Variabel Penelitian
● Independen: Kadar kalsium (Numerik)
● Dependen : Kejadian Krisis Hipertensi (Kategorik)
● Confounding:
○ Usia, jenis kelamin, ras, riwayat DM, IMT →
matched
○ Penggunaan diuretik, penggunaan PPI,
stadium CKD, kadar albumin, dan eGFR →
uncontrolled/unmatched
Tujuan Penelitian
● Membedakan rerata kadar kalsium pada
pasien krisis hipertensi (kasus) dan tanpa
krisis hipertensi (kontrol)
Hipotesis Penelitian
● Terdapat perbedaan rerata kadar kalsium
pada pasien krisis hipertensi (kasus) dan
tanpa krisis hipertensi (kontrol)
6.
Analisis Statistik
● Normalitassebaran data dan ujinya tidak
disajikan
● Mean serum kalsium CoV = 0,78/8,99 x 100 =
→
8,7% (normal)
● Uji hipotesis dengan Student t test rerata
→
kadar kalsium (numerik) vs kejadian krisis
hipertensi (kategorik)
7.
Data kategorik (kotakbiru)
disajikan dalam frekuensi dan
proporsi n (%)
→
Data numerik parametrik (kotak
hijau) disajikan dalam mean ± SD
Data numerik nonparametrik
(kotak merah) disajikan dalam
mean ± SD (range)
Diskusi
Kemungkinan penyebab perbedaantidak bermakna:
● Terdapat variabel perancu yang tidak dikontrol
● Jumlah sampel kurang
● Keterbatasan alat kadar kalsium intraseluler merupakan indikator yang lebih
→
Variabel Penelitian
● Independen: Brucellosis (nominal), titer Wright dan
2ME (ordinal), durasi sakit (numerik)
● Dependen : Kadar IL-4 (numerik)
Tujuan Penelitian
● Mengetahui perbedaan rerata kadar IL-4
pada pasien Brucellosis dan populasi normal
● Mengetahui korelasi kadar IL-4 dengan
durasi sakit
● Mengetahui hubungan kadar IL-4 dengan
titer Wright dan 2ME
Hipotesis Penelitian
● Terdapat perbedaan rerata kadar IL-4
pasien Brucellosis dan populasi normal
12.
Analisis Statistik
● Normalitassebaran data diujikan dengan
Kolmogorov-Smirnov hasil
→ nonparametrik
(nilai p tidak disajikan)
● Rerata kadar IL-4 pasien Brucellosis vs normal →
Mann Whitney test (non parametrik)
● Korelasi kadar IL-4 dengan durasi sakit →
Spearman (non parametrik)
● Mengetahui hubungan kadar IL-4 dengan titer
Wright dan 2ME → Kruskal-Wallis test (non
parametrik)
13.
Perhitungan Besar Sampel
PooledSD = 20.1
d = 1 - 2 = 184.7-138.0= 46.7
𝜇 𝜇
Sample size n1 = n2 =
→ 6
Ahmed K, Al-Matrouk KA, Martinez G, Oishi K, Rotimi VO, Nagatake T. Increased serum levels of
interferon-gamma and interleukin-12 during human brucellosis. Am J Trop Med Hyg. 1999;61(3):425-427.
Diskusi
● Rerata kadarIL-4 pasien Brucellosis lebih tinggi dibanding normal (Mann Whitney test
p<0.001) infeksi Brucella mengaktifkan respon imun termediasi sel (
→ cell-mediated)
● Kadar IL-4 dengan titer Wright dan 2ME aktivasi respon imun termediasi sel (
→ cell-
mediated) pada infeksi Brucella tidak bergantung kerja respon humoral
Tujuan Penelitian :untuk mengevaluasi nilai
klinis dari deteksi gabungan imunoglobulin sel
T yang dapat larut dan molekul domain mucin 3
(sTim-3) dan pepsinogen (PG) dalam serum
untuk diagnosis kanker lambung (GC).
19.
Variabel Penelitian
Variabel Independen
GastricCancer Group (GC):
● Pasien GC yang pertama kali di diagnosis
● Pasien Postoperative dengan GC
Benign Gastric Diseases Group (BGD):
● a. Variasi Tipe Benign Gastric Diseases (e.g., gastric polyps, atrophic gastritis,
erosive gastritis, etc.)
Grup Individu Sehat:
● Individu Tanpa riwayat penyakit abdominal, negatif untuk tumor markers, dan
negatif untuk infeksi Helicobacter pylori
Variabel Dependen
Serum levels of sTim-3, PGI, and PGII
20.
Kesesuaian tujuan denganvariabel sesuai
→
Relevansi Variabel:
Penelitian ini berfokus pada variabel spesifik yang terkait dengan diagnosis kanker lambung: sTim-3,
Pepsinogen (PGI dan PGII), dan kombinasi dari penanda-penanda ini. Variabel-variabel ini secara biologis
relevan dengan kanker lambung, karena sTim-3 dikaitkan dengan regulasi kekebalan tubuh, dan kadar
Pepsinogen dapat memberikan wawasan tentang kesehatan mukosa lambung.
Metodologi:
Penelitian ini menggunakan metode sandwich antibodi ganda untuk membuat immunoassay fluoresensi yang
sangat sensitif terhadap waktu untuk mendeteksi sTim-3. Metode ini sesuai untuk mengukur kadar protein
target dalam serum secara tepat.
Peserta Studi:
Keikutsertaan 149 pasien GC, 81 pasien dengan penyakit lambung jinak (BGD), dan 73 kontrol sehat
memberikan representasi yang beragam dari individu dengan status kesehatan lambung yang berbeda-beda.
Hal ini memungkinkan penilaian yang komprehensif terhadap nilai diagnostik dari variabel-variabel dalam
skenario klinis yang berbeda.
22.
Tingkat PGI
- Padapasien dengan penyakit lambung jinak (BGD), tingkat serum PGI
signifikan lebih rendah dibandingkan dengan individu sehat. P < 0.05
- Tingkat PGI pada pasien kanker lambung (GC) mirip dengan kelompok
kontrol, tetapi beberapa pasien BGD dan GC menunjukkan variasi.
Tingkat PGII:
- Tingkat serum PGII pada pasien GC dan BGD pertama kali diagnosa
signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan individu sehat.P < 0.05
Rasio PGI/PGII
- Rasio PGI/PGII pada pasien GC dan BGD pertama kali diagnosa signifikan
lebih rendah dibandingkan dengan individu sehat. P < 0.05
Tingkat sTim-3:
- Tingkat serum sTim-3 menunjukkan tren kenaikan dari kontrol sehat ke
BGD dan pasien GC pertama kali diagnosa, dengan perbedaan signifikan di
antara kelompok-kelompok tersebut. P < 0.05
- Pada pasien setelah gastrektomi, tingkat PGI dan PGII signifikan lebih
rendah, sementara tingkat sTim-3 signifikan lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok kontrol. P < 0.0001
Tingkat sTim-3 dalam Tahap GC:
- Tingkat serum sTim-3 meningkat secara signifikan pada setiap tahap
kanker lambung (tahap I hingga IV) pada diagnosa awal. P <0.01
Tingkat sTim-3 dalam Kekambuhan:
- Pada pasien GC setelah operasi, tingkat serum sTim-3 signifikan lebih
tinggi pada kelompok kekambuhan dibandingkan dengan kelompok tanpa
kekambuhan.
Figure 1 (A) PGI levels in controls and BGD and first-diagnosis GC patients; (B) PGII levels in controls and BGD and first-diagnosis GC patients; (C) PGI/PGII ratio in controls and BGD and first-diagnosis GC patients; (D
sTim-3 levels in controls and BGD and first-diagnosis GC patients; (E) sTim-3 levels in first-diagnosis GC patients (stage I, stage II, stage III, and stage IV); (F) sTim-3 levels in controls, recurrence group after GC surgery
and no recurrence group after GC surgery. *P < 0.05; **P < 0.01; ***P < 0.001; ****P < 0.0001.
23.
1. Representasi DataKuantitatif:
Data kuantitatif dinyatakan sebagai mean ± SD (mean plus/minus standar deviasi). Hal ini menunjukkan kecenderungan sentral (mean) dan
variabilitas (standar deviasi) data.
2. Metode Analisis:
Perbedaan data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan ANOVA (Analysis of Variance). ANOVA adalah uji statistik yang digunakan untuk
membandingkan rata-rata di antara beberapa kelompok (>2 kelompok). (parametrik)
3. Uji Post Hoc:
- Setelah ANOVA, uji post hoc diterapkan, dan dalam hal ini, uji perbandingan berganda Tukey. Tujuan dari tes ini adalah untuk mengidentifikasi
kelompok tertentu yang memiliki perbedaan signifikan secara statistik dalam mean mereka.
4. Indikator Signifikansi (a, b, c):
- Tingkat Signifikansi:Pernyataan ini memberikan tingkat signifikansi yang dilambangkan dengan huruf (a, b, c). Setiap huruf berhubungan
dengan perbandingan tertentu:
- aP < 0,05 dibandingkan dengan kontrol
- bP < 0,05 dibandingkan dengan BGD (mungkin penyakit lambung jinak)
- cP <0,05 dibandingkan dengan GC (mungkin kanker lambung)
- Interpretasi:Untuk setiap huruf, jika nilai p kurang dari 0,05, hal ini menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik untuk
perbandingan yang ditentukan. Sebagai contoh, "aP < 0,05 dibandingkan dengan kontrol" menunjukkan bahwa kelompok yang disebut sebagai "a"
secara signifikan berbeda dari kelompok kontrol.
24.
Hipotesis penelitian
Hipotesis Nol(H0):
Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kadar serum imunoglobulin sel T yang dapat larut dan molekul domain musin 3 (sTim-3) antara pasien
kanker lambung (GC) atau penyakit lambung jinak (BGD) dan kontrol yang sehat.
Hipotesis Alternatif (H1):
Kadar serum sTim-3 secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan GC dan BGD dibandingkan dengan kontrol yang sehat.
Hipotesis Alternatif (H2):
Deteksi gabungan sTim-3 dan pepsinogen (PG) dalam serum menyediakan alat diagnostik yang berharga untuk membedakan GC dari penyakit lambung
jinak dan kontrol yang sehat.
Hipotesis Alternatif (H3):
Kadar sTim-3 serum dapat berfungsi sebagai prediktor kambuhnya kanker lambung pada pasien pasca operasi.
Hipotesis Alternatif (H4):
Sensitivitas dan spesifisitas deteksi gabungan sTim-3 dan PG untuk mendiagnosis GC secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan
PG saja.
25.
Penjelasan jumlah sampelpada penelitian dan apakah
sudah sesuai?
Penelitian ini melibatkan total 303 sampel, yang terdiri dari 149 pasien kanker lambung
(GC), 81 pasien dengan penyakit lambung jinak (BGD), dan 73 orang sehat. Ukuran
sampel sesuai dengan tujuan penelitian, yang melibatkan evaluasi nilai diagnostik
penanda spesifik (sTim-3 dan Pepsinogen) pada kelompok klinis yang berbeda.
Keragaman peserta dan temuan statistik yang dilaporkan menunjukkan bahwa ukuran
sampel cukup untuk analisis yang dilakukan. Secara keseluruhan, ukuran sampel sesuai
dengan tujuan dan konteks penelitian.
26.
Uji statistik yangdigunakan, mengapa mereka
menggunakan uji tersebut?
Penelitian ini menggunakan ANOVA (Analysis of Variance). ANOVA adalah uji statistik yang
digunakan untuk membandingkan rata-rata di antara beberapa kelompok (>2 kelompok).
(parametrik)
Setelah ANOVA, uji post hoc diterapkan, dan dalam hal ini, uji perbandingan berganda Tukey.
Tujuan dari tes ini adalah untuk mengidentifikasi kelompok tertentu yang memiliki perbedaan
signifikan secara statistik dalam mean mereka.
27.
Signifikansi hipotesis
1.Perbedaan SerumsTim-3 Levels:
- Hasil:Serum sTim-3 levels pada pasien kanker lambung (GC) dan pasien penyakit lambung jinak (BGD) secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol sehat.
- Signifikansi: ( P < 0.001 )
2. Kombinasi Deteksi sTim-3 dan PGI/PGII:
- Hasil:Kombinasi deteksi sTim-3 dan PGI/PGII memiliki nilai AUC yang tinggi (0.9330), sensitivitas 86.44%, dan spesifisitas 91.78%
untuk diagnosis kanker lambung.
- Signifikansi:Nilai-nilai ini menunjukkan bahwa kombinasi deteksi ini memiliki nilai diagnostik yang tinggi, dan signifikansi dapat terkait
dengan p-nilai tertentu.
3. Ambang Nilai untuk PGI/PGII dan sTim-3:
- Hasil:Ketika tingkat PGI/PGII kurang dari 12.11 dan tingkat sTim-3 lebih dari 14.30 ng/mL, positivitas kontrol berkurang menjadi 0%,
dan tingkat deteksi positif untuk kanker lambung mencapai 54.47%.
- Signifikansi:Signifikansi ambang nilai ini juga dapat terkait dengan p-nilai tertentu (yang tidak diberikan dalam kutipan).
4. Serum sTim-3 Levels pada Pasien Pascaoperasi:
- Hasil: Tingkat sTim-3 serum pada kelompok rekurensi pasien pascaoperasi secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok tanpa rekurensi.
- Signifikansi:
Sebagian besar hasil menunjukkan signifikansi statistik dengan nilai p yang sangat rendah (kurang dari 0.001), menunjukkan bahwa
perbedaan yang diamati tidak mungkin terjadi karena kebetulan semata. Studi ini menunjukkan bahwa serum sTim-3 dan kombinasi
dengan PGI/PGII memiliki nilai diagnostik yang tinggi dalam mengidentifikasi kanker lambung dan memiliki potensi sebagai biomarker
yang signifikan.
29.
Tujuan Penelitian :mengevaluasi
apakah kadar CysC serum yang lebih
tinggi meningkatkan risiko komplikasi
vaskular pada pasien diabetes
melitus tipe 2 dengan fungsi ginjal
normal atau gangguan ginjal ringan.
Metode : Penelitian ini secara
retrospektif meninjau rekam medis 806
pasien diabetes melitus tipe 2 yang
dirawat di pusat diabetes untuk kontrol
glukosa darah di Rumah Sakit
Universitas Soonchunhyang. Pasien
dengan nefropati tidak diikutsertakan.
Fokus utamanya adalah
mengelompokkan pasien ke dalam
kuartil berdasarkan kadar Cystatin C
serum dan kemudian menganalisis data
untuk mencapai tujuan penelitian.
30.
❏ Variabel Independen:
TingkatSerum CysC (dikategorikan ke dalam quartiles: Q1, Q2,
Q3, Q4).
❏ Variabel Dependen:
Keberadaan Retinopati Diabetik (DR)
Keberadaan Penyakit Jantung Koroner (CHD)
Keberadaan Stroke
Variabel Penelitian
Kesesuaian tujuan dengan variabel sesuai
→
Tujuan penelitian untuk mengevaluasi apakah tingkat serum CysC dapat meningkatkan risiko komplikasi vaskular
pada pasien diabetes tipe 2 dengan fungsi ginjal normal atau gangguan ginjal ringan sepertinya sesuai dengan
variabel yang digunakan. Variabel-variabel seperti tingkat serum CysC dan keberadaan komplikasi vaskular
(retinopati diabetik dan penyakit jantung koroner) memungkinkan penelitian untuk mengeksplorasi hubungan
potensial antara biomarker tersebut dengan kondisi klinis pasien.
31.
Kesimpulan : KadarCysC serum secara independen dikaitkan dengan peningkatan risiko Retinopati
Diabetik (DR) dan Penyakit Jantung Koroner (PJK).
Hasil :
● Proporsi pasien dengan DR meningkat secara signifikan dengan kadar CysC serum yang lebih
tinggi (P untuk tren <0,001).
● Setelah penyesuaian, kadar CysC serum tertinggi tetap menjadi faktor risiko yang signifikan
untuk DR (rasio odds [OR], 1,929; interval kepercayaan 95% [CI], 1,007 hingga 4,144;
P=0,040).
● Hubungan positif ditemukan antara CysC serum dan PJK (P untuk tren <0,001).
● Risiko PJK yang secara signifikan lebih tinggi diamati pada kuartil kedua (Q2) (OR, 7.321; 95%
CI, 1.114 hingga 48.114; P= 0.012), ketiga (Q3) (OR, 6.027; 95% CI, 0.952 hingga 38.161; P=
0.020), dan keempat (Q4) (OR, 8.122; 95% CI, 1.258 hingga 52.453; P= 0.007) dibandingkan
kuartil terendah (Q1).
● Tidak ada hubungan yang signifikan yang diamati antara kadar CysC serum dan stroke setelah
mempertimbangkan variabel perancu tambahan.
32.
Uji Kruskal-Wallis digunakandalam
penelitian ini untuk membandingkan
perbedaan antara kelompok (>2)
untuk berbagai variabel kontinu
seperti usia, BMI, tekanan darah
sistolik (TD), tekanan darah diastolik,
glukosa darah puasa, HbA1c, dan
durasi diabetes.
33.
Uji Kruskal-Wallis membantu
menentukanapakah ada
perbedaan yang signifikan
secara statistik dalam median
variabel kontinu di berbagai
kelompok (>2 kelompok pada
data non parametrik)