imam_iqbal,+Journal+manager,+4
imam_iqbal,+Journal+manager,+4
2621-6590 (e)
PRODI MAGISTER AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM, FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
ISSN 2621-6582 (p); 2621-6590 (e)
Volume 5 Nomor 1, Juni 2022
EDITOR IN-CHIEF
Imam Iqbal, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
MANAGING EDITOR
Rizal Al Hamid, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
EDITOR
Robby H. Abror, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Scopus ID: 57217996349; h-index: 4)
Achmad Fawaid, Universitas Nurul Jadid Probolinggo (Scopus ID: 57214837323, h-index: 9)
Aksin Wijaya, IAIN Ponorogo, Indonesia (Scopus ID: 57216525815; h-index: 10)
Fadhli Lukman, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Scopus ID: 57208034793; h-index: 3)
H. Zuhri Amin, UIN Sunan Kalijaga, Indonesia
Saifuddin Zuhri Qudsy, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Scopus ID: 57213595165, h-index: 9)
Ahmad Rafiq, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia (h-index: 4)
Islah Gusmian, IAIN Surakarta (h-index: 12)
Chafid Wahyudi, Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Fitrah Surabaya (h-Index: 4)
Miski Mudin, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang (h-index: 1)
Fahruddin Faiz, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (h-index: 5)
Aulia Rakhmat
International Islamic University Malaysia
Email: [email protected]
Abstract
The Mu’tazilites were considered to have close relationship with Muslim philosophers and
because of this, many thought that the two had share poin of vies. However, this is not
always the case. There are philosophical teachings that contradict to concept of Mu’tazilite
theology. This gave birth to a theological critique of the Mu’tazilite against philosophy.
Therefore, this article attempts to analyze the Mu’tazilah criticism of Ibn Sina’s philosophical
system focusing on the study of Ibn al-Malahimi’s analysis of taklif written in his book
intended to criticize philosophy, Tuhfat al-Mutakallimin fi al-Radd ‘ala al-Falasifa. There are
two reasons for studying the issue of taklif: first, the concept of taklif is the central doctrine
of the Mu’tazilah because it relates to important concepts such as rewards and punishments,
prophetic purposes and human actions. Therefore, it is important to study the Mu’tazilite
criticism leveled at Ibn Sina on the issue of taklif. Second, the discussion about taklif is not
found in the 20 points of criticism raised by al-Ghazali in his Tahafut Falasifah and therefore
it can provide valuable insight of the theologian’s assessment of the philosopher. This paper
argues that Ibn al-Malahimi’s purpose to present Ibn Sina’s thoughts in the realm of taklif
is his strategy to expose Ibn Sina’s thoughts that are contrary to the Mu’tazilah doctrine.
Through the discussion of taklif, Ibn al-Malahimi can uncover several interrelated issues
such as the purpose of prophethood, the concept of reward and punishment and most
importantly, reveal the deterministic understanding of human action held by Ibn Sina and
his followers.
Keywords: Mu’tazilah, Ibn al-Malahimi, Ibn Sina, Taklif.
Abstrak
Pemikiran Mu’tazilah dianggap memiliki kedekatan atau bahkan kesamaan dengan pemikiran-pemikiran
filsafat. Faktanya adalah tidak selalu demikian. Terdapat ajaran-ajaran filsuf yang nyatanya berseberangan
dengan konsep teologi Mu’tazilah. Hal tersebut melahirkan kritik teologis dari figur Mu’tazilah terhadap
filsafat. Oleh karenanya artikel ini merusaha mengkaji tentang kritik Mu’tazilah terhadap sistem filsafat
Ibn Sina yang mengambil fokus studi terhadap analisis Ibn al-Malahimi tentang taklif yang ditulis
dalam kitab yang ditujukan untuk mengkritis filsafat, Tuhfat al-Mutakallimin fi al-Radd ‘ala al-falasifa.
Terdapat dua alasan tentang mengkaji tema taklif. pertama, konsep taklif merupakan doktrin sentral
Mu’tazilah karena terhubung dengan konsep-konsep penting seperti ganjaran dan hukuman, tujuan
kenabian dan perbuatan manusia. Oleh sebab itu, penting untuk mempelajari kritik Mu’tazilah yang
dilayangkan kepada Ibn Sina dalam isu taklif. Kedua, pembahasan tentang taklif tidak dijumpai dalam
20 poin kritik yang dilayangkan oleh al-Ghazali dalam Tahafut Falasifah-nya dan oleh sebab itu dapat
memberikan pemahaman lebih luas terkait penilaian teolog terhadap filsuf. Makalah ini berpendapat
bahwa langkah Ibn al-Malahimi untuk menyajikan pemikiran Ibn Sina dalam ranah taklif merupakan
strateginya untuk mengekspos pemikiran Ibn Sina yang bertentangan dengan doktrin Mu’tazilah.
Melalui pembahasan taklif, Ibn al-Malahimi dapat menguak beberapa persoalan yang saling terkait
seperti tujuan kenabian, konsep ganjaran dan hukuman dan yang paling utama, menguak pemahaman
deterministik yang dianut Ibn Sina dan pengikutnya.
Kata Kunci: Mu’tazilah, Ibn al-Malahimi, Ibn Sina, Taklif.
Pendahuluan
Mu’tazilah dikenal sebagai kelompok teolog Muslim rasional yang diindentifikasi memiliki
kedekatan hubungan dengan filsafat. Abu Zahrah berpendapat bahwa Mu’tazilah dikenal sebagai
kelompok yang mengoptimalisasikan penggunaan akal, bakal dalam lingkung kajian keagamaan.
Oleh sebab itu, banyak dari filsuf yang bergabung dengan Mu’tazilah karena mereka melihat
beberapa pendapat-pendapat Mu’tazilah adalah sesuai dengan ajaran mereka.1 Ahmad Amin
menyatakan bahwa Mu’tazilah merupakan kelompok muslim pertama yang berinteraksi dan
mengambil manfaat dari filsafat Yunani dan memberikan corak keislaman. Pengaruh tersebut
terlihat dalam teori-teori dan argumentasi mereka. Figur-figur yang dikenal mengaplikasikan hal
tersebut adalah Abu Hudhail al-Alaf, al-Nazzam dan al-Jahiz.2 Hal yang sama juga diungkapkan
oleh Watt yang menyatakan bahwa Mu’tazilah berperan dalam proses membawa konsepsi-konsepsi
Yunani kedalam diskusi dogma Islam yang mana pertama kali dielaborassikan dalam disiplin
Kalam.3 Namun, pernyataan-pernyataan itu menimbulkan pertanyaan, pertama, apakah para teolog
Mu’tazilah selamanya setuju dengan gagasan filsuf. Kedua, apakah hal itu merepresentasikan
seluruh pendapat kaum Mu’tazilah yang pada faktanya memiliki banyak cabang pemikiran. Ketiga,
benarkah tidak ada ajaran filsuf yang bertentangan dengan Mu’tazilah sehingga tidak pernah
melahirkan polemik diantara keduanya.
1
Abu Zahrah, Tarikh Mazahib Al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Fikr al-Araby, n.d.), h.132.
2
Ahmad Amin, Fajr Al-Islam (Kairo: Hindawi, 2012), h. 322.
3
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology: An Extended Survey (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), h. 46.
Dalam hal ini terdapat sosok yang dapat menjadi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan
diatas. Ia adalah Ibn al-Malahimi, seorang figur Mu’tazilah yang secara terang-terangan mengkritisi
pemahaman para filsuf melalui karyannya Tuhfat al-Mutakallimin fi al-radd ‘ala al-falasifa. Kitab Tuhfat
milik Ibn al-Malahimi dapat disandingkan dengan kitab tentang kritik teologi terhadap filsafat
yang telah umum dikenal yaitu Tahafut Falasifah milik al-Ghazali. Pada tahap ini, terdapat perhatian
yang kontras diantara keduanya. Tahafut-nya al-Ghazali telah mendapatkan perhatian yang besar
serta telah dikaji sedemikian rupa dalam ranah akademis. Sementara Kajian tentang kritik Ibn al-
Malahimi terhadap filsuf belum mendapatkan perhatian yang luas dikalangan akademisi, khusus
di Indonesia nama tokoh ini seperti jauh tak terdengar. Beberapa kajian tentang Ibn al-Malahimi
telah dilakukan oleh beberapa sarjana seperti halnya, Madelung yang mengkaji problem tentang
jiwa,4 Koloğlu yang mengkaji problem pengetahuan Tuhan tentang partikularitas,5 dan Griffel
yang membandingkan pemikiran Ibn al-Malahimi dan al-Ghazali dalam mengkritisi sistem filsafat
Ibn Sina.6
Berdasarkan pengamatan terhadap literatur di atas, terdapat tema yang sangat penting untuk
dikaji yaitu kritik Ibn al-Malahimi kepada filsuf tentang isu taklif yang mana menjadi objek
kajian penelitian ini. Pemilihan tema tersebut didasarkan pada dua alasan: pertama, uraian tentang
permasalahan taklif merupakan doktrin sentral Mu’tazilah karena terhubung dengan konsep-
konsep penting seperti ganjaran dan hukuman, tujuan kenabian dan perbuatan manusia. Oleh
sebab itu, penting untuk melihat bagaimana Mu’tazilah mengkritisi Filsuf muslim yang dalam
hal ini secara spesifik merujuk pada sistem filsafat Ibn Sina. Kedua, pembahasan tentang taklif
tidak dijumpai dalam 20 poin kritik yang dilayangkan oleh al-Ghazali dan oleh karenanya dapat
memberikan wawasan baru terkait penilaian teolog terhadap filsuf. Namun, sebelum beranjak
pada pembahasan, penting untuk memberikan uraian singkat tentang latarbelakang Ibn al-
Malahimi serta perbandingan antara posisinya dan al-Ghazali dalam mengkritisi filsafat.
4
Wilferd Madelung, “Ibn Al-Malāḥimī on the Human Soul: I bn al -M alāḥimī on the H uman S oul,” The Muslim World 102, no. 3–4
(October 2012): 426–32, https://doi.org/10.1111/j.1478-1913.2012.01410.x.
5
Orhan Şener Koloğlu, “Ibn Al-Malāḥimī’s Criticism of Philosophers’ Views on God’s Knowledge of Particulars” (Uludağ Üniversitesi
İlahiyat Fakültesi Dergisi, 2018).
6
Frank Griffel, “Theology Engages With Avicennan Philosophy: Al- Ghazālī’s Tahāfut al-Falāsifa and Ibn al-Malāḥimī’s Tuḥfat al-Mu-
takallimīn Fī l-Radd ʿalā l-Falāsifa,” dalam The Oxford Handbook of Islamic Theology, ed. Sabine Schmidtke (Oxford: Oxford University
Press, 2016).
7
Wilferd Madelung, “Ibn Al-Malahimi,” dalam Christian-Muslim Relation. A Bibliographical History, vol. 3 (1050-1200), eds. David
Thomas&Alexander Mallet (Leiden: Brill, 2011), h. 440.
pengikut.8 Selanjutnya, dikatakan bahwa dia belajar tafsir Qurán dibawah mufassir terkenal
Mu’tazilah, al-Zamakhshari dan pada saat yang sama sang mufassir belajar teologi pada Ibn al-
Malahimi.9 Perkenalan Ibn al-Malahimi dengan pemikiran filsafat adalah melalui Abu Mudar
Mahmud b. Jarir al-Dabbi al-Isfahani (d. 508/1115), seorang ahli nahwu, dokter dan juga sastrawan
yang pada saat itu tengah mengunjungi daerah Khwarazm. Abu Mudar jugalah yang mengenalkan
Ibn al-Malahimi pada ajaran Mu’tazilah dari Mazhab Abu al-Husayn al-Basri. Sebelumnya Ibn al-
Malihimi mengadopsi ajaran mazhab Abu Hashim al-Jubba’i dan Qadi Abd al-Jabbar.10 Adapun
karya-karya Ibn al-Malahimi yang dapat diidentifikasi diantaranya: al-Mu’tamad fi usul al-din; al-Faiq
fi al-Usul; Tuhfat al-Mutakallimin fi al-radd ‘ala al-falasifa; Kitab al-Hudud; Jawah al-Masail al-Isfahaniyya;
Kitab al-Tajrid.11
Karya Ibn al-Malahimi yang menjadi rujukan primer dari penelitian ini adalah Tuhfat al-
Mutakallimin fi al-radd ‘ala al-falasifa. Tujuan dan isi dari kitab Tuhfat adalah jelas, yaitu untuk
mengkritisi pemahaman filsuf ditinjau dari cara pandang teologi Mu’tazilah. Ibn al-Malahimi
bukanlah yang pertama dalam sejarah polemik pemikiran antara teolog-filsuf yang menuliskan
sanggahan atas argumen mereka. Para akademisi tentunya lebih familiar dengan sosok al-Ghazali,
sang Hujjatul Islam yang telah melancarkan kritiknya terhadap filsafat melalui karyanya Tahafut.
Akan tetapi, dalam hal ini terdapat perbedaan yang sangat mencolok diantara keduanya. Ibn
al-Malahimi dan Tuhfat tidak semashur al-Ghazali dan Tahafut-nya. Patut diduga bahwa hal itu
berkaitan dengan latarbelakang Ibn al-Malahimi sebagai Mu’tazilah dan oleh karenanya karyanya
yang mengkritisi filsafat hanya mewakili pandangan kelompok tertentu, yaitu Mu’tazilah. Terlebih
lagi, pada saat itu Mu’tazilah telah kehilangan pengaruh politiknya pasca kejadian Mihnah dan
pengaruh teologisnya akibat munculnya aliran Ash’ariah yang dikenal mengkritisi gagasan-gagasan
Mu’tazilah. Selain itu, Mu’tazilah dianggap kelompok yang menyimpang oleh para penganut
mazhab Ashari maupun kelompok muslim pada umumnya disebabkan pendekatan rasional pada
argumentasi-argumentasi teologis mereka. Hal itu, secara tidak langsung, berpengaruh terhadap
rekognisi karya mereka berdua. Sanggahan al-Ghazālī terhadap filsafat memiliki karir yang
menonjol sejak diterbitkannya karya tersebut hingga sampai saat ini. Sementara karya Ibn al-
Malahimi tidak diketahui oleh sebagian besar sarjana sampai ditemukannya pada tahun 2001 oleh
Hasan Ansari di sebuah perpustakaan di Masyhad.12 Pada tahap ini penting untuk memahami
posisi Ibn al-Malahimi dan al-Ghazali dalam mengkritik filsuf serta memberikan beberapa uraian
singkat tentang karya keduanya yang sama-sama ditujukan untuk membantah pendapat filsuf.
Ibn al-Malahimi mengklaim dirinya adalah teolog muslim pertama yang menulis kritik terhadap
filsafat, klaim yang sama juga dinyatakan oleh al-Ghazali empat dekade sebelumnya.13 Selain itu,
8
Ibn Murtadha, Tabaqat Al-Mu’tazilah (Beirut, 1961), h.119.
9
Rukn al- Din Mahmud b. Muhammad Ibn al- Malahimi, Kitab Al- Muʿtamad Fi Usul al-Din, ed. Wilferd Madelung (London: al-Hoda,
1991), h. iii.
10
Wilferd Madelung, “Ibn Al-Malāḥimī’s Refutation of the Philosophers,” dalam A Common Rationality: Mu’tazilism in Islam and Judaism, ed.
Camilla Adang, Sabine Schmidtke, and David Sklare (Ergon Verlag, 2007), h. 331, https://doi.org/10.5771/9783956506895-331.
11
Ibn al- Malahimi, Kitab Al- Muʿtamad Fi Usul al-Din, h. iv.
12
Madelung, “Ibn Al-Malāḥimī’s Refutation of the Philosophers,” h. 447.
13
Griffel, “Theology Engages With Avicennan Philosophy: Al- Ghazālī’s Tahāfut al-Falāsifa and Ibn al-Malāḥimī’s Tuḥfat al-Mutakallimīn
Fī l-Radd ʿalā l-Falāsifa,” h. 449.
poin penting yang harus diketahui adalah bahwa kitab Tuhfat ditulis lebih dari empat dekade
setelah Tahafut. Hal tersebut yang menimbulkan pertanyaan apakah Ibn al-Malahimi mengenal
Tahafut-nya al-Ghazali. Sebagai figur besar dalam dunia Islam, tidak dapat dipungkiri bahwa al-
Ghazali merupakan sosok dan memiliki pengaruh pemikiran yang besar pada saat itu semenjak
rentang hidup al-Ghazali dan Ibn al-Malahimi tidaklah terlalu jauh. Akan tetapi, Ibn al-Malahimi
tidak pernah sekalipun menyebutkan atau merujuk pada al-Ghazali. Hal tersebut tentunya
menimbulkan spekulasi apakah hal itu ditengarai perbedaan latarbelakang antara al-Ghazali yang
merupakan figur penting mazhab Ash’ariah dan Ibn al-Malahimi sebagai representasi Mu’tazilah
atau karena sebab lainnya. Terlepas dari hal itu, secara mengejutkan, baik Tahafut maupun Tuhfat
memiliki jumlah pembahasan yang sama, yaitu 20 persoalan. 14 Keduanya juga memiliki beberapa
kesamaan dalam isu pembahasan seperti isu penciptaan dunia, sifat-sifat Tuhan, dan kehidupan
setelah kematian. Akan tetapi, Ibn al-Malahimi menuliskan pembahasan yang tidak dibahas atau
tidak mendapatkan perhatian yang proporsional oleh al-Ghazali dalam Tahafut-nya, yaitu isu
tentang taklif, kenabian dan makna esoteris (al-ma’na al-batiniyyah).
Terkait latarbelakang penulisan Tuhfat, Ibn al-Malahimi mengungkapkan keresahannya atas
kondisi saat itu dimana ia melihat para ulama fiqh, yang diantaranya berafiliasi dengan mazhab
Shafi’i, memiliki ketertarikan dan minat yang besar untuk mempelajari disiplin ilmu filsafat. Mereka
menganggap bahwa filsafat dapat membantu mereka untuk mengasai ilmu syariat dan prinsip-
prinsipnya (usul). hal itu juga kemudian diikuti oleh beberapa ulama Hanafiyya yang merupakan
mazhab fiqh Ibn al-Malahimi sendiri. Dalam pandangan Ibn al-Malahimi mereka telah terjerumus
ke dalam jebakan karena gagal memahami bahwa kajian hukum Islam seharusnya didahului dengan
kajian usul fiqh dan usul islam, yaitu ilmu kalam. Lebih lanjut, kekhawatiran Ibn al-Malahimi
secara spesifik merujuk pada ketakutan pribadinya atas komunitas Muslim yang akan berakhir
dalam hubungannya dengan prinsip-prinsip internal Islam seperti yang terjadi pada orang-orang
Kristen. Ibn al-Malahimi berpendapat bahwa para pemimpin Kristen sangat bersimpati dengan
pembelajaran filsafat yang mana menjadikan mereka meninggalkan ajaran agama mereka sendiri,
dan beralih pada jalan filsuf yang melahirkan beberapa prinsip seperti kesatuan hipostasis, Yesus
menjadi Tuhan setelah ia menjadi manusia dan lain sebagainya.15
Sementara itu, al-Ghazali dalam karyanya, Tahafut al-Falasifah, juga menunjukan keresahanya
terhadap kelompok Muslim yang berpikir mereka lebih pintar dan lebih cerdas daripada yang
lain dan mereka tdak mentaati ibadah-ibadah Islam, mencela syiar agama seperti salat, menjauhi
larangan serta menghina perintah yang ditetapkan syariat. Selain itu mereka mengganti dasar
ajaran agama dengan pengetahuan yang berasaskan praduga (dhzan). Orang-orang ini mengklaim
bahwa mereka mengikuti ajaran para filosof kuno seperti Socrates, Hippocrates, Plato, Aristoteles,
dan lainnya, yang mereka anggap sebagai ahli semua ilmu pengetahuan.16
14
Griffel, h. 450.
15
Rukn al- Din Mahmud b. Muhammad Ibn al- Malahimi, Tuhfat Al- Mutakallimin Fī al-Radd ʿala al-Falasifa, ed. H Ansari and Wilferd Mad-
elung (Tehran/ Berlin: Iranian Institute of Philosophy/ Institute of Islamic Studies, 2008), h. 3.
16
al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah, ed. Sulaiman Dunya (Kairo: Darul Maárif, n.d.), h. 73.
Dari deskripsi singkat diatas terkait latarbelakang penulisan masing-masing kitab, dapat
dipahami bahwa keduanya memiliki keresahan yang sama terhadap pemikiran filsafat yang
berkembang di dunia Islam. Selanjutnya, menurut Griffel, motif dari penulisan kedua buku
tersebut tidaklah jauh berbeda, yaitu untuk mengkritisi sistem filsafat Ibn Sina dan membendung
pengaruhnya terhadap pemikiran kaum Muslim. Ibn al-Malahimi berusaha mengkritisi
pemahaman filsuf yang berseberangan dengan ajaran Mu’tazilah yang ia pegang. Sementara
al-Ghazali memfokuskan pada klaim filsuf tentang independensi keilmuan dari wahyu dan
keunggulan metode mereka. Selain itu, Keduanya juga menyadari bahwa sistem filsafat tersebut
mengancam otoritas teologi yang menjadi basis pijakan pemikiran mereka. Akan tetapi, dalam
hal ini, keduanya menempuh strategi yang berbeda. Kritik al-Ghazali terhadap filsafat dengan
cara memilah ajaran-ajaran yang tidak cocok dengan ajaran Islam merupakan langkah awalnya
untuk mengadopsi beberapa ajaran Ibn Sina dan menyesuaikannya dengan ajaran teologi
Ash’ariah yang ia pegang. Sementara Ibn al-Malahimi tampil untuk membela ajaran Mu’tazilah
dan mempresentasikan kebenaran dari sisi mazhabnya.
Perbedaan strategi yang diambil merupakan hasil pemahaman mereka tentang pergerakan
filsafat. Al-Ghazali melihat filsafat sebagai sesuatu di luar Islam dan oleh karenanya, dibutuhkan
suatu respon yang berlapis-lapis dan tepat untuk mengambil beberapa elemen dan menjadikannya
bagian dari Islam. Hal itu ditempuh untuk memenuhi tujuan akhir, yaitu mensubordinasi filsafat
dibawah agama. Sementara bagi Ibn al-Malahimi yang hidup empat dekade setelah al-Ghazali,
pergerakan filsafat adalah bagian dari Islam. Oleh karena itu, Ibn al-Malahimi mengambil sikap
seperti seorang teolog yang berpolemik lawannya, yaitu dengan menulis sanggahan terhadap
ajaran mereka. Selanjutnya, perbedaan yang paling tampak diantara keduanya adalah konsekuensi
status legal terhadap pemikiran filsuf.17 Al-Ghazali menegaskan kecaman hukum setelah kritik
teologis yang dilancarkannya. Di akhir Tahafut, Ia mengulas bagaimana sikap terhadap 20
ajaran filsuf apakah menjurus pada kekafiran dan berhak atas hukuman mati. Dalam hal ini, al-
Ghazali tidak secara eksplisit membahas lebih lanjut mengenai penetapan hukuman mati, akan
tetapi al-Ghazali menghukumi 3 ajaran filsuf yang dapat dimasukan pada kategori kafir yaitu
ajaran tentang keabadian dunia, penyangkalan filsuf tentang pengetahuan Allah tentang hal-hal
partikular, dan penyangkalan filsuf terhadap kebangkitan fisik di akhirat. Sementara 17 ajaran
lainnya dikategorikan bid’ah.18 Disisi lain, bagi Ibn al-Malahimi, meskipun menyatakan bahwa
para filsuf seperti al-Farabi dan Ibn Sina adalah keluar dari Islam, akan tetapi dia tidak berfikir
bahwa kekafiran harus dihukum oleh otoritas. Motifnya sebagai teolog Mu’tazilah adalah untuk
menyingkap dan mengkritisi kesalahan ajaran filsuf, tanpa memberikan perhatian pada status
hukum kepada mereka.
17
Griffel, “Theology Engages With Avicennan Philosophy: Al- Ghazālī’s Tahāfut al-Falāsifa and Ibn al-Malāḥimī’s Tuḥfat al-Mutakallimīn
Fī l-Radd ʿalā l-Falāsifa,” h. 453.
18
al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah, h. 307–9.
wujud-Nya tidak membutuhkan suatu manfaat atau memiliki kekurangan. Maka tujuan tersebut
adalah merujuk pada manusia, maka penciptaan manusia tidak boleh hanya berisi kesukaran tanpa
suatu manfaat karena hal itu adalah kezaliman yang buruk, maka penciptaan manusia adalah
untuk kebermanfaatannya.23
Selanjutnya, Ibn al-Malahimi menjelaskan konsekuensi dari taklif yaitu pahala dan hukuman.
Menurutnya, Taklif membuat pelakunya mendapatkan pahala. Dengan pengertian bahwa
ketika Tuhan memerintahkan sesorang untuk berbuat kewajiban-kewajiban, dan meninggalkan
keburukan-keburukan guna mencapai manfaat yang besar, dengan pemahaman bahwa ketika
sesorang mentaati hal tersebut maka Tuhan akan memberikan pahala. Dan hal itu juga menimbulkan
konsekuensi hukuman jika seseorang berbuat keburukan. Selanjutnya, Ibn al-Malahimi
berpendapat bahwa taklif syar’i atau sam’i merupakan kelanjutan dari taklif aqli, karena dengan
penegasan syariat akan menghasilkan sebuah ketaatan yang berlebih. Dalam hal ini, pengetahuan
tentang syariat didapatkan melalui rasul-rasul Tuhan, dan menjadikan bukti kebenaran atas apa
yang dibawa melalui adanya mukjizat. Dari para rasul-Nya dijelaskan ketaatan dan kemaksiatan
yang akan menghasilkan ganjaran dan hukuman.24 Adapun tindakan Tuhan dengan tujuan
memberi tahu manusia tentang apa yang menjadi kewajiban dan yang harus ditindakan melalui
pengutusan rasul-rasul-Nya disebut dengan altaf (jamak dari lutf). dan pengutusan rasul tersebut
juga bertujuan untuk menerapkan maslahat-maslahat keagamaan. Hal itu juga dibuktikan dengan
pemberian mu’jizat sebagai bukti atas kebenaran, salah satu Mu’jizat yang terbesar adalah al-
Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad.25
Ibn al-Malahimi melanjutkan penjelasannya bahwa Allah telah menunjukkan bukti atas
kenabian melalui al-Qur’an sebagai Mu’jizat. Dan mengetahui dari wahyunya bahwa Qur’an
merupakan kalamullah (perkataan Allah), dan apa yang didalamnya adalah sebuah kebenaran,
dan sunnahnya yang merupakan kebenaran jalannya adalah kebenaran yang wajib dikerjakan,
dan keterangan itu diketahui melalui pengutusan nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. Dan
dari keterangan itu diketahuilah tentang apa yang dijanjikan Allah kepada orang mu’min dan
kafir. Karena Allah akan bertindak sesuai dengan apa yang Allah beritakan. Demikian lah seluruh
pendapat Ibn al-Malahimi tentang taklif, ganjaran, hukuman, kenabian dan syariat.
mereka untuk berperilaku zalim terhadap satu sama lain; (2) Para filsuf menegasikan pahala dan
hukuman pada kebangkitan jasad pada kehidupan setelah kematian. Mereka menggantikannya
dengan pemahaman filsafat tentang kebaikan akhlak yang menjadi pahala dan keburukan akhlak
sebagai hukuman; (3) Para filsuf menegasikan konsep taklif karena menurut mereka “segala
sesuatu terjadi adalah kewajiban dari sebab-sebab yang mewajibkan” dan oleh karenanya hal
tersebut menghilangkan aspek ikhtiyar atau pilihan dari manusia. Para filsuf berpendapat bahwa
segala sesuatu dipengaruhi oleh sebab-sebab primer. Ibn al-Malahimi berpendapat gagasan itu
berimplikasi bahwa manusia tidak memiliki dimensi taklif dan elemen-elemen lain yang lahir
daripadanya seperti ganjaran dan hukuman atas ketentuan yang diwahyukan oleh Agama.26
Penjelasan ketiga poin tersebut adalah sebagai berikut.
26
Ibn al- Malahimi, h. 137.
27
Ibn al- Malahimi, h. 137.; Lihat juga Ibn Sina, The Metaphysics of Healing (al-Shifa) (A Parallel English-Arabic Text, Translated, Introduced
and Annotated by Michael Marmura) (Provo, UT: Brigham University Press, 2005), h. 364–65.
28
Ibn al- Malahimi, Tuhfat Al- Mutakallimin Fī al-Radd ʿala al-Falasifa, h. 143.; Lihat juga h, 367–68.
untuk menegakkan keadilan dan mencegah kezaliman.29 Pada tahap ini adalah jelas bahwa Ibn
al-Malahimi mengunggulkan akal dari pada gagasan tentang keadilan sebagai sebuah panduan
manusia untuk mencapai maslahat. Selain itu, Ibn al-Malahimi mengkritisi pendapat filsuf
tentang tujuan kenabian. Para filsuf berpendapat bahwa taklif syariat dan pengutusan nabi adalah
bertujuan untuk memperbaiki (islah) dunia guna menegakkan keadilan dan menghindarkan dari
perilaku kezaliman diantara manusia.30 Menurut Ibn al-Malahimi pemikiran itu adalah tidak tepat.
Dalam pandangan Ibn al-Malahimi, hal tersebut bertentanggan dengan kenyataan yang terjadi
karena nabi pada awal pengutusannya mereka mendapatkan cobaan melalui pertentangan yang
dahsyat, sehingga melahirkan peperangan yang mana membunuh beberapa sahabat, faktanya
hal itu merupakan kerusakan yang besar dan seburuk-buruknya perbuatan zalim. Orang-orang
memusuhi nabi karena mereka membawa ajaran yang berbeda dengan sebelumnya. Dengan
demikian hal tersebut bertentangan dengan argumen para filsuf.31 Ibn al-Malahimi menyatakan
bahwa tujuan diutusnya nabi adalah untuk mengetahui maslahat-maslahat keagamaan. Selain
itu, Ibn al-Malahimi berpendapat bahwa pengutusan nabi pada setiap zaman adalah tidak wajib.
Dan jika Tuhan mengutus nabi pada suatu masa, maka haruslah memiliki dimensi kebaikan dan
membawa suatu maslahat karena maslahat mukallaf selalu berubah setiap zaman. Oleh sebab itu,
terdapat perbedaan diantara syariat-syariat yang dibawa nabi-nabi yang mana saling menghapuskan
(naskh) satu sama lain.32 Dengan demikian, menurut Ibn al-Malahimi, bahwa para filsuf memiliki
pandangan yang sama mengenai pokok-pokok ajaran Islam yang kemudian mereka distorsi melalui
interpretasi-interpretasi mereka yang berasal dari pemahaman filsafat. Menurut Ibn al-Malahimi,
tujuan diutusnya nabi adalah untuk memberitahukan tentang maslahat-maslahat agama, karena
hal itu adalah hal yang berada diluar jangkauan akal.33
29
Ibn al- Malahimi, Tuhfat Al- Mutakallimin Fī al-Radd ʿala al-Falasifa, h. 138.
30
Ibn al- Malahimi, h. 143.
31
Ibn al- Malahimi, h. 143.
32
Ibn al- Malahimi, Kitab Al-Faʾiq Fi Usul al-Din, h. 382.
33
Ibn al- Malahimi, Tuhfat Al- Mutakallimin Fī al-Radd ʿala al-Falasifa, h. 139.
34
Ibn al- Malahimi, 139. Bandingkan dengan Ibn Sina, The Metaphysics of Healing (al-Shifa), h. 369.
adalah dirantai dan dibelenggu serta membakar pelakunya dalam api secara berulang-ulang,
dan menjeratnya dengan ular dan kalajengking. Hal itu merupakan perilaku orang yang ingin
melampiaskan amarahnya terhadap musuhnya, yaitu dengan mencederai atau memberikan
rasa sakit yang ditimbulkannya karena permusuhan terhadapnya; dan itu tidak mungkin dalam
sifat Allah Ta’ala, karena itu merupakan tindakan orang yang menghendaki bahwa makhluk
yang mencontoh dirinya harus menahan diri dari tindakan seperti dia atau menahan diri untuk
mengulangi tindakan tersebut.35 Dalam pandangan Ibn Sina, ganjaran dan hukuman adalah
sebagai berikut:
“Ganjaran adalah terjadinya kenikmatan dalam jiwa sesuai dengan tingkat kesempurnaannya,
sedangkan hukuman adalah timbulnya rasa sakit dalam jiwa sesuai dengan tingkat kekurangannya.
Jadi keberadaan jiwa dalam kekurangan adalah keterasingannya (al-bu’d) dari Allah Yang
Mahakuasa, dan ini adalah kutukan (al-la’nah) dan hukuman (al-’uqubah) dan kemarahan (al-sukht)
dan kemurkaan (al-ghadhab) [Tuhan], dan rasa sakit datang padanya dari kekurangan itu. Dan
kesempurnaan adalah apa yang dimaksud dengan kerelaan (al-ridha) dan kedekatan (al-zulfa) dan
keakraban (al-qurb) dan penjagaan (al-walayah) dengannya [Tuhan].”36
Ibn al-Malahimi mempertanyakan bagimana Tuhan memberikan ganjaran terhadap manusia.
Jika dikatakan bahwa ganjaran bagi pelaku kebaikan adalah melalui emanasi dari intelek, yang mana
Tuhan telah memancarkan kebaikan pada intelek-intelek dan hal itu merupakan ganjaran Tuhan
terhadap pelaku kebaikan. Ibn al-Malahimi menjawab lantas bagaimana hal itu disebut sebagai
ganjaran bagi pelaku kebaikan apabila hal tersebut melalui skema emanasi dari Dzat Tuhan dan
dzat intelek-intelek yang berlangsung secara determinan di mana seseorang tidak memiliki tujuan
(qasd) dan pilihan (ikhtiyar) dalam dirinya.37 Hal itu bagi Ibn al-Malahimi merupakan paradoks
dan menyalahi keadilan Tuhan karena bagaimana Tuhan memberikan pahala dan hukuman jika
perbuatan manusia juga diciptakan oleh-Nya. Hal tersebut sangat bertentangan dengan gagasan
Mu’tazilah. Pertanyaan yang selanjutnya diajukan oleh Ibn al-Malahimi adalah apabila intelek
memancarkan kebaikan kepada seorang yang berlaku baik, lalu siapakah yang memancarkan
hukuman bagi pelaku perbuatan buruk? Ibn al-Malahimi berpendapat bahwa para filsuf akan
menjawab bahwa sesungguhnya intelek yang memancarkan kepadanya, karena intelek merupakan
kebaikan murni (khayr mahd), seperti halnya Tuhan adalah kebaikan murni (khayr mahd).38 Pada tahap
ini Ibn al-Malahimi dengan cermat dan jeli mengekspos pemikiran Ibn Sina tentang hubungan
antara sistem metafisika ketuhahanan, konsep emanasi dan permasalahan tentang ganjaran dan
hukuman. Menurut Ibn al-Malahimi para filsuf mengadopsi gagasan Tuhan sebagai kebaikan
murni dari Pytagoras yang menyatakan bahwa Tuhan adalah kebaikan murni, yang memancarkan
wujudnya dan kebaikannya pada intelek yang mengambil daripadanya keutaman-keutamaan, dan
jiwa mengambilnya dari intelek sehingga memancarkannya pada alam semesta.39
35
Ibn Sina, Risalah Fi Sirr Al-Qadar (Dairah al-Ma’arif al-Uthmaniyyah, 1353 H), h. 4.
36
Ibn Sina, 3.; Lihat juga Ibn Sina, Ibn Sina’s Remarks and Admonitions: Physics and Metaphysics, trans. Shams Inati (New York: Columbia Uni-
versity Press, 2014), h. 180–81.
37
Ibn al- Malahimi, Tuhfat Al- Mutakallimin Fī al-Radd ʿala al-Falasifa, h. 139.
38
Ibn al- Malahimi, h. 139.
39
Ibn al- Malahimi, h. 6–10.
Dalam al-Shifa, Ibn Sina menjelaskan tentang Tuhan sebagai wujud yang niscaya (wajib al-
wujud) dan sumber kebaikan. Argumen yang ia sampaikan adalah sebagai berikut: Allah sang
wajibul wujud adalah kesempurnaan dan kebaikan yang murni dalam dzat-Nya. Sang Wajib al-
wujud terbebas dari segala keburukan dan kekurangan. Sedangkan wujud nisbi (mumkinul wujud)
bukan lah kebaikan murni karena zatnya memiliki kemungkinan pada kekurangan (‘adam).
Segala sesuatu yang memiliki kemungkinan atas kekurangan tidak terbebas dari keburukan dan
kekurangan. Dalam hal ini, Tuhan adalah pemberi kesempurnaan dan kebaikan kepada segala
sesuatu melalui proses emanasi. Kebaikan adalah apa yang melengkapi eksistensi, dengan kata
lain, semakin mewujud-nya sesuatu maka semakin besar dan murni tingkat kebaikannya. Kebaikan
adalah sebuah esensi yang identik dengan keadaan wujud. Sementara keburukan tidak memiliki
esensi, karena ia adalah aksiden.40
Penjelasan diatas dapat memberikan pemahaman dan jalan masuk terkait masalah selanjutnya
yang dibedah Ibn al-Malahimi, yaitu hubungan antara prinsip emanasi dalam sistem kosmologi
Ibn Sina dan hubungannya dengan problem kebaikan. Ia menyoroti dua permasalahan yaitu alam
semesta dan kebijaksanaan alam semesta. Ibn al-Malahimi mempersoalkan pemahaman para
filsuf yang menyatakan bahwa “segala sesuatu terjadi adalah kewajiban dari sebab-sebab yang
mewajibkan”. Apabila demikian, Ibn al-Malahimi mempertanyakan kenapa sebagian sesuatu ada
yang mulia dan ada yang hina, ada yang baik dan ada yang buruk. Menurutnya hal itu membuktikan
inkonsistensi prinsip tersebut. Hal itu karena jika dirunut hingga pada susur galur paling akhir
yang mana disebut filsuf sebagai kebaikan murni, lalu dari manakah asalnya keburukan dan
ketidakmurnian (khasis), Jika keduanya berasal dari salah satu aluran tersebut, maka seluruh rantai
susur galur dari sebab-sebab tercemar oleh keburukan dan ketidakmurnian. Dan hal itu, menurut
Ibn al-Malahimi, berimplikasi pada apa yang disebut sebagai hikmah alam semesta. Ibn al-
Malahimi menegaskan bahwa apa yang terpancar dari keburukan dan ketidakmurnian bukanlah
suatu hikmah.41 Hal itu dapat diilustrasikan sebagai berikut, jika kebaikan adalah memancar
dari sumber tertinggi seperti A mempengaruhi B, dan kemudian B mempengaruhi C, dan C
mempengaruhi D. Lalu, jika D memiliki keburukan maka hal itu timbul dari mana? Apakah
dari C, B, atau A sebagai sumber yang pertama dan tertinggi. Jika demikian, hal itu dengan kata
lain menyatakan bahwa Tuhan menciptakan keburukan. Hal itu adalah tidak mungkin karena
menurut Ibn al-Malahimi Tuhan selalu menciptakan sesuatu dengan manfaat didalamnya dan
tidak mungkin menjerumuskan pada keburukan.
Berdasarkan penjelasan diatas, apa yang menjadi perhatian Ibn al-Malahimi adalah jika tuhan
adalah kebaikan murni yang memancarkan kebaikannya pada alam semesta dan manusia melalui
skema emanasi, maka yang menjadi masalahan adalah segala kebaikan dan juga keburukan
terhubung dengan hal itu dan hal tersebut menjadi faktor yang determinan, sehingga perbuatan
baik buruk manusia selalu merupakan sebuah rangkaian yang berisi sebab-sebab yang bersifat
40
Ibn Sina, The Metaphysics of Healing (al-Shifa), h. 283–84. Lihat juga Ibn Sina, Al-Risalah al-’Arshiyyah (Dairah al-Ma’arif al-Uthmaniyyah,
1353 H), h. 17–18.
41
Ibn al- Malahimi, Tuhfat Al- Mutakallimin Fī al-Radd ʿala al-Falasifa, h. 142.
deterministik yang berasal dari emansi dari Sang kebaikan murni.42 Hal itu adalah kesalahan besar
bagi Mu’tazilah karena secara tidak langsung menegaskan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan
manusia.
Lebih lanjut, menurut Ibn al-Malahimi, para filsuf memahami taklif sebagai sebuah
ketetapan yang berasal dari Allah sebagai pengendali (al-saiq) tindakan manusia untuk mencapai
kesempurnaanya di dunia maupun akhirat, dan mencegah manusia dari perbuatan keburukan.
Dalam hal ini, Ibn al-Malahimi mempertanyakan tentang apa yang dimaksud bahwa ketetapan
berasal dari Allah, apakah itu adalah sebuah perintah dan atau larangan untuk berbuat? Apabila
demikian hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip yang ditegaskan oleh filsuf yang berpendapat
bahwa segaa Zat-Nya adalah suatu yang Esa. Apabila yang dimaksud adalah merujuk pada intelek
(al-’aql) atau intelek-intelek (al-’Uqul), maka dengan kata lain, intelek lah yang memberikan ketetapan
tersebut. Jika demikian, bukankah sebab-sebab dan musabab yang berasal dari suatu rangkaian
yang berakhir pada zat Allah juga mustahil melakukan hal itu. Maka bagi Ibn al-Malahimi hal itu
mengkonfirmasi inkonsistensi pemahaman filsuf.43
Ibn al-Malahimi berpendapat para filsuf telah menafikan signifikansi taklif dan ganjaran
maupun hukuman karena bagi mereka Allah telah memancarkan dari Dzat-nya kebaikan, bukan
karena suatu kehendak dari Tuhan. Selain itu, konsep emanasi kebaikan dari Tuhan merupakan
proses kemenjadian dari sebab-sebab yang mewajibkan kebaikan yang berasal dari rangkaian
tertinggi yang berasal dari Dzat-Nya. Konsekuensi daripada konsep tersebut adalah apa yang
menjadi kewajiban bukan karena manusia yang meliputi baik atau buruk merupakan suatu
determinan yang berasal dari sebab-sebab lain diluar dari dirinya. Dan oleh karenanya, jika
perbuatan-perbuatan tersebut adalah determinan maka maka tidak dibenarkan adanya ganjaran
dan hukuman diakhirat.44
Perlu dipahami bahwa upaya Ibn al-Malahimi dalam menghubungkan pembahasan taklif
dengan hukuman adalah karena hal itu berhubungan pada salah satu prinsip pokok Mu’tazilah
tentang keadilan Tuhan dan hubungannya dengan al- wa’d dan al-wa’id atau janji dan ancaman.45
Hal itu secara simultan berkaitan dengan gagasan bahwa Tuhan Sang Maha Adil tidaklah mungkin
bersifat zalim. Ketika Tuhan menciptakan syariat untuk berupa perintah dan larangan maka
manusia harus mentaatinya. Dan tiap-tiap dari perbuatan manusia selalu memiliki konsekuensi
berupa ganjaran maupun hukuman karena tersebut adalah janji Tuhan. Dan perbuatan-perbuatan
manusia itu haruslah tidak diciptakaan oleh Tuhan, karena jika demikian maka Tuhan telah berlaku
zalim. Hal itu mengantarkan pada pembahasan tentang kehendak manusia.
tentang kehendak manusia. Hubungan antara Taklif dan kehendak manusia tidak bisa dilepaskan.
Dalam pandangan Ibn al-Malahimi, jika Tuhan telah menetapkan bahwa ia membebankan taklif
kepada hambanya, maka hal itu berarti sesorang harus melakukannya atau tidak melakukannya.
Dengan kata lain, hal itu mensyaratkan adanya sebuah kehendak atau kemampuan untuk memilih
dalam diri manusia. Dalam hal ini, Ibn al-Malahimi menghubungkan dengan gagasan deterministik
filsuf yang berpendapat bahwa perbuatan sesorang dihasilkan dari sebab-sebab yang mewajibkan
dan sebab-sebab itu berasal dari luar diri manusia dan oleh karena itu bersifat eksternal. Hal
tersebut berasal dari rantai sebab-sebab tertinggi yaitu pada Sang wujud yang niscaya (wajib al-
wujud). Oleh karenanya, Ibn al-Malahimi menyebut filsuf mengadopsi prinsip deterministik
(mujbirah) yang menafikan taklif, serta hukuman dan ganjaran bagi manusia. Menurut Ibn al-
Malahimi, pengetahuan akan prinsip-prinsip tersebut merupakan sesuatu yang utama.
Menurut Ibn al-Malahimi, Ibn Sina telah menegaskan doktrin deterministik bahwa kewajiban
perbuatan seorang hamba disebabkan oleh sebab-sebab eskternal seperti yang ia tuliskan dalam
karyanya berjudul al-Quwa al-insaniyyah. Ibn al-Malahimi merujuk penjelasan Ibn Sina bahwa
segala sesuatu memiliki sebab, dan sebab-sebab itu berasal dari permulaan tatanan dari sebab-
sebab segala sesuatu, oleh sebab itu tidak ada kehendak yang baharu (hadithan) kecuali dari suatu
sebab yang mana adalah sebab dari segala sebab. Oleh karenanya:
“manusia tidak bisa menciptakan perbuatan dari perbuatan-perbuatan tanpa didasarkan pada
sebab-sebab eksternal yang mana bukanlah suatu pilihan (ikhtiyar), dan sebab-sebab tersebut adalah
bersandar pada tatanan (tartib), dan tatanan tersebut bersandar pada takdir, dan takdir bersandar
pada qada, dan qada bersandar pada suatu ketetapan, bahwa segala sesatu adalah sesuai takdir. Yang
dimaksud dengan takdir dan qada adalah ketetapan intelek-intelek yang disebut malaikat, sehingga
mereka menggambarkan sebagian dari apa yang mereka curahkan ke jiwa, kemudian jiwa-jiwa itu
memancar ke alam sampai pada peristiwa di alam semesta.”46
Selanjutnya Ibn al-Malahimi mengutip uraian Ibn Sina tentang lawh mahfud (lembaran yang
terjaga) atau suatu kitab yang ditulis Allah yang mencatat segala kejadian di dunia. Ibn Sina
berpendapat:
“Jangan dikira bahwa bahwa al-qalam merupakan alat yang bersifat materil dan al-lawh berbentuk
sederana nan datar, dan tulisan merupakan goresan tertulis, akan tetapi [yang dimaksud] al-qalam
adalah malaikat spiritual, dan al-kitabah merupakan pengambaran atas hakikat-hakikat, dan al-
qalam mengabarkan atas makna-makna yang disimpan oleh lawh dengan tulisan spiritual. Dan qada
berasal dari al-qalam, dan takdir [berasal dari] al-lawh, dan qada itu termasuk isi perintah seseorang,
dan qadar dari lawh itu termasuk isi wahyu tentang hal-hal yang diketahui, dan dari keduanya itu
diberikan kepada malaikat yang ada di langit, kemudian memancar dipancarkan kepada malaikat
yang ada di bumi, maka tercapailah takdir yang ada.” 47
46
Ibn al- Malahimi, 144–45.; Ibn Sina, Tis’u Rasail, h. 68.
47
Ibn al- Malahimi, Tuhfat Al- Mutakallimin Fī al-Radd ʿala al-Falasifa, 144.; Ibn Sina, Tis’u Rasail, h. 67–68.
Menurut Ibn al-Malahimi, dengan pernyataan diatas, para filsuf memiliki kesamaan secara
pengibaratan lawh, kitabah, qada, dan qadar. Akan tetapi interpretasi filsuf adalah berbeda dengan
pemahaman muslim. Para filsuf menghubungkan lawh, kitabah, qada, dan takdir pada intelek-intelek.
Ibn al-Malahimi menggungat interpretasi tersebut dan mempertanyakan sumber penjelasan seperti
yang dijelaskan filsuf apakah berasal dari riwayat nabi ataukah hanya sebuah interpretasi esoteris.
Selanjutnya, Ibn al-Malahimi menukil pernyataan Ibn Sina bahwa manusia pada faktanya
tidak memiliki kehendak bebas.:
“Jika seseorang berfikir bahwa dia melakukan apa yang dia inginkan dan memilih apa yang menjadi
kehendaknya, apakah itu peristiwa dalam dirinya setelah apa yang bukan atau bukan peristiwa
dalam dirinya? Jika bukan suatu peristiwa di dalamnya, maka harus disertai dengan pilihan itu sejak
keberadaannya, dan harus melekat pada pilihan itu, yang mana tidak terpisahkan darinya, dan harus
dikatakan bahwa pilihan itu diwajibkan oleh selain dirinya. Dan jika itu suatu peristiwa, dan dari
setiap peristiwa ada penyebabnya, maka pilihannya adalah suatu kebetulan diatas penyebab keharusan.
(Dan ini adalah sebab) entah dia atau orang lain, jika dia adalah dirinya sendiri, tidak bebas. Entah
ciptaan pilihannya adalah karena pilihan, dan ini berlanjut tanpa akhir, atau keberadaan pilihan
dala dirinya, bukan karena pilihan. Jadi dia didasarkan pada itu oleh orang lain dan berakhir dengan
penyebab luar dirinya yang bukan karena pilihannya, dan hal tersebut berakhir dengan pilihan Sang
Abadi yang mengharuskan pengaturan keseluruhan apa adanya. Dari sini menjadi jelas bahwa setiap
makhluk, baik dan jahat, didasarkan pada penyebab yang berasal dari kehendak azali.”48
48
Ibn al- Malahimi, Tuhfat Al- Mutakallimin Fī al-Radd ʿala al-Falasifa, h. 145–46.; Ibn Sina, Tis’u Rasail, h. 68–69.
49
Ibn al- Malahimi, Tuhfat Al- Mutakallimin Fī al-Radd ʿala al-Falasifa, h. 146.
Dengan demikian, uraian Ibn al-Malahimi terhadap taklif dan hubungannya dengan kehendak
manusia adalah untuk mempertahankan konsep kebasan manusia dan mengekspos pemahaman
deterministik yang diyakini oleh Ibn Sina. Namun apakah penilaian tersebut adalah tepat?.
Beberapa literatur kontemporer telah menunjukkan pendapat yang berbeda terhadap posisi Ibn
Sina dan kebebasan manusia. Seperti Marmura,50 Frank51 dan Belo52 yang mana ketiganya memiliki
kesimpulan yang sama seperti yang dikemukanan oleh Ibn al-Malahimi bahwa pemikiran Ibn
Sina adalah deterministik. Namun, terdapat juga pendapat lain yang menyatakan bahwa Ibn Sina
adalah indeterministik seperti Jassen53. dalam hal ini, setelah menyimak argumen Ibn al-Malahimi
dan sumber-sumber yang dikutip langsung maupun tidaklangsung dari pemikiran Ibn Sina, dapat
dikatakan bahwa Ibn Sina menerima doktrin deterministik atau dalam bahasanya bahwa sebagala
sesuatu di dunia yang berupa peristiwa maupun perbuatan manusia adalah rangkaian sebab-sebab
yang bermuara dari Tuhan.
Kesimpulan
Dari penjelasan dan analisis diskusi diatas, terdapat beberapa poin yang penting untuk dicatat.
Kritik Ibn al-Malahimi terhadap filsafat memberikan wawasan baru tentang dinamika hubungan
antara teologi Mu’tazilah dan filsafat dalam Islam, khususnya sistem filsafat Ibn Sina yang
menjadi salah satu pemikiran filsafat yang memiliki pengaruh besar dalam dunia Islam. Landasan
argumen Ibn al-Malahimi yang berlandaskan doktrin pokok Mu’tazilah dapat mengungkapkan
problem bangunan sistem filsafat Ibn Sina yang dikritisi secara cermat dan komprehensif, seperti
yang tampak pada kritik Ibn al-Malahimi terhadap gagasan filsuf mengenai isu taklif. Krtitik
Ibn al-Malahimi tentang pemahaman taklif merupakan strategi yang tepat karena hal itu dapat
membongkar problem-problem yang saling terkaitan yang terdapat dalam ajaran filsafat Ibn sina
tentang ganjaran dan hukuman, tujuan kenabian, dan pemahaman deterministik para filsuf.
Daftar Pustaka
Abu Zahrah. Tarikh Mazahib Al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Fikr al-Araby, n.d.
al-Ghazali. Tahafut Al-Falasifah. Edited by Sulaiman Dunya. Kairo: Darul Maárif, n.d.
Amin, Ahmad. Fajr Al-Islam. Kairo: Hindawi, 2012.
Belo, Catarina. Chance and Determinism in Avicenna and Averroes. BRILL, 2007. https://doi.
org/10.1163/ej.9789004155879.i-252.
Frank, Richard M. Creation and the Cosmic System: Al-Ghazàlì and Avicenna. Heidelberg, 1992.
50
Michael Marmura, “The Metaphysics of Efficient Causality in Avicenna (Ibn Sina),” dalam Islamic Theology and Philosophy: Studies in Honor
of George F. Hourani, ed. Michael Marmura (New York: SUNY, 1984), h. 172–87.
51
Richard M. Frank, Creation and the Cosmic System: Al-Ghazàlì and Avicenna (Heidelberg, 1992), h. 23–24.
52
Catarina Belo, Chance and Determinism in Avicenna and Averroes (BRILL, 2007), h. 119–20, https://doi.org/10.1163/ej.9789004155879.i-252.
53
Jules Janssens, “The Problem of Human Freedom in Ibn Sīnā,” dalam Ibn Sīnā and His Influence on the Arabic and Latin World, ed. Jules
Janssens (Burlington, VT: Ashgate Publishing Company, 2006), h. 117.
Griffel, Frank. “Theology Engages With Avicennan Philosophy: Al- Ghazālī’s Tahāfut al-Falāsifa
and Ibn al-Malāḥimī’s Tuḥfat al-Mutakallimīn Fī l-Radd ʿalā l-Falāsifa.” Dalam The Oxford
Handbook of Islamic Theology, edited by Sabine Schmidtke. Oxford: Oxford University Press,
2016.
Ibn al- Malahimi, Rukn al- Din Mahmud b. Muhammad. Kitab Al- Muʿtamad Fi Usul al-Din.
Edited by Wilferd Madelung. London: al-Hoda, 1991.
———. Kitab Al-Faʾiq Fi Usul al-Din. Edited by Faisal Badir On. Kairo: Dar al-Kutub wa al-
Wathaiq al-Qaumiyyah, 2010.
———. Tuhfat Al- Mutakallimin Fī al-Radd ʿala al-Falasifa. Edited by H Ansari and Wilferd
Madelung. Tehran/ Berlin: Iranian Institute of Philosophy/ Institute of Islamic Studies,
2008.
Ibn Murtadha. Tabaqat Al-Mu’tazilah. Beirut, 1961.
Ibn Sina. Al-Risalah al-’Arshiyyah. Dairah al-Ma’arif al-Uthmaniyyah, 1353.
———. Ibn Sina’s Remarks and Admonitions: Physics and Metaphysics. Translated by Shams Inati. New
York: Columbia University Press, 2014.
———. Risalah Fi Sirr Al-Qadar. Dairah al-Ma’arif al-Uthmaniyyah, 1353.
———. The Metaphysics of Healing (al-Shifa) (A Parallel English-Arabic Text, Translated, Introduced
and Annotated by Michael Marmura). Provo, UT: Brigham University Press, 2005.
———. Tis’u Rasail. Kairo: Dar al-Arab, n.d.
Ismail, Roni. Menuju Hidup Islami. Yogyakarta: Insan Madani, 2009
Ismail, Roni. Menuju Hidup Rahmatan Lil’alamin. Yogyakarta: Suka Press, 2016.
Ismail, Roni.“Hakikat Monoteisme Islam (Kajian atas Konsep Tauhid Laa Ilaaha Illallah), Religi,
Vol. X, No. 2, Juli 2014.
Ismail, Roni. “Islam dan Damai (Kajian atas Pluralisme Agama dalam Islam)”, Religi, Vol. 9, No.
1, 2013.
Ismail, Roni. “Keberagamaan Koruptor (Tinjauan Psikografi Agama), Esensia, Vol. XIII, No. 2,
Juli 2012.
Ismail, Roni. “Kecerdasan Spiritual dan Kebahagiaan Hidup”, Refleksi, Vol. 12, No. 1, Januari
2012.
Ismail, Roni. “Konsep Toleransi dalam Psikologi Agama (Tinjauan Kematangan Beragama)”,
Religi: Jurnal Studi Agama-Agama, Vol. 8, No. 1, 2012.
Ismail, Roni. “Resolusi Konflik Keagamaan Integratif: Studi atas Resolusi Konflik Keagamaan
Ambon”, Living Islam, Vol. 3, No. 2, 2020.
Janssens, Jules. “The Problem of Human Freedom in Ibn Sīnā.” Dalam Ibn Sīnā and His Influence on the
Arabic and Latin World, edited by Jules Janssens. Burlington, VT: Ashgate Publishing Company, 2006.