Teks tersebut membahas konsep insan kamil dalam Islam yang memiliki tiga tingkatan, yaitu permulaan, menengah, dan terakhir. Teks juga membahas pentingnya memahami iman, Islam, dan ihsan sebagai pilar agama Islam dalam membentuk insan kamil.
2. A. Menelusuri Konsep dan Urgensi Islam, Iman dan Ihsan
dalam membentuk Insan Kamil
Menurut Ibn Araby, ada dua tingkatan manusia dalam mengimani
Tuhan. Pertama, tingkat insan kamil. Mereka mengimani Tuhan dengan
cara penyaksian. Artinya, mereka “menyaksikan” Tuhan; mereka
menyembah Tuhan yang disaksikannya. Kedua, manusia beragama pada
umumnya. Mereka mengimani Tuhan dengan cara pendefinisian.
Artinya, mereka tidak menyaksikan Tuhan, tetapi mereka mendefinisikan
Tuhan. Mereka mendefinisikan Tuhan berdasarkan sifat-sifat dan nama-
nama Tuhan (Asmā`ul Husna). Masalah penyaksian Tuhan ini berkaitan
dengan rukun Islam pertama, yakni mengucapkan dua kalimah syahadat:
Asyhadu an lā ilāha illā Allāh. Artinya, “Aku bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan kecuali (Tuhan yang nama-Nya) Allah‟; wa asyhadu anna
Muhammadan Rasulūllūh. Artinya, „Dan aku bersaksi bahwa Nabi
Muhammad itu Rasulullah (utusan Allah)‟. Teks dua kalimah syahadat ini
sudah baku, tidak bisa dan tidak boleh diubah-ubah. Tidak boleh diubah
dengan teks kalimat berikut, misalnya: Aku “mendengar” bahwa tidak
ada Tuhan kecuali (Tuhan yang nama-Nya) Allah; dan aku “mendengar”
bahwa Nabi Muhammad itu Rasulullah. Teks kalimah syahadat itu
menggunakan kata “bersaksi”, tidak “mendengar”.
3. Abdulkarim Al-Jillī membagi insan kamil atas tiga tingkatan:
a) Tingkat permulaan (al-bidāyah). Pada tingkat ini insan kamil
mulai dapat merealisasikan asma dan sifat-sifat Ilahi pada dirinya.
b) Tingkat menengah (at-tawasuth). Pada tingkat ini insan kamil
sebagai orbit kehalusan sifatkemanusiaan yang terkait dengan
realitas kasih Tuhan (alhaqāiq ar-raḫmāniyyah). Pengetahuan
yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini telah meningkat
dari pengetahuan biasa, karena sebagian dari hal-hal yang gaib
telah dibukakan Tuhan kepadanya.
c) Tingkat terakhir (alkhitām). Pada tingkat ini insan kamil telah
dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Ia pun telah dapat
mengetahui rincian dari rahasia penciptaan takdir
4. B. Menggali Sumber Teologis, Historis, dan Filosofis
tentang Iman, Islam, dan Ihsan sebagai Pilar Agama
Islam dalam Membentuk Insan Kamil
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Umar bin Khattab r.a. di atas kaum
muslimin menetapkan adanya tiga unsur penting dalam agama Islam,
yakni iman, Islam, dan ihsan sebagai satu kesatuan yang utuh. Pada
periode berikutnya, para ulama mengembangkan imu-ilmu Islam untuk
memahami ketiga unsur tersebut.
Kaum muslimin Indonesia lebih familier dengan istilah akidah, syariat, dan
akhlak sebagai tiga unsur atau komponen pokok ajaran Islam. Akidah
merupakan cabang ilmu agama untuk memahami pilar iman; syariat
merupakan cabang ilmu agama untuk memahami pilar Islam; dan akhlak
merupakan cabang ilmu agama untuk memahami pilar ihsan.
6. Masalah keimanan adalah masalah fundamental dalam Islam. Jangan sampai
manusia merasa sudah beriman, padahal imannya keliru karena tidak sejalan
dengan kehendak Allah. QS Saba`/34: 51-54 menggambarkan penyesalan manusia
setelah kematiannya karena ketika di dunia ia memiliki keimanan yang keliru.
Dan (alangkah hebatnya) jikalau kamu melihat ketika
mereka (orang-orang kafir) terperanjat ketakutan (pada
hari Kiamat); maka mereka tidak dapat melepaskan diri
dan mereka ditangkap dari tempat yang dekat (untuk
dibawa ke neraka). Dan (di waktu itu) mereka berkata,
"Kami beriman kepada Allah." Bagaimanakah mereka
dapat mencapai (keimanan) dari tempat yang jauh itu?
Dan sesungguhnya mereka telah mengingkari Allah
sebelum itu; dan mereka menduga-duga tentang yang
gaib dari tempat yang jauh. Dan dihalangi antara
mereka dengan apa yang mereka ingini sebagaimana
yang dilakukan terhadap orang-orang yang serupa
dengan mereka pada masa dahulu. Sesungguhnya
mereka dahulu (di dunia) dalam keraguan yang
mendalam. (QS. Saba: 51)
7. ...dan Allah sekali-kali tidak akan
memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib.
Akan tetapi, Allah memilih siapa yang
dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya.
Karena itu, berimanlah kepada Allah dan rasul-
rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa,
maka bagimu pahala yang besar. (QS Ali
Imran/3:179)
(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib,
maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang
pun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul
yang diridai-Nya, maka sesungguhnya Dia
mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di
muka dan di belakangnya. (QS Al-Jin/72: 26-27)
Maksud kedua ayat di atas adalah bahwa Allah
sekali-kali tidak mengajarkan manusia tentang
semua perihal wujud diri-Nya yang gaib. Akan
tetapi, Allah memilih para rasul-Nya yang
dikehendaki oleh-Nya untuk menyampaikan
Wujud Allah. Perlu diketahui bahwa hal ini
dilakukan Allah karena Dia sama sekali
tidak akan pernah menampakkan Diri-Nya di
muka bumi milik-Nya. Supaya keimanan kita
mencapai ma’rifat billāh, maka satu-satunya
cara menurut Al-Quran adalah bertanya kepada
ahli zikir, sebagaimana firman-Nya, “Fas`alū
ahladz-dzikri in kuntum lā ta’lamūn (QS An-
Nahl/16: 43, dan QS Al-Anbiya/21:7).
8. Telah terjadi konvensi tentang adanya perbedaan dalam
penafsiran dan pemahaman terhadap isi kandungan Al-Quran.
Artinya, adanya perbedaan-perbedaan dalam penafsiran Al-
Quran sudah dimaklumi dan ditoleransi oleh seluruh kaum
muslimin. Adanya mazhab-mazhab dalam Islam mengindikasikan
adanya keragaman dalam memahami “Al-Islām”, terutama dalam
memahami Al-Quran. Berdasarkan QS Al-Waqi`ah/56: 79, yang
berwenang menjelaskan Al-Quran kepada umat hanyalah orang
yang disucikankan oleh Allah. Di luar orang itu haruslah
menjelaskan Al-Quran atas dasar penjelasan dari orang yang
disucikan itu. Orang yang bisa menjelaskan Al-Quran itu tidak lain
adalah Rasulullah saw.
9. ”Sahkah salat seorang muslim yang telah memenuhi
syarat dan rukun salat, tetapi tidak mengingat Tuhan
(tidak ada zikirnya dalam salat)?” ”Sahkah salat mereka
jika mereka tidak menaati rasul-Nya?” Dalam ilmu
tasawuf, salat harus memenuhi tuntunan syariat dan
hakikat. Memenuhi tuntunan syariat adalah memenuhi
syaratdan rukun salat yang ditetapkan oleh rasul-Nya,
sedangkan memenuhi tuntunan hakikat adalah bahwa
dengan salat itu dimaksudkan untuk li dzikrī, artinya,
mengingat Aku (Aku = Tuhan), yakni bahwa dalam
salat itu harus ”mengingat” Tuhan (QS. Thaha/20: 14).
Salat yang memenuhi tuntunan syariat dan hakikat
akan berpengaruh yaitu dapat mencegah perbuatan
keji dan mungkar (QS Al-Ankabut/29: 45). Dengan
ilustrasi memenuhi salat yang dikehendaki Tuhan,
semakin jelas tentang adanya urutan dalam
mengamalkan Al-Quran.
10. Rukun iman keempat, beriman kepada para rasul-rasul-Nya. Dalam Al-
Quran perintah menaati rasul selalu bergandengan dengan perintah
menaati Allah. Hal ini mengindikasikan bahwa rasul itu sebagai utusan
Tuhan (baca: sebagai wakil Tuhan di bumi) karena Tuhan tidak
menampakkan Diri-Nya di muka bumi. Oleh karena itu, perintah menaati
rasul selalu bergandengan dengan perintah menaati Allah, antara lain
diungkapkan dalam QS An-Nisa`/4: 59.
Rukun iman kelima yaitu beriman kepada hari akhir.
Ungkapan kata yang diawali dengan “ber”, seperti
bersepatu, bersepeda, berpakaian, berenang, bergelora,
dan bertopi memberi petunjuk melekatnya sesuatu
kepada pelakunya. Begitu halnya dengan kata ”ber”-
iman kepada hari akhir. Hari akhir adalah tempat pulang
kembalinya hamba ke asalnya, “Fī maq’adi shidqin ‘inda
malīkin muqtadirin” (pulang kembali di tempat yang
benar [lalu merasakan betapa bahagianya, betapa
bergembiranya, selamalamanya] di sisi Raja Yang
Berkuasa). Raja Diraja itu adalah Tuhan Zat Yang Al-
Ghaib.
Oleh karena itu, apabila secara benar telah mengenali Zat Yang
Al-Ghaib ini, lalu selalu mengingat-ingat dan menghayati-Nya
dalam hati, maka mereka inilah yang tergolong, ”Wabil
ākhirati hum yūqinūna,” (Artinya, ‟Dan dengan hari akhir
mereka meyakininya‟). Ini berarti, kehidupan akhirat yang
telah dapat dihayati dalam hati sejak sekarang ini. Alasannya,
kematian seseorang sangat ditentukan oleh keadaan dia
sekarang ini ketika masih berada di dunia. Jika ia ma’rifat
billāh, selalu mengingat-ingat dan menghayati-Nya dalam hati,
serta melakukan ibadah dan amal sosial secara benar, maka
sebenarnya orang seperti inilah yang
telah meyakini hari akhir
11. Rukun iman keenam yaitu beriman kepada takdir (takdir baik dan
takdir buruk) yang telah ditentukan oleh-Nya. Beriman kepada takdir
(baik atau buruk) berarti meyakini dan mengenali ”Sang Pembuat
Takdir”. Caranya, bereskan dulu keyakinan kita, sebab Dia adalah
segala-galanya. Bagi hamba yang rasa hatinya selalu lengket dengan
Diri-Nya, semua hal yang ditemui dalam hidup dan kehidupan ini
adalah sebagai ujian dan cobaan. Jika seseorang yang lengket dengan
Tuhan dilanda cobaan yang sangat berat sekalipun (berat yang
dirasakan oleh nafsu dan syahwat), dan seberapa pun beratnya
(dimiskinkan, disakitkan, dihilangkan hartanya, diturunkan dari
jabatannya yang tinggi, bahkan hingga dipenjara dan dibunuh secara
kejam seperti yang terjadi pada para nabi, rasul, dan wali kekasih
Allah), maka akan diterima dengan rasa nikmat. Rasa nikmat
mengingat-ingat Allah (berzikir) justru semakin menyala-nyala;
bahkan ujian dan cobaan ini dianggapnya sebagai hari-raya baginya,
karena jika dijalani dengan sabar akan mendatangkan pahala yang
sangat besar.
12. Mari kita kaji kembali ibadah-ibadah
yang terdapat dalam rukun Islam. Kita
perlu mengkaji kembali apakah
ibadah-ibadah yang kita lakukan itu
sudah benar? Imam Ghazali
mengingatkan secara khusus tentang
ibadah-ibadah yang sesat.
Maksudnya, orang melakukan salat,
zakat, puasa, dan haji, tetapi ibadah
yang dilakukan itu tertolak karena
tidak sejalan dengan kehendak Allah.
Al-Ghazali membahas "Penggolongan
Ahli Ibadat yang Tertipu" dalam bab
khusus. Contoh, ibadah haji. “Sayang
sekali,” kata Al-Ghazali, “mereka tidak
membersihkan harta dari keharaman”.
Harta malah didapat dari penipuan, pengelabuan,
penganiayaan, pencolengan, dan lain-lain. Namun,
hutang-hutangnya tidak dibayar terlebih dahulu. Bekal
untuk melaksanakan haji tidak dipilih dari yang halal.
Yang dilakukannya pun malah, bukan haji wajib,
melainkan pergi haji untuk kedua kalinya, ketiga kalinya,
dan seterusnya (Al-Qasimi, 1986: 832).
Kemudian tentang “Para Pemilik Harta yang Tertipu”.
Mereka adalah orang-orang yang besar semangatnya
untuk membangun masjid atau bangunan keagamaan
yang tampak jelas di mata khalayak ramai. Tujuannya
tidak lain agar nama mereka dikenang, kedermawanan
mereka disebut-sebut, dan kemasyhuran bersedekah
mereka pun tersiar ke pelbagai tempat, dan seterusnya.
Sebaliknya, kadang-kadang menurut pandangan agama,
lanjut Imam Ghazali, lebih utama bersedekah dan
membagi-bagikan hartanya itu kepada kaum fakir-miskin.
Akan tetapi, orang-orang yang tertipu tadi enggan
melakukan yang demikian sebab takut kalau amalannya
itu tidak tampak di muka
13. Jika Anda sudah memahami makna
iman dan beriman dengan benar, juga
memahami makna Islam dan
menjalankan rukun Islam dengan
benar, maka Anda akan lebih mudah
memahami makna ihsan. Anda dapat
mencapai derajat ihsan dengan lebih
meningkatkan kualitas iman dan Islam.
Makna ihsan, sebagaimana dijelaskan
dalam sebuah hadis, “Kamu
menyembah Allah seolah-olah (mata
kepala) kamu melihat Allah. Jika (mata
kepala) kamu tidak bisa melihat Allah
(dan pasti tidak bisa melihat-Nya),
tetapi Allah melihat kamu.”
Maksudnya, mata kepala kita tidak
mungkin bisa melihat Allah (karena
Allah adalah Zat Yang Mahagaib).
Namun, Allah Melihat kita. Oleh
karena itu, supaya ibadah kita
mencapai derajat ihsan, maka
mata hati kita harus selalu
diusahakan melihat Allah, karena
hanya mata hatilah yang dapat
melihat Allah. Ketika beribadah,
mata hati kita harus dapat
menghadirkan Allah sehingga kita
menyembah Tuhan yang benar-
benar Tuhan, sesuai tuntutan Allah
dalam QS Al-Hijr/15: 99: Wa’bud
rabbaka hattā ya`tiyakal yaqīn.
Artinya, “Sembahlah Tuhanmu
sampai kamu yakin (Tuhan yang
kamu sembah itu) hadir (dalam
mata hatimu).”
14. Syekh Fadlullah Al-Burhanpuri (wafat tahun 1620 M)
yang atas perintah gurunya, Syekh Ahmad Al-Qusyasyi,
dalam Martabat Tujuh menyusun konsep insan kamil
berdasarkan proses tanazzul (turun) Tuhan dari
“Martabat Aḫadiyat” hingga “Martabat Insan Kamil.”
Konsep Manusia dalam Al-Quran
Secara umum, pembicaraan tentang konsep manusia
selalu berkisar dalam dua dimensi, yakni dimensi jasmani
dan rohani, atau dimensi lahir dan batin. Kajian ini
bertujuan menjelaskan term ”manusia” dalam Al-Quran.
Ada tiga term yang biasa diterjemahkan sebagai
”manusia” dalam Al-Quran, yakni:
1. Basyar (dimensi jasmaniah) lebih memperingatkan
manusia yang cenderung mempertuhankan hawa-
nafsunya (yang berwujud jiwa-raga). Sebagaimana iblis
yang abā wastakbara (sombong dan takabur) karena
merasa anā khairun minhu („aku lebih baik
daripadanya„), manusia cenderung memandang rendah
para nabi atau rasul dan pengikut-pengikutnya, karena
yang dilihat
2. Al-insān (dimensi psikologis-rohaniah)
merupakan peringatan dari Allah bahwa manusia
cenderung kafir. Ketika al-insān menerima
amanat, padahal amanat itu ditawarkan Allah
kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, Allah
sama sekali tidak memujinya, malah memvonis
bahwa al-insān itu zhalūman jahūla (sangat zalim
dan sanga bodoh.
3. An-nās (dimensi sosiologis-kemasyarakatan
dari manusia) memperingatkan manusia yang
cenderung mengikuti agama leluhur, agama
mayoritas, dan agama yang menarik perhatiannya,
atau mengikuti pendapatnya sendiri; bukannya
mengikuti man anāba ilayya (orang yang kembali
kepada-Ku), yakni para nabi, para rasul, atau para
khalifah-Nya (wakil Tuhan di bumi).
15. Unsur-unsur Manusia
Pembentuk Insan Kamil
Al-Ghazali menyebutkan
adanya unsur luar (tubuh) dan
unsur dalam (batin). Unsur
tubuh menyangkut anggota
tubuh dan pancaindra;
sedangkan unsur batin berupa
hati, akal, nafsu, dan hasrat. Al-
Ghazali menyebut juga roh
sebagai unsur batin, tetapi
dipandang sinonim dengan
hati. Unsur-unsur manusia
yang tersebut diungkap oleh
Al-Ghazali.
Al-Ghazali menekankan
pentingnya hati (qalb), yang
diibaratkan sebagai ”raja”,
setelah itu akal (’aql), yang
diibaratkan sebagai ”perdana
menteri”; sementara unsur-
unsur lainnya hanya sebagai
pelayan dan pengikut. Namun,
ada juga unsur yang sangat
rawan, yaitu nafsu dan hasrat.
Kedua unsur ini seharusnya
tunduk dikendalikan oleh akal,
atas perintah hati. Akan tetapi,
jika kedua unsur (nafsu dan
hasrat) malah mengendalikan
akal, maka yang terjadi adalah
kudeta terhadap ”raja”.
16. Al-Ghazali (dalam Othman, 1987: 31-33) menyebut
beberapa instrumen untuk mencari ”pengetahuan yang
benar” serta kapasitasnya untuk mencapainya;
1. Pancaindra, memiliki keterbatasan, dan
tidak bisa mencapai ”pengetahuan yang
benar”, setelah dinilai oleh akal
2. Akal, cara yang sama, seharusnya orang pun
menilai tingkat kebenaran akal. Orang
seharusnya menggunakan cara yang sama
dengan cara yang digunakan oleh akal ketika
menilai kekeliruan pancaindra.
3. Nur Ilahi. Untuk dapat mengenal Allah (ma’rifat billāh) dengan diperolehnya
nur Ilahi, Al-Ghazali menekankan, ”Kebenaran harus dicari dan didapat”. Tidak
boleh bersandar pada taklid dan pandangan mayoritas. Dalam mencari kebenaran
itu, ternyata Al-Ghazali (yang sudah menjadi guru besar dan Hujjatul Islām) masih
mencari ”Syekh” (sebagai “Guru Mursyid”)
17. C. Membangun Argumen tentang Karakteristik Insan Kamil
dan Metode Pencapaiannya
Ibn Araby menyebutkan adanya dua jenis manusia, yaitu insan kamil
dan monster bertubuh manusia. Maksudnya, jika tidak menjadi insan
kamil, maka manusia akan menjadi monster bertubuh manusia.
Pandangan Araby ini mungkin didasarkan atas Al-Quran yang memang
memvonis manusia sebagai makhluk yang rendah dan negatif, yakni:
lebih memperturutkan hawa nafsunya, suka berkeluh kesah dan banyak
berdoa (ingin segera dihilangkan kesusahannya), padahal manusia
diciptakan oleh Tuhan dalam bentuk dan struktur yang sebaik-baiknya
(mempunyai potensi ber-Tuhan dan taat beragama.
18. Dengan merujuk kepada filsuf dan sufi muslim, manusia itu
terdiri dari empat unsur:
1. Jasad, Keberadaannya di dunia dibatasi
dengan umur. Wujud nafsu manusia tidak lain
adalah wujud jasad ini yang sengaja diciptakan
oleh Allah untuk diuji. Karena wujud jasad ini
sebagai ujian, maka oleh Allah jasad diberi hati
hati sanubari yang watak jasadnya persis seperti
iblis, yakni abā wastakbara (takabur) dan anā
khairun minhu (ujub, merasa lebih baik, bahkan
dibandingkan dengan khalifah Allah sekalipun).
Kewajiban jasad adalah menjalankan syariat,
yakni menjalankan ibadah badan dan ibadah
harta (seperti salat wajib, puasa Ramadan,
membayar zakat, menunaikan ibadah haji ke
Baitullah bagi yang mampu, dan peduli
memajukan lingkungan).
2. Hati nurani. Letaknya tepat di
tengah-tengah dada. Tandanya ”deg-
deg”. Disebut juga dengan hati
jantung. Hati nurani dijadikan Allah
dari cahaya, wataknya seperti para
malaikat-Nya yang rela sujud (patuh
dan tunduk) kepada wakil-Nya Tuhan
di bumi (QS Al-Baqarah/2: 30-34).
Bukti adanya hati dalam diri manusia
adalah adanya cinta dan benci.
Kewajiban hati adalah menjalankan
tarekat, yakni mencintai Allah dengan
jalan mengingat-ingat-Nya (berzikir)
dan menaati rasul-Nya.
19. 3. Roh, letaknya di dalam hati
nurani. Roh adalah daya dan
kekuatan Tuhan yang
dimasukkan ke dalam jasad
manusia, lalu menandai
dengan keluar-masuknya
nafas, menjadi hidup seperti
kita di dunia sekarang ini. Ciri
adanya roh adalah kita
dihidupkan di dunia ini.
Kewajiban roh adalah
menjalankan hakikat, yakni
merasa-rasakan daya-kuat-
Nya Tuhan.
4. Sirr (rasa). Letaknya di tengah-
tengah roh yang paling halus (paling
dalam). Rasa inilah yang kembali ke
akhirat. Rasa adalah jati diri
manusia. Bukti adanya rasa adalah
kita dapat merasakan berbagai hal
dan segala macam (asin, pahit, getir,
enak dan tidak enak, sakit dan
sehat, senang dan susah, sakit hati,
frustrasi, dan lain-lain). Kewajiban
sirr (rasa) adalah mencapai ma’rifat
billāh, yakni merasa-rasakan
kehadiran Tuhan; bahwa ternyata
Tuhan itu dekat sekali dengan kita
20. Ulama sufi, antara lain Imam Ghazali (1989), menjelaskan tujuh macam nafsu (sekaligus
tujuh tangga) sebagai proses taraqqi (menaik) manusia menuju Tuhan. Insan kamil
adalah manusia yang sudah menanggalkan karakter kemanusiannya yang rendah dan
telah mencapai tangga nafsu tertinggi (tangga nafsu ketujuh). Tujuh macam nafsu dan
tangga tersebut adalah sebagai berikut:
1. Nafsu Ammārah,
dengan ciri-ciri:
sombong, iri-dengki,
dendam, menuruti
nafsu, serakah, jor-
joran, suka marah,
membenci, tidak
mengetahui
kewajiban, akhirnya
gelap tidak
mengenali tuhan.
2. Nafsu Lawwāmah,
dengan_ciri-ciri:
enggan, cuek, suka
memuji diri, pamer,
dusta, mencari aib
orang, suka
menyakiti, dan pura-
pura tidak
mengetahui
kewajiban.
3. Nafsu Mulhimah,
dengan ciri-ciri: suka
sedekah, sederhana,
menerima apa adanya,
belas kasih, lemah
lembut, tobat, sabar,
tahan menghadapi
kesulitan, dan siap
menanggung betapa
beratnya menjalankan
kewajiban.
4. Nafsu Muthma`innah, dengan
ciri-ciri: suka beribadah, suka
bersedekah, mensyukuri nikmat
dengan memperbanyak amal,
bertawakal, rida dengan
ketentuan Allah, dan takut kepada
Allah. Nafsu tangga ke-4 inilah
start awal bagi orang-orang
yang berkehendak kembali kepada
Tuhan (masuk surga-Nya).
Setelah mencapai tangga ini pun
masih harus terus meningkat
hingga tangga nafsu tertinggi,
nafsu kāmilah (insan kamil).
21. 5. Nafsu Rādhiyah,
dengan ciri-ciri:
pribadi yang mulia,
zuhud, ikhlas,
wira’i, riyādhah,
dan menepati
janji.
6. Nafsu Mardhiyyah,
dengan ciri-ciri: bagusnya
budi pekerti,
bersih dari segala dosa
makhluk, rela
menghilangkan
kegelapannya makhluk,
dan senang mengajak
serta memberikan
penerangan kepada roh-
nya makhluk.
7. Nafsu Kāmilah, dengan
ciri-ciri dianugerahi: ’Ilmul-
yaqīn, ’ainulyaqīn, dan
ḫaqqul-yaqīn. Orang yang
sudah mencapai tangga
nafsu tertinggi ini matanya
akan terang benderang
sehingga bisa melihat
sesuatu yang tidak bisa
dilihat oleh orang-orang
yang memiliki nafsu di
bawahnya, terlebih-lebih
lagi orang-orang umum.
22. Syekh Abdul Qadir Jailani berkata, ”Jalan sufi adalah shirāthal
mustaqīm, yakni menjalankan syariat secara lahiriah, dan
menjalankan hakikat secara batiniah. Syariat adalah segala
peribadatan yang dijalankan oleh raga, seperti mengucapkan dua
kalimah syahadat, mengerjakan salat, membayar zakat, berpuasa
pada bulan Ramadan, menunaikan ibadah haji ke Baitullah, ber-
akhlaqul karīmah (berakhlak mulia), dan bagusnya budi pekerti.
Adapun hakikat adalah, ketika menjalankan syariat tersebut
dibarengi dengan keadaan hati yang selalu mengingat-ingat Allah
(disertai dzikir khafy , zikir di hati, tidak diucapkan).
Adapun jalan utama yang perlu dilakukan untuk mencapai
derajat insan kamil adalah jihād akbar (jihad menundukkan nafsu
dan syahwat). Imam Ghazali (1333 H: 4) dan kaum sufi lainnya
menguraikan tujuh macam nafsu (sekaligus tujuh tangga), yaitu:
ammārah, lawwāmah, mulhimah, muthma`innah, rādhiyah,
mardhiyyah, dan kāmilah. Jadi, upaya menundukkan nafsu itu
adalah dengan menaiki (proses taraqqi) ketujuh tangga nafsu
tersebut hingga mencapai nafsu kāmilah
23. Bagaimanakah cara menundukkan nafsu dan syahwat? Teori umumnya adalah
dengan memperkokoh keimanan (imannya mencapai tingkat “yakin”, tidak sekedar
percaya), bersungguh-sungguh dalam beribadah (ibadah yang benar dan ikhlas),
dan memperbagus akhlak dan perilaku (dengan akhlaqul karīmah yang
sempurna). Untuk mengokohkan keimanan, maka keimanan kita harus mencapai
tingkat “yakin” (tidak sekedar “percaya”).
Di samping itu, ada yang lebih berat, yakni mengurangi (syukur-syukur dapat
menghilangkan) karakter-karakter buruk dalam diri sendiri. Kaum sufi memberikan
“tips”. Untuk dapat menaiki tangga demi tangga, maka seseorang yang
berkehendak mencapai martabat insan kamil diharuskan melakukan riyādhah
(berlatih terus-menerus) menapaki maqām demi maqām yang biasa ditempuh
oleh kaum sufi dalam perjalanannya menuju Tuhan. Maqām-maqām yang
dimaksud lebih merupakan karakter-karakter „inti‟; dimulai dengan menanamkan
karakter „inti‟ taubat, kemudian maqām kedua, maqām ketiga, dan seterusnya,
hingga maqām tertinggi.
24. Rangkuman tentang Bagaimana Menjadi Insan Kamil
Insan kamil (manusia sempurna) merupakan tipe manusia ideal
yang dikehendaki oleh Tuhan. Sebabnya, jika tidak menjadi insan kamil,
maka manusia itu meminjam istilah Ibn Araby – hanyalah monster
bertubuh manusia. Insan kamil adalah manusia yang telah menanggalkan
kemanusiaannya yang rendah, lalu berjalan menapaki tangga demi tangga
menuju Tuhan sehingga mencapai tangga nafsu tertinggi, nafsu kāmilah
(insan kamil). Tangga-tangga yang dimaksud adalah tujuh tangga (sekaligus
tujuh macam nafsu manusia), yakni: ammārah, lawwāmah, mulhimah,
muthma`innah, rādhiyah, mardhiyyah, dan kāmilah. Start awal untuk
menjadi insan kamil, nafsu kita harus diusahakan mencapai tangga nafsu
keempat (nafsu muthma`innah). Setelah mencapai tingkatan nafsu ini,
nanti Tuhan sendiri yang akan menaikkan diri kita ke tangga nafsu yang
lebih tinggi sehingga nafsu kāmilah (insan kamil). Dihubungkan dengan
iman, Islam, dan ihsan,
25. maka untuk mencapai martabat insan kamil keimanan kita (dengan mengimani rukun iman)
harus benar dan kokoh; peribadatan kita (dengan menjalankan rukun Islam) harus
dijalankan dengan benar, ikhlas, dan bersungguh-sungguh; dan semua ibadah dan amal
social yang kita lakukan harus mencapai tingkat ihsan. Untuk mengokohkan keimanan kita,
maka keimanan kita tidak sekedar “percaya”, tetapi harus mencapai tingkat “yakin”. Untuk
menapaki jalan insan kamil, terlebih dahulu kita perlu mengingat kembali tentang empat
unsur manusia, yakni: jasad / raga, hati, roh, dan sirr (rasa). Keempat unsur manusia harus
difungsikan untuk menjalankan kehendak Allah. Hati nurani harus dijadikan rajanya (dengan
cara selalu mengingat-ingat Tuhan). Karena hati nurani menjadi rajanya, maka secara
otomatis raganya menjalankan syariat, hatinya menjalankan tarekat, rohnya menjalani
hakikat, dan sirr (rasa)nya mencapai makrifat. Adapun hati sanubari ditundukkannya
sehingga sama sekali tidak berfungsi. Jika sudah secara benar menjalankan keempat unsur
manusia (sesuai kehendak Allah), lalu mengokohkan keimanan, meningkatkan peribadatan,
dan membaguskan perbuatan (ibadah dan amal sosial, termasuk berakhlak yang baik),
sekaligus mengikis karakter-karakter yang buruk (sombong, bangga diri, riya`, menghendaki
kebaikan dirinya dibicarakan orang, iri-dengki, marah, dendam, dan karakterkarakter buruk
lainnya). Kunci keberhasilan menapaki jalan menuju martabat insan kamil adalah menapaki
maqām-maqām (karakter-karakter inti‟) secara bertahap, mulai tahap pertama, tahap
kedua, dan seterusnya sehingga tahap keenam.