SlideShare a Scribd company logo
Mengugat epistemologi ilmu sosial
MENGGUGAT
EPISTEMOLOGI ILMU SOSIAL
”Pelajarilah kebenaran di pagi hari,
dan meninggallah dengan bahagia di malam hari.”
Konfusius (551-479 SM)
PENGANTAR
Tulisan ini awalnya merupakan tiga tulisan berseri yang
sudah dan akan diterbitkan di Jurnal Kebebasan Akal dan
Kehendak dan juga untuk tulisan diskusi di Komunitas Embun Pagi
Semarang. Tapi setelah dirasa perlu adanya pengenalan bidang
yang relatif lama tapi terlupakan yaitu: praksiologi, maka penulis
mencoba mengenalkan atau mengingatkan bagi ahli atau calon ahli
ilmu sosial untuk mempelajarinya.
Terimakasih saya ucapkan bagi teman-teman di Komunitas
Embun Pagi serta Bung Nad yang telah merangsang proses
penulisan ini. Sekian.
Penulis
Tulisan ini mencoba merefleksikan dan bukan untuk menemukan
hal-hal baru. Kali ini, kita akan membahas epistemologi ilmu
sosial. Setelah tertatih-tatih dalam memahami karya von Mises
yang telah diterjemahkan di Jurnal Kebebasan Akal dan Kehendak
oleh Bung Nad (Sukasah Syahdan) akhirnya memberikan saya
keberanian untuk menulis hal ini.
Selain frustasi memahami arti sifat statistik yang induktif dalam
setiap metode kajian ilmu sosial---kalo bisa dibilang aneh. Ini
adalah bentuk kekecewaan dan frustasi atas ilmu yang saya pelajari
yaitu Ilmu Sosial.
Bertahun-tahun mempelajari ilmu sosial, seolah saya “belum”
mendapatkan apa-apa. Setiap jurnal penelitian yang saya baca dari
penelitian yang ada, rekomendasi yang dihasilkan semua sama:
kurang adanya koordinasi antar lembaga/institusi sosial jadi
diharapkan setiap lembaga pemerintah melakukan koordinasi.
Setidaknya hasil itu yang sering saya temukan dalam rekomendasi
kajian ilmu sosial dalam mencoba memecahkan permasalahan
sosial. Tidak ada solusi lain.
Terlepas dari teori-teori besarnya Kuhn, Capra dan lain sebagainya
dalam usaha menjelaskan berbagai perkembangan proses ilmu
pengetahuan. Dengan kacamata yang sangat sederhana sebenarnya
kita dapat melihat ketidaksesuaian antara teori-teori dan “realitas
sosial”. Seandainya teman-teman menganggap “seksi” untuk
menjadi sosialis ataupun intelektual saya kira itu merupakan mimpi
yang wajar.
Hal tersebut diperparah oleh perpecahan dan semakin banyak
munculnya spesialisasi bidang kajian ilmu tentang manusia. Dan
ketidakseimbangan peran atau penyebarluasan berbagai disiplin
ilmu yang sudah saya singgung dalam artkel: Kritik Logika
Aristotelian.
Kecenderungan untuk meminati kajian politik, yang sebenarnya
sudah saya “sindir” berkali-kali merupakan awal mula dari
keresahan intelektual saya pribadi. Lambatnya pemahaman akan
kajian ilmu pengetahuan yang lebih dalam, dalam mengkaji
manusia secara utuh tidak dapat dilakukan. Hal ini disebabkan
dalam melihat fenomena manusia kita cenderung menggunakan
paradigma, teori, dimensi dari perspektif bacaan kita. Kita tidak
pernah benar-benar membuka “perilaku-perilaku dasar” manusia
yang sebenarnya setiap hari kita lihat. Kebutaan intelektual ini saya
kira disebabkan oleh “ego” terhadap disiplin ilmu kita masing-
masing. Namun demikian saya merasa beruntung mendapatkan
“media” seperti yang disediakan oleh teman-teman di Komunitas
Embun Pagi.
Faktor lain, yang saya kira lebih penting, ialah paradigma
positivistik yang sudah bertahun-tahun menjangkit pemikir-pemikir
sosial. Ketidakpercayaan diri dalam menggunakan kajian deskriptif
ataupun analitis non statistik sudah lama tumbuh dalam pikiran
para ahli ilmu pengetahuan sosial. Ejekan-ejekan yang sering saya
baca di buku Filsafat Ilmu---misal Buku Filsafat Ilmu Populer
Karya Jujun Suryasumantri---oleh para pakar saya kira telah
memicu penyakit ketidakpercayaan diri tersebut. Ejekan bahwa
tanpa matematika ataupun statistik Ilmu Sosial kurang sahih
menurut saya sangat tidak beralasan.
Logika Ilmu sosial sangat berbeda. Obyek ilmu sosial tidak seperti
obyek pengetahuan alam yang cenderung tetap. Obyek ilmu alam
tidak memiliki relasi yang dinamis dengan variabel di luarnya.
Relasi tersebut cenderung tetap. Berbeda dengan kajian Ilmu Sosial
yang mempunyai relasi yang tidak tetap terhadap variabel-variabel
di luarnya. Seandainya seorang manusia hanya dipengaruhi oleh
variabel-variabel tetap diluarnya dan tidak berusaha untuk
membalikan stimulus yang ada yang barangkali kemudian
membalik menanggapinya dengan respon secara timbal balik, saya
kira itu bukan manusia tapi lebih dekat dengan robot. Manusia
yang harus menunggu untuk mendapat stimulus untuk dapat
bertindak, sekali lagi, saya kira itu bukan manusia.
Sependapat dengan Einstein, ketika ditanya mengenai persoalan-
persoalan epistemologis ilmu tetang tindakan manusia: Bagaimana
mungkin matematika, sebagai produk pikiran manusia yang tidak
bergantung pada pengalaman apapun, dapat begitu pas dengan
obyek-obyek realitas? Apakah akal manusia mampu menemukan,
tanpa bantuan pengalaman, melalui akal semata ciri-ciri benda-
benda yang nyata?” dan jawabannya adalah: ”Sejauh teorema-
teorema matematika mengacu pada realitas, maka tidaklah pasti,
dan sejauh mereka pasti, mereka tidak mengacu pada realitas”.
Kecenderungan epistemologis yang muncul baru-baru ini
merupakan reaksi ketidakpuasan dari patron metodologi yang ada.
Keberanian para ahli antropologi untuk memakai metode grounded
research merupakan cikal bakal "pemberontakan tersebut".
Walaupun ada sedikit "malu-malu" untuk menggunakannya. Yang
masih menyerang akut saat ini, yang barangkali termasuk yang
diusung oleh Bung Nad di Jurnal Kebasan A&K, dalam bidang
Ilmu Ekonomi. Dan saya memprediksi virus-virus ketidakpuasan
terhadap ketidakmampuan Ilmu Ekonomi dalam usaha
memprediksi setiap permasalahan ekonomi membawa kita kembali
mengakui kesahihan metode yang barangkali dianggap purba,
yaitu: praksiologi.
Anjloknya bursa saham di Amerika Serikat telah membuat negara-
negara di seluruh dunia menjadi "was-was". Berbagai analisis
ekonomi yang saya baca masih cenderung dangkal. Padahal
permasalahan tersebut sebenarnya hanya membutuhkan solusi
sederhana yang telah sering disampaikan orang tua kita yang secara
ilmiah bukan "pakar"-nya---setidaknya menurut pakar Ilmu
Ekonomi. Atau, solusi tersebut dapat diungkap dari kebijaksanaan-
kebijaksanaan klasik Cina maupun Jawa Kuno.
Tidak bermaksud menjadi kiri. Tulisan ini sebenarnya ingin
mengatakan bahwa apa yang kita yakini dalam epistemologi yang
dipakai secara umum oleh ahli ilmu sosial sebenarnya semakin
menjauhi kebenaran atau realitas itu sendiri. Dengan kata lain, saya
sebenarnya lebih mengiyakan pandangan subyektfivitas nya
Thomas Kuhn. Atau yang lebih kontemporer barangkalai Capra.
Entitas sosial apabila dianalogikan ibarat sebuah sistem tubuh---
dengan logika biologi alih-alih seperti yang sekarang dipakai ialah
logika fisika. Atau bila memakai analogi Rothbard seperti jaring
laba-laba.
Jadi, Seandainya paradigma yang ada sekarang memakai
paradigma empiris “obyektif” dengan kacamata ilmu pengetahuan
alam. Bukan tidak mungkin, para ahli ilmu sosial yang sekarang
“menjabat” atau meneliti dan menulis di jurnal ilmiah telah
melakukan sesuatu yang sia-sia dan menghabiskan waktu. Ini
berarti suatu generasi yang hilang atau buta terhadap pencerahan
ilmu tentang manusia.
Saya menyadari konsekuensi mengatakan yang demikian. Apabila
benar-benar diterapkan mengenai paradigma yang saya yakini,
bukan tidak mungkin, semua struktur kelembagaan yang ada di
dunia akademis berubah total. Dan ini, menurut saya, tidak akan
mungkin dilakukan karena para akademisi akan lebih
mementingkan kepentingannya sendiri atau hak mereka untuk
berstatus quo karena terkait dengan profesi, daripada benar-benar
melakukan tanggungjawab ilmiah dalam memperjuangkan
kebenaran ilmiah yang belum tentu hasilnya. Apalagi ide-ide
tersebut hanya dikatakan oleh “anak kecil” seperti kita.
Akan tetapi, seperti yang dikatakan Hayek, bukankah tugas
intelektual untuk “memasarkan ide” dan selalu mengingatkan
setiap penyimpangan yang ada di masyarakat. Termasuk dunia
akademis. Dan mengenai peran untuk mendebatkannya secara
filosofis sudah dilakukan oleh orang-orang yang setidaknya sudah
saya sebut dalam tulisan ini.
Begitu banyak bukti-bukti mengenai subyektvitas ilmu
pengetahuan sosial. Sejarah perjuangan ideologi ataupun sejarah
penemuan teori-teori di bidang ilmu alam telah dapat menjadi bukti
bagi seringnya ketersesatan perjalanan menegakkan ilmu
pengetahuan pada jalurnya. Nasib tragis yang dialami oleh
Wegener dalam memperjuangkan teori kontinental drift bisa
dijadikan kasus, atau nasib Galileo, Kopernikus, dan begitu banyak
teoritikus lainnya yang bernasib sama. Dan dalam bidang ekonomi
saya memprediksi pandangan-pandan Ludwig von Mises akan
berdengung keras di dunia akademik ekonomi setelah penyia-nyian
masyarakat akademis yang tidak lepas dari pengaruh ideologi
politik yang bermain sekarang ini. Akan tetapi, saya yakin
kebenaran akan berbicara dengan sendirinya entah suatu saat nanti.
Namun demikian, sebuah fakta sejarah kurang lengkap apabila
dipergunakan sebagai bukti ilmiah. Bukti yang ada di depan mata,
ialah mandulnya peran ilmuwan sosial di masyarakat umum.
Bahkan seringkali orang-orang yang memiliki pengaruh ilmiah
dalam ilmu sosial biasanya orang-orang “terpinggirkan” dalam
dunia akademiknya. Bukankah ini merupakan bukti kecil dari
fenomena tersebut. Contoh lain barangkali bisa dilihat dari
produktivitas karya-karya sosial. Dari pengalaman saya sebagai
pembaca, pandangan-pandangan sosial malah sering muncul dari
mulut-mulut yang bukan ahlinya. Semisal yang sering menjadi
kasus di Indonesia ialah profesi wartawan, sastrawan, peneliti
lepas, pebisnis dan lain sebagainya.
Sebagai tambahan, hasrat untuk menyerukan kebenaran ilmiah
sebenarnya sudah menjadi bawaan bagi setiap manusia yang
berfikir. Dan apabila ada yang sebagian atau bahkan kebanyakan
diam itu disebabkan keberadaan mereka di struktur internal
organisasi yang menerapkan paradigma yang ada. Toh apabila
orang-orang yang “berfikir” tersebut mengetahui, mereka akan
memilih diam daripada untuk memilih melakukan “keributan” yang
barangkali akan dicap “berisik” dan membikin onar. Barangkali
dalam bentuk ekstrim dituduh mencari popularitas.
Analisa lain yang saya tuduhkan kalau bisa dikatakan gugatan
terkait keberadaan bangsa Indonesia yang dalam “kelahirannya”
“berbarengan” atau bisa dikatakan “disebabkan” oleh pertarungan
ideologi-ideologi besar. Pengaruh sosialisme dari tahun 1945-1965
dan selanjutnya pengaruh liberalisme ala anglo saxon dari tahun
1966 sampai sekarang masih menjadi landasan “darimana” gagasan
itu seharusnya muncul sehingga bisa dikatakan sahih. Apakah
kesahihan sebuah ilmu hanya didasarkan pada latar belakang
geografis, budaya, peradaban atau apapun itu? Saya kira pandangan
tersebut menandakan kesempitan befikir. Sebuah paradigma
seharusnya bisa diterima apabila dia dapat dipergunakan untuk
menjawab permasalahan yang ada, dalam hal ini permasalahan
sosial. Dan sekarang kita malah menjauhi dari idealisme tersebut.
Hal-hal di atas sebenarnya merupakan idealisme dari seorang yang
frustasi. Lebih parahnya, bila melihat seretnya penerbitan berkala
di dunia akademik, bisa dikatakan dunia akademik kita sebenarnya
telah mati suri. Dari kasus yang sekarang saya temui, penerbitan-
penerbitan jurnal malah lebih banyak dilakukan oleh pihak-pihak
yang secara akademik berada di luarnya. Mereka sebagian berdiri
disebabkan oleh berbagai motif. Namun, tanpa menyelidiki motif
tersebut, seharusnya kita patut mengapresiasinya dengan pikiran
terbuka. Beberapa kasus tersebut, seharusnya menjadi refleksi
semua pihak, termasuk intelektual, bahwa tanggungjawab ilmiah
sebenarnya dapat diperankan oleh berbagai macam profesi, dan
tidak harus sebagai filsuf yang seringkali dimimpikan oleh para
intelektual jika hanya ingin meninggikan strata ilmiahnya.
Dari fakta tersebut, begitu sangat jelas, sehingga mempengaruhi
keyakinan saya pribadi untuk mengambil posisi, walaupun harus
tertatih-tatih dengan cara berputar-putar berpindah profesi, hanya
sekedar mencari dan terus mencari apa yang seharusnya dan patut
diperjuangkan.
Selain ketersesatan penggunaan paradigma, kita juga telah kurang
sesuai dalam menggunakan alur berfikir logis dalam upaya
menelaah sumber permasalahan ilmu sosial.
Cerita singkat mengenai perjalanan panjang diakuinya teori
continental drift barangkali bisa dijadikan inspirasi. Dari
perspektif kesejarahan ilmu alam, saat Alfred Lothar Wegener
menemukan teori continental drift, mula-mula dia hanya sekilas
melihat gambaran peta Amerika Selatan dengan garis pantai barat
Afrika yang begitu identik, Wegener membayangkan bahwa kedua
benua tersebut pernah menyatu. Baru kemudian dia
mengumpulkan detail-detail penemuan yang ada untuk mendukung
teorinya.
Padahal, penelitian geologis telah lama dilakukan oleh para geolog
yang hanya mefokuskan detail-detail geologi tanpa membayangkan
gambaran muka bumi secara keseluruhan. Akhirnya argumen
Wegener mendapat bantahan tanpa pengujian terlebih dahulu dari
para ahli geologi yang merasa paling tahu pada bidang tersebut.
Namun demikian, Wegener bersikap acuh dan menikmati
bidangnya dalam Klimatologi. Hingga 60 tahun kemudian
kebenaran ilmiah terungkap dan bukti-bukti yang mengarah bahwa
benua itu bergerak semakin banyak.
Barangkali sejarah tersebut bisa terulang dengan cerita terbalik.
Para ahli ilmu sosial, termasuk para ekonom, selama ini telah
terlalu menyederhanakan dan terlalu menjeneralisasikan manusia
melalui sederet angka-angka. Sekumpulan data administrasi yang
belum tentu kesahihannya telah menjadi agregat-agregat yang
dianggap mewakili manusia. Tanpa menyelidiki pada tingkat mikro
apa yang sebenarnya dilakukan manusia, apa alasan mereka
melakukan sesuatu, bagaimana mereka bertindak untuk mencapai
tujuan tersebut, belum diselidiki sama sekali. Sehingga, hanya
orang-orang jalanan atau praktisi yang mengetahui dengan jelas
tapi kurang mampu menyatakannya secara argumentatif tertulis
ataupun mendasarkan pada teori yang sahih untuk menjelaskan
permasalahan yang dihadapinya.
Sebagai contoh, petani sering mendapati nilai harga beras mereka
dibandingkan dengan barang kebutuhan konsumsi yang lain sangat
rendah, apabila sekarang harga beras ditingkat dasar mencapai Rp.
4000,- bisa jadi harga di tingkat konsumen mencapai Rp. 5.000,-.
Walaupun begitu, dalam mekanisme pasar hal tersebut dapat
diterima karena jalur distribusi yang terlalu panjang. Namun, yang
lebih memprihatinkan, dengan harga dasar Rp. 4000,- seandainya
dibandingkan dengan harga komoditas lain serta ditambah faktor-
faktor produksi yang dibutuhkan dalam pertanian yang harganya
terus naik, maka nilai beras dengan nominal yang demikian sangat
tidak menjadi berarti. Akibatnya, dalam istilah ekonomi yang lebih
keren, akan terjadi defisit anggaran yang dialami petani. Tindakan
yang sering ditempuh petani, bapak saya biasanya, dengan
menyewakan salah satu sawahnya untuk menyokong biaya
produksi pada tiap awal musim tanam. Dan hal tersebut terus
berlarut-larut sehingga para petani tidak pernah mengalami
keuntungan sama sekali disebabkan oleh kebijakan-kebijakan
pemerintah yang sifatnya inflasif. Belum lagi biaya-biaya keluarga
seperti pendidikan, listrik, pajak dan lain sebagainya.
Permasalahan tindakan-tindakan manusia berdasarkan pilihan-
pilihan yang demikian sulit apakah ilmuwan sosial atau ahli
ekonomi mengetahuinya? Saya masih ragu hal demikian diketahui
oleh ilmuwan yang duduk manis di mimbar akademik yang sangat
terhormat. Dan apakah data-data yang dianggap subyektif tersebut
bisa digunakan oleh pemerintah untuk mengambil kebijakan?
Paling-paling yang digencarkan malah iklan pembayaran pajak
agar tepat waktu!. Suatu paradoks yang sering terjadi di kehidupan
realitas.
Fenomena-fenomena pemiskinan secara sistematis tersebut sering
dianggap hal yang remeh temeh. Bahwa permasalahan sosial yang
demikian, dianggap terjadi secara kasuistik dan parsial. Bukti yang
bisa dianggap sahih ialah pertumbuhan ekonomi yang tinggi
melalui angka-angka. Dengan demikian laporan
pertanggungjawaban pemerintahan dapat diterima oleh rakyat yang
diwakili oleh anggota legislatif melalui “data-data” yang telah
dianalisis oleh kementrian ekonomi. Dan sandiwara tersebut
diulang berkali-kali tiap lima tahun sekali.
Memang tidak mudah menerapkan paradigma individualisme
metodis dalam epistemologis ilmu sosial. Mises telah
memperingatkan:
Meyakini bahwa keseluruhan kolektif itu dapat
divisualisasikan adalah suatu ilusi. Keseleruhan
kolektif tidak pernah dapat dilihat; kognisinya
selalu merupakan hasil dari pemahaman atas
makna yang diberikan manusia pada
tindakannya. Kita memang dapat melihat
keramaian, misalnya kerumunan manusia.
Apakah kerumunan itu hanya sekedar
pertemuan ataukah sebuah badan teorganisasi
atau jenis lain dari entitas sosial merupakan
sebuah pertanyaan yang hanya dapat dijawab
oleh pemahaman akan makna mereka berikan
bagi keberadaan tersebut. Dan makna ini selalu
merupakan makna dari individunya. Bukankah
indera kita, melainkan pemahaman kita, sebagai
sebuah proses mental, yang membuat kita
memahami entitas sosial.
Mises menambahkan:
Siapa saja yang bermaksud memulai kajian
tentang tindakan manusia dari unit-unit kolektif
akan mendapati rintangan tak terperi berupa
kenyataan bahwa setiap individu pada saat yang
sama juga dapat merupakan bagian nyata dari
beragam entitas kolektif. Persoalan-persoalan
yang ditimbulkan oleh mulitiplisitas unit-unit
sosial yang berkoeksistensi dan antagonisme-
antagonisme mutual mereka dapat diatasi hanya
melalui individualisme metodologi.
Singkat kata, sekarang kita tidak hanya melakukan kesalahan
terbesar abad ini, namun dengan sengaja, kita masyarakat ilmiah,
telah membodohi masyarakat umum yang seharusnya tercerahkan
oleh keberadaan ilmu pengetahuan.
Salah satu dosen pernah mengatakan dengan enteng; “bahwa abad
dua puluh ialah abad kuantitatif”. Namun dalam hati saya
mengatakan “abad dua puluh ialah abad kegelapan”. Memang
sangat mudah melupakan sebuah kesalahan yang tidak merugikan
diri sendiri!
Epilog
Saat mengetahui fakta yang demikian, terasa sulit menerima bahwa
yang selama ini kita lakukan sia-sia. Namun setidaknya tumbuhnya
kesadaran lebih awal akan menjadikannya lebih baik. Walaupun
mengetahui bahwa kita keliru dalam melakukan permulaan,
setidaknya yang penting, ahli ilmu sosial termasuk ekonomi, sudah
melakukan sesuatu dengan niat yang tulus.
Harapan dari penulisan ini bukan bermaksud meniadakan arti
penting ilmu sosial maupun ekonomi, tapi lebih pada pencarian
dalam upaya kita mendekatkan pada kebenaran. Sehinga ilmu
sosial menjadi lebih bermanfaat bagi kehidupan riil yang dapat
membentuk kesadaran bagi umat manusia.
Dari ulasan di atas, suatu keharusan bagi ahli ilmu sosial untuk
dapat memulai berusaha mengetahui dan menyelidiki tatanan
sosial yang ada sesuai apa adanya, melalui penelitian-penelitian
selanjutnya yang dilakukan peneliti atau penulis lain. Sehingga
dapat mendiagnosis permasalahan-permasalahan sosial dengan
kacamata yang tepat. Dengan demikian sedikit demi sedikit kita
dapat mengetahui serta memanfaatkan modal sosial yang selama ini
belum terurai jelas agar dapat digunakan sebagai fondasi dalam
membangun masyarakat yang lebih baik. Sekian terima kasih
(Giy).
Catatan-Catatan
Tulisan ini berdasar serta bersumber pada beberapa tulisan dan
buku mengenai epistemologi (metode ilmiah) yang tercecer serta
observasi kritis bagi bidang yang telah saya tekuni. Namun yang
sangat berpengaruh ialah karya Ludwig von Mises dengan judul;
Persoalan-Persoalan Epistemologis dalam Ilmu-Ilmu yang
Mengkaji Tindakan Manusia yang telah diterjemahkan oleh Bung
Nad (Sukasah Syahdan). Untuk mendapatkan buku acuan dari
tulisan ini dapat diunduh secara gratis di situs:
www.akaldankehendak.wordpress.com. Arikel ini juga dapat
dibaca di: www.komunitasembunpagi.blogspot.com

More Related Content

PPTX
Pengantar penelitian kualitatif psikologi
AnnisaRizki16
 
DOCX
Teori dan praxis
David Jones
 
DOCX
Paradigma thomas s
Sri Nuryati
 
PPTX
Sejarah Filsafat Barat Modern
Erni Setyaningsih
 
PDF
Michel foucault
KuliahMandiri.org
 
PPTX
Tugas Filsafat
AzizatulUmmah1
 
DOCX
Tugas filsafat umum
Amril Mudlo
 
Pengantar penelitian kualitatif psikologi
AnnisaRizki16
 
Teori dan praxis
David Jones
 
Paradigma thomas s
Sri Nuryati
 
Sejarah Filsafat Barat Modern
Erni Setyaningsih
 
Michel foucault
KuliahMandiri.org
 
Tugas Filsafat
AzizatulUmmah1
 
Tugas filsafat umum
Amril Mudlo
 

What's hot (12)

PPT
Presentasi post modernisme
Joko Satrio
 
PDF
Keruntuhan teorievolusi harunyahya
Adi Utami
 
DOC
Artikel filsafat lakatos
Thiya Apriana
 
PDF
01 Teologia 1
danur
 
PDF
Syarifudin, fenomenologi
Syarifudin Amq
 
PPSX
Filsafat zaman modern
Rossalia I. Kartika Sari
 
PDF
Hubungan Filsafat Ilmu dengan Ilmu-ilmu lain
Winda Widyanty
 
DOCX
Teori kritis
ninasragen
 
DOC
Revolusi kisah baru
Sabiq Hafidz
 
PDF
Fenomenologi transendental edmund husserl
Muhsin Hariyanto
 
DOCX
Perbandingan Filsafat Ilmu Modern dan Postmodern
Yulia Eolia
 
PDF
Konsep paradigma thomas kuhn
Muhtadi Bilhaq
 
Presentasi post modernisme
Joko Satrio
 
Keruntuhan teorievolusi harunyahya
Adi Utami
 
Artikel filsafat lakatos
Thiya Apriana
 
01 Teologia 1
danur
 
Syarifudin, fenomenologi
Syarifudin Amq
 
Filsafat zaman modern
Rossalia I. Kartika Sari
 
Hubungan Filsafat Ilmu dengan Ilmu-ilmu lain
Winda Widyanty
 
Teori kritis
ninasragen
 
Revolusi kisah baru
Sabiq Hafidz
 
Fenomenologi transendental edmund husserl
Muhsin Hariyanto
 
Perbandingan Filsafat Ilmu Modern dan Postmodern
Yulia Eolia
 
Konsep paradigma thomas kuhn
Muhtadi Bilhaq
 
Ad

Viewers also liked (15)

DOCX
Creación de ambiente virtual de aprender
Diego Guzman
 
PPTX
Creating custom aggregator
Rahul Kumar
 
PPT
Cuento "La abuela y el ratón
Suham S. Reyes
 
DOC
RRKResume
Rajendra Kohale
 
DOCX
Semana da juventude pré jmj zonal centro sul
Roberto Rabat Chame
 
PPTX
Aplicaciones de microextracción en fase sólida en el
Hiram Aguayo
 
PDF
MASTER IN MANAGEMENT SCIENCE SEM IV BAMU AURANGABAD
Ashwin Mane
 
PPTX
Habilidades sociales y comunicación asertiva
mariosg1234
 
PPTX
Sprachreise
Margit Kölblinger
 
PDF
Giuseppe Di Guglielmo presentation - build up 14-15 luglio 2016
Fondazione Matera-Basilicata 2019
 
PPTX
La Comunicación
nticx4tosociales
 
PPT
Paul de Theux and Catherine Gerooms
mymobileeu
 
PPTX
W6 once in a house on fire cross cutting.1
Gareth Hill
 
PPT
Demografi & Statistik Kesihatan
Muhammad Nasrullah
 
PPT
golidilocks-story-powerpoint
Mrsjalland
 
Creación de ambiente virtual de aprender
Diego Guzman
 
Creating custom aggregator
Rahul Kumar
 
Cuento "La abuela y el ratón
Suham S. Reyes
 
RRKResume
Rajendra Kohale
 
Semana da juventude pré jmj zonal centro sul
Roberto Rabat Chame
 
Aplicaciones de microextracción en fase sólida en el
Hiram Aguayo
 
MASTER IN MANAGEMENT SCIENCE SEM IV BAMU AURANGABAD
Ashwin Mane
 
Habilidades sociales y comunicación asertiva
mariosg1234
 
Sprachreise
Margit Kölblinger
 
Giuseppe Di Guglielmo presentation - build up 14-15 luglio 2016
Fondazione Matera-Basilicata 2019
 
La Comunicación
nticx4tosociales
 
Paul de Theux and Catherine Gerooms
mymobileeu
 
W6 once in a house on fire cross cutting.1
Gareth Hill
 
Demografi & Statistik Kesihatan
Muhammad Nasrullah
 
golidilocks-story-powerpoint
Mrsjalland
 
Ad

Similar to Mengugat epistemologi ilmu sosial (9)

PPTX
2. Sosiologi sebagai Ilmu dan sifat-sifat sosiologi (Materi).pptx
shalomduta
 
PPTX
Epistemologi
Sweet Angel Weismann
 
PPTX
Epistemologi sosial 2
aku ikhsan
 
PPTX
filsafat, magister EPISTEMOLOGI & AKSIOLOGI.pptx
drgRachmawaty
 
PPTX
epistemologi
M fazrul
 
PPTX
assalamualaikum-130707045245-phpapp02.pptx
emynuriyani63
 
PPTX
PPT AKSIOLOGI MK Filsafat Ilmu Pendidikan.pptx
RAIHANAHSARI
 
PPT
Filsafat ilmu
Edwarn Abazel
 
PPT
2.Sosiologi-sebagai-ilmu-pengetahuan Sosial.ppt
kurikulumppi
 
2. Sosiologi sebagai Ilmu dan sifat-sifat sosiologi (Materi).pptx
shalomduta
 
Epistemologi
Sweet Angel Weismann
 
Epistemologi sosial 2
aku ikhsan
 
filsafat, magister EPISTEMOLOGI & AKSIOLOGI.pptx
drgRachmawaty
 
epistemologi
M fazrul
 
assalamualaikum-130707045245-phpapp02.pptx
emynuriyani63
 
PPT AKSIOLOGI MK Filsafat Ilmu Pendidikan.pptx
RAIHANAHSARI
 
Filsafat ilmu
Edwarn Abazel
 
2.Sosiologi-sebagai-ilmu-pengetahuan Sosial.ppt
kurikulumppi
 

More from Trisna Nurdiaman (20)

PDF
kajian kesejahteraan dan keamanan penduduk di wilayah perbatasan indonesia_opt
Trisna Nurdiaman
 
PDF
20171023 pengumuman
Trisna Nurdiaman
 
PDF
(Aya) bin
Trisna Nurdiaman
 
PDF
Penerimaan cpns september 2017 untuk jurusan sosiologi
Trisna Nurdiaman
 
PPTX
Pernikahan dalam Islam
Trisna Nurdiaman
 
PDF
Transformasi masyarakat petani mranggen menuju masyarakat industri
Trisna Nurdiaman
 
PDF
Solidaritas sosial dalam mobilisasi mata pencaharian masyarakat pesisir di de...
Trisna Nurdiaman
 
PDF
POLA KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI DAN STRATEGI BERTAHAN MASYARAKAT SEKITAR INDUS...
Trisna Nurdiaman
 
PDF
Urgensi Regenerasi SDM Pertanian
Trisna Nurdiaman
 
PDF
Sustainable Development Goals (SDGs)
Trisna Nurdiaman
 
PDF
Kajian SDGs dan RPJMN Kesehatan
Trisna Nurdiaman
 
PDF
The elementary-forms-of-the-religious-life
Trisna Nurdiaman
 
PDF
Meadows - The Growth to The Limit
Trisna Nurdiaman
 
PDF
Pemikiran pilitik islam indonesia
Trisna Nurdiaman
 
PDF
Teori sosiologi kependudukan
Trisna Nurdiaman
 
PDF
Teori struktural fungsional - Talcot Parsons
Trisna Nurdiaman
 
PDF
Perkembangan Masyarakat Industri Indonesia
Trisna Nurdiaman
 
PPTX
Perkembangan Masyarakat Industri Indonesia
Trisna Nurdiaman
 
PDF
Filsafat ilmu [full pos]
Trisna Nurdiaman
 
PDF
Kapital buku iii karl marx [pos]
Trisna Nurdiaman
 
kajian kesejahteraan dan keamanan penduduk di wilayah perbatasan indonesia_opt
Trisna Nurdiaman
 
20171023 pengumuman
Trisna Nurdiaman
 
(Aya) bin
Trisna Nurdiaman
 
Penerimaan cpns september 2017 untuk jurusan sosiologi
Trisna Nurdiaman
 
Pernikahan dalam Islam
Trisna Nurdiaman
 
Transformasi masyarakat petani mranggen menuju masyarakat industri
Trisna Nurdiaman
 
Solidaritas sosial dalam mobilisasi mata pencaharian masyarakat pesisir di de...
Trisna Nurdiaman
 
POLA KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI DAN STRATEGI BERTAHAN MASYARAKAT SEKITAR INDUS...
Trisna Nurdiaman
 
Urgensi Regenerasi SDM Pertanian
Trisna Nurdiaman
 
Sustainable Development Goals (SDGs)
Trisna Nurdiaman
 
Kajian SDGs dan RPJMN Kesehatan
Trisna Nurdiaman
 
The elementary-forms-of-the-religious-life
Trisna Nurdiaman
 
Meadows - The Growth to The Limit
Trisna Nurdiaman
 
Pemikiran pilitik islam indonesia
Trisna Nurdiaman
 
Teori sosiologi kependudukan
Trisna Nurdiaman
 
Teori struktural fungsional - Talcot Parsons
Trisna Nurdiaman
 
Perkembangan Masyarakat Industri Indonesia
Trisna Nurdiaman
 
Perkembangan Masyarakat Industri Indonesia
Trisna Nurdiaman
 
Filsafat ilmu [full pos]
Trisna Nurdiaman
 
Kapital buku iii karl marx [pos]
Trisna Nurdiaman
 

Recently uploaded (20)

PDF
LOMBA GERAKAN SEKOLAH SEHAT UNTUK SEKOLAH DASAR
widiawati3859
 
DOCX
Modul Ajar Pembelajaran Mendalam Prakarya Pengelolaan Kelas 8 Terbaru 2025
UrayFubie
 
DOCX
Modul Ajar Deep Learning Senbud Seni Rupa Kelas 12 SMA Terbaru 2025
wahyurestu63
 
PDF
Dampak Sektoral Perjanjian Perdagangan Timbal Balik Amerika Serikat–Indonesia
Dadang Solihin
 
PPTX
Penerapan Pembelajaran AI dan Koding.pptx
riafajriani
 
PPTX
Presentasi_Koding_dan_KECERDASAN ARTIFISIAL_FINAL.pptx
feryfauzi22
 
PPTX
Teknologi dalam Proses Bisnis Pemasaran.pptx
SMK Negeri 44 Jakarta
 
DOCX
Modul Ajar KIK XI kewirausahaan 1 2025.docx
nur9955
 
PDF
MODUL 5 KELOMPOK 6 CERIA PELATIHAN PM KEPSEK ASAHAN
suhendro79
 
DOCX
Modul Ajar Deep Learning Prakarya Kerajinan Kelas 8 SMP Terbaru 2025
wahyurestu63
 
PDF
PPT Menganalisis Informasi Lisan teks deskripsi.pdf
AriIndrawati4
 
PDF
Kepemimpinan dan Ketahanan Bangsa dalam Lanskap Geopolitik Baru: Antara Fakta...
Dadang Solihin
 
PPTX
materi sekolah lansia demensia dan alzheimer .pptx
NurulIzah16
 
DOCX
JURNAL PEMBELAJARAN MODUL 2 AKSI NYATA PERAN GURU SEBAGAI GURU TELADAN.docx
KRISKO GOVINDA
 
DOCX
Modul Ajar Deep Learning Prakarya Pengelolaan Kelas 8 SMP Terbaru 2025
wahyurestu63
 
DOCX
Modul Ajar Deep Learning PKN Kelas 10 Terbaru 2025
wahyurestu63
 
DOCX
Modul Ajar Deep Learning PKN Kelas 10 SMA Terbaru 2025
wahyurestu63
 
PPTX
PEMBELAJARAN MENDALAM KEPALA SEKOLAH.pptx
WahyudinHalilintar1
 
DOCX
Modul Ajar Deep Learning Senbud Kelas 12 SMA Terbaru 2025
wahyurestu63
 
PPTX
Materi-IPA-Kelas-8-Sel-Kurikulum-Merdeka.pptx
EmyPuji
 
LOMBA GERAKAN SEKOLAH SEHAT UNTUK SEKOLAH DASAR
widiawati3859
 
Modul Ajar Pembelajaran Mendalam Prakarya Pengelolaan Kelas 8 Terbaru 2025
UrayFubie
 
Modul Ajar Deep Learning Senbud Seni Rupa Kelas 12 SMA Terbaru 2025
wahyurestu63
 
Dampak Sektoral Perjanjian Perdagangan Timbal Balik Amerika Serikat–Indonesia
Dadang Solihin
 
Penerapan Pembelajaran AI dan Koding.pptx
riafajriani
 
Presentasi_Koding_dan_KECERDASAN ARTIFISIAL_FINAL.pptx
feryfauzi22
 
Teknologi dalam Proses Bisnis Pemasaran.pptx
SMK Negeri 44 Jakarta
 
Modul Ajar KIK XI kewirausahaan 1 2025.docx
nur9955
 
MODUL 5 KELOMPOK 6 CERIA PELATIHAN PM KEPSEK ASAHAN
suhendro79
 
Modul Ajar Deep Learning Prakarya Kerajinan Kelas 8 SMP Terbaru 2025
wahyurestu63
 
PPT Menganalisis Informasi Lisan teks deskripsi.pdf
AriIndrawati4
 
Kepemimpinan dan Ketahanan Bangsa dalam Lanskap Geopolitik Baru: Antara Fakta...
Dadang Solihin
 
materi sekolah lansia demensia dan alzheimer .pptx
NurulIzah16
 
JURNAL PEMBELAJARAN MODUL 2 AKSI NYATA PERAN GURU SEBAGAI GURU TELADAN.docx
KRISKO GOVINDA
 
Modul Ajar Deep Learning Prakarya Pengelolaan Kelas 8 SMP Terbaru 2025
wahyurestu63
 
Modul Ajar Deep Learning PKN Kelas 10 Terbaru 2025
wahyurestu63
 
Modul Ajar Deep Learning PKN Kelas 10 SMA Terbaru 2025
wahyurestu63
 
PEMBELAJARAN MENDALAM KEPALA SEKOLAH.pptx
WahyudinHalilintar1
 
Modul Ajar Deep Learning Senbud Kelas 12 SMA Terbaru 2025
wahyurestu63
 
Materi-IPA-Kelas-8-Sel-Kurikulum-Merdeka.pptx
EmyPuji
 

Mengugat epistemologi ilmu sosial

  • 3. ”Pelajarilah kebenaran di pagi hari, dan meninggallah dengan bahagia di malam hari.” Konfusius (551-479 SM)
  • 4. PENGANTAR Tulisan ini awalnya merupakan tiga tulisan berseri yang sudah dan akan diterbitkan di Jurnal Kebebasan Akal dan Kehendak dan juga untuk tulisan diskusi di Komunitas Embun Pagi Semarang. Tapi setelah dirasa perlu adanya pengenalan bidang yang relatif lama tapi terlupakan yaitu: praksiologi, maka penulis mencoba mengenalkan atau mengingatkan bagi ahli atau calon ahli ilmu sosial untuk mempelajarinya. Terimakasih saya ucapkan bagi teman-teman di Komunitas Embun Pagi serta Bung Nad yang telah merangsang proses penulisan ini. Sekian. Penulis
  • 5. Tulisan ini mencoba merefleksikan dan bukan untuk menemukan hal-hal baru. Kali ini, kita akan membahas epistemologi ilmu sosial. Setelah tertatih-tatih dalam memahami karya von Mises yang telah diterjemahkan di Jurnal Kebebasan Akal dan Kehendak oleh Bung Nad (Sukasah Syahdan) akhirnya memberikan saya keberanian untuk menulis hal ini. Selain frustasi memahami arti sifat statistik yang induktif dalam setiap metode kajian ilmu sosial---kalo bisa dibilang aneh. Ini adalah bentuk kekecewaan dan frustasi atas ilmu yang saya pelajari yaitu Ilmu Sosial. Bertahun-tahun mempelajari ilmu sosial, seolah saya “belum” mendapatkan apa-apa. Setiap jurnal penelitian yang saya baca dari penelitian yang ada, rekomendasi yang dihasilkan semua sama: kurang adanya koordinasi antar lembaga/institusi sosial jadi diharapkan setiap lembaga pemerintah melakukan koordinasi. Setidaknya hasil itu yang sering saya temukan dalam rekomendasi kajian ilmu sosial dalam mencoba memecahkan permasalahan sosial. Tidak ada solusi lain. Terlepas dari teori-teori besarnya Kuhn, Capra dan lain sebagainya dalam usaha menjelaskan berbagai perkembangan proses ilmu pengetahuan. Dengan kacamata yang sangat sederhana sebenarnya kita dapat melihat ketidaksesuaian antara teori-teori dan “realitas sosial”. Seandainya teman-teman menganggap “seksi” untuk menjadi sosialis ataupun intelektual saya kira itu merupakan mimpi yang wajar. Hal tersebut diperparah oleh perpecahan dan semakin banyak munculnya spesialisasi bidang kajian ilmu tentang manusia. Dan ketidakseimbangan peran atau penyebarluasan berbagai disiplin ilmu yang sudah saya singgung dalam artkel: Kritik Logika Aristotelian.
  • 6. Kecenderungan untuk meminati kajian politik, yang sebenarnya sudah saya “sindir” berkali-kali merupakan awal mula dari keresahan intelektual saya pribadi. Lambatnya pemahaman akan kajian ilmu pengetahuan yang lebih dalam, dalam mengkaji manusia secara utuh tidak dapat dilakukan. Hal ini disebabkan dalam melihat fenomena manusia kita cenderung menggunakan paradigma, teori, dimensi dari perspektif bacaan kita. Kita tidak pernah benar-benar membuka “perilaku-perilaku dasar” manusia yang sebenarnya setiap hari kita lihat. Kebutaan intelektual ini saya kira disebabkan oleh “ego” terhadap disiplin ilmu kita masing- masing. Namun demikian saya merasa beruntung mendapatkan “media” seperti yang disediakan oleh teman-teman di Komunitas Embun Pagi. Faktor lain, yang saya kira lebih penting, ialah paradigma positivistik yang sudah bertahun-tahun menjangkit pemikir-pemikir sosial. Ketidakpercayaan diri dalam menggunakan kajian deskriptif ataupun analitis non statistik sudah lama tumbuh dalam pikiran para ahli ilmu pengetahuan sosial. Ejekan-ejekan yang sering saya baca di buku Filsafat Ilmu---misal Buku Filsafat Ilmu Populer Karya Jujun Suryasumantri---oleh para pakar saya kira telah memicu penyakit ketidakpercayaan diri tersebut. Ejekan bahwa tanpa matematika ataupun statistik Ilmu Sosial kurang sahih menurut saya sangat tidak beralasan. Logika Ilmu sosial sangat berbeda. Obyek ilmu sosial tidak seperti obyek pengetahuan alam yang cenderung tetap. Obyek ilmu alam tidak memiliki relasi yang dinamis dengan variabel di luarnya. Relasi tersebut cenderung tetap. Berbeda dengan kajian Ilmu Sosial yang mempunyai relasi yang tidak tetap terhadap variabel-variabel di luarnya. Seandainya seorang manusia hanya dipengaruhi oleh variabel-variabel tetap diluarnya dan tidak berusaha untuk membalikan stimulus yang ada yang barangkali kemudian membalik menanggapinya dengan respon secara timbal balik, saya
  • 7. kira itu bukan manusia tapi lebih dekat dengan robot. Manusia yang harus menunggu untuk mendapat stimulus untuk dapat bertindak, sekali lagi, saya kira itu bukan manusia. Sependapat dengan Einstein, ketika ditanya mengenai persoalan- persoalan epistemologis ilmu tetang tindakan manusia: Bagaimana mungkin matematika, sebagai produk pikiran manusia yang tidak bergantung pada pengalaman apapun, dapat begitu pas dengan obyek-obyek realitas? Apakah akal manusia mampu menemukan, tanpa bantuan pengalaman, melalui akal semata ciri-ciri benda- benda yang nyata?” dan jawabannya adalah: ”Sejauh teorema- teorema matematika mengacu pada realitas, maka tidaklah pasti, dan sejauh mereka pasti, mereka tidak mengacu pada realitas”. Kecenderungan epistemologis yang muncul baru-baru ini merupakan reaksi ketidakpuasan dari patron metodologi yang ada. Keberanian para ahli antropologi untuk memakai metode grounded research merupakan cikal bakal "pemberontakan tersebut". Walaupun ada sedikit "malu-malu" untuk menggunakannya. Yang masih menyerang akut saat ini, yang barangkali termasuk yang diusung oleh Bung Nad di Jurnal Kebasan A&K, dalam bidang Ilmu Ekonomi. Dan saya memprediksi virus-virus ketidakpuasan terhadap ketidakmampuan Ilmu Ekonomi dalam usaha memprediksi setiap permasalahan ekonomi membawa kita kembali mengakui kesahihan metode yang barangkali dianggap purba, yaitu: praksiologi. Anjloknya bursa saham di Amerika Serikat telah membuat negara- negara di seluruh dunia menjadi "was-was". Berbagai analisis ekonomi yang saya baca masih cenderung dangkal. Padahal permasalahan tersebut sebenarnya hanya membutuhkan solusi sederhana yang telah sering disampaikan orang tua kita yang secara ilmiah bukan "pakar"-nya---setidaknya menurut pakar Ilmu Ekonomi. Atau, solusi tersebut dapat diungkap dari kebijaksanaan-
  • 8. kebijaksanaan klasik Cina maupun Jawa Kuno. Tidak bermaksud menjadi kiri. Tulisan ini sebenarnya ingin mengatakan bahwa apa yang kita yakini dalam epistemologi yang dipakai secara umum oleh ahli ilmu sosial sebenarnya semakin menjauhi kebenaran atau realitas itu sendiri. Dengan kata lain, saya sebenarnya lebih mengiyakan pandangan subyektfivitas nya Thomas Kuhn. Atau yang lebih kontemporer barangkalai Capra. Entitas sosial apabila dianalogikan ibarat sebuah sistem tubuh--- dengan logika biologi alih-alih seperti yang sekarang dipakai ialah logika fisika. Atau bila memakai analogi Rothbard seperti jaring laba-laba. Jadi, Seandainya paradigma yang ada sekarang memakai paradigma empiris “obyektif” dengan kacamata ilmu pengetahuan alam. Bukan tidak mungkin, para ahli ilmu sosial yang sekarang “menjabat” atau meneliti dan menulis di jurnal ilmiah telah melakukan sesuatu yang sia-sia dan menghabiskan waktu. Ini berarti suatu generasi yang hilang atau buta terhadap pencerahan ilmu tentang manusia. Saya menyadari konsekuensi mengatakan yang demikian. Apabila benar-benar diterapkan mengenai paradigma yang saya yakini, bukan tidak mungkin, semua struktur kelembagaan yang ada di dunia akademis berubah total. Dan ini, menurut saya, tidak akan mungkin dilakukan karena para akademisi akan lebih mementingkan kepentingannya sendiri atau hak mereka untuk berstatus quo karena terkait dengan profesi, daripada benar-benar melakukan tanggungjawab ilmiah dalam memperjuangkan kebenaran ilmiah yang belum tentu hasilnya. Apalagi ide-ide tersebut hanya dikatakan oleh “anak kecil” seperti kita. Akan tetapi, seperti yang dikatakan Hayek, bukankah tugas intelektual untuk “memasarkan ide” dan selalu mengingatkan
  • 9. setiap penyimpangan yang ada di masyarakat. Termasuk dunia akademis. Dan mengenai peran untuk mendebatkannya secara filosofis sudah dilakukan oleh orang-orang yang setidaknya sudah saya sebut dalam tulisan ini. Begitu banyak bukti-bukti mengenai subyektvitas ilmu pengetahuan sosial. Sejarah perjuangan ideologi ataupun sejarah penemuan teori-teori di bidang ilmu alam telah dapat menjadi bukti bagi seringnya ketersesatan perjalanan menegakkan ilmu pengetahuan pada jalurnya. Nasib tragis yang dialami oleh Wegener dalam memperjuangkan teori kontinental drift bisa dijadikan kasus, atau nasib Galileo, Kopernikus, dan begitu banyak teoritikus lainnya yang bernasib sama. Dan dalam bidang ekonomi saya memprediksi pandangan-pandan Ludwig von Mises akan berdengung keras di dunia akademik ekonomi setelah penyia-nyian masyarakat akademis yang tidak lepas dari pengaruh ideologi politik yang bermain sekarang ini. Akan tetapi, saya yakin kebenaran akan berbicara dengan sendirinya entah suatu saat nanti. Namun demikian, sebuah fakta sejarah kurang lengkap apabila dipergunakan sebagai bukti ilmiah. Bukti yang ada di depan mata, ialah mandulnya peran ilmuwan sosial di masyarakat umum. Bahkan seringkali orang-orang yang memiliki pengaruh ilmiah dalam ilmu sosial biasanya orang-orang “terpinggirkan” dalam dunia akademiknya. Bukankah ini merupakan bukti kecil dari fenomena tersebut. Contoh lain barangkali bisa dilihat dari produktivitas karya-karya sosial. Dari pengalaman saya sebagai pembaca, pandangan-pandangan sosial malah sering muncul dari mulut-mulut yang bukan ahlinya. Semisal yang sering menjadi kasus di Indonesia ialah profesi wartawan, sastrawan, peneliti lepas, pebisnis dan lain sebagainya. Sebagai tambahan, hasrat untuk menyerukan kebenaran ilmiah sebenarnya sudah menjadi bawaan bagi setiap manusia yang
  • 10. berfikir. Dan apabila ada yang sebagian atau bahkan kebanyakan diam itu disebabkan keberadaan mereka di struktur internal organisasi yang menerapkan paradigma yang ada. Toh apabila orang-orang yang “berfikir” tersebut mengetahui, mereka akan memilih diam daripada untuk memilih melakukan “keributan” yang barangkali akan dicap “berisik” dan membikin onar. Barangkali dalam bentuk ekstrim dituduh mencari popularitas. Analisa lain yang saya tuduhkan kalau bisa dikatakan gugatan terkait keberadaan bangsa Indonesia yang dalam “kelahirannya” “berbarengan” atau bisa dikatakan “disebabkan” oleh pertarungan ideologi-ideologi besar. Pengaruh sosialisme dari tahun 1945-1965 dan selanjutnya pengaruh liberalisme ala anglo saxon dari tahun 1966 sampai sekarang masih menjadi landasan “darimana” gagasan itu seharusnya muncul sehingga bisa dikatakan sahih. Apakah kesahihan sebuah ilmu hanya didasarkan pada latar belakang geografis, budaya, peradaban atau apapun itu? Saya kira pandangan tersebut menandakan kesempitan befikir. Sebuah paradigma seharusnya bisa diterima apabila dia dapat dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang ada, dalam hal ini permasalahan sosial. Dan sekarang kita malah menjauhi dari idealisme tersebut. Hal-hal di atas sebenarnya merupakan idealisme dari seorang yang frustasi. Lebih parahnya, bila melihat seretnya penerbitan berkala di dunia akademik, bisa dikatakan dunia akademik kita sebenarnya telah mati suri. Dari kasus yang sekarang saya temui, penerbitan- penerbitan jurnal malah lebih banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang secara akademik berada di luarnya. Mereka sebagian berdiri disebabkan oleh berbagai motif. Namun, tanpa menyelidiki motif tersebut, seharusnya kita patut mengapresiasinya dengan pikiran terbuka. Beberapa kasus tersebut, seharusnya menjadi refleksi semua pihak, termasuk intelektual, bahwa tanggungjawab ilmiah sebenarnya dapat diperankan oleh berbagai macam profesi, dan
  • 11. tidak harus sebagai filsuf yang seringkali dimimpikan oleh para intelektual jika hanya ingin meninggikan strata ilmiahnya. Dari fakta tersebut, begitu sangat jelas, sehingga mempengaruhi keyakinan saya pribadi untuk mengambil posisi, walaupun harus tertatih-tatih dengan cara berputar-putar berpindah profesi, hanya sekedar mencari dan terus mencari apa yang seharusnya dan patut diperjuangkan. Selain ketersesatan penggunaan paradigma, kita juga telah kurang sesuai dalam menggunakan alur berfikir logis dalam upaya menelaah sumber permasalahan ilmu sosial. Cerita singkat mengenai perjalanan panjang diakuinya teori continental drift barangkali bisa dijadikan inspirasi. Dari perspektif kesejarahan ilmu alam, saat Alfred Lothar Wegener menemukan teori continental drift, mula-mula dia hanya sekilas melihat gambaran peta Amerika Selatan dengan garis pantai barat Afrika yang begitu identik, Wegener membayangkan bahwa kedua benua tersebut pernah menyatu. Baru kemudian dia mengumpulkan detail-detail penemuan yang ada untuk mendukung teorinya. Padahal, penelitian geologis telah lama dilakukan oleh para geolog yang hanya mefokuskan detail-detail geologi tanpa membayangkan gambaran muka bumi secara keseluruhan. Akhirnya argumen Wegener mendapat bantahan tanpa pengujian terlebih dahulu dari para ahli geologi yang merasa paling tahu pada bidang tersebut. Namun demikian, Wegener bersikap acuh dan menikmati bidangnya dalam Klimatologi. Hingga 60 tahun kemudian kebenaran ilmiah terungkap dan bukti-bukti yang mengarah bahwa benua itu bergerak semakin banyak.
  • 12. Barangkali sejarah tersebut bisa terulang dengan cerita terbalik. Para ahli ilmu sosial, termasuk para ekonom, selama ini telah terlalu menyederhanakan dan terlalu menjeneralisasikan manusia melalui sederet angka-angka. Sekumpulan data administrasi yang belum tentu kesahihannya telah menjadi agregat-agregat yang dianggap mewakili manusia. Tanpa menyelidiki pada tingkat mikro apa yang sebenarnya dilakukan manusia, apa alasan mereka melakukan sesuatu, bagaimana mereka bertindak untuk mencapai tujuan tersebut, belum diselidiki sama sekali. Sehingga, hanya orang-orang jalanan atau praktisi yang mengetahui dengan jelas tapi kurang mampu menyatakannya secara argumentatif tertulis ataupun mendasarkan pada teori yang sahih untuk menjelaskan permasalahan yang dihadapinya. Sebagai contoh, petani sering mendapati nilai harga beras mereka dibandingkan dengan barang kebutuhan konsumsi yang lain sangat rendah, apabila sekarang harga beras ditingkat dasar mencapai Rp. 4000,- bisa jadi harga di tingkat konsumen mencapai Rp. 5.000,-. Walaupun begitu, dalam mekanisme pasar hal tersebut dapat diterima karena jalur distribusi yang terlalu panjang. Namun, yang lebih memprihatinkan, dengan harga dasar Rp. 4000,- seandainya dibandingkan dengan harga komoditas lain serta ditambah faktor- faktor produksi yang dibutuhkan dalam pertanian yang harganya terus naik, maka nilai beras dengan nominal yang demikian sangat tidak menjadi berarti. Akibatnya, dalam istilah ekonomi yang lebih keren, akan terjadi defisit anggaran yang dialami petani. Tindakan yang sering ditempuh petani, bapak saya biasanya, dengan menyewakan salah satu sawahnya untuk menyokong biaya produksi pada tiap awal musim tanam. Dan hal tersebut terus berlarut-larut sehingga para petani tidak pernah mengalami keuntungan sama sekali disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang sifatnya inflasif. Belum lagi biaya-biaya keluarga seperti pendidikan, listrik, pajak dan lain sebagainya.
  • 13. Permasalahan tindakan-tindakan manusia berdasarkan pilihan- pilihan yang demikian sulit apakah ilmuwan sosial atau ahli ekonomi mengetahuinya? Saya masih ragu hal demikian diketahui oleh ilmuwan yang duduk manis di mimbar akademik yang sangat terhormat. Dan apakah data-data yang dianggap subyektif tersebut bisa digunakan oleh pemerintah untuk mengambil kebijakan? Paling-paling yang digencarkan malah iklan pembayaran pajak agar tepat waktu!. Suatu paradoks yang sering terjadi di kehidupan realitas. Fenomena-fenomena pemiskinan secara sistematis tersebut sering dianggap hal yang remeh temeh. Bahwa permasalahan sosial yang demikian, dianggap terjadi secara kasuistik dan parsial. Bukti yang bisa dianggap sahih ialah pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui angka-angka. Dengan demikian laporan pertanggungjawaban pemerintahan dapat diterima oleh rakyat yang diwakili oleh anggota legislatif melalui “data-data” yang telah dianalisis oleh kementrian ekonomi. Dan sandiwara tersebut diulang berkali-kali tiap lima tahun sekali. Memang tidak mudah menerapkan paradigma individualisme metodis dalam epistemologis ilmu sosial. Mises telah memperingatkan: Meyakini bahwa keseluruhan kolektif itu dapat divisualisasikan adalah suatu ilusi. Keseleruhan kolektif tidak pernah dapat dilihat; kognisinya selalu merupakan hasil dari pemahaman atas makna yang diberikan manusia pada tindakannya. Kita memang dapat melihat keramaian, misalnya kerumunan manusia. Apakah kerumunan itu hanya sekedar pertemuan ataukah sebuah badan teorganisasi atau jenis lain dari entitas sosial merupakan sebuah pertanyaan yang hanya dapat dijawab
  • 14. oleh pemahaman akan makna mereka berikan bagi keberadaan tersebut. Dan makna ini selalu merupakan makna dari individunya. Bukankah indera kita, melainkan pemahaman kita, sebagai sebuah proses mental, yang membuat kita memahami entitas sosial. Mises menambahkan: Siapa saja yang bermaksud memulai kajian tentang tindakan manusia dari unit-unit kolektif akan mendapati rintangan tak terperi berupa kenyataan bahwa setiap individu pada saat yang sama juga dapat merupakan bagian nyata dari beragam entitas kolektif. Persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh mulitiplisitas unit-unit sosial yang berkoeksistensi dan antagonisme- antagonisme mutual mereka dapat diatasi hanya melalui individualisme metodologi. Singkat kata, sekarang kita tidak hanya melakukan kesalahan terbesar abad ini, namun dengan sengaja, kita masyarakat ilmiah, telah membodohi masyarakat umum yang seharusnya tercerahkan oleh keberadaan ilmu pengetahuan. Salah satu dosen pernah mengatakan dengan enteng; “bahwa abad dua puluh ialah abad kuantitatif”. Namun dalam hati saya mengatakan “abad dua puluh ialah abad kegelapan”. Memang sangat mudah melupakan sebuah kesalahan yang tidak merugikan diri sendiri!
  • 15. Epilog Saat mengetahui fakta yang demikian, terasa sulit menerima bahwa yang selama ini kita lakukan sia-sia. Namun setidaknya tumbuhnya kesadaran lebih awal akan menjadikannya lebih baik. Walaupun mengetahui bahwa kita keliru dalam melakukan permulaan, setidaknya yang penting, ahli ilmu sosial termasuk ekonomi, sudah melakukan sesuatu dengan niat yang tulus. Harapan dari penulisan ini bukan bermaksud meniadakan arti penting ilmu sosial maupun ekonomi, tapi lebih pada pencarian dalam upaya kita mendekatkan pada kebenaran. Sehinga ilmu sosial menjadi lebih bermanfaat bagi kehidupan riil yang dapat membentuk kesadaran bagi umat manusia. Dari ulasan di atas, suatu keharusan bagi ahli ilmu sosial untuk dapat memulai berusaha mengetahui dan menyelidiki tatanan sosial yang ada sesuai apa adanya, melalui penelitian-penelitian selanjutnya yang dilakukan peneliti atau penulis lain. Sehingga dapat mendiagnosis permasalahan-permasalahan sosial dengan kacamata yang tepat. Dengan demikian sedikit demi sedikit kita dapat mengetahui serta memanfaatkan modal sosial yang selama ini belum terurai jelas agar dapat digunakan sebagai fondasi dalam membangun masyarakat yang lebih baik. Sekian terima kasih (Giy).
  • 16. Catatan-Catatan Tulisan ini berdasar serta bersumber pada beberapa tulisan dan buku mengenai epistemologi (metode ilmiah) yang tercecer serta observasi kritis bagi bidang yang telah saya tekuni. Namun yang sangat berpengaruh ialah karya Ludwig von Mises dengan judul; Persoalan-Persoalan Epistemologis dalam Ilmu-Ilmu yang Mengkaji Tindakan Manusia yang telah diterjemahkan oleh Bung Nad (Sukasah Syahdan). Untuk mendapatkan buku acuan dari tulisan ini dapat diunduh secara gratis di situs: www.akaldankehendak.wordpress.com. Arikel ini juga dapat dibaca di: www.komunitasembunpagi.blogspot.com