak azasi yang harus dijamin oleh negara dan masyarakat (FAO,
1998, Byron, 1988, UU No.7 Tahun 1996 dan PP No. 68 Tahun 2002). Dalam
kerangka Millenium Developement Goals/MDGs, pemerintah berkewajiban
menurunkan angka kemiskinan dan kekurangan pangan sebanyak 50% dari
kondisi 1990 pada tahun 2015.
Kemandirian pangan adalah salah satu determinan lingkungan
perekonomian yang stabil dan kondusif bagi pembangunan. Kemandirian
pangan adalah terpenuhinya kebutuhan pangan secara mandiri dengan
memberdayakan modal manusia, modal sosial dan ekonomi yang dimiliki
(sumber daya lokal) dan berdampak kepada peningkatan kehidupan sosial dan
ekonomi petani dan masyarakat (Syahyuti, 2006; Soekartawi, 2008). Dalam UU
No. 41 Tahun 2009 dinyatakan bahwa kemandirian pangan adalah kemampuan
produksi pangan dalam negeri yang didukung kelembagaan ketahanan pangan
yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup di tingkat
rumah tangga, baik dalam jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang
terjangkau, yang didukung oleh sumber pangan yang beragam sesuai dengan
keragaman lokal.
Kemandirian pangan dan ketahanan pangan adalah dua istilah yang
sesungguhnya mempunyai pengertian yang sama, perbedaannya hanya terletak
pada sumber bahan pangan. Kemandirian pangan identik dengan konsep
swasembada pangan yang saat ini menjadi salah satu target pembangunan
pertanian. Kemandirian pangan menekankan sumber pangan domestik,

Jurnal Agro Ekonomi, Volume 29 No.2, Oktober 2011 : 113 – 145

114
sedangkan ketahanan pangan lebih menekankan pada ketersediaan pangan
baik domestik maupun impor. Soekartawi menjelaskan empat komponen dalam
mewujudkan kemandirian pangan yaitu aspek kecukupan ketersediaan pangan,
aspek keberlanjutan stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim
ke musim atau dari tahun ke tahun, aspek aksesibilitas/keterjangkauan terhadap
pangan, serta aspek kualitas/keamanan pangan. Menurut Soekartawi, apapun
pengaruh global tidak boleh menabrak salah satu dari empat komponen
tersebut. Simatupang (2007) berpendapat bahwa kemandirian pangan menjadi
salah satu indikator pengukuran ketahanan pangan.
Perhatian pembangunan pertanian yang berkelanjutan menyebabkan
terjadinya beberapa perubahan yang menyangkut (1) meningkatnya perhatian
stakeholder akan pentingnya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan;
(2) terjadinya krisis pangan telah menyadarkan kita tentang konsekuensi yang
ditimbulkan tidak hanya konsekuensi ekologi, namun juga konsekuensi ekonomi
dan kerawanan sosial; (3) pemberdayaan para stakeholder yang menuntut
perlunya pandangan yang lebih luas (holistik) dalam pembangunan pertanian.
Menyadari hal tersebut, maka pembangunan pertanian selain
memperhatikan sustainability, juga harus didekati dengan pendekatan yang
menyeluruh terhadap seluruh dimensi yang berpengaruh, yaitu dimensi ekologi,
ekonomi, sosial, kebijakan dan kelembagaan, serta teknologi dan infrastruktur.
Pengalaman provinsi NTB hendaknya dapat dijadikan pelajaran berharga.
Pada era 70-an, daerah ini lebih dikenal sebagai daerah rawan pangan.
Penyebabnya selain ketidakmampuan daerah menyediakan pangan dalam
jumlah yang cukup, juga pembangunan pertanian pada umumnya masih
dilakukan dengan pendekatan yang parsial. Pada awal 80-an melalui introduksi
sistem tanam padi “Gogorancah/Gora“ dengan pendekatan menyeluruh melalui
“Operasi Tekad Makmur” berhasil meningkatkan produksi padi secara signifikan
dan mencapai swasembada beras tahun 1984. Momentum tersebut sekaligus
menghapuskan status NTB sebagai daerah rawan pangan (Tempo, 2010).
Hingga saat ini lahan sawah masih menjadi tumpuan utama sistem
produksi padi di NTB, karena lebih dari 90 persen produksi padi dihasilkan dari
lahan sawah. Pertambahan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan, dan
perkembangan industri, menyebabkan permintaan beras terus meningkat baik
untuk konsumsi langsung maupun untuk bahan baku industri. Tantangan utama
dalam penyediaan pangan saat ini dan dimasa yang akan datang adalah
ketersediaan sumber daya lahan yang makin langka (lack of resources), baik
luas maupun kualitasnya serta konflik penggunaannya (conflict of interest)
(Pasandaran, 2006). Lahan sawah tidak hanya diperlukan untuk proses produksi
padi, tetapi permintaan lahan sawah juga meningkat untuk memenuhi
kebutuhan pokok bukan pangan, seperti permukiman, industri, dan infrastruktur
lainnya. Hal ini menimbulkan permasalahan yang kompleks dan memacu
percepatan alih fungsi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian yang bersifat
permanen (irreversible) dan multiplikasi. Secara empiris, lahan sawah termasuk

PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra

115
lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi (Iqbal dan Sumaryanto,
2007). Kondisi demikian akan terus berlanjut, dan apabila tidak ada upaya
pengendalian dapat mengancam keberlanjutan kemandirian pangan.
Terjadinya penurunan produksi padi di NTB tahun 2010 sebesar 5,15
persen dari tahun sebelumnya menunjukkan bahwa dinamika dan kompleksitas
permasalahan tersebut diatas haruslah menjadi pertimbangan utama pentingnya
eksistensi lahan sawah dalam perspektif kemandirian pangan dan
kesejahteraan petani. Penelitian ini bertujuan menetapkan luas lahan optimum
usahatani padi sawah mendukung kemandirian pangan berkelanjutan di NTB. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai instrumen penunjang
keputusan bagi pengambil kebijakan dalam mewujudkan kemandirian pangan
berkelanjutan.

METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran
Kecukupan pangan adalah masalah hidup dan matinya suatu bangsa,
karenanya, harus tetap menjadi prioritas pembangunan nasional. Kementerian
Pertanian menetapkan empat target utama pembangunan pertanian 2010-2014
yaitu: (1) pencapaian swasembada yang berkelanjutan, (2) percepatan
diversifikasi pangan, (3) peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, dan
(4) peningkatan kesejahteraan petani (Mentan, 2010). Lahan pertanian terutama
lahan sawah memegang peranan penting dalam pencapaian swasembada/
kemandirian pangan dan kesejahteraan petani. Untuk mencapai kemandirian
yang berkelanjutan diperlukan luas lahan optimum usahatani padi sawah sesuai
dengan perkembangan teknologi dan dinamika permintaan konsumsi.
Sedangkan indikator utama kesejahteraan petani adalah terpenuhinya
kebutuhan hidup layak (KHL) minimal dari pendapatan usahatani. Hal ini sangat
tergantung dari luas lahan garapan dan besarnya pendapatan bersih yang
diperoleh dari usahatani dalam setahun.
Oleh karena itu, penyediaan konsumsi penduduk dan pemenuhan KHL
petani adalah dua hal pokok yang perlu mendapat perhatian. Determinan utama
produksi padi sawah adalah luas panen dan produktivitas, sedangkan kapasitas
produksi padi sawah diproyeksikan dari luas baku sawah, produktivitas dan
indeks pertanaman padi sawah (Badan Litbang Pertanian, 2005a).
Perluasan areal panen pada dasarnya dapat ditempuh melalui perluasan
areal sawah baru dan peningkatan indeks pertanaman. Akan tetapi perluasan
areal sawah baru terkendala oleh potensi lahan yang sangat terbatas. Demikian
pula perluasan areal panen melalui peningkatan indeks pertanaman dihadapkan
pada keterbatasan jaringan irigasi dan debit air. Upaya untuk meningkatkan
produksi padi melalui peningkatan produktivitas terhambat oleh kejenuhan

Jurnal Agro Ekonomi, Volume 29 No.2, Oktober 2011 : 113 – 145

116
teknologi yang ditandai telah dicapainya batas maksimum potensi hasil varietas,
penurunan kualitas lahan karena terdegradasi, variabilitas iklim dan
meningkatnya serangan organisme pengganggu tanaman (Sumarno, 2006).
Peningkatan indeks pertanaman juga sangat dipengaruhi oleh tingkat
insentif yang masih rendah dari usahatani padi sawah. Rendahnya insentif yang
diterima dapat mempengaruhi keputusan petani untuk beralih ke usahatani
komoditas lain atau mencari sumber pendapatan lain di luar pertanian, sehingga
usahatani padi dapat dipandang sebagai alternatif terakhir. Keterbatasan
potensi lahan yang sesuai untuk lahan sawah berdasarkan hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa potensi lahan yang sesuai untuk sawah di NTB hanya
seluas 6.247 ha (Hidayat dan Ritung, 2008).
Ketergantungan sistem usahatani (on farm) pada penyediaan sarana
produksi (industri hulu) dan sistem pasar (hilir), serta kebijakan yang kurang
mendukung telah menyebabkan posisi tawar petani menjadi lemah. Diperlukan
pendekatan yang holistik dalam penyelesaian masalah kemandirian pangan
dengan melibatkan multisektor dan multidisipliner yang mencakup dimensi
ekologi, ekonomi, sosial, kebijakan dan kelembagaan, serta teknologi dan
infrastruktur. Kajian terhadap tiap dimensi sangat penting dalam menentukan
faktor-faktor yang menjadi determinan utama keberlanjutan sistem produksi padi
sawah untuk mencapai kemandirian pangan berkelanjutan di NTB.

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi NTB pada tahun 2010. Penelitian
bersifat makro pada agregasi Provinsi NTB. Tiga Kabupaten, yaitu Lombok
Tengah, Sumbawa Barat dan Bima, dipilih sebagai lokasi pengambilan data
primer, masing- masing mewakili karakteristik wilayah Pulau Lombok, Wilayah
Sumbawa dan Wilayah Dompu dan Bima. Tiap kabupaten diwakili tiga kelompok
tani masing-masing mewakili tipologi lahan sawah irigasi teknis, semi teknis, dan
tadah hujan. Pemilihan lokasi dilakukan secara multistage stratified random
sampling. Tiap kelompok tani diwakili 15 orang petani sebagai responden yang
dipilih secara acak.

Jenis dan Sumber Data


Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer
dikumpulkan dengan metode survei melalui teknik wawancara mendalam (in-
depth interview) dengan menggunakan daftar pertanyaan. Penentuan peubah
atau atribut yang berpengaruh dari setiap dimensi sistem produksi padi sawah
berdasarkan pada judgement knowladge dari para pakar/stakeholder yang
diperkuat dengan data dan informasi faktual serta diturunkan dari konsep
pembangunan berkelanjutan (Blakeney, 1996; Saad, 1999 dan FAO, 2000).
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara, konsultasi,
Brainstorming atau Focus Group Discussion (FGD). Kriteria pemilihan pakar: (a)

PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra

117
pengalaman yang kompeten pada bidang yang dikaji; (b) memiliki reputasi,
kedudukan/jabatan dalam bidang yang dikaji; dan (c) kredibilitas tinggi,
bersedia, dan atau berada pada lokasi penelitian (Marimin, 2004).
Data sekunder dikumpulkan secara desk study dari berbagai sumber,
antara lain: BPS, dinas/Instansi terkait, BMKG, perguruan tinggi, lembaga
penelitian di daerah serta publikasi ilmiah, seperti buku, jurnal, disertasi, dan
laporan hasil penelitian.

Analisis Data
Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Sistem Produksi Padi Sawah
Analisis indeks dan status keberlanjutan sistem produksi padi sawah
dilakukan dengan menggunakan teknik Ordinasi Rap-Sisprodi (Rural Appraisal –
Sistem Produksi Padi) yaitu suatu teknik ordinasi yang dimodifikasi dari Rapfish.
Teknik Ordinasi Rapfish yaitu menentukan sesuatu pada urutan yang terukur
dengan metode Multidimensional Scaling (MDS) (Fauzi dan Anna, 2005).
Pendekatan MDS memberikan hasil yang stabil dibandingkan dengan metode
multivariate analysis lain (Pitcher and Preikshot, 2001). Dimensi yang dianalisis,
meliputi dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kebijakan dan kelembagaan, serta
dimensi teknologi dan infrastruktur. Indikator keberlanjutan tiap dimensi
diturunkan dari konsep pertanian berkelanjutan (Blakeney,1996; Saad, 1999
dan FAO, 2000).
Atribut tiap dimensi dan kriteria baik atau buruk mengikuti konsep
Fisheries Com (1999) dan Fisheries Center (2002) serta judgement knowladge
pakar/stakeholder. Tiap atribut yang kondisinya baik (good) diberikan skor 3,
sedangkan atribut yang kondisinya buruk (bad) diberi skor 0 (nol) dan di antara
kondisi baik dan buruk diberi skor antara 3 dan 0. Skor definitifnya adalah nilai
modus, yang dianalisis untuk menentukan titik-titik yang mencerminkan posisi
keberlanjutan relatif terhadap titik baik dan buruk dengan teknik Ordinasi
Statistik MDS. Skor perkiraan tiap dimensi dinyatakan dengan skala terburuk 0
persen (bad) sampai dengan yang terbaik 100 persen (good), yang
dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu: 0-25 persen adalah kategori
tidak berkelanjutan, 25,01-50 persen: kurang berkelanjutan, 50,01-75 persen:
cukup berkelanjutan dan 75,01-100 persen: berkelanjutan.
Teknik ordinasi atau penentuan jarak di dalam MDS didasarkan pada
Euclidian Distances yang dalam ruang berdimensi n dapat ditulis sebagai
berikut:
2 2 2
d x1 x2 y1 y2 z1 z2 ....... ............ (1)

Konfigurasi atau ordinasi dari suatu obyek atau titik di dalam MDS
kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak Euclidian (dij) dari titik i ke
titik j dengan titik asal (σ ij) sebagaimana persamaan berikut:

Jurnal Agro Ekonomi, Volume 29 No.2, Oktober 2011 : 113 – 145

118
dij ij ( ....................................................................... 2)

Teknik yang digunakan untuk meregresikan persamaan di atas adalah


Algoritma ALSCAL (Alder et al.,2000 dalam Fauzi dan Anna, 2005). Metode ini
adalah yang paling sesuai untuk Rapfish dan mudah tersedia pada tiap software
statistika (SPSS dan SAS). Metode ALSCAL mengoptimisasi jarak kuadrat
(square distance = dijk) terhadap data kuadrat (titik asal = oijk), yang dalam tiga
dimensi (i, j, k) ditulis dalam formula yang disebut S-Stress sebagai berikut:

2 2 2
m
d ijk o ijk
1 i j ....................................... (3)
s 4
m k 1 o ijk
i j

Jarak kuadrat merupakan jarak Euclidian yang dibobot atau ditulis:


r
2 2
d k w ka x ia x ja ............................................................. (4)
a 1

Goodness of fit dalam MDS dicerminkan dari besaran nilai Stress (S) dan
2 2
koefisien determinasi (R ). Nilai S yang baik <0,25, sedangkan nilai R yang baik
>80 persen atau mendekati 100 persen (Malhotra, 2006). Evaluasi pengaruh
galat acak (Error) dilakukan dengan analisis Monte Carlo untuk mengetahui:
pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut, pengaruh variasi pemberian skor,
stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang, kesalahan pemasukan,
atau hilangnya data (missing data). Nilai stress yang dapat diterima dari analisis
Monte Carlo <20 persen (Pitcher and Preikshot, 2001).
Nilai indeks dan status keberlanjutan multidimenasi serta bobot tiap
dimensi dihitung berdasarkan hasil analisis Rap-Sisprodi dan hasil penilaian
tingkat kepentingan (bobot) tiap dimensi terhadap kinerja keberlanjutan sistem
yang dikaji.

Analisis Kebutuhan
Analisis kebutuhan merupakan permulaan pengkajian dari suatu sistem
(Eriyatno, 1999; Hartrisari, 2007). Pada tahap ini diidentifikasi kebutuhan-
kebutuhan dari masing-masing pelaku sistem (stakeholders). Tiap pelaku
memiliki kebutuhan yang berbeda-beda yang dapat mempengaruhi kinerja
sistem. Pelaku mengharapkan kebutuhan tersebut dapat terpenuhi jika
mekanisme sistem dijalankan. Bila pelaku merasa bahwa mekanisme sistem
tidak dapat mengakomodasi kebutuhannya, maka pelaku sebagai komponen
PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra

119
sistem tidak akan menjalankan fungsinya secara optimal yang mengakibatkan
kinerja sistem terganggu.
Langkah awal dalam analisis kebutuhan adalah mendata stakeholder
yang terkait dalam sistem yang dikaji. Dalam penelitian ini ditentukan sebanyak
17 stakeholders kunci mewakili profesi petani, buruh tani, penyuluh, perangkat
desa, pedagang sarana produksi, dinas instansi terkait, peneliti, klimatologi, PU,
Bulog, kependudukan, pertanahan, konsumen, dan pakar. Setelah stakeholders
teridentifikasi, kemudian dianalisis kebutuhan masing-masing dengan teknik
Participatory Rural Appraisal (PRA) dan wawancara dengan pakar. Teknik PRA
adalah pendekatan dan metode yang memungkinkan masyarakat secara
bersama-sama menganalisis masalah kehidupan dalam rangka merumuskan
perencanaan/kebijakan secara nyata (Chambers, 1996).

Analisis prospektif
Analisis prospektif digunakan untuk menentukan faktor kunci dari atribut
atau faktor berdasarkan pengaruh atau tingkat ketergantungannya terhadap
pencapaian output yang diharapkan (Bourgeois and Jesus, 2004). Analisis
prospektif dilakukan melalui tiga tahapan analisis yaitu: pertama, penentuan
faktor-faktor kunci pada kondisi saat ini (existing condition) melalui analisis
indeks dan status keberlanjutan; kedua, penentuan faktor-faktor kunci melalui
analisis kebutuhan (need analysis), dan ketiga, penentuan faktor-faktor kunci
berdasarkan hasil analisis tahap pertama dan kedua. Hasil analisis prospektif
terlihat dalam diagram empat kuadran yang menggambarkan tingkat
kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem yang dikaji (Gambar
1).

Gambar 1. Tingkat Kepentingan Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap


Kinerja Sistem yang Dikaji

Jurnal Agro Ekonomi, Volume 29 No.2, Oktober 2011 : 113 – 145

120
Menurut Bourgeois and Jesus (2004), faktor penggerak (driving factors)
adalah faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kuat tetapi ketergantungannya
kurang kuat, sehingga termasuk ke dalam kategori faktor paling kuat dalam
sistem yang dikaji. Faktor penghubung (leverage factors), yaitu faktor yang
menunjukkan pengaruh dan ketergantungan yang kuat, sehingga faktor-faktor
ini sebagian dianggap sebagai faktor atau peubah yang kuat. Faktor terikat
(output factors), yaitu faktor yang mewakili output, faktor yang pengaruhnya kecil
tetapi ketergantungannya tinggi. Faktor bebas (marginal factors), yaitu faktor
yang pengaruh maupun tingkat ketergantungannya rendah, sehingga dalam
sistem bersifat bebas.

Penetapan Luas Lahan Optimum Usahatani Padi Sawah


Luas lahan optimum usahatani padi sawah dalam penelitian ini ditentukan
melalui dua pendekatan, yaitu (1) pendekatan pengeluaran untuk memenuhi
KHL petani dan (2) pendekatan neraca produksi dan konsumsi (supply and
demand) untuk kemandirian pangan. Jumlah pendapatan bersih yang harus
diperoleh petani untuk memenuhi KHLnya adalah setara dengan nilai tukar 800
kg beras/kapita/tahun, dengan rincian: 320 kg untuk memenuhi kebutuhan fisik
minimum (KFM), seperti pangan, papan dan pakaian, 160 kg untuk pendidikan,
-1
160 kg untuk kesehatan dan 160 kg untuk memenuhi kebutuhan sosial kapita
-1
tahun (Sajogjo, 1977 dan Sinukaban, 2007). Estimasi kebutuhan lahan minimal
(Lm) usahatani padi sawah dihitung dengan rumus Monde (2008):
Lm = KHL/Pb ........................................................................................... (5)
dimana:
Lm = luas lahan minimal (ha)
-1 -1
KHL = kebutuhan hidup layak petani (Rp KK tahun )
-1 -1
Pb = pendapatan bersih usahatani (Rp ha tahun )

Pendekatan neraca produksi dan permintaan konsumsi untuk tujuan


peramalan (forecasting) kemandirian pangan 2023 diformulasikan dalam
struktur model dinamik. Kata optimum diterjemahkan sebagai kondisi, tingkatan
atau jumlah yang paling baik atau paling cocok untuk suatu situasi tertentu
(Reintjes et al., 1999). Sedangkan model adalah abstraksi dari realitas yang
memperlihatkan hubungan langsung atau tidak langsung serta timbal balik atau
hubungan sebab akibat (Eriyatno, 1999). Biasanya model dibangun untuk tujuan
peramalan dan evaluasi kebijakan, yaitu menyusun strategi perencanaan
kebijakan dan memformulasikan kebijakan (Tasrif, 2004). Menurut Forrester
(1965), untuk menghindari kerumitan yang menyulitkan dalam menjelaskan
proses yang terjadi sesungguhnya, maka dipilih variabel paling sensitif. Dua
struktur model dirancang untuk memudahkan dalam perhitungan, yaitu struktur

PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra

121
model sistem produksi dan struktur model permintaan konsumsi padi (Gambar 2
dan 3).

Gambar 2. Struktur Model Sistem Produksi Padi di NTB

Gambar 3. Struktur Model Permintaan Konsumsi Padi di NTB

Jurnal Agro Ekonomi, Volume 29 No.2, Oktober 2011 : 113 – 145

122
Validasi model menggunakan uji statistik Mean Absolut Percentage
Error/MAPE (Hauke et al., 2001; Muhammadi et al., 2001) dengan formula:
^
Y t Y t
1 n
MAPE ................................................. (6)
n i 1 Y 1

dimana:
Yt = nilai data aktual
Ŷt = nilai simulasi model
n = tahun/interval waktu
Kriteria ketepatan model dengan uji MAPE adalah: MAPE <5% (sangat
tepat); 5%<MAPE<10% (tepat), dan MAPE>10% (tidak tepat) (Hauke et al.,
2001). Untuk menyimpulkan apakah model yang dibangun merupakan
perwakilan dari realitas yang dikaji secara meyakinkan dilakukan validasi model.
Validasi model umumnya dilakukan dengan membandingkan perilaku dinamis
model dengan kondisi sistem nyata; apabila model telah dianggap valid, dapat
digunakan sebagai wakil sistem nyata (Eriyatno, 1999).
Untuk melihat parameter atau kombinasi parameter yang paling
berpengaruh terhadap kinerja model dilakukan analisis sensitivitas (Muhammadi
et al., 2001). Kriteria yang dipakai untuk menilai performa sensitivitas dalam
penelitian ini mengikuti kriteria Maani dan Cavana (2000). Parameter dikatakan
sensitif (sensitive) apabila diubah 10 persen dampaknya terhadap kinerja sistem
dapat mencapai 5-14 persen, sangat sensitif (very sensitive) bila dampaknya 15-
34 persen dan sangat sensitif (highly sensitive) bila dampaknya lebih besar dari
35 persen. Parameter yang sensitif dapat diperlakukan dalam skenario dan
strategi kebijakan.

Skenario dan Strategi


Guna memudahkan perumusan strategi dan opsi kebijakan, disusun tiga
skenario alternatif, yaitu skenario pesimis, moderat, dan optimis. Skenario
disusun berdasarkan tingkat intervensi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
sistem yang dikaji untuk mencapai sasaran. Skenario pesimis yaitu skenario
dengan tingkat intervensi/perbaikan yang terbatas terhadap faktor-faktor kunci,
sebagian besar faktor kunci berlangsung seperti kondisi aktual. Skenario
moderat yaitu skenario dengan tingkat intervensi yang lebih moderat/lebih
intensif, masih terdapat beberapa faktor berlangsung seperti kondisi aktual.
Sedangkan skenario optimis adalah skenario dengan tingkat intervensi
maksimal, yaitu melakukan perubahan fundamental/revolusi secara menyeluruh
terhadap faktor-faktor yang berpengaruh dengan tetap mempertimbangkan
potensi, kendala, dan peluang keberhasilan. Hasil simulasi kinerja skenario yang

PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra

123
paling rasional untuk mencapai tujuan yang diharapkan akan ditetapkan sebagai
skenario yang disarankan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Nilai Indeks dan Status Keberlanjutan Sistem Produksi Padi Sawah


Nilai indeks dan status keberlanjutan sistem produksi padi sawah di NTB
pada tahun 2010 dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kebijakan dan kelembagaan
serta dimensi teknologi dan infrastruktur divisualisasikan dalam bentuk diagram
layang-layang (kite diagram), ditunjukkan Gambar 4.

Ekologi
100
80 58,54
60
Teknologi & 40
Ekonomi
Infrastruktur 51,98
52,91 20
0

50,84
53,12
Kebijakan &
Sosial
Kelembagaan

Gambar 4. Diagram Layang-layang Keberlanjutan Multidimensi Sistem Produksi


Padi Sawah di NTB Tahun 2010

Gambar 4 memperlihatkan nilai indeks tiap dimensi sistem produksi pada


sawah di NTB antara 50 – 75 persen pada skala keberlanjutan 0-100 dengan
status cukup berkelanjutan. Nilai indeks tertinggi adalah dimensi ekologi, disusul
kebijakan dan kelembagaan, teknologi dan infrastruktur, dimensi ekonomi dan
yang terendah dimensi sosial. Nilai indeks yang rendah menunjukkan kondisi
paling lemah, sehingga perlu perhatian lebih besar untuk meningkatkan
statusnya. Sedangkan nilai bobot dimensi yang menunjukkan tingkat
kepentingannya terhadap kinerja sistem produksi padi sawah di NTB, disajikan
pada Tabel 1.

Jurnal Agro Ekonomi, Volume 29 No.2, Oktober 2011 : 113 – 145

124
Tabel 1. Nilai Bobot Dimensi terhadap Kinerja Sistem Produksi Padi Sawah di
NTB Tahun 2010
*)
Bobot Nilai Indeks Nilai Bobot
Dimensi Keberlanjutan
Ttb (%) Keberlanjutan Dimensi
Ekologi 38 58,54 22,24
Ekonomi 27 51,98 14,03
Sosial 14 50,84 7,12
Kebijakan & kelembagaan 13 53,12 6,91
Teknologi & infrastruktur 8 52,91 4,23
Jumlah 100 267,39 54,53
*)
Keterangan: Bobot Ttb = bobot tertimbang berdasarkan penilaian pakar n=7

Tabel 1 menunjukkan bahwa total nilai bobot seluruh dimensi sebesar


54,53 persen, berada pada selang 50,01-75,00 dengan status cukup
berkelanjutan. Dimensi ekologi memiliki bobot tertinggi (22,24%) dalam
mempengaruhi kinerja sistem produksi padi sawah di NTB, disusul dimensi
ekonomi (14,03%), sosial (7,12%), kebijakan dan kelembagaan (6,91%), dan
infrastruktur dan teknologi (4,23%). Nilai bobot yang tinggi menunjukkan tingkat
kepentingannya terhadap kinerja sistem yang dikaji juga tinggi dibandingkan
dimensi lain, sehingga perlu mendapatkan prioritas penanganannya. Di wilayah
beriklim kering perhatian terhadap dimensi ekologi akan memberikan dampak
yang cukup besar terhadap dimensi ekonomi dan sosial. Mempertahankan
eksistensi usahatani padi sawah berperan sebagai penyangga kestabilan
ekonomi dalam keadaan kritis dan berkaitan langsung dengan upaya
pengentasan kemiskinan (poverty alleviation).
Eksistensi lahan sawah juga berfungsi sebagai stabilisasi kualitas
lingkungan (mitigasi banjir, pengendali erosi tanah, pemelihara pasokan air
tanah, penambat karbon, penyejuk dan penyegar udara, pendaur ulang sampah
organik, dan pemelihara keanekaragaman hayati), serta pemelihara nilai sosial
budaya dan daya tarik perdesaan (rural amenity) (Agus dan Husein, 2005).
Ancaman yang sangat serius dari dimensi ekologi adalah variabilitas iklim, laju
konversi lahan sawah, degradasi lahan dan air, serta kerusakan jaringan irigasi.
Besarnya insentif ekonomi usahatani padi sawah juga dapat menentukan
keputusan petani untuk mempertahankan eksistensi sawah sebagai aset
produktif memperoleh pendapatan. Indikator utama dimensi ekonomi adalah
tingkat efisiensi, daya saing, besaran dan pertumbuhan nilai tambah, dan
stabilitas ekonomi petani.
Dari aspek sosial, tekanan penduduk terhadap eksistensi lahan sawah
dalam bentuk fragmentasi lahan maupun alih fungsi lahan sawah khususnya
untuk permukiman. Oleh karena itu, upaya pengendalian pertumbuhan

PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra

125
penduduk memberikan dampak langsung terhadap eksistensi lahan sawah
untuk mencapai kemandirian pangan.
Sistem produksi padi sawah akan berjalan dengan baik apabila ditunjang
oleh kebijakan dan kelembagaan yang baik. Kebijakan dan kelembagaan ibarat
dua sisi sekeping mata uang yang sulit dipisahkan. Kebijakan yang baik tetapi
tidak didukung kelembagaan yang baik, tidak akan membawa proses
pembangunan mencapai hasil yang maksimal (Djogo et al., 2003). Kebijakan
adalah intervensi pemerintah untuk mencari cara pemecahan masalah dalam
proses pembangunan ke arah yang lebih baik. Sedangkan kelembagaan adalah
kelompok-kelompok sosial yang menjalankan fungsi tertentu masyarakat, baik
yang terbentuk oleh masyarakat itu sendiri maupun yang datang dari atas
(Syahyuti, 2006). Berbagai hasil kajian menunjukkan bahwa kegagalan
kebijakan dan kelembagaan sering menjadi penyebab fundamental kegagalan
pembangunan.
Teknologi dan infrastruktur berperan mempengaruhi tiap dimensi untuk
mencapai kinerja yang maksimal. Dalam sistem produksi padi, keterbatasan
teknologi ditunjukkan oleh terjadinya pelandaian produktivitas (levelling off),
yaitu suatu kondisi dimana penambahan per unit input hara yang tidak diikuti
oleh peningkatan produksi padi. Apabila input produksi seperti pupuk terus
ditambahkan justru mengakibatkan terjadinya penurunan produksi (low of
diminishing return) karena keterbatasan potensi hasil varietas dan kesuburan
lahan, sehingga pendapatan petani menjadi rendah. Teknologi yang unggul
ditandai sedikitnya empat syarat, yaitu secara teknis dapat diterapkan, secara
ekonomi menguntungkan, secara sosial diterima dan secara ekologi tidak
merusak lingkungan (FAO,1989; Harwood, 1987).

Faktor-Faktor Kunci Keberlanjutan Sistem Produksi Padi Sawah


Hasil analisis prospektif terhadap faktor-faktor sensitif hasil analisis MDS
dan analisis kebutuhan diperoleh sembilan faktor yang paling berpengaruh
terhadap kinerja sistem produksi padi sawah untuk mencapai kemandirian
pangan di NTB, ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5 memperlihatkan bahwa terdapat sembilan faktor kunci sistem
produksi padi sawah di NTB, diantaranya tiga faktor merupakan faktor
penggerak yaitu konversi lahan sawah, pertumbuhan penduduk dan luas baku
sawah; dan enam faktor sebagai faktor penghubung, yaitu harga gabah,
kebijakan pemerintah, luas panen, jaringan irigasi, modal, dan pendapatan
petani.
Konversi lahan sawah merupakan driver factor yang menjadi ancaman
serius kemandirian pangan, karena dampaknya bersifat permanen, multiplikasi,
dan terus berlanjut. Lahan sawah yang telah dikonversi ke penggunaan non-
pertanian sangat kecil peluangnya untuk berubah kembali menjadi lahan sawah.
Selanjutnya, lahan sawah yang berada di dekat permukiman, industri atau

Jurnal Agro Ekonomi, Volume 29 No.2, Oktober 2011 : 113 – 145

126
infrastruktur lainnya sangat besar peluangnya berubah fungsi ke penggunaan
nonpertanian. Kondisi tersebut diperkirakan terus berlanjut dan sulit dihentikan.

Gambar 5. Tingkat Kepentingan Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap


Kinerja Sistem Produksi Padi Sawah di NTB Tahun 2010

Pencetakan sawah baru tidak dengan sendirinya dapat mengkompensasi


kehilangan produksi padi sawah yang terkonversi. Diperlukan waktu sekitar 10
tahun agar lahan sawah bukaan baru dapat berproduksi secara optimal (Asyik,
1996; Pasandaran, 2006). Menurut Agus dan Irawan (2006), tiap hektar lahan
sawah yang dikonversi diperlukan 2,20 ha lahan sawah baru agar kehilangan
produksi dapat tertutupi. Lahan sawah bukaan baru memiliki sifat dan ciri tanah
porus, kandungan bahan organik rendah, lapisan top soil sangat tipis, dan
seringkali dijumpai lapisan padas di permukaan tanah. Kendala lainnya adalah
keterbatasan jaringan irigasi dan tenaga kerja (BPTP NTB, 2002). Kondisi
demikian menyebabkan produktivitas lahan sawah bukaan baru menjadi rendah.
Hasil penelitian di Sumbawa menunjukkan produktivitas padi pada lahan sawah
bukaan baru berkisar 0,8 – 2,3 ton GKP/ha/musim (BPTP Sumbar, 2010).
Dalam periode 1999-2008, pertambahan luas baku sawah di NTB seluas
20.391 ha (0,97%/tahun) yang merupakan resultante pencetakan sawah baru
seluas 106.129 ha (5,03%/tahun) dan konversi lahan sawah seluas 85.733 ha
(4,07%/tahun). Lahan sawah irigasi teknis bertambah 23.632 ha dan mengalami
konversi seluas 10.372 ha atau meningkat 2,10 persen/tahun. Lahan sawah
irigasi setengah teknis bertambah 16.403 ha dan berkurang seluas 15.794 ha
atau meningkat 0,08 persen/tahun dan sawah tadah hujan bertambah seluas
36.157 ha, tetapi terjadi pengurangan seluas 32.146 ha atau meningkat 1,32
persen/tahun.

PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra

127
Pertambahan jumlah penduduk secara langsung berpengaruh terhadap
peningkatan permintaan konsumsi, sehingga diperlukan tambahan luas panen
padi sawah untuk meningkatan produksi padi. Jika produktivitas padi sawah
tetap seperti kondisi aktual sebesar 5,085 ton/ha, maka setiap pertambahan
1000 jiwa penduduk diperlukan tambahan luas panen padi sawah 48,37 ha.
Apabila IP padi sawah tetap seperti kondisi aktual 155 persen, maka tambahan
luas panen padi sawah yang diperlukan sekitar 31,20 ha. Bilamana laju
pertumbuhan penduduk 25 tahun ke depan konstan (1,67%/tahun atau 72.000
jiwa/tahun), maka tambahan lahan sawah yang dibutuhkan seluas 2.246
ha/tahun.
Kendala yang dihadapi dalam meningkatkan luas panen padi sawah
antara lain: (1) Marjin keuntungan usahatani padi lebih kecil dibandingkan
dengan marjin keuntungan kegiatan ekonomi produktif lainnya, sedangkan risiko
gagalnya cukup tinggi (low profit, high risk). Kondisi ini dapat ditunjukkan bahwa
para petani melaksanakan kegiatan produksi padi lebih dikarenakan tidak/belum
memiliki profesi lain. (2) Para investor tidak tertarik menanamkan modal dalam
kegiatan produksi padi, kecuali untuk komoditas yang mempunyai nilai ekonomi
tinggi atau yang berorientasi ekspor. (3) Penyediaan infrastruktur (irigasi,
transportasi), modal dan sarana produksi masih sangat terbatas, sehingga
meningkatkan biaya produksi dan distribusi.

Penetapan Luas Lahan Optimum Usahatani Padi Sawah


Lahan sawah merupakan aset produktif padi yang esensial. Permintaan
konsumsi yang terus meningkat, perlu diimbangi dengan perluasaan areal
panen dan luas lahan usahatani padi sawah yang otimum. Penetapan luas
lahan yang optimum usahatani padi sawah dilakukan melalui dua pendekatan
yaitu: 1) pendekatan pengeluaran untuk memenuhi KHL petani dan 2)
pendekatan neraca produksi dan konsumsi untuk mencapai kemandirian
pangan.

Pendekatan Pengeluaran Untuk Memenuhi KHL Petani


Hasil analisis KHL petani di tiga lokasi penelitian, disajikan pada Tabel 2
yang memperlihatkan bahwa KHL rata-rata petani di NTB sebesar
Rp.13.212.000/KK/tahun, KHL terendah di Kabupaten Lombok Tengah dan
yang tertinggi di Kabupaten Sumbawa Barat. Perbedaan besarnya KHL di lokasi
penelitian karena disparitas harga beras dan perbedaan jumlah anggota rumah
tangga petani. Disparitas harga beras dapat terjadi antarwaktu maupun antar
wilayah. Harga beras terendah biasanya terjadi pada saat panen raya dan
berlangsung sangat singkat, sedangkan harga beras tertinggi terjadi ketika
petani sudah tidak memiliki stok beras yang berlangsung dalam jangka yang
panjang hingga musim panen berikutnya. Di Sumbawa Barat harga beras relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan Lombok Tengah dan Bima, karena tingkat

Jurnal Agro Ekonomi, Volume 29 No.2, Oktober 2011 : 113 – 145

128
pendapatan masyarakat di wilayah tersebut relatif lebih tinggi sebagai dampak
adanya industri tambang emas. Ketidakstabilan harga beras berpengaruh
terhadap KHL petani.
1)
Tabel 2. Kebutuhan Hidup Layak Petani di Tiga Lokasi Penelitian Tahun 2010

Lombok Sumbawa
Uraian Bima Rata-rata
Tengah Barat
-1
• Pengeluaran setara beras (kg
-1 -1 2)
kapita th ) 800 800 800 800
-1
• Harga beras kg 4.475 4.625 4.400 4.500
-1 3)
• Jumlah ART KK 3,51 3,73 3,77 3,67
-1 -1
KHL (Rp.jt KK tahun ) 12,566 13,801 13,270 13,212
1)
Keterangan: dimodifikasi dari Monde, 2008
2)
KFM 320 kg, pendidikan 160 kg, kesehatan 160 kg, dan sosial 160 kg
3)
jumlah anggota rumah tangga KK-1 (BPS, 2009).

Luas lahan garapan petani saat ini di tiga wilayah penelitian yang dihitung
berdasarkan rasio luas baku sawah dan jumlah petani ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Luas Lahan Garapan Petani Saat Ini di Tiga Lokasi Penelitian Tahun 2010

-1
Luas lahan garapan (ha KK )
Tipologi Lahan Sawah Lombok Sumbawa
Bima Rerata
Tengah Barat
Irigasi teknis 0,31 0,62 0,62 0,40
Irigasi 1/2 teknis 0,37 1,06 0,61 0,46
Tadah hujan 0,45 0,84 0,97 0,63
Rerata lokasi 0,36 0,77 0,74 0,48

Tabel 3 memperlihatkan bahwa rata-rata luas lahan yang dikelola oleh


petani saat ini pada tipologi lahan sawah irigasi teknis, setengah teknis dan
tadah hujan berturut-turut 0,40 ha, 0,46 ha, dan 0,63 ha/KK. Luas lahan garapan
yang terendah adalah di Lombok Tengah (0,36 ha/KK), sedangkan di Sumbawa
Barat dan Bima relatif lebih luas, berturut-turut 0,77 ha dan 0,74 ha/KK. Hal ini
disebabkan antara lain karena konsentrasi penduduk NTB lebih dari 70 persen
di Pulau Lombok yang luas daratannya hanya 23,51 persen dan kurang dari 30
persem penduduk NTB menghuni Pulau Sumbawa yang luas daratannya 76,49
2
persen dari luas daratan NTB seluas 20.153,15 km .
Rasio luas lahan sawah dengan jumlah penduduk NTB pada tahun 2010
2
adalah 440 m /kapita. Sebagai gambaran, rasio lahan sawah rata-rata nasional
2
seluas 646 m /kapita, sedangkan rasio lahan sawah di negara penghasil beras

PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra

129
2 2
dunia, seperti Vietnam adalah 986 m /kapita, China: 1.120 m /kapita, India:
2 2
1.590 m /kapita dan Thailand: 5.230 m /kapita (Pasaribu, 2009).
Pendapatan usahatani padi sawah akan mempengaruhi kemampuan
petani untuk memenuhi KHL. Hasil analisis pendapatan usahatani padi sawah di
tiga lokasi penelitian pada tiga tipologio lahan sawah, disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Pendapatan Usahatani Padi Sawah di Tiga Lokasi Penelitian Tahun 2010

Pendapatan Usahatani (Rp. Ha/tahun)


Tipologi Lahan Sawah Lombok Sumbawa
Bima Rerata
Tengah Barat
Irigasi teknis 26.086.223 27.502.273 19.815.710 24.468.069
Irigasi 1/2 teknis 19.933.745 13.048.233 15.348.718 16.110.232
Tadah hujan 4.632.744 5.299.397 6.814.928 5.582.356
Rerata lokasi 16.617.571 15.709.604 13.726.452 15.351.206

Tabel 4 memperlihatkan bahwa pendapatan usahatani padi yang tertinggi


diperoleh petani di Lombok Tengah dan yang terendah di Kabupaten Bima.
Lahan irigasi teknis memberikan tingkat pendapatan bersih tertinggi yaitu satu
setengah kali pendapatan pada lahan sawah setengah teknis dan hampir lima
kali pendapatan pada lahan sawah tadah hujan.
Jumlah pendapatan usahatani padi sawah apabila dibandingkan dengan
KHL petani akan menentukan kontribusi pendapatan usahatani padi sawah
terhadap KHL petani, disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Kontribusi Pendapatan Usahatani Padi Sawah terhadap KHL Petani di Tiga
Lokasi Penelitian Tahun 2010

Kontribusi Pendapatan Usahatani Padi Sawah terhadap


KHL Petani (%)
Tipologi Lahan Sawah
Lombok Sumbawa Rerata
Bima
Tengah Barat Tipologi
Irigasi teknis 65,18 124,24 92,32 73,49
Irigasi 1/2 teknis 58,78 100,61 70,79 56,53
Tadah hujan 16,42 32,37 49,65 26,82
Rerata Lokasi 47,97 88,12 76,68 55,73

Tabel 5 memperlihatkan bahwa kontribusi pendapatan usahatani padi


sawah terhadap pemenuhan KHL petani yang terendah di Kabupaten Lombok
Tengah (47,97%), disusul Bima (76,68%) dan yang tertinggi di Sumbawa Barat
(88,12%) atau rata-rata 55,73 persen. Hasil analisis tersebut masih lebih tinggi

Jurnal Agro Ekonomi, Volume 29 No.2, Oktober 2011 : 113 – 145

130
dari yang dilaporkan Badan Litbang Pertanian (2005b), bahwa sumbangan
pendapatan usahatani padi terhadap pendapatan rumah tangga petani
mencapai 25-35 persen. Rendahnya kontribusi pendapatan usahatani padi
sawah terhadap KHL petani di NTB terutama disebabkan luas lahan garapan
petani yang sempit (0,48 ha/KK) dan rendahnya indeks pertanaman padi (100-
155%).
Kontribusi pendapatan usahatani padi sawah yang terendah terjadi pada
lahan sawah tadah hujan (26,82%), disusul lahan sawah setengah teknis
(56,53%) dan tertinggi pada lahan sawah irigasi teknis (73,49%). Pada lahan
sawah tadah hujan tingkat produktivitas lebih rendah dibandingkan dengan pada
lahan irigasi, terutama karena faktor air yang terbatas, biaya usahatani lebih
tinggi dan indeks pertanaman padi hanya satu kali tanam/tahun, sebaliknya
pada lahan sawah irigasi teknis tingkat produktivitas padi lebih tinggi, IP padi
bisa ditingkatkan lebih dari 100 persen walaupun luas lahan garapan lebih
sempit.
Jika KHL tidak terpenuhi, berarti rumah tangga tersebut berada di bawah
garis kemiskinan. Hasil analisis tersebut memberikan gambaran bahwa
diperkirakan seluruh petani pada lahan sawah tadah hujan tidak dapat
memenuhi KHL-nya apabila hanya mengandalkan pendapatannya dari
usahatani padi sawah, 88 persen petani pada lahan sawah setengah teknis dan
65 persen petani pada lahan sawah irigasi teknis. Kenyataan tersebut
memberikan gambaran bagi setiap pengambil kebijakan bahwa sebagian besar
petani di perdesaan masih berada di bawah garis kemiskinan.
Untuk memenuhi KHL petani maka luas lahan minimal yang harus
dikelola petani di tiga wilayah penelitian disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Luas Lahan Minimal Usahatani Padi Sawah untuk Memenuhi KHL Petani di
Tiga Lokasi Penelitian Tahun 2010

Luas Lahan Minimal Usahatani Padi Sawah (ha/KK)


Tipologi Lahan Sawah Lombok Sumbawa Rerata
Bima
Tengah Barat Tipologi
Irigasi teknis 0.39 0.47 0.54 0.46
Irigasi 1/2 teknis 0.72 0.86 0.89 0.82
Tadah hujan 1.26 1.63 1.32 1.39
Rerata Lokasi 0,63 0,77 0,80 0,73
Sumber: Data Primer

Tabel 6 memperlihatkan bahwa Lm yang seharusnya dikelola petani agar


terpenuhi KHL-nya di Lombok Tengah, Sumbawa Barat, dan Bima berturut-turut
0,63 ha, 0,77 ha dan 0,80 ha per KK. Pada lahan sawah irigasi teknis, semi
teknis dan tadah hujan berturut-turut 0,46 ha, 0,82 ha dan 1,39 ha per KK atau
rata-rata 0,73 ha per KK. Lm tersebut sangat sulit dicapai melalui perluasan
PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra

131
areal sawah mengingat potensi lahan yang sesuai untuk lahan sawah sudah
maksimal. Alternatif yang memungkinkan Lm dapat dicapai adalah peningkatan
indeks pertanaman hingga 300 persen, peningkatan produktivitas dan
peningkatan efisiensi usahatani, serta pemberian insentif berupa subsidi sarana
produksi 100 persen.
Lm yang lebih luas dari luas lahan garapan menunjukkan tingkat
pendapatan petani yang lebih rendah. Lm yang lebih sempit dari luas lahan
garapan hanya terjadi pada tipologi lahan sawah irigasi teknis di Kabupaten
Sumbawa Barat dan Bima, masing-masing 0,62 ha berbanding 0,54 ha dan 0,62
ha berbanding 0,54 ha. Jika Lm lebih luas dari lahan garapan, petani harus
meningkatkan pendapatan usahataninya. Peningkatan pendapatan usahatani
padi sawah dapat dilakukan antara lain melalui peningkatan produktivitas,
efisiensi usahatani dan peningkatan indeks pertanaman padi. Jika hal tersebut
tidak memungkinkan, maka petani harus mencari sumber pendapatan lain baik
dari aktivitas off farm maupun non farm.

Pendekatan Neraca Produksi dan Konsumsi Untuk Kemandirian Pangan


Tiga skenario dirancang untuk mengestimasi luas lahan optimum
usahatani padi sawah mencapai kemandirian pangan 2023, yaitu skenario
pesimis, moderat, dan optimis. Tiap skenario dibedakan atas tingkat intervensi
terhadap faktor-faktor yang berpengaruh mulai dari yang terendah hingga
maksimal.
Jika yang diskenariokan hanya tingkat pengendalian konversi lahan
sawah, yaitu 3,5 persen/tahun (pesimis), 2,8 persen/tahun (moderat) dan 2,2
persen (optimis), sedangkan faktor-faktor lain tetap atau mengikuti tren 2001-
2008, seperti indeks pertanaman padi 1,55 persen, luas panen padi ladang,
produktivitas padi sawah 5,085 ton/ha dan produktivitas padi ladang 3,618
ton/ha (BPS NTB, 2009), konsumsi beras penduduk 139.15 kg/kapita/tahun
(BKP, 2009) dan laju pertumbuhan penduduk 1,67 persen/tahun (BPS NTB,
2009), maka neraca produksi dan konsumsi padi di NTB pada tahun 2023
ditunjukkan Gambar 6.
Gambar 6 memperlihatkan bahwa dengan skenario pesimis akan terjadi
defisit produksi padi mulai tahun 2017 dan dengan skenario moderat akan
terjadi defisit mulai tahun 2021 sedangkan dengan skenario optimis kemandirian
pangan dapat dipertahankan hingga 2023. Untuk mencapai kemandirian pangan
2023, maka dilakukan simulasi tingkat intervensi yang perlu dilakukan terhadap
faktor-faktor kunci pada setiap skenario, dengan asumsi luas areal komoditas
lain, produktivitas padi sawah dan ladang, konsumsi beras penduduk dan laju
pertumbuhan penduduk mengikuti tren 2001-2008, diperlihatkan pada Tabel 7

Jurnal Agro Ekonomi, Volume 29 No.2, Oktober 2011 : 113 – 145

132
Gambar 6. Neraca Produksi dan Konsumsi Padi NTB pada Tahun 2023
Berdasarkan Skenario Pesimis, Moderat, dan Optimis.
.
Tabel 7. Intervensi yang Dilakukan pada Tiap Skenario untuk Mencapai Kemandirian
*)
Pangan 2023

Tahun
Skenario/Peubah **)
2008 2013 2018 2023
Skenario Pesimis
Konversi lahan sawah (%) 4,07 3,50 3,50 3,50
IP padi sawah (%) 155,00 160,00 185,00 200,00
Luas panen padi ladang (ribu ha) 53,46 83,46 113,46 143,46
***)
Luas komoditas lain (ribu ha) 38,64 39,91 41,22 42,58
Skenario Moderat
Konversi lahan sawah (%) 4,07 2,80 2,80 2,80
IP padi sawah (%) 155,00 165,00 175,00 185,00
Luas panen padi ladang (ribu ha) 53,46 73,46 93,46 113,46
***)
Luas komoditas lain (ribu ha) 38,64 39,91 41,22 42,58
Skenario Optimis
Konversi lahan sawah (%) 4,07 2,20 2,20 2,20
IP padi sawah (%) 155,00 165,00 175,00 185,00
Luas panen padi ladang (ribu ha) 53,46 60,96 68,46 75,96
***)
Luas komoditas lain (ribu ha) 38,64 39,91 41,22 42,58
*)
Hasil olah data dengan Powersim 2.5d **) Kondisi awal tahun 2008 ***)
Trend 2001-2008

Tabel 7 memperlihatkan bahwa jika konversi lahan sawah 3,5 persen/


tahun, maka untuk mencapai kemandirian pangan 2023, IP padi sawah harus
ditingkatkan menjadi 200 persen dan luas panen padi ladang ditingkatkan
menjadi 143.460 ha. Jika konversi lahan sawah 2,8 persen/tahun, maka IP padi
sawah harus ditingkatkan menjadi 185 persen dan areal panen padi ladang
ditingkatkan menjadi 113.460 ha. Sedangkan apabila konversi lahan sawah
mampu ditekan menjadi 2,2 persen/tahun, maka IP padi sawah harus

PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra

133
ditingkatkan menjadi 185 persen dan areal panen padi ladang ditingkatkan
menjadi 75.960 ha.
Sintesis dari potensi, kendala, dan peluang keberhasilan tiap skenario
tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Pencapaian kemandirian pangan melalui skenario pesimis, akan
menghadapi hambatan dalam meningkatkan IP padi sawah menjadi 200
persen karena keterbatasan sumber daya air, infrastruktur jaringan irigasi,
motivasi petani, dan risiko ketidakpastian iklim. Data pada Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah NTB 2009 – 2013, menunjukkan
bahwa dalam kurun waktu 15 tahun sejak 1985-2000 teridentifikasi
sebanyak 440 titik mata air yang hilang. Saat ini jumlah titik mata air yang
tersisa sekitar 230 titik, sebagai dampak kerusakan hutan yang semakin
tidak terkendali. Demikian pula perluasan areal padi ladang seluas 143.460
ha tidak akan mencapai sasaran, karena potensi lahan yang sesuai untuk
areal padi ladang di NTB sekitar 137.600 ha (Hidayat dan Ritung, 2008).
b. Skenario moderat memiliki potensi dan peluang keberhasilan pada setiap
intervensi yang dilakukan. Pengendalian konversi lahan sawah menjadi 2,8
persen, memiliki peluang keberhasilan lebih besar dibandingkan dengan
skenario optimis. Peningkatan IP padi menjadi 185 persen dan perluasan
areal padi ladang 113.460 ha peluang keberhasilannya lebih besar
dibandingkan dengan skenario pesimis
c. Skenario optimis diperkirakan akan menghadapi kendala dalam pencapaian
pengendalian konversi lahan sawah sebesar 2,2 persen/tahun, mengingat
NTB saat ini tengah membangun berbagai infrastruktur pendukung untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pilihan yang paling rasional
(the most reasonable scenario) adalah skenario moderat. Intervensi peningkatan
IP padi menjadi 185 persen mempunyai peluang cukup besar apabila ditunjang
oleh perluasan jaringan irigasi teknis. Demikan halnya dengan perluasan areal
padi ladang menjadi 113.460 ha, dari sisi potensi masih cukup tersedia. Secara
kuantitatif hasil simulasi kinerja skenario moderat disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 memperlihatkan bahwa penurunan luas baku sawah sebesar 2,8
persen/tahun dari luas baku sawah 239.127 ha pada tahun 2010, secara
langsung memberikan pengaruh pada penurunan luas panen padi sawah
sebesar 28,55 persen. Apabila luas lahan sawah untuk penggunaan komoditas
selain padi meningkat mengikuti kecenderungan tahun 2001-2008, maka
diperkirakan luas baku sawah untuk usahatani padi seluas 153.750 ha. Dengan
penambahan areal padi ladang menjadi 113.460 ha dan asumsi tingkat
produktivitas padi sawah dan ladang mengikuti tren 2001-2008, yaitu 59 kw/ha
dan 39 kw/ha pada tahun 2023, maka neraca produksi padi diperkirakan akan
surplus sebesar 5,45 persen. Target produktivitas tersebut masih jauh di bawah
potensi hasil varietas.

Jurnal Agro Ekonomi, Volume 29 No.2, Oktober 2011 : 113 – 145

134
Tabel 8. Kinerja Skenario Moderat dengan Strategi Peningkatan IP dan Perluasan Areal
*)
Padi Ladang pada Tahun 2023

Tahun
Peubah **)
2008 2013 2018 2023
Konversi lahan sawah (%) 4,07 2,8 2,8 2,8
Luas baku sawah (ribu ha) 230,99 201,36 176,12 153,75
Luas komoditas lain (ribu ha) 38,64 39,91 41,22 42,58
IP padi sawah (%) 155 165 175 185
Luas panen padi sawah (ribu ha) 298,14 266,39 236,07 205,67
Produksi padi sawah (juta ton) 1,52 1,42 1,33 1,21
Luas padi ladang (ribu ha) 53,46 73,46 93,46 113,46
Produksi padi ladang (juta ton) 0,19 0,27 0,36 0,45
Produksi total NTB (juta ton) 1,75 1,68 1,67 1,65
Konsumsi (juta ton GKG) 1,31 1,42 1,52 1,56
Surplus (%) 25,14 15,47 8,98 5,45
*) **) ***)
Hasil olah data dengan Powersim 2.5 Kondisi awal tahun 2008 Trend 2001-2008

Apabila opsi di atas dikombinasikan dengan upaya pengendalian


konsumsi beras melalui pengendalian pertumbuhan penduduk dari 1,67 persen
menjadi 1,5 persen dan konsumsi beras diturunkan dari 139,15 kg/kapita/tahun
menjadi 136,65 kg/kapita/tahun, maka diperkirakan konsumsi padi NTB pada
tahun 2023 tidak lebih dari 1,56 juta ton sehingga terjadi surplus 5,45 persen.
Dengan demikian, Skenario Moderat dapat digunakan untuk penetapan luas
lahan optimum usahatani padi sawah untuk mencapai kemandirian pangan
secara berkelanjutan di NTB. Luas lahan optimum usahatani padi sawah untuk
mencapai kemandirian pangan pada tahun 2023 seluas 196.330 ha.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan
Status sistem produksi padi sawah di NTB adalah cukup berkelanjutan
dengan nilai indeks 54,53 persen. Dimensi yang memiliki bobot tertinggi adalah
dimensi ekologi, diikuti ekonomi, sosial, kebijakan dan kelembagaan, serta
teknologi dan infrastruktur. Faktor-faktor yang berpengaruh adalah pertumbuhan
penduduk, konversi lahan sawah, luas baku sawah, luas panen padi, harga
gabah, kebijakan dan kelembagaan, teknologi dan jaringan irigasi, modal, dan
pendapatan petani.

PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra

135
Kebutuhan hidup layak petani NTB sebesar Rp.13.212.000/KK/tahun,
sedangkan pendapatan bersih yang diperoleh dari hasil usahatani padi sawah
sebesar Rp.15.351.206/ha/tahun. Dengan luas lahan garapan petani saat ini
rata-rata 0,48 ha/KK, sedangkan kebutuhan lahan minimal seluas 0,73 ha KK,
maka kontribusi pendapatan usahatani padi sawah terhadap kebutuhan hidup
layak petani hanya 55,73 persen. Ada dua opsi untuk memenuhi kebutuhan
hidup layak petani, yaitu opsi pertama melalui perluasan areal sawah baru dan
opsi kedua melalui peningkatan pendapatan petani. Berdasarkan potensi yang
ada opsi pertama peluangnya sangat kecil, sehingga opsi kedua menjadi pilihan
yang lebih rasional. Peningkatan pendapatan petani dapat dilakukan melalui
optimalisasi pemanfaatan lahan, peningkatan produktivitas dan efisiensi,
perluasan jaringan irigasi, serta penciptaan sumber pendapatan baru dari
aktivitas off farm maupun non farm.
NTB akan mengalami defisit produksi padi mulai tahun 2017 apabila tidak
dilakukan perbaikan intervensi yang tepat. Berdasarkan potensi, kendala, dan
peluang keberhasilan, maka skenario yang paling rasional untuk mencapai
kemandirian pangan tahun 2023 adalah skenario moderat dengan luas lahan
usahatani padi sawah yang harus dipertahankan seluas 196.330 ha dengan asumsi
produktivitas padi sawah dapat mencapai lebih dari 6,0 ton/ha, dan indeks
pertanaman padi 185 persen. Strategi utama yang harus dilakukan adalah
mengendalikan konversi lahan sawah, menekan laju pertumbuhan penduduk,
menurunkan konsumsi beras/kapita/tahun, dan meningkatkan pendapatan
usahatani padi sawah.

Saran dan Opsi Kebijakan


Melakukan optimasi usahatani padi sawah melalui a) peningkatan
produktivitas dengan perbaikan varietas, perbaikan teknologi budidaya dan
konservasi sumber daya lahan dan air; b) peningkatan indeks pertanaman padi
sawah dengan membangun dan memperluas jangkauan jaringan irigasi serta
memanfaatkan sumber daya air secara optimal, dan c) peningkatan efisiensi
usahatani melalui pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal.
Mempertahankan luas baku sawah melalui pelarangan konversi lahan
sawah, implementasi rencana tata ruang (RTRW 2009-2029) secara konsisten
dan implementasi UU No. 41 Tahun 2009 untuk penetapan dan perlindungan
lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Menciptakan lapangan kerja baru baik off farm maupun non farm
sebagai sumber pendapatan alternatif petani terutama pada tipologi lahan
sawah setengah teknis dan tadah hujan;
Memberikan insentif yang wajar kepada petani untuk meningkatkan
pendapatan dan nilai tukar petani melalui kebijakan subsidi sarana produksi,
skim kredit usahatani bersubsidi yang mudah diakses, peningkatan harga gabah
dan mencegah fluktuasi harga yang merugikan petani.

Jurnal Agro Ekonomi, Volume 29 No.2, Oktober 2011 : 113 – 145

136
DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. dan E. Husen. 2005. Tinjauan Umum Multifungsi Pertanian. Prosiding


Multifungsi Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Badan Litbang Pertanian. Deptan. Bogor.
Agus, F dan Irawan. 2006. Agricultural Land Conversion as A Threat to Food Security
And Environmental Quality. Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006.
Alder, J., T. J. Pitcher, D. Preikshot, K. Kaschner, and B. Feriss. 2000. How Good is
Good? A Rapid Appraisal Technique For Evaluation of Sustainability Status of
Fisheries of North Atlantic. In Pauly and Pitcher (eds). Methods for Evaluation
the Impacts of Fisheries on the North Atlantic Ecosystem. Fisheries Center
Research Reports, 2000 Vol (6) No.2.
Asyik, M. 1996. Penyediaan Tanah untuk Pembangunan, Kondisi Lahan Pertanian dan
Permasalahannya: Suatu Tinjauan di Provinsi Jawa Barat. Prosiding Lokakarya
Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air : pp. 64-82. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Foundation.
Badan Litbang Pertanian. 2005a. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Padi.
Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Badan Litbang Pertanian. 2005b. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-
2010. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Blakeney, A.B. 1996. Rice Cultivation and Quality in Australia. Ricegrowers’ Cooperative
Limited, Leeton, Australia.
Bourgeois, R and F. Jesus. 2004. Participatory Prospective Analysis, Exploring and
Anticipating Challenges with Stakeholders. Center for Alleviation of Poverty
through Secondery Crops Development in Asia and The Pacific and French
Agricultural Reasearch Center for Internasional Development. Monograph
(46):1– 29.
[BPS] Badan Pusat Statistik NTB. (2009). Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Badan
Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram.
[BPTP] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB. 2002. Kajian Sistem Usahatani
Terpadu Berbasis Padi Pada Lahan Sawah Bukaan Baru. Laporan Tahunan
BPTP NTB TA. 2002. Mataram.
[BPTP] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat. 2010. Mengatasi Masalah
Sawah Bukaan Baru. http://sumbar.litbang.deptan.go.id/
Byron, W.J. 1988. On the Protection and Promotion of the Right to Food: An Ethical
Reflection. In B.W.J. LeMay (eds.), Sience, Ethics, and Food. Smithsonian
Institution Press, Washington, D.C. and International Rice Research Institute,
Manila, p.14-30
Chambers, R. 1996. Participatory Rural Appraisal: Memahami Desa Secara Partisipatif.
Oxfam – Kanisius. Yogyakarta.
Djogo, T., Sunaryo, D. Suharjito dan M. Sirait. 2003. Kelembagaan dan Kebijakan dalam
Pengembangan Agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor

PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra

137
Eriyatno, 1999. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid 1. Edisi
Ketiga IPB Press.
FAO.1989. Sustainable Development and Natural Resources Management. Twenty-Fifth
Conference, Paper C 89/2 simp 2, Food and Agriculture Organization, Rome.
FAO. 1998. Guidelines for National Food Insecurity and Vulnerability Information and
Mapping Systems (FIVIMS): Background and Principles. Committee on World
Food Security CFS: 98/5, 24 th Session, 2-5 June 1998. Food and Agriculture
Organization, Rome.
FAO. 2000. Selected Indicators of Food and Agriculture Development in Asia Pasific
Region, 1989 – 1999, FAO Regional Office For Asian and The Pasific, Bangkok, Thailand.
Fauzi A dan S Anna, 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Untuk
Analisis Kebijakan. Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fisheries Centre. 2002. Attributes of Rapfish Analysis for Ecological, Technological,
Economic, Social and Ethical Evaluation Fields. Institute of Social and Economic
Research Press. St John’s Canada.
Fisheries. Com. 1999. Rapfish Project. http:/fisheries.com/project/rapfish.htm. Generated
9 April 2010.
Forrester, J.W. 1965. A New Corporate Design. Industrial Management Review 7 (1) 5-
17. Collected Papers of Jay W Forrester.
Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik. Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan
Lingkungan. SEAMEO BIOTROP. Bogor.
Harwood, R. R. 1987. Low Input Technologies for Sustainable Agricultural System. In:
V.W. Ruttan and C.E.Pray. (Eds.). Policy for Agricultural Research West View
Press., Boulder, Colorado, USA.
Hauke, J.E., D.W. Wicharn, A.Y. Reitch. 2001. Business Forecasting. Practises – Hall.
Inc. New Jersey.
Hidayat, A. dan S. Ritung. 2008. Prospek Perluasan Lahan Untuk Padi Sawah dan Padi
Gogo di Indonesia. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1, No. 4, Desember 2008:
25-38.
Iqbal, M. dan Sumaryanto. 2007. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian
Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian.
Volume 5 No. 2, Juni 2007 : 167-182. Bogor.
Maani, K.E. dan Cavana.R.Y. 2000. System Thinking and Modeling Understanding
Change and Complexity. Pearson Education New Zealand Limited. Aucckland.
Malhotra, N. K. 2006. Riset Pemasaran: Pendekatan Terapan. PT Indeks Gramedia.
Jakarta.
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo.
Jakarta.
[Mentan] Menteri Pertanian RI. 2010. Sambutan Menteri Pertanian Pada Launching
Gerakan Kemandirian Pangan di Desa Kuripan Selatan, Kecamatan Kuripan,
Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, 30 Januari 2010. Mataram.

Jurnal Agro Ekonomi, Volume 29 No.2, Oktober 2011 : 113 – 145

138
Muhammadi, E. Aminullah dan B, Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamik: Lingkungan
Hidup Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta.
Monde A. 2008. Dinamika Kualitas Tanah, Erosi dan Pendapatan Petani Akibat Alih
Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian dan Kakao/Agroforestry Kakao di
DAS Nompu, Sulawesi Tengah [Disertasi] Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor.
Pasandaran, E. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah
Beririgasi di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 25 (4): 123-129.
Pasaribu, B. 2009. Peran Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Menunjang Tata Ruang dan Kedaulatan Pangan. Bahan Presentasi yang
disampaikan pada Lokakarya Pembaruan Agraria Pertanian Nasional pada 3
September 2009 di Jakarta.
Peraturan Pemerintah RI. No. 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan.
Pitcher, T.J. and Preikshot, D.B. 2001. Rapfish: A Rapid Appraisal Technique to Evaluate
the Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research 49(3): 255-270
Reijntjes, C., B. Harverkort dan A. W. Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan: Pengantar
untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Edisi Indonesia.
Kanisius (Anggota IKAPI) Yogyakarta.
Saad, M.B. 1999. Food Security for the Food Insecure. New Challenges and Renewed
Commitment. Center for Development Studies. University College Dublin,
Ireland.
Sajogjo. 1977. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. LPSP. IPB. Bogor.
Simatupang, P. 2007. Analisis Kritis Terhadap Paradigma dan Kerangka Dasar Kebijakan
Ketahanan Pangan Nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 25 No.
1, Juli 2007 : 1 – 18.
Sinukaban, N. 2007. Membangun Pertanian Menjadi Industri yang Lestari dengan
Pertanian Konservasi. Di dalam: N. Sinukaban, Konservasi Tanah dan Air,
Kunci Pembangunan Berkelanjutan. Direktorat Jenderal RLPS, Jakarta.
Soekartawi. 2008. Mewujudkan Kemandirian Pangan. Artikel dimuat di Koran Jakarta,
halaman 4, 31 Oktober 2008
Sumarno. 2006. Sistem Produksi Padi Berkelanjutan dengan Penerapan Revolusi Hijau
Lestari. Buku I. Pros. Seminar Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor,
14-15 September 2006.
Suryana, A. 2005. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Andalan Pembangunan
Nasional. Makalah pada Seminar Sistem Pertanian Berkelanjutan untuk Mendu-
kung Pembangunan Nasional, 15 Pebruari 2005 di Universitas Sebelas Maret
Solo.
Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian:
Penjelasan tentang “Konsep, Istilah, Teori dan Indikator serta Variabel”. PT.
Bina Rena Pariwara. Jakarta. 262 hal.
Tasrif, M. 2004. Model Simulasi Untuk Analisis Kebijakan. Pendekatan Metodologi
System Dinamics. Kelompok Penelitian dan Pengembangan Energi. Institut
Teknologi Bandung. Bandung.

PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra

139
Tempo. 2010. Tanah Gora Menuju Bumi Sejuta Sapi. http://bataviase.co.id/. Generated
30 Juni 2010.
Undang Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan.
Undang Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Jurnal Agro Ekonomi, Volume 29 No.2, Oktober 2011 : 113 – 145

140
Lampiran.

Tabel 9. Hasil Analisis Usahatani Padi pada Tiga Tipologi Lahan Sawah di Tiga Wilayah
Penelitian (ha/tahun) Tahun 2010

Lombok Sumbawa
Tipologi Lahan Sawah Bima Rata-Rata
Tengah Barat
Irigasi Teknis
1) 2) 2)
- Produksi (ton) 11,87 17,89 13,74 14,50
- Nilai Produksi (Rp) 35.753.509 46.929.490 34.130.102 38.937.700
- Biaya Usahatani (Rp) 9.667.286 19.427.217 14.314.392 14.469.632
- Pendapatan (Rp) 26.086.223 27.502.273 19.815.710 24.468.069
- R/C 3,70 2,41 2,39 2,83
Irigasi Setengah teknis
- Produksi (ton) 10,56 10,75 8,27 9,86
- Nilai Produksi (Rp) 27.190.045 20.800.202 21.912.783 23.301.010
- Biaya Usahatani (Rp) 7.256.299 7.751.969 6.564.065 7.190.778
- Pendapatan (Rp) 19.933.745 13.048.233 15.348.718 16.110.232
- R/C 3,75 2,70 3,33 3,24
Tadah Hujan
- Produksi (ton) 4,52 3,56 3,99 4,02
- Nilai Produksi (Rp) 9.208.017 9.170.424 10.959.756 10.431.573
- Biaya Usahatani (Rp) 4.575.274 3.871.027 4.144.828 4.197.043
- Pendapatan (Rp) 4.632.744 5.299.397 6.814.928 5.582.356
- R/C 2,01 2,37 2,64 2,33
Rata-Rata Lokasi
- Produksi (ton) 9,98 10,04 8,67 9,23
- Nilai Produksi (Rp) 23.783.857 26.059.675 22.067.547 23.970.360
- Biaya Usahatani (Rp) 7.166.286 10.350.071 8.341.095 8.619.151
- Pendapatan (Rp) 16.617.571 15.709.604 13.726.452 15.351.206
- R/C 3,12 2,54 2,75 2,80
1) 2)
IP Padi 200% IP Padi 300%

PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra

141
Tabel 10. Nilai Stress dan Koefisien Determinasi Multidimensi

Nilai indeks **) 2 ***)


Dimensi keberlanjutan *) Stress R
keberlanjutan
Ekologi 58,54 0,14 0,95
Ekonomi 51,98 0,14 0,95
Sosial 50,84 0,13 0,95
Kebijakan dan Kelembagaan 53,12 0,15 0,94
Teknologi dan Infrastruktur 52,91 0,15 0,95
*)
Nilai indeks 50,01 – 75,0 dikategorikan cukup berkelanjutan
**)
Nilai stress <0,25 berarti goodness of fit
***)
Nilai R2 95% atau >80% berarti kontribusinya sangat baik

Tabel 11. Perbandingan Nilai Paramater antara Data Aktual dengan Output Simulasi
dalam Validasi Model Periode 2001-2008

Tahun awal Tahun akhir Output MAPE


Peubah *)
(2001) (2008) (2008) (%)
1. Jumlah penduduk (jiwa) 3.862.854 4.363.756 4.364.635 0,02
2. Luas baku sawah (ha) 210.595 230.986 231.001 0,01
3. Luas panen (ha) 272.895 306.272 306.424 0,05
4. Produktivitas (kw/ha) 46,50 50,85 50,80 0,10
5. Produksi (ton) 1.268.693 1.557.300 1.557.214 0,01
6. Produksi padi NTB (ton) 1.459.102 1.750.675 1.750.647 0,00
*)
Nilai MAPE <5% berarti output sangat akurat

Jurnal Agro Ekonomi, Volume 29 No.2, Oktober 2011 : 113 – 145

142
Persamaan matematis faktor-faktor yang membentuk struktur model

A. Struktur model sistem produksi padi di NTB (Gambar 2).


init Bakuswh = 230988.36
flow Bakuswh = +dt*Lj_Ctkswh-dt*Lj_Konverswh
aux Lj_Cetakldng = STEP(8000, 2)
aux Lj_Ctkswh = PULSE(500,3, 2)
const F_konvswh = 0.035
aux Lj_Konverswh = Bakuswh*F_konvswh
init Benihldng = 60
flow Benihldng = +dt*Lj_Benihldng
aux Lj_Benihldng = Benihldng*F_Benihldng
const F_Benihldng = -0.01
init Benihswh = 40.196
flow Benihswh = +dt*Lj_Benihswh
aux Lj_Benihswh = Benihswh*F_Benihswh
const F_Benihswh = -0.016
init Galnen = 25888.23
flow Galnen = +dt*Lj_Galnen
const F_Galnen = 0.001
aux Lj_Galnen = Galnen*F_Galnen
init IP_Pdiswh = 155
flow IP_Pdiswh = +dt*Lj_IP_Pdiswh
doc IP_Pdiswh = IP padi sawah pada tahun awal 2008 adalah 155%
aux Lj_IP_Pdiswh = PULSE(3, 2, 1)
const IP_Padildng = 1
init Pdldng = 53463.05
flow Pdldng = +dt*Lj_Cetakldng
init Prtvldng = 3.618
flow Prtvldng = +dt*Lj_Prtvldng
const F_Prtvldng = 0.006
aux Lj_Prtvldng = Prtvldng*F_Prtvldng
init Prtvpdiswh = 5.085
flow Prtvpdiswh = +dt*Lj_Prtvpdiswh
const F_Prtvpdiswh = 0.01
aux Lj_Prtvpdiswh = Prtvpdiswh*F_Prtvpdiswh
init Swhnonpdi = 38637
flow Swhnonpdi = +dt*Lj_Swhnonpdi
init Tercecer = 108657.37
flow Tercecer = +dt*Lj_Tercecer
const F_Tercecer = -0.001
aux Lj_Tercecer = Tercecer*F_Tercecer
const F_Swhnonpdi = 0.0065
aux Lj_Swhnonpdi = Swhnonpdi*F_Swhnonpdi

PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra

143
aux Swhpdi = Bakuswh-Swhnonpdi
aux Benihldngtotal = (Benihldng*Nenladang)/1000
aux Benihswhtotal = (Benihswh*Nenpdiswh)/1000
aux Drjtmandiri = ProduksiNTB-KonsumsiNTB
aux Gap = ProduksiNTB-KonsumsiNTB.
aux GrosprodNTB = Prodpdiswh+Prodladang
const F_Impor = -1
aux Impor = IF(Gap*F_Impor<0,0,Gap*F_Impor)*1000
aux Nenladang = Pdldng*IP_Padildng
aux Nenpdiswh = IP_Pdiswh/100*Swhpdi
aux Prodhilang = Galnen*Prtvpdiswh
aux Prodladang = Nenladang*Prtvldng
aux Prodpdiswh = (Prtvpdiswh*Nenpdiswh)
aux ProduksiNTB = GrosprodNTB-(Benihswhtotal+ Benihldngtotal-
(F_KonverGKG*GrosprodNTB)-Tercecer-Prodhilang)

B. Struktur model sistem permintaan konsumsi padi di NTB (Gambar 3)


init Agroindustri = 0.235*Kons_Penduduk
flow Agroindustri = +dt*Lj_Agroindustri
init Kons_Kap = 139.15
flow Kons_Kap = +dt*Lj_Kons_Kap
init Penduduk = 4.363.135 jiwa
flow Penduduk = -dt*Lj_Kematian
+dt*Lj_Kelahiran
-dt*Lj_Emigrasi
+dt*Lj_Imigrasi
init Stock = 0.2*Kons_Penduduk
flow Stock = +dt*Lj_Stock
aux Lj_Agroindustri = F_Agroindustri*Agroindustri
aux Lj_Emigrasi = Penduduk*F_Emigrasi
aux Lj_Imigrasi = Penduduk*F_Imigrasi
aux Lj_Kelahiran = Penduduk*F_Kelahiran
aux Lj_Kematian = F_Kematian*Penduduk
aux Lj_Kons_Kap = DELAYMTR(Delay_Konsumsi, F_Kons_Kap, 5,0)
aux Lj_Stock = Stock*F_Stock
aux Kons_Beras = Agroindustri+Stock+Kons_Penduduk
aux Kons_Penduduk = (Penduduk*Kons_Kap)
aux Konsumsi_GKG =
(F_Konversi_Beras*Kons_Beras)/1000000+(Kons_Beras*F_Tercecer)
const Delay_Konsumsi = -0.25
const F_Agroindustri = 0.01
const F_Emigrasi = 0.0025
const F_Imigrasi = 0.00305
const F_Kelahiran = 0.024

Jurnal Agro Ekonomi, Volume 29 No.2, Oktober 2011 : 113 – 145

144
const F_Kematian = 0.011
const F_Kons_Kap = 0
const F_Konversi_Beras = 1.4
const F_Stock = 0.0328
const F_Tercecer = 0.06

PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM USAHATANI PADI SAWAH MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI NUSA TENGGARA BARAT Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I W. Rusastra

145

You might also like