ISLAMIC COACHING I
BADAN KOORDINASI LEMBAGA DAKWAH KAMPUS
(BKLDK)
dakwahkampusbooks
Islamnya Kita
(Sebuah Catatan Awal)
Manusia sesungguhnya akan menjalani kehidupan sesuai dengan fitrah yang dimilikinya.
Sejauh apa pun ia berjalan menyelisihi fitrah kemanusiaannya, ia akan berusaha mencari
jalan kembali. Sebagaimana kisah seorang pembunuh, yang dalam titik jenuh setelah
membunuh 99 korbannya, ia pun tersadar. Dicarilah olehnya tempat dimana ia bisa
menemukan fitrah diri sebagai manusia. Allah SWT membawa langkahnya untuk bertemu
dengan seorang rahib. Sayangnya, sang rahib menyangkal dan mengatakan bahwa ia tak
mungkin kembali pada fitrahnya, ia telah terlanjur berlumur dosa. Si pembunuh marah, ia
pun tak segan memenggal kepala sang rahib. Genap sudah korbannya menjadi 100 orang.
Namun dirinya tak berputus asa. Ia kembali mencari jalan pertaubatan. Hingga ditemuilah
seorang shalih yang memberi nasihat bijak padanya. ―Sungguh pintu taubaut terbuka luas
untuk anda. Tinggalkanlah lingkungan buruk yang selama ini membuat anda menjadi seorang
pembunuh, datangilah lingkungan baik yang akan menuntun anda menjadi orang yang
senantiasa beramal shalih guna menebus segala kesalahan anda di masa yang lalu.‖
Ia pun menangis sejadi-jadinya, menyesali semua perbuatan salah yang membuatnya menjauh
dari fitrah dirinya. Ia bulat untuk bertaubat. Ia pun berkemas, meninggalkan lingkungan buruk
yang selama ini menjerumuskan pada kubangan maksiat. Langkahnya mantap menuju
lingkungan baru yang lebih baik. Ia telah bertekad untuk hijrah menuju dirinya yang fitrah.
Namun Allah menakdirkan lain bagi dirinya. Di tengah-tengah perjalanan, nyawanya dicabut.
Malaikat pun berselisih tentangnya. Malaikat Rahmat menilai ia layak masuk surga karena
telah bertaubat, sementara Malaikat siksa menilai ia pantasnya diseret ke neraka, karena
meski telah mengucap taubat namun ia belum benar-benar membuktikan bahwa dirinya telah
menjadi orang yang kembali pada fitrahnya. Akhirnya malaikat bersepakat, ia dimasukkan ke
surga, alasannya jarak dirinya saat meninggal dunia lebih dekat pada lingkungan baik yang ia
niati sebagai tempat tujuan hijrahnya dibanding jarak ke lingkungan buruk tempat masa
lalunya yang telah ia tinggalkan.
Kisah di atas dituturkan oleh Rasulullah Muhammad saw yang kemudian diriwayatkan oleh
Bukhari, Muslim dan Imam Ahmad. Kanjeng Rasul yang mulia mengajarkan pada kita dari kisah
ini tentang hakikat fitrah. Ya, fitrah manusia adalah pada al-khair (jalan kebaikan). Dan, Al-
khair itu adalah al-Islam. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiallahu
'anhu, Rasulullah saw bersabda:
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah (kesucian) maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikan dia Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Pertanyaan sederhana mungkin muncul di benak kita. Jika fitrah manusia adalah Islam.
Mengapa ada orang nasrani, hindu, budha bahkan ada yang atheis? Mengapa ada orang jahat,
perampok, koruptor, oportunis, pragmatis dan penjilat? Mengapa ada orang munafik, musyrik,
pluralis, liberal juga sekuler? Jawabannya sudah ada pada hadist di atas. Semua bermuara
pada lingkungan yang berpengaruh kuat. Lingkungan terdekat adalah keluarga, orangtua.
Lalu, lingkungan pergaulan kita sehari-hari. Lingkungan juga bisa dipengaruhi adat istiadat
peninggalan nenek moyang yang seringkali teramat sulit untuk ditinggalkan.
Kita bisa belajar dari sirah perjuangan Rasulullah betapa susahnya mengislamkan penduduk
Makkah waktu itu. Mereka, masyarakat jahiliyah Quraisy belum bisa lepas dari keyakinan-
keyakinan lokal yang dibudayakan turun-menurun. Penyembahan mereka pada tuhan yang
banyak susah ditinggalkan dan diganti menuju penyembahan hanya pada Yang Maha Esa, Allah
SWT. Budaya jahiliyah yang dilakukan masyarakat Makkah saat itu juga tak mudah untuk
disingkirkan. Mabuk-mabukan, berjudi, main perempuan dan membunuhi anak perempuan
sudah teramat biasa sehingga dianggap wajar oleh mereka. Ketika Rasulullah menyeru hendak
memberantas itu semua, timbullah perlawanan.
Hingga seorang Abu Thalib, paman yang sangat mencintai Rasulullah SAW, tak kuasa menolak
budaya jahiliyah Quraisy yang dibawanya hingga sakaratul maut menjemput. ―Wahai Paman,
ucapkanlah Laa Ilaaha Ilallaah maka engkau akan selamat,‖ bujuk Rasul sesaat menjelang
kematian paman yang dikenal selalu membela dan melindungi perjuangannya itu. Sayangnya,
saat nyawa masih tertahan di kerongkongan, hanya satu kalimat yang diucapkannya. ―Tetap
pada agama Abdul Muthalib, tetap pada millah nenek moyang kita....‖ ujar Abu Thalib
mengakhiri hidupnya tetap dalam keadaan tak beriman.
Padahal Allah SWT tegas-tegas melarang untuk mengikuti segala macam adat istiadat dan
budaya yang hanya menjerumuskan kita pada api neraka. FirmanNya:
“Jika dikatakan pada mereka, „Ikutilah apa-apa yang telah diturunkan Allah‟, mereka
menjawab, „ Tetapi kami mengikuti apa yang telah dilakukan oleh nenek moyang kami‟.
‟Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui
sesuatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al Baqarah: 170)
“Dan apakah mereka akan mengikuti bapak-bapak mereka, walaupun syetan menyeru
mereka ke dalam siksa api neraka yang menyala-nyala?” (QS. Luqman: 21)
Label jahiliyah yang disematkan pada waktu itu bukanlah identik pada sifat kebodohan,
keterbelakangan atau pun ketertinggalan secara lahiriah. Namun, jahiliyah lebih dimaknai
sebagai sikap penolakan kebenaran yang berasal dari Allah SWT yang disyiarkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Hal ini dapat dibuktikan salah satunya pada pribadi Abu Jahl, Bapaknya
orang-orang jahiliyah. Nama aslinya adalah ‗Amr ibn Hisyam. Ia dikenal juga dengan nama
Abul Hakam. Al Hakam berarti seorang yang berada dalam lingkaran pemerintahan (hukumah)
kota Makkah. Juga seorang yang memiliki banyak hikmah kebijakan (hakiim) dan atau orang
yang memiliki kekuasaan untuk menentukan hukum (al haakim). Pada kenyataannya, Abu
Jahl alias ‗Amr ibn Hisyam adalah seorang yang pandai bacatulis, ahli sastra, hartawan dan
dikenal cerdas lagi terpandang di antara kaumnya.
Sejarah rupanya berulang. Saat kini, kita hidup juga di jaman jahiliyah. Meski semua nampak
serba canggih dan modern, namun tak sedikit yang menolak kebenaran Islam. Tak semua
ditolak memang, tapi sebagian-sebagian.
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasu-rasul-Nya, dan bermaksud
memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan:
"Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)",
serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian
(iman atau kafir) merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.” (QS al-Nisa': 150-
151).
Pernikahan sesama muslim diatur dengan syariat Islam melalui Kantor Urusan Agama, namun
mengapa lokalisasi perzinahan juga masih diakomodir oleh pemerintah? Di saat para pejabat
negara diambil sumpah jabatannya dengan menggunakan al Quran di atas kepalanya sebagai
simbol ketaatan, tapi mengapa justru aturan-aturan yang dibuatnya tak pernah
memperdulikan al Quran sama sekali bahkan terkesan mencampakkannya? Jika kita
disarankan untuk jangan lupa berzakat dan bersedekah, tapi mengapa riba dan segala
perangkatnya (bank konvensional, pola kredit ribawi dan lainnya) masih tetap digunakan?
Banyak sekali anjuran agar akhlak kita disesuaikan dengan yang ditauladankan Nabi SAW
namun mengapa dalam berpolitik kita tak mencontoh Rasul, malahan mengikuti sistem
demokrasi yang tak pernah sekali pun dicontohkan Rasul?
Bukan hanya itu, ketika nasionalisme dianggap sebagai warisan dari para pendiri bangsa ini
yang notabene juga muslim, maka sebagian dari kita pun kemudian beralasan untuk tetap
mempertahankannya. Hak asasi manusia, liberalisasi, hermeneutika, budaya permisif, hedonis
semuanya serba jahiliyah. Berhala-berhala jaman modern tak lagi berbentuk Latta dan Uzza
namun berubah ujud menjadi Harta, Tahta dan Wanita. Berapa banyak yang menyembah
harta kekayaan, sehingga ia rela mengorbankan segalanya, menghalalkan segala cara. Hawa
nafsu pun dijadikannya sesembahan.
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
sesembahannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmuNya? Dan Allah telah
mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan penutup di atas penglihatannya”
(QS. Al Jatsiyah : 23)
Hidup di era jahiliyah modern saat ini mungkin menjadi tantangan tersendiri bagi
keberislaman kita. Sepertinya Allah SWT tak pernah berhenti menguji hamba-hambaNya yang
beriman. Saat Allah menguji Rasul dan para sahabat dengan segala tantangan dan hambatan
di jamannya, Allah juga menguji kita sebagai pengikut Rasul yang setia dengan halangan dan
rintangan yang tak jauh berbeda.
"Apakah kalian mengira akan masuk surga padahal belum datang ujian yang semisal dengan
yang menimpa orang-orang sebelum kalian. Mereka ditimpa gangguan dan marabahaya serta
digoncangkan seguncang-guncangnya hingga Rosul dan orang-orang yang beriman yang
bersamanya berkata, "Kapankah pertolongan Allah datang?" Ketahuilah, bahwa pertolongan
Allah sangatlah dekat." (QS. Al-Baqoroh: 214)
Namun Allah jualah yang menakdirkan mental orang-orang beriman sebagai mental para
pemenang. Sebagaimana keimanan tentara Muhammad Al Fatih yang menghantarkan mereka
untuk menaklukkan konstantinopel. Simaklah pidato Muhammad Al Fatih sebelum mereka
berangkat berperang berikut ini:
―Aku wasiatkan pada kalian untuk bertakwa kepada Allah dan kunasehatkan untuk tetap
bersabar. Jangan melangkah sekalipun kecuali kalian selalu mengingat Allah. Kita berperang
untuk meninggikan kalimat Allah bukan karena ghonimah atau harta. Dan yang paling
kukhawatirkan adalah dosa-dosa kalian lalu menyerang kalian hingga tekad dan kekuatan
kalian melemah. Bertaubatlah kalian niscaya Allah akan memenangkan kita.‖
Dan atas izin Allah, pasukan kaum muslimin berhasil memenangkan peperangan.
BAB I
THARIQUL IMAN
“ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantunya siang dan malam
ada tanda-tanda bagi orang yang berakal?” (QS Al I-Imron: 190)
Uqdatul Kubro
Manusia adalah mahluk yang dikarunia keistimewaan oleh Allah, yang itu tidak
diberikan kepada makhluk lainnya yakni akal. Dengan akal itulah manusia dapat berfikir.
Ketika manusia dewasa ia mulai mempertanyakan tentang keberadaan dirinya di dunia ini. Ia
mulai berpikir tentang beberapa pertanyaan mendasar yang harus ia jawab. Jawaban tersebut
akan menjadi landasan dalam kehidupannya. Selama masalah ini belum terjawab, selama itu
pula manusia hidup tanpa tujuan yang jelas dan tidak akan berjalan di dunia ini dengan
tenang. Karena sifatnya yang demikian beberapa pertanyaan pokok dan mendasar itu sering
disebut sebagai ‘Uqdatul Kubro‘ (masalah/simpul yang sangat besar).
Pertanyaan mendasar tersebut berupa:
* Dari manakah manusia dan kehidupan ini ?
* Untuk apa manusia dan kehidupan ini ada ?
* Akan ke mana manusia dan kehidupan setelah ini ?
Bila pertanyaan ini terjawab maka seseorang akan memiliki landasan kehidupan sekaligus
tuntunan dan tujuan kehidupannya, -- terlepas dari jawabannya benar atau salah. Manusia
akan berjalan di dunia ini dengan ‗landasan‘ tersebut, berekonomi dan berbudaya berdasar
‗landasan‘ itu, bahkan ia akan mengajak orang dan kaum lain agar mengikuti ‗landasan‘
tersebut.
Jika seseorang atau suatu kaum yang menyelesaikan ‗uqdatul kubra‟ dengan jawaban
‗kehidupan dunia ini ada dengan sendirinya, manusia berasal dari tanah materi dan kelak
akan kembali lagi menjadi materi/benda, sehingga manusia hidup untuk mencari
kebahagiaan materi selama ia mampu hidup”, maka mereka akan hidup dengan aturan yang
dibuatnya sendiri, dengan standar baik-buruk yang ia kehendaki. Mereka akan bertingkah
laku, berbudaya, berekonomi dan berpolitik untuk mencapai kebahagiaan material, selama
mereka mampu hidup. Orang dan kaum seperti ini tidak meyakini adanya hal ghaib (malaikat,
akhirat, pahala-dosa dsb). Yang mereka percayai hanyalah segala materi yang dapat dirasakan
oleh panca indra belaka.
Selain itu ada orang atau suatu kaum yang menjawab ―di balik alam dan kehidupan ini ada
Sang Pencipta, yang mengadakan seluruh alam, termasuk dirinya, memberi tugas/amanah
kehidupan pada manusia dan kelak ada kehidupan lain setelah dunia ini, yang akan
menghisab seluruh perbuatannya di dunia”, maka mereka akan hidup, berekonomi,
berbudaya, berpolitik dan berinteraksi dengan kaum lain, berdasarkan aturan Penciptanya.
Standar baik-buruk berdasarkan aturan Sang Pencipta, dan sekaligus menjadi standar amal
yang harus ia pertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta.
Demikianlah gambaran ringkas tentang ‗landasan kehidupan‘ seseorang/suatu kaum, yang
sekaligus merupakan jawaban ‗uqdatul kubro‘ manusia. Tetapi bagaimanakah jawaban yang
benar terhadap masalah ini?
Pemecahan yang Benar ‘Uqdatul Kubro’
Dengan berbagai usaha berfikir, manusia mencoba mencari jawaban atas pertanyaan
mendasar tersebut melalui segala hal yang dapat dijangkau oleh akalnya. Karena segala hal
yang dapat dijangkau akal manusia, tidak lepas dari (1) alam semesta (al kaun), (2) manusia
(al insan) dan (3) kehidupan (al hayaah), maka ketiga hal inilah yang dijadikan obyek/media
berpikir untuk mencari jawaban yang dimaksud.
Pemecahan yang benar terhadap masalah ini tidak akan terbentuk kecuali dengan
pemikiran yang mustanir (jernih) dan menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan
kehidupan serta hubungan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan sesudah kehidupan dunia
ini. Islam telah memberi jawaban melalui proses berpikir yang jernih, menyeluruh, benar,
sesuai dengan akal, menentramkan jiwa dan sesuai dengan fitrah manusia. Proses pencarian
keshahihan dari ‗uqdatul qubra‘ itu adalah sebagai berikut:
1. Proses keimanan terhadap Al Kholiq (Sang Pencipta)
Islam menjawab bahwa di balik alam semesta, manusia dan kehidupan ini ada Al Kholiq
(Sang Pencipta), yang mengadakan semua itu dari tidak ada menjadi ada. Al Kholiq itu
bersifat wajibul wujud (wajib/pasti adanya). Ia pun bukan mahluk karena sifatnya sebagai
Sang Pencipta memastikan bahwa diri-Nya bukanlah makhluk.
Bukti bahwa segala sesuatu itu mengharuskan adanya Pencipta dapat dibuktikan sebagai
berikut. Bahwasanya segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal terbagi dalam tiga unsur,
yaitu manusia, alam semesta dan kehidupan. Ketiga unsur ini bersifat terbatas dan bersifat
lemah, serba kurang dan saling membutuhkan kepada yang lain. Misalnya manusia, ia merasa
terbatas sifatnya karena tumbuh dan berkembang tergantung terhadap segala sesuatu yang
lain, sampai suatu batas yang tidak dapat dilampauinya lagi. Oleh karena itu jelas ia bersifat
terbatas, mulai dari ‗ketiadaannya‘ sampai batas waktu yang tidak bisa dilampauinya lagi.
Begitu pula halnya dengan kehidupan (nyawa), ia bersifat terbatas pula, sebab
penampakan/perwujudannya bersifat individual semata. Dan apa yang kita saksikan selalu
menunjukkan bahwa kehidupan itu ada lalu berhenti pada satu individu itu saja. Jadi jelas
kehidupan itu bersifat terbatas. Demikian pula halnya dengan alam semesta. Iapun bersifat
terbatas. Himpunan dari benda-benda terbatas dengan sendirinya terbatas pula sifatnya. Jadi
alam semesta itupun bersifat terbatas. Kini jelaslah bahwa manusia, kehidupan dan alam
semesta, ketiganya bersifat terbatas (termasuk memiliki batas awal dan akhir
keberadaannya).
Jika sesuatu itu bersifat terbatas, akan didapati bahwa segala hal tersebut tidak azali
(tidak berawal dan tidak berakhir). Sebab apabila ia azali, bagaimana mungkin ia bersifat
terbatas? Tidak boleh tidak, keberadaan semua yang terbatas ini membutuhkan adanya
‘sesuatu yang lain’. Dan ‘sesuatu yang lain’ inilah yang dinamakan Al Kholiq, yang
menciptakan manusia, kehidupan dan alam semesta. Dalam menentukan sifat Al Kholiq
(Pencipta) paling tidak ada tiga kemungkinan.
Pertama, Ia diciptakan oleh yang lain. Dengan pemikiran aqliyah yang jernih dan
mendalam, akan dipahami bahwa kemungkinan ini adalah kemungkinan yang salah (tidak
dapat diterima oleh akal). Sebab jika Ia diciptakan oleh yang lain maka Ia adalah makhluk
dan bersifat terbatas, yaitu butuh kepada yang lain untuk mengadakannya.
Kedua, Ia menciptakan diri-Nya sendiri. Kemungkinan kedua ini pun juga bathil. Karena jika
demikian adanya, maka ia akan menjadi makhluk dan Khaliq pada saat yang bersamaan.
Jelas ini tidak dapat diterima oleh akal.
Ketiga, Ia bersifat azali dan wajibul wujud dan mutlak adanya. Jika dua kemungkinan di atas
dinyatakan bathil, maka hanya tinggal satu kemungkinan lagi yakni Al Kholiq itu tidak boleh
tidak harus bersifat azali dan wajibul wujud serta mutlak adanya. Dialah Allah SWT. Inilah
cara berfikir dalam menentukan sifat sang kholik yang shohih.
Sesungguhnya bagi setiap orang yang mempunyai akal hanya dengan perantaraan wujud
benda-benda yang dapat diinderanya, ia dapat memahami bahwa dibalik benda-benda itu
terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Dengan memahami bahwa semua benda-benda
tadi bersifat serba kurang, sangat lemah dan saling membutuhkan kepada yang lain, maka
semua hanyalah makhluk. Karenanya untuk membuktikan adanya Al Khaliq yang Maha
Pengatur, sebenarnya cukup hanya dengan mengamati segala sesuatu yang ada di alam
semesta, kehidupan, dan di dalam diri manusia itu sendiri.
Karena itu kita jumpai bahwa Al Qur‘an senantiasa mengajak manusia untuk mengamati
segala apa yang ada di sekelilingnya dan apa yang berhubungan dengannya, agar dapat
membuktikan adanya Allah SWT. Sebab dengan mengamati benda-benda akan memberikan
suatu pemahaman yang meyakinkan manusia tentang adanya Allah yang Maha Pencipta lagi
Maha Pengatur secara pasti tanpa ada keraguan. Banyak ayat Al quran yang berbicara
berkenaan dengan hal ini, antara lain firman Allah :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal.” (QS Ali Imran: 190)
Juga firman-Nya:
“(Dan) Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah diciptakannya langit dan bumi serta
berlain-lainnya bahasa dan warna kulitmu.” (QS Ar Rum: 22)
Serta firman-Nya yang lain seperti QS Al Ghasiyah: 17-20, juga QS Ath Thariq: 5-7, atau
juga firman-Nya berikut yang artinya :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang,
bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Ia hidupkan bumi sesudah matinya
(kering) dan Ia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran air dan awan yang
dikendalikan antar langit dan bumi. Sesungguhnya pada semua itu terdapat tanda-tanda
(Keesaan dan Kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS Al Baqarah: 164)
Masih banyak lagi ayat yang sejenis yang mengajak manusia untuk memperhatikan benda-
benda alam, serta melihat apa yang ada disekelilingnya untuk dijadikan petunjuk atas adanya
Sang Pencipta yang Maha Pengatur. Dengan demikian imannya kepada Allah SWT menjadi
mantap, yang berakar dari akal dan bukti nyata.
Inilah jawaban shohih secara ringkas, tentang keberadaan Al Kholiq dibalik manusia, alam
semesta dan kehidupan
Skema Pemecahan Shohih Uqdatul Qubro’
Sifat Fitri Keimanan
Iman kepada Yang Maha Pengatur ini merupakan suatu hal yang fithri dalam diri setiap
manusia. Akan tetapi iman yang fithri ini hanya muncul dari perasaan hati yang ikhlas belaka.
Keimanan semacam ini tidak bisa dianggap aman. Sebab perasaan hati semacam ini sering
menambah-nambah terhadap apa yang diimani dengan sesuatu yang realistis. Bahkan
mengkhayalkannya dengan sifat-sifat tertentu yang lazim terhadap apa yang ia imani sehingga
dapat menjerumuskan ke arah kesesatan. Penyembahan berhala dan khurafat (cerita bohong),
tak lain tak bukan akibat salahnya perasaan hati. Maka dari itu Islam tidak membiarkan
perasaan hati ini sebagai satu-satunya jalan menuju iman.
Islam menegaskan penggunaan akal bersama-sama dengan perasaan hati dan mewajibkan
atas setiap muslim untuk menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah SWT serta
melarang bertaqlid (ikut-ikutan) dalam masalah aqidah. Untuk itulah Islam telah menjadikan
akal sebagai timbangan dalam beriman kepada Allah. Sebagaimana firman Allah SWT :
Penciptaan Dibangkitkan
Perintah/larangan Hisab
Sebelum dunia
ADA PENCIPTA
Saat di dunia
IBADAH
KEPADA ALLAH
Setelah mati
ADA SAAT
PEMBALASAN
SETELAH MATI
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (QS Ali Imran: 190)
Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim membangun keimananya betul-betul muncul dari
proses berfikir, meneliti, memperhatikan serta bertahkim pada akalnya dalam beriman
kepada Allah SWT secara mutlak.
Batas akal dalam memahami sang Khaliq
Kendati Islam mewajibkan atas manusia untuk menggunakan akalnya dalam beriman
kepada Allah SWT, namun tidak mungkin akal manusia bisa memahami apa yang ada di luar
jangkauan indranya. Hal ini karena sifat dan kekuatan akal manusia terbatas, sehingga
pemahamannya pun terbatas.
Oleh karena itu, akal tidak mampu untuk memahami Dzat Allah dan hakekat-Nya, sebab
Allah berada di luar ketiga unsur pokok alami yang dapat diindera manusia (alam semesta,
manusia dan kehidupan). Hanya saja tidak dapat dikatakan : “Bagaimana mungkin orang
dapat beriman kepada adanya Allah SWT, sedang akalnya sendiri tidak mampu memahami
Dzat Allah?”. Memang tidak bisa dikatakan demikian, sebab pada hakekatnya iman itu adalah
percaya akan adanya (wujud/keberadaan-Nya) Allah, di mana wujud Allah ini dapat
dipahami melalui keberadaan makhluk-makhluk-Nya, yaitu alam semesta, manusia dan
kehidupan. Ketiganya ini berada dalam batas-batas yang dapat dicapai oleh akal.
Dengan memahami ketiga hal itu, orang dapat memahami adanya Al Khaliq, yaitu Allah
SWT. Karenanya, iman kepada adanya Allah harus berdasarkan akal dan dalam jangkauan
akal. Lain halnya jika orang hendak memahami Dzat Allah di mana hal ini mustahil terjadi.
Sebab Dzat-Nya di luar jangkauan kemampuan akal. Padahal akal itu sendiri tidak mungkin
memahami hakekat apa yang berada diluar jangkauannya, disebabkan keterbatasannya untuk
melakukan hal itu.
Sesungguhnya apabila iman kepada Allah SWT muncul dari akal, pemahaman kita terhadap
adanya Al Khaliq pun akan menjadi sempurna pula. Apabila perasaan hati (yang timbul dari
fithrah-peny) yang mengatakan adanya Allah dibarengi pula oleh akal maka perasaan
semacam ini akan tumbuh menjadi suatu keyakinan yang kokoh, yang akan memberikan suatu
pemahaman yang sempurna serta perasaan yang yakin atas semua sifat-sifat ketuhanan.
Dengan sendirinya hal ini akan meyakinkan diri kita bahwa kita tidak akan sanggup memahami
hakekat Dzat Allah, justru karena kuatnya iman kita kepada-Nya.
2. Proses keimanan terhadap Rasul
Adapun bukti mengenai hubungan manusia terhadap para rasul dapat kita lihat dari
terbuktinya manusia sebagai mahluk Allah SWT yang bersifat terbatas, akal dan
kemampuannya. Juga dapat dilihat dari terbuktinya agama itu sebagai suatu hal yang fithri
dalam diri manusia, karena ia merupakan salah satu fithrah pen-taqdis-an (pengagungan dan
pensucian-peny) manusia. Dalam fithrahnya itu manusia senantiasa mentaqdiskan
Penciptanya. Pekerjaan mentaqdiskan inilah yang selanjutnya dikenal sebagai ibadah, yang
merupakan tali penghubung antara manusia dan Penciptanya. Apabila hubungan ini dibiarkan
tanpa aturan akan cenderung terjadi kekacauan ibadah serta menyebabkan terjadinya
penyembahan terhadap selain dari pencipta yang sebenarnya. Jadi harus ada aturan tertentu
yang mengatur hubungan ini dengan baik. Hanya saja aturan ini tidak boleh datang dari pihak
manusia, karena ia sendiri tidak mampu memahami hakekat Al Khaliq (maksudnya tentang
perbuatannya, apakah perbuatan itu diterima atau ditolak oleh Al Khaliq-peny) untuk dapat
meletakkan aturan antara dirinya dengan Sang Pencipta. Karenanya aturan ini harus datang
dari Al Khaliq serta harus sampai ke tangan manusia. Maka tidak boleh tidak harus ada para
rasul yang menyampaikan agama (aturan) Allah ini kepada umat manusia.
Bukti lain akan kebutuhan manusia terhadap para rasul adalah bahwa pemuasan manusia
akan tuntutan kebutuhan-kebutuhan jasmani dan gharizah/nalurinya merupakan hal yang
mutlak diperlukan. Jika pemuasan ini dibiarkan berjalan tanpa aturan akan menjadi
pemuasan yang salah, berlebihan serta menyebabkan malapetaka bagi manusia. Karena itu
harus ada aturan yang mengatur gharizah dan kebutuhan-kebutuhan jasmani ini. Tetapi
aturan ini tidak boleh datang dari pihak manusia, sebab pemahamannya dalam mengatur
gharizah dan kebutuhan jasmani selalu menjadi obyek (sasaran) kekeliruan, perselisihan dan
keterpengaruhan oleh lingkungan yang didiaminya. Maka dari itu aturan tersebut harus datang
dari Allah SWT, yang untuk dapat sampai ke tangan manusia, haruslah melalui seorang rasul.
3. Proses Keimanan terhadap Al Qur’an Kalamullah
Adapun bukti –yang sangat mudah – bahwa Al Qur‘an itu datang dari Allah SWT, dapat
dilihat dari kenyataan/fakta bahwa Al Qur'an itu sebuah kitab berbahasa arab yang dibawa
oleh Rasulullah SAW. Karena fakta tersebut, maka dalam upaya menentukan dari mana asal Al
Qur'an itu, dapat kita buktikan dengan tiga kemungkinan dan hanya tiga kemungkinan itu,
tidak ada kemungkinan yang lain. Ketiga kemungkinan tersebut adalah:
Pertama, ia merupakan karangan bangsa Arab.
Kemungkinan yang pertama ini, orang yang mengatakan bahwa Al Qur'an merupakan
karangan bangsa Arab adalah suatu kemungkinan yang bathil. Sebab Al Qur'an sendiri
menantang mereka (bangsa Arab) untuk membuat karya yang serupa. Sebagaimana
tertera dalam firman-Nya:
“Katakanlah: „Maka datangkanlah sepuluh surat yang menyamainya.” (QS Hud: 13)
“Katakanlah: „Kalau benar yang kamu katakan maka coba datangkan sebuah surat yang
menyamainya.” (QS Yunus: 38)
Bangsa Arab telah berusaha untuk menghasilkan karya yang serupa, akan tetapi mereka
tidak juga berhasil. Jadi, jelas Al Qur'an bukan berasal dari perkataan orang Arab, karena
ketidakmampuan mereka untuk menghasilkan karya yang serupa.
Kedua, ia merupakan karangan Muhammad SAW.
Adapun kemungkinan yang kedua, mengatakan bahwa Al Qur'an itu karangan
Muhammad SAW, adalah kemungkinan yang bathil pula. Sebab Muhammad adalah orang
Arab juga. Bagaimanapun jeniusnya, tetaplah ia sebagai seorang manusia yang menjadi
salah satu anggota dari bangsanya. Jika bangsa Arab tidak mampu menghasilkan karya
yang serupa, maka masuk akal pula apabila Muhammad SAW yang orang Arab itu juga
tidak mampu menghasilkan karya yang serupa. Jelaslah bahwa Al Qur'an, bukan
karangannya.
Hal tersebut makin diperkuat dengan banyaknya hadits-hadits shahih dan mutawatir
dari Nabi Muhammad SAW, yang bila setiap hadits ini dibandingkan dengan ayat manapun
dalam Al Qur'an jelas tidak akan dijumpai adanya kemiripan dari segi gaya bahasa (uslub),
padahal keduanya berasal dari orang yang sama. Akan tetapi keduanya tetap berbeda dari
segi gaya bahasanya. Dan bagaimanapun kerasnya seseorang menciptakan berbagai
macam gaya bahasa dalam pembicaraannya, tetap akan terdapat kemiripan antara gaya
bahasa yang satu dengan gaya bahasa yang lain. Jadi karena tidak ada kemiripan antara
gaya bahasa Al Qur'an dengan gaya bahasa hadits maka yakinlah bahwa Al Qur'an itu
bukan perkataan Nabi Muhammad SAW.
Dengan demikian maka terbantahlah kemungkinan pertama dan kedua. Kini tinggal
tuduhan lain yang mereka lontarkan, yaitu bahwa Al Qur'an itu disadur oleh Muhammad
SAW dari seorang pemuda Nasrani bernama Jabr. Tuduhan itu ditolak keras oleh Allah
SWT melalui firmannya:
“(Dan) Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, „Sesungguhnya Al
Qur'an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad). Padahal bahasa
orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya (adalah) bahasa
„ajami (non arab), sedangkan Al Qur'an itu dalam bahasa Arab yang jelas.” (QS An Nahl:
103)
Inilah pembuktian yang jelas bahwa Al Qur'an itu bukan karangan bangsa Arab atau
karangan Muhammad SAW. Al Qur'an adalah perkataan Allah (kalam Allah) yang menjadi
mukjizat bagi pembawanya (Muhammad SAW). Tidak ada kemungkinan lain selain ini,
dilihat dari kenyataan bahwa Al Qur'an itu berbahasa Arab.
Ketiga, ia berasal dari Allah semata, sebagaimana pernyataan pembawanya.
Setelah kedua kemungkinan tersebut terbantahkan, kini hanya tinggal satu
kemungkinan yaitu bahwa Al Qur‘an itu adalah kalamullah. Kemungkinan inilah yang
shahih di antara tiga kemungkinan yang ada. Kemungkinan ini sekaligus membuktikan
bahwa Muhammad SAW adalah Rasulullah karena tidak ada yang membawa syariat dan
mukjizat kecuali seorang nabi dan rasul. Sedangkan yang membawa syariat (Al Qur‘an)
tersebut tidak lain adalah Muhammad SAW.
Demikian uraian-uraian singkat namun jelas dan tegas tentang dalil aqli untuk beriman
kepada (wujudnya) Allah, kepada kebenaran kerasulan Muhammad SAW dan kepada Al Qur'an,
bahwasanya Al Qur'an merupakan kalam Allah.
Konsekuensi Iman Kepada Allah, Rasulullah SAW, dan Al Qur’an
Jadi iman kepada (wujud) Allah itu datang dari akal dan memang harus datang dari jalan
seperti ini. Ini pula yang menjadi dasar kuat untuk beriman terhadap hal-hal yang ghaib dan
segala hal yang dikabarkan oleh Allah SWT. Sebab jika kita telah beriman kepada Allah SWT,
yang memiliki sifat-sifat ketuhanan itu, maka wajib pula bagi kita untuk beriman terhadap
apa saja yang dikabarkan oleh-Nya. Baik hal itu dapat dicerna oleh akal maupun tidak, karena
semua itu dikabarkan oleh Allah SWT.
Dari sini kita wajib beriman kepada hari kebangkitan dan pengumpulan (ba‟ats), surga dan
neraka, hisab dan siksa, juga beriman akan adanya malaikat, jin dan syaithan, serta apa saja
yang telah diterangkan Al Qur'an dan hadist qath‘i. Iman seperti ini walaupun didapat dengan
jalan ‗mengutip‘ (naql) dan mendengar (sama‟), akan tetapi pada dasarnya telah terbukti
oleh akal. Jadi aqidah seorang muslim itu harus bersandar kepada akal atau pada sesuatu
yang telah terbukti dasarnya oleh akal. Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi,
yaitu akal serta nash Al Qur'an dan hadist qath‘i (mutawatir), haram baginya untuk
meyakininya. Sebab aqidah tidak boleh diambil kecuali dengan kepastian (keyakinan).
Oleh karena itu kita wajib beriman kepada kehidupan sebelum dunia, yaitu adanya Allah
SWT dan proses penciptaan oleh-Nya; serta beriman kepada kehidupan setelah dunia yaitu
hari akhirat. Perintah-perintah Allah itu merupakan tali penghubung (shilah) antara
kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum dunia, yaitu hubungan penciptaan (shilatul
khalq); dan sekaligus menjadi tali penghubung kehidupan dunia dengan kehidupan sesudah
dunia (shilatul muhasabah). Dan pastilah hal ihwal manusia terikat oleh tali penghubung ini.
Karenanya manusia wajib berjalan dalam kehidupan ini sesuai dengan peraturan Allah dan
wajib beri‘tiqad bahwa ia diciptakan oleh Allah, dan akan dihisab di hari kiamat atas segala
perbuatannya di dunia.
Dengan demikian telah terbentuklah pemikiran yang jernih tentang apa yang ada di balik
kehidupan, alam semesta dan manusia. Telah terbentuk pula pemikiran yang jernih tentang
alam sebelum dan alam sesudah dunia. Dan bahwasanya terdapat ‗tali penghubung‟ antara
dunia dengan kedua alam tersebut. Dengan demikian telah terurailah ‗masalah besar‘ itu
secara pasti kebenarannya dengan Aqidah Islamiyah.
Apabila manusia telah berhasil memecahkan hal tadi ia dapat beralih memikirkan
kehidupan dunia serta mewujudkan pemahaman yang benar (terhadap dunia), yang dihasilkan
dari pemikiran dasar tersebut. Pemecahan itu pula yang menjadi dasar bagi berdirinya suatu
prinsip ideologis kehidupan (mabda’) yang membentuk jalan menuju kebangkitan suatu
kaum. Mabda‘ itu pula yang akan menjadi dasar bagi tumbuh kembangnya peradaban
(hadloroh) suatu kaum. Juga menjadi dasar bagi peraturan-peraturan hidupnya, dan juga
menjadi dasar untuk mendirikan negaranya. Dengan demikian dasar bagi berdirinya Islam,
baik secara fikroh (ide dasar) maupun thoriqoh (pola operasional/metode pelaksanaan)
adalah Aqidah Islam itu sendiri.
Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada Kitab yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan kepada Kitab yang diturunkan
sebelumnya. Dan siapa saja yang mengingkari Allah dan Malaikat-Nya dan Kitab-Kitab-Nya
dan Rasul-Rasul-Nya dan hari akhir maka ia telah sesat sejauh-jauhnya kesesatan.” (QS An
Nisa: 136)
Apabila semua ini (Iman kepada Allah, dst tadi) telah terbukti kebenarannya, maka wajib
pula beriman kepada Syari‘at Islam (sebagaimana terhadap Aqidah Islam). Karena seluruh
syariat ini tercantum dalam Al Qur'an dan telah dibawa oleh Rasulullah SAW. Apabila tidak
beriman maka ia kufur. Seorang yang ingkar terhadap hukum-hukum syara‘ secara
keseluruhan atau sebagian, dapat menyebabkan ia menjadi kufur. Baik hukum-hukum itu
berkaitan dengan ibadah, muamalah, uqubat (sanksi), ataupun math‟umat (yang berkaitan
dengan makanan). Maka kufur terhadap ayat:
“Dirikanlah shalat…..”
sebenarnya sama saja kufur terhadap ayat:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al Baqarah:
275)
Atau terhadap ayat :
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya.” (QS Al
Maidah: 38)
Atau ayat :
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan (hewan yang disembelih
atas nama selain Allah.” (QS Al Maidah: 3)
Dengan demikian, iman terhadap syari‘at sebenarnya tidak berhenti pada akal semata,
tetapi juga harus ada penyerahan mutlak terhadap segala yang datang dari sisi-Nya,
sebagaimana firman-Nya :
“Maka demi Rabb-mu mereka itu (pada hakekatnya) tidak beriman sebelum mereka
menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa di hati mereka suatu keberatan terhadap
putusan yang engkau berikan dan mereka menerima (pasrah) dengan sepenuhnya.” (QS An
Nisa: 65)
Kebangkitan Manusia
Bangkitnya manusia tergantung dari landasan kehidupan (aqidah)nya, yang merupakan
jawaban atas pertanyaan mendasar tentang kehidupan ini. Karenanya umat harus diarahkan
kepada aqidah yang benar, sehingga memiliki pandangan hidup yang benar dan mendorongnya
berbuat sesuai dengan aturan yang muncul dari aqidah yang benar tadi. ‗Pemahaman aqidah‘
ini selalu ada dalam diri suatu manusia, umat atau kaum; karenanya, untuk mengubah
keadaan suatu kaum agar bangkit, aqidah inilah yang harus diubah terlebih dahulu. Allah SWT
berfirman :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah „keadaan‟ suatu kaum sebelum kaum itu
sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS Ar Ra’d: 11)
Satu-satunya jalan perubahan aqidah dengan membentuk pemikiran yang benar dan jernih
tentang aqidah yang shohih yang melandasi kehidupan dan kebangkitannya. Hal ini dapat
dengan menyampaikan (kepada manusia-peny) pemikiran yang benar tentang pemecahan
simpul pada ‗masalah besar‘ (Uqdatul Kubro‟) dalam diri manusia. Apabila masalah besar ini
telah teruraikan, maka terurai pula masalah yang lainnya, sebab hanya merupakan bagian
atau cabang dari masalah besar tadi. Oleh karena itu bagi mereka yang menghendaki
kebangkitan dan kehidupan berada diatas jalan yang mulia, harus terlebih dahulu
memecahkan masalah besar ini dengan pemecahan yang benar, yakni dengan aqidah yang
benar.
Islam telah menangani ‗masalah besar‘ ini. Dipecahkannya untuk manusia dengan pemecahan
yang sesuai dengan fithrah, memuaskan akal serta memberikan ketenangan jiwa. Oleh sebab
itu Islam dibangun diatas satu dasar yaitu aqidah, yang mengatakan bahwasanya dibalik alam
semesta, manusia dan kehidupan terdapat Sang Pencipta (Al Khaliq) yang telah menciptakan
ketiganya, dan yang telah menciptakan pula segala sesuatu yang lainnya. Dialah Allah SWT.
Aqidah yang mengatakan bahwasanya Pencipta ini telah menciptakan segala sesuatu dari
tidak ada menjadi ada. Ia bersifat wajibul wujud (wajib adanya), Ia bukan makhluk, karena
sifat-Nya sebagai Pencipta memastikan bahwa diri-Nya bukan makhluk, serta memastikan pula
bahwa ia mutlak adanya. Segala sesuatu menyandarkan wujudnya kepada diri-Nya, sedangkan
Ia tidak bersandar kepada sesuatu apapun.
BAB II
Mabda Islam
“Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan
(kaffah) dan janganlah kamu mengikuti langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuhmu yang
paling nyata (QS. Al Baqarah: 208)
Jika kita amati perubahan yang terjadi di berbagai belahan dunia, tidak terlepas dari
perbedaan tingkat pemikiran manusia saat itu. Konflik antar manusia, antar suku, antar
bangsa atau antar agama adalah hal yang wajar terjadi dilihat dari keragaman pemikiran
dalam masyarakat. Namun, dari berbagai perubahan yang terjadi, perbedaan ideologilah yang
nampak banyak mempengaruhi perubahan tersebut. Terjadinya perang dingin antara blok
barat (kapitalis) dan blok timur (sosialis/komunis) yang melibatkan sejumlah negara selama
bertahun-tahun menunjukkan bukti tersebut.
Dengan berakhirnya perang dingin, kini ideologi kapitalis yang dimotori Amerika Serikat
berusaha menjadikan ideologinya sebagai landasan berfikir bagi semua negara di dunia. Hal
ini dilatarbelakangi oleh ‗keyakinan‘ bahwa ideologi kapitalis bersifat universal seperti yang
digambarkan oleh Samuel P Huntington dalam tesisnya. Amerika Serikat lewat berbagai media
komunikasi yang dikuasainya berusaha mempropagandakan ide-ide kapitalis ke seluruh dunia
seperti pluralisme, HAM, demokrasi, perdagangan bebas dan ide-ide kufur lainnya. Wajarlah
bila hampir semua konflik atau perubahan tidak luput dari perhatian dan keikutsertaan
Amerika Serikat. Bila negara-negara tersebut tidak memenuhi keinginannya, maka AS pun tak
segan-segan memberikan sanksi, baik secara ekonomi ataupun secara militer.
Kesombongan AS dengan kapitalisnya, bukan berarti tanpa perlawanan. Di beberapa
negara mayoritas Islam seperti Iran, Irak, Malaysia, Libya dan juga di Indonesia mulai bangkit
orang-orang yang menentang kesombongan AS. Demikian juga di negara-negara sisa komunis
seperti Kuba, RRC dan Korea Utara. Kampanye anti Amerika juga dilancarkan oleh sejumlah
LSM di berbagai negara. Dari sini, tampak jelas bahwa persaingan ideologi telah melahirkan
suatu konflik yang berkepanjangan, apalagi setiap pengemban ideologi akan berusaha untuk
mempertahankan dan menyebarkan ideologinya ke seluruh penjuru dunia.
Selain kedua ideologi tersebut, masih ada sebuah ideologi lagi yang pernah menguasai
dunia, yaitu ideologi Islam. Sebagai sebuah ideologi, Islam pernah jaya selama belasan abad
sejak masa Rasulullah SAW hingga keruntuhan Daulah Khilafah Turki Utsmani th 1924. Sejak
runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani hingga awal abad kedua puluh satu ini, ideologi Islam
tidak pernah lagi diterapkan secara kaffah. Bahkan umat Islam sendiri banyak yang tidak
mengetahui bahwa agamanya adalah sebuah ideologi yang mampu menyelesaikan segala
permasalahan hidup, bahkan mengungguli kedua ideologi yang lain.
Definisi Mabda’ (Ideologi)
Muhammad Ismail dalam bukunya Al Fikru Al Islamiy, menyatakan bahwa idelogi (mabda‘)
merupakan ‗aqidah „aqliyyah yanbatsiqu „anha an nizham. Artinya; ‗aqidah ‗aqliyyah yang
melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan (nizham). Menurut definisi ini, nampak bahwa
sesuatu disebut ideologi bila memiliki dua syarat, yaitu memiliki ‗aqidah ‘aqliyyah sebagai
fikroh (ide) dan memiliki sistem (aturan) sebagai thariqah (metode penerapan). Bila tidak
memiliki kedua hal tersebut, maka tidak bisa dikatakan sebagai ideologi.
Taqiyuddin An Nabhani, dalam kitab Nizham Al Islam menjelaskan bahwa aqidah
merupakan pemikiran yang menyeluruh tentang kehidupan dunia, kehidupan sebelum
dunia, setelah dunia dan bagaimana hubungan antara dunia dengan kehidupan sesudah
dunia. Sedangkan sistem aturan adalah mencakup berbagai pemecahan terhadap berbagai
problema kehidupan (baik pribadi, keluarga, maupun negara; menyakut persoalan ibadah,
akhlak, sosial, politik, ekonomi, dan budaya). Selain itu juga harus mencakup metode untuk
menerapkan berbagai pemecahan tersebut, metode untuk memelihara ‗aqidah, dan metode
untuk menyebarkan aqidah tersebut.
Dengan demikian, ‗aqidah „aqliyyah dan bagaimana cara pemecahan problem manusia
disebut dengan ide/fikrah. Sedangkan tentang bagaimana penerapan berbagai pemecahan
tersebut, bagaimana pemeliharaan ide/fikroh, dan cara untuk menyebarkan ide/fikroh
tersebut disebut thariqah (metode operasional untuk menerapkan aqidah tersebut). Dengan
demikian suatu ideologi bukan hanya bersifat ide-ide teoritis tanpa adanya realitas
pelaksanaannya (seperti filsafat-peny) namun mesti ada metode (cara operasional) yang jelas
tentang bagaimana penerapannya dalam masyarakat.
Dari penjelasan di atas nampak bahwa Islam mempunyai keunikan sendiri dibanding
dengan agama-agama lain di dunia. Dari segi wilayah ajarannya, Islam tidak hanya mengatur
hal yang bersifat aqidah seperti keimanan kepada Allah, Malaikat, Rasul, kitab, hari kiamat,
serta qadla dan qadar yang baik dan buruk semata dari Allah SWT. Namun Islam juga
mengatur masalah sistem atau dalam istilah lain disebut nizham atau syari‟ah. Sistem
(nizham atau syari‟ah) ini berbicara bagaimana Islam mengatur seluruh masalah manusia.
Dengan demikian akan nampak kesempurnaan Islam sebagai sebuah agama dan juga ideologi.
Kesempurnaan Islam tersebut secara tegas disebutkan dalam Al Qur‘an Al Karim sebagaimana
firman Allah SWT:
“Dan kami turunkan kepada kamu kitab ini untuk menerangkan semua perkara.” (QS An
Nahl: 89)
juga firman-Nya:
“Hari ini telah Aku sempurnakan agama kamu dan telah Aku cukupkan nikmatKu untukmu,
serta Aku ridlai Islam sebagai agama bagimu.”(QS Al Maidah: 3)
Dari nash tersebut, jelas bahwa Islam telah sempurna sehingga pastilah tidak ada satu hal
pun yang tidak diatur oleh Islam. Dari masalah yang sangat sederhana seperti memindahkan
duri dari tengah jalan sampai masalah yang sangat kompleks seperti pemerintahan, Islam
mengaturnya.
Namun demikian, penjelasan yang menerangkan segala urusan tersebut secara umumnya
dinyatakan dalam bentuk amarat (tanda-tanda umum) serta tanda-tanda yang perlu
penggalian hukum untuk menguraikannya. Orang yang bertugas untuk menggali hukum-hukum
tersebut dan menyampaikannya kepada umat haruslah seorang mujtahid. Agar hasil ijtihad
dari mujtahid itu benar maka syarat-syarat ijtihad seperti pendalaman bahasa Arab, ilmu
hadits, ilmu Al Qur‘an, dan tsaqofah Islam yang lainnya mutlak diperlukan bagi seorang
mujtahid. Adanya mujtahid untuk melakukan ijtihad merupakan fardlu kifayah. Sehingga,
tidak boleh dalam suatu kurun waktu tidak ada orang yang melakukan ijtihad untuk
disampaikan kepada umat.
Dari uraian di atas nampak bahwa syari‘at Islam adalah syari‘at yang lengkap yang
mengatur seluruh urusan manusia seperti ibadah, ekonomi, sosial, politik, pemerintahan,
pendidikan dan yang lainnya. Namun semua hukum-hukum Islam tersebut hanya akan
sempurna dilaksanakan umat Islam tatkala segala perangkat yang melaksanakannya ada.
Dalam hal ini adanya Daulah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bila sekarang tidak ada sistem
tersebut maka kewajiban kaum musliminlah untuk mengadakan sistem tersebut sehingga
segala hukum-hukum Islam dapat diterapkan dengan sempurna. Sebab bagi orang yang
beriman, Allah SWT telah memerintahkan untuk masuk ke dalam Islam secara keseluruhan
dan tidak boleh melaksanakannya sebagian-sebagian. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan
(kaffah)….” (QS Al Baqarah: 208 )
Adanya dakwaan Islam bukan ideologi dan pandangan hidup yang berkembang dalam
masyarakat adalah karena akibat pemahaman umat yang keliru akan Islam. Atau juga akibat
kebodohan umat Islam, sehingga mereka kurang bisa melihat realitas sejarah. Mereka
akhirnya memandang Islam sama dengan agama-agama lain di dunia. Padahal agama-agama
tersebut tidak memiliki konsep politik yang mengatur masalah kehidupan. Maka tatkala umat
keliru dalam memahami Islam tersebut maka umat pun akan keliru dalam menerapkan Islam
dalam masyarakat. Demikian juga ketika ada masalah yang muncul dalam masyarakat dan
karena tidak ada yang sanggup berijtihad sehingga masalah tersebut tidak bisa dipecahkan,
maka umat pun memandang Islam tidak lengkap. Akhirnya mereka beralih kepada ideologi
selain Islam untuk pemecahan masalah tersebut. Mereka pun akhirnya mencampur adukkan
Islam dengan ideologi lain seperti demokrasi Islam dan sosialisme Islam.
Aqidah Islam sesungguhnya telah memerintahkan setiap individu untuk menyembah hanya
kepada Allah semata (QS Adz Dzariyat: 56). Penyembahan tersebut harus dilakukan secara
keseluruhan dan dilaksanakan sebagaimana yang telah diperintahkan dan dicontohkan
Rasulullah SAW. Penyembahan itu pula tidak hanya ditunjukkan pada satu bentuk saja semisal
akhlak (tingkah laku), namun juga ditujukan pada semua aspek kehidupan, semua urusan
masyarakat dan pemerintahan.
Secara umum sistem Islam mengatur setidaknya tiga hal. Pertama, hukum-hukum yang
berkenaan dengan individu dan Al Khaliq, yakni Allah SWT (hablum minallah) seperti ibadah
yang meliputi shalat, puasa, zakat, haji dan jihad. Kedua, mengatur hubungan satu individu
dengan dirinya sendiri (hablum minannafsi) seperti hukum berpakaian, makan, minum, dan
termasuk diantaranya akhlak. Ketiga, mengatur hubungan individu dengan individu yang
lainnya dalam masyarakat (hablum minannasi) seperti urusan niaga, pendidikan, sosial,
pemerintahan , politik dan hukum-hukum yang lainnya.
Bila semua hubungan itu diatur merujuk pada sistem Islam, artinya orang Islam telah
melaksanakan kehidupan berdasarkan aqidah Islam yang benar (ideologi Islam). Selain itu
akan nampaklah bahwa memang Islam lebih unggul dibanding agama atau ideologi yang
lainnya. Realitas sejarah telah menunjukkan bagaimana tingginya peradaban Islam dibanding
peradaban yang lainnya saat itu. Umat Islam kala itu pun pantas disebut umat terbaik
sebagaimana tercantum dalam Al Qur‘an surat Ali Imran ayat 110.
Secara umum kita mengenal tiga ideologi besar dunia. Mereka adalah
Kapitalis/Liberalisme, Sosialisme dan Islam. Kapitalisme dan Sosialisme sampai saat ini masih
diemban oleh beberapa Negara dan beberapa LSM. Sedangkan untuk Islam sampai saat ini
masih diemban oleh individu/partai dan belum diemban oleh Negara sejak runtuhnya Daulah
Khilafah Turki Utsmani pada 3 Maret 1924. Namun demikian Insya Allah Daulah Khilafah
Islamiyah yang akan kembali melanjutkan Islam akan segera berdiri.
Sejak kelahirannya, setiap ideologi mempunyai kekhasannya masing-masing, baik dari ide
ataupun dari metode operasionalnya. Tentang perbandingan ketiga ideologi ini secara garis
besar bisa dilihat pada tabel-tabel dibawah ini.
Perbandingan Ketiga Mabda‘ Dunia
No Perihal Islam Kapitalisme Sosialisme-Komunisme
1 Sumber Wahyu Allah SWT
kepada Rasulullah SAW
Buatan akal manusia
yang memang
terbatas
Buatan akal manusia
yang memang terbatas
2 Dasar qiyadah
fikriyah
La ilaha illallah;
menyatukan antara
hukum Allah SWT
dengan kehidupan
Sekularisme;
memisahkan agama
dari kehidupan
masyarakat dan
negara
Materialisme dan
evolusi, menolak
keberadaan agama
3 Kesesuaian dengan
fitrah (dalam hal ini
adanya manusia
yang lemah dan
perlu pencipta
yang Maha
Mengatur)
Sesuai. Islam
menetapkan manusia
itu lemah. Oleh sebab
itu, segala aturan apa
pun harus berasal dari
Allah SWT lewat
wahyu-Nya.
Tidak sesuai. Sebab,
disatu sisi mengakui
keberadaan ‘Tuhan’
namun pada saat
yang sama
manusialah yang
dianggap layak dan
tidak punya
kekurangan untuk
menetapkan aturan.
Tidak sesuai. Sebab
tidak percaya adanya
Pencipta. Manusia
dianggap pusat
segalanya.
4 Pembuat Hukum
dan Aturan
Allah SWT lewat
wahyu-Nya. Akal
manusia berfungsi
menggali fakta dan
mamahami hukum dari
wahyu.
Manusia Manusia
5 Fokus Individu merupakan
salah satu anggota
masyakat. Individu
diperhatikan demi
kebaikan masyarakat,
dan masyarakat
diperhatikan untuk
kebaikan individu
Individu di atas
segalanya.
Masyarakat adalah
kumpulan individu
individu saja.
Negara di atas
segalanya. Individu
merupakan salah satu
gigi roda dalam roda
masyarakat yang
berupa sumber daya
alam, manusia, barang
produksi dan lain-lain.
6 Ikatan perbuatan Seluruh perbuatan
terikan dengan hukum
syara’. Perbuatan baru
bebas dilakukan bila
sesuai dengan hukum
syara’
Serba bebas
(liberalisme) dalam
masalah ‘aqidah,
pendapat, pemilikan
dan kebebasan
pribadi
Tidak ada kebebasan
dalam ‘aqidah dan
pemilikan. Dalam
perbuatan bebas
7. Tujuan tertinggi
yang hendak
dicapai
Ditetapkan oleh Allah
SWT seperti telah
dibahas
Ditetapkan manusia
sesuai kondisi
Ditetapkan manusia
sesuai kondisi
8. Tolok ukur
kebahagiaan
Mencapai ridla Allah
SWT yang terletak
dalam ketaatannya
dalam setiap
Meraih sebanyak–
banyak materi
(berupa pangkat,
kedudukan, pujian
Meraih sebanyak–
banyak materi (berupa
pangkat, kedudukan,
pujian dll.)
perbuatan dll.)
9. Kebebasan pribadi
dalam berbuat
Distandarisasi oleh
hukum syara’. Bila
sesuai bebas
dilakukan, bila tidak
maka tidak boleh
dilakukan
Mendewakan
kebebasan pribadi
demi meraih
kebahagiaan yang
mereka definisikan
Mendewakan
kebebasan pribadi
demi meraih
kebahagiaan yang
mereka definisikan
10
.
Pandangan
terhadap
masyarakat
Masyarakat merupakan
kumpulan individu
yang memiliiki
perasaan dan
pemikiran yang satu
serta diatur oleh
hukum yang sama.
Masyarakat
merupakan kumpulan
individu-individu.
Masyarakat merupakan
kumpulan dan
kesatuan manusia,
alam dan interaksinya
dengan alam
11
.
Dasar
Perekonomian
Setiap orang bebas
menjalankan
perekonomian dengan
membatasi sebab
pemilikan dan jenis
pemiliknya. Sedangkan
jumlah kekayaan yang
boleh dimiliki tidak
dibatasi.
Ekonomi berada di
tangan para pemilik
modal. Setiap orang
bebas menempuh
cara apa saja. Tidak
dikenal sebab-sebab
pemilikan.
Jumlahnya pun bebas
dimiliki tanpa
batasan.
Ekonomi di tangan
negara. Tidak ada
sebab pemilikan,
semua orang boleh
mencari kekayaan
dengan cara apa pun.
Namun jumlah
kekayaan yang boleh
dimiliki dibatasi.
12
.
Kemunculan sistem
aturan
Allah telah
menjadikan bagi
manusia sistem aturan
untuk dijalankan
dalam kehidupan yang
diturunkan pada nabi
Muhammad SAW .
Manusia hanya
memahami
permasalahan, lalu
menggali hukum dari
Al Qur’an dan As
Sunah.
Manusia membuat
hukum bagi dirinya
berdasar fakta yang
dilihatnya
Sistem aturan diambil
dari alat-alat produksi
13
.
Tolok ukur Halal - haram Manfaat kekinian Tolok ukur materi
14 Penerapan hukum Atas dasar ketaqwaan
individu, kontrol
masyarakat dan
penerapan dari
masyarakat
Terserah individu Tangan besi dari
negara
BAB III
Dakwah dan Perubahan Sosial
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan ummat (kelompok) yang mengajak kepada
kebajikan (Islam), memerintahkan kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar
dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104)
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Sehingga individu dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Tidak ada
satu pun agama atau ideologi lain yang memiliki aturan semacam itu apalagi menandinginya.
Rasulullah SAW telah menjelaskan hubungan individu dengan masyarakat ini melalui
sabdanya:
“Perumpamaan orang yang menjaga dan menerapkan batas (peraturan) Allah adalah
laksana kelompok penumpang kapal yang mengundi tempat duduk mereka. Sebagian mereka
mendapat tempat di bagian atas, dan sebagian lain di bagian bawah, jika mereka
membutuhkan air, maka harus berjalan melewati bagian atas kapal. Maka merekapun
berujar, “bagaimana jika kami lobangi saja bagian bawah kapal ini (untuk mendapatkan air),
toh hal itu tidak menyakiti orang yang berada di bagian atas.” Jika kalian biarkan mereka
berbuat menuruti keinginan mereka itu, maka binasalah mereka, dan seluruh penumpang
kapal itu. Tetapi jika kalian cegah mereka, maka selamatlah mereka dan seluruh penumpang
yang lain.” (HR Bukhari)
Beliau juga menjelaskan bagaimana keterpaduan individu dan masyarakat, dimana
individu berbuat untuk kemaslahatan masyarakat dan masyarakat berbuat untuk menjaga
individu. Sabda Beliau SAW:
“Perumpamaan orang-orang muslim, bagaimana kasih sayang dan tolong menolong
terjalin antar mereka, adalah laksana satu tubuh. Jika satu bagian merintih merasakan
sakit, maka seluruh bagian tubuh akan bereaksi membantunya, dengan berjaga (tidak tidur)
dan bereaksi meningkatkan panas badan (demam).” (HR Muslim)
Oleh karena itu Islam mewajibkan setiap pemeluknya untuk bertanggung jawab terhadap
saudaranya dan segenap umat manusia pada setiap waktu dan keadaan. Sama sekali tidak
ada tempat bagi orang yang egois atau individualis. Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa saja yang bangun pagi hari dan ia hanya memperhatikan masalah dunianya, maka
orang tersebut tidak berguna apa-apa disisi Allah; dan barangsiapa yang tidak
memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka.” (HR
Thabrani dari Abu Dzar Al Ghifari)
Apabila secara jernih kita melihat kondisi kaum muslimin di seluruh dunia saat ini, maka
akan kita dapati ternyata setelah Daulah Khilafah runtuh pada tahun 1924 kaum muslimin
berada dalam keterpurukan di berbagai bidang kehidupan. Mulai dari terpecah belahnya kaum
muslimin oleh sekat-sekat nasionalisme, terancamnya aqidah kaum muslimin oleh serangan
misionaris agama kristen, diterapkannya sistem demokrasi kufur di kancah kehidupan, pola
hidup barat yang sudah mengakar di negeri-negeri kaum muslimin, sehingga tidak ada satupun
negeri kaum muslimin yang menerapkan Islam sebagai sebuah Ideologi. Semua ini berpangkal
pada rendahnya taraf berpikir kaum muslimin yang teramat parah.
Problematika Umat Islam Kekinian
Kondisi umat Islam kekinian masih diliputi derita. Imperialisme, kemiskinan,
kebodohan, ketertinggalan dan sederet permasalahan lainnya belum juga terselesaikan. Di
negeri Indonesia ini saja misalnya, sebagai negeri yang berpenduduk muslim terbesar di
dunia, krisis multidimensi yang sejak beberapa tahun ke belakang melanda kita nampaknya
masih akan terus dirasakan. Bagaikan benang kusut, berbagai masalah itu membelit, sehingga
tidak dapat diketahui mana ujung pangkalnya, dan mana yang lebih dahulu harus diuraikan
dan diselesaikan, karena lilitan masalah itu terjadi hampir di semua segi kehidupan. Begitu
juga yang dirasakan oleh umat Islam di Asia Tengah seperti Chechnya, di Eropa seperti
Albania dan Bosnia Herzegovina, Sudan (Afrika), Iraq, Afghanistan dan Palestina (Asia Barat),
Malaysia, Pattani, dan Filipina (Asia Tenggara), Bangladesh, Pakistan dan India (Asia Selatan),
serta negeri-negeri Islam yang lain yang tengah mengalami kondisi yang tak jauh berbeda.
Jika kita amati, negeri-negeri Islam saat ini tidak memiliki kedaulatan penuh untuk
menentukan kehidupan mereka. Intervensi negara-negara adikuasa terutama Amerika Serikat
sangat kental dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh para penguasa
negeri-negeri tersebut. Imperialime klasik berbentuk penjajahan fisik memang tidak lagi
populer, tetapi sesungguhnya umat Islam masih menjadi obyek imperalisme gaya baru – yang
lebih halus dan mematikan – berupa penjajahan politis dan dominasi ekonomi melalui PBB,
IMF, WTO dan berbagai lembaga internasional lainnya.
Secara ekonomi, kebanyakan negeri-negeri kaum muslimin tergolong sebagai negara
miskin. Kenyataan ini sebenarnya sangat mengherankan. Sebab negara-negara yang
bergelimang dengan kemiskinan dan penderitaan itu sebenaranya adalah negara-negara yang
sumber daya alamnya sangat melimpah. Indonesia, misalnya, negara yang sangat terkenal
dengan kesuburannnya, dan berbagai tambang minyak, emas, tembaga, batu bara, dsb. yang
bertebaran di berbagai wilayahnya, justru mengemis-ngemis kepada IMF, negara-negara
donor, dan investor asing. Itu terjadi karena di samping buruknya pengelolaan kekayaan
tersebut, meluasnya paktek-praktek korupsi, kolusi, dan suap yang dilakukan atau melibatkan
penguasa setempat, juga akibat dieksploitasi dan dikeruk oleh negara-negara adidaya.
Tambang emas di Irian jaya, misalnya, setiap hari diangkut ke Amerika dan Kanada melalui
Freeport. Minyak di negara-negara Teluk tandas disedot melalui politik perdagangan yang
culas dan curang.
Beberapa permasalahan tersebut hanyalah sebagian kecil dari permasalahan yang
kesengsaraannya langsung dirasakan. Pengrusakan terparah yang dilakukan musuh-musuh
Islam itu kini justru berfokus pada pengrusakan pemikiran Islam yang ada di kepala kaum
muslimin. Pemikiran Islam yang telah membuat kaum muslimin berjaya selama berabad-abad
itu telah hilang, dirusak dan diganti dengan pemikiran-pemikiran sesat yang dilancarkan barat
yang merusak aqidah dan akhlak kaum muslimin. Tidak lain hal itu sebenarnya merupakan
upaya musuh-musuh Islam untuk semakin menancapkan kuku-kukunya di tubuh kaum
muslimin. Berbagai pengrusakan itu antara lain:
(1). Sekulerisme
Sekulerisme merupakan asas dari ideologi imperialis Kapitalisme. Inti ide ini adalah
memisahkan agama dari kehidupan sosial-kemasyarakatan. Artinya, agama jangan campur
tangan dalam urusan sosial kemasyarakatan. Politik, ekonomi, pendidikan, budaya,
hubungan luar negeri, tidak boleh diatur oleh agama secara praktis. Kalaupun agama mau
berperan hanya secara moral (etika) yang memang tidak punya pengaruh berarti. Perlu
kita ingat, bukan berarti agama tidak diakui dalam sekulerisme ini, tapi agama
dimandulkan hanya urusan ritual, moral, dan individual.
Sekulerisme juga berarti menolak aqidah Islam dan syariah Islam mengatur
masyarakat kita. Padahal, kita menyakini dengan keyakinan yang penuh umat Islam harus
tunduk pada seluruh aturan Allah SWT dalam seluruh aspek kehidupannya. Dengan asas
sekulerisme ini semua yang berbau syariah Islam akan ditolak. Tidak peduli apakah
syariah Islam akan menyelamatkan manusia dan memberikan solusi atau tidak. Sama tidak
pedulinya, bahwa aturan yang bukan bersumber dari syariah Islam telah menghancurkan
manusia.
Akibatnya, dunia diatur oleh Ideologi Kapitalisme dengan asas sekulerisme ini. Dunia
diatur oleh para kapitalis yang membuat aturan atas nama rakyat, tapi justru
menyengsarakan rakyat. Kemiskinan, konflik, kesengsaraan, ketidak adilan, merupakan
buah dari kepemimpinan ideologi Kapitalisme sekarang ini.
(2). Liberalisme
Liberalisme masih merupakan satu paket dengan ideologi Kapitalisme. Liberalisme
sendiri lahir dari masyarakat sakit Eropa di abad kegelapan. Belenggu dominasi raja yang
mengatasnamakan Tuhan mengancam perkembangan sains dan teknologi. Rajapun
berkolabrasi dengan agamawan palsu untuk menindas rakyat. Solusinya, belenggu ini
harus dihilangkan dengan memberikan manusia kebebasan.
Melihat dari latar belakangnya jelas tidak sesuai dengan kaum muslim. Dalam Islam,
meskipun masyarakatnya terikat pada aturan Allah, ilmu, sains, dan dan teknologi tidak
terbelenggu. Bahkan Islam mendorong negara dan masyarakat untuk meningkatkan sains
dan teknologi. Bukan hanya itu, Islam juga menyediakan fasilitas pendidikan gratis dan
penghargaan terhadap sains dan teknologi yang luar biasa.
Sejarah keemasan Islam, saat diatur oleh syariat Islam, penuh dengan ketinggian sains
dan teknologi yang sulit dibantah oleh orang-orang yang jujur. Dunia pemikiran
(intelektual), meskipun didasarkan pada Islam dan tunduk pada aturan Islam, bukan
berarti terbelenggu. Berkembangnya mazhab dan tumbuh suburnya ijtihad merupakan
bukti dari perkembangan intelektual yang produktif ini. Karya-karya ulama bertaburan.
Perpustakaan dunia Islam dipenuhi dengan berbagai karya ulama yang membahas
berbagai persoalan, mulai tafsir, aqidah, fiqh, sampai sains dan teknologi.Aturan Islam
yang diterapkan negara pun tidak menimbulkan kediktatoran, malah memberikan
kebaikan pada masyarakat dengan pemimpin yang amanah.
Liberalisme ini juga berbahaya. Atas dasar kebebasan berpikir, mereka berpendapat
sebebas-bebasnya tanpa terikat pada Islam. Termasuk mempersoalkan yang jelas-jelas
perkara yang qoth'i yang seharusnya tidak bisa diganggu gugat lagi . Al-Qur'an pun
diragukan keabsahannya. Atas nama kebebasan berpendapat pemikiran seseorang tidak
boleh dilarang, meskipun pemikiran itu bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
Kebebasanpun merambah kepada tingkah laku. Homoseksual dan lesbianisme menjadi
kenyataan yang harus diterima atas nama kebebasan. Termasuk pernikahan antar homo
atau lesbi bisa menjadi legal. Pelacuranpun dibela dan dianggap profesi yang harus
dilindungi. Liberalisme yang mengusung kebebasan ini justru akan membawa manusia ke
jurang kehinaan.
(3). Pluralisme
Sebagaimana dua pemikiran sebelumnya, pluralisme merupakan pemikiran yang
berasal dari ideologi kapitalisme. Pemikiran ini memandang bahwa masyarakat itu
tersusun atas individu-individu, dan masing-masing individu memiliki berbagai macam
akidah, kemaslahatan (kepentingan), keturunan dan kebutuhan yang berbeda-beda.
Karena itu sudah semestinya bahwa masyarakat itu majemuk (berbeda-beda), karena
masing-masing kelompok memiliki tujuan khusus.
Masing-masing kelompok itu memiliki ciri khas yang tidak sama satu dengan yang lain,
baik dari sisi kebutuhannya, tujuannya, nilai-nilai yang dimilikinya, bahkan akidah atau
ide yang dianutnya. Perbedaan-perbedaan tersebut harus dijaga, karena tidak mungkin
dipersatukan. Pandangan ini terkait dengan ide kebebasan individu dalam pemikiran
kapitalisme. Pluralisme membolehkan munculnya berbagai partai, gerakan, kelompok,
organisasi, bahkan jamaah apapun yang berlandaskan kepada akidah yang kufur, atau
berasaskan pada sesuatu yang bertentangan dengan Islam, seperti partai-partai yang
berasaskan nasionalisme, kesukuan dan primordialisme. Masyarakat yang pluralis adalah
masyarakat yang membolehkan munculnya kelompok-kelompok yang berasaskan pada
sesuatu yang haram. Misalnya, dibolehkannya perkumpulan (komunitas) orang-orang
homo, lesbian, sex bebas, perkumpulan para pemabuk atau penjudi.
Dalam hal agama, pluralisme diekspresikan dalam bentuk dialog antar agama,
toleransi umat beragama (seperti yang dipahami Barat dan kalangan orientalis). Lebih
berbahaya lagi, pluralisme menafikkan kebenaran yang absolut. Kebenaran menjadi
relatif. Implikasinya, tidak satu agamapun yang berhak mengklaim dirinya paling benar.
Dengan demikian tidak ada lagi yang membedakan agama yang satu dengan agama yang
lain. Muncullah anggapan agama itu pada dasarnya sama. Di bidang politik juga tampak
dalam bentuk aliansi (atau koalisi) berbagai kelompok/partai yang berbeda-beda asasnya
tetapi sama dalam kepentingan yang bersifat temporer. Itu gambaran tentang pluralisme
di dalam masyarakat kapitalis sekular.
(4). Terorisme
Terorisme menjadi topik paling hangat dibahas media massa di seluruh dunia. Pasca
peledakan gedung WTC 11 September 2001, isu terorisme memang telah menjadi isu
global. Media massa Barat - yang kemudian diikuti oleh media massa lainnya -
mempunyai andil dalam membangun opini bahwa aktivitas terorisme berkaitan dengan
perjuangan Islam, yaitu melawan penjajahan AS dan sekutunya di negeri-negeri Muslim,
khususnya di Irak dan Afganistan. Aksi terorisme yang sangat kejam itu diopinikan sebagai
aktivitas kelompok Islam atau bahkan aktivitas kaum Muslim secara umum dalam
merespon penjajahan AS tersebut.
Dalam tataran global, aksi terorisme dapat menjadi senjata ampuh Barat pimpinan AS
untuk memojokkan Islam. Pasca keruntuhan Komunisme, Islam menjadi ancaman serius
bagi Barat. Sebab, faktanya hanya Islamlah saat ini yang memiliki daya tolak yang
memadai terhadap sistem Kapitalisme yang diperjuangkan Barat. Sistem ini tidak akan
berdaya di hadapan kesempurnaan sistem Islam yang berasal dari Zat Yang Mahaagung.
Karena itu, Barat berkepentingan untuk melakukan pencitraan buruk terhadap Islam.
Kasus-kasus terorisme semakin mendekatkan hubungan negara-negara di dunia dengan AS
dalam agenda bersama memerangi terorisme. Artinya, semakin banyak aksi terorisme
maka semakin besar pula peluang AS untuk mendapat kewenangan menjadi pimpinan
utama dunia dalam perang melawan terorisme. Target utamanya adalah kaum Muslim
yang tidak sejalan dengan agenda global Kapitalisme-sekular. Ada proses sistematis yang
berupaya menjelmakan Islam menjadi musuh bersama (common enemy) dunia.
Realitanya, isu perang melawan terorisme telah menjadi senjata pamungkas bagi
Barat pimpinan AS untuk melumpuhkan kebangkitan Islam. Secara lebih spesifik, isu itu
digunakan untuk menggiring publik dunia pada suatu perang global terhadap kaum Muslim
yang memperjuangkan tegaknya syariah dan Khilafah. Mereka memahami bahwa
perjuangan penegakan syariah tersebut secara nyata telah mengancam hegemoni sistem
Kapitalisme yang mencengkeram dunia saat ini.
(5). Nasionalisme
Pasca keruntuhan kekhilafahan Islam terakhir yang berpusat di Istambul Turki 1924,
dunia Islam memang tidak lagi menjadi kekuatan politik yang disegani. Wilayahnya yang
luas telah terkotak-kotak menjadi lebih dari lima puluh negara dan terkerat-kerat oleh
ikatan nasionalisme. Ikatan nasionalisme inilah yang menggantikan ikatan kukuh yang
berupa aqidah dan persaudaraan Islam yang selama ini mereka miliki. Dengan ikatan
rapuh berupa hubungan ketetanggaan, persahabatan dan kepentingan bersama itu mereka
bekerjasama. Ikatan ini pula yang menjadikan mereka bersikap individualistik ketika
negeri muslim lain mendapat persoalan dan membutuhkan bantuan dengan alasan
masalah dalam negeri negara lain. Sangat jelas fakta dalam benak kita bagaimana
Palestina yang merupakan jantung umat Islam hingga saat ini masih dikuasai Yahudi,
sedangkan 1,2 milyar kaum muslimin tidak mampu melakukan tindakan yang berarti.
Jangankan untuk menentang nasionalisme, banyak orang Islam sendiri yang justru
melanggengkan nasionalisme dengan melandaskannya pada: “Cinta tanah air sebagian
dari iman.” Padahal kalimat yang dianggap sebagai hadits tersebut hanyalah sebuah
propaganda untuk memecah belah kaum muslimin. Selain itu kalimat tersebut
bertentangan dengan sabda Rasulullah, yaitu : “Bukanlah golonganku orang yang menyeru
kepada ashobiyah, bukanlah golonganku orang yang berjuang untuk ashobiyah dan bukan
golonganku orang yang mati dalam memperjuangkan ashobiyah.” (HR Muslim)
Ashobiyah yang dimaksud adalah perasaan fanatisme golongan termasuk ke dalamnya
kesukuan dan nasionalisme. Ashobiyah inilah yang telah memecah belah kaum muslimin.
(6). HAM dan Demokrasi
Di sisi aqidah, kaum muslimin juga banyak terpesona oleh ide-ide yang bertentangan
dengan Islam. Tanpa ragu ide-ide demokrasi dan HAM dianut dan diperjuangkan sebagai
pemecah berbagai problematika hidup. Padahal ide-ide tersebut justru menjadi sumber
masalah di negeri-negeri mereka. Dengan alasan demokrasi dan HAM, kaum muslimin
ikut-ikutan memperjuangkan kebebasan bertingkah laku, kebebasan beragama dan
kebebasan berpendapat. Dari ide-ide ini munculah derivatnya berupa ide permisivisme
(keserbabolehan),. termasuk memperbolehkan bertingkah laku apa saja asalkan tidak
mengganggu orang lain. Akhirnya judi, minuman keras, pergaulan bebas dan freesex
muncul di mana-mana dengan alasan hal itu tidak mengganggu orang lain. Akhirnya
muncu bencana baru berupa AIDS yang hingga saat ini belum ditemukan obatnya.
(7). Pengrusakan Martabat Wanita
Di barat, wanita bukanlah seorang sosok yang berperan sangat mulia untuk mendidik
generasi mendatang yang berkualitas. Mereka mengganggap wanita sebagai sebuah barang
dan bisa jadi sebuah komoditi yang bisa dirasakan oleh siapa saja. Aurat wanita diumbar di
mana-mana. Media massa tidak henti-hentinya menayangkan gambar wanita telanjang
maupun ―sedikit tidak telanjang‖ untuk melariskan dagangan. Model wanita karier
berkembang dimana-mana. Kuno dan haram sepertinya ketika harus memakan gaji suami.
Sehingga akhirnya tugasnya yang mulia sebagai pendidik generasi masa depan yang
berkualitas ditinggalkan.
Al Qadliyyah al Mashiriyyah
Melihat begitu banyaknya permasalahan yang terjadi hampir pada semua aspek
kehidupan, umat Islam harus mengetahui dan membatasi masalah utamanya. Masalah utama
(al qadliyyah al mashiriyyah) ini adalah masalah yang sangat mendesak dan harus
didahulukan penyelesaiannya sebelum masalah lainnya. Dengan mengetahui dan membatasi
masalah utama tersebut, akan memudahkan umat Islam dalam menentukan arah
perjuangannya. Seluruh potensi dan kekuatan umat pun harus dikerahkan menyelesaikan
masalah utama tersebut. Tanpa memahami dan membatasi masalah tersebut, maka arah
perjuangan umat pasti tidak akan terarah dan berakhir dengan kesia-siaan.
Dengan membatasi masalah utama umat Islam ini pula, maka menjadi jelaslah tujuan
yang diupayakan oleh seluruh pengemban dakwah Islam, baik dalam bentuk kutlah-kutlah
(kelompok dakwah), jama‘ah-jama‘ah, atau pun partai-partai politik (al hizbu as siyaasi).
Setelah melakukan pengkajian secara mendalam terhadap Islam dan kondisi umat
Islam saat ini, maka dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya al qadliyyah al mashiriyyah
umat Islam saat ini adalah bagaimana memberlakukan kembali hukum yang diturunkan Allah
SWT secara totalitas. Caranya, dengan menegakkan kembali sistem Khilafah Islamiyyah dan
mengangkat seorang khalifah yang dibaiat atas dasar Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Dialah
yang akan mengusir negara kafir imperialis dari negeri-negeri muslim, menggusur perundang-
undangan kufur untuk kemudian menggantinya dan merealisasikan hukum-hukum Islam,
menyatukan negeri-negeri Islam di dalam naungan khilafah, serta mengemban risalah Islam ke
seluruh dunia melalui dakwah dan jihad.
Minimal ada dua alasan mengapa berlakunya hukum-hukum Islam dalam kehidupan
individu, masyarakat, dan negara ini dapat dikategorikan sebagai al qadliyyah al
mashiriyyah bagi umat Islam.
Pertama, Allah SWT telah mewajibkan umat Islam untuk menerapkan Islam secara
totalitas. Dan hal itu hanya bisa dilakukan dengan tegaknya Daulah Khilafah Islamiyyah. Ada
pun dasar pemikiran tentang wajibnya memberlakukan hukum-hukum Islam dan menegakkan
daulah adalah sebagai berikut:
Beriman terhadap keberadaan Allah SWT, tidak cukup hanya mengimani-Nya sebagai
satu-satunya Dzat yang menciptakan alam semesta dan isinya, tetapi juga mengimaninya
sebagai Rabb dan Ilaah yang wajib ditaati semua perintah dan larangan-Nya. Allah SWT telah
menciptakan manusia semata-mata untuk beribadah kepada-Nya (Ad Dzariyaat: 56). Dan
untuk itu, Allah SWT menurunkan dien yang mewajibkan seluruh manusia untuk
menjalankannya. Terakhir, Allah menurunkan Islam sebagai risalah penutup semua risalah
yang dibawa oleh para nabi sebelumnya. Keberadaan risalah yang dibawa Rasulullah SAW
tersebut menghapus berlakunya risalah sebelumnya. Risalah Islam ini diperuntukkan kepada
seluruh manusia tanpa terkecuali (QS. Saba’ :28). Sehingga, sejak diturunkannya Islam ke
dunia, seluruh manusia wajib mengikatkan dirinya dengan syariat Islam, menerapkan, dan
memberlakukan hukum-hukumnya. Kewajiban ini tercantum dalam nash-nash syara‘, baik
dalam Al Qur‘an maupun Sunnah Rasulullah SAW. Di antaranya adalah firman Allah SWT ;
Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah" (QS. AL Hasyr: 7)
Dalalah (penunjukan) ayat ini bersifat qath‟iy dalalah (pasti penunjukkannya), yakni
menunjukkan kewajiban terikat dengan hukum-hukum syara‘. Allah memerintahkan kaum
muslimin agar melaksanakan apa-apa yang dibawa atau diperintahkan Rasulullah, baik yang
berupa perintah wajib, sunnah, maupun mubah, serta mengharuskan mereka meninggalkan
segala yang dilarang, baik yang haram maupun yang makruh. Dan Allah juga memerintahkan
untuk mencegah apa yang dilarang bagi mereka. Maka seluruh manusia wajib terikat dengan
setiap seruan yang dibawa Rasulullah. Sedangkan perintah dalam ayat tersebut menunjukkan
wajib apabila dikaitkan dengan qarinah (indikasi) ayat lainnya. Seperti, firman Allah SWT:
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa fitnah
atau ditimpa azab yang pedih" (An Nur: 63).
Pada ayat ini, Allah SWT memberikan ancaman kepada siapa saja yang menyimpang
dari perintah Rasulullah akan diberikan iqaab (sanksi) berupa ditimpakannya fitnah atau
adzab yang pedih di akhirat. Ini menunjukkan bahwa mentaati syariat yang dibawa Rasulullah
(Islam) itu bersifat jazim (tegas/pasti), yakni memberikan implikasi hukum wajib. Dengan
demikian lafadz dan pada QS Al Hasyr : 7 itu bersifat wajib.
Indikasi lain yang menunjukkan bahwa wajib bagi setiap muslim untuk mengambil
hukum syara‘ dan terikat dengannya adalah firman Allah SWT:
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya" ( An Nisa 65)
Ayat ini menafikan (meniadakan) iman seseorang yang tidak merujuk kepada
Rasulullah SAW atau hukum syara‘. Sebab bertahkim kepada Rasulullah berarti juga bertahkim
kepada hukum syara‘. Pengertian tersebut bisa disimpulkan demikian karena Rasulullah SAW
tidak memutuskan hukum apapun berdasarkan undang-undang yang berlaku menurut adat dan
kebiasaan masyarakat, ataupun mitos nenek moyang mereka. Akan tetapi Rasulullah SAW
diperintahkan untuk mengadili dan memutuskan mereka dengan hukum syara‘ semata yang
berasal dari Allah SWT, seperti yang ditegaskan dalam firman-Nya:
"Dan handaklah kamu memutuskan hukum di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah dengan tipu
daya mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang diturunkan
Allah SWT kepadamu" (QS Al Maidah: 49).
Disamping itu, Allah SWT telah mengkaitkan perintah-Nya untuk menjadikan
Rasulullah SAW sebagai hakim dengan ada atau tidaknya iman. Juga, diwajibkan atas mereka
untuk menerima keputusan Rasulullah SAW tersebut dengan rela dan tunduk, serta tidak
boleh ada sedikit pun ada keberatan dalam dirinya.
Allah SWT mengancam bagi orang-orang yang mengambil hukum selain hukum syara‘
sebagaimana firman-Nya:
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya beriman kepada apa
yang telah diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka
hendak berhakim kepada thaghut padahal mereka telah diperintahkan mengingkari thaghut
itu. Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan sejauh-jauhnya" (An
Nisa: 60).
Pengakuan bahwa mereka telah beriman kepada Al Qur‘an, mengharuskan mereka
untuk bertahkim kepada hukum Al Qur‘an itu. Apabila ia justru menginginkan untuk
bertahkim kepada hukum yang tidak bersumber dari Al Qur‘an (hukum thaghut), padahal ia
diperintahkan untuk mengkufurinya, maka jelas itu bertentangan dengan pengakuan orang
tersebut bahwa ia telah beriman. Oleh karena itu, iman seseorang kepada Islam mewajibkan
ia bertahkim kepadanya. Dengan demikian, seorang muslim harus terikat dengan hukum-
hukum Islam. Apabila ia tidak terikat, berarti ia telah menempuh jalan kekufuran. Bahkan
pada hakikatnya ia tidak beriman kepada ajaran Islam.
Syara‘ juga telah menegaskan hal ini secara jelas dan terang-terangan terhadap para
penguasa dan qadli/hakim. Merekalah pihak yang termasuk ke dalam jajaran para pelaksana
hukum syara‘. Mereka dilarang menjalankan hukum thaghut (selain hukum Allah SWT). Jika
mereka tetap menjalankan hukum thaghut, maka mereka termasuk orang-orang kafir, dzalim,
dan fasik. Mereka dianggap kafir secara pasti apabila meyakini bahwa hukum Islam tidak
relevan lagi untuk memecahkan problematika manusia di abad sekarang, justru meyakini
bahwa selain Islam, semisal sosialisme atau kapitalisme, lebih handal dan mampu
memecahkan problematika hidup. Allah SWT berfirman:
"Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturnkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang kafir" (Al Maidah: 44).
Tetapi jika mereka masih meyakini bahwa hukum Islam itu mampu memecahkan
segala problema kehidupan, tetapi ia taat pada hukum-hukum selain Islam karena alasan
takut terhadap penguasa atau tekanan negara-negara besar atau ada keyakinan bahwa
mereka tidak mampu menerapkan hukum Islam, maka mereka termasuk orang-orang yang
dzalim dan fasik, sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur‘an surat Al Maidah 45 dan 47.
Sebab, ia telah mengerjakan sesuatu yang diharamkan.
"Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang dzalim (Al Maidah 45).
"Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturnkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang fasik " (Al Maidah: 47).
Ada pun negeri-negeri Islam --sebuah kondisi yang amat disayangkan--semuanya
memberlakukan perundang-undangan dan hukum kufur, kecuali hanya sebagian saja hukum-
hukum Islam, seperti hukum nikah, talak, rujuk, cara memberi nafkah, waris, perwalian, atau
pun sengketa tentang anak. Hanya hukum-hukum semacam inilah yang mereka serahkan
pelaksanaannya kepada pengadilan khusus, yang diberi istilah sebagai pengadilan agama.
Jika ini yang terjadi, maka jelaslah masalah utama (al qadliyyah al mashiriyyah)
umat Islam sejak runtuhnya daulah khilafah Islamiyyah di Turki adalah kembali diterapkannya
Islam dalam bernegara dan bermasyarakat, yaitu dengan jalan menegakkan kembali sistem
khilafah dan membaiat seorang khalifah yang akan memberlakukan kitabullah dan sunnah
Rasul-Nya, menyatukan negeri-negeri Islam menjadi satu negara, dan mengemban risalah
Islam keseluruh dunia.
Mengapa masalah tersebut dianggap sebagai masalah utama? Karena syara‘ telah
mewajibkan seluruh kaum muslimin untuk mengamalkan hukum-hukum Islam secara totalitas
dan direalisasikan secara nyata dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bahkan Islam
telah menjadikan ketentuan sikap terhadap masalah utama ini sebagai masalah antara hidup
dan mati. Hadits yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit ra dan hadits Auf bin Malik di atas
menunjukkan bahwa kaum muslimin harus menggusur bahkan memerangi para penguasa
dalam daulah Islamiyyah yang menghentikan penerapan hukum Islam, dan justru
memberlakukan hukum-hukum kufur.
Rasulullah SAW juga menegaskan betapa pentingnya keberadaan khilafah bagi kaum
muslimin. Siapa saja di antara mereka yang mati sedangkan khilafah tidak tegak, mereka
diancam dengan ancaman yang sangat menakutkan, yakni mati jahiliyyah. Rasulullah SAW
bersabda:
Barang siapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia
akan menemui Allah di hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barang siapa yang mati
sementara di lehernya tidak ada baiat (kepada khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati
jahiliyyah (HR Muslim).
Kewajiban mendirikan khilafah tidak sebagaimana kewajiban-kewajiban lainnya.
Sebab, lenyapnya daulah Islamiyyah berarti terlantarnya lebih dari tiga per empat syariat
Islam. Hukum-hukum Islam yang mengatur persoalan pemerintahan, ekonomi, sosial,
pendidikan, hubungan luar negeri, jihad, hudud, jinayat, ta‘zir, mukholafat, dan sebagainya
tidak bisa diterapkan.
Alasan kedua mengapa mendirikan khilafah Islamiyyah yang menerapkan hukum-
hukum Islam itu menjadi masalah utama --disamping kewajiban tegaknya khilafah yang harus
segera didirikan-- adalah karena sebenarnya berbagai problematika lainnya yang sekarang
menghimpit kaum muslimin adalah akibat lenyapnya Daulah Khilafah Islamiyyah.
Tiadanya Daulah Khilafah Islamiyyah telah mengakibatkan bercokolnya pemikiran dan
hadlarah (peradaban), akhlak, dan gaya hidup Barat di benak putra-putri kaum muslimin.
Aqidah Islam yang merupakan satu-satunya aqidah yang shahih justru ditanggalkan oleh
sebagian besar putra-putri kaum muslimin, dan diganti dengan aqidah sekularisme yang
memisahkan agama dari kehidupan dan ide-ide turunannya yang mendatang malapetaka bagi
manusia.
Tiadanya khilafah yang memimpin kaum muslimin secara keseluruhan telah
mengakibatkan terpecah belahnya kaum muslimin menjadi lebih dari 50 negara dan terbukti
telah menimbulkan banyak persoalan.
Lebarnya jurang kemiskinan dan kekayaan yang terjadi di dunia Islam adalah akibat
diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme, Demikian pula kemiskinan yang di alami kaum
muslimin karena mereka dipimpin oleh para pemimpin yang sangat korup, dan membiarkan
kekayaan begerinya dijarah dan dikuras oleh para penjajah kafir. Ini juga tidak akan terjadi
jika sistem khilafah ada di tengah-tengah umat.
Merosotnya moralitas, tingginya angka kriminalitas, dan merebaknya berbagai
kemungkaran dan kemaksiatan adalah produk sistem kufur yang melingkupi mereka. Jika ada
Daulah Khilafah Islamiyyah maka semua itu akan dicegahnya. Khilafah Islamiyyah akan
menghentikannya, membasmi kerusakan yang nampak di tengah-tengah masyarakat,
memelihara aqidah, serta yang akan mencegah seluruh penyimpangan aqidah, perusakan
aqidah atau menyalahi aqidah.
Khilafah juga menghantarkan terciptanya suasana penuh keimanan, akhlak yang mulia
di seluruh lapisan masyarakat, melalui media penerangan, pendidikan, serta berbagai
lembaga lainnya. Penanganan dan pengaturan Daulah Islamiyah ini tidak akan
mengkhawatirkan hanyutnya para pemuda dan pemudi dari propaganda kemungkaran,
kerusakan, demoralisasi.
Tiadanya khilafah Islamiyyah memberikan kemudahan bagi negara-negara Barat yang
kafir untuk mencengkeramkan dominasi mereka terhadap kaum muslimin, merampok
kekayaan alamnya, menginjak-injak kehormatannya, bahkan mengusir dan membantai
penghuninya. Raulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya seorang imam (khalifah) adalah perisai. Diperangi orang yang ada di baliknya
dan dijadikan pelindung" (HR Muslim).
Berbagai problematika yang yang sekarang melilit kaum muslimin Itu tidak akan
terjadi jika sistem khilafah masih tegak. Karena Daulah Khilafah Islamiyyah bukan sekadar
sistem pemerintahan, tetapi juga berfungsi sebagai al haaris (penjaga) aqidah, al munaffidz
(pelaksana) syariah, al muqiim (penegak) agama, al muwahhid (penyatu) barisan kaum
muslimin, al haamiy (penjaga) negeri-negeri kaum muslimin, darah, harta, dan cita-cita
mereka, serta yang yang akan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia dan memimpin umat
dalam berjihad fisabilillah.
Wujud Kepedulian dan Tanggungjawab
Sungguh tidak cukup hanya dengan mengelus dada atau mengeluarkan air mata,
menyaksikan realitas buruk di depan mata. Karena bagaimana mungkin seseorang dapat tegak
berdiri di hadapan Allah SWT apabila ditanya tentang keterdiamannya ketika hukum-hukum
Allah dicampakkan, ketika Islam tidak dijadikan sebagai pemutus perkara di tengah-tengah
kehidupan, ketika Islam terasing di pojok-pojok sempit kehidupan sebatas etika, moral dan
spiritual, yang bermuara pada tidak adanya kehidupan yang Islami.
Umat membutuhkan orang-orang yang mau dan mampu membawa umat kembali menuju
kemuliaan dan ketinggiannya dengan jalan meningkatkan taraf berpikir umat dengan
pemikiran Islami. Sehingga bukan mustahil masa kejayaan Islam seperti pada masa Rasulullah
SAW, para shahabat, Khulafaur Rasyidin dan para kekhalifahan sesudahnya akan terulang
kembali.
Sebagaimana firman Allah SWT:
”Dan Allah SWT telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan
mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh pasti menjadikan mereka berkuasa di
muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa…” (QS
An Nur: 55)
Juga para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah SAW:“Ya Rasulullah, kota manakah
yang akan lebih dahulu ditundukkan, kota Konstantinopel ataukah kota Roma?” Rasulullah
SAW menjawab:“Kota Heraklius (Konstantinopel) yang akan ditundukkan terlebih dahulu.”
(HR Ahmad dan Ad Darmi)
Sejarah mencatat bahwa kota Konstantinopel --sekarang Istambul, Turki -- sudah pernah
ditundukkan oleh pasukan kaum muslimin. Sementara, kota Roma belum pernah
ditundukkan. Insya Allah, suatu saat terjadi dan kejayaan Islam tinggal menunggu waktunya
saja.
Oleh sebab itu, orang yang memiliki rasa tanggung jawab dan peduli terhadap diri,
keluarga, dan umatnya serta mengharapkan keridhaan Rabbnya, akan berusaha sekuat tenaga
melakukan perubahan ke arah Islam. Berkaitan dengan ini Allah SWT mensyariatkan aktivitas
--yang dikenal dengan istilah dakwah-- yang merupakan salah satu bagian syariat Islam.
Dengan dakwah, Islam bisa kembali tersebar ke seluruh penjuru dunia, dipeluk, dipahami dan
diamalkan oleh manusia dari berbagai suku dan bangsa.
Dakwah, suatu Kewajiban
Dakwah menurut makna bahasa adalah seruan. Sedangkan menurut makna syara‘, dakwah
adalah seruan kepada orang lain agar mengambil yang khoir (Islam), melakukan kema‘rufan
dan mencegah kemunkaran. Atau juga dapat didefinisikan dengan upaya untuk merubah
manusia –baik perasaan, pemikiran, maupun tingkah lakunya-- dari jahiliyah ke Islam, atau
dari yang sudah Islam menjadi lebih kuat lagi Islamnya. Terhadap masalah dakwah ini Allah
SWT berfirman:
“Serulah manusia ke jalan Rabbmu (Allah) dengan jalan hikmah (hujjah) dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” (QS An Nahl: 125)
“Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi
penolong bagi sebagian yang lainnya. Mereka menyuruh kepada yang ma‟ruf dan mencegah
dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah dan sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.” (QS At Taubah: 71)
Dari ayat-ayat itu, jelas bahwa dakwah hukumnya wajib karena Allah berjanji akan
memberi rahmat kepada orang yang berdakwah. Hal ini merupakan indikasi (qarinah) yang
menunjukkan ketegasan perintah tersebut. Demikian pula qarinah yang tegas itu terlihat pada
sabda Rasulullah SAW:
“Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, sungguh kalian (memiliki dua pilihan,
yaitu) benar-benar memerintah berbuat ma‟ruf dan melarang berbuat munkar, ataukah Allah
akan mendatangkan siksa dari sisi-Nya yang akan menimpa kalian. Kemudian setelah itu
kalian berdo‟a, maka do‟a itu tidak akan dikabulkan.” (HR Tirmidzi)
―Barangsiapa diantara kalian yang melihat kemunkaran, maka hendaklah ia merubahnya
dengan tangannya, dan apabila ia tidak mampu, maka hendaklah ia merubahnya dengan
lisannya, dan apabila ia tidak mampu, maka hendaklah merubahnya dengan hatinya. Dan
sesungguhnya hal itu merupakan selemah-lemahnya iman.‖ (HR Ahmad, Muslim, Abu
Dawud, At Turmidzi, An Nasaa’i, Ibnu Majah, dari Abi Sa’id Al Khudri)
Seorang muslim yang ingin berbekal taqwa, maka tentunya ia akan bersama-sama dengan
kaum muslimin yang lain memikul kewajiban dakwah ini. Bila tidak berarti ia ridho dengan
keadaan saudaranya --kaum muslimin-- yang sedang terpuruk dan terhina, lebih dari itu di
akhirat Allah SWT menyediakan siksaan yang amat pedih sebagai balasan atas perbuatan yang
dipilihnya.
Agenda Dakwah ke Depan
Kita umat Islam harusnya menyadari kekuatan dan potensi yang kita miliki, sehingga
dengan potensi ini kita mengetahui kenapa Allah Swt menjuluki kita sebagai khairul ummah,
umat yang terbaik (Q.S Ali Imran 110). Potensi dan kekuatan yang dimiliki umat Islam
diantaranya,
 Negeri Islam adalah wilayah yang kaya sumber daya alam dan strategis secara
geopolitis
 Lebih 70% cadangan minyak dunia yang sangat vital itu ada di dunia Islam
 Belum lagi sumber daya alam lain (emas, timah, tembaga, batubara, dan sebaganya)
 Posisi negeri Islam (wilayah timur tengah, Asia Tenggara, Asia Tengah, Asia Selatan)
berada pada titik-titik penting secara geografis, ekonomi dan militer.
 Menguasai dunia Islam berarti menguasai pasokan energi dan SDA lain serta menguasi
posisi strategis dunia
 Islam juga adalah peradaban (hadharah) yang lebih unggul (Samuel P Huntington, the
Clash of Civilization: 1996);
 Peradaban Islam mempunyai konsepsi kehidupan yang khas dan unik; berbeda dengan
Sosialisme maupun Kapitalisme, baik di bidang politik, pemerintahan, ekonomi,
sosial, budaya, pendidikan, pertahanan, keamanan, maupun yang lain.
 Islam adalah satu-satunya agama dan ideologi yang sesuai dengan fitrah manusia,
memuaskan akal dan menenteramkan jiwa. Karena diturunkan oleh Dzat yang Maha
Tahu akan fitrah, akal dan jiwa ciptaan-Nya.
 Sumber daya manusia yang sangat besar (lebih dari 1,4 milyar), lebih besar dari
pemeluk agama manapun
 Sumber daya alam yang sangat melimpah lebih dari wilayah manapun
 Posisi geografis yang sangat strategis secara ekonomi, politik dan militer
 Dengan Islam sebagai pandangan hidup yang sempurna dan basis ideologi serta sistem
politik yang khas, maka Islam dan Dunia Islam bakal menjadi rival potensial yang akan
mengancam dominasi Barat di masa mendatang pasca era perang dingin
Melihat realitas potensi yang dimiliki, sangat mungkin umat Islam bangkit dari
keterpurukannya selama ini. Namun, bagaimana langkah nyata menuju sebuah kebangkitan?
Kita harus berfikir mendalam untuk memahami apa sesungguhnya rahasia sebuah
kebangkitan, sebelum kemudian menentukan langkah menuju kesana. Kebangkitan bisa
berarti kesadaran, ketercerahan, kemampuan untuk memahami dan menentukan langkah
mandiri. Kebangkitan juga diindikasikan oleh kemampuan mempengaruhi bahkan menguasai.
Kebangkitan bangsa-bangsa tidak ditentukan oleh kemajuan teknologinya karena kita
menyaksikan bagaimana Jepang yang merupakan salah satu negara yang menguasai teknologi
tinggi tapi ia tidak mampu mengendalikan kekuatannya, dan masih dalam kendali Amerika.
Kebangkitan juga bukan ditentukan oleh masalah ekonomi, karena dengan jelas kita melihat
bagaimana Saudi Arabia, Brunei Darussalam termasuk juga Jepang dan negeri-negeri kaya lain
yang tetap tidak mampu menentukan keputusan mereka secara mandiri. ―Nasib‖ mereka
berada dalam genggaman Amerika. Saudi Arabia saat ini terbelit utang kepada Amerika,
sedang Jepang harus memberikan sumbangan dana kepada Amerika agar kepentingan
ekonominya terjaga. Kita juga bisa memastikan kebangkitan tidak ditentukan oleh ketinggian
moral (kemuliaan akhlak) karena kita membuktikan Madinah yang penduduknya adalah
penduduk yang paling mulia akhlaknya di seluruh dunia tetapi mereka ternyata tidak bangkit.
Mereka membeku seperti es tatkala menyaksikan perang saudara antara Arab Saudi dengan
Iraq yang notabene keduanya adalah kaum muslimin. Sebaliknya masyarakat Paris adalah
masyarakat yang bermoral rendah tetapi mereka bangkit. Termasuk masyarakat Amerika dan
Eropa yang gaya hidupnya bebas dan tidak terikat oleh etika-etika moral tetapi mereka
mampu menguasai dunia. Sungguh kebangkitan ternyata tidak ditentukan oleh itu semua.
Rahasia kebangkitan adalah kebangkitan taraf berfikir. Dari berfikir hewani –yang
sekedar berfikir untuk hidup-, meningkat menjadi berfikir manusiawi -yang berusaha
memperjuangkan kemuliaan manusia dengan ideologi tertentu. Berfikir ideologis inilah yang
telah menghantarkan umat Islam dahulu mampu menguasai dunia, meski hanya berkendaraan
kuda dan unta. Sebab teknologi hanya sarana yang akan berubah mengikuti perubahan dunia.
Sedangkan mabda‘ tidak akan berubah terutama mabda‘ Islam. Ia tetaplah mabda‘ dan
tetap layak menguasai dunia. Menjadi semakin jelas bagi kita bahwa hanya dengan
menjadikan Islam sebagai mabda‘ maka kaum muslimin akan bangkit, bergerak dan
menyelesaikan berbagai persoalannya.
Tugas para pengemban dakwah ke depan adalah menyadarkan umat untuk bersama-
sama bangkit dan menggunakan seluruh potensi serta kekuatan yang dimiliki sehingga mampu
menyelesaikan seluruh problematika umat sekaligus menghancurluluhkan kaum kair imperialis
yang selama ini memusuhi Islam dan kaum muslimin.
Hal tersebut tentu saja menjadi tugas berat bagi para pengemban dakwah. Beberapa
hal yang dapat menjadi bekal pengemban dakwah dalam menjalani perjuangaannya
dipaparkan sebagai berikut:
1. Membentuk pemikiran ideologis. Artinya, pengemban dakwah harus memahami Islam
sebagai sebuah ideologi, yang terdiri dari akidah dan syariat, yang berfungsi untuk
memecahkan seluruh problematika hidup manusia. Pengemban dakwah harus yakin
bahwa Islam merupakan aturan hidup yang sempurna, yang tidak lagi membutuhkan
pengurangan atau penambahan dari aturan-aturan lain di luar Islam.
2. Tidak berpikir pragmatis. Artinya, pengemban dakwah tidak boleh terjebak oleh
kepentingan-kepentingan sesaat atau jangka pendek dalam mengambil sikap dan
keputusan. Setiap sikap dan keputusan harus diambil berdasarkan pertimbangan
ideologi Islam. Misalnya, ketika terjadi krisis ekonomi, penyelesaiannya bukan dengan
mengundang IMF, tetapi harus ditelusuri akar permasalahannya, lalu dipecahkan
dengan mengacu pada ideologi Islam yang memiliki konsep tersendiri dalam bidang
ekonomi.
3. Memiliki kepekaan politis. Hal ini penting agar pengemban dakwah tidak mudah
tertipu oleh manuver-manuver politik kaum penjajah berserta kroninya yang ingin
melanggengkan penjajahannya. Sebagai contoh, pengemban dakwah harus memahami
kampanye yang kumandangkan Amerika tentang "Perang melawan Teroris". Apa dan
siapa yang dimaksud teroris oleh Amerika? Apa target Amerika di balik kampanye
tersebut? Demikian seterusnya.
4. Meraih kemuliaannya dengan Islam. Pengemban dakwah harus memahami bahwa
kemuliaan hidupnya, di dunia dan akhirat, hanya bisa diraih dengan mewujudkan
tegaknya aturan Islam dalam naungan khilafah. Sebaliknya, kehinaannya di dunia dan
akhirat, semata-mata karena mengambil aturan kufur. Semakin banyak ide-ide kufur
yang diadopsi, akan semakin jauh pengemban dakwah terperosok ke dalam jeratan
penjajahan dan arah perjuangan semakin kabur yang ujung-ujungnya berakhir pada
titik kegagalan yang selalu berulang.
Adapun bagaimana dakwah yang mesti ditempuh saat ini untuk terwujudnya Islam sebagai
sebuah sistem kehidupan tentu saja tidak terlepas dari contoh yang telah diberikan
Rasulullah yang telah terbukti keberhasilannya.
Beberapa tahapan kongkrit yang mesti ditempuh antara lain Pertama, membina
individu-individu (kader-kader dakwah) dengan ruh dan pemikiran Islam sebagai
sebuah ideologi disertai dengan gambaran penerapan ideologi tersebut dalam
kehidupan. Pemahaman ini akan mendorong upaya-upaya untuk memperjuangkannya.
Kedua, melakukan interaksi di tengah-tengah masyarakat untuk membina kesadaran
masyarakat terhadap ideologi Islam melalui pertarungan pemikiran dan perjuangan
politik. Dengan aktivitas ini akan terbentuk opini Islam yang berkembang luas dan
kesadaran masyarakat terhadap Islam. Ketiga, penerapan seluruh aturan Islam melalui
tegaknya Khilafah Islamiyah yang didukung penuh oleh seluruh masyakat. Dukungan ini
terbentuk dari kesadaran yang terwujud manakala aturan tersebut lahir dari ideologi
yang diyakini. Inilah agenda umat yang harus segera dilaksanakan, saat ini juga !
Terpuruknya kaum muslimin di berbagai sendi kehidupan
sejak runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyah 1924
meningkatkan taraf berpikir umat
Islam berjaya kembali
Dakwah wajib
Wujud kepedulian
dan tanggung jawab
BAB IV
AL KHILAFAH
"Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan
ulil amri di antara kalian." (QS. An-Nisaa` [4]: 59)
Khilafah adalah kepemimpinan, imamah, biasa juga disebut kekhalifahan. Ia merupakan satu
bentuk pemerintahan Islam. Pemimpin pemerintahannya dinamakan khalifah.
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia. Khilafah
bertanggung jawab menerapkan hukum Islam, dan menyampaikan risalah Islam ke seluruh
muka bumi. Khilafah terkadang juga disebut Imamah; dua kata ini mengandung pengertian
yang sama dan banyak digunakan dalam hadits-hadits shahih.
Sistem pemerintahan Khilafah tidak sama dengan sistem manapun yang sekarang ada di Dunia
Islam. Meskipun banyak pengamat dan sejarawan berupaya menginterpretasikan Khilafah
menurut kerangka politik yang ada sekarang, tetap saja hal itu tidak berhasil, karena memang
Khilafah adalah sistem politik yang khas.
Khilafah sama sekali berbeda dengan sistem Republik yang kini secara luas dipraktekkan di
Dunia Islam. Sistem Republik didasarkan pada demokrasi, dimana kedaulatan berada pada
tangan rakyat. Ini berarti, rakyat memiliki hak untuk membuat hukum dan konstitusi. Di
dalam Islam, kedaulatan berada di tangan syariat. Tidak ada satu orang pun dalam sistem
Khilafah, bahkan termasuk Khalifahnya sendiri, yang boleh melegislasi hukum yang bersumber
dari pikirannya sendiri.
Khalifah adalah kepala negara dalam sistem Khilafah. Dia bukanlah raja, melainkan seorang
pemimpin terpilih yang mendapat otoritas kepemimpinan dari kaum Muslim, yang secara
ikhlas memberikannya berdasarkan kontrak politik yang khas, yaitu bai‘at. Tanpa bai‘at,
seseorang tidak bisa menjadi kepala negara. Ini sangat berbeda dengan konsep raja atau
dictator, yang menerapkan kekuasaan dengan cara paksa dan kekerasan. Contohnya bisa
dilihat pada para raja dan diktator di Dunia Islam saat ini, yang menahan dan menyiksa kaum
Muslim, serta menjarah kekayaan dan sumber daya milik umat.
Sebagian kalangan menyamakan Khalifah dengan Paus, seolah-olah Khalifah adalah Pemimpin
Spiritual kaum Muslim yang sempurna dan ditunjuk oleh Tuhan. Ini tidak tepat, karena
Khalifah bukanlah pendeta. Jabatan yang diembannya merupakan jabatan eksekutif dalam
pemerintahan Islam. Dia tidak sempurna dan tetap berpotensi melakukan kesalahan. Itu
sebabnya dalam sistem Islam banyak sarana check and balance untuk memastikan agar
Khalifah dan jajaran pemerintahannya tetap akuntabel.
Dalil wajibnya Khilafah
Di dalam al-Quran memang tidak terdapat istilah Khilafah yang berarti negara. Tetapi di
dalam al-Quran terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki
pemerintahan/negara (ulil amri) dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukum-hukum yang
diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada
Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian." (TMQ. An-Nisaa` [4]: 59).
Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk mentaati Ulil Amri, yaitu Al Haakim (Penguasa).
Perintah ini, secara dalalatul iqtidha`, bererti perintah pula untuk mengadakan atau
mengangkat Ulil Amri itu, seandainya Ulil Amri itu tidak ada, sebab tidak mungkin Allah
memerintahkan kita untuk mentaati pihak yang eksistensinya tidak ada. Allah juga tidak
mungkin mewajibkan kita untuk mentaati seseorang yang keberadaannya berhukum mandub.
Maka menjadi jelas bahawa mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala
Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri, bererti Allah memerintahkan pula untuk
mewujudkannya. Sebab adanya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajiban menegakkan
hukum syara‘, sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan terabaikannya
hukum syara‘. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, kerana kalau tidak diwujudkan
akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, iaitu mengabaikan hukum syara‘
(tadhyii‘ al hukm asy syar‘i).
Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengatur urusan kaum
muslimin berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Firman Allah SWT:
"Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah
datang kepadamu." (TMQ. Al-Ma‘idah [5]: 48).
"Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan
janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka
supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu"
(TMQ. Al-Ma‘idah [5]: 49).
Dalam kaedah ushul fiqh dinyatakan bahwa, perintah (khithab) Allah kepada Rasulullah juga
merupakan perintah kepada umat Islam selama tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah
ini hanya untuk Rasulullah (Khithabur rasuli khithabun li ummatihi malam yarid dalil
yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut
hanya kepada Rasulullah SAW.
Oleh kerana itu, ayat-ayat tersebut bersifat umum, iaitu berlaku pula bagi umat Islam. Dan
menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah, tidak mempunyai makna lain kecuali
menegakkan hukum dan pemerintahan (as sultan), sebab dengan pemerintahan itulah hukum-
hukum yang diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna. Dengan demikian, ayat-ayat
ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara untuk menjalankan semua hukum Islam,
yaitu negara Khilafah.
Sementara itu, beberapa hadist juga memperkuat wajibnya Khilafah tegaki di tengah-tengah
umat. Abdullah bin Umar meriwayatkan, "Aku mendengar Rasulullah mengatakan,
„Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, nescaya dia akan menemui
Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak
ada bai‟ah (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah." [HR. Muslim].
Nabi SAW mewajibkan adanya bai‘at pada leher setiap muslim dan mensifati orang yang mati
dalam keadaan tidak berbai‘at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai‘at hanya
dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadis ini menunjukkan
kewajiban mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai‘at di leher
setiap muslim. Sebab bai‘at baru ada di leher kaum muslimin kalau ada Khalifah/Imam yang
memimpin Khilafah.
Rasulullah SAW bersabda: "Bahawasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat
berperang dan dengannya umat berlindung." [HR. Muslim]
Rasulullah SAW bersabda: "Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang
nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah
dan jumlahnya akan banyak." Para Sahabat bertanya,‟Apa yang engkau perintahkan kepada
kami? Nabi menjawab,‟Penuhilah bai‟at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah
hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi
kewajiban mereka." (HR. Muslim)
Rasulullah SAW bersabda: "Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya
(pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa
(pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati
jahiliyah." (HR. Muslim)
Hadis pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah SAW bahawa
seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan bahawa akan ada penguasa-penguasa yang
memerintah kaum muslimin. Pernyataan Rasulullah SAW bahawa seorang Imam itu laksana
perisai menunjukkan pemberitahuan tentang adanya faedah-faedah keberadaan seorang
Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal
dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud
adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at tarki), atau merupakan larangan (an nahy);
dan apabila mengandung pujian (al mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk
melakukan perbuatan (thalab al fi‘li). Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu
menyebabkan tegaknya hukum syara‘ atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya
hukum syara‘, maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu bererti bersifat pasti
(fardu). Jadi hadis pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya Khilafah, sebab tanpa
Khilafah banyak hukum syara‘ akan terabaikan.
Hadis ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak, membangkang)
dari penguasa (as sulthan). Bererti keberadaan Khilafah adalah wajib, sebab kalau tidak wajib
tidak mungkin Nabi SAW sampai begitu tegas menyatakan bahawa orang yang memisahkan diri
dari Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahawa mendirikan pemerintahan bagi
kaum muslimin statusnya adalah wajib.
Rasulullah SAW bersabda pula : "Barangsiapa membai‟at seorang Imam (Khalifah), lalu
memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia
mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut
kekuasaannya, penggallah leher orang itu." (HR. Muslim)
Dalam hadis ini Rasululah SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati para
Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini
bererti perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan
cara memerangi orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan
tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, iaitu Imam atau Khalifah. Sebab
kalau tidak wajib, nescaya tidak mungkin Nabi SAW memberikan perintah yang begitu tegas
untuk memelihara eksistensinya, iaitu perintah untuk memerangi orang yang akan merebut
kekuasaan Khalifah.
Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya Khalifah bagi
kaum muslimin.
Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma‘ Sahabat menunjukkan bahawa mengangkat seorang
Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah sepakat
mengangkat Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali
bin Abi Thalib, ridlwanullah ‗alaihim.
Ijma‘ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah, nampak jelas dalam
kejadian bahawa mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan
mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat
secepatnya adalah suatu kewajiban dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan
pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun,
para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata
sebahagian di antaranya justeru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat Khalifah
daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebahagian Sahabat lain mendiamkan
kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban
menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal
ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya
kesepakatan (ijma‘) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat Khalifah
daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum
mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.
Demikian pula bahawa seluruh Sahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai
kewajiban mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbezaan pendapat mengenai
siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah
berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika
wafatnya Rasulullah SAW mahupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat.
Oleh kerana itu Ijma‘ Sahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajiban
mengangkat Khalifah.
Pendapat Para Ulama
Seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan
wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam
kitabnya Al Fiqh ‗Ala Al Madzahib Al Arba‘ah, jilid V, hal. 362 :
"Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi‘i, dan Ahmad) rahimahumullah telah sepakat
bahawa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahawa umat Islam wajib mempunyai
seorang imam (khalifah) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang
yang tertindas dari yang menindasnya..."
Tidak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan
Ahlus Sunnah dan Syiah 'termasuk Khawarij dan Mu‘tazilah' tanpa kecuali bersepakat tentang
wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan
Khilafah, maka pendapatnya itu tidak perlu ditolak, kerana bertentangan dengan nas-nas
syara‘ yang telah jelas.
Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 menyatakan: "Menurut golongan Syiah,
minoriti Mu‘tazilah, dan Asy A‘riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara‘." Ibnu Hazm
dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa‘ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan: "Telah sepakat
seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi‘ah, dan seluruh Khawarij, mengenai
wajibnya Imamah (Khilafah)."
Bahwa Khilafah adalah sebuah ketentuan hukum Islam yang wajib bukan haram apalagi bid‘ah
- dapat kitab temukan dalam khazanah Tsaqafah Islamiyah yang sangat kaya.
Sejarah kegemilangan Khilafah
Allah menegaskan bahwa Islam akan mendatangkan rahmat bagi seluruh alam (QS al-Anbiya‘
[21]: 107). Allah pun menjamin keberkahan hidup masyarakat akan terealisasi jika masyarakat
beriman dan bertakwa (QS al-A‗raf [7]: 96), yaitu dengan menerapkan syariah Islam secara
total dan formal.
Pernahkah fakta normatif kesejahteraan dan keberkahan hidup itu terwujud secara real di
tengah-tengah kaum Muslim? Pertanyaan itu penting untuk dijawab, karena jika tidak pernah
terwujud dalam 1300 tahun lebih sejarah kaum Muslim, sementara Khilafah Islam diterapkan,
maka orang sulit percaya bahwa sistem Islam akan mampu mewujudkannya pada masa
datang. Berikut adalah beberapa catatan sejarah akan hal itu.
Abu Ubaid menuturkan, pada masa Umar ibn al-Khaththab (13-23 H/634-644 M), di provinsi
Yaman, tiap tahun Mu‘adz ibn Jabal mengirimkan separuh bahkan seluruh hasil zakat kepada
Khalifah. Sebab, ia tidak menjumpai seorang (miskin) pun yang berhak menerima bagian
zakat. Yahya ibn Sa‘id pernah ditugaskan memungut zakat di Afrika oleh Umar ibn Abdul Aziz
(99-101 H/717-120 M). Ia pun tidak bisa menjumpai satu orang miskin pun di Afrika. Gubernur
Basrah, Hamid ibn Abdurrahman, sesuai arahan Umar bin Abdul Aziz, membelanjakan kas
negara berlimpah untuk gaji pegawai dan anggaran rutin, membantu mereka yang dililit utang
dan membantu mereka yang ingin menikah. Uang yang masih banyak di kas negara pun
dijadikan sebagai pinjaman modal bagi warga non-Muslim agar bisa mengolah tanahnya, dan
pengembaliannya setelah dua tahun atau lebih.
Sebagai gambaran kemakmuran pada masa Abbasiyah, Philip K. Hitti menyatakan bahwa al-
Mansur membangun Baghdad mulai tahun 762 M—menurut as-Suyuthi tahun 141 H—selama 4
tahun dengan menggunakan tenaga lebih dari 100.000 orang baik insinyur, arsitek, pekerja
ahli hingga pekerja biasa dan menghabiskan total biaya 4.883.000 dirham. Menurut M. Kurdi
Ali, al-Mansur juga membangun sejumlah jembatan, kanal dan berbagai bendungan, tersebar
merata di wilayah Khilafah.
Meski pembangunan begitu gencar, saat al-Mansur meninggal (159 H/775 M ) keuangan negara
masih surplus sebesar 600 juta dirham dan 14 juta dinar. Saat Harun ar-Rasyid meninggal (194
H/809 M), di kas ada 900 juta. Saat al-Muktafi meninggal (296 H/908 M), kas negara surplus
100 juta dinar. Dari sisi pemasukan negara, Ibn Khaldun mencatat pada masa al-Makmun
sebesar 332 juta dirham; Ibn Qudamah mencatat, pada masa al-Mu‗tashim sebesar 388,3 juta
dirham setahun. Pada masa inilah dibangun kota Samara—singkatan dari sarra man ra‟a
(Memuaskan Mata Orang yang Memandangnya). Adapun Ibn Khurdazbeh mencatat, pemasukan
negara pada pertengahan abad ke-3 H sebesar 299,3 juta dirham.
Dari sisi pembangunan terdapat begitu banyak catatan proyek pembangunan yang dijalankan.
Hal itu tentu berdampak positif dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat. Khilafah
Umayah di antaranya fokus pada pembuatan saluran air dan jaringan irigasi, penggalian sungai
dan kanal, pembangunan bendungan dan penciptaan lahan produktif dari lahan mati yang
ada. Muawiyah telah memulai proyek penghijauan Hijaz. Khalifah al-Walid ibn Abdul Malik
banyak membangun masjid, membuka berbagai rumah sakit, asrama orang-orang cacat, dan
memberikan bantuan pembiayaan pada usaha pembangunan. Daerah rawa al-Bata‘ih di Irak
antara Basrah dan Kufah pun disulap menjadi lahan produktif dengan biaya 3 juta dirham
(jumlah yang cukup besar saat itu) dan dibagikan kepada rakyat. Khalifah Hisyam menggali
sumber-sumber air di sepanjang perjalanan Makkah. Ia juga mendirikan Rasafa, tempat
peristirahatan bagi pekerja dan musafir.
Jaringan irigasi itu tetap dipelihara dan diperluas oleh Khilafah Abbasiyah. Istri Harun ar-
Rasyid turut membiayai pembangunan saluran air di Makkah yang lalu dinamakan dengan
namanya, mata air Zubaidah. Bahkan Khilafah Abbasiyah membentuk Direktorat Irigasi (Diwân
al-Mâ‟i) dengan pegawai ribuan orang. Khilafah Abbasiyah juga fokus pada industrialisasi.
Ribuan pabrik dibangun pada masa itu dan tersebar di berbagai wilayah negara. Damaskus
terkenal dengan pabrik bajanya. Tripoli, Kairo, Maroko dan Spanyol terkenal dengan galangan
kapalnya. Moshul terkenal sebagai pusat industri tembaga. Menurut Svend Dahl, abad ke-8 M
pada masa Harun ar-Rasyid, pabrik kertas sudah berdiri di Baghdad dan beberapa kota
lainnya. Pada abad ke-10 M pabrik kertas itu sudah menyebar di Mesir.
Sultan Abdul Hamid II pada 1900 M berhasil membangun jaringan kereta api Hijaz dari
Damaskus ke Madinah dan dari Aqaba ke Ma‘an. Beliau juga membangun jaringan fax antara
Yaman, Hijaz, Syiria, Irak dan Turki; lalu dihubungkan dengan jaringan fax India dan Iran.
Semua itu diselesaikan hanya dalam dua tahun. Ini adalah potensi besar bagi kemajuan
perekonomian, karena infrasruktur transportasi dan komunikasi sangat vital bagi kemajuan
perekonomian.
Dalam dunia pendidikan, Khalifah Umar ibn al-Khaththab menggaji tiga orang guru yang
mengajar anak-anak di Madinah 15 dinar (63,75 gram emas murni). M. Sharif menerangkan,
pendidikan di Dunia Islam berkembang secepat kilat. Tidak ada satu kampung tanpa ada
masjid, sekolah dasar dan menengah yang pertumbuhannya seiring pertumbuhan masjid. Prof.
Ballasteros dan Prof. Ribera menerangkan bahwa sekolah-sekolah disediakan dekat sekali
dengan semua anak-anak. Untuk mahasiswa disediakan berbagai sekolah tinggi, akademi dan
universitas beserta para guru besarnya.
Bahkan telah diketahui secara umum, dunia pendidikan, sains, teknologi dan pemikiran, pada
masa Abbasiyah telah berkembang sangat maju. Sekolah dari tingkat dasar hingga universitas
dan berbagai fasilitas pendidikan, sains, teknologi dan pemikiran dibangun secara modern dan
disediakan sebagai fasilitas gratis untuk masyarakat. Di antara yang terkenal adalah
universitas yang didirikan oleh al-Makmun dan perpustakaan Bait al-Hikmahnya, yang
dilengkapi observatorium; Universitas Nizhamiyah yang didirikan oleh Nizham al-Muluk wazir
Sultan Alp Arsalan pada 1065 atau 1067 M; Madrasah Mustanshiriyah yang didirikan oleh
Khalifah al-Mustanshir (1226 – 1242 M) di Baghdad yang bebas biaya dengan fasilitas
perpustakaan dan laboratorium dan fasilitas lainnya.
Mahasiswanya dijamin kehidupannya dan masih diberi beasiswa satu dinar (4,25 g
emas)/orang/bulan. Tidak boleh dilupakan adalah universitas Nuriah di Damaskus yang dirikan
oleh Sultan Nuruddin Muhammad Zanki, dengan fasilitas lengkap. Perpustakaan pun menyebar
di berbagai kota. Yang terkenal adalah perpustakaan Bait al-Hikmah di Baghdad,
perpustakaan Darul Hikmah di Kaero dengan koleksi 1,6 juta buku, perpustakaan di Tripoli (2
juta lebih), perpustakaan al-Hakim (720 ribu judul lebih), 20 perpustakaan di Andalusia,
perpustakaan Cordova (400 ribu judul lebih), perpustakaan Madrasah Fadliliyah (100 ribu) dan
6500 di antaranya tentang engginering dan astronomi di samping dua buah globe untuk
Bathlimus dan Abul Hasan as-Sufi, sepuluh perpustakaan di Khurasan (masing-masing 12 ribu),
perpustakaan Khizanatul Hakam ats-Tsani (400 ribu) dan masih banyak lagi.3 Wajar jika
kemudian lahir ribuan ilmuwan, pioner dan penemu di berbagai bidang keilmuan dan
terwujud kemajuan sains, teknologi dan pemikiran. Yang mengesankan, semua itu
mempengaruhi renaissance Eropa. Hal itu seperti yang diakui oleh Philip K. Hitti, Prof.
Ballasteros, Prof. Ribera, Svend Dahl, Sigrid Hunke, Lothrop Stoddard, Lucas H. Grollenberg
dan cendekiawan Barat lainnya.4
Tentang realisasi keadilan tanpa ada diskriminasi, Prof Brelvi menyatakan, ―Pemerintah
Abbasiyah sangat terbuka, seperti pemerintahan negara-negara modern di dunia saat ini, yang
belum mampu melebihinya. Semua kantor pemerintahannya terbuka untuk rakyat Muslim dan
non-Muslim secara sama.‖
Al-Baladzuri melaporkan, keadilan Islam oleh kaum Muslim telah membuat rakyat Hims dan
wilayah Syam umumnya lebih memilih hidup di bawah Khilafah. Keadilan itu pula yang
membuat kaum Kristen Koptik malah membantu pasukan Amru bin al-‗Ash dalam pembebasan
(futûhât) Mesir atas pemerintahan Bizantium yang Kristen. Karena keadilan itu pula Qadhi an-
Najiy memvonis pasukan kaum Muslim yang sudah menaklukkan Samarqand tidak sesuai
prosedur—yaitu tanpa menyerukan Islam dan jizyah terlebih dulu, yang lalu diprotes oleh
penduduknya—harus keluar dan memulainya lagi sesuai prosedur. Hal itu membuat penduduk
Samarqand justru memilih hidup di bawah Khilafah.
Keadilan Khilafah pulalah yang membuat kaum Yahudi Spanyol memilih tinggal di wilayah
Khilafah setelah inkuisisi oleh Ratu Isabella. Hal yang sama juga membuat orang-orang Rusia
memilih tinggal di wilayah Khilafah pasca Revolusi Bolchevik.
Masih banyak sekali catatan sejarah tentang kesejahteraan, kemakmuran, kemajuan,
keberkahan dan kerahmatan yang sudah pernah diwujudkan oleh generasi kaum Muslim
terdahulu.
Lalu bagaimana dengan kondisi dunia sekarang? Faktanya, sistem Kapitalisme hanya berhasil
dalam mewujudkan kemajuan materi, sains dan teknologi. Sebaliknya, Kapitalisme pun
berhasil meruntuhkan dan menghancurkan nilai-nilai moral, spiritual, kemanusiaan, keadilan,
dan nilai-nilai luhur lainnya. Kapitalisme justru berhasil menciptakan malapetaka dan
kesengsaraan, dekadensi moral, kekosongan spiritual, penindasan, penjajahan dan
perbudakan. Karenanya, tuntutan kemanusiaan meniscayakan diterapkannya ideologi dan
sistem yang bisa menjadi solusi, yang tidak lain adalah syariah dan Khilafah Islamiyah. Semua
catatan kegemilangan di atas—tentu bukan demi romantisme—bisa membuat kita, kaum
Muslim, percaya diri bahwa ke depan, dengan menerapkan sistem Islam dalam wadah
Khilafah, kita akan mampu mewujudkan hal yang sama, bahkan lebih. Apalagi Rasul saw.
telah memberikan bisyârah:
«‫ًا‬‫د‬َ‫د‬َ‫ع‬ ُ‫ه‬ُّ‫د‬ُ‫ع‬َ‫ي‬ َ‫ال‬ ‫ًا‬‫ي‬ْ‫ث‬َ‫ح‬ َ‫ل‬‫ا‬َ‫م‬ْ‫ال‬ ْ‫و‬ُ‫ث‬ْ‫ح‬َ‫ي‬ ٌ‫َة‬‫ف‬ْ‫ي‬ِ‫ل‬َ‫خ‬ ْ‫ي‬ِ‫ت‬َّ‫م‬ُ‫أ‬ ِ‫ر‬ ِ‫آخ‬ ْ‫ي‬ِ‫ف‬ ُ‫ن‬ ْ‫و‬ُ‫ك‬َ‫ي‬»
Akan ada pada akhir umatku seorang khalifah yang memberikan harta secara berlimpah
dan tidak terhitung banyaknya. (HR Muslim)
Abu Said menuturkan, bahwa Rasul saw. juga pernah bersabda:
ْ‫و‬ُ‫ق‬َ‫ي‬َ‫ف‬ ُ‫ه‬ُ‫ل‬َ‫أ‬ْ‫س‬َ‫ي‬َ‫ف‬ ُ‫ل‬ُ‫ج‬َّ‫الر‬ ِ‫ه‬ْ‫ي‬ِ‫ت‬ْ‫أ‬َ‫ي‬ ‫ًّا‬‫د‬َ‫ع‬ ُ‫ه‬ُّ‫د‬ُ‫ع‬َ‫ي‬ َ‫ال‬ َ‫و‬ ‫ا‬ ً‫و‬ْ‫ث‬َ‫ح‬ َ‫ل‬‫ا‬َ‫م‬ْ‫ال‬ ْ‫و‬ُ‫ث‬ْ‫ح‬َ‫ي‬ ‫ا‬ ً‫ْر‬‫ي‬ِ‫م‬َ‫ا‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬ِ‫ئ‬‫ا‬ َ‫ر‬َ‫م‬ُ‫ا‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ َّ‫ن‬ِ‫ا‬ْ‫و‬ُ‫ث‬ْ‫ح‬َ‫ي‬ََ ُ‫ه‬َْ ْ‫و‬َ‫ث‬ ُُُ‫س‬َْْ‫ي‬َ‫ف‬ ُْْ‫خ‬ ُ‫ل‬
ِ‫ه‬ْ‫ي‬ِ‫ف‬…ُ‫ق‬ِ‫ل‬َُْ‫ن‬َ‫ي‬ َّ‫م‬ُ‫ث‬ ُ‫ه‬ُُْ‫خ‬ْ‫أ‬َ‫ي‬َ‫ف‬
Sungguh, di antara para pemimpin kalian ada seorang pemimpin yang memberikan harta
secara berlimpah yang tidak terhitung, seseorang mendatanginya dan meminta harta
kepadanya. Lalu pemimpin itu berkata, “Ambillah!” Kemudian orang itu menghamparkan
pakaiannya dan pemimpin itu mencurahkan (harta/uang) di atasnya…Orang itu
mengambilnya, lalu pergi. (HR Ibnu Katsir dalam al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Bisyarah Rasul akan Kembalinya Khilafah
Hadis Imam Ahmad juga diriwayatkan oleh Baihaqi dari Nu'man Bin Basyir:
―Rasulullah Sallallahu ‗alaihi wa Sallam bersabda:
Masa kenabian itu ada di tengah-tengah kalian, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah
mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya.
Selanjutnya adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhaj an-
nubuwwah), adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia
menghendaki untuk mengangkatnya.
Selanjutnya masa kerajaan yang menggigit (Mulkan ‘Adhan), adanya atas kehendak Allah,
kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya.
Setelah itu, masa kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyyan), adanya atas kehendak
Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya.
Selanjutnya adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhaj an-
nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam.‖
[HR Ahmad dan Baihaqi dari Nuâman bin Basyir dari Hudzaifah]
BAB V
Kewajiban Dakwah secara Jamaah
―Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalannya dalam barisan yang
teratur seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh.‖
( QS Ash Shaff: 4)
Jika kita melihat kondisi kaum muslimin dan Islam saat ini, akan kita dapati bahwa Islam tidak
lagi menjadi sebuah tubuh yang utuh apalagi sempurna. Jangankan untuk menjadi rahmatan
lil alamin, untuk menjadi rahmatan lil muslimin pun sangat sulit dilihat faktanya. Banyak di
antara kaum muslimin di berbagai belahan dunia saat ini dalam keadaan menderita, baik
karena bencana alam, peperangan maupun ketertindasan. Bahkan banyak di antaranya berada
pada deretan negara miskin.
Untuk mewujudkan Islam sebagai sebuah rahmatan lil alamin, tidak bisa tidak Islam harus
dilaksanakan secara kaffah. Ini merupakan suatu kewajiban. Allah SWT berfirman: “ Dan
masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah”. Kekaffahan Islam hanya akan terjadi apabila
semua obyek dikenai hukum, yaitu individu yang bertaqwa, masyarakat yang islami sebagai
kontrol sosial pelaksanaan syariat Islam serta negara yang melaksanakan dan melindungi
penerapan syariat Islam ada.
Pada saat ini, penerapan hukum Islam terhadap ketiga obyek di atas tidak terlaksana
dengan sempurna, terlebih lagi dalam hal ini negara yang menerapkan Islam. Untuk itulah
dakwah menjadi sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap Muslim.
Untuk mendakwahi seorang individu, hanya dengan seorang pengemban dakwah saja sudah
cukup. Namun untuk mendakwahi sebuah masyarakat apalagi untuk mewujudkan sebuah
negara yang menerapkan syariat Islam, sangat tidak mungkin apabila hanya dilaksanakan
seorang diri. Tidak bisa tidak haruslah dilakukan dengan cara berjamaah. Sebuah kaidah
syara‘ menyebutkan ”apabila suatu kewajiban tidak terlaksana tanpa adanya sesuatu, maka
sesuatu itu wajib adanya”. Demikian juga perwujudan syariat Islam tidak akan bisa kaffah
tanpa adanya jamaah dakwah, maka keberadaan jamaah dakwah adalah wajib.
Kewajiban Dakwah Berjamaah
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan dan
mencegah kepada kemunkaran. Dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imron:
104)
Ayat tersebut mengisyaratkan tentang sebuah kewajiban adanya kelompok atau jamaah
yang berdakwah untuk menyeru kepada yang ma‘ruf dan mencegah kepada yang munkar.
Lafadz ummah pada ayat di atas, tidak membatasi jumlah jamaah atau kelompok atau
gerakan Islam, walaupun ayat tersebut menyebutkan agar kaum muslimin membentuk suatu
jamaah yang melaksanakan tugas dakwah.
Seandainya telah terbentuk sebuah jamaah, maka kewajiban tersebut tidak lagi
dibebankan kepada yang lain. Dengan demikian apabila telah terbentuk sebuah jamaah, maka
tujuan dari ayat tersebut sudah terlaksana sehingga tidak ada kewajiban untuk membentuk
yang lain. Jika ternyata muncul jamaah yang kedua, maka pembentukan itu pada dasarnya
hukumnya adalah mubah. Dengan demikian, adanya suatu jamaah yang ber-amar ma‟ruf nahi
munkar adalah sebuah fardlu kifayah.
Namun selama ini fardlu kifayah hanya dipahami sebagai sebuah kewajiban yang apabila
telah dilaksanakan oleh seseorang atau suatu kelompok, maka fardlu itu telah gugur. Padahal
fardlu kifayah hanya akan gugur sebagai sebuah fardlu yakni apabila sesuatu yang dibebankan
tersebut sudah dilaksanakan dengan tuntas atau sempurna. Jika kewajiban yang dibebankan
tersebut belum tuntas dilaksanakan, maka seluruh umat Islam tetap terbebani fardlu tersebut
hingga fardlu itu sempurna dilaksanakan.
Demikian juga beban untuk mewujudkan terlaksananya syariat Islam mulai dari individu
hingga negara. Beban ini tidak akan hilang hingga terwujudnya sebuah institusi negara yang
menerapkan Islam serta memelihara dan melindungi pelaksanaan syariat Islam, baik oleh
individu maupun negara.
Kelompok Da’wah dalam Islam
Kelompok da‘wah dalam Islam sering disebut sebagai gerakan Islam. Gerakan dalam
bahasa arab adalah harokah. Harokah berasal dari akar kata taharruk yang artinya bergerak.
Istilah tersebut kemudian diartikan sebagai sebuah kelompok yang terdiri dari orang-orang
tertentu serta mempunyai target tertentu, dengan menempuh suatu metode yang telah
ditetapkan oleh gerakan tersebut, terlepas apapun bentuk dari gerakannya. Dengan demikian
sebuah kelompok dapat disebut sebagai sebuah gerakan apabila:
1. Mempunyai landasan tertentu.
2. Mempunyai tujuan atau target yang telah ditetapkan.
3. Mempunyai metode untuk meraih target.
Syarat gerakan di atas adalah umum bagi setiap gerakan. Sebagai contoh gerakan sosial
seperti panti asuhan akan mempunyai landasan tersendiri, dengan target membantu anak
yatim, piatu dan anak-anak dari keluarga tidak mampu dengan metode tertentu yang telah
dirumuskan, misalnya dengan mencari sumbangan dan sebagainya. Demikian juga ketika suatu
kelompok menamakan organisasinya sebagai gerakan/harokah Islam. Maka yang menjadi
syarat bagi kelompok tersebut adalah:
1. Terdiri dari orang-orang Islam.
2. Menggunakan Islam sebagai landasan dalam merumuskan target dan metode.
3. Mempunyai target terlaksananya syariat Islam.
4. Mempunyai metode yang sesuai dengan Islam, yaitu harus sesuai dengan metode Rasulullah
dalam berdakwah untuk menegakkan Islam di muka bumi.
Target Kelompok Dakwah
Saat ini cukup banyak terdapat harokah-harokah Islam di muka bumi. Dari berbagai
harokah yang ada saat ini, ada yang bersifat lokal dalam suatu negara, misalnya
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan Persis, ada juga yang bersifat Internasional, seperti
Jamaah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan Jamaah Salafiyah. Masing-masing
gerakan ini mempunyai tujuan spesifik. Tujuan dari setiap harokah ini tentunya sangat
mempengaruhi metode dari harokah tersebut untuk mencapai target.
Apabila diamati banyaknya harokah da‘wah saat ini, setidaknya ada tiga kategori harokah
da‘wah dilihat dari target yang hendak dicapainya. Ketiga target tersebut adalah:
1. Gerakan yang Memperhatikan Kepentingan Individu.
Target semacam ini banyak dianut oleh perkumpulan Tarekat dan Sufi. Menurut
kelompok ini, kemenangan dan keselamatan di akhirat adalah target utamanya. Dari
sinilah mereka mulai melakukan aktivitas-aktivitas rohani untuk mencapai target tersebut,
salah satunya adalah dengan ber-uzlah atau mengasingkan diri dari masyarakat. Jamaah
ini menganggap bahwa salah satu cara untuk menyelamatkan diri dari kesesatan ketika
keadaan masyarakat sudah mengalami kerusakan adalah dengan cara mengasingkan diri.
Mereka memahami hal ini dari firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tidaklah orang sesat itu akan memberi
madlarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.…” (QS Al Maidah: 105)
Maksud yang sebenarnya dari ayat ini adalah menunjukkan bahwa apabila Allah telah
memberi petunjuk kepada seseorang, maka tidak ada seorang pun yang bisa menyesatkan.
Ayat ini sama sekali tidak memerintahkan orang untuk mengasingkan diri, dan melarang
manusia untuk ber-amar ma‟ruf nahi munkar.
2. Target Memperbaiki Aqidah dan Akhlak Individu.
Gerakan yang mempunyai target demikian sebenarnya mempunyai keinginan untuk
memperbaiki masyarakat. Gerakan ini berpendapat bahwa masyarakat adalah sekumpulan
individu yang di dalamnya terjadi interaksi. Dengan demikian baik buruk suatu masyarakat
akan ditentukan oleh baik buruk individu yang ada di masyarakat tersebut.
Atas dasar pandangan ini gerakan tersebut menjadikan individu sebagai dasar utama
untuk perubahan masyarakat. Dari pemahaman tersebut, gerakan ini mulai mencoba
memperbaiki individu dengan perbaikan aqidah dan akhlaknya sehingga dapat menjaga
interaksi di antara individu di dalamnya agar tetap berjalan lancar tanpa ada masalah.
Pandangan mereka terhadap definisi masyarakat ini sebenarnya adalah suatu
kekeliruan. Dari pandangan tersebut, justru yang akan terbentuk cenderung sebuah
jamaah yang terdiri dari orang-orang yang beraqidah dan berakhlak baik, bukan sebuah
masyarakat. Padahal seharusnya sebuah masyarakat tidak hanya terdiri dari banyak
individu yang saling berinteraksi, namun juga terdapat sebuah peraturan yang sama yang
mengatur interaksi tersebut, serta individu-individu yang ada di dalamnya mempunyai
pandangan yang sama terhadap suatu ke-mashlahat-an maupun ke-mudlarat-an, baik
individu itu muslim maupun non-muslim.
3. Target Memperbaiki Masyarakat.
Kelompok Organisasi ketiga ini mempunyai pandangan bahwa masyarakat adalah suatu
kumpulan individu yang di dalamnya terdapat suatu interaksi. Di dalam interaksi itu
terdapat suatu aturan yang sama yang mengaturnya. Selain itu interaksi tersebut juga
disatukan oleh perasaan dan pemikiran yang sama terhadap suatu kemashlahatan dan
kemudlaratan sehingga pandangan mereka terhadap kemashlahatan dan kemudlaratan
sama.
Menurut kelompok ketiga ini, rusaknya masyarakat terlihat dari interaksi yang ada di
dalam masyarakat tersebut. Hal ini berarti juga rusaknya perasaan, pemikiran serta
peraturan yang mengatur interaksi tersebut serta rusaknya pandangan masyarakat tentang
hal yang dianggap mashlahat atau madlarat. Untuk itu dalam memperbaiki masyarakat
haruslah diperbaiki perasaan, pemikiran serta peraturan yang mengatur interaksi tersebut.
Dari ketiga macam target tersebut, manakah yang seharusnya menjadi target dari sebuah
harokah? Dalam surat Ali Imron ayat 104, Allah telah menyebutkan bahwa aktifitas suatu
jamaah seharusnya adalah amar ma‟ruf nahi munkar. Kemunkaran yang terbesar saat ini
adalah tidak dilaksanakaannya hukum Islam secara kaffah. Dan kekaffahan hukum Islam itu
hanyalah dapat terwujud dengan adanya institusi negara yang menjalankan dan melindungi
penerapan syariat Islam. Dengan demikian keberadaan jamaah yang berusaha mewujudkan
pemerintahan Islam itu wajib sebagaimana wajibnya pemerintahan Islam.
Metode untuk Meraih Target
Jamaah dakwah pertama dan kedua, sebenarnya jamaah ini lebih konsen terhadap urusan
individu. Kedua jenis jamaah ini berpandangan bahwa masyarakat yang islami hanya akan
terbentuk apabila seluruh individu di dalam masyarakat itu beragama islam, mempunyai
aqidah yang benar serta akhlak yang baik. Dengan demikian metode yang diterapkannya pun
adalah membina masyarakat dengan suatu pembinaan yang arahnya individual, di mana
individu yang lebih awal dibina nantinya diharuskan menyebarkannya ke individu lain sehingga
seluruh individu yang ada akan beraqidah dan berakhlak baik. Dengan demikian masyarakat
islami akan terbentuk ketika seluruh anggota masyarakat itu telah beraqidah islam dan
berakhlak mulia.
Seandainya jumlah masyarakat yang akan diperbaiki hanya ratusan orang, hal itu tidak
terlalu menjadi masalah. Namun bagaimana ketika masyarakat yang hendak diperbaiki itu
adalah seluruh penduduk suatu negara yang jumlahnya ratusan juta dan di dalamnya terdapat
aqidah dan kondisi yang berbeda-beda. Selain itu, seandainya seluruh anggota masyarakat
telah beraqidah dan berakhlak baik, siapakah yang akan menerapkan hukum-hukum Islam,
terutama hukum-hukum yang menyangkut pemerintahan, sistem ekonomi serta uqubat yang
seharusnya hal itu dilakukan oleh negara, baik ke dalam maupun ke luar negeri. Padahal hal
ini sama sekali bukan termasuk urusan individu maupun jamaah. Tidak pula dapat diselesaikan
hanya dengan akhlak yang baik, karena hukum yang dilaksanakan oleh negara ini sudah
ditetapkan bentuk-bentuknya. Ditambah lagi apabila ternyata pengikut dari jamaah ini dalam
pembinaannya sama sekali belum pernah mendapatkan bagaimana gambaran sistem Islam
yang seharusnya. Baik itu menyangkut sistem pemerintahan, politik luar negeri, ekonomi,
sosial dan sebagainya; melihat yang menjadi pembinaan utama adalah aqidah dan akhlak.
Dengan demikian tentu kedua macam jamaah dakwah ini cukup kesulitan ketika harus
menegakkan masyarakat Islam secara kaffah.
Adapun kelompok dakwah yang ketiga adalah kerlompok dakwah yang konsen terhadap
perbaikan masyarakat. Dari pemahamannya terhadap definisi masyarakat yang merupakan
sekumpulan individu yang saling berinteraksi dan mempunyai perasaan, pemikiran dan
peraturan yang sama, kelompok ini memandang kerusakan di masyarakat terjadi akibat
adanya kerusakan perasaan, pemikiran dan peraturan yang ada di masyarakat. Sehingga
ketika ingin memperbaiki masyarakat yang dilakukan adalah memperbaiki pemikiran dan
perasaan masyarakat dengan pemikiran dan perasaan Islam serta sistem yang mengatur
interaksi dalam masyarakat itu.
Pada intinya tujuan dari kelompok ketiga ini adalah berusaha mewujudkan kehidupan
Islam kembali dengan penerapan sistem Islam yang akan melindungi dan memelihara
pelaksanaan hukum Islam yang berada di tengah-tengah masyarakat, sehingga masyarakat
dapat berubah secara totalitas.
Untuk mengubah secara totalitas tersebut, haruslah melalui metode yang telah
dicontohkan oleh Rasulullah, bagaimana beliau dengan para sahabat menegakkan masyarakat
Islam. Dengan demikian metode atau strategi dakwah yang harus dilakukan meliputi:
(1) Tahap Pembinaan dan Pengkaderan (Marhalah Tatsqif)
Tahap ini dimulai sejak beliau SAW diutus menjadi Rasul, setelah firman Allah SWT:
“Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan!” (QS Al Muddatstsir:
1-2)
Tahapan pertama atau tahapan pengkaderan ini dilakukan secara lebih tersembunyi
(siriyyah). Tahapan ini merupakan sebuah masa untuk mendidik kader, di mana kader
yang terbentuk inilah yang akan menyebarkan pemahaman Islam ke masyarakat. Pada
pengkaderan ini ditanamkan pada diri kader tentang target dakwah yang akan diraih,
yaitu menegakkan Islam kembali di muka bumi dengan cara tegaknya sebuah
pemerintahan yang akan menerapkan Islam dalam setiap sendi kehidupan.
(2) Tahap Interaksi dengan Masyarakat dan Perjuangan
(Marhalah Tafaa‟ul wal kiffah)
Tahap ini ditempuh setelah melalui tahapan pembinaan. Hal ini dilakukan setelah
Rasulullah mendapat perintah dari Allah:
“Maka sampaikanlah secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu
dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.”(QS Al Hijr: 94)
Pelaku dakwah adalah orang-orang yang telah mengalami pengkaderan sebelumnya.
Dibandingkan dengan tahap pertama, tahapan ini akan lebih berat dari segi tantangan
yang akan dihadapi. Tahapan ini dibagi ke dalam dua strategi, yaitu:
(a). Shiraa’ul fikri (pertarungan pemikiran)
Target dari aktivitas shiraa‟ul fikri adalah menjelaskan kepada masyarakat bahwa
sistem yang ada saat ini tidak sesuai dengan Islam. Hal ini dilakukan dengan memerangi
pemikiran-pemikiran kufur dengan mengungkapkan kelemahan, kerusakan dan
kepalsuannya serta memberikan pemikiran Islam yang jernih sebagai penggantinya.
Pada tahap ini, pengkaderan terhadap individu-individu yang akan melakukan dakwah
harus terus dilakukan.
(b). Kiffah as siyasi (perjuangan politik)
Aktivitas kiffah as siyasi (perjuangan politik) adalah mengkritik kebijakan pemimpin
yang tidak sesuai dengan Islam, tidak membela kemashlahatan kaum muslimin serta
membongkar berbagai makar yang akan menghalang-halangi tegaknya Islam kembali,
baik makar antar pemimpin maupun dengan negara lain. Dengan begitu, rakyat
mengetahui dengan jelas hakikat para penguasa mereka.
3. Tahap Penerapan Syari’at Islam (Tathbiq Al Ahkaam Al Islam).
Tahap ini ditandai dengan didirikannya Daulah Islamiyah sebagai pelaksana hukum
Islam dan sebagai pengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia melalui dakwah dan
jihad.
Dengan telah dipahaminya tentang kewajiban mengorganisasikan dakwah dengan baik serta
tujuan yang jelas juga metode yang jelas, insya Allah kehidupan Islam yang diinginkan semua
umat dapat terwujud. Islam pun akan mampu kembali menjadi rahmatan lil alamin.
BAB VI
Pengantar Tata Pergaulan dalam Islam
Sistem sosial kemasyarakatan (Nidzam Al Ijtima‟i) adalah sistem yang mengatur hubungan
pria dan wanita dan sebaliknya serta mengatur hubungan yang timbul di antara mereka
karena pertemuan tersebut.
Saat ini, sering kita saksikan bahwa wanita tidak lagi memiliki sifat seperti seharusnya
wanita. Di televisi maupun media-media cetak, wanita dipampang dengan menampakkan
auratnya seolah mereka adalah pelaris barang dagangan. Wanita sudah seperti komoditi yang
diperdagangkan. Bahkan sering kali barang yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan
wanita berusaha dihubung-hubungkan. Wanita yang mengumbar aurat di mana-mana, sudah
merupakan hal yang biasa. Bahkan model wanita karier, di mana wanita bekerja di luar rumah
hingga meninggalkan tugas utamanya sebagai ibu rumah tangga adalah hal yang dianggap
modern. Dan dianggap kuno jika seorang wanita tidak bekerja dan memakan gaji suaminya
saja.
Selain hal tersebut, di sisi lain pergaulan bebas antara pria dan wanita sudah mulai
merebak. Hubungan intim maupun hidup serumah tanpa ikatan perkawinan, terutama
penduduk kota besar dan selebritis adalah hal yang biasa dan bahkan menjadi suatu
kebutuhan. Akhirnya, manusia yang pada fitrahnya adalah tinggi, sudah tidak ada bedanya
lagi dengan binatang.
Islam telah mengatur bagaimana sosial kemasyarakatan harus berjalan. Dalam Islam, tugas
utama wanita adalah mengurus rumah tangga serta menjaga kehormatan diri, keluarga
maupun suami. Hal ini dipandang sangat remeh dan kuno oleh kapitalis dan bahkan malah
dipandang merendahkan wanita. Padahal sebenarnya tugas pengurusan rumah tangga ini
adalah tugas yang sangat mulia dan berat. Karena di sini kader-kader unggul akan dicetak.
Dan proses pencetakan kader yang unggul ini bukanlah merupakan sesuatu yang mudah dan
remeh. Karena jika terjadi kesalahan mendidik (walaupun kecil-peny)berarti telah menyia-
nyiakan kader. Dalam kapitalis hal ini justeru dipandang rendah. Sehingga banyak perempuan
yang meninggalkan tugas utamanya, hanya sekedar untuk menjadi wanita karier sehingga
urusan rumah tangganya diserahkan kepada pembantu rumah tangga. Walhasil, yang terjadi
adalah keberantakan di dalam rumah tangga.
Dalam hak dan kewajiban sebagai warga negara, pria dan wanita mempunyai kedudukan
yang sama. Wanita berhak memiliki barang- barang individu sebagaimana pria. Apabila wanita
bersalah wanita juga akan terkena hukuman sebagaimana pria. Bahkan dalam struktur
kenegaraan, wanita diperbolehkan menduduki posisi tertentu, misalnya menjadi anggota
majelis umat. Namun ada beberapa posisi yang memang tidak diperbolehkan untuk wanita
yaitu Al hakim (Khalifah maupun wakil dan pembantunya, wali/gubernur, ketua qadli dan
amil), atau tugas-tugas lain yang berkenaan dengan pemerintahan seperti qadli madzalim.
Dalam masalah hukum asal, wanita dan pria adalah terpisah. Dengan demikian apabila
tidak ada suatu keperluan yang dibenarkan oleh syara‘, maka hukumnya akan kembali ke
asalnya yaitu terpisah.
Dalam hal lingkungan kehidupan, Islam mengaturnya dengan pemisahan antara kehidupan
umum dan kehidupan khusus. Kehidupan umum adalah suatu tempat di mana tidak perlu
adanya izin ketika seseorang, siapapun orangnya ingin memasuki tempat tersebut. Sedangkan
kehidupan khusus adalah suatu tempat di mana ketika seseorang memasuki tempat tersebut
harus mendapatkan izin dari yang mempunyai tempat tersebut. Dasar dari peraturan ini
adalah firman Allah SWT:
“Wahai orang-orang yang beriman, kamu jangan memasuki rumah orang lain, sehingga
kamu mendapatkan izin dan kamu mengucapkan salam kepada penghuninya.” (QS An Nur:
27)
Tempat Umum
Sebagaimana definisi dari tempat umum, maka di tempat ini setiap orang diperbolehkan
memasukinya tanpa perlu memperoleh izin seseorang. Tempat umum yang dimaksud sebagai
contohnya adalah sekolah/kampus, pasar, jalan dan supermarket. Hanya saja pertemuan baik
yang tanpa adanya interaksi (ijtima‟) maupun dengan interaksi (ikhtilath) tetap diatur oleh
Islam. Kondisi ijtima‟ hanya diperbolehkan jika hal tersebut tidak dilakukan dengan
berkhalwat (berdua-duaan) misalnya ditempat yang sepi antara pria dan wanita yang bukan
mahrom. Ikhtilath pun pada dasarnya boleh dilakukan dengan syarat bahwa apa yang
dibicarakan bukanlah sebuah hal yang diharamkan serta tidak dilakukan dengan berkhalwat.
Pada tempat umum ini baik pria maupun wanita harus dalam kondisi tertutup auratnya.
Tempat Khusus
Tempat khusus adalah suatu tempat di mana ketika seseorang ingin memasukinya, maka
orang itu harus meminta izin terlebih dahulu kepada penghuninya. Contoh dari tempat khusus
adalah rumah dan mobil pribadi. Pada tempat khusus ini pertemuan antara pria dan wanita
hanya diperbolehkan apabila pihak wanita ditemani oleh beberapa orang yang diperbolehkan.
Ketika terjadi ikhtilath pun apa yang dibicarakan terbatas pada apa yang diperbolehkan oleh
syara‘. Adapun yang terkategori orang yang boleh menemani wanita dalam tempat khusus
tersebut telah diterangkan dalam Al Qur‘an, yaitu:
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah dari suami
mereka, putera-putera mereka, putera-putera suami mereka, saudara-saudara laki-laki
mereka, putera-putera saudara laki-laki mereka, putera-putera saudara perempuan mereka,
wanita-wanita Islam, budak-budak yang mereka miliki, pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat
wanita.” (QS An Nur: 31)
Ijtima’ (berkumpul
tanpa berinteraksi)
Haram (harus
terpisah)
kekhusuaan
Tempat khusus
Rumah tempat
tinggal, kamar,
mobil pribadi
Tempat Umum:
Masjid, pasar,
sekolah
Tanpa
mahram
Dengan
mahram
boleh
Berkhalwat :
HARAM
haram
boleh
Ikhtilat
(bercampur
dengan
interaksi)
Hukum asal :
haram
kekhususan
Di tempat
khusus
Tanpa mahram:
haram
Dengan mahram
Interaksi yg boleh: boleh
Interaksi yang tidak boleh:
haram
Di tempat
umum
Interaksi yag dilarang:
haram
Interaksi yg
boleh
Hukum asal: boleh
Berkhalwat: haram
Bagan Peraturan Hubungan Pria dan
Wanita

More Related Content

DOCX
Dosa-dosa besar dan taubat
PPTX
Hadits - كبائر الذنوب (Dosa-Dosa Besar)
PDF
kepribadian Rasulullah saw
DOC
Ya rabb
DOCX
Tarikh keputusan
PDF
168815644 prilaku-jujur
DOCX
MAKALAH QURBAN
Dosa-dosa besar dan taubat
Hadits - كبائر الذنوب (Dosa-Dosa Besar)
kepribadian Rasulullah saw
Ya rabb
Tarikh keputusan
168815644 prilaku-jujur
MAKALAH QURBAN

What's hot (18)

PPT
PDF
E magazine keluarga mawaddah
PPT
Hukum hukum qurban
PDF
Agar Wanita Tidak Diperdaya
PPT
Aqiqah kurban
PDF
Seri kandi islam 7 jan 2022
PPTX
Rukun ke 5 tadhiyah
PPTX
Qs. Al-Anfal/8:72 Tentang Mujahadah An-Nafs
DOCX
Khadijah binti khuwailid bin asad bin
PDF
Amanah
DOCX
Menjaga martabat manusia dengan menjauhi pergaulan bebas dan zina
PDF
Bab 5 pergaulan bebas dan zina
DOCX
Mencotohi sifat peribadi isteri2 rasulullah s.a.w
PPTX
BAB 11 menjaga kehormatan manusia dengan menjauhi zina
DOC
Teks bercerita ashabul kahfi
DOC
Kompilasi khutbah-jumat-1
E magazine keluarga mawaddah
Hukum hukum qurban
Agar Wanita Tidak Diperdaya
Aqiqah kurban
Seri kandi islam 7 jan 2022
Rukun ke 5 tadhiyah
Qs. Al-Anfal/8:72 Tentang Mujahadah An-Nafs
Khadijah binti khuwailid bin asad bin
Amanah
Menjaga martabat manusia dengan menjauhi pergaulan bebas dan zina
Bab 5 pergaulan bebas dan zina
Mencotohi sifat peribadi isteri2 rasulullah s.a.w
BAB 11 menjaga kehormatan manusia dengan menjauhi zina
Teks bercerita ashabul kahfi
Kompilasi khutbah-jumat-1
Ad

Similar to Buku ic i badan koordinasi lembaga dakwah kampus ( bkldk ) (20)

PDF
Islamic Coaching 1.pdf
PPT
Tazkiyatun nafs
PPTX
PPT Hakikat Iman, Islam dan Ihsan PPT Kurikulum Merdeka.pptx
RTF
PPTX
Dakwah nabi muhammad saw periode mekkah
PPTX
PPT Hakikat Iman, Islam dan Ihsan PPT Kurikulum Merdeka.pptx
PPTX
31. Membangun kepribadian Islam di tengah gempuran pengaruh buruk.pptx
PDF
Membangun budaya ungguم dan memimpin
PPT
Jahriyatu Dakwah
PDF
Akhlaq muslim sejati
RTF
Tahsinul akhlaq 01
PPT
1. Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia yaitu mel...
PDF
Bayan hidayah nisab 3 hari
PPTX
cinta damai anti terorisme lawan terorisme
PDF
Membangun budaya ungguم dan memimpin
DOCX
Dakwah nabi periode makkah
PPTX
Hidayah_dan_Kesesatan_Bagian_1.pptx
PPTX
3. Sejak Kenabian Hingga Hijrah Nabi saw
PDF
Mendudukkan akhlaq rasulullah saw
PPTX
Kesesatan dan hidayah
Islamic Coaching 1.pdf
Tazkiyatun nafs
PPT Hakikat Iman, Islam dan Ihsan PPT Kurikulum Merdeka.pptx
Dakwah nabi muhammad saw periode mekkah
PPT Hakikat Iman, Islam dan Ihsan PPT Kurikulum Merdeka.pptx
31. Membangun kepribadian Islam di tengah gempuran pengaruh buruk.pptx
Membangun budaya ungguم dan memimpin
Jahriyatu Dakwah
Akhlaq muslim sejati
Tahsinul akhlaq 01
1. Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia yaitu mel...
Bayan hidayah nisab 3 hari
cinta damai anti terorisme lawan terorisme
Membangun budaya ungguم dan memimpin
Dakwah nabi periode makkah
Hidayah_dan_Kesesatan_Bagian_1.pptx
3. Sejak Kenabian Hingga Hijrah Nabi saw
Mendudukkan akhlaq rasulullah saw
Kesesatan dan hidayah
Ad

More from FlamencoRizky (20)

PDF
Seputar pandangan manusia terhadap gharizah an nau’
PDF
Penegakan hukum makin suram
PDF
Kejahatan dipicu kebencian tiga pemuda muslim ditembak mati di as
PDF
Menggunakan Automatic Level
PDF
Perubahan harus menyentuh sistem
PDF
Pengantar [kegagalan revolusi timur tengah]
PDF
Pt freeport dimanjakan, rakyat dirugikan
PDF
Bukannya freeport dipidanakan malah dimudahkan, bukti tunduknya rezim jokowi ...
PDF
Indonesia negeri muslim yang terjual
PDF
Sikap seorang-muslim-ketika-melihat-kemungkaran
PDF
Kaum manula di barat kesepian saat natal
PDF
Refleksi akhir tahun peserta hip padati islamic center kota kendari
PDF
Kala penguasa menabrak fatwa
PDF
Kristen sendiri anggap natal tak sah
PDF
Sekelompok konspirator menjadikan perang melawan isis sebagai jalan untuk mem...
PDF
Pasukan khilafah utsmani berperang untuk gaza
PDF
Kekayaan laut melimpah, indonesia tak pantas punya utang
PDF
Asean free trade regime is cancer for the muslim ummah in southeast asia!
PDF
Refleksi akhir tahun 2014
PDF
Tetap kokoh menghadapi setiap makar yang mendistorsi khilafah atau melemahkan...
Seputar pandangan manusia terhadap gharizah an nau’
Penegakan hukum makin suram
Kejahatan dipicu kebencian tiga pemuda muslim ditembak mati di as
Menggunakan Automatic Level
Perubahan harus menyentuh sistem
Pengantar [kegagalan revolusi timur tengah]
Pt freeport dimanjakan, rakyat dirugikan
Bukannya freeport dipidanakan malah dimudahkan, bukti tunduknya rezim jokowi ...
Indonesia negeri muslim yang terjual
Sikap seorang-muslim-ketika-melihat-kemungkaran
Kaum manula di barat kesepian saat natal
Refleksi akhir tahun peserta hip padati islamic center kota kendari
Kala penguasa menabrak fatwa
Kristen sendiri anggap natal tak sah
Sekelompok konspirator menjadikan perang melawan isis sebagai jalan untuk mem...
Pasukan khilafah utsmani berperang untuk gaza
Kekayaan laut melimpah, indonesia tak pantas punya utang
Asean free trade regime is cancer for the muslim ummah in southeast asia!
Refleksi akhir tahun 2014
Tetap kokoh menghadapi setiap makar yang mendistorsi khilafah atau melemahkan...

Buku ic i badan koordinasi lembaga dakwah kampus ( bkldk )

  • 1. ISLAMIC COACHING I BADAN KOORDINASI LEMBAGA DAKWAH KAMPUS (BKLDK) dakwahkampusbooks Islamnya Kita (Sebuah Catatan Awal) Manusia sesungguhnya akan menjalani kehidupan sesuai dengan fitrah yang dimilikinya. Sejauh apa pun ia berjalan menyelisihi fitrah kemanusiaannya, ia akan berusaha mencari jalan kembali. Sebagaimana kisah seorang pembunuh, yang dalam titik jenuh setelah membunuh 99 korbannya, ia pun tersadar. Dicarilah olehnya tempat dimana ia bisa menemukan fitrah diri sebagai manusia. Allah SWT membawa langkahnya untuk bertemu dengan seorang rahib. Sayangnya, sang rahib menyangkal dan mengatakan bahwa ia tak mungkin kembali pada fitrahnya, ia telah terlanjur berlumur dosa. Si pembunuh marah, ia pun tak segan memenggal kepala sang rahib. Genap sudah korbannya menjadi 100 orang. Namun dirinya tak berputus asa. Ia kembali mencari jalan pertaubatan. Hingga ditemuilah seorang shalih yang memberi nasihat bijak padanya. ―Sungguh pintu taubaut terbuka luas untuk anda. Tinggalkanlah lingkungan buruk yang selama ini membuat anda menjadi seorang pembunuh, datangilah lingkungan baik yang akan menuntun anda menjadi orang yang senantiasa beramal shalih guna menebus segala kesalahan anda di masa yang lalu.‖ Ia pun menangis sejadi-jadinya, menyesali semua perbuatan salah yang membuatnya menjauh dari fitrah dirinya. Ia bulat untuk bertaubat. Ia pun berkemas, meninggalkan lingkungan buruk yang selama ini menjerumuskan pada kubangan maksiat. Langkahnya mantap menuju lingkungan baru yang lebih baik. Ia telah bertekad untuk hijrah menuju dirinya yang fitrah. Namun Allah menakdirkan lain bagi dirinya. Di tengah-tengah perjalanan, nyawanya dicabut. Malaikat pun berselisih tentangnya. Malaikat Rahmat menilai ia layak masuk surga karena telah bertaubat, sementara Malaikat siksa menilai ia pantasnya diseret ke neraka, karena meski telah mengucap taubat namun ia belum benar-benar membuktikan bahwa dirinya telah menjadi orang yang kembali pada fitrahnya. Akhirnya malaikat bersepakat, ia dimasukkan ke surga, alasannya jarak dirinya saat meninggal dunia lebih dekat pada lingkungan baik yang ia niati sebagai tempat tujuan hijrahnya dibanding jarak ke lingkungan buruk tempat masa lalunya yang telah ia tinggalkan. Kisah di atas dituturkan oleh Rasulullah Muhammad saw yang kemudian diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Imam Ahmad. Kanjeng Rasul yang mulia mengajarkan pada kita dari kisah ini tentang hakikat fitrah. Ya, fitrah manusia adalah pada al-khair (jalan kebaikan). Dan, Al- khair itu adalah al-Islam. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah saw bersabda: “Setiap anak dilahirkan di atas fitrah (kesucian) maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
  • 2. Pertanyaan sederhana mungkin muncul di benak kita. Jika fitrah manusia adalah Islam. Mengapa ada orang nasrani, hindu, budha bahkan ada yang atheis? Mengapa ada orang jahat, perampok, koruptor, oportunis, pragmatis dan penjilat? Mengapa ada orang munafik, musyrik, pluralis, liberal juga sekuler? Jawabannya sudah ada pada hadist di atas. Semua bermuara pada lingkungan yang berpengaruh kuat. Lingkungan terdekat adalah keluarga, orangtua. Lalu, lingkungan pergaulan kita sehari-hari. Lingkungan juga bisa dipengaruhi adat istiadat peninggalan nenek moyang yang seringkali teramat sulit untuk ditinggalkan. Kita bisa belajar dari sirah perjuangan Rasulullah betapa susahnya mengislamkan penduduk Makkah waktu itu. Mereka, masyarakat jahiliyah Quraisy belum bisa lepas dari keyakinan- keyakinan lokal yang dibudayakan turun-menurun. Penyembahan mereka pada tuhan yang banyak susah ditinggalkan dan diganti menuju penyembahan hanya pada Yang Maha Esa, Allah SWT. Budaya jahiliyah yang dilakukan masyarakat Makkah saat itu juga tak mudah untuk disingkirkan. Mabuk-mabukan, berjudi, main perempuan dan membunuhi anak perempuan sudah teramat biasa sehingga dianggap wajar oleh mereka. Ketika Rasulullah menyeru hendak memberantas itu semua, timbullah perlawanan. Hingga seorang Abu Thalib, paman yang sangat mencintai Rasulullah SAW, tak kuasa menolak budaya jahiliyah Quraisy yang dibawanya hingga sakaratul maut menjemput. ―Wahai Paman, ucapkanlah Laa Ilaaha Ilallaah maka engkau akan selamat,‖ bujuk Rasul sesaat menjelang kematian paman yang dikenal selalu membela dan melindungi perjuangannya itu. Sayangnya, saat nyawa masih tertahan di kerongkongan, hanya satu kalimat yang diucapkannya. ―Tetap pada agama Abdul Muthalib, tetap pada millah nenek moyang kita....‖ ujar Abu Thalib mengakhiri hidupnya tetap dalam keadaan tak beriman. Padahal Allah SWT tegas-tegas melarang untuk mengikuti segala macam adat istiadat dan budaya yang hanya menjerumuskan kita pada api neraka. FirmanNya: “Jika dikatakan pada mereka, „Ikutilah apa-apa yang telah diturunkan Allah‟, mereka menjawab, „ Tetapi kami mengikuti apa yang telah dilakukan oleh nenek moyang kami‟. ‟Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al Baqarah: 170) “Dan apakah mereka akan mengikuti bapak-bapak mereka, walaupun syetan menyeru mereka ke dalam siksa api neraka yang menyala-nyala?” (QS. Luqman: 21) Label jahiliyah yang disematkan pada waktu itu bukanlah identik pada sifat kebodohan, keterbelakangan atau pun ketertinggalan secara lahiriah. Namun, jahiliyah lebih dimaknai sebagai sikap penolakan kebenaran yang berasal dari Allah SWT yang disyiarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat dibuktikan salah satunya pada pribadi Abu Jahl, Bapaknya orang-orang jahiliyah. Nama aslinya adalah ‗Amr ibn Hisyam. Ia dikenal juga dengan nama Abul Hakam. Al Hakam berarti seorang yang berada dalam lingkaran pemerintahan (hukumah) kota Makkah. Juga seorang yang memiliki banyak hikmah kebijakan (hakiim) dan atau orang yang memiliki kekuasaan untuk menentukan hukum (al haakim). Pada kenyataannya, Abu Jahl alias ‗Amr ibn Hisyam adalah seorang yang pandai bacatulis, ahli sastra, hartawan dan dikenal cerdas lagi terpandang di antara kaumnya. Sejarah rupanya berulang. Saat kini, kita hidup juga di jaman jahiliyah. Meski semua nampak serba canggih dan modern, namun tak sedikit yang menolak kebenaran Islam. Tak semua ditolak memang, tapi sebagian-sebagian. “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasu-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir) merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.” (QS al-Nisa': 150- 151). Pernikahan sesama muslim diatur dengan syariat Islam melalui Kantor Urusan Agama, namun mengapa lokalisasi perzinahan juga masih diakomodir oleh pemerintah? Di saat para pejabat negara diambil sumpah jabatannya dengan menggunakan al Quran di atas kepalanya sebagai simbol ketaatan, tapi mengapa justru aturan-aturan yang dibuatnya tak pernah memperdulikan al Quran sama sekali bahkan terkesan mencampakkannya? Jika kita disarankan untuk jangan lupa berzakat dan bersedekah, tapi mengapa riba dan segala perangkatnya (bank konvensional, pola kredit ribawi dan lainnya) masih tetap digunakan? Banyak sekali anjuran agar akhlak kita disesuaikan dengan yang ditauladankan Nabi SAW namun mengapa dalam berpolitik kita tak mencontoh Rasul, malahan mengikuti sistem demokrasi yang tak pernah sekali pun dicontohkan Rasul? Bukan hanya itu, ketika nasionalisme dianggap sebagai warisan dari para pendiri bangsa ini yang notabene juga muslim, maka sebagian dari kita pun kemudian beralasan untuk tetap mempertahankannya. Hak asasi manusia, liberalisasi, hermeneutika, budaya permisif, hedonis semuanya serba jahiliyah. Berhala-berhala jaman modern tak lagi berbentuk Latta dan Uzza namun berubah ujud menjadi Harta, Tahta dan Wanita. Berapa banyak yang menyembah harta kekayaan, sehingga ia rela mengorbankan segalanya, menghalalkan segala cara. Hawa nafsu pun dijadikannya sesembahan. “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmuNya? Dan Allah telah
  • 3. mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan penutup di atas penglihatannya” (QS. Al Jatsiyah : 23) Hidup di era jahiliyah modern saat ini mungkin menjadi tantangan tersendiri bagi keberislaman kita. Sepertinya Allah SWT tak pernah berhenti menguji hamba-hambaNya yang beriman. Saat Allah menguji Rasul dan para sahabat dengan segala tantangan dan hambatan di jamannya, Allah juga menguji kita sebagai pengikut Rasul yang setia dengan halangan dan rintangan yang tak jauh berbeda. "Apakah kalian mengira akan masuk surga padahal belum datang ujian yang semisal dengan yang menimpa orang-orang sebelum kalian. Mereka ditimpa gangguan dan marabahaya serta digoncangkan seguncang-guncangnya hingga Rosul dan orang-orang yang beriman yang bersamanya berkata, "Kapankah pertolongan Allah datang?" Ketahuilah, bahwa pertolongan Allah sangatlah dekat." (QS. Al-Baqoroh: 214) Namun Allah jualah yang menakdirkan mental orang-orang beriman sebagai mental para pemenang. Sebagaimana keimanan tentara Muhammad Al Fatih yang menghantarkan mereka untuk menaklukkan konstantinopel. Simaklah pidato Muhammad Al Fatih sebelum mereka berangkat berperang berikut ini: ―Aku wasiatkan pada kalian untuk bertakwa kepada Allah dan kunasehatkan untuk tetap bersabar. Jangan melangkah sekalipun kecuali kalian selalu mengingat Allah. Kita berperang untuk meninggikan kalimat Allah bukan karena ghonimah atau harta. Dan yang paling kukhawatirkan adalah dosa-dosa kalian lalu menyerang kalian hingga tekad dan kekuatan kalian melemah. Bertaubatlah kalian niscaya Allah akan memenangkan kita.‖ Dan atas izin Allah, pasukan kaum muslimin berhasil memenangkan peperangan. BAB I THARIQUL IMAN “ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantunya siang dan malam ada tanda-tanda bagi orang yang berakal?” (QS Al I-Imron: 190) Uqdatul Kubro Manusia adalah mahluk yang dikarunia keistimewaan oleh Allah, yang itu tidak diberikan kepada makhluk lainnya yakni akal. Dengan akal itulah manusia dapat berfikir. Ketika manusia dewasa ia mulai mempertanyakan tentang keberadaan dirinya di dunia ini. Ia mulai berpikir tentang beberapa pertanyaan mendasar yang harus ia jawab. Jawaban tersebut akan menjadi landasan dalam kehidupannya. Selama masalah ini belum terjawab, selama itu pula manusia hidup tanpa tujuan yang jelas dan tidak akan berjalan di dunia ini dengan tenang. Karena sifatnya yang demikian beberapa pertanyaan pokok dan mendasar itu sering disebut sebagai ‘Uqdatul Kubro‘ (masalah/simpul yang sangat besar). Pertanyaan mendasar tersebut berupa: * Dari manakah manusia dan kehidupan ini ? * Untuk apa manusia dan kehidupan ini ada ? * Akan ke mana manusia dan kehidupan setelah ini ? Bila pertanyaan ini terjawab maka seseorang akan memiliki landasan kehidupan sekaligus tuntunan dan tujuan kehidupannya, -- terlepas dari jawabannya benar atau salah. Manusia akan berjalan di dunia ini dengan ‗landasan‘ tersebut, berekonomi dan berbudaya berdasar ‗landasan‘ itu, bahkan ia akan mengajak orang dan kaum lain agar mengikuti ‗landasan‘ tersebut. Jika seseorang atau suatu kaum yang menyelesaikan ‗uqdatul kubra‟ dengan jawaban ‗kehidupan dunia ini ada dengan sendirinya, manusia berasal dari tanah materi dan kelak akan kembali lagi menjadi materi/benda, sehingga manusia hidup untuk mencari kebahagiaan materi selama ia mampu hidup”, maka mereka akan hidup dengan aturan yang dibuatnya sendiri, dengan standar baik-buruk yang ia kehendaki. Mereka akan bertingkah laku, berbudaya, berekonomi dan berpolitik untuk mencapai kebahagiaan material, selama mereka mampu hidup. Orang dan kaum seperti ini tidak meyakini adanya hal ghaib (malaikat,
  • 4. akhirat, pahala-dosa dsb). Yang mereka percayai hanyalah segala materi yang dapat dirasakan oleh panca indra belaka. Selain itu ada orang atau suatu kaum yang menjawab ―di balik alam dan kehidupan ini ada Sang Pencipta, yang mengadakan seluruh alam, termasuk dirinya, memberi tugas/amanah kehidupan pada manusia dan kelak ada kehidupan lain setelah dunia ini, yang akan menghisab seluruh perbuatannya di dunia”, maka mereka akan hidup, berekonomi, berbudaya, berpolitik dan berinteraksi dengan kaum lain, berdasarkan aturan Penciptanya. Standar baik-buruk berdasarkan aturan Sang Pencipta, dan sekaligus menjadi standar amal yang harus ia pertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta. Demikianlah gambaran ringkas tentang ‗landasan kehidupan‘ seseorang/suatu kaum, yang sekaligus merupakan jawaban ‗uqdatul kubro‘ manusia. Tetapi bagaimanakah jawaban yang benar terhadap masalah ini? Pemecahan yang Benar ‘Uqdatul Kubro’ Dengan berbagai usaha berfikir, manusia mencoba mencari jawaban atas pertanyaan mendasar tersebut melalui segala hal yang dapat dijangkau oleh akalnya. Karena segala hal yang dapat dijangkau akal manusia, tidak lepas dari (1) alam semesta (al kaun), (2) manusia (al insan) dan (3) kehidupan (al hayaah), maka ketiga hal inilah yang dijadikan obyek/media berpikir untuk mencari jawaban yang dimaksud. Pemecahan yang benar terhadap masalah ini tidak akan terbentuk kecuali dengan pemikiran yang mustanir (jernih) dan menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan serta hubungan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan sesudah kehidupan dunia ini. Islam telah memberi jawaban melalui proses berpikir yang jernih, menyeluruh, benar, sesuai dengan akal, menentramkan jiwa dan sesuai dengan fitrah manusia. Proses pencarian keshahihan dari ‗uqdatul qubra‘ itu adalah sebagai berikut: 1. Proses keimanan terhadap Al Kholiq (Sang Pencipta) Islam menjawab bahwa di balik alam semesta, manusia dan kehidupan ini ada Al Kholiq (Sang Pencipta), yang mengadakan semua itu dari tidak ada menjadi ada. Al Kholiq itu bersifat wajibul wujud (wajib/pasti adanya). Ia pun bukan mahluk karena sifatnya sebagai Sang Pencipta memastikan bahwa diri-Nya bukanlah makhluk. Bukti bahwa segala sesuatu itu mengharuskan adanya Pencipta dapat dibuktikan sebagai berikut. Bahwasanya segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal terbagi dalam tiga unsur, yaitu manusia, alam semesta dan kehidupan. Ketiga unsur ini bersifat terbatas dan bersifat lemah, serba kurang dan saling membutuhkan kepada yang lain. Misalnya manusia, ia merasa terbatas sifatnya karena tumbuh dan berkembang tergantung terhadap segala sesuatu yang lain, sampai suatu batas yang tidak dapat dilampauinya lagi. Oleh karena itu jelas ia bersifat terbatas, mulai dari ‗ketiadaannya‘ sampai batas waktu yang tidak bisa dilampauinya lagi. Begitu pula halnya dengan kehidupan (nyawa), ia bersifat terbatas pula, sebab penampakan/perwujudannya bersifat individual semata. Dan apa yang kita saksikan selalu menunjukkan bahwa kehidupan itu ada lalu berhenti pada satu individu itu saja. Jadi jelas kehidupan itu bersifat terbatas. Demikian pula halnya dengan alam semesta. Iapun bersifat terbatas. Himpunan dari benda-benda terbatas dengan sendirinya terbatas pula sifatnya. Jadi alam semesta itupun bersifat terbatas. Kini jelaslah bahwa manusia, kehidupan dan alam semesta, ketiganya bersifat terbatas (termasuk memiliki batas awal dan akhir keberadaannya). Jika sesuatu itu bersifat terbatas, akan didapati bahwa segala hal tersebut tidak azali (tidak berawal dan tidak berakhir). Sebab apabila ia azali, bagaimana mungkin ia bersifat terbatas? Tidak boleh tidak, keberadaan semua yang terbatas ini membutuhkan adanya ‘sesuatu yang lain’. Dan ‘sesuatu yang lain’ inilah yang dinamakan Al Kholiq, yang menciptakan manusia, kehidupan dan alam semesta. Dalam menentukan sifat Al Kholiq (Pencipta) paling tidak ada tiga kemungkinan. Pertama, Ia diciptakan oleh yang lain. Dengan pemikiran aqliyah yang jernih dan mendalam, akan dipahami bahwa kemungkinan ini adalah kemungkinan yang salah (tidak dapat diterima oleh akal). Sebab jika Ia diciptakan oleh yang lain maka Ia adalah makhluk dan bersifat terbatas, yaitu butuh kepada yang lain untuk mengadakannya. Kedua, Ia menciptakan diri-Nya sendiri. Kemungkinan kedua ini pun juga bathil. Karena jika demikian adanya, maka ia akan menjadi makhluk dan Khaliq pada saat yang bersamaan. Jelas ini tidak dapat diterima oleh akal. Ketiga, Ia bersifat azali dan wajibul wujud dan mutlak adanya. Jika dua kemungkinan di atas dinyatakan bathil, maka hanya tinggal satu kemungkinan lagi yakni Al Kholiq itu tidak boleh tidak harus bersifat azali dan wajibul wujud serta mutlak adanya. Dialah Allah SWT. Inilah cara berfikir dalam menentukan sifat sang kholik yang shohih. Sesungguhnya bagi setiap orang yang mempunyai akal hanya dengan perantaraan wujud benda-benda yang dapat diinderanya, ia dapat memahami bahwa dibalik benda-benda itu terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Dengan memahami bahwa semua benda-benda tadi bersifat serba kurang, sangat lemah dan saling membutuhkan kepada yang lain, maka semua hanyalah makhluk. Karenanya untuk membuktikan adanya Al Khaliq yang Maha Pengatur, sebenarnya cukup hanya dengan mengamati segala sesuatu yang ada di alam semesta, kehidupan, dan di dalam diri manusia itu sendiri. Karena itu kita jumpai bahwa Al Qur‘an senantiasa mengajak manusia untuk mengamati segala apa yang ada di sekelilingnya dan apa yang berhubungan dengannya, agar dapat
  • 5. membuktikan adanya Allah SWT. Sebab dengan mengamati benda-benda akan memberikan suatu pemahaman yang meyakinkan manusia tentang adanya Allah yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur secara pasti tanpa ada keraguan. Banyak ayat Al quran yang berbicara berkenaan dengan hal ini, antara lain firman Allah : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal.” (QS Ali Imran: 190) Juga firman-Nya: “(Dan) Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah diciptakannya langit dan bumi serta berlain-lainnya bahasa dan warna kulitmu.” (QS Ar Rum: 22) Serta firman-Nya yang lain seperti QS Al Ghasiyah: 17-20, juga QS Ath Thariq: 5-7, atau juga firman-Nya berikut yang artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Ia hidupkan bumi sesudah matinya (kering) dan Ia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran air dan awan yang dikendalikan antar langit dan bumi. Sesungguhnya pada semua itu terdapat tanda-tanda (Keesaan dan Kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS Al Baqarah: 164) Masih banyak lagi ayat yang sejenis yang mengajak manusia untuk memperhatikan benda- benda alam, serta melihat apa yang ada disekelilingnya untuk dijadikan petunjuk atas adanya Sang Pencipta yang Maha Pengatur. Dengan demikian imannya kepada Allah SWT menjadi mantap, yang berakar dari akal dan bukti nyata. Inilah jawaban shohih secara ringkas, tentang keberadaan Al Kholiq dibalik manusia, alam semesta dan kehidupan Skema Pemecahan Shohih Uqdatul Qubro’ Sifat Fitri Keimanan Iman kepada Yang Maha Pengatur ini merupakan suatu hal yang fithri dalam diri setiap manusia. Akan tetapi iman yang fithri ini hanya muncul dari perasaan hati yang ikhlas belaka. Keimanan semacam ini tidak bisa dianggap aman. Sebab perasaan hati semacam ini sering menambah-nambah terhadap apa yang diimani dengan sesuatu yang realistis. Bahkan mengkhayalkannya dengan sifat-sifat tertentu yang lazim terhadap apa yang ia imani sehingga dapat menjerumuskan ke arah kesesatan. Penyembahan berhala dan khurafat (cerita bohong), tak lain tak bukan akibat salahnya perasaan hati. Maka dari itu Islam tidak membiarkan perasaan hati ini sebagai satu-satunya jalan menuju iman. Islam menegaskan penggunaan akal bersama-sama dengan perasaan hati dan mewajibkan atas setiap muslim untuk menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah SWT serta melarang bertaqlid (ikut-ikutan) dalam masalah aqidah. Untuk itulah Islam telah menjadikan akal sebagai timbangan dalam beriman kepada Allah. Sebagaimana firman Allah SWT : Penciptaan Dibangkitkan Perintah/larangan Hisab Sebelum dunia ADA PENCIPTA Saat di dunia IBADAH KEPADA ALLAH Setelah mati ADA SAAT PEMBALASAN SETELAH MATI
  • 6. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (QS Ali Imran: 190) Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim membangun keimananya betul-betul muncul dari proses berfikir, meneliti, memperhatikan serta bertahkim pada akalnya dalam beriman kepada Allah SWT secara mutlak. Batas akal dalam memahami sang Khaliq Kendati Islam mewajibkan atas manusia untuk menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah SWT, namun tidak mungkin akal manusia bisa memahami apa yang ada di luar jangkauan indranya. Hal ini karena sifat dan kekuatan akal manusia terbatas, sehingga pemahamannya pun terbatas. Oleh karena itu, akal tidak mampu untuk memahami Dzat Allah dan hakekat-Nya, sebab Allah berada di luar ketiga unsur pokok alami yang dapat diindera manusia (alam semesta, manusia dan kehidupan). Hanya saja tidak dapat dikatakan : “Bagaimana mungkin orang dapat beriman kepada adanya Allah SWT, sedang akalnya sendiri tidak mampu memahami Dzat Allah?”. Memang tidak bisa dikatakan demikian, sebab pada hakekatnya iman itu adalah percaya akan adanya (wujud/keberadaan-Nya) Allah, di mana wujud Allah ini dapat dipahami melalui keberadaan makhluk-makhluk-Nya, yaitu alam semesta, manusia dan kehidupan. Ketiganya ini berada dalam batas-batas yang dapat dicapai oleh akal. Dengan memahami ketiga hal itu, orang dapat memahami adanya Al Khaliq, yaitu Allah SWT. Karenanya, iman kepada adanya Allah harus berdasarkan akal dan dalam jangkauan akal. Lain halnya jika orang hendak memahami Dzat Allah di mana hal ini mustahil terjadi. Sebab Dzat-Nya di luar jangkauan kemampuan akal. Padahal akal itu sendiri tidak mungkin memahami hakekat apa yang berada diluar jangkauannya, disebabkan keterbatasannya untuk melakukan hal itu. Sesungguhnya apabila iman kepada Allah SWT muncul dari akal, pemahaman kita terhadap adanya Al Khaliq pun akan menjadi sempurna pula. Apabila perasaan hati (yang timbul dari fithrah-peny) yang mengatakan adanya Allah dibarengi pula oleh akal maka perasaan semacam ini akan tumbuh menjadi suatu keyakinan yang kokoh, yang akan memberikan suatu pemahaman yang sempurna serta perasaan yang yakin atas semua sifat-sifat ketuhanan. Dengan sendirinya hal ini akan meyakinkan diri kita bahwa kita tidak akan sanggup memahami hakekat Dzat Allah, justru karena kuatnya iman kita kepada-Nya. 2. Proses keimanan terhadap Rasul Adapun bukti mengenai hubungan manusia terhadap para rasul dapat kita lihat dari terbuktinya manusia sebagai mahluk Allah SWT yang bersifat terbatas, akal dan kemampuannya. Juga dapat dilihat dari terbuktinya agama itu sebagai suatu hal yang fithri dalam diri manusia, karena ia merupakan salah satu fithrah pen-taqdis-an (pengagungan dan pensucian-peny) manusia. Dalam fithrahnya itu manusia senantiasa mentaqdiskan Penciptanya. Pekerjaan mentaqdiskan inilah yang selanjutnya dikenal sebagai ibadah, yang merupakan tali penghubung antara manusia dan Penciptanya. Apabila hubungan ini dibiarkan tanpa aturan akan cenderung terjadi kekacauan ibadah serta menyebabkan terjadinya penyembahan terhadap selain dari pencipta yang sebenarnya. Jadi harus ada aturan tertentu yang mengatur hubungan ini dengan baik. Hanya saja aturan ini tidak boleh datang dari pihak manusia, karena ia sendiri tidak mampu memahami hakekat Al Khaliq (maksudnya tentang perbuatannya, apakah perbuatan itu diterima atau ditolak oleh Al Khaliq-peny) untuk dapat meletakkan aturan antara dirinya dengan Sang Pencipta. Karenanya aturan ini harus datang dari Al Khaliq serta harus sampai ke tangan manusia. Maka tidak boleh tidak harus ada para rasul yang menyampaikan agama (aturan) Allah ini kepada umat manusia. Bukti lain akan kebutuhan manusia terhadap para rasul adalah bahwa pemuasan manusia akan tuntutan kebutuhan-kebutuhan jasmani dan gharizah/nalurinya merupakan hal yang mutlak diperlukan. Jika pemuasan ini dibiarkan berjalan tanpa aturan akan menjadi pemuasan yang salah, berlebihan serta menyebabkan malapetaka bagi manusia. Karena itu harus ada aturan yang mengatur gharizah dan kebutuhan-kebutuhan jasmani ini. Tetapi aturan ini tidak boleh datang dari pihak manusia, sebab pemahamannya dalam mengatur gharizah dan kebutuhan jasmani selalu menjadi obyek (sasaran) kekeliruan, perselisihan dan keterpengaruhan oleh lingkungan yang didiaminya. Maka dari itu aturan tersebut harus datang dari Allah SWT, yang untuk dapat sampai ke tangan manusia, haruslah melalui seorang rasul. 3. Proses Keimanan terhadap Al Qur’an Kalamullah Adapun bukti –yang sangat mudah – bahwa Al Qur‘an itu datang dari Allah SWT, dapat dilihat dari kenyataan/fakta bahwa Al Qur'an itu sebuah kitab berbahasa arab yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Karena fakta tersebut, maka dalam upaya menentukan dari mana asal Al Qur'an itu, dapat kita buktikan dengan tiga kemungkinan dan hanya tiga kemungkinan itu, tidak ada kemungkinan yang lain. Ketiga kemungkinan tersebut adalah:
  • 7. Pertama, ia merupakan karangan bangsa Arab. Kemungkinan yang pertama ini, orang yang mengatakan bahwa Al Qur'an merupakan karangan bangsa Arab adalah suatu kemungkinan yang bathil. Sebab Al Qur'an sendiri menantang mereka (bangsa Arab) untuk membuat karya yang serupa. Sebagaimana tertera dalam firman-Nya: “Katakanlah: „Maka datangkanlah sepuluh surat yang menyamainya.” (QS Hud: 13) “Katakanlah: „Kalau benar yang kamu katakan maka coba datangkan sebuah surat yang menyamainya.” (QS Yunus: 38) Bangsa Arab telah berusaha untuk menghasilkan karya yang serupa, akan tetapi mereka tidak juga berhasil. Jadi, jelas Al Qur'an bukan berasal dari perkataan orang Arab, karena ketidakmampuan mereka untuk menghasilkan karya yang serupa. Kedua, ia merupakan karangan Muhammad SAW. Adapun kemungkinan yang kedua, mengatakan bahwa Al Qur'an itu karangan Muhammad SAW, adalah kemungkinan yang bathil pula. Sebab Muhammad adalah orang Arab juga. Bagaimanapun jeniusnya, tetaplah ia sebagai seorang manusia yang menjadi salah satu anggota dari bangsanya. Jika bangsa Arab tidak mampu menghasilkan karya yang serupa, maka masuk akal pula apabila Muhammad SAW yang orang Arab itu juga tidak mampu menghasilkan karya yang serupa. Jelaslah bahwa Al Qur'an, bukan karangannya. Hal tersebut makin diperkuat dengan banyaknya hadits-hadits shahih dan mutawatir dari Nabi Muhammad SAW, yang bila setiap hadits ini dibandingkan dengan ayat manapun dalam Al Qur'an jelas tidak akan dijumpai adanya kemiripan dari segi gaya bahasa (uslub), padahal keduanya berasal dari orang yang sama. Akan tetapi keduanya tetap berbeda dari segi gaya bahasanya. Dan bagaimanapun kerasnya seseorang menciptakan berbagai macam gaya bahasa dalam pembicaraannya, tetap akan terdapat kemiripan antara gaya bahasa yang satu dengan gaya bahasa yang lain. Jadi karena tidak ada kemiripan antara gaya bahasa Al Qur'an dengan gaya bahasa hadits maka yakinlah bahwa Al Qur'an itu bukan perkataan Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian maka terbantahlah kemungkinan pertama dan kedua. Kini tinggal tuduhan lain yang mereka lontarkan, yaitu bahwa Al Qur'an itu disadur oleh Muhammad SAW dari seorang pemuda Nasrani bernama Jabr. Tuduhan itu ditolak keras oleh Allah SWT melalui firmannya: “(Dan) Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, „Sesungguhnya Al Qur'an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad). Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya (adalah) bahasa „ajami (non arab), sedangkan Al Qur'an itu dalam bahasa Arab yang jelas.” (QS An Nahl: 103) Inilah pembuktian yang jelas bahwa Al Qur'an itu bukan karangan bangsa Arab atau karangan Muhammad SAW. Al Qur'an adalah perkataan Allah (kalam Allah) yang menjadi mukjizat bagi pembawanya (Muhammad SAW). Tidak ada kemungkinan lain selain ini, dilihat dari kenyataan bahwa Al Qur'an itu berbahasa Arab. Ketiga, ia berasal dari Allah semata, sebagaimana pernyataan pembawanya. Setelah kedua kemungkinan tersebut terbantahkan, kini hanya tinggal satu kemungkinan yaitu bahwa Al Qur‘an itu adalah kalamullah. Kemungkinan inilah yang shahih di antara tiga kemungkinan yang ada. Kemungkinan ini sekaligus membuktikan
  • 8. bahwa Muhammad SAW adalah Rasulullah karena tidak ada yang membawa syariat dan mukjizat kecuali seorang nabi dan rasul. Sedangkan yang membawa syariat (Al Qur‘an) tersebut tidak lain adalah Muhammad SAW. Demikian uraian-uraian singkat namun jelas dan tegas tentang dalil aqli untuk beriman kepada (wujudnya) Allah, kepada kebenaran kerasulan Muhammad SAW dan kepada Al Qur'an, bahwasanya Al Qur'an merupakan kalam Allah. Konsekuensi Iman Kepada Allah, Rasulullah SAW, dan Al Qur’an Jadi iman kepada (wujud) Allah itu datang dari akal dan memang harus datang dari jalan seperti ini. Ini pula yang menjadi dasar kuat untuk beriman terhadap hal-hal yang ghaib dan segala hal yang dikabarkan oleh Allah SWT. Sebab jika kita telah beriman kepada Allah SWT, yang memiliki sifat-sifat ketuhanan itu, maka wajib pula bagi kita untuk beriman terhadap apa saja yang dikabarkan oleh-Nya. Baik hal itu dapat dicerna oleh akal maupun tidak, karena semua itu dikabarkan oleh Allah SWT. Dari sini kita wajib beriman kepada hari kebangkitan dan pengumpulan (ba‟ats), surga dan neraka, hisab dan siksa, juga beriman akan adanya malaikat, jin dan syaithan, serta apa saja yang telah diterangkan Al Qur'an dan hadist qath‘i. Iman seperti ini walaupun didapat dengan jalan ‗mengutip‘ (naql) dan mendengar (sama‟), akan tetapi pada dasarnya telah terbukti oleh akal. Jadi aqidah seorang muslim itu harus bersandar kepada akal atau pada sesuatu yang telah terbukti dasarnya oleh akal. Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, yaitu akal serta nash Al Qur'an dan hadist qath‘i (mutawatir), haram baginya untuk meyakininya. Sebab aqidah tidak boleh diambil kecuali dengan kepastian (keyakinan). Oleh karena itu kita wajib beriman kepada kehidupan sebelum dunia, yaitu adanya Allah SWT dan proses penciptaan oleh-Nya; serta beriman kepada kehidupan setelah dunia yaitu hari akhirat. Perintah-perintah Allah itu merupakan tali penghubung (shilah) antara kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum dunia, yaitu hubungan penciptaan (shilatul khalq); dan sekaligus menjadi tali penghubung kehidupan dunia dengan kehidupan sesudah dunia (shilatul muhasabah). Dan pastilah hal ihwal manusia terikat oleh tali penghubung ini. Karenanya manusia wajib berjalan dalam kehidupan ini sesuai dengan peraturan Allah dan wajib beri‘tiqad bahwa ia diciptakan oleh Allah, dan akan dihisab di hari kiamat atas segala perbuatannya di dunia. Dengan demikian telah terbentuklah pemikiran yang jernih tentang apa yang ada di balik kehidupan, alam semesta dan manusia. Telah terbentuk pula pemikiran yang jernih tentang alam sebelum dan alam sesudah dunia. Dan bahwasanya terdapat ‗tali penghubung‟ antara dunia dengan kedua alam tersebut. Dengan demikian telah terurailah ‗masalah besar‘ itu secara pasti kebenarannya dengan Aqidah Islamiyah. Apabila manusia telah berhasil memecahkan hal tadi ia dapat beralih memikirkan kehidupan dunia serta mewujudkan pemahaman yang benar (terhadap dunia), yang dihasilkan dari pemikiran dasar tersebut. Pemecahan itu pula yang menjadi dasar bagi berdirinya suatu prinsip ideologis kehidupan (mabda’) yang membentuk jalan menuju kebangkitan suatu kaum. Mabda‘ itu pula yang akan menjadi dasar bagi tumbuh kembangnya peradaban (hadloroh) suatu kaum. Juga menjadi dasar bagi peraturan-peraturan hidupnya, dan juga menjadi dasar untuk mendirikan negaranya. Dengan demikian dasar bagi berdirinya Islam, baik secara fikroh (ide dasar) maupun thoriqoh (pola operasional/metode pelaksanaan) adalah Aqidah Islam itu sendiri. Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan kepada Kitab yang diturunkan sebelumnya. Dan siapa saja yang mengingkari Allah dan Malaikat-Nya dan Kitab-Kitab-Nya dan Rasul-Rasul-Nya dan hari akhir maka ia telah sesat sejauh-jauhnya kesesatan.” (QS An Nisa: 136) Apabila semua ini (Iman kepada Allah, dst tadi) telah terbukti kebenarannya, maka wajib pula beriman kepada Syari‘at Islam (sebagaimana terhadap Aqidah Islam). Karena seluruh syariat ini tercantum dalam Al Qur'an dan telah dibawa oleh Rasulullah SAW. Apabila tidak beriman maka ia kufur. Seorang yang ingkar terhadap hukum-hukum syara‘ secara keseluruhan atau sebagian, dapat menyebabkan ia menjadi kufur. Baik hukum-hukum itu berkaitan dengan ibadah, muamalah, uqubat (sanksi), ataupun math‟umat (yang berkaitan dengan makanan). Maka kufur terhadap ayat: “Dirikanlah shalat…..” sebenarnya sama saja kufur terhadap ayat:
  • 9. “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al Baqarah: 275) Atau terhadap ayat : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya.” (QS Al Maidah: 38) Atau ayat : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan (hewan yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS Al Maidah: 3) Dengan demikian, iman terhadap syari‘at sebenarnya tidak berhenti pada akal semata, tetapi juga harus ada penyerahan mutlak terhadap segala yang datang dari sisi-Nya, sebagaimana firman-Nya : “Maka demi Rabb-mu mereka itu (pada hakekatnya) tidak beriman sebelum mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa di hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka menerima (pasrah) dengan sepenuhnya.” (QS An Nisa: 65) Kebangkitan Manusia Bangkitnya manusia tergantung dari landasan kehidupan (aqidah)nya, yang merupakan jawaban atas pertanyaan mendasar tentang kehidupan ini. Karenanya umat harus diarahkan kepada aqidah yang benar, sehingga memiliki pandangan hidup yang benar dan mendorongnya berbuat sesuai dengan aturan yang muncul dari aqidah yang benar tadi. ‗Pemahaman aqidah‘ ini selalu ada dalam diri suatu manusia, umat atau kaum; karenanya, untuk mengubah keadaan suatu kaum agar bangkit, aqidah inilah yang harus diubah terlebih dahulu. Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah „keadaan‟ suatu kaum sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS Ar Ra’d: 11) Satu-satunya jalan perubahan aqidah dengan membentuk pemikiran yang benar dan jernih tentang aqidah yang shohih yang melandasi kehidupan dan kebangkitannya. Hal ini dapat dengan menyampaikan (kepada manusia-peny) pemikiran yang benar tentang pemecahan simpul pada ‗masalah besar‘ (Uqdatul Kubro‟) dalam diri manusia. Apabila masalah besar ini telah teruraikan, maka terurai pula masalah yang lainnya, sebab hanya merupakan bagian atau cabang dari masalah besar tadi. Oleh karena itu bagi mereka yang menghendaki kebangkitan dan kehidupan berada diatas jalan yang mulia, harus terlebih dahulu memecahkan masalah besar ini dengan pemecahan yang benar, yakni dengan aqidah yang benar. Islam telah menangani ‗masalah besar‘ ini. Dipecahkannya untuk manusia dengan pemecahan yang sesuai dengan fithrah, memuaskan akal serta memberikan ketenangan jiwa. Oleh sebab itu Islam dibangun diatas satu dasar yaitu aqidah, yang mengatakan bahwasanya dibalik alam semesta, manusia dan kehidupan terdapat Sang Pencipta (Al Khaliq) yang telah menciptakan ketiganya, dan yang telah menciptakan pula segala sesuatu yang lainnya. Dialah Allah SWT. Aqidah yang mengatakan bahwasanya Pencipta ini telah menciptakan segala sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Ia bersifat wajibul wujud (wajib adanya), Ia bukan makhluk, karena sifat-Nya sebagai Pencipta memastikan bahwa diri-Nya bukan makhluk, serta memastikan pula bahwa ia mutlak adanya. Segala sesuatu menyandarkan wujudnya kepada diri-Nya, sedangkan Ia tidak bersandar kepada sesuatu apapun.
  • 10. BAB II Mabda Islam “Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah) dan janganlah kamu mengikuti langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuhmu yang paling nyata (QS. Al Baqarah: 208) Jika kita amati perubahan yang terjadi di berbagai belahan dunia, tidak terlepas dari perbedaan tingkat pemikiran manusia saat itu. Konflik antar manusia, antar suku, antar bangsa atau antar agama adalah hal yang wajar terjadi dilihat dari keragaman pemikiran dalam masyarakat. Namun, dari berbagai perubahan yang terjadi, perbedaan ideologilah yang nampak banyak mempengaruhi perubahan tersebut. Terjadinya perang dingin antara blok barat (kapitalis) dan blok timur (sosialis/komunis) yang melibatkan sejumlah negara selama bertahun-tahun menunjukkan bukti tersebut. Dengan berakhirnya perang dingin, kini ideologi kapitalis yang dimotori Amerika Serikat berusaha menjadikan ideologinya sebagai landasan berfikir bagi semua negara di dunia. Hal ini dilatarbelakangi oleh ‗keyakinan‘ bahwa ideologi kapitalis bersifat universal seperti yang digambarkan oleh Samuel P Huntington dalam tesisnya. Amerika Serikat lewat berbagai media komunikasi yang dikuasainya berusaha mempropagandakan ide-ide kapitalis ke seluruh dunia seperti pluralisme, HAM, demokrasi, perdagangan bebas dan ide-ide kufur lainnya. Wajarlah bila hampir semua konflik atau perubahan tidak luput dari perhatian dan keikutsertaan Amerika Serikat. Bila negara-negara tersebut tidak memenuhi keinginannya, maka AS pun tak segan-segan memberikan sanksi, baik secara ekonomi ataupun secara militer. Kesombongan AS dengan kapitalisnya, bukan berarti tanpa perlawanan. Di beberapa negara mayoritas Islam seperti Iran, Irak, Malaysia, Libya dan juga di Indonesia mulai bangkit orang-orang yang menentang kesombongan AS. Demikian juga di negara-negara sisa komunis seperti Kuba, RRC dan Korea Utara. Kampanye anti Amerika juga dilancarkan oleh sejumlah LSM di berbagai negara. Dari sini, tampak jelas bahwa persaingan ideologi telah melahirkan suatu konflik yang berkepanjangan, apalagi setiap pengemban ideologi akan berusaha untuk mempertahankan dan menyebarkan ideologinya ke seluruh penjuru dunia. Selain kedua ideologi tersebut, masih ada sebuah ideologi lagi yang pernah menguasai dunia, yaitu ideologi Islam. Sebagai sebuah ideologi, Islam pernah jaya selama belasan abad sejak masa Rasulullah SAW hingga keruntuhan Daulah Khilafah Turki Utsmani th 1924. Sejak runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani hingga awal abad kedua puluh satu ini, ideologi Islam tidak pernah lagi diterapkan secara kaffah. Bahkan umat Islam sendiri banyak yang tidak mengetahui bahwa agamanya adalah sebuah ideologi yang mampu menyelesaikan segala permasalahan hidup, bahkan mengungguli kedua ideologi yang lain. Definisi Mabda’ (Ideologi) Muhammad Ismail dalam bukunya Al Fikru Al Islamiy, menyatakan bahwa idelogi (mabda‘) merupakan ‗aqidah „aqliyyah yanbatsiqu „anha an nizham. Artinya; ‗aqidah ‗aqliyyah yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan (nizham). Menurut definisi ini, nampak bahwa sesuatu disebut ideologi bila memiliki dua syarat, yaitu memiliki ‗aqidah ‘aqliyyah sebagai fikroh (ide) dan memiliki sistem (aturan) sebagai thariqah (metode penerapan). Bila tidak memiliki kedua hal tersebut, maka tidak bisa dikatakan sebagai ideologi. Taqiyuddin An Nabhani, dalam kitab Nizham Al Islam menjelaskan bahwa aqidah merupakan pemikiran yang menyeluruh tentang kehidupan dunia, kehidupan sebelum dunia, setelah dunia dan bagaimana hubungan antara dunia dengan kehidupan sesudah dunia. Sedangkan sistem aturan adalah mencakup berbagai pemecahan terhadap berbagai problema kehidupan (baik pribadi, keluarga, maupun negara; menyakut persoalan ibadah, akhlak, sosial, politik, ekonomi, dan budaya). Selain itu juga harus mencakup metode untuk menerapkan berbagai pemecahan tersebut, metode untuk memelihara ‗aqidah, dan metode untuk menyebarkan aqidah tersebut. Dengan demikian, ‗aqidah „aqliyyah dan bagaimana cara pemecahan problem manusia disebut dengan ide/fikrah. Sedangkan tentang bagaimana penerapan berbagai pemecahan tersebut, bagaimana pemeliharaan ide/fikroh, dan cara untuk menyebarkan ide/fikroh tersebut disebut thariqah (metode operasional untuk menerapkan aqidah tersebut). Dengan demikian suatu ideologi bukan hanya bersifat ide-ide teoritis tanpa adanya realitas pelaksanaannya (seperti filsafat-peny) namun mesti ada metode (cara operasional) yang jelas tentang bagaimana penerapannya dalam masyarakat. Dari penjelasan di atas nampak bahwa Islam mempunyai keunikan sendiri dibanding dengan agama-agama lain di dunia. Dari segi wilayah ajarannya, Islam tidak hanya mengatur hal yang bersifat aqidah seperti keimanan kepada Allah, Malaikat, Rasul, kitab, hari kiamat, serta qadla dan qadar yang baik dan buruk semata dari Allah SWT. Namun Islam juga mengatur masalah sistem atau dalam istilah lain disebut nizham atau syari‟ah. Sistem (nizham atau syari‟ah) ini berbicara bagaimana Islam mengatur seluruh masalah manusia. Dengan demikian akan nampak kesempurnaan Islam sebagai sebuah agama dan juga ideologi. Kesempurnaan Islam tersebut secara tegas disebutkan dalam Al Qur‘an Al Karim sebagaimana firman Allah SWT: “Dan kami turunkan kepada kamu kitab ini untuk menerangkan semua perkara.” (QS An Nahl: 89) juga firman-Nya: “Hari ini telah Aku sempurnakan agama kamu dan telah Aku cukupkan nikmatKu untukmu, serta Aku ridlai Islam sebagai agama bagimu.”(QS Al Maidah: 3)
  • 11. Dari nash tersebut, jelas bahwa Islam telah sempurna sehingga pastilah tidak ada satu hal pun yang tidak diatur oleh Islam. Dari masalah yang sangat sederhana seperti memindahkan duri dari tengah jalan sampai masalah yang sangat kompleks seperti pemerintahan, Islam mengaturnya. Namun demikian, penjelasan yang menerangkan segala urusan tersebut secara umumnya dinyatakan dalam bentuk amarat (tanda-tanda umum) serta tanda-tanda yang perlu penggalian hukum untuk menguraikannya. Orang yang bertugas untuk menggali hukum-hukum tersebut dan menyampaikannya kepada umat haruslah seorang mujtahid. Agar hasil ijtihad dari mujtahid itu benar maka syarat-syarat ijtihad seperti pendalaman bahasa Arab, ilmu hadits, ilmu Al Qur‘an, dan tsaqofah Islam yang lainnya mutlak diperlukan bagi seorang mujtahid. Adanya mujtahid untuk melakukan ijtihad merupakan fardlu kifayah. Sehingga, tidak boleh dalam suatu kurun waktu tidak ada orang yang melakukan ijtihad untuk disampaikan kepada umat. Dari uraian di atas nampak bahwa syari‘at Islam adalah syari‘at yang lengkap yang mengatur seluruh urusan manusia seperti ibadah, ekonomi, sosial, politik, pemerintahan, pendidikan dan yang lainnya. Namun semua hukum-hukum Islam tersebut hanya akan sempurna dilaksanakan umat Islam tatkala segala perangkat yang melaksanakannya ada. Dalam hal ini adanya Daulah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bila sekarang tidak ada sistem tersebut maka kewajiban kaum musliminlah untuk mengadakan sistem tersebut sehingga segala hukum-hukum Islam dapat diterapkan dengan sempurna. Sebab bagi orang yang beriman, Allah SWT telah memerintahkan untuk masuk ke dalam Islam secara keseluruhan dan tidak boleh melaksanakannya sebagian-sebagian. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah)….” (QS Al Baqarah: 208 ) Adanya dakwaan Islam bukan ideologi dan pandangan hidup yang berkembang dalam masyarakat adalah karena akibat pemahaman umat yang keliru akan Islam. Atau juga akibat kebodohan umat Islam, sehingga mereka kurang bisa melihat realitas sejarah. Mereka akhirnya memandang Islam sama dengan agama-agama lain di dunia. Padahal agama-agama tersebut tidak memiliki konsep politik yang mengatur masalah kehidupan. Maka tatkala umat keliru dalam memahami Islam tersebut maka umat pun akan keliru dalam menerapkan Islam dalam masyarakat. Demikian juga ketika ada masalah yang muncul dalam masyarakat dan karena tidak ada yang sanggup berijtihad sehingga masalah tersebut tidak bisa dipecahkan, maka umat pun memandang Islam tidak lengkap. Akhirnya mereka beralih kepada ideologi selain Islam untuk pemecahan masalah tersebut. Mereka pun akhirnya mencampur adukkan Islam dengan ideologi lain seperti demokrasi Islam dan sosialisme Islam. Aqidah Islam sesungguhnya telah memerintahkan setiap individu untuk menyembah hanya kepada Allah semata (QS Adz Dzariyat: 56). Penyembahan tersebut harus dilakukan secara keseluruhan dan dilaksanakan sebagaimana yang telah diperintahkan dan dicontohkan Rasulullah SAW. Penyembahan itu pula tidak hanya ditunjukkan pada satu bentuk saja semisal akhlak (tingkah laku), namun juga ditujukan pada semua aspek kehidupan, semua urusan masyarakat dan pemerintahan. Secara umum sistem Islam mengatur setidaknya tiga hal. Pertama, hukum-hukum yang berkenaan dengan individu dan Al Khaliq, yakni Allah SWT (hablum minallah) seperti ibadah yang meliputi shalat, puasa, zakat, haji dan jihad. Kedua, mengatur hubungan satu individu dengan dirinya sendiri (hablum minannafsi) seperti hukum berpakaian, makan, minum, dan termasuk diantaranya akhlak. Ketiga, mengatur hubungan individu dengan individu yang lainnya dalam masyarakat (hablum minannasi) seperti urusan niaga, pendidikan, sosial, pemerintahan , politik dan hukum-hukum yang lainnya. Bila semua hubungan itu diatur merujuk pada sistem Islam, artinya orang Islam telah melaksanakan kehidupan berdasarkan aqidah Islam yang benar (ideologi Islam). Selain itu akan nampaklah bahwa memang Islam lebih unggul dibanding agama atau ideologi yang lainnya. Realitas sejarah telah menunjukkan bagaimana tingginya peradaban Islam dibanding peradaban yang lainnya saat itu. Umat Islam kala itu pun pantas disebut umat terbaik sebagaimana tercantum dalam Al Qur‘an surat Ali Imran ayat 110. Secara umum kita mengenal tiga ideologi besar dunia. Mereka adalah Kapitalis/Liberalisme, Sosialisme dan Islam. Kapitalisme dan Sosialisme sampai saat ini masih diemban oleh beberapa Negara dan beberapa LSM. Sedangkan untuk Islam sampai saat ini masih diemban oleh individu/partai dan belum diemban oleh Negara sejak runtuhnya Daulah Khilafah Turki Utsmani pada 3 Maret 1924. Namun demikian Insya Allah Daulah Khilafah Islamiyah yang akan kembali melanjutkan Islam akan segera berdiri. Sejak kelahirannya, setiap ideologi mempunyai kekhasannya masing-masing, baik dari ide ataupun dari metode operasionalnya. Tentang perbandingan ketiga ideologi ini secara garis
  • 12. besar bisa dilihat pada tabel-tabel dibawah ini. Perbandingan Ketiga Mabda‘ Dunia No Perihal Islam Kapitalisme Sosialisme-Komunisme 1 Sumber Wahyu Allah SWT kepada Rasulullah SAW Buatan akal manusia yang memang terbatas Buatan akal manusia yang memang terbatas 2 Dasar qiyadah fikriyah La ilaha illallah; menyatukan antara hukum Allah SWT dengan kehidupan Sekularisme; memisahkan agama dari kehidupan masyarakat dan negara Materialisme dan evolusi, menolak keberadaan agama 3 Kesesuaian dengan fitrah (dalam hal ini adanya manusia yang lemah dan perlu pencipta yang Maha Mengatur) Sesuai. Islam menetapkan manusia itu lemah. Oleh sebab itu, segala aturan apa pun harus berasal dari Allah SWT lewat wahyu-Nya. Tidak sesuai. Sebab, disatu sisi mengakui keberadaan ‘Tuhan’ namun pada saat yang sama manusialah yang dianggap layak dan tidak punya kekurangan untuk menetapkan aturan. Tidak sesuai. Sebab tidak percaya adanya Pencipta. Manusia dianggap pusat segalanya. 4 Pembuat Hukum dan Aturan Allah SWT lewat wahyu-Nya. Akal manusia berfungsi menggali fakta dan mamahami hukum dari wahyu. Manusia Manusia 5 Fokus Individu merupakan salah satu anggota masyakat. Individu diperhatikan demi kebaikan masyarakat, dan masyarakat diperhatikan untuk kebaikan individu Individu di atas segalanya. Masyarakat adalah kumpulan individu individu saja. Negara di atas segalanya. Individu merupakan salah satu gigi roda dalam roda masyarakat yang berupa sumber daya alam, manusia, barang produksi dan lain-lain. 6 Ikatan perbuatan Seluruh perbuatan terikan dengan hukum syara’. Perbuatan baru bebas dilakukan bila sesuai dengan hukum syara’ Serba bebas (liberalisme) dalam masalah ‘aqidah, pendapat, pemilikan dan kebebasan pribadi Tidak ada kebebasan dalam ‘aqidah dan pemilikan. Dalam perbuatan bebas 7. Tujuan tertinggi yang hendak dicapai Ditetapkan oleh Allah SWT seperti telah dibahas Ditetapkan manusia sesuai kondisi Ditetapkan manusia sesuai kondisi 8. Tolok ukur kebahagiaan Mencapai ridla Allah SWT yang terletak dalam ketaatannya dalam setiap Meraih sebanyak– banyak materi (berupa pangkat, kedudukan, pujian Meraih sebanyak– banyak materi (berupa pangkat, kedudukan, pujian dll.) perbuatan dll.) 9. Kebebasan pribadi dalam berbuat Distandarisasi oleh hukum syara’. Bila sesuai bebas dilakukan, bila tidak maka tidak boleh dilakukan Mendewakan kebebasan pribadi demi meraih kebahagiaan yang mereka definisikan Mendewakan kebebasan pribadi demi meraih kebahagiaan yang mereka definisikan 10 . Pandangan terhadap masyarakat Masyarakat merupakan kumpulan individu yang memiliiki perasaan dan pemikiran yang satu serta diatur oleh hukum yang sama. Masyarakat merupakan kumpulan individu-individu. Masyarakat merupakan kumpulan dan kesatuan manusia, alam dan interaksinya dengan alam 11 . Dasar Perekonomian Setiap orang bebas menjalankan perekonomian dengan membatasi sebab pemilikan dan jenis pemiliknya. Sedangkan jumlah kekayaan yang boleh dimiliki tidak dibatasi. Ekonomi berada di tangan para pemilik modal. Setiap orang bebas menempuh cara apa saja. Tidak dikenal sebab-sebab pemilikan. Jumlahnya pun bebas dimiliki tanpa batasan. Ekonomi di tangan negara. Tidak ada sebab pemilikan, semua orang boleh mencari kekayaan dengan cara apa pun. Namun jumlah kekayaan yang boleh dimiliki dibatasi. 12 . Kemunculan sistem aturan Allah telah menjadikan bagi manusia sistem aturan untuk dijalankan dalam kehidupan yang diturunkan pada nabi Muhammad SAW . Manusia hanya memahami permasalahan, lalu menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunah. Manusia membuat hukum bagi dirinya berdasar fakta yang dilihatnya Sistem aturan diambil dari alat-alat produksi 13 . Tolok ukur Halal - haram Manfaat kekinian Tolok ukur materi 14 Penerapan hukum Atas dasar ketaqwaan individu, kontrol masyarakat dan penerapan dari masyarakat Terserah individu Tangan besi dari negara
  • 13. BAB III Dakwah dan Perubahan Sosial “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan ummat (kelompok) yang mengajak kepada kebajikan (Islam), memerintahkan kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104) Islam adalah agama yang sangat memperhatikan hubungan manusia dengan manusia lainnya. Sehingga individu dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Tidak ada satu pun agama atau ideologi lain yang memiliki aturan semacam itu apalagi menandinginya. Rasulullah SAW telah menjelaskan hubungan individu dengan masyarakat ini melalui sabdanya: “Perumpamaan orang yang menjaga dan menerapkan batas (peraturan) Allah adalah laksana kelompok penumpang kapal yang mengundi tempat duduk mereka. Sebagian mereka mendapat tempat di bagian atas, dan sebagian lain di bagian bawah, jika mereka membutuhkan air, maka harus berjalan melewati bagian atas kapal. Maka merekapun berujar, “bagaimana jika kami lobangi saja bagian bawah kapal ini (untuk mendapatkan air), toh hal itu tidak menyakiti orang yang berada di bagian atas.” Jika kalian biarkan mereka berbuat menuruti keinginan mereka itu, maka binasalah mereka, dan seluruh penumpang kapal itu. Tetapi jika kalian cegah mereka, maka selamatlah mereka dan seluruh penumpang yang lain.” (HR Bukhari) Beliau juga menjelaskan bagaimana keterpaduan individu dan masyarakat, dimana individu berbuat untuk kemaslahatan masyarakat dan masyarakat berbuat untuk menjaga individu. Sabda Beliau SAW: “Perumpamaan orang-orang muslim, bagaimana kasih sayang dan tolong menolong terjalin antar mereka, adalah laksana satu tubuh. Jika satu bagian merintih merasakan sakit, maka seluruh bagian tubuh akan bereaksi membantunya, dengan berjaga (tidak tidur) dan bereaksi meningkatkan panas badan (demam).” (HR Muslim) Oleh karena itu Islam mewajibkan setiap pemeluknya untuk bertanggung jawab terhadap saudaranya dan segenap umat manusia pada setiap waktu dan keadaan. Sama sekali tidak ada tempat bagi orang yang egois atau individualis. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang bangun pagi hari dan ia hanya memperhatikan masalah dunianya, maka orang tersebut tidak berguna apa-apa disisi Allah; dan barangsiapa yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka.” (HR Thabrani dari Abu Dzar Al Ghifari) Apabila secara jernih kita melihat kondisi kaum muslimin di seluruh dunia saat ini, maka akan kita dapati ternyata setelah Daulah Khilafah runtuh pada tahun 1924 kaum muslimin berada dalam keterpurukan di berbagai bidang kehidupan. Mulai dari terpecah belahnya kaum muslimin oleh sekat-sekat nasionalisme, terancamnya aqidah kaum muslimin oleh serangan misionaris agama kristen, diterapkannya sistem demokrasi kufur di kancah kehidupan, pola hidup barat yang sudah mengakar di negeri-negeri kaum muslimin, sehingga tidak ada satupun negeri kaum muslimin yang menerapkan Islam sebagai sebuah Ideologi. Semua ini berpangkal pada rendahnya taraf berpikir kaum muslimin yang teramat parah. Problematika Umat Islam Kekinian Kondisi umat Islam kekinian masih diliputi derita. Imperialisme, kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan dan sederet permasalahan lainnya belum juga terselesaikan. Di negeri Indonesia ini saja misalnya, sebagai negeri yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, krisis multidimensi yang sejak beberapa tahun ke belakang melanda kita nampaknya masih akan terus dirasakan. Bagaikan benang kusut, berbagai masalah itu membelit, sehingga tidak dapat diketahui mana ujung pangkalnya, dan mana yang lebih dahulu harus diuraikan dan diselesaikan, karena lilitan masalah itu terjadi hampir di semua segi kehidupan. Begitu juga yang dirasakan oleh umat Islam di Asia Tengah seperti Chechnya, di Eropa seperti Albania dan Bosnia Herzegovina, Sudan (Afrika), Iraq, Afghanistan dan Palestina (Asia Barat), Malaysia, Pattani, dan Filipina (Asia Tenggara), Bangladesh, Pakistan dan India (Asia Selatan), serta negeri-negeri Islam yang lain yang tengah mengalami kondisi yang tak jauh berbeda. Jika kita amati, negeri-negeri Islam saat ini tidak memiliki kedaulatan penuh untuk menentukan kehidupan mereka. Intervensi negara-negara adikuasa terutama Amerika Serikat sangat kental dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh para penguasa negeri-negeri tersebut. Imperialime klasik berbentuk penjajahan fisik memang tidak lagi populer, tetapi sesungguhnya umat Islam masih menjadi obyek imperalisme gaya baru – yang lebih halus dan mematikan – berupa penjajahan politis dan dominasi ekonomi melalui PBB, IMF, WTO dan berbagai lembaga internasional lainnya. Secara ekonomi, kebanyakan negeri-negeri kaum muslimin tergolong sebagai negara miskin. Kenyataan ini sebenarnya sangat mengherankan. Sebab negara-negara yang bergelimang dengan kemiskinan dan penderitaan itu sebenaranya adalah negara-negara yang sumber daya alamnya sangat melimpah. Indonesia, misalnya, negara yang sangat terkenal dengan kesuburannnya, dan berbagai tambang minyak, emas, tembaga, batu bara, dsb. yang bertebaran di berbagai wilayahnya, justru mengemis-ngemis kepada IMF, negara-negara donor, dan investor asing. Itu terjadi karena di samping buruknya pengelolaan kekayaan
  • 14. tersebut, meluasnya paktek-praktek korupsi, kolusi, dan suap yang dilakukan atau melibatkan penguasa setempat, juga akibat dieksploitasi dan dikeruk oleh negara-negara adidaya. Tambang emas di Irian jaya, misalnya, setiap hari diangkut ke Amerika dan Kanada melalui Freeport. Minyak di negara-negara Teluk tandas disedot melalui politik perdagangan yang culas dan curang. Beberapa permasalahan tersebut hanyalah sebagian kecil dari permasalahan yang kesengsaraannya langsung dirasakan. Pengrusakan terparah yang dilakukan musuh-musuh Islam itu kini justru berfokus pada pengrusakan pemikiran Islam yang ada di kepala kaum muslimin. Pemikiran Islam yang telah membuat kaum muslimin berjaya selama berabad-abad itu telah hilang, dirusak dan diganti dengan pemikiran-pemikiran sesat yang dilancarkan barat yang merusak aqidah dan akhlak kaum muslimin. Tidak lain hal itu sebenarnya merupakan upaya musuh-musuh Islam untuk semakin menancapkan kuku-kukunya di tubuh kaum muslimin. Berbagai pengrusakan itu antara lain: (1). Sekulerisme Sekulerisme merupakan asas dari ideologi imperialis Kapitalisme. Inti ide ini adalah memisahkan agama dari kehidupan sosial-kemasyarakatan. Artinya, agama jangan campur tangan dalam urusan sosial kemasyarakatan. Politik, ekonomi, pendidikan, budaya, hubungan luar negeri, tidak boleh diatur oleh agama secara praktis. Kalaupun agama mau berperan hanya secara moral (etika) yang memang tidak punya pengaruh berarti. Perlu kita ingat, bukan berarti agama tidak diakui dalam sekulerisme ini, tapi agama dimandulkan hanya urusan ritual, moral, dan individual. Sekulerisme juga berarti menolak aqidah Islam dan syariah Islam mengatur masyarakat kita. Padahal, kita menyakini dengan keyakinan yang penuh umat Islam harus tunduk pada seluruh aturan Allah SWT dalam seluruh aspek kehidupannya. Dengan asas sekulerisme ini semua yang berbau syariah Islam akan ditolak. Tidak peduli apakah syariah Islam akan menyelamatkan manusia dan memberikan solusi atau tidak. Sama tidak pedulinya, bahwa aturan yang bukan bersumber dari syariah Islam telah menghancurkan manusia. Akibatnya, dunia diatur oleh Ideologi Kapitalisme dengan asas sekulerisme ini. Dunia diatur oleh para kapitalis yang membuat aturan atas nama rakyat, tapi justru menyengsarakan rakyat. Kemiskinan, konflik, kesengsaraan, ketidak adilan, merupakan buah dari kepemimpinan ideologi Kapitalisme sekarang ini. (2). Liberalisme Liberalisme masih merupakan satu paket dengan ideologi Kapitalisme. Liberalisme sendiri lahir dari masyarakat sakit Eropa di abad kegelapan. Belenggu dominasi raja yang mengatasnamakan Tuhan mengancam perkembangan sains dan teknologi. Rajapun berkolabrasi dengan agamawan palsu untuk menindas rakyat. Solusinya, belenggu ini harus dihilangkan dengan memberikan manusia kebebasan. Melihat dari latar belakangnya jelas tidak sesuai dengan kaum muslim. Dalam Islam, meskipun masyarakatnya terikat pada aturan Allah, ilmu, sains, dan dan teknologi tidak terbelenggu. Bahkan Islam mendorong negara dan masyarakat untuk meningkatkan sains dan teknologi. Bukan hanya itu, Islam juga menyediakan fasilitas pendidikan gratis dan penghargaan terhadap sains dan teknologi yang luar biasa. Sejarah keemasan Islam, saat diatur oleh syariat Islam, penuh dengan ketinggian sains dan teknologi yang sulit dibantah oleh orang-orang yang jujur. Dunia pemikiran (intelektual), meskipun didasarkan pada Islam dan tunduk pada aturan Islam, bukan berarti terbelenggu. Berkembangnya mazhab dan tumbuh suburnya ijtihad merupakan bukti dari perkembangan intelektual yang produktif ini. Karya-karya ulama bertaburan. Perpustakaan dunia Islam dipenuhi dengan berbagai karya ulama yang membahas berbagai persoalan, mulai tafsir, aqidah, fiqh, sampai sains dan teknologi.Aturan Islam yang diterapkan negara pun tidak menimbulkan kediktatoran, malah memberikan kebaikan pada masyarakat dengan pemimpin yang amanah. Liberalisme ini juga berbahaya. Atas dasar kebebasan berpikir, mereka berpendapat sebebas-bebasnya tanpa terikat pada Islam. Termasuk mempersoalkan yang jelas-jelas perkara yang qoth'i yang seharusnya tidak bisa diganggu gugat lagi . Al-Qur'an pun diragukan keabsahannya. Atas nama kebebasan berpendapat pemikiran seseorang tidak boleh dilarang, meskipun pemikiran itu bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam. Kebebasanpun merambah kepada tingkah laku. Homoseksual dan lesbianisme menjadi kenyataan yang harus diterima atas nama kebebasan. Termasuk pernikahan antar homo atau lesbi bisa menjadi legal. Pelacuranpun dibela dan dianggap profesi yang harus dilindungi. Liberalisme yang mengusung kebebasan ini justru akan membawa manusia ke jurang kehinaan. (3). Pluralisme Sebagaimana dua pemikiran sebelumnya, pluralisme merupakan pemikiran yang berasal dari ideologi kapitalisme. Pemikiran ini memandang bahwa masyarakat itu tersusun atas individu-individu, dan masing-masing individu memiliki berbagai macam akidah, kemaslahatan (kepentingan), keturunan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Karena itu sudah semestinya bahwa masyarakat itu majemuk (berbeda-beda), karena masing-masing kelompok memiliki tujuan khusus. Masing-masing kelompok itu memiliki ciri khas yang tidak sama satu dengan yang lain, baik dari sisi kebutuhannya, tujuannya, nilai-nilai yang dimilikinya, bahkan akidah atau ide yang dianutnya. Perbedaan-perbedaan tersebut harus dijaga, karena tidak mungkin dipersatukan. Pandangan ini terkait dengan ide kebebasan individu dalam pemikiran kapitalisme. Pluralisme membolehkan munculnya berbagai partai, gerakan, kelompok, organisasi, bahkan jamaah apapun yang berlandaskan kepada akidah yang kufur, atau berasaskan pada sesuatu yang bertentangan dengan Islam, seperti partai-partai yang berasaskan nasionalisme, kesukuan dan primordialisme. Masyarakat yang pluralis adalah masyarakat yang membolehkan munculnya kelompok-kelompok yang berasaskan pada sesuatu yang haram. Misalnya, dibolehkannya perkumpulan (komunitas) orang-orang homo, lesbian, sex bebas, perkumpulan para pemabuk atau penjudi.
  • 15. Dalam hal agama, pluralisme diekspresikan dalam bentuk dialog antar agama, toleransi umat beragama (seperti yang dipahami Barat dan kalangan orientalis). Lebih berbahaya lagi, pluralisme menafikkan kebenaran yang absolut. Kebenaran menjadi relatif. Implikasinya, tidak satu agamapun yang berhak mengklaim dirinya paling benar. Dengan demikian tidak ada lagi yang membedakan agama yang satu dengan agama yang lain. Muncullah anggapan agama itu pada dasarnya sama. Di bidang politik juga tampak dalam bentuk aliansi (atau koalisi) berbagai kelompok/partai yang berbeda-beda asasnya tetapi sama dalam kepentingan yang bersifat temporer. Itu gambaran tentang pluralisme di dalam masyarakat kapitalis sekular. (4). Terorisme Terorisme menjadi topik paling hangat dibahas media massa di seluruh dunia. Pasca peledakan gedung WTC 11 September 2001, isu terorisme memang telah menjadi isu global. Media massa Barat - yang kemudian diikuti oleh media massa lainnya - mempunyai andil dalam membangun opini bahwa aktivitas terorisme berkaitan dengan perjuangan Islam, yaitu melawan penjajahan AS dan sekutunya di negeri-negeri Muslim, khususnya di Irak dan Afganistan. Aksi terorisme yang sangat kejam itu diopinikan sebagai aktivitas kelompok Islam atau bahkan aktivitas kaum Muslim secara umum dalam merespon penjajahan AS tersebut. Dalam tataran global, aksi terorisme dapat menjadi senjata ampuh Barat pimpinan AS untuk memojokkan Islam. Pasca keruntuhan Komunisme, Islam menjadi ancaman serius bagi Barat. Sebab, faktanya hanya Islamlah saat ini yang memiliki daya tolak yang memadai terhadap sistem Kapitalisme yang diperjuangkan Barat. Sistem ini tidak akan berdaya di hadapan kesempurnaan sistem Islam yang berasal dari Zat Yang Mahaagung. Karena itu, Barat berkepentingan untuk melakukan pencitraan buruk terhadap Islam. Kasus-kasus terorisme semakin mendekatkan hubungan negara-negara di dunia dengan AS dalam agenda bersama memerangi terorisme. Artinya, semakin banyak aksi terorisme maka semakin besar pula peluang AS untuk mendapat kewenangan menjadi pimpinan utama dunia dalam perang melawan terorisme. Target utamanya adalah kaum Muslim yang tidak sejalan dengan agenda global Kapitalisme-sekular. Ada proses sistematis yang berupaya menjelmakan Islam menjadi musuh bersama (common enemy) dunia. Realitanya, isu perang melawan terorisme telah menjadi senjata pamungkas bagi Barat pimpinan AS untuk melumpuhkan kebangkitan Islam. Secara lebih spesifik, isu itu digunakan untuk menggiring publik dunia pada suatu perang global terhadap kaum Muslim yang memperjuangkan tegaknya syariah dan Khilafah. Mereka memahami bahwa perjuangan penegakan syariah tersebut secara nyata telah mengancam hegemoni sistem Kapitalisme yang mencengkeram dunia saat ini. (5). Nasionalisme Pasca keruntuhan kekhilafahan Islam terakhir yang berpusat di Istambul Turki 1924, dunia Islam memang tidak lagi menjadi kekuatan politik yang disegani. Wilayahnya yang luas telah terkotak-kotak menjadi lebih dari lima puluh negara dan terkerat-kerat oleh ikatan nasionalisme. Ikatan nasionalisme inilah yang menggantikan ikatan kukuh yang berupa aqidah dan persaudaraan Islam yang selama ini mereka miliki. Dengan ikatan rapuh berupa hubungan ketetanggaan, persahabatan dan kepentingan bersama itu mereka bekerjasama. Ikatan ini pula yang menjadikan mereka bersikap individualistik ketika negeri muslim lain mendapat persoalan dan membutuhkan bantuan dengan alasan masalah dalam negeri negara lain. Sangat jelas fakta dalam benak kita bagaimana Palestina yang merupakan jantung umat Islam hingga saat ini masih dikuasai Yahudi, sedangkan 1,2 milyar kaum muslimin tidak mampu melakukan tindakan yang berarti. Jangankan untuk menentang nasionalisme, banyak orang Islam sendiri yang justru melanggengkan nasionalisme dengan melandaskannya pada: “Cinta tanah air sebagian dari iman.” Padahal kalimat yang dianggap sebagai hadits tersebut hanyalah sebuah propaganda untuk memecah belah kaum muslimin. Selain itu kalimat tersebut bertentangan dengan sabda Rasulullah, yaitu : “Bukanlah golonganku orang yang menyeru kepada ashobiyah, bukanlah golonganku orang yang berjuang untuk ashobiyah dan bukan golonganku orang yang mati dalam memperjuangkan ashobiyah.” (HR Muslim) Ashobiyah yang dimaksud adalah perasaan fanatisme golongan termasuk ke dalamnya kesukuan dan nasionalisme. Ashobiyah inilah yang telah memecah belah kaum muslimin. (6). HAM dan Demokrasi Di sisi aqidah, kaum muslimin juga banyak terpesona oleh ide-ide yang bertentangan dengan Islam. Tanpa ragu ide-ide demokrasi dan HAM dianut dan diperjuangkan sebagai pemecah berbagai problematika hidup. Padahal ide-ide tersebut justru menjadi sumber masalah di negeri-negeri mereka. Dengan alasan demokrasi dan HAM, kaum muslimin ikut-ikutan memperjuangkan kebebasan bertingkah laku, kebebasan beragama dan kebebasan berpendapat. Dari ide-ide ini munculah derivatnya berupa ide permisivisme (keserbabolehan),. termasuk memperbolehkan bertingkah laku apa saja asalkan tidak mengganggu orang lain. Akhirnya judi, minuman keras, pergaulan bebas dan freesex muncul di mana-mana dengan alasan hal itu tidak mengganggu orang lain. Akhirnya muncu bencana baru berupa AIDS yang hingga saat ini belum ditemukan obatnya. (7). Pengrusakan Martabat Wanita Di barat, wanita bukanlah seorang sosok yang berperan sangat mulia untuk mendidik generasi mendatang yang berkualitas. Mereka mengganggap wanita sebagai sebuah barang dan bisa jadi sebuah komoditi yang bisa dirasakan oleh siapa saja. Aurat wanita diumbar di mana-mana. Media massa tidak henti-hentinya menayangkan gambar wanita telanjang maupun ―sedikit tidak telanjang‖ untuk melariskan dagangan. Model wanita karier berkembang dimana-mana. Kuno dan haram sepertinya ketika harus memakan gaji suami. Sehingga akhirnya tugasnya yang mulia sebagai pendidik generasi masa depan yang berkualitas ditinggalkan. Al Qadliyyah al Mashiriyyah Melihat begitu banyaknya permasalahan yang terjadi hampir pada semua aspek kehidupan, umat Islam harus mengetahui dan membatasi masalah utamanya. Masalah utama (al qadliyyah al mashiriyyah) ini adalah masalah yang sangat mendesak dan harus didahulukan penyelesaiannya sebelum masalah lainnya. Dengan mengetahui dan membatasi masalah utama tersebut, akan memudahkan umat Islam dalam menentukan arah perjuangannya. Seluruh potensi dan kekuatan umat pun harus dikerahkan menyelesaikan
  • 16. masalah utama tersebut. Tanpa memahami dan membatasi masalah tersebut, maka arah perjuangan umat pasti tidak akan terarah dan berakhir dengan kesia-siaan. Dengan membatasi masalah utama umat Islam ini pula, maka menjadi jelaslah tujuan yang diupayakan oleh seluruh pengemban dakwah Islam, baik dalam bentuk kutlah-kutlah (kelompok dakwah), jama‘ah-jama‘ah, atau pun partai-partai politik (al hizbu as siyaasi). Setelah melakukan pengkajian secara mendalam terhadap Islam dan kondisi umat Islam saat ini, maka dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya al qadliyyah al mashiriyyah umat Islam saat ini adalah bagaimana memberlakukan kembali hukum yang diturunkan Allah SWT secara totalitas. Caranya, dengan menegakkan kembali sistem Khilafah Islamiyyah dan mengangkat seorang khalifah yang dibaiat atas dasar Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Dialah yang akan mengusir negara kafir imperialis dari negeri-negeri muslim, menggusur perundang- undangan kufur untuk kemudian menggantinya dan merealisasikan hukum-hukum Islam, menyatukan negeri-negeri Islam di dalam naungan khilafah, serta mengemban risalah Islam ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad. Minimal ada dua alasan mengapa berlakunya hukum-hukum Islam dalam kehidupan individu, masyarakat, dan negara ini dapat dikategorikan sebagai al qadliyyah al mashiriyyah bagi umat Islam. Pertama, Allah SWT telah mewajibkan umat Islam untuk menerapkan Islam secara totalitas. Dan hal itu hanya bisa dilakukan dengan tegaknya Daulah Khilafah Islamiyyah. Ada pun dasar pemikiran tentang wajibnya memberlakukan hukum-hukum Islam dan menegakkan daulah adalah sebagai berikut: Beriman terhadap keberadaan Allah SWT, tidak cukup hanya mengimani-Nya sebagai satu-satunya Dzat yang menciptakan alam semesta dan isinya, tetapi juga mengimaninya sebagai Rabb dan Ilaah yang wajib ditaati semua perintah dan larangan-Nya. Allah SWT telah menciptakan manusia semata-mata untuk beribadah kepada-Nya (Ad Dzariyaat: 56). Dan untuk itu, Allah SWT menurunkan dien yang mewajibkan seluruh manusia untuk menjalankannya. Terakhir, Allah menurunkan Islam sebagai risalah penutup semua risalah yang dibawa oleh para nabi sebelumnya. Keberadaan risalah yang dibawa Rasulullah SAW tersebut menghapus berlakunya risalah sebelumnya. Risalah Islam ini diperuntukkan kepada seluruh manusia tanpa terkecuali (QS. Saba’ :28). Sehingga, sejak diturunkannya Islam ke dunia, seluruh manusia wajib mengikatkan dirinya dengan syariat Islam, menerapkan, dan memberlakukan hukum-hukumnya. Kewajiban ini tercantum dalam nash-nash syara‘, baik dalam Al Qur‘an maupun Sunnah Rasulullah SAW. Di antaranya adalah firman Allah SWT ; Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah" (QS. AL Hasyr: 7) Dalalah (penunjukan) ayat ini bersifat qath‟iy dalalah (pasti penunjukkannya), yakni menunjukkan kewajiban terikat dengan hukum-hukum syara‘. Allah memerintahkan kaum muslimin agar melaksanakan apa-apa yang dibawa atau diperintahkan Rasulullah, baik yang berupa perintah wajib, sunnah, maupun mubah, serta mengharuskan mereka meninggalkan segala yang dilarang, baik yang haram maupun yang makruh. Dan Allah juga memerintahkan untuk mencegah apa yang dilarang bagi mereka. Maka seluruh manusia wajib terikat dengan setiap seruan yang dibawa Rasulullah. Sedangkan perintah dalam ayat tersebut menunjukkan wajib apabila dikaitkan dengan qarinah (indikasi) ayat lainnya. Seperti, firman Allah SWT: "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih" (An Nur: 63). Pada ayat ini, Allah SWT memberikan ancaman kepada siapa saja yang menyimpang dari perintah Rasulullah akan diberikan iqaab (sanksi) berupa ditimpakannya fitnah atau adzab yang pedih di akhirat. Ini menunjukkan bahwa mentaati syariat yang dibawa Rasulullah (Islam) itu bersifat jazim (tegas/pasti), yakni memberikan implikasi hukum wajib. Dengan demikian lafadz dan pada QS Al Hasyr : 7 itu bersifat wajib. Indikasi lain yang menunjukkan bahwa wajib bagi setiap muslim untuk mengambil hukum syara‘ dan terikat dengannya adalah firman Allah SWT: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" ( An Nisa 65) Ayat ini menafikan (meniadakan) iman seseorang yang tidak merujuk kepada Rasulullah SAW atau hukum syara‘. Sebab bertahkim kepada Rasulullah berarti juga bertahkim kepada hukum syara‘. Pengertian tersebut bisa disimpulkan demikian karena Rasulullah SAW tidak memutuskan hukum apapun berdasarkan undang-undang yang berlaku menurut adat dan kebiasaan masyarakat, ataupun mitos nenek moyang mereka. Akan tetapi Rasulullah SAW diperintahkan untuk mengadili dan memutuskan mereka dengan hukum syara‘ semata yang berasal dari Allah SWT, seperti yang ditegaskan dalam firman-Nya: "Dan handaklah kamu memutuskan hukum di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah dengan tipu daya mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang diturunkan Allah SWT kepadamu" (QS Al Maidah: 49). Disamping itu, Allah SWT telah mengkaitkan perintah-Nya untuk menjadikan Rasulullah SAW sebagai hakim dengan ada atau tidaknya iman. Juga, diwajibkan atas mereka untuk menerima keputusan Rasulullah SAW tersebut dengan rela dan tunduk, serta tidak boleh ada sedikit pun ada keberatan dalam dirinya. Allah SWT mengancam bagi orang-orang yang mengambil hukum selain hukum syara‘ sebagaimana firman-Nya: "Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut padahal mereka telah diperintahkan mengingkari thaghut itu. Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan sejauh-jauhnya" (An Nisa: 60). Pengakuan bahwa mereka telah beriman kepada Al Qur‘an, mengharuskan mereka untuk bertahkim kepada hukum Al Qur‘an itu. Apabila ia justru menginginkan untuk bertahkim kepada hukum yang tidak bersumber dari Al Qur‘an (hukum thaghut), padahal ia diperintahkan untuk mengkufurinya, maka jelas itu bertentangan dengan pengakuan orang tersebut bahwa ia telah beriman. Oleh karena itu, iman seseorang kepada Islam mewajibkan ia bertahkim kepadanya. Dengan demikian, seorang muslim harus terikat dengan hukum- hukum Islam. Apabila ia tidak terikat, berarti ia telah menempuh jalan kekufuran. Bahkan pada hakikatnya ia tidak beriman kepada ajaran Islam. Syara‘ juga telah menegaskan hal ini secara jelas dan terang-terangan terhadap para penguasa dan qadli/hakim. Merekalah pihak yang termasuk ke dalam jajaran para pelaksana hukum syara‘. Mereka dilarang menjalankan hukum thaghut (selain hukum Allah SWT). Jika mereka tetap menjalankan hukum thaghut, maka mereka termasuk orang-orang kafir, dzalim,
  • 17. dan fasik. Mereka dianggap kafir secara pasti apabila meyakini bahwa hukum Islam tidak relevan lagi untuk memecahkan problematika manusia di abad sekarang, justru meyakini bahwa selain Islam, semisal sosialisme atau kapitalisme, lebih handal dan mampu memecahkan problematika hidup. Allah SWT berfirman: "Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturnkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir" (Al Maidah: 44). Tetapi jika mereka masih meyakini bahwa hukum Islam itu mampu memecahkan segala problema kehidupan, tetapi ia taat pada hukum-hukum selain Islam karena alasan takut terhadap penguasa atau tekanan negara-negara besar atau ada keyakinan bahwa mereka tidak mampu menerapkan hukum Islam, maka mereka termasuk orang-orang yang dzalim dan fasik, sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur‘an surat Al Maidah 45 dan 47. Sebab, ia telah mengerjakan sesuatu yang diharamkan. "Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim (Al Maidah 45). "Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturnkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang fasik " (Al Maidah: 47). Ada pun negeri-negeri Islam --sebuah kondisi yang amat disayangkan--semuanya memberlakukan perundang-undangan dan hukum kufur, kecuali hanya sebagian saja hukum- hukum Islam, seperti hukum nikah, talak, rujuk, cara memberi nafkah, waris, perwalian, atau pun sengketa tentang anak. Hanya hukum-hukum semacam inilah yang mereka serahkan pelaksanaannya kepada pengadilan khusus, yang diberi istilah sebagai pengadilan agama. Jika ini yang terjadi, maka jelaslah masalah utama (al qadliyyah al mashiriyyah) umat Islam sejak runtuhnya daulah khilafah Islamiyyah di Turki adalah kembali diterapkannya Islam dalam bernegara dan bermasyarakat, yaitu dengan jalan menegakkan kembali sistem khilafah dan membaiat seorang khalifah yang akan memberlakukan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, menyatukan negeri-negeri Islam menjadi satu negara, dan mengemban risalah Islam keseluruh dunia. Mengapa masalah tersebut dianggap sebagai masalah utama? Karena syara‘ telah mewajibkan seluruh kaum muslimin untuk mengamalkan hukum-hukum Islam secara totalitas dan direalisasikan secara nyata dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bahkan Islam telah menjadikan ketentuan sikap terhadap masalah utama ini sebagai masalah antara hidup dan mati. Hadits yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit ra dan hadits Auf bin Malik di atas menunjukkan bahwa kaum muslimin harus menggusur bahkan memerangi para penguasa dalam daulah Islamiyyah yang menghentikan penerapan hukum Islam, dan justru memberlakukan hukum-hukum kufur. Rasulullah SAW juga menegaskan betapa pentingnya keberadaan khilafah bagi kaum muslimin. Siapa saja di antara mereka yang mati sedangkan khilafah tidak tegak, mereka diancam dengan ancaman yang sangat menakutkan, yakni mati jahiliyyah. Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menemui Allah di hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barang siapa yang mati sementara di lehernya tidak ada baiat (kepada khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyyah (HR Muslim). Kewajiban mendirikan khilafah tidak sebagaimana kewajiban-kewajiban lainnya. Sebab, lenyapnya daulah Islamiyyah berarti terlantarnya lebih dari tiga per empat syariat Islam. Hukum-hukum Islam yang mengatur persoalan pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, hubungan luar negeri, jihad, hudud, jinayat, ta‘zir, mukholafat, dan sebagainya tidak bisa diterapkan. Alasan kedua mengapa mendirikan khilafah Islamiyyah yang menerapkan hukum- hukum Islam itu menjadi masalah utama --disamping kewajiban tegaknya khilafah yang harus segera didirikan-- adalah karena sebenarnya berbagai problematika lainnya yang sekarang menghimpit kaum muslimin adalah akibat lenyapnya Daulah Khilafah Islamiyyah. Tiadanya Daulah Khilafah Islamiyyah telah mengakibatkan bercokolnya pemikiran dan hadlarah (peradaban), akhlak, dan gaya hidup Barat di benak putra-putri kaum muslimin. Aqidah Islam yang merupakan satu-satunya aqidah yang shahih justru ditanggalkan oleh sebagian besar putra-putri kaum muslimin, dan diganti dengan aqidah sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan dan ide-ide turunannya yang mendatang malapetaka bagi manusia. Tiadanya khilafah yang memimpin kaum muslimin secara keseluruhan telah mengakibatkan terpecah belahnya kaum muslimin menjadi lebih dari 50 negara dan terbukti telah menimbulkan banyak persoalan. Lebarnya jurang kemiskinan dan kekayaan yang terjadi di dunia Islam adalah akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme, Demikian pula kemiskinan yang di alami kaum muslimin karena mereka dipimpin oleh para pemimpin yang sangat korup, dan membiarkan kekayaan begerinya dijarah dan dikuras oleh para penjajah kafir. Ini juga tidak akan terjadi jika sistem khilafah ada di tengah-tengah umat. Merosotnya moralitas, tingginya angka kriminalitas, dan merebaknya berbagai kemungkaran dan kemaksiatan adalah produk sistem kufur yang melingkupi mereka. Jika ada Daulah Khilafah Islamiyyah maka semua itu akan dicegahnya. Khilafah Islamiyyah akan menghentikannya, membasmi kerusakan yang nampak di tengah-tengah masyarakat, memelihara aqidah, serta yang akan mencegah seluruh penyimpangan aqidah, perusakan aqidah atau menyalahi aqidah. Khilafah juga menghantarkan terciptanya suasana penuh keimanan, akhlak yang mulia di seluruh lapisan masyarakat, melalui media penerangan, pendidikan, serta berbagai lembaga lainnya. Penanganan dan pengaturan Daulah Islamiyah ini tidak akan mengkhawatirkan hanyutnya para pemuda dan pemudi dari propaganda kemungkaran, kerusakan, demoralisasi. Tiadanya khilafah Islamiyyah memberikan kemudahan bagi negara-negara Barat yang kafir untuk mencengkeramkan dominasi mereka terhadap kaum muslimin, merampok kekayaan alamnya, menginjak-injak kehormatannya, bahkan mengusir dan membantai penghuninya. Raulullah SAW bersabda: Sesungguhnya seorang imam (khalifah) adalah perisai. Diperangi orang yang ada di baliknya dan dijadikan pelindung" (HR Muslim). Berbagai problematika yang yang sekarang melilit kaum muslimin Itu tidak akan terjadi jika sistem khilafah masih tegak. Karena Daulah Khilafah Islamiyyah bukan sekadar sistem pemerintahan, tetapi juga berfungsi sebagai al haaris (penjaga) aqidah, al munaffidz (pelaksana) syariah, al muqiim (penegak) agama, al muwahhid (penyatu) barisan kaum muslimin, al haamiy (penjaga) negeri-negeri kaum muslimin, darah, harta, dan cita-cita
  • 18. mereka, serta yang yang akan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia dan memimpin umat dalam berjihad fisabilillah. Wujud Kepedulian dan Tanggungjawab Sungguh tidak cukup hanya dengan mengelus dada atau mengeluarkan air mata, menyaksikan realitas buruk di depan mata. Karena bagaimana mungkin seseorang dapat tegak berdiri di hadapan Allah SWT apabila ditanya tentang keterdiamannya ketika hukum-hukum Allah dicampakkan, ketika Islam tidak dijadikan sebagai pemutus perkara di tengah-tengah kehidupan, ketika Islam terasing di pojok-pojok sempit kehidupan sebatas etika, moral dan spiritual, yang bermuara pada tidak adanya kehidupan yang Islami. Umat membutuhkan orang-orang yang mau dan mampu membawa umat kembali menuju kemuliaan dan ketinggiannya dengan jalan meningkatkan taraf berpikir umat dengan pemikiran Islami. Sehingga bukan mustahil masa kejayaan Islam seperti pada masa Rasulullah SAW, para shahabat, Khulafaur Rasyidin dan para kekhalifahan sesudahnya akan terulang kembali. Sebagaimana firman Allah SWT: ”Dan Allah SWT telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh pasti menjadikan mereka berkuasa di muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa…” (QS An Nur: 55) Juga para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah SAW:“Ya Rasulullah, kota manakah yang akan lebih dahulu ditundukkan, kota Konstantinopel ataukah kota Roma?” Rasulullah SAW menjawab:“Kota Heraklius (Konstantinopel) yang akan ditundukkan terlebih dahulu.” (HR Ahmad dan Ad Darmi) Sejarah mencatat bahwa kota Konstantinopel --sekarang Istambul, Turki -- sudah pernah ditundukkan oleh pasukan kaum muslimin. Sementara, kota Roma belum pernah ditundukkan. Insya Allah, suatu saat terjadi dan kejayaan Islam tinggal menunggu waktunya saja. Oleh sebab itu, orang yang memiliki rasa tanggung jawab dan peduli terhadap diri, keluarga, dan umatnya serta mengharapkan keridhaan Rabbnya, akan berusaha sekuat tenaga melakukan perubahan ke arah Islam. Berkaitan dengan ini Allah SWT mensyariatkan aktivitas --yang dikenal dengan istilah dakwah-- yang merupakan salah satu bagian syariat Islam. Dengan dakwah, Islam bisa kembali tersebar ke seluruh penjuru dunia, dipeluk, dipahami dan diamalkan oleh manusia dari berbagai suku dan bangsa. Dakwah, suatu Kewajiban Dakwah menurut makna bahasa adalah seruan. Sedangkan menurut makna syara‘, dakwah adalah seruan kepada orang lain agar mengambil yang khoir (Islam), melakukan kema‘rufan dan mencegah kemunkaran. Atau juga dapat didefinisikan dengan upaya untuk merubah manusia –baik perasaan, pemikiran, maupun tingkah lakunya-- dari jahiliyah ke Islam, atau dari yang sudah Islam menjadi lebih kuat lagi Islamnya. Terhadap masalah dakwah ini Allah SWT berfirman: “Serulah manusia ke jalan Rabbmu (Allah) dengan jalan hikmah (hujjah) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” (QS An Nahl: 125) “Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lainnya. Mereka menyuruh kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah dan sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS At Taubah: 71) Dari ayat-ayat itu, jelas bahwa dakwah hukumnya wajib karena Allah berjanji akan memberi rahmat kepada orang yang berdakwah. Hal ini merupakan indikasi (qarinah) yang menunjukkan ketegasan perintah tersebut. Demikian pula qarinah yang tegas itu terlihat pada sabda Rasulullah SAW: “Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, sungguh kalian (memiliki dua pilihan, yaitu) benar-benar memerintah berbuat ma‟ruf dan melarang berbuat munkar, ataukah Allah akan mendatangkan siksa dari sisi-Nya yang akan menimpa kalian. Kemudian setelah itu kalian berdo‟a, maka do‟a itu tidak akan dikabulkan.” (HR Tirmidzi)
  • 19. ―Barangsiapa diantara kalian yang melihat kemunkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, dan apabila ia tidak mampu, maka hendaklah ia merubahnya dengan lisannya, dan apabila ia tidak mampu, maka hendaklah merubahnya dengan hatinya. Dan sesungguhnya hal itu merupakan selemah-lemahnya iman.‖ (HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At Turmidzi, An Nasaa’i, Ibnu Majah, dari Abi Sa’id Al Khudri) Seorang muslim yang ingin berbekal taqwa, maka tentunya ia akan bersama-sama dengan kaum muslimin yang lain memikul kewajiban dakwah ini. Bila tidak berarti ia ridho dengan keadaan saudaranya --kaum muslimin-- yang sedang terpuruk dan terhina, lebih dari itu di akhirat Allah SWT menyediakan siksaan yang amat pedih sebagai balasan atas perbuatan yang dipilihnya. Agenda Dakwah ke Depan Kita umat Islam harusnya menyadari kekuatan dan potensi yang kita miliki, sehingga dengan potensi ini kita mengetahui kenapa Allah Swt menjuluki kita sebagai khairul ummah, umat yang terbaik (Q.S Ali Imran 110). Potensi dan kekuatan yang dimiliki umat Islam diantaranya,  Negeri Islam adalah wilayah yang kaya sumber daya alam dan strategis secara geopolitis  Lebih 70% cadangan minyak dunia yang sangat vital itu ada di dunia Islam  Belum lagi sumber daya alam lain (emas, timah, tembaga, batubara, dan sebaganya)  Posisi negeri Islam (wilayah timur tengah, Asia Tenggara, Asia Tengah, Asia Selatan) berada pada titik-titik penting secara geografis, ekonomi dan militer.  Menguasai dunia Islam berarti menguasai pasokan energi dan SDA lain serta menguasi posisi strategis dunia  Islam juga adalah peradaban (hadharah) yang lebih unggul (Samuel P Huntington, the Clash of Civilization: 1996);  Peradaban Islam mempunyai konsepsi kehidupan yang khas dan unik; berbeda dengan Sosialisme maupun Kapitalisme, baik di bidang politik, pemerintahan, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, pertahanan, keamanan, maupun yang lain.  Islam adalah satu-satunya agama dan ideologi yang sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan menenteramkan jiwa. Karena diturunkan oleh Dzat yang Maha Tahu akan fitrah, akal dan jiwa ciptaan-Nya.  Sumber daya manusia yang sangat besar (lebih dari 1,4 milyar), lebih besar dari pemeluk agama manapun  Sumber daya alam yang sangat melimpah lebih dari wilayah manapun  Posisi geografis yang sangat strategis secara ekonomi, politik dan militer  Dengan Islam sebagai pandangan hidup yang sempurna dan basis ideologi serta sistem politik yang khas, maka Islam dan Dunia Islam bakal menjadi rival potensial yang akan mengancam dominasi Barat di masa mendatang pasca era perang dingin Melihat realitas potensi yang dimiliki, sangat mungkin umat Islam bangkit dari keterpurukannya selama ini. Namun, bagaimana langkah nyata menuju sebuah kebangkitan? Kita harus berfikir mendalam untuk memahami apa sesungguhnya rahasia sebuah kebangkitan, sebelum kemudian menentukan langkah menuju kesana. Kebangkitan bisa berarti kesadaran, ketercerahan, kemampuan untuk memahami dan menentukan langkah mandiri. Kebangkitan juga diindikasikan oleh kemampuan mempengaruhi bahkan menguasai. Kebangkitan bangsa-bangsa tidak ditentukan oleh kemajuan teknologinya karena kita menyaksikan bagaimana Jepang yang merupakan salah satu negara yang menguasai teknologi tinggi tapi ia tidak mampu mengendalikan kekuatannya, dan masih dalam kendali Amerika. Kebangkitan juga bukan ditentukan oleh masalah ekonomi, karena dengan jelas kita melihat bagaimana Saudi Arabia, Brunei Darussalam termasuk juga Jepang dan negeri-negeri kaya lain yang tetap tidak mampu menentukan keputusan mereka secara mandiri. ―Nasib‖ mereka berada dalam genggaman Amerika. Saudi Arabia saat ini terbelit utang kepada Amerika, sedang Jepang harus memberikan sumbangan dana kepada Amerika agar kepentingan ekonominya terjaga. Kita juga bisa memastikan kebangkitan tidak ditentukan oleh ketinggian moral (kemuliaan akhlak) karena kita membuktikan Madinah yang penduduknya adalah penduduk yang paling mulia akhlaknya di seluruh dunia tetapi mereka ternyata tidak bangkit. Mereka membeku seperti es tatkala menyaksikan perang saudara antara Arab Saudi dengan Iraq yang notabene keduanya adalah kaum muslimin. Sebaliknya masyarakat Paris adalah masyarakat yang bermoral rendah tetapi mereka bangkit. Termasuk masyarakat Amerika dan Eropa yang gaya hidupnya bebas dan tidak terikat oleh etika-etika moral tetapi mereka mampu menguasai dunia. Sungguh kebangkitan ternyata tidak ditentukan oleh itu semua. Rahasia kebangkitan adalah kebangkitan taraf berfikir. Dari berfikir hewani –yang sekedar berfikir untuk hidup-, meningkat menjadi berfikir manusiawi -yang berusaha memperjuangkan kemuliaan manusia dengan ideologi tertentu. Berfikir ideologis inilah yang telah menghantarkan umat Islam dahulu mampu menguasai dunia, meski hanya berkendaraan kuda dan unta. Sebab teknologi hanya sarana yang akan berubah mengikuti perubahan dunia. Sedangkan mabda‘ tidak akan berubah terutama mabda‘ Islam. Ia tetaplah mabda‘ dan tetap layak menguasai dunia. Menjadi semakin jelas bagi kita bahwa hanya dengan menjadikan Islam sebagai mabda‘ maka kaum muslimin akan bangkit, bergerak dan menyelesaikan berbagai persoalannya. Tugas para pengemban dakwah ke depan adalah menyadarkan umat untuk bersama- sama bangkit dan menggunakan seluruh potensi serta kekuatan yang dimiliki sehingga mampu menyelesaikan seluruh problematika umat sekaligus menghancurluluhkan kaum kair imperialis yang selama ini memusuhi Islam dan kaum muslimin. Hal tersebut tentu saja menjadi tugas berat bagi para pengemban dakwah. Beberapa hal yang dapat menjadi bekal pengemban dakwah dalam menjalani perjuangaannya dipaparkan sebagai berikut: 1. Membentuk pemikiran ideologis. Artinya, pengemban dakwah harus memahami Islam sebagai sebuah ideologi, yang terdiri dari akidah dan syariat, yang berfungsi untuk
  • 20. memecahkan seluruh problematika hidup manusia. Pengemban dakwah harus yakin bahwa Islam merupakan aturan hidup yang sempurna, yang tidak lagi membutuhkan pengurangan atau penambahan dari aturan-aturan lain di luar Islam. 2. Tidak berpikir pragmatis. Artinya, pengemban dakwah tidak boleh terjebak oleh kepentingan-kepentingan sesaat atau jangka pendek dalam mengambil sikap dan keputusan. Setiap sikap dan keputusan harus diambil berdasarkan pertimbangan ideologi Islam. Misalnya, ketika terjadi krisis ekonomi, penyelesaiannya bukan dengan mengundang IMF, tetapi harus ditelusuri akar permasalahannya, lalu dipecahkan dengan mengacu pada ideologi Islam yang memiliki konsep tersendiri dalam bidang ekonomi. 3. Memiliki kepekaan politis. Hal ini penting agar pengemban dakwah tidak mudah tertipu oleh manuver-manuver politik kaum penjajah berserta kroninya yang ingin melanggengkan penjajahannya. Sebagai contoh, pengemban dakwah harus memahami kampanye yang kumandangkan Amerika tentang "Perang melawan Teroris". Apa dan siapa yang dimaksud teroris oleh Amerika? Apa target Amerika di balik kampanye tersebut? Demikian seterusnya. 4. Meraih kemuliaannya dengan Islam. Pengemban dakwah harus memahami bahwa kemuliaan hidupnya, di dunia dan akhirat, hanya bisa diraih dengan mewujudkan tegaknya aturan Islam dalam naungan khilafah. Sebaliknya, kehinaannya di dunia dan akhirat, semata-mata karena mengambil aturan kufur. Semakin banyak ide-ide kufur yang diadopsi, akan semakin jauh pengemban dakwah terperosok ke dalam jeratan penjajahan dan arah perjuangan semakin kabur yang ujung-ujungnya berakhir pada titik kegagalan yang selalu berulang. Adapun bagaimana dakwah yang mesti ditempuh saat ini untuk terwujudnya Islam sebagai sebuah sistem kehidupan tentu saja tidak terlepas dari contoh yang telah diberikan Rasulullah yang telah terbukti keberhasilannya. Beberapa tahapan kongkrit yang mesti ditempuh antara lain Pertama, membina individu-individu (kader-kader dakwah) dengan ruh dan pemikiran Islam sebagai sebuah ideologi disertai dengan gambaran penerapan ideologi tersebut dalam kehidupan. Pemahaman ini akan mendorong upaya-upaya untuk memperjuangkannya. Kedua, melakukan interaksi di tengah-tengah masyarakat untuk membina kesadaran masyarakat terhadap ideologi Islam melalui pertarungan pemikiran dan perjuangan politik. Dengan aktivitas ini akan terbentuk opini Islam yang berkembang luas dan kesadaran masyarakat terhadap Islam. Ketiga, penerapan seluruh aturan Islam melalui tegaknya Khilafah Islamiyah yang didukung penuh oleh seluruh masyakat. Dukungan ini terbentuk dari kesadaran yang terwujud manakala aturan tersebut lahir dari ideologi yang diyakini. Inilah agenda umat yang harus segera dilaksanakan, saat ini juga ! Terpuruknya kaum muslimin di berbagai sendi kehidupan sejak runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyah 1924 meningkatkan taraf berpikir umat Islam berjaya kembali Dakwah wajib Wujud kepedulian dan tanggung jawab
  • 21. BAB IV AL KHILAFAH "Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian." (QS. An-Nisaa` [4]: 59) Khilafah adalah kepemimpinan, imamah, biasa juga disebut kekhalifahan. Ia merupakan satu bentuk pemerintahan Islam. Pemimpin pemerintahannya dinamakan khalifah. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia. Khilafah bertanggung jawab menerapkan hukum Islam, dan menyampaikan risalah Islam ke seluruh muka bumi. Khilafah terkadang juga disebut Imamah; dua kata ini mengandung pengertian yang sama dan banyak digunakan dalam hadits-hadits shahih. Sistem pemerintahan Khilafah tidak sama dengan sistem manapun yang sekarang ada di Dunia Islam. Meskipun banyak pengamat dan sejarawan berupaya menginterpretasikan Khilafah menurut kerangka politik yang ada sekarang, tetap saja hal itu tidak berhasil, karena memang Khilafah adalah sistem politik yang khas. Khilafah sama sekali berbeda dengan sistem Republik yang kini secara luas dipraktekkan di Dunia Islam. Sistem Republik didasarkan pada demokrasi, dimana kedaulatan berada pada tangan rakyat. Ini berarti, rakyat memiliki hak untuk membuat hukum dan konstitusi. Di dalam Islam, kedaulatan berada di tangan syariat. Tidak ada satu orang pun dalam sistem Khilafah, bahkan termasuk Khalifahnya sendiri, yang boleh melegislasi hukum yang bersumber dari pikirannya sendiri. Khalifah adalah kepala negara dalam sistem Khilafah. Dia bukanlah raja, melainkan seorang pemimpin terpilih yang mendapat otoritas kepemimpinan dari kaum Muslim, yang secara ikhlas memberikannya berdasarkan kontrak politik yang khas, yaitu bai‘at. Tanpa bai‘at, seseorang tidak bisa menjadi kepala negara. Ini sangat berbeda dengan konsep raja atau dictator, yang menerapkan kekuasaan dengan cara paksa dan kekerasan. Contohnya bisa dilihat pada para raja dan diktator di Dunia Islam saat ini, yang menahan dan menyiksa kaum Muslim, serta menjarah kekayaan dan sumber daya milik umat. Sebagian kalangan menyamakan Khalifah dengan Paus, seolah-olah Khalifah adalah Pemimpin Spiritual kaum Muslim yang sempurna dan ditunjuk oleh Tuhan. Ini tidak tepat, karena Khalifah bukanlah pendeta. Jabatan yang diembannya merupakan jabatan eksekutif dalam pemerintahan Islam. Dia tidak sempurna dan tetap berpotensi melakukan kesalahan. Itu sebabnya dalam sistem Islam banyak sarana check and balance untuk memastikan agar Khalifah dan jajaran pemerintahannya tetap akuntabel. Dalil wajibnya Khilafah Di dalam al-Quran memang tidak terdapat istilah Khilafah yang berarti negara. Tetapi di dalam al-Quran terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki pemerintahan/negara (ulil amri) dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian." (TMQ. An-Nisaa` [4]: 59). Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk mentaati Ulil Amri, yaitu Al Haakim (Penguasa). Perintah ini, secara dalalatul iqtidha`, bererti perintah pula untuk mengadakan atau mengangkat Ulil Amri itu, seandainya Ulil Amri itu tidak ada, sebab tidak mungkin Allah memerintahkan kita untuk mentaati pihak yang eksistensinya tidak ada. Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita untuk mentaati seseorang yang keberadaannya berhukum mandub. Maka menjadi jelas bahawa mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri, bererti Allah memerintahkan pula untuk mewujudkannya. Sebab adanya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajiban menegakkan hukum syara‘, sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan terabaikannya hukum syara‘. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, kerana kalau tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, iaitu mengabaikan hukum syara‘ (tadhyii‘ al hukm asy syar‘i). Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengatur urusan kaum muslimin berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Firman Allah SWT: "Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (TMQ. Al-Ma‘idah [5]: 48). "Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu" (TMQ. Al-Ma‘idah [5]: 49). Dalam kaedah ushul fiqh dinyatakan bahwa, perintah (khithab) Allah kepada Rasulullah juga merupakan perintah kepada umat Islam selama tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya untuk Rasulullah (Khithabur rasuli khithabun li ummatihi malam yarid dalil yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada Rasulullah SAW. Oleh kerana itu, ayat-ayat tersebut bersifat umum, iaitu berlaku pula bagi umat Islam. Dan menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah, tidak mempunyai makna lain kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan (as sultan), sebab dengan pemerintahan itulah hukum- hukum yang diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna. Dengan demikian, ayat-ayat
  • 22. ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara untuk menjalankan semua hukum Islam, yaitu negara Khilafah. Sementara itu, beberapa hadist juga memperkuat wajibnya Khilafah tegaki di tengah-tengah umat. Abdullah bin Umar meriwayatkan, "Aku mendengar Rasulullah mengatakan, „Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, nescaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai‟ah (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah." [HR. Muslim]. Nabi SAW mewajibkan adanya bai‘at pada leher setiap muslim dan mensifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai‘at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai‘at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadis ini menunjukkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai‘at di leher setiap muslim. Sebab bai‘at baru ada di leher kaum muslimin kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah. Rasulullah SAW bersabda: "Bahawasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung." [HR. Muslim] Rasulullah SAW bersabda: "Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak." Para Sahabat bertanya,‟Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,‟Penuhilah bai‟at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka." (HR. Muslim) Rasulullah SAW bersabda: "Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah." (HR. Muslim) Hadis pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah SAW bahawa seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan bahawa akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin. Pernyataan Rasulullah SAW bahawa seorang Imam itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang adanya faedah-faedah keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at tarki), atau merupakan larangan (an nahy); dan apabila mengandung pujian (al mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan (thalab al fi‘li). Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya hukum syara‘ atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum syara‘, maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu bererti bersifat pasti (fardu). Jadi hadis pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya Khilafah, sebab tanpa Khilafah banyak hukum syara‘ akan terabaikan. Hadis ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak, membangkang) dari penguasa (as sulthan). Bererti keberadaan Khilafah adalah wajib, sebab kalau tidak wajib tidak mungkin Nabi SAW sampai begitu tegas menyatakan bahawa orang yang memisahkan diri dari Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahawa mendirikan pemerintahan bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib. Rasulullah SAW bersabda pula : "Barangsiapa membai‟at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu." (HR. Muslim) Dalam hadis ini Rasululah SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini bererti perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, iaitu Imam atau Khalifah. Sebab kalau tidak wajib, nescaya tidak mungkin Nabi SAW memberikan perintah yang begitu tegas untuk memelihara eksistensinya, iaitu perintah untuk memerangi orang yang akan merebut kekuasaan Khalifah. Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya Khalifah bagi kaum muslimin. Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma‘ Sahabat menunjukkan bahawa mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, ridlwanullah ‗alaihim. Ijma‘ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah, nampak jelas dalam kejadian bahawa mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajiban dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata sebahagian di antaranya justeru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebahagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma‘) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat Khalifah
  • 23. daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah. Demikian pula bahawa seluruh Sahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbezaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah SAW mahupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh kerana itu Ijma‘ Sahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah. Pendapat Para Ulama Seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‗Ala Al Madzahib Al Arba‘ah, jilid V, hal. 362 : "Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi‘i, dan Ahmad) rahimahumullah telah sepakat bahawa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahawa umat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya..." Tidak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah 'termasuk Khawarij dan Mu‘tazilah' tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka pendapatnya itu tidak perlu ditolak, kerana bertentangan dengan nas-nas syara‘ yang telah jelas. Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 menyatakan: "Menurut golongan Syiah, minoriti Mu‘tazilah, dan Asy A‘riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara‘." Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa‘ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan: "Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi‘ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)." Bahwa Khilafah adalah sebuah ketentuan hukum Islam yang wajib bukan haram apalagi bid‘ah - dapat kitab temukan dalam khazanah Tsaqafah Islamiyah yang sangat kaya. Sejarah kegemilangan Khilafah Allah menegaskan bahwa Islam akan mendatangkan rahmat bagi seluruh alam (QS al-Anbiya‘ [21]: 107). Allah pun menjamin keberkahan hidup masyarakat akan terealisasi jika masyarakat beriman dan bertakwa (QS al-A‗raf [7]: 96), yaitu dengan menerapkan syariah Islam secara total dan formal. Pernahkah fakta normatif kesejahteraan dan keberkahan hidup itu terwujud secara real di tengah-tengah kaum Muslim? Pertanyaan itu penting untuk dijawab, karena jika tidak pernah terwujud dalam 1300 tahun lebih sejarah kaum Muslim, sementara Khilafah Islam diterapkan, maka orang sulit percaya bahwa sistem Islam akan mampu mewujudkannya pada masa datang. Berikut adalah beberapa catatan sejarah akan hal itu. Abu Ubaid menuturkan, pada masa Umar ibn al-Khaththab (13-23 H/634-644 M), di provinsi Yaman, tiap tahun Mu‘adz ibn Jabal mengirimkan separuh bahkan seluruh hasil zakat kepada Khalifah. Sebab, ia tidak menjumpai seorang (miskin) pun yang berhak menerima bagian zakat. Yahya ibn Sa‘id pernah ditugaskan memungut zakat di Afrika oleh Umar ibn Abdul Aziz (99-101 H/717-120 M). Ia pun tidak bisa menjumpai satu orang miskin pun di Afrika. Gubernur Basrah, Hamid ibn Abdurrahman, sesuai arahan Umar bin Abdul Aziz, membelanjakan kas negara berlimpah untuk gaji pegawai dan anggaran rutin, membantu mereka yang dililit utang dan membantu mereka yang ingin menikah. Uang yang masih banyak di kas negara pun dijadikan sebagai pinjaman modal bagi warga non-Muslim agar bisa mengolah tanahnya, dan pengembaliannya setelah dua tahun atau lebih. Sebagai gambaran kemakmuran pada masa Abbasiyah, Philip K. Hitti menyatakan bahwa al- Mansur membangun Baghdad mulai tahun 762 M—menurut as-Suyuthi tahun 141 H—selama 4 tahun dengan menggunakan tenaga lebih dari 100.000 orang baik insinyur, arsitek, pekerja ahli hingga pekerja biasa dan menghabiskan total biaya 4.883.000 dirham. Menurut M. Kurdi Ali, al-Mansur juga membangun sejumlah jembatan, kanal dan berbagai bendungan, tersebar merata di wilayah Khilafah. Meski pembangunan begitu gencar, saat al-Mansur meninggal (159 H/775 M ) keuangan negara masih surplus sebesar 600 juta dirham dan 14 juta dinar. Saat Harun ar-Rasyid meninggal (194 H/809 M), di kas ada 900 juta. Saat al-Muktafi meninggal (296 H/908 M), kas negara surplus 100 juta dinar. Dari sisi pemasukan negara, Ibn Khaldun mencatat pada masa al-Makmun sebesar 332 juta dirham; Ibn Qudamah mencatat, pada masa al-Mu‗tashim sebesar 388,3 juta dirham setahun. Pada masa inilah dibangun kota Samara—singkatan dari sarra man ra‟a (Memuaskan Mata Orang yang Memandangnya). Adapun Ibn Khurdazbeh mencatat, pemasukan negara pada pertengahan abad ke-3 H sebesar 299,3 juta dirham. Dari sisi pembangunan terdapat begitu banyak catatan proyek pembangunan yang dijalankan. Hal itu tentu berdampak positif dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat. Khilafah Umayah di antaranya fokus pada pembuatan saluran air dan jaringan irigasi, penggalian sungai dan kanal, pembangunan bendungan dan penciptaan lahan produktif dari lahan mati yang ada. Muawiyah telah memulai proyek penghijauan Hijaz. Khalifah al-Walid ibn Abdul Malik banyak membangun masjid, membuka berbagai rumah sakit, asrama orang-orang cacat, dan memberikan bantuan pembiayaan pada usaha pembangunan. Daerah rawa al-Bata‘ih di Irak antara Basrah dan Kufah pun disulap menjadi lahan produktif dengan biaya 3 juta dirham (jumlah yang cukup besar saat itu) dan dibagikan kepada rakyat. Khalifah Hisyam menggali sumber-sumber air di sepanjang perjalanan Makkah. Ia juga mendirikan Rasafa, tempat peristirahatan bagi pekerja dan musafir.
  • 24. Jaringan irigasi itu tetap dipelihara dan diperluas oleh Khilafah Abbasiyah. Istri Harun ar- Rasyid turut membiayai pembangunan saluran air di Makkah yang lalu dinamakan dengan namanya, mata air Zubaidah. Bahkan Khilafah Abbasiyah membentuk Direktorat Irigasi (Diwân al-Mâ‟i) dengan pegawai ribuan orang. Khilafah Abbasiyah juga fokus pada industrialisasi. Ribuan pabrik dibangun pada masa itu dan tersebar di berbagai wilayah negara. Damaskus terkenal dengan pabrik bajanya. Tripoli, Kairo, Maroko dan Spanyol terkenal dengan galangan kapalnya. Moshul terkenal sebagai pusat industri tembaga. Menurut Svend Dahl, abad ke-8 M pada masa Harun ar-Rasyid, pabrik kertas sudah berdiri di Baghdad dan beberapa kota lainnya. Pada abad ke-10 M pabrik kertas itu sudah menyebar di Mesir. Sultan Abdul Hamid II pada 1900 M berhasil membangun jaringan kereta api Hijaz dari Damaskus ke Madinah dan dari Aqaba ke Ma‘an. Beliau juga membangun jaringan fax antara Yaman, Hijaz, Syiria, Irak dan Turki; lalu dihubungkan dengan jaringan fax India dan Iran. Semua itu diselesaikan hanya dalam dua tahun. Ini adalah potensi besar bagi kemajuan perekonomian, karena infrasruktur transportasi dan komunikasi sangat vital bagi kemajuan perekonomian. Dalam dunia pendidikan, Khalifah Umar ibn al-Khaththab menggaji tiga orang guru yang mengajar anak-anak di Madinah 15 dinar (63,75 gram emas murni). M. Sharif menerangkan, pendidikan di Dunia Islam berkembang secepat kilat. Tidak ada satu kampung tanpa ada masjid, sekolah dasar dan menengah yang pertumbuhannya seiring pertumbuhan masjid. Prof. Ballasteros dan Prof. Ribera menerangkan bahwa sekolah-sekolah disediakan dekat sekali dengan semua anak-anak. Untuk mahasiswa disediakan berbagai sekolah tinggi, akademi dan universitas beserta para guru besarnya. Bahkan telah diketahui secara umum, dunia pendidikan, sains, teknologi dan pemikiran, pada masa Abbasiyah telah berkembang sangat maju. Sekolah dari tingkat dasar hingga universitas dan berbagai fasilitas pendidikan, sains, teknologi dan pemikiran dibangun secara modern dan disediakan sebagai fasilitas gratis untuk masyarakat. Di antara yang terkenal adalah universitas yang didirikan oleh al-Makmun dan perpustakaan Bait al-Hikmahnya, yang dilengkapi observatorium; Universitas Nizhamiyah yang didirikan oleh Nizham al-Muluk wazir Sultan Alp Arsalan pada 1065 atau 1067 M; Madrasah Mustanshiriyah yang didirikan oleh Khalifah al-Mustanshir (1226 – 1242 M) di Baghdad yang bebas biaya dengan fasilitas perpustakaan dan laboratorium dan fasilitas lainnya. Mahasiswanya dijamin kehidupannya dan masih diberi beasiswa satu dinar (4,25 g emas)/orang/bulan. Tidak boleh dilupakan adalah universitas Nuriah di Damaskus yang dirikan oleh Sultan Nuruddin Muhammad Zanki, dengan fasilitas lengkap. Perpustakaan pun menyebar di berbagai kota. Yang terkenal adalah perpustakaan Bait al-Hikmah di Baghdad, perpustakaan Darul Hikmah di Kaero dengan koleksi 1,6 juta buku, perpustakaan di Tripoli (2 juta lebih), perpustakaan al-Hakim (720 ribu judul lebih), 20 perpustakaan di Andalusia, perpustakaan Cordova (400 ribu judul lebih), perpustakaan Madrasah Fadliliyah (100 ribu) dan 6500 di antaranya tentang engginering dan astronomi di samping dua buah globe untuk Bathlimus dan Abul Hasan as-Sufi, sepuluh perpustakaan di Khurasan (masing-masing 12 ribu), perpustakaan Khizanatul Hakam ats-Tsani (400 ribu) dan masih banyak lagi.3 Wajar jika kemudian lahir ribuan ilmuwan, pioner dan penemu di berbagai bidang keilmuan dan terwujud kemajuan sains, teknologi dan pemikiran. Yang mengesankan, semua itu mempengaruhi renaissance Eropa. Hal itu seperti yang diakui oleh Philip K. Hitti, Prof. Ballasteros, Prof. Ribera, Svend Dahl, Sigrid Hunke, Lothrop Stoddard, Lucas H. Grollenberg dan cendekiawan Barat lainnya.4 Tentang realisasi keadilan tanpa ada diskriminasi, Prof Brelvi menyatakan, ―Pemerintah Abbasiyah sangat terbuka, seperti pemerintahan negara-negara modern di dunia saat ini, yang belum mampu melebihinya. Semua kantor pemerintahannya terbuka untuk rakyat Muslim dan non-Muslim secara sama.‖ Al-Baladzuri melaporkan, keadilan Islam oleh kaum Muslim telah membuat rakyat Hims dan wilayah Syam umumnya lebih memilih hidup di bawah Khilafah. Keadilan itu pula yang membuat kaum Kristen Koptik malah membantu pasukan Amru bin al-‗Ash dalam pembebasan (futûhât) Mesir atas pemerintahan Bizantium yang Kristen. Karena keadilan itu pula Qadhi an- Najiy memvonis pasukan kaum Muslim yang sudah menaklukkan Samarqand tidak sesuai prosedur—yaitu tanpa menyerukan Islam dan jizyah terlebih dulu, yang lalu diprotes oleh penduduknya—harus keluar dan memulainya lagi sesuai prosedur. Hal itu membuat penduduk Samarqand justru memilih hidup di bawah Khilafah. Keadilan Khilafah pulalah yang membuat kaum Yahudi Spanyol memilih tinggal di wilayah Khilafah setelah inkuisisi oleh Ratu Isabella. Hal yang sama juga membuat orang-orang Rusia memilih tinggal di wilayah Khilafah pasca Revolusi Bolchevik. Masih banyak sekali catatan sejarah tentang kesejahteraan, kemakmuran, kemajuan, keberkahan dan kerahmatan yang sudah pernah diwujudkan oleh generasi kaum Muslim terdahulu. Lalu bagaimana dengan kondisi dunia sekarang? Faktanya, sistem Kapitalisme hanya berhasil dalam mewujudkan kemajuan materi, sains dan teknologi. Sebaliknya, Kapitalisme pun berhasil meruntuhkan dan menghancurkan nilai-nilai moral, spiritual, kemanusiaan, keadilan, dan nilai-nilai luhur lainnya. Kapitalisme justru berhasil menciptakan malapetaka dan kesengsaraan, dekadensi moral, kekosongan spiritual, penindasan, penjajahan dan perbudakan. Karenanya, tuntutan kemanusiaan meniscayakan diterapkannya ideologi dan sistem yang bisa menjadi solusi, yang tidak lain adalah syariah dan Khilafah Islamiyah. Semua catatan kegemilangan di atas—tentu bukan demi romantisme—bisa membuat kita, kaum Muslim, percaya diri bahwa ke depan, dengan menerapkan sistem Islam dalam wadah Khilafah, kita akan mampu mewujudkan hal yang sama, bahkan lebih. Apalagi Rasul saw. telah memberikan bisyârah:
  • 25. «‫ًا‬‫د‬َ‫د‬َ‫ع‬ ُ‫ه‬ُّ‫د‬ُ‫ع‬َ‫ي‬ َ‫ال‬ ‫ًا‬‫ي‬ْ‫ث‬َ‫ح‬ َ‫ل‬‫ا‬َ‫م‬ْ‫ال‬ ْ‫و‬ُ‫ث‬ْ‫ح‬َ‫ي‬ ٌ‫َة‬‫ف‬ْ‫ي‬ِ‫ل‬َ‫خ‬ ْ‫ي‬ِ‫ت‬َّ‫م‬ُ‫أ‬ ِ‫ر‬ ِ‫آخ‬ ْ‫ي‬ِ‫ف‬ ُ‫ن‬ ْ‫و‬ُ‫ك‬َ‫ي‬» Akan ada pada akhir umatku seorang khalifah yang memberikan harta secara berlimpah dan tidak terhitung banyaknya. (HR Muslim) Abu Said menuturkan, bahwa Rasul saw. juga pernah bersabda: ْ‫و‬ُ‫ق‬َ‫ي‬َ‫ف‬ ُ‫ه‬ُ‫ل‬َ‫أ‬ْ‫س‬َ‫ي‬َ‫ف‬ ُ‫ل‬ُ‫ج‬َّ‫الر‬ ِ‫ه‬ْ‫ي‬ِ‫ت‬ْ‫أ‬َ‫ي‬ ‫ًّا‬‫د‬َ‫ع‬ ُ‫ه‬ُّ‫د‬ُ‫ع‬َ‫ي‬ َ‫ال‬ َ‫و‬ ‫ا‬ ً‫و‬ْ‫ث‬َ‫ح‬ َ‫ل‬‫ا‬َ‫م‬ْ‫ال‬ ْ‫و‬ُ‫ث‬ْ‫ح‬َ‫ي‬ ‫ا‬ ً‫ْر‬‫ي‬ِ‫م‬َ‫ا‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬ِ‫ئ‬‫ا‬ َ‫ر‬َ‫م‬ُ‫ا‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ َّ‫ن‬ِ‫ا‬ْ‫و‬ُ‫ث‬ْ‫ح‬َ‫ي‬ََ ُ‫ه‬َْ ْ‫و‬َ‫ث‬ ُُُ‫س‬َْْ‫ي‬َ‫ف‬ ُْْ‫خ‬ ُ‫ل‬ ِ‫ه‬ْ‫ي‬ِ‫ف‬…ُ‫ق‬ِ‫ل‬َُْ‫ن‬َ‫ي‬ َّ‫م‬ُ‫ث‬ ُ‫ه‬ُُْ‫خ‬ْ‫أ‬َ‫ي‬َ‫ف‬ Sungguh, di antara para pemimpin kalian ada seorang pemimpin yang memberikan harta secara berlimpah yang tidak terhitung, seseorang mendatanginya dan meminta harta kepadanya. Lalu pemimpin itu berkata, “Ambillah!” Kemudian orang itu menghamparkan pakaiannya dan pemimpin itu mencurahkan (harta/uang) di atasnya…Orang itu mengambilnya, lalu pergi. (HR Ibnu Katsir dalam al-Bidâyah wa an-Nihâyah) Bisyarah Rasul akan Kembalinya Khilafah Hadis Imam Ahmad juga diriwayatkan oleh Baihaqi dari Nu'man Bin Basyir: ―Rasulullah Sallallahu ‗alaihi wa Sallam bersabda: Masa kenabian itu ada di tengah-tengah kalian, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Selanjutnya adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhaj an- nubuwwah), adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Selanjutnya masa kerajaan yang menggigit (Mulkan ‘Adhan), adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Setelah itu, masa kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyyan), adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Selanjutnya adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhaj an- nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam.‖ [HR Ahmad dan Baihaqi dari Nuâman bin Basyir dari Hudzaifah] BAB V Kewajiban Dakwah secara Jamaah ―Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalannya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh.‖ ( QS Ash Shaff: 4) Jika kita melihat kondisi kaum muslimin dan Islam saat ini, akan kita dapati bahwa Islam tidak lagi menjadi sebuah tubuh yang utuh apalagi sempurna. Jangankan untuk menjadi rahmatan lil alamin, untuk menjadi rahmatan lil muslimin pun sangat sulit dilihat faktanya. Banyak di antara kaum muslimin di berbagai belahan dunia saat ini dalam keadaan menderita, baik karena bencana alam, peperangan maupun ketertindasan. Bahkan banyak di antaranya berada pada deretan negara miskin. Untuk mewujudkan Islam sebagai sebuah rahmatan lil alamin, tidak bisa tidak Islam harus dilaksanakan secara kaffah. Ini merupakan suatu kewajiban. Allah SWT berfirman: “ Dan masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah”. Kekaffahan Islam hanya akan terjadi apabila semua obyek dikenai hukum, yaitu individu yang bertaqwa, masyarakat yang islami sebagai kontrol sosial pelaksanaan syariat Islam serta negara yang melaksanakan dan melindungi penerapan syariat Islam ada. Pada saat ini, penerapan hukum Islam terhadap ketiga obyek di atas tidak terlaksana dengan sempurna, terlebih lagi dalam hal ini negara yang menerapkan Islam. Untuk itulah dakwah menjadi sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap Muslim. Untuk mendakwahi seorang individu, hanya dengan seorang pengemban dakwah saja sudah cukup. Namun untuk mendakwahi sebuah masyarakat apalagi untuk mewujudkan sebuah negara yang menerapkan syariat Islam, sangat tidak mungkin apabila hanya dilaksanakan seorang diri. Tidak bisa tidak haruslah dilakukan dengan cara berjamaah. Sebuah kaidah syara‘ menyebutkan ”apabila suatu kewajiban tidak terlaksana tanpa adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib adanya”. Demikian juga perwujudan syariat Islam tidak akan bisa kaffah tanpa adanya jamaah dakwah, maka keberadaan jamaah dakwah adalah wajib.
  • 26. Kewajiban Dakwah Berjamaah “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kepada kemunkaran. Dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imron: 104) Ayat tersebut mengisyaratkan tentang sebuah kewajiban adanya kelompok atau jamaah yang berdakwah untuk menyeru kepada yang ma‘ruf dan mencegah kepada yang munkar. Lafadz ummah pada ayat di atas, tidak membatasi jumlah jamaah atau kelompok atau gerakan Islam, walaupun ayat tersebut menyebutkan agar kaum muslimin membentuk suatu jamaah yang melaksanakan tugas dakwah. Seandainya telah terbentuk sebuah jamaah, maka kewajiban tersebut tidak lagi dibebankan kepada yang lain. Dengan demikian apabila telah terbentuk sebuah jamaah, maka tujuan dari ayat tersebut sudah terlaksana sehingga tidak ada kewajiban untuk membentuk yang lain. Jika ternyata muncul jamaah yang kedua, maka pembentukan itu pada dasarnya hukumnya adalah mubah. Dengan demikian, adanya suatu jamaah yang ber-amar ma‟ruf nahi munkar adalah sebuah fardlu kifayah. Namun selama ini fardlu kifayah hanya dipahami sebagai sebuah kewajiban yang apabila telah dilaksanakan oleh seseorang atau suatu kelompok, maka fardlu itu telah gugur. Padahal fardlu kifayah hanya akan gugur sebagai sebuah fardlu yakni apabila sesuatu yang dibebankan tersebut sudah dilaksanakan dengan tuntas atau sempurna. Jika kewajiban yang dibebankan tersebut belum tuntas dilaksanakan, maka seluruh umat Islam tetap terbebani fardlu tersebut hingga fardlu itu sempurna dilaksanakan. Demikian juga beban untuk mewujudkan terlaksananya syariat Islam mulai dari individu hingga negara. Beban ini tidak akan hilang hingga terwujudnya sebuah institusi negara yang menerapkan Islam serta memelihara dan melindungi pelaksanaan syariat Islam, baik oleh individu maupun negara. Kelompok Da’wah dalam Islam Kelompok da‘wah dalam Islam sering disebut sebagai gerakan Islam. Gerakan dalam bahasa arab adalah harokah. Harokah berasal dari akar kata taharruk yang artinya bergerak. Istilah tersebut kemudian diartikan sebagai sebuah kelompok yang terdiri dari orang-orang tertentu serta mempunyai target tertentu, dengan menempuh suatu metode yang telah ditetapkan oleh gerakan tersebut, terlepas apapun bentuk dari gerakannya. Dengan demikian sebuah kelompok dapat disebut sebagai sebuah gerakan apabila: 1. Mempunyai landasan tertentu. 2. Mempunyai tujuan atau target yang telah ditetapkan. 3. Mempunyai metode untuk meraih target. Syarat gerakan di atas adalah umum bagi setiap gerakan. Sebagai contoh gerakan sosial seperti panti asuhan akan mempunyai landasan tersendiri, dengan target membantu anak yatim, piatu dan anak-anak dari keluarga tidak mampu dengan metode tertentu yang telah dirumuskan, misalnya dengan mencari sumbangan dan sebagainya. Demikian juga ketika suatu kelompok menamakan organisasinya sebagai gerakan/harokah Islam. Maka yang menjadi syarat bagi kelompok tersebut adalah: 1. Terdiri dari orang-orang Islam. 2. Menggunakan Islam sebagai landasan dalam merumuskan target dan metode. 3. Mempunyai target terlaksananya syariat Islam. 4. Mempunyai metode yang sesuai dengan Islam, yaitu harus sesuai dengan metode Rasulullah dalam berdakwah untuk menegakkan Islam di muka bumi. Target Kelompok Dakwah Saat ini cukup banyak terdapat harokah-harokah Islam di muka bumi. Dari berbagai harokah yang ada saat ini, ada yang bersifat lokal dalam suatu negara, misalnya Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan Persis, ada juga yang bersifat Internasional, seperti Jamaah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan Jamaah Salafiyah. Masing-masing gerakan ini mempunyai tujuan spesifik. Tujuan dari setiap harokah ini tentunya sangat mempengaruhi metode dari harokah tersebut untuk mencapai target. Apabila diamati banyaknya harokah da‘wah saat ini, setidaknya ada tiga kategori harokah da‘wah dilihat dari target yang hendak dicapainya. Ketiga target tersebut adalah: 1. Gerakan yang Memperhatikan Kepentingan Individu. Target semacam ini banyak dianut oleh perkumpulan Tarekat dan Sufi. Menurut kelompok ini, kemenangan dan keselamatan di akhirat adalah target utamanya. Dari sinilah mereka mulai melakukan aktivitas-aktivitas rohani untuk mencapai target tersebut, salah satunya adalah dengan ber-uzlah atau mengasingkan diri dari masyarakat. Jamaah ini menganggap bahwa salah satu cara untuk menyelamatkan diri dari kesesatan ketika
  • 27. keadaan masyarakat sudah mengalami kerusakan adalah dengan cara mengasingkan diri. Mereka memahami hal ini dari firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tidaklah orang sesat itu akan memberi madlarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.…” (QS Al Maidah: 105) Maksud yang sebenarnya dari ayat ini adalah menunjukkan bahwa apabila Allah telah memberi petunjuk kepada seseorang, maka tidak ada seorang pun yang bisa menyesatkan. Ayat ini sama sekali tidak memerintahkan orang untuk mengasingkan diri, dan melarang manusia untuk ber-amar ma‟ruf nahi munkar. 2. Target Memperbaiki Aqidah dan Akhlak Individu. Gerakan yang mempunyai target demikian sebenarnya mempunyai keinginan untuk memperbaiki masyarakat. Gerakan ini berpendapat bahwa masyarakat adalah sekumpulan individu yang di dalamnya terjadi interaksi. Dengan demikian baik buruk suatu masyarakat akan ditentukan oleh baik buruk individu yang ada di masyarakat tersebut. Atas dasar pandangan ini gerakan tersebut menjadikan individu sebagai dasar utama untuk perubahan masyarakat. Dari pemahaman tersebut, gerakan ini mulai mencoba memperbaiki individu dengan perbaikan aqidah dan akhlaknya sehingga dapat menjaga interaksi di antara individu di dalamnya agar tetap berjalan lancar tanpa ada masalah. Pandangan mereka terhadap definisi masyarakat ini sebenarnya adalah suatu kekeliruan. Dari pandangan tersebut, justru yang akan terbentuk cenderung sebuah jamaah yang terdiri dari orang-orang yang beraqidah dan berakhlak baik, bukan sebuah masyarakat. Padahal seharusnya sebuah masyarakat tidak hanya terdiri dari banyak individu yang saling berinteraksi, namun juga terdapat sebuah peraturan yang sama yang mengatur interaksi tersebut, serta individu-individu yang ada di dalamnya mempunyai pandangan yang sama terhadap suatu ke-mashlahat-an maupun ke-mudlarat-an, baik individu itu muslim maupun non-muslim. 3. Target Memperbaiki Masyarakat. Kelompok Organisasi ketiga ini mempunyai pandangan bahwa masyarakat adalah suatu kumpulan individu yang di dalamnya terdapat suatu interaksi. Di dalam interaksi itu terdapat suatu aturan yang sama yang mengaturnya. Selain itu interaksi tersebut juga disatukan oleh perasaan dan pemikiran yang sama terhadap suatu kemashlahatan dan kemudlaratan sehingga pandangan mereka terhadap kemashlahatan dan kemudlaratan sama. Menurut kelompok ketiga ini, rusaknya masyarakat terlihat dari interaksi yang ada di dalam masyarakat tersebut. Hal ini berarti juga rusaknya perasaan, pemikiran serta peraturan yang mengatur interaksi tersebut serta rusaknya pandangan masyarakat tentang hal yang dianggap mashlahat atau madlarat. Untuk itu dalam memperbaiki masyarakat haruslah diperbaiki perasaan, pemikiran serta peraturan yang mengatur interaksi tersebut. Dari ketiga macam target tersebut, manakah yang seharusnya menjadi target dari sebuah harokah? Dalam surat Ali Imron ayat 104, Allah telah menyebutkan bahwa aktifitas suatu jamaah seharusnya adalah amar ma‟ruf nahi munkar. Kemunkaran yang terbesar saat ini adalah tidak dilaksanakaannya hukum Islam secara kaffah. Dan kekaffahan hukum Islam itu hanyalah dapat terwujud dengan adanya institusi negara yang menjalankan dan melindungi penerapan syariat Islam. Dengan demikian keberadaan jamaah yang berusaha mewujudkan pemerintahan Islam itu wajib sebagaimana wajibnya pemerintahan Islam. Metode untuk Meraih Target Jamaah dakwah pertama dan kedua, sebenarnya jamaah ini lebih konsen terhadap urusan individu. Kedua jenis jamaah ini berpandangan bahwa masyarakat yang islami hanya akan terbentuk apabila seluruh individu di dalam masyarakat itu beragama islam, mempunyai aqidah yang benar serta akhlak yang baik. Dengan demikian metode yang diterapkannya pun adalah membina masyarakat dengan suatu pembinaan yang arahnya individual, di mana individu yang lebih awal dibina nantinya diharuskan menyebarkannya ke individu lain sehingga seluruh individu yang ada akan beraqidah dan berakhlak baik. Dengan demikian masyarakat islami akan terbentuk ketika seluruh anggota masyarakat itu telah beraqidah islam dan berakhlak mulia. Seandainya jumlah masyarakat yang akan diperbaiki hanya ratusan orang, hal itu tidak terlalu menjadi masalah. Namun bagaimana ketika masyarakat yang hendak diperbaiki itu adalah seluruh penduduk suatu negara yang jumlahnya ratusan juta dan di dalamnya terdapat aqidah dan kondisi yang berbeda-beda. Selain itu, seandainya seluruh anggota masyarakat telah beraqidah dan berakhlak baik, siapakah yang akan menerapkan hukum-hukum Islam, terutama hukum-hukum yang menyangkut pemerintahan, sistem ekonomi serta uqubat yang seharusnya hal itu dilakukan oleh negara, baik ke dalam maupun ke luar negeri. Padahal hal ini sama sekali bukan termasuk urusan individu maupun jamaah. Tidak pula dapat diselesaikan hanya dengan akhlak yang baik, karena hukum yang dilaksanakan oleh negara ini sudah
  • 28. ditetapkan bentuk-bentuknya. Ditambah lagi apabila ternyata pengikut dari jamaah ini dalam pembinaannya sama sekali belum pernah mendapatkan bagaimana gambaran sistem Islam yang seharusnya. Baik itu menyangkut sistem pemerintahan, politik luar negeri, ekonomi, sosial dan sebagainya; melihat yang menjadi pembinaan utama adalah aqidah dan akhlak. Dengan demikian tentu kedua macam jamaah dakwah ini cukup kesulitan ketika harus menegakkan masyarakat Islam secara kaffah. Adapun kelompok dakwah yang ketiga adalah kerlompok dakwah yang konsen terhadap perbaikan masyarakat. Dari pemahamannya terhadap definisi masyarakat yang merupakan sekumpulan individu yang saling berinteraksi dan mempunyai perasaan, pemikiran dan peraturan yang sama, kelompok ini memandang kerusakan di masyarakat terjadi akibat adanya kerusakan perasaan, pemikiran dan peraturan yang ada di masyarakat. Sehingga ketika ingin memperbaiki masyarakat yang dilakukan adalah memperbaiki pemikiran dan perasaan masyarakat dengan pemikiran dan perasaan Islam serta sistem yang mengatur interaksi dalam masyarakat itu. Pada intinya tujuan dari kelompok ketiga ini adalah berusaha mewujudkan kehidupan Islam kembali dengan penerapan sistem Islam yang akan melindungi dan memelihara pelaksanaan hukum Islam yang berada di tengah-tengah masyarakat, sehingga masyarakat dapat berubah secara totalitas. Untuk mengubah secara totalitas tersebut, haruslah melalui metode yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, bagaimana beliau dengan para sahabat menegakkan masyarakat Islam. Dengan demikian metode atau strategi dakwah yang harus dilakukan meliputi: (1) Tahap Pembinaan dan Pengkaderan (Marhalah Tatsqif) Tahap ini dimulai sejak beliau SAW diutus menjadi Rasul, setelah firman Allah SWT: “Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan!” (QS Al Muddatstsir: 1-2) Tahapan pertama atau tahapan pengkaderan ini dilakukan secara lebih tersembunyi (siriyyah). Tahapan ini merupakan sebuah masa untuk mendidik kader, di mana kader yang terbentuk inilah yang akan menyebarkan pemahaman Islam ke masyarakat. Pada pengkaderan ini ditanamkan pada diri kader tentang target dakwah yang akan diraih, yaitu menegakkan Islam kembali di muka bumi dengan cara tegaknya sebuah pemerintahan yang akan menerapkan Islam dalam setiap sendi kehidupan. (2) Tahap Interaksi dengan Masyarakat dan Perjuangan (Marhalah Tafaa‟ul wal kiffah) Tahap ini ditempuh setelah melalui tahapan pembinaan. Hal ini dilakukan setelah Rasulullah mendapat perintah dari Allah: “Maka sampaikanlah secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.”(QS Al Hijr: 94) Pelaku dakwah adalah orang-orang yang telah mengalami pengkaderan sebelumnya. Dibandingkan dengan tahap pertama, tahapan ini akan lebih berat dari segi tantangan yang akan dihadapi. Tahapan ini dibagi ke dalam dua strategi, yaitu: (a). Shiraa’ul fikri (pertarungan pemikiran) Target dari aktivitas shiraa‟ul fikri adalah menjelaskan kepada masyarakat bahwa sistem yang ada saat ini tidak sesuai dengan Islam. Hal ini dilakukan dengan memerangi pemikiran-pemikiran kufur dengan mengungkapkan kelemahan, kerusakan dan kepalsuannya serta memberikan pemikiran Islam yang jernih sebagai penggantinya. Pada tahap ini, pengkaderan terhadap individu-individu yang akan melakukan dakwah harus terus dilakukan. (b). Kiffah as siyasi (perjuangan politik) Aktivitas kiffah as siyasi (perjuangan politik) adalah mengkritik kebijakan pemimpin yang tidak sesuai dengan Islam, tidak membela kemashlahatan kaum muslimin serta membongkar berbagai makar yang akan menghalang-halangi tegaknya Islam kembali, baik makar antar pemimpin maupun dengan negara lain. Dengan begitu, rakyat mengetahui dengan jelas hakikat para penguasa mereka. 3. Tahap Penerapan Syari’at Islam (Tathbiq Al Ahkaam Al Islam). Tahap ini ditandai dengan didirikannya Daulah Islamiyah sebagai pelaksana hukum Islam dan sebagai pengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia melalui dakwah dan jihad. Dengan telah dipahaminya tentang kewajiban mengorganisasikan dakwah dengan baik serta tujuan yang jelas juga metode yang jelas, insya Allah kehidupan Islam yang diinginkan semua umat dapat terwujud. Islam pun akan mampu kembali menjadi rahmatan lil alamin.
  • 29. BAB VI Pengantar Tata Pergaulan dalam Islam Sistem sosial kemasyarakatan (Nidzam Al Ijtima‟i) adalah sistem yang mengatur hubungan pria dan wanita dan sebaliknya serta mengatur hubungan yang timbul di antara mereka karena pertemuan tersebut. Saat ini, sering kita saksikan bahwa wanita tidak lagi memiliki sifat seperti seharusnya wanita. Di televisi maupun media-media cetak, wanita dipampang dengan menampakkan auratnya seolah mereka adalah pelaris barang dagangan. Wanita sudah seperti komoditi yang diperdagangkan. Bahkan sering kali barang yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan wanita berusaha dihubung-hubungkan. Wanita yang mengumbar aurat di mana-mana, sudah merupakan hal yang biasa. Bahkan model wanita karier, di mana wanita bekerja di luar rumah hingga meninggalkan tugas utamanya sebagai ibu rumah tangga adalah hal yang dianggap modern. Dan dianggap kuno jika seorang wanita tidak bekerja dan memakan gaji suaminya saja. Selain hal tersebut, di sisi lain pergaulan bebas antara pria dan wanita sudah mulai merebak. Hubungan intim maupun hidup serumah tanpa ikatan perkawinan, terutama penduduk kota besar dan selebritis adalah hal yang biasa dan bahkan menjadi suatu kebutuhan. Akhirnya, manusia yang pada fitrahnya adalah tinggi, sudah tidak ada bedanya lagi dengan binatang. Islam telah mengatur bagaimana sosial kemasyarakatan harus berjalan. Dalam Islam, tugas utama wanita adalah mengurus rumah tangga serta menjaga kehormatan diri, keluarga maupun suami. Hal ini dipandang sangat remeh dan kuno oleh kapitalis dan bahkan malah dipandang merendahkan wanita. Padahal sebenarnya tugas pengurusan rumah tangga ini adalah tugas yang sangat mulia dan berat. Karena di sini kader-kader unggul akan dicetak. Dan proses pencetakan kader yang unggul ini bukanlah merupakan sesuatu yang mudah dan remeh. Karena jika terjadi kesalahan mendidik (walaupun kecil-peny)berarti telah menyia- nyiakan kader. Dalam kapitalis hal ini justeru dipandang rendah. Sehingga banyak perempuan yang meninggalkan tugas utamanya, hanya sekedar untuk menjadi wanita karier sehingga urusan rumah tangganya diserahkan kepada pembantu rumah tangga. Walhasil, yang terjadi adalah keberantakan di dalam rumah tangga. Dalam hak dan kewajiban sebagai warga negara, pria dan wanita mempunyai kedudukan yang sama. Wanita berhak memiliki barang- barang individu sebagaimana pria. Apabila wanita bersalah wanita juga akan terkena hukuman sebagaimana pria. Bahkan dalam struktur kenegaraan, wanita diperbolehkan menduduki posisi tertentu, misalnya menjadi anggota majelis umat. Namun ada beberapa posisi yang memang tidak diperbolehkan untuk wanita yaitu Al hakim (Khalifah maupun wakil dan pembantunya, wali/gubernur, ketua qadli dan amil), atau tugas-tugas lain yang berkenaan dengan pemerintahan seperti qadli madzalim. Dalam masalah hukum asal, wanita dan pria adalah terpisah. Dengan demikian apabila tidak ada suatu keperluan yang dibenarkan oleh syara‘, maka hukumnya akan kembali ke asalnya yaitu terpisah. Dalam hal lingkungan kehidupan, Islam mengaturnya dengan pemisahan antara kehidupan umum dan kehidupan khusus. Kehidupan umum adalah suatu tempat di mana tidak perlu adanya izin ketika seseorang, siapapun orangnya ingin memasuki tempat tersebut. Sedangkan kehidupan khusus adalah suatu tempat di mana ketika seseorang memasuki tempat tersebut harus mendapatkan izin dari yang mempunyai tempat tersebut. Dasar dari peraturan ini adalah firman Allah SWT: “Wahai orang-orang yang beriman, kamu jangan memasuki rumah orang lain, sehingga kamu mendapatkan izin dan kamu mengucapkan salam kepada penghuninya.” (QS An Nur: 27) Tempat Umum Sebagaimana definisi dari tempat umum, maka di tempat ini setiap orang diperbolehkan memasukinya tanpa perlu memperoleh izin seseorang. Tempat umum yang dimaksud sebagai contohnya adalah sekolah/kampus, pasar, jalan dan supermarket. Hanya saja pertemuan baik yang tanpa adanya interaksi (ijtima‟) maupun dengan interaksi (ikhtilath) tetap diatur oleh Islam. Kondisi ijtima‟ hanya diperbolehkan jika hal tersebut tidak dilakukan dengan berkhalwat (berdua-duaan) misalnya ditempat yang sepi antara pria dan wanita yang bukan mahrom. Ikhtilath pun pada dasarnya boleh dilakukan dengan syarat bahwa apa yang dibicarakan bukanlah sebuah hal yang diharamkan serta tidak dilakukan dengan berkhalwat. Pada tempat umum ini baik pria maupun wanita harus dalam kondisi tertutup auratnya.
  • 30. Tempat Khusus Tempat khusus adalah suatu tempat di mana ketika seseorang ingin memasukinya, maka orang itu harus meminta izin terlebih dahulu kepada penghuninya. Contoh dari tempat khusus adalah rumah dan mobil pribadi. Pada tempat khusus ini pertemuan antara pria dan wanita hanya diperbolehkan apabila pihak wanita ditemani oleh beberapa orang yang diperbolehkan. Ketika terjadi ikhtilath pun apa yang dibicarakan terbatas pada apa yang diperbolehkan oleh syara‘. Adapun yang terkategori orang yang boleh menemani wanita dalam tempat khusus tersebut telah diterangkan dalam Al Qur‘an, yaitu: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah dari suami mereka, putera-putera mereka, putera-putera suami mereka, saudara-saudara laki-laki mereka, putera-putera saudara laki-laki mereka, putera-putera saudara perempuan mereka, wanita-wanita Islam, budak-budak yang mereka miliki, pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (QS An Nur: 31) Ijtima’ (berkumpul tanpa berinteraksi) Haram (harus terpisah) kekhusuaan Tempat khusus Rumah tempat tinggal, kamar, mobil pribadi Tempat Umum: Masjid, pasar, sekolah Tanpa mahram Dengan mahram boleh Berkhalwat : HARAM haram boleh Ikhtilat (bercampur dengan interaksi) Hukum asal : haram kekhususan Di tempat khusus Tanpa mahram: haram Dengan mahram Interaksi yg boleh: boleh Interaksi yang tidak boleh: haram Di tempat umum Interaksi yag dilarang: haram Interaksi yg boleh Hukum asal: boleh Berkhalwat: haram Bagan Peraturan Hubungan Pria dan Wanita